Kontribusi Kekakuan Terhadap Sambungan Baut Pada Konstruksi Baja

(1)

KONTRIBUSI KEKAKUAN TERHADAP SAMBUNGAN BAUT

PADA KONSTRUKSI BAJA

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan memenuhi syarat untuk Menempuh

Ujian Sarjana Teknik Sipil

Disusun oleh

070 424 024

BENGET RIAMA ARMINA MALAU

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM PENDIDIKAN EKSTENSION

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih

dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Penulisan tugas akhir ini adalah suatu syarat yang harus dipenuhi untuk

mencapai gelar Sarjana Teknik Sipil pada Departemen Teknik Sipil, Universitas

Sumatera Utara. Penulis berharap tugas akhir dengan judul ”Kontribusi Kekakuan

Terhadap Sambungan Baut Pada Konstruksi Baja” ini dapat membantu mahasiswa dan

pembaca yang ingin melakukan penelitian mengenai kekakuan sambungan pada

konstruksi baja.

Dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf jika dalam penulisan tugas

akhir ini masih terdapat kekurangan dalam penulisan maupun perhitungan. Penulis

sangat mengharapkan keringanan para pembaca untuk memberikan kritik dan saran

yang dapat membangun dan menyempurnakan tugas akhir ini.

Dalam penulisan tugas akhir ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Orang tua (Drs. Mangasi Malau dan Salmiah Chairani Sianipar) yang dikasihi

beserta keluarga besar yang memberikan dukungan moril dan materil;

2. Bapak Ir. Sanci Barus, MT. selaku Dosen Pembimbing dalam menyusun Tugas

Akhir ini;

3. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil

Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Ir. Faizal Ezeddin, MS, selaku Koordinator Program Pendidikan Sarjana


(3)

5. Bapak Ir. Terunajaya, M.Sc, selaku Sekaretaris Departemen Teknik Sipil

Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak/Ibu Pegawai Administrasi Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera

Utara

7. Rekan-rekan mahasiswa, serta semua pihak yang telah membantu saya dalam

pengujian sehingga penulisan tugas akhir ini dapat diselesaikan

Akhir kata, Penulis berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca

pada umumnya dan bagi penulis khususnya.

Medan, Maret 2010

Penulis.

070 424 024


(4)

ABSTRAK

Pada umumnya dalam merencanakan suatu konstruksi baja, yang menjadi perhatian utama adalah masalah sambungan. Sambungan tidak boleh mengalami perubahan bentuk yang permanen dan tidak boleh terjadi kelelahan bahan, sehingga detail sambungan perlu mendapat perhatian yang lebih, agar pemindahan tegangan yang terjadi baik pada konstruksi ataupun pada sambungan tidak boleh melampaui tegangan ijin. Pada struktur portal baja, sambungan berfungsi untuk menggabungkan propil-propil menjadi batang kolom, balok dan bagian-bagian konstruksi lainnya menjadi satu kesatuan bangunan. Syarat-syarat perencanaan juga berlaku pada sambungan tersebut yaitu kekuatan dan kekakuannya. Ada beberapa jenis sambungan pada gelagar yaitu sambungan sama kuat dan sambungan tidak sama kuat. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Sipil Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Metode yang digunakan dalam menganalisa adalah metode sambungan gelagar pada sambungan tidak sama kuat.

Dari hasil penelitian didapat bahwa gelagar tanpa sambungan dapat memikul beban jauh lebih besar dari gelagar yang mempunyai sambungan. Ini berarti bahwa persentase kekakuan sambungan pada gelagar utuh adalah 100%.


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ··· iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR GRAFIK ... ix

DAFTAR NOTASI ... x

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Umum ... 1

I. 2. Latar Belakang ... 1

I. 3. Maksud dan Tujuan ... 2

I. 4. Permasalahan ... 2

I. 5. Pembatasan Masalah ... 2

I. 6. Metodologi ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1. Sambungan ... 5

II. 2. Syarat-syarat menurut PPBBI 1983 ... 7

I. Tegangan-tegangan baja ... 7

II. Syarat-syarat sambungan ... 8


(6)

II. 4. Macam-macam sambungan gelagar ... 12

A. Sambungan sekuat profil ... 12

B. Sambungan sekuat gaya yang bekerja ... 15

II. 5. Merencanakan Pelat Penyambung dan Jumlah Baut ... 15

A. Pelat penyambung flens... 15

B. Pelat penyambung badan ... 17

II. 6. Menentukan Kekakuan sambungan baut ... 18

II. 7. Jenis Alat Penyambung ... 19

II 8. Lendutan Balok ... 20

BAB III METODE PENELITIAN III. 1. Persiapan dan Pemeriksaan Material ... 29

III. 2. Pengujian Tarik Baja ... 29

III. 3. Rangka Dudukan Benda Uji ... 34

III. 4. Alat Pembebanan Gaya Tekan ... 35

III. 5. Alat Pengukur ... 35

III. 6. Perletakan Benda Uji ... 36

III. 7. Perencanaan Benda Uji ... 36

III. 8. Proses Pengujian Benda Uji ... 39

BAB IV ANALISA HASIL PENGUJIAN BENDA UJI IV. 1. Pengujian Mechanical Properties ... 41

IV. 2. Pengujian Kekakuan Sambungan Baut ... 42


(7)

a. Benda Uji 01 ... 49

b. Benda Uji 02 ... 61

c. Benda Uji 03 ... 73

d. Benda Uji 04 ... 85

IV. 4. Pembahasan Hasil Pengujian di Laboratorium ... 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V 1. Kesimpulan ... 90

V 2. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 91

LAMPIRAN-LAMPIRAN TABEL MECHANICAL PROPERTIES

LAMPIRAN-LAMPIRAN GRAFIK


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Harga Tegangan Dasar ... 7

Tabel 4.1.1 Hasil Pengujian Tegangan Maksimum ...41

Tabel 4.1.2 Hasil Pengujian Tegangan Leleh ...41

Tabel 4.1.3 Hasil Pengujian Tegangan Proposional ...42

Tabel 4.2.1 Hasil Pengujian Kekakuan Sambungan Baut pada benda uji 1...42

Tabel 4.2.2 Hasil Pengujian Kekakuan Sambungan Baut pada benda uji 2...43

Tabel 4.2.3 Hasil Pengujian Kekakuan Sambungan Baut pada benda uji 3...43

Tabel 4.2.4 Hasil Pengujian Kekakuan Sambungan Baut pada benda uji 4 (tanpa sambungan) ...44

Tabel 4.2.5 Momen Pikul yang terjadi pada setiap jenis sambungan ...45

Tabel 4.2.6 Persentase kerigitan sambungan berdasarkan beban patah yang terjadi terhadap gelagar tanpa sambungan ...89

Tabel 4.2.7 Persentase kerigitan sambungan berdasarkan lendutan yang terjadi terhadap gelagar tanpa sambungan ...89


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.6 Model pengujian dan ukuran benda uji ... 4

Gambar 2.1 Kurva tegangan dan regangan ... 7

Gambar 3.2.1 Gambaran singkat uji tarik dan datanya ...30

Gambar 3.2.1a Kurva tegangan-regangan ...31

Gambar 3.2.1b Dimensi spesimen uji tarik ...31

Gambar 3.2.1c Ilustrasi pengukur regangan pada specimen ...32

Gambar 3.2.1d Profil data hasil uji tarik ...32

Gambar 3.2.1e Penentuan tegangan luluh (yield stress) untuk kurva tanpa daerah linier ...34

Gambar 3.3.1 Rangka Dudukan Benda Uji ...35

Gambar 3.4.1 hydraulic hand jump (jack) ...35

Gambar 3.5.1 Dial Indicator ...36

Gambar 3.6.1 Perletakan Benda UJi ...36

Gambar 3.7.1 Benda Uji 1 ...37

Gambar 3.7.1a Penampang Sambungan Benda Uji 1 ...37

Gambar 3.7.2 Benda Uji ...38

Gambar 3.7.2a Penampang Sambungan Benda Uji 2 ...38

Gambar 3.7.3 Benda Uji 3 ...38

Gambar 3.7.3a Penampang Sambungan Benda Uji 3 ...38

Gambar 3.7.4 Benda Uji 4 ...39

Gambar 3.7.4a Penampang Benda Uji 4 ...39


(10)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.2.1. Pembebanan pada benda uji 1 ... 48 a

Grafik 4.2.2. Pembebanan pada benda uji 2 ... 48 b

Grafik 4.2.3. Pembebanan pada benda uji 3 ... 48 c

Grafik 4.2.4. Pembebanan pada benda uji 4 ... 48 d

Grafik 4.2.5. Pembacaan Dial No. 01 pada setiap benda uji ... 48 e

Grafik 4.2.6. Pembacaan Dial No. 02 pada setiap benda uji ... 48 f


(11)

DAFTAR NOTASI

An = Luas penampang netto pelat penyambung flens

d = Diameter baut

ts = Tebal sayap

h = Tinggi propil

tb = Tebal badan

E = Modulus Elastisitas

σ tr = Tegangan tarik ijin

σ tp = Tegangan tumpu ijin τ gs = Tegangan geser ijin

Ms = Momen tambahan (momen sekunder)

Mw = Momen yang terjadi pada badan

n = Jumlah baut

Pgs = Gaya geser ijin

Pds = Gaya desak ijin σy = Tegangan leleh


(12)

ABSTRAK

Pada umumnya dalam merencanakan suatu konstruksi baja, yang menjadi perhatian utama adalah masalah sambungan. Sambungan tidak boleh mengalami perubahan bentuk yang permanen dan tidak boleh terjadi kelelahan bahan, sehingga detail sambungan perlu mendapat perhatian yang lebih, agar pemindahan tegangan yang terjadi baik pada konstruksi ataupun pada sambungan tidak boleh melampaui tegangan ijin. Pada struktur portal baja, sambungan berfungsi untuk menggabungkan propil-propil menjadi batang kolom, balok dan bagian-bagian konstruksi lainnya menjadi satu kesatuan bangunan. Syarat-syarat perencanaan juga berlaku pada sambungan tersebut yaitu kekuatan dan kekakuannya. Ada beberapa jenis sambungan pada gelagar yaitu sambungan sama kuat dan sambungan tidak sama kuat. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Sipil Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Metode yang digunakan dalam menganalisa adalah metode sambungan gelagar pada sambungan tidak sama kuat.

Dari hasil penelitian didapat bahwa gelagar tanpa sambungan dapat memikul beban jauh lebih besar dari gelagar yang mempunyai sambungan. Ini berarti bahwa persentase kekakuan sambungan pada gelagar utuh adalah 100%.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Umum

Pemilihan atas suatu bahan konstruksi tergantung dari sifat-sifat teknis, ekonomis dan dari segi keindahan. Jikalau baja sebagai bahan konstruksi maka perlu diketahui sifat-sifat baja sepenuhnya.

Baja adalah bahan dasar vital untuk industri. Semua segmen kehidupan, mulai dari peralatan dapur, transportasi, generator pembangkit listrik, sampai kerangka gedung dan jembatan menggunakan baja. Eksploitasi besi baja menduduki peringkat pertama di antara barang tambang logam dan produknya melingkupi hampir 95% dari produk barang berbahan logam.

Baja adalah paduan logam yang tersusun dari besi sebagai unsur utama dan karbon sebagai unsur penguat. Unsur karbon inilah yang banyak berperan dalam peningkatan performan. Perlakuan panas dapat mengubah sifat baja dari lunak seperti kawat menjadi keras seperti pisau.

I.2 Latar Belakang

Suatu balok baja bila sambungan pada kedua ujung menggunakan beberapa baut atau dilas, maka akan terbentuk konstruksi statis tidak tentu, karena sambungan tidak dapat lagi berputar dengan bebas. Dalam keadaan ekstrim sambungan dapat bersifat kaku sempurna (rigid) dimana perputaran sudut adalah nol.

Akan tetapi sambungan-sambungan yang menggunakan baut selalu akan terjadi deformasi elastis yang mengakibatkan sifat kaku sempurna tidak tercapai. Sambungan menjadi semi kaku (semi rigid). Keberadaan dari suatu sambungan (sendi,semi kaku atau kaku sempurna) atau dengan perkataan lain tingkat kekakuan dari sambungan, akan mempengaruhi besarnya perubahan bentuk (lenturan ataupun putaran sudut) dan gaya gaya dalam (momen, gaya lintang dan sebagainya) pada analisa struktur.

Berangkat dari uraian diatas, maka penulis akan mencoba menganalisa teori-teori tersebut dengan melakukan penelitian di laboratorium sesuai dengan judul “Kontribusi Kekakuan Sambungan Baut Pada Konstruksi Baja”


(14)

I.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk lebih mengetahui keadaan struktur baja yang mengalami lentur.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kekakuan dari sambungan dengan jumlah dari susunan dari baut penyambung secara pengujian (eksperimen)

1.4 Permasalahan

Seperti yang telah dijelaskan bahwa tingkat kekakuan dari sambungan pada konstruksi mempunyai peranan penting pada analisa struktur untuk menghitung gaya-gaya dalam dan deformasi, terutama untuk struktur yang statis tak tentu. Pada pengujian ini akan diuji beberapa kondisi yang berbeda-beda dari tengah (sambungan) dari suatu batang.

1.5 Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya ruang lingkup yang timbul dan keterbatasan alat uji, maka perlu dibuat pembatasan masalah yang akan di bahas, yaitu sebagai berikut :

1) Analisa dilakukan dalam batas elastis menurut Hukum HOOKE, dimana hubungan tegangan regangan adalah linier.

2) Bahan adalah isotropic dan homogen 3) Beban yang bekerja adalah beban terpusat 4) Perletakan yang ditinjau adalah sendi-sendi

5) Alat sambungan baut tidak diperhitungkan, dan gesekan antara pelat dengan profil C tidak diperhitungkan (percobaan full slip)

1.6 Metodelogi

Pada pengujian ini sambungan baut mempunyai variasi sebagai berikut :

1) Untuk benda uji pertama, terdapat 4 buah baut diameter 10 mm pada flens dan 4 buah baut diameter 12mm pada web

2) Untuk benda uj kedua, terdapat 4 buah baut diameter 12 mm pada flens dan 4 buah baut diameter 12 mm pada web

3) Untuk benda uj ketiga, terdapat 4 buah baut diameter 12 mm pada flens dan 4 buah baut diameter 10 mm pada web


(15)

4) Untuk benda uj keempat adalah balok yang tidak terdapat sambungan (tanpa sambungan)

Beban terpusat yang bekerja pada tengah bentang di hasilkan dengan daya dorongan dari sebuah Jack. Besarnya gaya yang bekerja diukur dengan perantaraan sebuah prooving ring, yang dilengkapi dengan sebuah dial indicator. Lenturan dari balok yang dihasilkan akibat pembebanan akan diukur pada beberapa titik.


(16)

Benda Uji 1

Benda Uji 2

Benda Uji 3

Benda Uji 4

Gambar 1.6. Model pengujian dan ukuran benda uji Sample yang diuji


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Sambungan

Sambungan-sambungan pada konstruksi baja hampir tidak mungkin dihindari akibat terbatasnya panjang dan bentuk dari propil–propil baja yang diproduksi. Sambungan bisa saja terjadi pada satu elemen balok, kolom atau batang-batang pembentuk struktur, dan lebih sering adalah pada pertemuan antar batang dengan batang atau antara balok dengan kolom. Sifat dari sambungan ini sangat tergantung pada jenis dan konstruksi sambungan, bervariasi mulai dari yang berkelakuan sebagai sendi sampai dengan yang kaku sempurna. Kekakuan dari sambungan sambungan pada konstruksi mempunyai peranan penting pada analisa struktur didalam menghitung gaya-gaya dalam dan deformasi, terutama untuk struktur yang statis tak tentu. Sebagai contoh ditinjau satu blok diatas dua perletakan, yang dibebani gaya terpusat P di tengah-tengah bentangan. Apabila kedua perletakan adalah sendi, maka momen di kedua ujung balok adalah nol, momen di tengah bentangan sebesar ¼ PL. Tetapi apabila kedua ujung adalah jepit yang kaku sempurna, besarnya momen-momen tersebut akan berubah. Momen jepit menjadi -1/8 PL dan momen di tengah bentangan berkurang menjadi 1/8 PL, atau hanya setengah dari momen pada keadaan statis tertentu. Apabila kedua ujung bersifat sendi dan kaku sempurna, atau disebut semi kaku, maka momen-momen tersebut akan berubah besarnya sesuai dengan tingkat kekakuan dari sambungan. Apabila pada saat perencanaan kekakuan dari sambungan tidak diketahui secara tepat, jadi hanya diasumsikan saja, maka bisa terjadi perbedaan antara gaya ataupun deformasi yang timbul setelah bangunan berfungsi dengan yang dihitung semula. Oleh karena itu diperlukan suatu analisa untuk menentukan kekakuan dari sambungan, yang juga merupakan bagian dari analisa struktur secara menyeluruh.

Analisa seperti dimaksud di atas mempunyai kesulitan yang cukup besar, karena adanya pengaruh timbal balik diantara kekakuan dari sambungan dengan beban yang bekerja. Kekakuan sambungan dipengaruhi oleh momen yang bekerja pada sambungan, dengan perkataan lain oleh beban luar, tetapi sebaliknya besar momen yang terjadi di sambungan merupakan fungsi dari kekakuan sambungan. Oleh karena itu didalam


(18)

perhitungan-perhitungan (distribusi) momen pada konstruksi baja sering diberikan penyederhanaan-penyederhanaan sebagai berikut.

1. Pada konstruksi portal, dimana balok disambung pada kolom dengan cara sambungan paku keling atau baut, maka dengan pembebanan terbagi rata q, momen maksimum ditengah-tengah bentang dapat diambil 1/16 ql2, berarti 1,5 kali momen ditempat yang sama bila kedua ujung balok dianggap jepit sempurna, akan tetapi 0,5 kali momen yang terjadi bila kedua ujung dianggap sebagai sendi. Momen pada sambungan (ujung balok) dapat diambil sebesar 1/16 ql2, jadi 0,75 kali momen jepitan dalam keadaan jepit sempurna.

2. Untuk konstruksi rangka maka titik-titik buhul dapat dianggap sebagai sendi, sehingga batang-batang mendapat gaya normal saja

Sebenarnya penyederhanaan-penyederhanaan di atas tidak selamanya memberikan hasil yang lebih aman. Sebagai contoh, kita perhatikan batang-batang pada konstruksi rangka. Dengan menganggap titik buhul sebagai sendi, maka batang-batang hanya menderita gaya normal. Akan tetapi pada kenyataannya titik buhul adalah semi kaku atau mungkin kaku sempurnna, sehingga selain gaya normal pada ujung batang bekerja momen.

Untuk menghilangkan kesalah-pengertian, perlu terlebih dahulu dijelaskan tentang istilah kekakuan. Pada struktur batang, istilah kekakuan digunakan untuk faktor EI dari batang, atau dalam bahasa Inggris disebut Stiffness. Suatu struktur sambungan dapat bersifat sendi (ekstreem bawah) dan kaku atau rigid pada ekstreem atas. Diantaranya terdapat sifat semi kaku atau semi rigid. Tidak ada ukuran (bilangan) yang pasti dipakai untuk menentukan tingkat kekakuan dari sambungan dimaksud.

Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam sambungan yaitu : 1. Sambungan harus kuat, aman dan hemat

2. Sambungan harus mudah terlihat dan pemasangannya dibuat sebaik mungkin, sehingga terlihat bagus

3. Sambungan harus mudah dilaksanakan, baik pada saat pembuatan di pabrik maupun di lapangan

4. Sebaiknya dihindari penggunaan alat penyambung yang berbeda-beda, karena kekakuan dari alat penyambung (paku keling, baut dan las) adalah berbeda.\


(19)

2.2 Syarat-syarat menurut PPBBI 1983 : I. Tegangan-tegangan baja

1. Tegangan-tegangan leleh dan tegangan-tegangan dasar dari bermacam-macam baja bangunan tercantum dalam tabel 3.1. Apabila titik lelehnya tidak jelas, maka tegangan leleh tersebut didefinisikan sebagai tegangan yang menyebabkan regangan tetap sebesar 0,2% (lihat gambar 2.1, D=titik leleh).

Gambar 2.1 Kurva tegangan dan regangan

2. Untuk dasar perhitungan tegangan-tegangan diizinkan pada suatu kondisi pembebanan tertentu, dipakai tegangan dasar yang besarnya dapat dihitung dari

persamaan :

5 , 1

L

σ σ=

3. Besarnya tegangan-tegangan dan tegangan dasar untuk mutu baja tertentu ditunjukkan dalam tabel 3..1.

Tabel 3.1. Harga Tegangan Dasar

Macam baja

Tegangan Leleh Tegangan dasar

σ σ

Kg/cm2 mpa Kg/cm2 mpa

Bj 34 2100 210 1400 140

Bj 37 2400 240 1600 160

Bj 41 2500 250 1666 166.6

Bj 44 2800 280 1867 186.7

Bj 50 2900 290 1933 193.3


(20)

4. Harga-harga yang tercantum pada tabel 3.1 diatas adalah untuk elemen-elemen yang tebalnya kurang dari 40 mm. Untuk elemen-elemen yang tebalnya lebih dari 40 mm, tetapi kurang dari 100 mm, harga-harga pada tabel 3.1 harus dikurangi 10%

5. Tegangan Normal yang diizinkan untuk pembebanan tetap, besarnya sama dengan tegangan dasar.

6. Tegangan geser yang diizinkan untuk pembebanan tetap, besarnya sama dengan 0,58 kali tegangan dasar.

σ τ=0,58*

II. Syarat-syarat sambungan

Sambungan-sambungan harus direncanakan sesuai dengan beban-beban kerja pada batang-batang yang disambung

1. Pada prinsipnya sambungan direncanakan hanya memakai satu macam alat penyambung

2. Pada sambungan-sambungan yang menghubungkan batang-batang utama, jumlah minimum baut mutu tinggi adalah dua buah

3. Letak pusat titik berat pada sekelompok baut mutu tinggi yang memikul gaya axial harus diusahakan berhimpit dengan garis berat dari profil yang disambung. Apabila titik berat tersebut tidak berimpit dengan garis berat profil maka perencanaan sambungan sebaiknya memperhitungkan juga adanya eksentrisitas.

Ketentuan ini tidak berlaku untuk profil siku atau dobel siku yang tidak mengalami tegangan yang bolak balik (berubah tanda).

4. Apabila bekerja tiga atau lebih gaya axial yang sebidang pada sambungan yang sama, maka garis kerja gaya-gaya axial harus bertemu pada satu titik.

5. Apabila profil siku atau kanal disambung hanya pada satu sisi dengan alat penyambung maka pada perencanaan sambungan sebaiknya diperhitungkan juga terhadap momen akibat eksentrisitas.

6. Tebal plat pada sambungan yang memakai paku keling atau baut tidak boleh lebih besar dari 5 kali diameter paku keling atau baut. Apabila panjang lekat baut atau paku keling lebih dari 5 kali diameter baut atau paku keling maka jumlah baut atau paku keling yang diperlukan harus ditambah dengan ketentuan setiap kelebihan tebal 6 mm ditambah 4%. Dimana penambahan paku keling atau baut paling sedikit


(21)

satu buah. Untuk panjang lekat yang mempunyai kelebihan tebal lebih kecil dari 6 mm, maka jumlah baut atau paku keling tidak bertambah.

7. Diameter lubang baut sama dengan diameter baut ditambah 1 mm. Untuk baut mutu tinggi diameter lubang baut sama dengan diameter batang baut ditambah 2 mm. 8. Banyaknya baut yang dipasang pada satu baris yang sejajar arah gaya tidak boleh

lebih dari 5 buah.

9. Jarak antara sumbu baut paling luar ke tepi atau ke ujung bagian yang disambung, tidak boleh kurang dari 1,2 d dan tidak boleh lebih besar dari 3 d atau 6 t (gambar 9.1) dimana t adalah tebal terkecil bagaian yang disambungkan

min 1,2 d max 3 d atau 6 t

min 1,2 d max 3 d atau 6 t

Gambar 9.1

10.Pada sambungan yang terdiri dari satu baris baut, jarak dari sumbu ke sumbu dari 2 baut yang berurutan tidak boleh kurang dari 2,5 d dan tidak boleh lebih besar dari 7d atau 14t

11.Jika sambungan terdiri dari lebih dari satu baris baut yang tidak berseling (gambar 11.1), maka jarak antara kedua baris baut itu dan jarak sumbu ke sumbu dari 2 baut yang berurutan pada satu baris tidak boleh kurang dari 2,5 d dan tidak boleh lebih besar dari 7d atau 14t


(22)

2,5 d s 7 d atau 14 t 2,5 d u 7 d atau 14 t 1,5 d s1 3 d atau 6 t

Gambar 11.1

12.Jika sambungan terdiri lebih dari satu baris baut yang dipasang berseling (gambar 12.1), jarak antara baris-baris baut (u) tidak boleh kurang dari 2,5d dan tidak boleh lebih besar dari 7d atau 14t, sedangkan jarak antara satu baut dengan baut terdekat pada baris lainnya (s2), tidak boleh lebih besar dari 7d – 0,5u atau 14t – 0,5u.

u

u

S2 S2 S2 S2

S S

2,5 d u 7 d atau 14 t S2 ≥ 7 d – 0,5 u atau 14 t – 0,5u


(23)

2. 3 . Sambungan Pada Gelagar

Sambungan pada gelagar terdiri dari : 1. Sambungan pada badan (“Web”)

2. Sambungan pada flens

Masing-masing pelat penyambung mempunyai fungsi sebagai berikut :

 Pelat penyambung flens adalah pelat yang memikul momen yang terjadi pada flens atau sayap

 Pelat penyambung badan adalah pelat yang memikul momen yang bekerja pada badan di tambah dengan gaya lintang yang terjadi.

Jadi jika flens terputus, maka harus disambung dengan pelat penyambung flens atau sayap yang mampu memikul momen flens.

Dan jika badan terputus, maka harus disambung dengan pelat penyambung badan yang mampu memikul momen badan

Jadi pembagian momen yang bekerja adalah atas momen flens dan momen badan dimana patokannya adalah :

badan badan flens

flens profil

profil

EI M EI

M EI

M dx

y d

− = −

= −

= 2 2

...1)

Dari persamaan 1 (satu) di atas dapat kita simpulkan :

Mbadan = profil profil

badan

M I

I

* ...2) Pelat penyambung flens


(24)

Mflens = Mpofil - Mbadan...3)

Dimana untuk mementukan Ibadan :

Ibadan = * *( 2 )3 12

1

s

b h t

t − ...4)

Dimana : ts = tebal sayap h = tinggi profil tb = tebal badan

2.4. Macam – macam sambungan gelagar :

Sambungan pada gelagar terdiri atas 2 bagain yaitu : A. Sambungan dibuat sekuat profil

B. Sambungan dibuat sekuat gaya yang bekerja di lokasi sambungan dimana gaya yang dalam yang bekerja adalah Momen + Lintang

A. Sambungan sekuat profil :

Sambungan sama kuat adalah sambungan yang dibuat sedemikian rupa sehingga kekuatan alat penyambung sama dengan kekuatan profil yang disambung. Dengan demikian, kekuatan sitem sambungan atau perhitungan sistem sambungan tidak didasarkan pada gaya-gaya luar yang ada, tetapi berdasarkan dimensi profil tempat sambunagan.

Pada jenis sambungan ini kita harus menentukan terlebih dahulu momen maksimum dan lintang maksimum yang dapat dipikul profil kemudian berdasarkan hasil tersebut kita dapat merencanakan sambungan jenis ini.


(25)

Keuntungan dari sambungan sekuat profil ini adalah bahwa sambungan dapat diletekkan dimana saja pada bentang balok

Kerugian dari sambungan sekuat profil ini adalah bahwa sambungan ini tidak ekonomis dan cenderung mahal

Langkah perencanaan sambungan sama kuat : a) Menentukan Mmax :

Karena profil tersebut di atas mempunyai kelemahan pada penampangnya akibat lubang baut, maka pada perhitungan kekuatan dipergunakan Wnetto dan Inetto

Dimana : Wnetto=

h Inetto

2

1 ...5)

Jika kita menganggap ada 2 (dua) baris lubang pada masing-masing flens maka

Inetto = Iprofil – (4 * A * a2)...6)

Dimana: A = Luas 1 buah lubang

a = jarak lubang ke garis berat penampang lubang


(26)

dari persamaan 1) dan 2), maka :

Mmax = Wnetto * σ ...7)

Momen dipikul oleh badan dan flens : (dari persamaan 2 dan 3)

Mbadan = profil profil

badan

M I

I *

Mflens = Mpofil - Mbadan.

b) Menentukan Dmaksimum :

Dmaks dicari dengan menggunakan rumus Hubert Henky

σ σ1

τ

Dimana :

2 ) 2 ( 1

h t h

s

− = σ

σ ...8)

Sehingga : σ *σ 2 2 1

h t h

s

= ...9)

dari persamaan Hubert Henky : 2 2 1

1 σ 3τ

σ = + = σ

diperoleh

S I b

Dmax=τ* * ...10)

dimana b = tebal badan profil I = Ix (bukan Inetto)


(27)

B. Sambungan Sekuat gaya yang bekerja :

Berbeda dengan sambungan sekuat profil, pada sambungan sekuat gaya yang bekerja ini kita terlebih dahulu merencanakan letak atau lokasi sambungan yang kita inginkan kemudian kita menghitung Momen + Lintang yang bekerja pada lokasi sambungan yang kita inginkan tersebut.

Keuntungan dari sambungan sekuat gaya yang bekerja ini adalah bahwa sambungan jenis ini ekonomis

Kerugian dari sambungan sekuat gaya yang bekerja ini adalah bahwa sambungan tidak dapat kita pasang atau tempatkan dimana saja, sambungan hanya boleh dipasang di lokasi dimana Momen + Lintang yang direncakan untuk perhitungan sambungan tersebut.

Langkah pertama dalam perencanaan sambungan ini adalah engan menentukan gaya dalam (Momen, Lintang) yang bekerja pada lokasi sambungan tersebut.

Pada pengujian ini sambungan yang direncanakan adalah di tengah bentang.

Sehingga : Mmax = *P *l 4 1

...11)

dan Dmax = *P 2 1

...12)

2. 5. Merencanakan Pelat Penyambung dan Jumlah Baut A. Pelat penyambung flens

Momen flens akan dilawan oleh momen kopel yang ditimbulkan oleh gaya S yang bekerja pada flens atas dan bawah. Dimana lengan momen adalah h’

' h M


(28)

Menentukan besarnya h’ :

Jika akan dihitung h’ adalah jarak antara titik berat diagaram tegangan (trapesium) dan karena tebal pelat penyambung (t) kecil maka boleh dianggap titik berat diagram tegangan tersebut ada di tengah-tengah.

Sehingga h’ = h + t

Tetapi dalam perhitunan, h’ boleh diambil = h (tinggi profil)

Sehingga : S = h Mflens

Luas penampang netto pelat penyambung flens dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

tr n

S A

σ

= ...14)

Dimana : σtr= tegangan tarik izin pelat kg/cm2

Menghitung daya pikul baut :

 Karena baut memikul geser maka ditulis Ngeser

Untuk 1 irisan : Ngeser 1 irisan = * * 2 4

1 d

Π kg...15) Untuk 2 irisan : Ngeser 2 irisan = 2 * N1 kg

dimana, d = dimater baut

 Kekuatan tumpuan ditulis dengan Ntp

Ntp = d * s * σtp kg...16)

Dimana, d = diameter lubang

S = tebal pelat terkecil antara pelat yang disambung dan pelat penyambung

tp


(29)

Sehingga jumlah baut (=n) = N

S

buah...16)

dimana N = daya yang terkecil yang dialami oleh baut

B. Pelat penyambung badan :

Untuk pelat penyambung badan direncanakan badan pada sambungan memikul momen dan lintang.

Tebal pelat penyambung badan :

Syarat : I pelat penyambung ≥ Ibadan

2 * * * 13 12

1 h

t ≥ * *( 2 )3

12 1

ts h

d

Perhitungan jumlah baut pada badan:

 Untuk tipe sambungan yang dibuat sekuat profil

Untuk perhitungan jumlah baut pada sambungan ini gaya lintang D tidak perlu di tinjau lagi, jadi pelat penyambung badan hanya memikul momen badan saja.Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan kekuatan baut seperti halnya pada sayap.


(30)

 Untuk tipe sambungan yang tidak sama kuat

Untuk tipe sambungan ini dibuat berdasarkan M (momen), D (lintang) yang bekerja, dimana D (gaya lintang) dipendahkan ke titik berat pola baut sehingga menimbulkan momen tambahan atau momen sekunder sebesar :

e D M= *

∆ ...17) Sehingga momen yang bekerja pada titik berat pola baut adalah sebesar :

MTotal = ∆M +Mw...18)

Dan pada sambungan ini juga bekerja gaya lintang.

2.6 Menentukan Kekakuan sambungan

Kekakuan sambungan Berdasarkan Lenturan Balok

Penentuan kekkauan sambungan dalam hal ini hanya berdasarkan lenturan pada balok saja. Yaitu dengan terlebih dahulu menurunkan rumus-rumus yang diperlukan suatu balok yang salah satu ujungnya dijepit tidak kaku sempurna (semi rigid), maka pada ujung tersebut dapat digunkaan kombinasi dari perletakan sendi dengan pegas momen seperti pada gambar berikut :

P

C B


(31)

Pegas di A mempunyai konstanta pegas sebsar k. dalam keadaan statis tertentu (k=0), besarnya putaran sudut di titik A dan titik B adalah :

0 ,

16 ,

2

= = =

= dan Ma o Mbo

EI PL bo o

a φ

φ

dimana :φa,obo=putaran sudut titik A dan B secara teoritis pada kondisi A sendi dan B sendi =

=Mbo o

Ma, momen di titik A dan B secara teoritis pada kondisi A sendi dan B sendi

2.7. JENIS ALAT PENYAMBUNG

Setiap struktur adalah gabungan dari bagian-bagian tersendiri atau batang-batang yang harus disambung bersama (biasanya di ujung batang) dengan beberapa cara. Salah satu cara yang digunakan adalah pengelasan, cara lain adalah menggunakan alat penyambung seperti paku keling (rivet) atau baut. Baut kekuatan tinggi telah banyak menggantikan paku keling sebagai alat utama dalam sambungan struktural yang tidak dilas.

Jenis-jenis alat penyambung tersebut adalah: 1) Baut Kekuatan Tinggi

2) Paku Keling 3) Baut HItam

4) Baut Sekrup (Turned Bolt) 5) Baut Bersirip (Ribbed Bolt)


(32)

2.8. LENDUTAN BALOK

Dalam mendisain dari sebuah struktur ada beberapa hal yang perlu di perhatikan yaitu :

1. Tidak hanya perhitungan mengenai tekanan-tekanan yang dihasilkan beban yang bekerja atau kapasitas beban yang masih dapat diatasi

2. Tetapi juga lendutan yang dihasilkan oleh beban tersebut, karena banyak keadaan yang tidak memperbolehkan lendutan maksimum melewati suatu batas tertentu

Contoh :

Dalam bangunan, bagian bawah balok tidak boleh meledut melampaui batas tertentu untuk menghindari efek psikologis yang tidak diinginkan pada orang yang menempatinya. Dan juga untuk menghindari atau memperkecil kecemasan karena akhir kerapuhan material. Hal ini berarti bahwa struktur harus mempunyai kekakuan yang cukup.

Banyak metode yang dapat digunkan dalam menetukan lendutan balok. Dalam hal ini akan dibicarakan sebuah metode yang mudah dan praktis yaitu metode luas bidang momen.

Perhitungan lendutan dan garis elastis

Yang dimaksud dengan garis elastis ialah garis sumbu suatu batang yang lurus, yang akan melengkung oleh pengaruh gaya atau momen yang membebaninya. Bentuk garis elastis ditentukan oleh perubahan bentuk batang oleh momen lentur dan gaya lintang. Biasanya kita menentukan pengaruh masing-masing terpisah dan lalu menjumlahkannya. Oleh karena pengaruh gaya lintang pada umumnya begitu kecil maka kita akan membatasi diri pada pengaruh momen lentur.

Pengaruh momen lentur

Oleh momen lentur M dua potongan batang setangga dan sejajar dengan jarak ds akan berputar oleh sudut α yang kecil, menurut gambar 2.8.1 berikut :


(33)

ds EI M dα = .

Gambar 2.8.1

Syarat Mohr

Gambar 2.8.2

Kita memperhatikan konsole yang terjepit pada tumpuan B menurut gambar 2.8.2. Kita menentukan, bahwa pada bagian konsole x sebagian dx menjadi elastis.


(34)

Bagian-bagian konsole sebelah kiri dan kanan dari dx menjadi kaku. Atas dasar akibat ini titik C akan turun sebesar δc :

dx x I E

M x d

c

. . .

. = = α δ

Jikalau kita menentukan, bahwa semua bagian konsole dx antara titik tumpuan B dan titik C menjadi elastis kita dapat menentukan penurunan titik C, δc sebagai :

=C

B

c x dx

I E

M . . .

δ

Rumus ini juga menentukan momen oleh bidang M/EI yang dibebankan pada konsole antara titik tumpuan B dan titik C. Sudut putaran α pada garis sumbu pada titik C menjadi jumlah semua sudut putaran δαantara titik B dan titik C :

d I E

M

C

B

c .

.

= α

Rumus ini menentukan juga luasnya bidang momen M/EI yang berada antara titik B dan C

Ketentuan Mohr menentukan :

Lendutan pada suatu konstruksi batang dapat ditentukan sebagai bidang atau diagram momen M oleh beban diagram momen Mo yang direduksikan dengan -1/EI. Garis

elastis menjadi garis sisi diagram momen M itu. Sudut putar tumpuan α dapat ditentukan sebagai reaksi tumpuan oleh beban oleh diagaram momen M itu.

Penentuan lendutan menurut Mohr secara grafis

Penentuan lendutan menurut Mohr sebetulnya dapat digunakan secara grafis yang sebaiknya penggunaannya dilakukan setahap demi setahap, seperti berikut :

1. Penentuan reaksi tumpuan dan diagram momen oleh beban sebenarnya

2. Pembebanan konstruksi batang pada titik 1, dengan diagram atau bidang momen itu yang di-negatif-kan

3. Perhatikan perubahan momen tetap dengan memper-reduks i diagaram momen yang sepadangnya.


(35)

4. Pemotongan diagram momen itu ke dalam bagian-bagian. Garis batas diagram momen yang lengkung dengan begitu dapat diluruskan pada bagian masing-masing. Penentuan titik berat pada bagian masing-masing-masing.

5. Pembebanan konstruksi batang dengan gaya-gaya yang menjadi resultante-resultante pada bagian diagram momen masing-masing.

6. Penentuan reaksi tumpuan oleh bebanan titik 5 itu. Reaksi tumpuan ini menjadi sudut putar tumpuan (α,β ) dikalikan dengan E.I

7. Penentuan diagram atau bidang momen oleh bebanan titik 5 itu. Garis batas diagram momen sekarang menjadi garis elastis dikalikan dengan E.I

8. Penentuan momen maksimal oleh bebanan titik 5 itu, pada tempat dengan gaya lintangnya menjadi nol. Momen maksimal itu menjadi lendutan maksimal dikalikan dengan E.I

Selanjutnya sebagai keterangan kita mempraktekkan dengan beberapa contoh.

Contoh 1

Balok tunggal dengan gaya pusat P dan dengan momen tetap.

Gambar 2.8.3

Gaya pusat P yang dibebani balok tunggal A-B

diagram momen Mo :

4 .

max P l


(36)

diagram momen Mo yang direduksikan dengan -1/EI dan dibebankan pada balok tunggal A-B EI l P R R EI l P

q A B

16 . ;

4

. 2

max = = =

garis elastis sebagai diagram momen M

      − = 6 2 max l l R f A EI l P f 48 3 max = Contoh 2

Balok tunggal dengan beban merata q dan dengan momen tetap.

Gambar 2.8.4

Beban merata q (t/m) yang dibebani balok tunggal A-B

diagram momen Mo;

8 2 max l q M =

diagram momen Mo yang direduksi dengan -1/EI dan dibebankan pada balok

tunggal A-B EI l q R R EI l q

q A B

24 ;

8

3 2


(37)

garis elastis sebagai diagram momen M

   

  − =

16 3 2 max

l l R

f A

EI l q f

384

5 4

max =

Contoh 3

Konsole dengan gaya P pada ujungnya yang bebas dan dengan momen tetap

Gambar 2.8.5

Gaya P yang membebani konsole pada ujungnya yang bebas diagram momen Mo ; Mmax = P l

diagram momen Mo yang direduksi dengan -1/EI dan dibebanlan pada konsole

dengan tumpuan terbalik.

EI l P qmax =

garis elastis sebagai diagram momen M

3 2 . 2 .

max

l l EI

l P

f =

EI l P f

3 3 max =


(38)

Hal-hal khusus dari Cara Luas Momen – Cara Balok Konyugasi

Dengan menganggap sebuah balok khayal, atau balok bantu, atau balok “konyugasi” didefinisikan sebagai balok AB sederhana semula yang dibebani oleh diagram M/EI. Misalkan R’A dan R’B merupakan reaksi terhadap balok konyugasi ini

dan V’c dan M’c merupakan momen geser dan momen tekuk di C pada balok konyugasi ini. Sehingga persamaannya menjadi

[

luasdiagramM/EIantaraAdanCdisekitarC

]

L B sekitar di B dan A antara M/EI diagram momen C V' C θ − = =     dan

[

momendiagramM/EIantaraAdanCdisekitarC

]

L B sekitar di B dan A antara M/EI diagram momen C V' C θ − = =    

Perlu di ingat bahwa bahwa dua persamaan di atas bisa digunakan di antara dua titik A dan B pada kurva elastik, kecuali jika bentang AB tidak mendatar, θCadalah sudut antara garis singgung di C dan bentang AB dan C adalah defleksi C yang diukur dari bentang AB. Persamaan diatas dapat ditetapkan dengan kata-kata yaitu :

Teorema I. Cara Balok – konyugasi. Sudut antara garis singgung ke kurva elastik di setiap titik C antara dua titik A dan B pada kurva elastik dan bentang AB adalah sama dengan geseran di titik C dalam sebuah balok sederhana yang di bebani dengan diagram M/EI antara A dan B.

Teorema II. Cara Balok – konyugasi. Defleksi dari setiap titik C di antara dua titik A dan B pada kurva elastik, yang diukur dari bentang AB, adalah sama dengan momen tekuk di titik C dalam sebuah balok sederhana AB yang di bebani dengan diagram M/EI antara A dan B.

Cara balok konyugasi sesungguhnya adalah merupakan hal khusus dari cara luas momen, atau dapat dianggap sebagai cara lain untuk menguraikan prosedur penggunaan teorema luas momen.


(39)

Contoh 1. Carilah

A

θ dan

B

θ dan

D

dalam suku-suku EI dengan cara balok-konyugasi

Gambar 2.8.5

diagram momen yang terlihat dalam gambar 2.8.5.c diperbaiki sampai menjadi gambar 2.8.5.d karena momen inersia dari bagian tengahnya adalah 2I. Balok konyugasinya adalah seperti yang terlihat dalam gambar 2.8.5.d


(40)

R’A = luas setengah diagram M yang diperbaiki

= luas I + luas II + luas III

=            +             +             4 8 2 1 4 16 2 1 4 8 2

1 PL L PL L PL L

= 128 2 5 PL = A EIθ A

θ = searahjarum jam EI PL 128 2 5 B

θ = melawanjarumjam EI

PL

128 2 5

M’D =

( )

 −

(

)

 +  −

(

)

  −

(

)

  

4 3 1 4 3 2 12 4 2

' L luasI L L luasII L luasIII L A R =                                                 − − + − 12 64 2 6 128 2 12 4 64 2 2 128 2

5PL L PL L L PL L PL L

= 256 3 3 PL = D EID ∆ = EI PL 256 3 3 ke bawah


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Persiapan dan Pemeriksaan Material

Material yang digunakan adalah baja profil C 145 x 55 x 10 x 3 yang diperoleh dari pemotongan baja batangan yang dibentuk sedemikian rupa. Karena material yang dipakai dalam pengujian ini belum standar, maka sebelum melaksanakan pengujian kekakuan sambungan baut, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan material dengan mengadakan pengujian tarik. Hal ini dilakukan agar dapat mengetahui Tegangan Leleh dari baja yang akan diuji.

3.2 Pengujian Tarik Baja

Untuk mengetahui sifat-sifat suatu bahan, tentu kita harus mengadakan pengujian terhadap bahan tersebut. Ada empat jenis uji coba yang biasa dilakukan, yaitu uji tarik (tensile test), uji tekan (compression test), uji torsi (torsion test) dan uji geser (shear test). Dalam hal ini kita akan membahas tentang uji tarik dan sifat-sifat mekanik logam yang didapatkan dari interprestasi hasil uji tarik.

Uji tarik mungkin adalah cara pengujian yang paling mendasar. Pengujian ini sangat sederhana dan sudah mengalami standarisasi. Dengan menarik suatu bahan kita akan segera mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material itu bertambah panjang. Alat eksperimen untuk uji tarik ini harus memiliki cengkraman /grip) yang kuat dan kekakuan yang tinggi (highly stiff).

Banyak hal yang dapat kita pelajari dari hasil uji tarik. Bila kita terus menarik suatu bahan (dalam hal ini suatu logam) sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap yang berupa kurva seperti digambarkan pada Gbr. 3.2.1. Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang. Profil ini sangat diperlukan dalam desain yang memakai bahan tersebut.


(42)

Gbr.3.2.1. Gambaran singkat uji tarik dan datanya

Biasanya yang menjadi focus perhatian adalah kemampuan maksimum bahan tersebut dalam menahan beban. Kemampuan ini umumnya disebut “Ultimate Tensile Strength” disingkat dengan UTS, dalam bahasa Indonesia disebut dengan tegangan tarik maksimum.

Untuk hampir semua logam, pada tahap sangat awal dari uji tarik, hubungan antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan perubahan panjang bahan tersebut. Ini disebut daerah linier atau linier zone. Di daerah ini, kurva pertambahan panjang vs beban mengikuti aturan Hooke dimana “Rasio tegangan (stress) dan regangan (strain) adalah konstan”

Stress adalah beban dibagi luas penampang bahan dan strain adalah pertambahan

panjang dibagi panjang awal bahan.

Stress :

A F

=

σ

Dimana : F = gaya tarikan A = luas penampang

Strain :

L L

∆ = ε

Dimana : Δl = pertambahan panjang L = panjang awal

Hubungan antara stress dan strain dirumuskan :

ε σ = Ε


(43)

Untuk memudahkan pembahasan, Gbr. 3.2.1 kita modifikasi dari hubungan antara gaya tarikan pertambahan panjang menjadi hubungan anatara tegangan dan regangan (stress vs strain). Selanjutnya kita dapatkan Gbr 3.2.1a, yang merupakan kurva standar ketika melakukan eksperimen uji tarik. E adalah gradient kurva dalam daerah linier, dimana perbandingan tegangan (σ) dan regangan (ε ) selalu tetap. E diberi nama “Modulus Elastisitas” atau “Young Moduus”. Kurva yang menyatakan hubungan antara strain dan stress seperti ini kerap disingkat kurva SS (SS curve)

Gbr.3.2.1a. Kurva tegangan-regangan

Bentuk bahan yang diuji, untuk logam biasanya dibuat spesimen dengan dimensi seperti pada Gbr 3.2.1b berikut :

Gbr.3.2.1b Dimensi spesimen uji tarik

Perubahan panjang dari spesimen dideteksi lewat pengukur regangan (strain gage) yang ditempelkan pada spesimen seperti diilustrasikan pada Gbr 3.2.1c


(44)

Gbr.3.2.1c Ilustrasi pengukur regangan pada spesimen

Bila pengukur regangan ini mengalami perubahan panjang dan penampang, terjadi perubahan nilai hambatan listrik yang dibaca oleh detector dan kemudian dikonversi menjadi perubahan regangan.

Gbr.3.2.1d Profil data hasil uji tarik

Batas Elastis (elastic limit)

Dalam Gbr. 3.2.1d dinyatakan dengan titik A. Bila bahan diberi beban sampai pada titik A, kemudian bebannya dihilangkan, maka bahan tersebut akan kembali ke kondisi semula yaitu regangan “nol” pada titik O. Tetapi bila beban ditarik sampai melewati titik A, hukum Hooke tidak lagi berlaku lagi

Batas proporsional σp (proportional limit)

Titik sampai dimana penerapan hukum Hooke masih bisa ditolerir. Dalam praktek, biasanya batas proporsional sama dengan batas elastis.

Deformasi plastis (plastic deformation)

Yaitu perubahan bentuk yang tidak kembali ke keadaan semula. Pada Gbr 3.2.1d yaitu bila bahan ditarik sampai melewati batas proporsional dan mencapai daerah landing.


(45)

Tegangan luluh atas σuy (upper yield stress)

Tegangan maksimum sebelum bahan memasuki fase daerah landing peralihan deformasi elastis ke plastis.

Tegangan luluh bawah σly (lower yield stress)

Tegangan rata-rata daerah landing sebelum benar-benar memasuki fase deformasi plastis. Bila hanya disebutkan tegangan luluh (yield stress), maka yang dimaksud adalah tegangan ini.

Regangan luluh εy (elastic strain)

Regangan permanent saat bahan akan memasuki fase deformasi plastis.

Regangan elastis εe (elastic strain)

Regangan yang diakibatkan perubahan elastis bahan. Pada saat beban dilepaskan regangan ini akan kembali ke posisi semula.

Regangan plastis εp (plastic strain)

Regangan yang diakibatkan perubahan plastis. Pada saat beban dilepaskan regangan ini tetap tinggal sebagai perubahan permanent bahan.

Regangan total (total strain)

Merupakan gabungan regangan plastis dan regangan elastis, εT = εe + εp . Pada titik

B, regangan yang ada adalah regangan total. Ketika beban dilepaskan, posisi regangan ada pada titik E dan besar regangan yang tinggal (OE) adalah regangan plastis.

Tegangan tarik maksimum TTM (UTS, ultimate tensile strength)

Pada Gbr. 3.2.1d ditunjukkan dengan titik C (σβ ) merupakan besar tegangan maksimum yang didapatkan dalam uji tarik.


(46)

Kekuatan patah (breaking strength)

Pada Gbr 3.2.1d ditunjukkan dengan titik D, merupakan besar tegangan dimana bahan yang diuji putus atau patah.

Tegangan luluh pada data tanpa batas jelas antara perubahan elastis dan plastis

Untuk hasil uji tarik yang tidak memiliki daerah linier dan landing yang jelas, tegangan luluh biasanya didefenisikan sebagai tegangan yang menghasilkan regangan permanent sebesar 0,2 %, regangan ini disebut offset-strain (Gbr 3.2.1e)

Gbr. 3.2.1e. Penentuan tegangan luluh (yield stress) untuk kurva tanpa daerah linier

3.3. Rangka Dudukan Benda Uji

Rangka dudukan benda uji (frame) yang dimaksud adalah tempat penahan sekaligus sebagai dudukan benda uji. Frame yang digunakan dalam pengujian ini adalah frame yang sudah dimodifikasi yang terdiri dari potongan-potongan profil IWF dan C serta plat yang dibentuk seperti yang diperlihatkan pada gambar di bawah ini :


(47)

Gbr. 3. 3. 1 Rangka Dudukan Benda Uji

3.4. Alat Pembebanan Gaya Tekan

Gaya tekan akan diberikan pada benda uji yang dihasilkan oleh sebuah hydraulic hand jump (dongkrak hidraulik) yang dilengkapi dengan proving ring. Proving ring ini berfungsi untuk menunjukkan besarnya gaya yang dihasilkan oleh hydraulic hand jump (jack) yang mempunyai kapasitas sampai 25 ton.

Gbr. 3. 4. 1. hydraulic hand jump (jack)

3.5. Alat Pengukur

Untuk mengetahui besarnya gaya dan deformasi yang terjadi pada balok dibutuhkan alat ukur, antara lain :

a. Proving Ring

Alat ukur ini berfungsi untuk menunjukkan gaya yang dihasilkan atau diberikan oleh Jack


(48)

b. Dial Indicator

Fungsi alat ukur ini yakni menunjukkan besarnya deformasi yang terjadi pada balok. Dial indicator ini mempunyai tingkat ketelitian 0,01 mm

Gbr. 3. 5.1 Dial Indicator

3.6. Perletakan Benda UJi

1. Letakkan perletakan sebagai tumpuan benda uji ke ambang bawah frame yang sudah ada

2. Ukur antar jarak tumpuan sepanjang jarak bentang benda uji yang akan diuji, dalam hal ini adalah 2 m (seperti terlihat pada gambar)

3. Perlu diketahui dalam melakukan dua langkah di atas, harus diperhatikan bahwa tumpuan dan benda uji harus berada di tengah-tengah lebar dari frame yang digunakan sebagai rangka dudukan benda uji

Gbr. 3. 6.1. Perletakan Benda UJi

3.7. Perencanaan Benda UJi

Pengujian kekakuan sambungan baut pada balok ini direncanakan dengan menggunakan 2 buah profil C 145 x 55 x 3. Bentang yang akan ditinjau adalah sepanjang 2 m dan direncanakan sambungan berada di tengah bentang. Pengujian


(49)

dilakukan sebanyak sebanyak 4 buah benda uji, dimana masing-masing benda uji menggunakaan profil yang saling membelakangi. Profil C 145 x 55 x 3 ini dipotong sepanjang 1,2 m sebanyak 12 buah dan sepanjang 2,2 m sebanyak 2 buah. Pada pengujian ini akan diuji beberapa kondisi yang berbeda-beda dari susunan baut dan pelat penyambungnya, dimana :

1) Untuk benda uji 1

Flens atau sayap menggunakan 8 buah baut diamater 10 mm Web atau badan menggunakan 8 buah baut diamater 12 mm

Gbr. 3. 7. 1 Benda Uji 1


(50)

2) Untuk benda uji 2

Flens atau sayap menggunakan 8 buah baut diamater 12 mm Web atau badan menggunakan 8 buah baut diamater 12 mm

G br. 3. 7. 2. Benda Uji 2

Gbr. 3. 7. 2a. Penampang Sambungan Benda Uji 2

3) Untuk benda uji 3

Flens atau sayap menggunakan 8 buah baut diamater 12 mm Web atau badan menggunakan 8 buah baut diamater 10 mm

Gbr. 3. 7. 3. Benda Ujil 3


(51)

4) Untuk benda uji 4

Pengujian dilakukan terhadap bentang dengan panjang yang sama namun tidak mengalami sambungan di sepanjang bentang

Gbr. 3. 7. 4a. Benda Ujil 4

Gbr. 3. 7. 4a. Penampang Benda Uji 4

dimana dimensi pelat penyambung yang direncanakan pada web atau badan adalah 250x110x4 mm dan pada flens atau sayap adalah 250x110x4 mm dan dimensi ini harus dikontrol dengan syarat-syarat minimum pada PBBI tahun 1971

3.8. Proses Pengujian Benda Uji

Ada dua hal utama yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pengujian ini yaitu :

a. Benda uji harus benar-benar lurus, agar garis tengah batang benar-benar lurus, dan beban yang bekerja akan tepat pada garis tengah bentang.

b. Beban harus tepat pada titik berat penampang benda uji.

Pengujian benda uji ini dilakukan satu demi satu. Dalam proses pengujian benda uji tersebut dilalui beberapa langkah yang harus ditempuh, antara lain :

1. Pasang baut sesuai dengan kondisi yang direncanakan

2. Stel perletakan benda uji sepanjang 2 m, dengan letak dan posisi yang diatur sedemikain rupa sehingga menghasilkan posisi yang simetris dan tegak lurus. Untuk


(52)

mendapatkan elevasi yang sama dari kedua tumpuan maka kedua ujung dari perletakan harus di waterpass terlebih dahulu.

3. Letakkan benda uji pada kedua tumpuan dengan bentang 2 m

4. Jack ditempatkan di atas benda uji dan diatur letaknya sehingga beban tepat pada titik berat benda uji. Perletakan benda uji adalah sendi-sendi.

Tambahkan pelat diatas jack sampai menyentuh ambang atas dari frame untuk mendapatkan tekanan maksimum dari jack.

Gbr. 3. 8 Peletakan benda uji, Jack, Dial deformasi

5. Dial Indicator diletakkan pada jarak-jarak tertentu dimana pada pengujian ini dial indicator diletakkan pada jarak 8 cm, 30 cm dan 60 cm dari tengah bentang.

6. Setelah pemasangam sesuai dengan yang diharapkan, dilakukan pengujian dengan memberikan pembebanan awal 750 kg, kemudian pembebanan dilakukan dengan bertahap dengan penambahan beban rata-rata 500 kg. Setiap penambahan beban dilakukan pembacaan dan pencatatan masing-masing dial indicator.

7. Apabila pembacaan proving ring pada jack tidak bertambah lagi, sedangkan pembacaan pada dial indicator terus bertambah maka penambahan beban dihentikan, karena hal itu berarti benda uji sudah mengalami patah atau kelelahan


(53)

BAB IV

ANALISA HASIL PENGUJIAN BENDA UJI

4.1 Pengujian Mechanical Properties 4.1.1 Pengujian Tegangan Maksimum

Hasil pengujian tegangan maksimum yang dilakukan terhadap benda uji sebanyak 3 (tiga) buah sample seperti yang terlihat pada tabel 4.1.1 di bawah ini :

Tabel 4.1.1 Hasil Pengujian Tegangan Maksimum

Benda uji

Lebar Tebal Beban Maksimum Tegangan Maksimum

(mm) (mm) (N) (N/mm2)

I 15 3 17560.78 390.24

II 14.5 3 17004.09 390.90

III 15 3 17813.81 395.86

Total 1,177.00

Nilai Rata – rata Tegangan Maksimum Benda Uji = X = 3

1177

= 392.33 N/mm2

4.1.2 Pengujian Tegangan Leleh

Hasil pengujian tegangan leleh yang dilakukan terhadap benda uji sebanyak 3 (tiga) buah sample seperti yang terlihat pada tabel 4.1.2 di bawah ini :

Tabel 4.1.2 Hasil Pengujian Tegangan Leleh Benda

uji

Lebar Tebal Beban Leleh Tegangan Leleh

(mm) (mm) (N) (N/mm2)

I 15 3 13208.54 293.52 II 14.5 3 12677.16 291.43 III 15 3 13157.93 292.40

Total 877.35

Nilai Rata – rata Tegangan Leleh Benda Uji = X = 3

877.35


(54)

4.1.3 Pengujian Tegangan Proposional (propotional limit)

Hasil pengujian tegangan proposional yang dilakukan terhadap benda uji sebanyak 3 (tiga) buah sample seperti yang terlihat pada tabel 4.1.3 di bawah ini :

Tabel 4.1.3 Hasil Pengujian Tegangan Proposional Benda

uji

Lebar Tebal Beban Proposional Tegangan

(mm) (mm) (N) (N/mm2)

I 15 3 12803.68 284.53 II 14.5 3 12373.51 284.45 III 15 3 13107.32 291.27

Total 860.25

Nilai Rata – rata Tegangan Proposional Benda Uji = X = 3

860.25

= 286.75 N/mm2

4.2 Pengujian Kekakuan Sambungan Baut

Dari hasil pengujian kekakuan sambungan baut ini maka diperoleh data-data pada tabel di bawah ini. Kemudian dari data tabel diperoleh grafik hubungan antara pembebanan dan deformasi yang terjadi pada masing-masing sample.

Tabel 4.2.1 Hasil Pengujian Kekakuan Sambungan Baut pada benda uji 1

Beban Pembacaan dial x (0,01) mm

kg 1 2 3

0 0 0 0

750 423 387 273

1250 1124 1031 727

1750 1645 1510 1069

2250 2642 2433 1743


(55)

Tabel 4.2.2 Hasil Pengujian Kekakuan Sambungan Baut pada benda uji 2

Beban Pembacaan dial x (0,01) mm

kg 1 2 3

0 0 0 0

750 384 352 248

1250 754 691 487

1750 1542 1415 1002

2250 1987 1826 1298

2750 2783 2564 1841

3250 3187 2942 2125

3500 3313 3060 2215

Tabel 4.2.3 Hasil Pengujian Kekakuan Sambungan Baut pada benda uji 3

Beban Pembacaan dial x (0,01) mm

kg 1 2 3

0 0 0 0

750 325 298 209

1000 762 698 492

1500 1512 1387 982

2000 1956 1797 1277

2500 2652 2443 1750

3000 2932 2704 1945

3500 3672 3397 2475


(56)

Tabel 4.2.4 Hasil Pengujian Kekakuan pada benda uji 4 (Tanpa Sambungan)

Beban Pembacaan dial x (0,01) mm

kg 1 2 3

0 0 0 0

750 412 377 266

1250 652 597 421

1750 975 894 630

2250 1212 1111 785

3000 1605 1473 1043

3500 1877 1724 1224

4000 2119 1948 1387

4500 2355 2167 1547

5000 2609 2403 1721

5500 2901 2675 1924

6000 3212 2965 2143

6500 3551 3284 2387

7000 3894 3607 2638

7500 4120 3821 2807

8000 4221 3916 2882

Pada tabel 4.2.1 s/d 4.2.4 diperlihatkan besarnya lenturan balok pada setiap pembebanan untuk keempat jenis sambungan.

Tabel 4.2.1 memperlihatkan hasil pengujian untuk sambungan dengan menggunakan 4 bh baut diameter 10 mm pada flens dan 4 buah baut dimater 12 mm pada badan. Tabel 4.2.2 memperlihatkan hasil pengujian untuk sambungan dengan menggunakan 4 bh baut diameter 12 mm pada flens dan 4 buah baut dimater 12 mm pada badan. Tabel 4.2.3 memperlihatkan hasil pengujian untuk sambungan dengan menggunakan 4 bh baut diameter 12 mm pada flens dan 4 buah baut dimater 10 mm pada badan. Tabel 4.2.4 memperlihatkan hasil pengujian untuk sambungan tanpa adanya sambungan.


(57)

Dari keempat tabel tersebut di atas didapat Momen pikul pada setiap jenis sambungan berdasarkan beban actual maksimum yang terjadi pada saat pengujian, dengan

menggunakan rumus : Mp = Pl 4 1

kgcm

hasil perhitungan dari setiap jenis sambungan tersebut dapat kita lihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.2.5 Momen Pikul yang terjadi pada setiap jenis sambungan Benda

Uji

Beban Maksimum Panjang Bentang Momen Pikul

(Kg) (cm) kgcm

1 3000 200 150000

2 3500 200 175000

3 4000 200 200000

4 (tanpa sambungan.) 8000 200 400000


(58)

Berdasarkan cara perhitungan lendutan maksimum yang terjadi dengan balok konyugasi di bab 2 maka kita dapat menghitung lendutan yang terjadi secara analitis pada pengujian ini, sebagai berikut :

L/2,285 L/16 L/16 L/2,285 E tetap

I 2,717 I 2,717 I I A

P

B

C D E

P/2 P/2

+ P/2

- P/2

Diagram Lintang

PL/4

Diagram Momen PL/5,7 PL/5,7 PL/5,7

PL

15,487 PL

15,487

I

II III

R'A R'B

Diagram yang diperbaiki

?A

? B

A D B

D'

?D ?D


(59)

Menentukan inersia profil

Iprofil =

2 )] 3 , 0 * 9 , 4 * 12 1 [( 2 )] 1 * 3 , 0 * 12 1 [( )] 5 , 14 * 6 , 0 * 12 1 [( 2 )] 3 , 0 * 9 , 4 * 12 1 [( 2 )] 1 * 3 , 0 * 12 1 [( 3 3 3 3 3 + + + +

= 0.05 + 0.02205 + 152,43125 + 0.05 + 0.02205 = 152.57535 cm4

Menentukan inersia pelat

Ipelat = * * )

12 1 * 2 ( ) * * 12 1 * 2

( tpw ht3 + b tpf 3

= *11*0,4 )

12 1 * 2 ( ) 11 * 4 , 0 * 12 1 * 2

( 3 + 3

= 88,733 + 0,1173 = 88,850 cm4

Maka, Igab = Iprofil + Ipelat.

= 152.57535 + 88,850 = 241,425 cm4

Maka kenaikan inersia = 

     − + 850 , 88 850 , 88 425 , 241 1

= 2,717 I

Maka :

2

P B R A R = =

Sehingga :

7 , 5 285 , 2 * 2 285 , 2 * PL L P L RA C M = = =


(60)

Dan : 487 , 15 717 , 2 7 , 5 PL PL D M = =

R’A = luas setengah diagram M yang diperbaiki

= luas I + luas II + luas III

=             +             +             285 , 2 7 , 5 2 1 16 487 , 15 2 1 285 , 2 7 , 5 2

1 PL L PL L PL L

=     +     +     05 , 26 584 , 495 05 , 26 2 2 2 PL PL PL = 9632 , 12909 2 584 , 495 2 05 , 26 2 584 ,

495 PL + PL + PL

= 909 , 12 2 017 , 1 PL = A EIθ A

θ = searahjarum jam EI PL 909 , 12 2 017 , 1 B

θ = melawan jarumjam EI PL 909 , 12 2 017 , 1

M’D =

( )

(

)

(

)

  

(

)

  

             + 16 3 1 16 3 2 285 , 2 * 3 1 16 2

' L luasI L L luasII L luasIII L A R =            −             −            + −             48 05 , 26 24 584 , 495 16 855 , 6 05 , 26 2 909 , 12 017 .

1 2 2 2 2

L PL L PL L L PL L PL = 4 , 1250 11894 728 , 1785 145 , 3 818 , 25 017 .

1 3 3 3 3

PL PL PL PL − −       −

= 0.0394 PL3 – 0,00176 PL3 – 0,000084 PL3 – 0,000799 PL3 = 0,037 PL3 =

D EID ∆ = EI PL3 037 , 0 ke bawah


(61)

(62)

(63)

(64)

(65)

(66)

(67)

(68)

4.3 Perhitungan Data

a. Benda Uji 01

Profil : 2 C 145*55*10*3 mm

Dimana : hi = 145 mm

b = 110 mm

tf = 3 mm tw = 6 mm

Pengujian dilakukan dengan memberikan beban pada tengah bentang, dan dari hasil pengujian didapat :

Ppatah = 3000 kg

Factor keamanan yang digunakan adalah sebesar 1,5, sehingga :

Piji =

5 , 1

patah

P

=

5 , 1 3000

= 2000 kg

berdasarkan Pijin ini kita dapat menghitung yaitu :

1. Mmax = *Pijin*l

4 1

...11)

= *2000*200 4

1


(69)

2. Dmax = *Pijin

2 1

...12)

= *2000 2

1

= 1000 kg

3. Menentukan letak garis netral

Yc = 2 1 h = 2 145

= 72,5 mm

4. Menentukan momen inersia dari profil

Ix total =

2 )] ) 25 , 7 2 3 , 0 ( * 47 , 1 ( ) 3 , 0 * 9 , 4 * 12 1 [( 2 ] ) 25 , 7 2 1 (( * 1 * 3 , 0 ( ) 1 * 3 , 0 * 12 1 [( )] ) 25 , 7 2 5 , 14 (( * 7 , 8 ( ) 5 , 14 * 6 , 0 * 12 1 [( 2 ] ) 25 , 7 ) 2 3 , 0 5 , 14 (( * 47 , 1 ( ) 3 , 0 * 9 , 4 * 12 1 [( 2 ] ) 25 , 7 ) 2 1 5 , 14 (( * 3 , 0 ( ) 1 * 3 , 0 * 12 1 [( 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 − + + − + + − + + − − + + − − +

= 27,3875 + 148,22745 + 152,43125 + 27,3875 + 148,22745 = 503,6612 cm4

5. Menentukan Momen Inersia dari lubang profil

Ilub prof =

) )) 2 ( 2 1 ( ( * * * 2 ( ) * * 12 1 * 2 ( ) 2 2 ( * * * 4 ( ) * * 12 1 * 4 ( 2 2 3 2 2 1 1 3 1 tf h d tw d tw tf h tf d tf d − + + − + = ) )) 3 , 0 * 2 5 , 14 ( 2 1 (( * 2 , 1 * 6 , 0 * 2 ( ) 2 , 1 * 6 , 0 * 12 1 * 2 ( ) 2 3 . 0 2 5 . 14 ( * 3 , 0 * 0 , 1 * 4 ( ) 3 , 0 * 0 , 1 * 12 1 * 4 ( 2 3 2 3 − + + − +

= 0,009 + 60.492+0,1728+48,3025 = 108,9763 cm4


(70)

6. Inetto = Ixtot – Ilub prof.

= 503,6612 – 108,9763 = 394,6849 cm4

7. W = h I 2

1 ...5)

Maka, Wnetto =

2 1

01 h Inetto

=

2 5 , 14 394,6849

= 54,439 cm3

8. Dari,Mmax = W * σ ...7)

Besarnya σ1 akibat Mmax adalah :

σ1 = W M max

=

54,439 100000

= 1836,918 kg/cm2

9. Menentukan besarnya σ2 pada tengah penampang badan dengan cara perbandingan

seharga terhadap σ1

σ2 = * 1 2

2

2 σ

h tpf h

= *1836,918 2

5 , 14

2 3 , 0 2

5 , 14


(71)

10. Besarnya kapasitas dukung sayap terhadap gaya aksial adalah : S = σ2 * Anetto sayap

Dimana, Anetto = [(11-(2*1,0))*0,3]+(0,7*0,3*2) = 3,12 cm2

Sehingga, S = 1798,913 * 3,12 = 5612,609 kg

11. Maka, Msayap = S * (h-(2*0,5*tf))

= 5612,609 * (14,5 –(2*0,5* 0,3)) = 79699,048 kgcm

12. Sehingga, Mbadan = Mmax - Msayap

= 100000 - 79699,048 = 20300,952 kgcm


(72)

# SAMBUNGAN FLENS #

1. Berdasarkan syarat-syarat sambungan menurut PPBBI 1983 ditentukan :

18 84 181018 84 18

18

84

18

s1 s s1 s1 s s1

u1

u

u1

Baut yang digunakan pada sayap adalah 10 mm, maka

 2,5 d ≤ s ≤ 7 d atau 14 t 25 ≤ s ≤ 70 atau 84 Ambil s = 84 mm

 1,5 d ≤ s1 ≤ 3 d atau 6 t

15 ≤ s1 ≤ 30 atau 36


(73)

 2,5 d ≤ u ≤ 7 d atau 14 t 25 ≤ u ≤ 70 atau 84 Ambil u = 84 mm

 1,5 d ≤ u1 ≤ 3 d atau 6 t

15 ≤ u1 ≤ 30 atau 36

Ambil u1 = 18 mm

2. Dari pengujian tarik dilaboratorium didapat

Nilai Tegangan Leleh Benda Uji adalah : σy = 2924,50 kg/cm2

Dengan menggunakan faktor keamanan (FS) = 1,5 maka,

Tegangan Ijin Leleh Benda Uji adalah :

σ =

5 , 1

50 , 2924

= 1949,667 kg/cm2

3. Maka : Ρgs = *π* *τ 4

1 2

d

= * *( ) *(0,6* ) 4

1 π 2 σ

d

= * *(1,0) *(0,6*1949,66) 4

1 π 2

= 918,758 kg

ds

Ρ = Fdsds

= (d*t) * (1,5 * σ ) = (1,0*0,3)*(1,5*1949,66)

= 877,347 kg


(74)

4. Maka jumlah baut

n =

Pds P

=

877,347

2000

= 2,28 ∞ 4 buah

KONTROL

Sflens = n * Pds

= 4 * 877,347 = 3509,388 kg

Anetto = [(11-(2*1,1))*0,3]+(0,7*0,3/2) = 3,12 cm2

Maka tegangan yang terjadi adalah :

σ =

netto flens

A S

=

12 , 3

388 , 3509


(75)

SAMBUNGAN BADAN #

1. Berdasarkan syarat-syarat sambungan menurut PPBBI 1983 ditentukan :

D D

18 84 18 10 18 84 18

18

84

18

1

45 153

(e=60)

s1 s s1 10s1 s s1

u1

u

u1

Diameter baut yang digunakan pada badan yaitu diameter 12 mm

 2,5 d ≤ s ≤ 7 d atau 14 t 30 ≤ s ≤ 84

Ambil s = 84 mm

 1,5 d ≤ s1 ≤ 3 d atau 6 t

18 ≤ s1 ≤ 36


(76)

 2,5 d ≤ u ≤ 7 d atau 14 t 30 ≤ u ≤ 84

Ambil u = 84 mm

 1,5 d ≤ u1 ≤ 3 d atau 6 t

18 ≤ u1 ≤ 36

Ambil u1 = 18 mm

2. Besarnya momen tambahan (momen sekunder) akibat gaya lintang adalah : Ms = D * e

= 1000 * 6 = 6000 kg

3. Momen yang terjadi pada badan adalah : Mw = 20300,952 kgcm

4. Sehingga total Momen yang harus dipikul oleh sambungan pada badan profil adalah sebagai berikut :

MT = Mw + Ms

= 20300,952 + 6000 = 26300,952 kgcm

5. Menentukan pembebanan pada baut :

Akibat adanya momen adalah sebagai berikut :

RiH = 2 2 Y X

My

+ ∑

RiV = 2 2

Y X

Mx

+ ∑


(77)

6. Akibat adanya gaya lintang (D)

PiV =

n Dv

PiH =

n Dh

maka masing-masing baut ( n = 4 buah ) memikul

PiV =

n Dv

=

4 1000

= 250 kg

7. Menentukan total beban baut akibat momen + lintang adalah : Rbaut = √( RiH ± PiH)2 + (RiV ± PiV)2

8. Tabulasi pembebanan pada baut akibat momen dan lintang sebagai berikut :

No. X Y X2 Y2 RiH RiV PiH PiV Rbaut

1 -4.2 4.2 17.6 17.6 782,323 (782,323) - 250 946,254 2 4.2 4.2 17.6 17.6 782,323 782,323 - 250

1,295.268 3 -4.2 -4.2 17.6 17.6

(782,323))

(782,323) - 250 946,254 4 4.2 -4.2 17.6 17.6

(782,323) 782,323 - 250

1,295.268

∑ 70.6 70.6

Maka pembebanan baut (Rbaut) yang terbesar terletak pada baut no. 2 dan 4, dimana

kemampuan baut = 1295,268 kg,

gs

Ρ = *π* *τ

4 1 *

2 d22

= * * *(0,6* ) 4

1 *

2 π d22 σ

= * *(1,2) *(0,6*1949,66) 4

1 *

2 π 2


(78)

ds

Ρ = Fdsds

= (d*t) * (1,5 * σ ) = (1,2*0,6)*(1,5*1949,66)

= 2105,633 kg

9. Check tegangan kekuatan baut

 Tegangan geser = Rbautmaks/Ageser ≤ Tegangan Ijin Geser

gs

τ = 2

* * ) 4 / 1 ( * 2 d Rbaut Π = 2 ) 2 , 1 ( * * ) 4 / 1 ( * 2 1295,268 Π

= 572,634 kg/cm2 < τgs = 0,6 * σ = 0,6 * 1949,66 = 1169,79

kg

/cm2

 Tegangan tumpu = Rbautmaks/Atumpur ≤ Tegangan Ijin tumpu σds

= Fds Rbaut = 6 , 0 * 2 , 1 1295,634

= 1799,492 kg/cm2 < σds = 1,5 * σ = 1,5*1949,66 = 2924,49 kg/cm2

10. Dari hasil pengujian tarik di laboratorium didapat :

E =

3 13 , 208500 84 , 211628 07 ,

209115 + +

= 209748,013 Mpa


(79)

11. Menentukan inersia profil

Iprofil =

2 )] 3 , 0 * 9 , 4 * 12 1 [( 2 )] 1 * 3 , 0 * 12 1 [( )] 5 , 14 * 6 , 0 * 12 1 [( 2 )] 3 , 0 * 9 , 4 * 12 1 [( 2 )] 1 * 3 , 0 * 12 1 [( 3 3 3 3 3 + + + +

= 0.05 + 0.02205 + 152,43125 + 0.05 + 0.02205

= 152.57535 cm4

12. Dengan Ppatah = 3000 kg dan L = 200 cm, maka lendutan yang terjadi di tengah

bentang jika dihitung secara analitis yaitu :

fanalitis = EI PL3 037 , 0 = ) 57535 , 152 * 10 09 , 2 ( 200 * 3000 * 8 037 , 0 6 3 x = 2,785 cm


(80)

b. Benda Uji 02

Profil : 2 C 145*55*10*3 mm

Dimana : hi = 145 mm

b = 110 mm

tf = 3 mm tw = 6 mm

Pengujian dilakukan dengan memberikan beban pada tengah bentang, dan dari hasil pengujian didapat :

Ppatah = 3500 kg

Factor keamanan yang digunakan adalah sebesar 1,5, sehingga :

Pijin =

5 , 1

patah

P

= 5 , 1 3500

= 2333,333 kg

berdasarkan Pijin ini kita dapat menghitung yaitu :

1. Mmax = *Pijin*l

4 1

...11)

= *2333,333*200 4

1


(81)

2. Dmax = *Pijin

2 1

...12)

= *2333,333 2

1

= 1166,667 kg

3. Menentukan letak garis netral

Yc = 2 1 h = 2 145

= 72,5 mm

4. Menentukan Momen Inersia dari profil

Ix total =

2 )] ) 25 , 7 2 3 , 0 ( * 47 , 1 ( ) 3 , 0 * 9 , 4 * 12 1 [( 2 ] ) 25 , 7 2 1 (( * 1 * 3 , 0 ( ) 1 * 3 , 0 * 12 1 [( )] ) 25 , 7 2 5 , 14 (( * 7 , 8 ( ) 5 , 14 * 6 , 0 * 12 1 [( 2 ] ) 25 , 7 ) 2 3 , 0 5 , 14 (( * 47 , 1 ( ) 3 , 0 * 9 , 4 * 12 1 [( 2 ] ) 25 , 7 ) 2 1 5 , 14 (( * 3 , 0 ( ) 1 * 3 , 0 * 12 1 [( 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 − + + − + + − + + − − + + − − +

= 27,3875 + 148,22745 + 152,43125 + 27,3875 + 148,22745 = 503,6612 cm4

5. Menentukn Momen Inersia dari lubang profil

Ilub prof =

) )) 2 ( 2 1 ( ( * * * 2 ( ) * * 12 1 * 2 ( ) 2 2 ( * * * 4 ( ) * * 12 1 * 4 ( 2 2 3 2 2 1 1 3 1 tf h d tw d tw tf h tf d tf d − + + − + = ) )) 3 , 0 * 2 5 , 14 ( 2 1 (( * 2 , 1 * 6 , 0 * 2 ( ) 2 , 1 * 6 , 0 * 12 1 * 2 ( ) 2 3 . 0 2 5 . 14 ( * 3 , 0 * 2 , 1 * 4 ( ) 3 , 0 * 2 , 1 * 12 1 * 4 ( 2 3 2 3 − + + − +

= 0,0108 +72,5904 + 0,1728 + 69,5556 = 142,3296 cm4


(82)

6. Maka, Inetto = Ixtot – Ilub prof.

= 503,6612 – 142,3296 = 361,3316 cm4

7. W =

h I 2

1 ...5)

Maka, Wnetto =

2 1

01 h Inetto

=

2 5 , 14

361,3316

= 49,839 cm3

8. Dari, Mmax = W * σ...7)

Besarnya σ1 akibat Mmax adalah :

σ1 = W M max

=

49,839

116666,667

= 2340,871 kg/cm2

9. Menentukan besarnya σ2 pada tengah penampang badan dengan cara perbandingan

seharga terhadap σ1

σ2 = * 1 2

2

2 σ

h tpf h

= *2340,871 2

5 , 14

2 3 , 0 2

5 , 14


(83)

10. Besarnya kapasitas dukung sayap terhadap gaya aksial adalah : S = σ2 * Anetto sayap

Dimana, Anetto = [(11-(2*1,2))*0,3]+(0,7*0,3*2) = 3,00 cm2

Sehingga, S = 2292,439 * 3 = 6877,317 kg

11. Maka, Msayap = S * (h-(2*0,5*tf))

= 6877,317 * (14,5 –(2*0,5* 0,3)) = 97657,901 kgcm

12. Sehingga, Mbadan = Mmax - Msayap

= 116666,667 - 97657,901 = 19008,766 kgcm


(84)

# SAMBUNGAN FLENS #

JARAK BAUT, Ø = 12 mm

1. Berdasarkan syarat-syarat sambungan menurut PPBBI 1983 ditentukan :

18 84 181018 84 18

18

84

18

s1 s s1 s1 s s1

u1

u

u1

Diameter baut yang digunakan pada sayap yaitu diameter 12 mm

 2,5 d ≤ s ≤ 7 d atau 14 t 30 ≤ s ≤ 84

Ambil s = 84 mm

 1,5 d ≤ s1 ≤ 3 d atau 6 t

18 ≤ s1 ≤ 36


(85)

 2,5 d ≤ u ≤ 7 d atau 14 t 30 ≤ u ≤ 84

Ambil u = 84 mm

 1,5 d ≤ u1 ≤ 3 d atau 6 t

18 ≤ u1 ≤ 36

Ambil u1 = 18 mm

2. Dari pengujian tarik dilaboratorium didapat

Nilai Tegangan Leleh Benda Uji adalah : σy = 2924,50 kg/cm2

Dengan menggunakan faktor keamanan (FS) = 1,5 maka,

Tegangan Ijin Leleh Benda Uji adalah : σ = 5 , 1

50 , 2924

= 1949,667 kg/cm2

3. Maka : Ρgs = *π*dds 4

1 2

= * *(1,2) *(0,6*1949,66) 4

1 π 2

= 1323,008 kg

ds

Ρ = Fdsds = (d*t)*(1,5*σ)

= (1,2*0,3)*(1,5*1949,66)

= 1052,816 kg


(86)

4. Maka jumlah baut

n = Pgs

P

=

816 , 1052 2333,333

= 2,22 ∞ 4 buah

Sflens = n * Pgs KONTROL

= 4 * 1052,816 kg = 4211,264 kg

Anetto = [(11-(2*1,2))*0,3]+(0,7*0,3*2) = 3,00 cm2

Maka :

σ =

netto flens

A S

=

00 . 3 4211,264


(87)

# SAMBUNGAN BADAN #

1. Berdasarkan syarat-syarat sambungan menurut PPBBI 1983 ditentukan

D D

18 84 18 10 18 84 18

18

84

18

1

45 153

(e=60)

s1 s s1 10s1 s s1

u1

u

u1

Diameter baut yang digunakan pada badan yaitu diameter 12 mm

 2,5 d ≤ s ≤ 7 d atau 14 t 30 ≤ s ≤ 84

Ambil s = 84 mm

 1,5 d ≤ s1 ≤ 3 d atau 6 t

18 ≤ s1 ≤ 36


(88)

 2,5 d ≤ u ≤ 7 d atau 14 t 30 ≤ u ≤ 84

Ambil u = 84 mm

 1,5 d ≤ u1 ≤ 3 d atau 6 t

18 ≤ u1 ≤ 36

Ambil u1 = 18 mm

2. Besarnya momen tambahan (momen sekunder) akibat gaya lintang adalah : Ms = D * e

= 1166,667 * 6 = 7000,002 kg

3. Momen yang terjadi pada badan adalah : Mw = 19008,766 kgcm

4. Sehingga total Momen yang harus dipikul oleh sambungan pada badan profil adalah sebagai berikut :

MT = Mw + Ms

= 19008,766 + 7000,002 = 26008,768 kgcm

5. Menentukan pembebanan pada baut :

Akibat adanya momen adalah sebagai berikut :

RiH = 2 2

Y X

My

+ ∑

RiV = 2 2 Y X

Mx

+ ∑


(89)

6. Akibat adanya gaya lintang (D)

PiV =

n Dv

PiH =

n Dh

maka masing-masing baut ( n = 4 buah ) memikul

PiV =

n Dv

=

4 1166,667

= 291,667 kg

7. Menentukan total beban baut akibat momen + lintang adalah : Rbaut = √( RiH ± PiH)2 + (RiV ± PiV)2

8. Gaya-gaya yang dipikul baut ditabelkan sebagai berikut :

No. X Y X2 Y2 RiH RiV PiH PiV Rbaut

1 -4.2 4.2 17.6 17.6 773,632 (773,632) - 291,667 911,481

2 4.2 4.2 17.6 17.6 773,632 773,632 - 291,667 1,316.575

3 -4.2 -4.2 17.6 17.6 (773,632)) (773,632) - 291,667 911,481

4 4.2 -4.2 17.6 17.6 (773,632) 773,632 - 291,667 1,316.575

∑ 70.6 70.6

Maka pembebanan baut (Rbaut) yang terbesar terletak pada baut no. 2 dan 4, dimana

kemampuan baut = 1316,575 kg,

gs

Ρ = *π*dgs 4

1 *

2 22

= * * *(0.6* ) 4

1 *

2 π d22 σ

= * *(1,2) *(0,6*1949,66) 4

1 *

2 π 2


(90)

ds

Ρ = Fdsds = (d*t)*(1,5*σ)

= (1,2*0,6)*(1,5*1949,66)

= 2105,633 kg

9. Check tegangankekuatan baut

 Tegangan geser = Rbautmaks/Ageser ≤ Tegangan Ijin Geser

τ gs = 2

* * ) 4 / 1 ( * 2 d Rbaut Π = 2 ) 2 , 1 ( * * ) 4 / 1 ( * 2 1316,575 Π

= 582,054 kg/cm2 < τgs= 0,6 * σ = 0,6 * 1949,66 = 1169,79 kg/cm2

 Tegangan tumpu = Rbautmaks/Atumpur ≤ Tegangan Ijin tumpu σds

= Fds Rbaut = 6 , 0 * 2 , 1 1316,575

= 1828,576 kg/cm2 < σds = 1,5*σ = 1,5 * 1949,66 = 2924,49 kg/cm2

10.Dari hasil pengujian tarik di laboratorium didapat :

E =

3 13 , 208500 84 , 211628 07 ,

209115 + +

= 209748,013 Mpa = 2,09 x 106 kg/cm2


(91)

11.Menentukan inersia profil

Iprofil =

2 )] 3 , 0 * 9 , 4 * 12 1 [( 2 )] 1 * 3 , 0 * 12 1 [( )] 5 , 14 * 6 , 0 * 12 1 [( 2 )] 3 , 0 * 9 , 4 * 12 1 [( 2 )] 1 * 3 , 0 * 12 1 [( 3 3 3 3 3 + + + +

= 0.05 + 0.02205 + 152,43125 + 0.05 + 0.02205

= 152.57535 cm4

12.Dengan Ppatah = 3500 kg dan L = 200 cm, maka lendutan yang terjadi di tengah

bentang jika dihitung secara analotis yaitu :

fanalitis = EI PL3 037 , 0 = ) 57535 , 152 * 10 09 , 2 ( 200 * 3500 * 8 037 , 0 6 3 x = 3,249 cm


(92)

c. Benda Uji 03

Profil : 2 C 145*55*10*3 mm

Dimana : hi = 145 mm

b = 110 mm

tf = 3 mm tw = 6 mm

Pengujian dilakukan dengan memberikan beban pada tengah bentang, dan dari hasil pengujian didapat :

Ppatah = 4000 kg

Factor keamanan yang digunakan adalah sebesar 1,5, sehingga :

Pijin =

5 , 1

patah

P

= 5 , 1 4000

= 2666,667 kg

berdasarkan Pijin ini kita dapat menghitung yaitu :

1. Mmax = *Pijin*l

4 1

...11)

= *2666,667 *200 4

1


(93)

2. Dmax = *Pijin

2 1

...12)

= *2666,667 2

1

= 1333,33 kg

3. Menentukan letak garis netral

Yc = 2 1 h = 2 145

= 72,5 mm

4. Menentukan Momen Inersia dari profil

Ix total =

2 )] ) 25 , 7 2 3 , 0 ( * 47 , 1 ( ) 3 , 0 * 9 , 4 * 12 1 [( 2 ] ) 25 , 7 2 1 (( * 1 * 3 , 0 ( ) 1 * 3 , 0 * 12 1 [( )] ) 25 , 7 2 5 , 14 (( * 7 , 8 ( ) 5 , 14 * 6 , 0 * 12 1 [( 2 ] ) 25 , 7 ) 2 3 , 0 5 , 14 (( * 47 , 1 ( ) 3 , 0 * 9 , 4 * 12 1 [( 2 ] ) 25 , 7 ) 2 1 5 , 14 (( * 3 , 0 ( ) 1 * 3 , 0 * 12 1 [( 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 − + + − + + − + + − − + + − − +

= 27,3875 + 148,22745 + 152,43125 + 27,3875 + 148,22745 = 503,6612 cm4

13. Menentukan Momen Inersia dari lubang profil

Ilub prof =

) )) 2 ( 2 1 ( ( * * * 2 ( ) * * 12 1 * 2 ( ) 2 2 ( * * * 4 ( ) * * 12 1 * 4 ( 2 2 3 2 2 1 1 3 1 tf h d tw d tw tf h tf d tf d − + + − + = ) )) 3 , 0 * 2 5 , 14 ( 2 1 (( * 0 , 1 * 6 , 0 * 2 ( ) 0 , 1 * 6 , 0 * 12 1 * 2 ( ) 2 3 . 0 2 5 . 14 ( * 3 , 0 * 2 , 1 * 4 ( ) 3 , 0 * 2 , 1 * 12 1 * 4 ( 2 3 2 3 − + + − +

= 0,0108 + 72,59+0,100+57,963 = 130,6638 cm4


(94)

5. Inetto = Ixtot – Ilub prof.

= 503,6612 – 130,6638 = 372,9974 cm4

6. W =

h I 2

1 ...5)

Maka, Wnetto =

2 1

01 h Inetto

=

2 5 , 14

372.9974

= 51,4479 cm3

7. Dari, Mmax = W * σ ...7)

Besarnya σ1 akibat Mmax adalah :

σ1 = W M max

=

51,4479 133333,333

= 2591,619 kg/cm2

8. Menentukan besarnya σ2 pada tengah penampang badan dengan cara

perbandingan seharga terhadap σ1

σ2 = * 1 2

2

2 σ

h tpf h

= *2591,619 2

5 , 14

2 3 , 0 2

5 , 14


(1)

(2)

Gambar 5. Hasil Benda Uji setelah dilakukan Pengujian


(3)

(4)

(5)

(6)