Gaya Hidup Remaja Pedesaan (Studi di Desa Sukaraya, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara)

Hastuti dan Sudarwati, Gaya Hidup Remaja Pedesaan...

GAYA HIDUP REMAJA PEDESAAN
(Studi di Desa Sukaraya, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang,
Sumatera Utara)
Sri Hastuti
Lina Sudarwati
Abstract: Lifestyle can be identified with certain expressions and symbols to show who
we are and in what group we relate to. Lifestyles nowadays have eliminated local and
national boundaries, because the wave of lifestyles can easily spread through the media,
even to village areas. Mass media and peer group has enormous effects to the lifestyle of
teenagers nowadays. Luckily, there are still religious values and family values.
Nevertheless, there is no doubt that the lifestyle of village teenagers these days have
transformed. And the transformation is surely interesting to observe. It is interesting to
see how teenager’s today dress and act like one of the celebrities they admire. They even
imitate the celebrities’ lifestyle and way of living. If the celebrities happen to be conform,
this shouldn’t be a problem. But how if the opposite?
Keywords: lifestyle, village, teenagers, media
PENDAHULUAN
Gaya hidup dapat diidentikkan dengan
suatu ekspresi dan simbol untuk menampakkan

identitas diri atau identitas kelompok. Gaya hidup
dipengaruhi oleh nilai-nilai tertentu dari agama,
budaya, dan kehidupan sosial, demi menunjukkan
identitas diri melalui ekspresi tertentu yang
mencerminkan perasaan.
Gaya hidup saat ini telah menghilangkan
batas-batas budaya lokal, daerah, maupun
nasional karena arus gelombang gaya hidup
global dengan mudahnya berpindah-pindah
tempat melalui perantara media massa. Gaya
hidup yang berkembang lebih beragam, tidak
hanya dimiliki oleh suatu masyarakat saja. Hal
tersebut karena gaya hidup dapat ditularkan dari
satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui
media komunikasi (Rasyid, 2005: 1).
Perkembangan yang bisa dianggap
menonjol dalam pergeseran gaya hidup yang
melanda kalangan remaja Indonesia adalah gaya
hidup mereka yang secara umum cenderung
dipengaruhi oleh gaya Barat, khususnya dari

Amerika Serikat. Namun, selain itu ada juga
sekelompok remaja yang gaya hidupnya
dipengaruhi oleh nilai-nilai agama tertentu
(Islam).
Pengaruh gaya hidup Barat tersebut,
antara lain, terlihat dari cara berpakaian serba
minim yang dianggap sebagai trend berpakaian
modern, penggunaan berbagai pernak-pernik
buatan luar negeri, kegemaran terhadap musik

dan film yang berasal dari Barat, serta mulai
diterapkannya nilai-nilai pergaulan ala Barat
dalam keseharian. Meski demikian, ada juga
remaja yang berpegang teguh pada nilai-nilai
agama (khususnya agama Islam) dan masih
menjunjung tinggi budaya Indonesia, misalnya
dengan tetap menggunakan busana muslim dan
muslimah, menyukai lagu-lagu religius, serta
mempertahankan nilai-nilai budaya Indonesia
saat bergaul dengan orang lain.

Gaya hidup remaja pedesaan pada masa
dahulu selalu diidentikkan dengan gaya hidup
yang dipengaruhi oleh nilai agama dan budaya
setempat, misalnya saja dalam hal berpakaian
terkesan sederhana dan tidak mengikuti mode
karena belum terlalu berkembangnya media
massa di pedesaan. Dalam pilihan hiburan,
mereka umumnya menyukai musik atau lagu
tradisional dari daerahnya, serta menyukai film
dalam negeri. Pergaulan remaja pria dan
perempuan pun tidak sebebas sekarang, tidak
boleh berpegangan tangan di tempat umum,
remaja pria tidak bebas berkunjung ke rumah
remaja perempuan, pergaulan remaja pria dan
perempuan masih sangat tabu. Peranan keluarga
dan orang tua sangat penting dalam pembentukan
kepribadian.
Namun, seiring perkembangan arus
urbanisasi dan penetrasi media, keunikan gaya
hidup tadi semakin memudar. Bahkan kini sulit

untuk membedakan identitas remaja desa dan
kota bila hanya sekedar melihat gaya hidupnya
saja. Setiap enam bulan sekali, industri mode

Sri Hastuti adalah Alumni Departemen Sosiologi FISIP USU
Lina Sudarwati adalah Dosen Departemen Sosiologi FISIP USU Medan
69
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

mengeluarkan tawaran mereka mengenai apa
yang akan paling terbaru saat enam bulan
mendatang. Dan inilah yang berusaha untuk
diikuti oleh kalangan remaja agar mereka tidak
dianggap ketinggalan zaman. Julukan modis,
trendy, kosmopolitan dianggap sebagai simbol
bahwa seseorang lebih mengikuti perkembangan
zaman. Dalam hal ini bagi remaja disimbolkan
dengan gaya hidupnya yang sesuai dengan trend

gaya hidup masa kini baik cara berpakaian, cara
berbicara, selera terhadap musik atau hiburan.
Jika dulu remaja perempuan maupun
laki-laki di desa cara berpakaian, berbicara, tata
krama serta bergaul dengan lawan jenis merujuk
sesuai norma-norma setempat misalnya remaja
putri selalu memakai kain atau rok, saat ini
mungkin lebih sering memakai celana jeans
karena dianggap lebih praktis mendukung
aktivitas di luar rumah, mereka bersikap sopan
santun dan tabu bergaul dengan lawan jenis.
Sedangkan pada remaja pria desa dahulu
menggunakan celana panjang, sarung, berkopiah,
juga bersopan santun dan menjaga pergaulan
dengan lawan jenis. Namun sekarang karena
pengaruh media dan kota cenderung terjadi
perubahan gaya hidup di kalangan remaja desa
dan itu terlihat dari gaya berpakaian, pergaulan
yang sedang trend di kalangan remaja pedesaan.
Perubahan gaya hidup Timur ke gaya

hidup Barat yang mempengaruhi kalangan remaja
melalui media, di mana sekarang remaja dapat
mengetahui semua yang terjadi di bagian dunia
lain dengan mudah. Dengan cara mengakses
informasi dari media televisi dan menyaksikan
gaya hidup yang dipertontonkan oleh kalangan
selebriti atau idola-idola remaja masa kini yang
kerap kali menjadi simbol identitas atau
identifikasi jati diri remaja masa kini.
Perubahan gaya hidup pada remaja
sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia
remaja sebagai usia peralihan dalam mencari
identitas diri. Remaja ingin diakui eksistensinya
oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian
dari lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima
dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya
itu menyebabkan remaja berusaha untuk
mengikuti berbagai atribut gaya hidup yang
sedang in. Remaja dalam perkembangannya dan
emosinya masih memandang bahwa atribut yang

superfisial itu sama penting (bahkan lebih
penting) dengan substansi. Apa yang dikenakan
oleh seorang artis yang menjadi idola para remaja
menjadi
lebih
penting
(untuk
ditiru)

70

dibandingkan dengan kerja keras dan usaha yang
dilakukan artis idolanya itu untuk sampai pada
kepopulerannya.
Remaja desa, dengan berbagai perubahan
dalam gaya hidupnya jelas merupakan sesuatu
yang sangat menarik untuk dikaji. Bagaimanakah
gambaran perubahan gaya hidup itu sendiri dan
apakah yang mempengaruhinya. Inilah yang
hendak diteliti lebih lanjut.

Berdasarkan uraian di atas, maka
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Bagaimanakah gaya hidup di kalangan remaja
Desa Sukaraya saat ini dan mengapa gaya hidup
seperti itu berkembang?”
PEMBAHASAN
Gaya Hidup
Istilah gaya hidup (lifestyle) sekarang ini
kabur. Sementara istilah ini memiliki arti
sosiologis yang lebih terbatas dengan merujuk
pada gaya hidup khas dari berbagai kelompok
status tertentu, dalam budaya konsumen
kontemporer istilah ini mengkonotasikan
individualitas, ekspresi diri, serta kesadaran diri
yang semu. Tubuh, busana, bicara, hiburan saat
waktu luang, pilihan makanan dan minuman,
rumah, kendaraan dan pilihan hiburan, dan
seterusnya dipandang sebagai indikator dari
individualitas selera serta rasa gaya dari pemilik
atau konsumen (Fatherstone, 2005: 201).

Weber mengemukakan bahwa persamaan
status dinyatakan melalui persamaan gaya hidup.
Di bidang pergaulan gaya hidup ini dapat
berwujud pembatasan terhadap pergaulan erat
dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain
adanya pembatasan dalam pergaulan, menurut
Weber kelompok status ditandai pula oleh adanya
berbagai hak istimewa dan monopoli atas barang
dan kesempatan ideal maupun material.
Kelompok status dibeda-bedakan atas dasar gaya
hidup yang tercermin dalam gaya konsumsi.
Weber mengemukakan bahwa kelompok status
merupakan pendukung adat, yang menciptakan
dan melestarikan semua adat-istiadat yang
berlaku dalam masyarakat (Sunarto, 2000: 93).
Perbedaan gaya hidup ini tidak hanya
dijumpai pada hierarki prestise, tetapi juga pada
hierarki kekuasaan dan privilise. Kita melihat
bahwa setiap kelas sosial pun menampilkan gaya
hidup yang khas. Ogburn dan Nimkoff (1958)

menyajikan suatu sketsa dari majalah Life yang
menggambarkan bahwa lapisan bawah (low-

Universitas Sumatera Utara

Hastuti dan Sudarwati, Gaya Hidup Remaja Pedesaan...

brow), menengah bawah (lower middle-brow),
menengah atas (upper middle-brow) dan atas
(high-brow). Masing-masing mempunyai selera
yang khas dalam pakaian, hiburan, perlengkapan
rumah tangga, makanan, minuman, bacaan, selera
seni dan musik.
Gaya hidup adalah suatu titik tempat
pertemuan antara kebutuhan ekspresi diri dan
harapan kelompok terhadap seseorang dalam
bertindak, yang tertuang dalam norma-norma
kepantasan. Terdapat norma-norma kepantasan
yang diinternalisasikan dalam diri individu,
sebagai standar dalam mengekspresikan dirinya.

Estetikasi realitas melatarbelakangi arti
penting gaya yang juga didorong oleh dinamika
pasar modern dengan pencarian yang konstan
akan adanya model baru, gaya baru, sensasi dan
pengalaman baru.
Berdasarkan penelitian Lucky Lutvia
mengenai gaya hidup remaja di Kota Bandung,
disimpulkan bahwa remaja saat ini dipengaruhi
oleh hal-hal berikut:
1. Transformasi Budaya
Budaya massa atau budaya populer yang
berkembang melalui media massa elektronik
dan cetak sangat berpengaruh terhadap
pilihan gaya hidup seseorang, misalnya gaya
berbusana, gaya berbicara atau bahasa, selera
hiburan seperti musik dan film. Trend tersebut
begitu bebas mengalir mempengaruhi setiap
pemirsa maupun pembacanya, ditambah lagi
dengan acara musik dari luar negeri yang
diolah dalam video klip televisi, yang secara
visual bisa kita lihat penampilan penyanyi
dan pemain musiknya. Cara mereka
berdandan dan berbusana sudah pasti sesuai
dengan budaya mereka (Lutvia, 2001: 34).
2. Mengadopsi Gaya dari Barat
Ini banyak dipengaruhi oleh selebritis dalam
negeri melalui iklan-iklan, film, dan sinetron
yang dilihat dan akhirnya ditiru oleh remaja.
Seperti istilah gaya funky, punk rock, metal,
skaters, hip hop, sporty, streetwear, dan ska
beserta penggunaan aksesorisnya yang
mereka
tiru
sebagai
usaha
untuk
mengaktualisasikan dirinya serta seolah-olah
ingin mensejajarkan diri dengan bintang
idolanya. Walaupun begitu remaja juga ada
yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama,
budaya dan kehidupan sosialnya.
Sedangkan menurut Purnomo Mangku
(2004) Gaya hidup masyarakat desa dipengaruhi

juga oleh mobilitas geografis seperti urbanisasi,
imigrasi. Mobilitas geografis yang dimaksud
adalah suatu keadaan di mana seseorang pernah
menetap di luar tempat tinggalnya. Mobilitas
geografis seseorang ke kota, misalnya, dapat
mempengaruhi gaya hidup karena kota dianggap
merupakan suatu tempat yang memungkinkan
seseorang yang bersinggungan dengannya
mendapatkan perluasan atau penambahan
berbagai macam pengalaman dan pengetahuan
baru. Ini terkait dengan realitas bahwa kota
memiliki keanekaragaman budaya yang dapat
ditiru oleh orang desa (Purnomo, 2004: 10).
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya
mengenai suatu gaya hidup, yang membedakan
penelitian ini adalah gaya hidup remaja pedesaan.
Penelitian ini mengkaji perubahan yang terjadi
dalam gaya hidup remaja Desa Sukaraya yaitu
perubahan penampilan, perilaku kehidupan
sehari-hari, tata krama dan selera hiburan remaja
desa, yang dipengaruhi oleh media dan interaksi
mereka dengan remaja kota serta untuk
menunjang pergaulan mereka dalam kelompok
remaja agar mereka tidak disebut kampungan.
Gaya Hidup Remaja Masa Kini
Dalam ilmu-ilmu sosial, studi atas remaja
pertama kali dilakukan oleh sosiolog Talcott
Parsons pada awal 1940-an. Berbeda dengan
anggapan umum bahwa remaja adalah kategori
yang bersifat alamiah dan dibatasi secara biologis
oleh usia, menurut Parsons remaja adalah sebuah
sebuah konstruksi sosial yang terus-menerus
berubah sesuai dengan waktu dan tempat (Barker,
2000 dalam Antariksa, 2005: 2).
Remaja adalah suatu fase dalam
kehidupan manusia di mana ia tengah mencari
jatidirinya dan biasanya dalam upaya pencarian
jatidiri tersebut ia mudah untuk terikut dan
terimbas hal-hal yang tengah terjadi di
sekitarnya, sehingga turut membentuk sikap dan
pribadi mereka.
Grossberg (1992) menganggap bahwa
yang menjadi persoalan adalah bagaimana
kategori remaja diartikulasikan dalam wacanawacana lain, misalnya musik, gaya hidup,
kekuasaan, harapan, masa depan dan sebagainya.
Jika orang-orang dewasa melihat masa remaja
sebagai masa transisi, menurut Grossberg remaja
justru menganggap posisi ini sebagai sebuah
keistimewaan di mana mereka mengalami sebuah
perasaan yang berbeda, termasuk di dalamnya

71
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

hak untuk menolak melakukan rutinitas
keseharian yang dianggap membosankan.
Hampir sama dengan pendapat itu, Dick
Hebdige dalam Hiding in the Light (1988)
menyatakan bahwa remaja telah dikonstruksikan
dalam wacana “masalah” dan “kesenangan”
(remaja sebagai pembuat masalah dan remaja
yang hanya gemar bersenang-senang). Misalnya,
dalam kelompok pendukung sepakbola dan genggeng, remaja selalu diasosiasikan dengan
kejahatan dan kerusuhan. Di pihak lain, remaja
juga direpresentasikan sebagai masa penuh
kesenangan, di mana orang bisa bergaya dan
menikmati banyak aktivitas waktu luang.
Remaja dalam kebudayaan populer dapat
kita temukan dalam berbagai cerita yang
menjadikan remaja sebagai pahlawannya atau
lagu-lagu yang bertema masalah yang dihadapi
remaja, informasi yang mengungkap mode dan
gaya hidup lainnya untuk remaja. Tetapi yang
utama bukan unsur yang mengandung
keremajaan itu, melainkan golongan remaja
sebagai pembeli. Menjadikan mereka sebagai
pelaku, atau masalah mereka sebagai fokus,
dengan sendirinya akan menggampangkan
pemasaran suatu produk kebudayaan populer.
Berbagai media informasi menciptakan
citra diri sebagai bagian kehidupan remaja kelas
atas ini yang umumnya menginformasikan
berbagai tata cara bergaul maupun perlengkapan
hobi yang relevan bagi remaja. Sampai aksesoris
yang cocok digunakan dalam berbagai
kesempatan, merupakan informasi yang dianggap
layak berita. Atau cerita para idola remaja yang
mendominasi dunia hiburan yang gaya hidupnya
sering mereka tiru.
Dunia musik populer sebagaimana
halnya juga film, tak bisa terlepas dari pelakunya
yaitu penyanyi dan pemain. Pelaku ini juga
menjadi bagian dari gaya hidup yang ditawarkan
kepada para remaja. Penyanyi dan bintang remaja
yang tampil, untuk memenuhi impian masa
remaja, mestilah cantik dan tampan. Di luar
liriknya, musik populer juga dapat mengacu
kepada gaya hidup tertentu. Dan yang berfungsi
di sini adalah ritme yang dapat digunakan untuk
tarian tertentu. Ritme disco, misalnya, mengacu
kepada gaya hidup kota sementara dangdut untuk
kelompok pinggiran.
Lirik lagu populer umumnya dalam
bahasa Indonesia yang tidak mengacu kepada
salah satu gaya tertentu. Baru setelah melalui
pemancar-pemancar radio swasta, lagu-lagu ini

72

diantarkan dengan dialek Jakarta. Bahkan bagi
penyiar di radio swasta di kota kabupaten
pedalaman Jawa Tengah pun dialek Jakarta ini
sudah menjadi semacam keharusan dalam
mengantarkan lagu-lagu populer, terutama untuk
acara-acara pilihan pendengar.
Dialek ini tidak mengacu kepada subbudaya Betawi, tetapi kepada dialek Jakarta yang
biasa digunakan remaja gedungan. Dengan
begitu radio-radio swasta ini, sampai ke
pedalaman, telah menopang lagu-lagu populer
Indonesia dengan gaya hidup khas Kota Jakarta,
dalam hal ini remaja kelas atasnya (Ibrahim,
1997: 232-236).
Norma Masyarakat dan Gaya Hidup
Menurut
Weber,
konsumsi
juga
merupakan gambaran gaya hidup tertentu dari
kelompok status tertentu. Konsumsi terhadap
barang merupakan landasan bagi penjenjangan
dari kelompok status, konsumsi juga dapat
dijadikan penggunaan barang-barang simbolik
kelompok tertentu. Dengan demikian ia
dibedakan
dari
kelas
yang
landasan
penjenjangannya adalah hubungan terhadap
produksi dan perolehan barang-barang. Dalam
hal ini konsumsi seseorang menentukan gaya
hidup seseorang. Karena penggunaan barangbarang simbolik itu tadi seperti pemilihan
konsumsi gaya berpakaian, selera dalam hiburan,
selera konsumsi terhadap makanan dan minuman
menentukan dari kelas mana ia berada.
Konsumsi atau perbedaan selera terhadap suatu
barang juga dapat menggeser norma yang ada di
dalam suatu masyarakat. Norma budaya dan
agama tidak lagi dijadikan pedoman dalam
berperilaku, suatu masyarakat yang tadinya
merasa segan untuk menunjukkan kekayaan
miliknya sekarang tidak segan dengan
mengkonsumsi barang-barang tertentu ia ingin
menunjukkan identitas dirinya misalnya saja
masyarakat abangan yang memiliki selera
mengkonsumsi barang-barang dari produk Barat.
Masyarakat abangan dengan pengaruh
media informasi banyak mengikuti gaya
berpakaian yang mengikuti dunia barat karena
pada masyarakat abangan dalam hubungan
manusia dengan agama bukan merupakan
keharusan agama tidak harus menjadi tuntutan
perilaku, ia digantikan oleh etika sosial yang
dikonstruksi
masyarakat
atas
kenyataan.
Misalnya wanita abangan menggunakan tank top,
rok mini, celana jeans, gaya rambut rebonding,

Universitas Sumatera Utara

Hastuti dan Sudarwati, Gaya Hidup Remaja Pedesaan...

selera musik rock, atau pop. Pria abangan
menggunakan celana hipster, baju berlapis-lapis
atau disebut anak skaters, rambut model
Mohawk.
Masyarakat santri adalah kebalikannya,
hubungan antara manusia dan agama merupakan
kemutlakan. Agama haruslah menjadi tuntunan
perilaku. Ia menjadi rujukan apakah suatu perilaku
itu baik atau tidak. Perkembangan masyarakat santri
telah pula menyebabkan menjamurnya rumahrumah mode yang khusus memperdagangkan
busana muslim dan muslimah.
Berkembangnya toko-toko yang khusus
menjual produk-produk yang berhubungan
dengan simbol-simbol keagamaan seperti bukubuku, pakaian yang dinilai islami, gantungan,
kunci, stiker. Perkembangan teknologi informasi
bukan hanya menawarkan gaya pakaian muslim
dan muslimah tetapi juga semakin maraknya
film-film Islami di televisi, dan lagu-lagu Islami.
Bahkan acara reality show pencarian da’i.
Gaya Hidup Masyarakat Desa dan Interaksinya
dengan Masyarakat Kota
Sepanjang
masa,
sebagian
besar
komunitas desa di Indonesia, dari daerah Aceh
hingga Irian Jaya, telah di dominasi kekuasaan
pusat tertentu sejak zaman kejayaan kerajaankerajaan tradisional atau zaman penjajahan
Belanda atau Inggris, dan banyak pula yang
mengalaminya sejak beberapa waktu tahun
terakhir ini. Dengan demikian, juga karena makin
berkembangnya kesempatan dan prasarana untuk
suatu gaya hidup dengan mobilitas geografikal
yang tinggi, pada waktu sekarang ini hampir
tidak ada lagi komunitas desa bersahaja, yang
terisolasi dari negara kita ini, yaitu desa yang
penduduknya tidak sadar akan dunia luar di desa
itu. Misalnya banyak orang pedesaan, bagian dari
peradaban-peradaban kuno, yang menggarap
tanah mereka sebagai mata pencaharian hidup,
dan mempunyai cara hidup yang tradisional.
Mereka itu berorientasi terhadap pengaruh oleh
suatu golongan priayi di kota yang mempunyai
cara hidup yang sama seperti mereka walaupun
dalam bentuk yang lebih beradab.
Perbedaan konsep masyarakat desa dan
kota menurut Durkheim adalah solidaritas
mekanis untuk masyarakat desa, dan solidaritas
organis untuk masyarakat kota. Sedangkan
menurut Tonnies membedakan masyarakat desa
dan kota dengan gesselschaft dan gemeinschaft.
Konsep tentang desa dan masyarakatnya saat ini

telah mengalami perubahan yang cukup besar
akibat berkembangnya teknologi dan informasi.
Sentuhan kebudayaan kota menjadikan desa tidak
lagi terbatas oleh teritorial namun meluas, dan
beda antara desa dengan kota kecil. Bahkan ciri
desa telah mampu melampaui perkembangan
penyiaran TV, dan berbagai media lainnya. Oleh
karena itu menganggap desa sebagai masyarakat
statis jauh dari perubahan dan selalu tentram
tentu keliru (Purnomo, 2004: 9).
Satu abad yang lalu masyarakat desa dan
kota perbedaannya masih amat menonjol, karena
pada waktu itu masyarakat desa masih tinggal
statis. Sedangkan saat ini banyak masyarakat
desa melakukan urbanisasi membawa ciri-ciri
dan terutama karakteristik pedesaan ke kota.
Maka dari itu, pada masa sekarang menjadi amat
sukar untuk membedakan antara masyarakat desa
dan masyarakat kota, kecuali hanya dalam hal-hal
seperti jumlah pendudukan, heterogenitas
penduduk, dan tingkat teknologi modern.
Adapun jenis penelitian ini adalah
penelitian studi deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dapat
diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan
data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari
apa yang diamati. Penelitian deskriptif ini
digunakan
untuk
menggambarkan
atau
melukiskan apa yang diteliti dan berusaha
memberikan gambaran yang jelas mengenai apa
yang menjadi pokok penelitian. Berkenaan
dengan penelitian ini sebagai studi deskriptif
maka penelitian ini akan menggambarkan atau
mendeskripsikan gaya hidup remaja desa
Sukaraya saat ini dan yang menyebabkan gaya
hidup seperti itu berkembang.
Yang menjadi unit analisis dalam subyek
penelitian ini adalah seluruh warga Desa
Sukaraya. Sedangkan sebagai informan dari
penelitian ini adalah kaum remaja dan orang tua
yang memiliki anak remaja di Desa Sukaraya
tersebut. Informan dipilih atas pertimbangan dan
kriteria tertentu yang telah ditetapkan oleh
peneliti.
Adapun
kriteria
informan
dalam
penelitian ini adalah:
1. Informan kunci yaitu mereka yang
mengetahui dan memiliki berbagai informasi
pokok yang diperlukan dalam penelitian.
Perangkat desa dan tokoh masyarakat Desa
Sukaraya, atau warga masyarakat biasa yang
mempunyai anak remaja. Informan dipilih
yang dianggap mengetahui mengenai

73
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

berbagai aspek gaya hidup remaja di Desa
Sukaraya.
2. Informan utama yaitu mereka yang terlibat
langsung dalam interaksi sosial yang diteliti.
a. Remaja laki-laki atau perempuan.
b. Remaja yang berusia 13–21 tahun,
sebagai patokan umum di Indonesia
seorang anak memasuki masa remaja
pada usia 13 tahun dan berakhir pada saat
ia dianggap dapat berdiri sendiri yaitu
secara hukum pada usia 21 tahun.
c. Remaja yang masih menjadi tanggungan
orang tua atau belum menikah.
d. Dalam kesehariannya mencerminkan
gaya hidup ala Barat atau Islami.
DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
Sebagian besar informan kunci yang
terdiri atas perangkat desa dan warga masyarakat
yang memiliki anak berusia remaja, menganggap
bahwa model pakaian dan gaya remaja-remaja
saat ini masih bisa diterima dan wajar. Sebagian
lagi berpendapat model pakaian remaja sekarang
terlalu mengikuti trend dari negara Barat. Ada
yang mereka sukai, tapi ada juga yang tidak
disukai.
Seluruh informan sepakat bahwa remaja
sekarang seharusnya tidak terlalu berkiblat pada
negara Barat dalam hal trend gaya berpakaian
maupun gaya hidup. Ini karena banyak di
antaranya yang tidak sesuai dengan budaya
Timur dan nilai-nilai agama (Islam).
Memang, gaya remaja saat ini sudah
banyak berubah dibanding gaya hidup remaja
dahulu. Perubahan merupakan sesuatu yang harus
terjadi, namun menurut para informan, perubahan
tetap harus diwaspadai agar tidak merusak
prinsip dan nilai yang diyakini.
Menanggapi
berbagai
perubahan
dimaksud, sebagian informan yakin bahwa tidak
ada yang perlu dikhawatirkan karena remaja pasti
bisa membedakan antara yang baik dan buruk.
Tapi ada juga yang merasa khawatir karena
remaja sangat rentan terhadap pengaruh
perubahan.
Media massa dan teman sebaya memiliki
pengaruh besar terhadap gaya hidup remaja saat
ini. Untungnya, masih ada nilai-nilai agama serta
lingkungan keluarga yang diharapkan menjadi
bekal bagi remaja untuk memilih yang terbaik
bagi mereka. Nilai-nilai agama (Islam) ternyata
juga masih menjiwai keseharian masyarakat desa

74

Sukaraya. Terbukti, masih banyak remaja yang
memilih menggunakan busana muslim/muslimah
dalam penampilannya sehari-hari. Penampilan
tersebut dipilih karena sesuai dengan nilai yang
dianut.
Pilihan menggunakan busana muslim/
muslimah, selain dilatari keinginan atau niat
pribadi yang bersesuaian dengan ajaran Islam,
juga disebabkan oleh lingkungan pergaulan yang
menjadi panutan berperilaku. Faktor keluarga
tampaknya turut pula memberikan pengaruh.
Semua
informan
sepakat
bahwa
pergaulan remaja berlawanan jenis saat ini akrab,
bahkan mungkin terlalu akrab. Mereka bergaul
dengan bebas, berkumpul bersama, dan bersenda
gurau. Untungnya, sepengetahuan informan,
belum ada kabar tentang pergaulan remaja yang
kelewat batas hingga melakukan hal-hal yang
tidak pantas (seks bebas).
Mengenai norma pergaulan remaja desa
saat ini orang tua mengaku membolehkan anak
mereka bergaul akrab dengan lawan jenis,
mereka boleh mengadakan acara kumpul
bersama, dan bersenda gurau. Tapi ada batasan
yang tidak boleh dilanggar. Misalnya dilarang
berdua-duaan di tempat sepi dan ada jam malam
atau batas keluar malam dengan lawan jenis.
Mengenai perayaan ulang tahun,
informan mengaku tidak berkeberatan. Tapi
tentang Valentine, informan menganggapnya
sebagai bagian dari budaya Barat yang
bertentangan dengan budaya kita.
Berbicara mengenai cara menghabiskan
waktu luang, menurut informan, remaja Desa
Sukaraya suka menonton film di bioskop,
berkumpul dengan teman sebaya, jalan-jalan ke
pusat perbelanjaan, membaca buku atau belajar
berkelompok.
Tata krama dalam pergaulan masih tetap
bisa dipertahankan oleh remaja Desa Sukaraya.
Hal tersebut tampak dari sikap dan cara
berkomunikasi yang cukup santun.
Terhadap orang tua pun sikap dan gaya
bicara remaja cukup sopan. Hanya saja, mereka
sekarang sudah berani mendebat orang tua bila
merasa ada hal-hal yang tidak sesuai dengan
aspirasi mereka. Remaja juga lebih berani
mempertahankan pendapat.
Terjadinya perubahan gaya hidup remaja
di desa Sukaraya dalam hal ini gaya
berpenampilan, pergaulan sehari-hari, hiburan
dan tata krama. Gaya berpakaian remaja putri
yang menyukai jeans dan berpakaian modis yang

Universitas Sumatera Utara

Hastuti dan Sudarwati, Gaya Hidup Remaja Pedesaan...

dianggap mengikuti perkembangan zaman, serta
remaja pria yang menyukai pakaian-pakaian yang
sedang trend seperti Skaters dan celana pendek
atau Hiphop. Kebebasan mereka bergaul akrab
dengan lawan jenis. Cara mereka menghabiskan
waktu luang dan tata krama kepada orang tua
yang sudah lebih berani. Hal ini dikarenakan
memudarnya norma-norma masyarakat Desa
Sukaraya sehingga memudahkan masuknya
pengaruh budaya luar ke Desa Sukaraya.
Memudarnya
norma-norma
pada
masyarakat Desa Sukaraya terjadi karena
berkurangnya peran tokoh masyarakat dan tokoh
agama terhadap kontrol gaya hidup remaja di
Desa Sukaraya. Saat ini peran tokoh masyarakat,
tokoh agama hanya berperan dalam mengambil
keputusan untuk pembangunan desa yang
tersruktur dalam BPD, tidak lagi menjadi kontrol
moral atau kontrol gaya hidup masyarakatnya
khususnya remajanya. Hal ini juga dikarenakan
masyarakat Desa Sukaraya yang saat ini sudah
heterogen. Anak-anak dan remaja hanya menjadi
perhatian orang tua dan keluarganya, dan saat ini
orang tua bisa menerima perubahan gaya hidup
tersebut.
Perubahan gaya hidup remaja Desa
Sukaraya saat ini dalam hal berpakaian,
berbicara, pergaulan menurut para orang tua saat
ini masih dianggap wajar dan bisa diterima.
Karena perkembangan zaman yang terjadi tidak
bisa dipungkiri, remaja saat ini tidak bisa
dikekang lagi seperti remaja desa dahulu mereka
merasa memiliki kebebasan untuk berekspresi
dan mempertahankan pendapat mereka. Orang
tua dalam menanggapi hal ini bersikap bijaksana,
selama mereka tidak melanggar norma-norma
agama dan kesopanan perubahan tersebut tidak
menjadi masalah yang perlu dikhawatirkan.
Remaja memang bukan lagi anak-anak.
Tapi, mereka juga belum cukup untuk menjadi
seorang dewasa. Remaja hadir dengan segala
permasalahan mereka dan kadang bisa jauh lebih
pelik jika dilihat dari kaca mata mereka sendiri.
Sayangnya, tak banyak orang tua yang bisa
memahaminya dan justru menganggapnya
sebagai masalah sepele yang bisa lenyap dengan
sendirinya.
Padahal, yang paling penting adalah
komunikasi. Berkomunikasi dengan remaja
merupakan suatu cara yang paling efektif untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tentu
saja komunikasi di sini harus bersifat dua arah,

artinya kedua belah pihak harus mau saling
mendengarkan pandangan satu dengan yang lain.
Dengan melakukan komunikasi orang tua
dapat mengetahui pandangan-pandangan dan
kerangka berpikir anaknya, dan sebaliknya anakanak juga dapat mengetahui apa yang diinginkan
oleh orang tuanya. Kebingungan seperti yang
disebutkan di atas mungkin tidak perlu terjadi
jika ada komunikasi antara remaja dengan orang
tuanya. Komunikasi di sini tidak berarti harus
dilakukan secara formal, tetapi bisa saja
dilakukan sambil makan bersama atau selagi
berlibur sekeluarga.
Keluarga yang memberikan kehangatan
serta ikatan emosi dalam kadar yang tidak
berlebihan dan senantiasa memberikan dukungan
positif, cenderung membantu remaja mengembangkan
ikatan lain di luar keluarga secara lebih baik. Ia
mampu menentukan kapan ia harus mengikuti
teman sebaya dan kapan harus menolak ajakan
dari teman-temannya. Selain itu, ia juga tidak
merasa perlu untuk sangat ‘tergantung’ pada
teman sebayanya agar keberadaan dirinya diakui.
Remaja seperti ini biasanya cenderung akan
terbebas dari pengaruh negatif.
Gaya hidup yang ditawarkan oleh media
modern (cetak, elektronik, internet) sebenarnya
adalah ajakan bagi khalayaknya untuk memasuki
apa yang disebut budaya konsumer. Oleh Lury
(1998), budaya konsumer diartikan sebagai
‘bentuk budaya materi’, yakni budaya pemanfaatan
benda-benda, terutama pendukung penampilan.
Budaya konsumer dicirikan dengan
peningkatan gaya hidup (lifestyle). Justru,
menurut Lury, proses pembentukan gaya hidup
merupakan hal terbaik yang mendefinisikan
budaya konsumer. Dalam budaya konsumer
kontemporer, istilah itu bermakna individualitas,
pernyataan diri dan kesadaran diri. Dalam hal ini,
tubuh, pakaian, aksesoris, pemanfaatan waktu
senggang, pilihan makanan dan minuman, rumah,
mobil, pilihan hiburan/liburan, dan lain-lain
menjadi indikator cita rasa individualitas dan
gaya hidup seseorang.
Demikian pula yang ditemukan di Desa
Sukaraya, model pakaian yang disukai oleh
sebagian besar informan biasa umumnya adalah
pakaian yang nyaman untuk dipakai, modis, dan
trendy. Ada juga yang menyatakan bahwa
mereka menyukai pakaian yang mengikuti trend
dari Barat yang dilihat melalui media remaja
seperti Kawanku, Gadis, Aneka yess, Hai dan
Cosmo girl dan iklan gaya hidup yang

75
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

menawarkan merk-merk dari luar. Namun,
sebagian menyatakan, mereka tetap lebih
memilih pakaian muslim dan muslimah.
Perkembangan media dan teknologi
informasi memudahkan masuknya pengaruh gaya
hidup global ke desa melalui media yang mereka
lihat, baca dan dengar sehingga mempengaruhi
gaya hidup remaja desa saat ini. Yang akhirnya
mereka tiru dan ikuti sebagai usaha untuk
mengaktualisasikan identitas dirinya seperti yang
ada di media tersebut.
Mereka yang gemar mengikuti trend
berpakaian ala Barat yang mereka ikuti dari
tokoh idolanya di televisi dan majalah remaja
biasanya juga suka mengganti-ganti model
rambutnya sesuai dengan model rambut tokoh
idolanya tersebut seperti di Shagy, Rebonding,
warna.
Alasan mengganti-ganti mode rambut,
bagi mereka yang senang mengikuti trend,
biasanya karena mengikuti model rambut yang
sedang trend ala Barat, terpengaruh tokoh idola
di media, atau ikut-ikutan teman. Tidak banyak
yang melakukannya atas pilihan atau kemauan
sendiri. Hal tersebut dilakukan agar di terima
dalam pergaulan.
Mereka yang mengikuti trend ala Barat
biasanya menyukai aksesoris yang sedang trend
dipakai artis-artis luar negeri, aksesoris yang
sering
dipakai
oleh
teman-teman
di
lingkungannya, atau aksesoris yang dilihat dari
media televisi dan majalah yang biasa suka
dipakai oleh selebritis.
Sebagian remaja Desa Sukaraya juga ada
yang tetap memilih memakai pakaian muslim dan
muslimah yang mereka ikuti karena perintah
agama dan dorongan orang tua.
Informan di Desa Sukaraya juga terdapat
kelompok remaja yang berada di antara
kelompok remaja yang campuran mengikuti
budaya Barat dan Islami. Misalnya Remaja yang
selalu mengikuti trend gaya hidup atau pergaulan
remaja saat ini, tetapi kelompok remaja tersebut
juga mengenakan jilbab yang sekarang biasa
disebut jilbab trendy. Kelompok remaja tersebut
juga biasanya mengenakan busana yang sedang
trend seperti celana Jeans dan baju ketat.
Seluruh informan menyatakan bahwa
mereka mengetahui barang-barang konsumsi
gaya hidup dari media massa, teman, atau iklan
konsumsi gaya hidup. Tidak ada yang mengaku
mengetahuinya dari keluarga. Konsumsi gaya
hidup tersebut tidak terlepas dari peran

76

kapitalisme sebagai produsen ideologi yang
menciptakan atau menjual citra dan image remaja
masa kini yang ideal dalam kehidupan remaja.
Kapitalisme tersebut menciptakan inovasi gaya
terbaru setiap harinya untuk mencari keuntungan.
Sedangkan remaja dipaksa untuk mengkonsumsi
barang-barang gaya hidup tersebut.
Media informasi menciptakan citra diri
sebagai bagian kehidupan remaja ideal yang
umumnya menginformasikan berbagai tata cara
bergaul maupun perlengkapan hobi yang relevan
bagi remaja. Sampai aksesoris yang cocok
digunakan dalam berbagai kesempatan, merupakan informasi yang dianggap layak berita. Atau
cerita para idola remaja yang mendominasi dunia
hiburan yang gaya hidupnya sering mereka tiru.
Semua jenis media, baik itu televisi, film,
musik, maupun majalah, berpengaruh besar
terhadap gaya hidup remaja masa kini.
Kebanyakan media menginformasikan tentang
gaya hidup remaja kota, yang meniru gaya hidup
modern ala Barat. Maka, tidaklah mengherankan
jika remaja digiring menuju pergeseran gaya
hidup. Remaja dicitrakan di media dari masa ke
masa, kemudian citra itu merambah ke dalam
kehidupan sehari-hari.
Namun sebenarnya, media tidaklah
sedemikian buruk pengaruhnya bagi remaja. Hal
ini menjadi malah menjadi tantangan bagi remaja
untuk memilah-milah atau selektif terhadap pesan
yang disampaikan oleh media. Karena, tidak bisa
dipungkiri bahwa keberadaan media mutlak
diperlukan, misalnya untuk memungkinkan
mengetahui beragam informasi, berita, penemuan,
dan hal-hal baru. Atau bisa disimpulkan bahwa
sebenarnya hadirnya media berpengaruh positif
dan juga negatif.
Keberadaan media memang tidak
mungkin dilepaskan dari kepentingan pasar.
Dengan demikian, kalau remaja tidak mampu
bersikap selektif terhadap pesan media, maka
akan menjadi korban media. Tidak salah memang
ketika remaja membeli sebuah produk atau
aksesoris gaya hidup berdasarkan informasi dari
media. Namun, yang perlu diingat, sebelumnya
harus mempertimbangkan seberapa perlu produk
yang dibeli itu. Apakah memang membutuhkan
produk itu ataukah hanya karena terpengaruh
oleh iming-iming media.
Model pakaian yang disukai oleh
sebagian besar informan biasa umumnya adalah
pakaian yang nyaman untuk dipakai, modis, dan
trendy sebagai simbol bahwa seseorang lebih

Universitas Sumatera Utara

Hastuti dan Sudarwati, Gaya Hidup Remaja Pedesaan...

mengikuti perkembangan zaman dibanding yang
lain. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka
menyukai pakaian yang mengikuti trend dari
Barat yang dilihat melalui media dan iklan.
Namun, ada juga remaja Desa Sukaraya sebagian
menyatakan, mereka tetap lebih memilih pakaian
muslim dan muslimah. Informan yang menyukai
trend pakaian yang modis dan trendy yang
mengikuti trend dari barat maupun yang menyukai
pakaian muslim sama-sama terpengaruh oleh media
yang mereka lihat, baca, dan dengar dalam
kehidupan sehari-hari. Media tersebut menggambarkan sosok remaja ideal yang mengikuti
perkembangan zaman melalui yang dipakai oleh
selebritis idolanya sehingga para remaja tersebut
terpengaruh untuk mengikuti tokoh idolanya
tersebut.
Gaya berpakaian tersebut disukai karena
terpengaruh oleh teman, mengikuti trend yang
ada di media supaya dibilang anak gaul, serta
alasan kenyamanan dalam berpakaian. Khusus
untuk yang memilih untuk memakai busana
muslim atau muslimah, mereka mengaku bahwa
hal tersebut dilakukan demi mengikuti perintah
agama/orang tua. Sedikit sekali informan yang
mengaku gaya berpakaian mereka sudah menjadi
selera sendiri.
Dalam mengkonsumsi pakaian dan
aksesoris, informan tidak terlalu memperhatikan
atau fanatik terhadap menyukai merk-merk
tertentu yang ada di media iklan. Alasannya
karena kemampuan keuangan mereka masih
terbatas. Paling-paling informan hanya mampu
membeli barang bermerk terkenal sesekali saja.
Itu pun harus menabung cukup lama dan
biasanya dilakukan hanya untuk menunjukkan
identitas atau gengsi belaka. Jika orang tua
melarang membeli barang-barang tertentu,
informan biasanya tak membantah. Mereka lebih
memilih untuk berusaha mengumpulkan uang
agar bisa membeli barang tersebut tanpa
sepengetahuan orang tua.
Sebagian informan mengaku bahwa
dengan mengkonsumsi pakaian dan aksesoris
merk-merk yang mahal seperti Nike, Reebok, Rip
Curl dan Skaters yang mereka lihat di media akan
meningkatkan gengsi dan image dalam pergaulan.
Barang tidak lagi hanya dikonsumsi
karena kebutuhan, melainkan sudah bergeser
menjadi sekedar mengikuti trend gaya hidup,
menunjukkan image tertentu, ataupun hanya
untuk kesenangan pribadi. Uang untuk membeli
barang-barang tersebut biasanya diperoleh

dengan meminta langsung dari orang tua.
Namun, jika ini tidak memungkinkan, informan
biasanya menabung uang sakunya atau mencari
pekerjaan sambilan.
Dalam hal ini, konsumsi dapat dilihat
sebagai pembentuk identitas. Barang-barang
simbolis dapat juga dipandang sebagai sumber
dengan mana orang mengkonstruksi identitas dan
hubungan-hubungan dengan orang lain yang
menempati dunia simbolis yang sama.
Lebih lanjut lagi, konsumsi terhadap
suatu barang, menurut Weber (1922), merupakan
gambaran gaya hidup tertentu dari kelompok
status tertentu. Konsumsi terhadap barang
merupakan landasan bagi penjenjangan dari
kelompok status. Dengan mengkonsumsi gaya
atau simbol-simbol tertentu mereka merasa sudah
menjadi kelompok anak muda metropolitan yang
modern.
Memang, saat ini, konsumsi dipandang
dalam sosiologi bukan lagi hanya sebagai sekadar
pemenuhan yang bersifat fisik dan biologis
manusia, tetapi berkait kepada aspek-aspek sosial
budaya. Konsumsi berhubungan dengan masalah
selera, identitas, atau gaya hidup. Selera itu
sendiri adalah sesuatu yang dapat berubah,
difokuskan pada kualitas simbolik dari barang,
dan tergantung pada persepsi tentang selera dari
orang lain.
Sebagian informan menyatakan bahwa
uang saku yang diperoleh dari orang tua
digunakan untuk konsumsi gaya hidup seperti
pakaian atau aksesoris yang sedang trend di
media. Ada juga yang suka hura-hura, jalan-jalan
ke mal, nonton. Tapi, masih ada juga informan
yang mengaku menggunakan uang sakunya untuk
membeli keperluan sekolah dan ditabung.
Seluruh informan menyatakan bahwa
mereka mengetahui barang-barang konsumsi
gaya hidup dari media baik itu media televisi atau
majalah , teman, atau iklan konsumsi gaya hidup.
Tidak ada yang mengaku mengetahuinya dari
keluarga. Tidak ada salahnya memang untuk
tampil menarik seperti yang banyak diiklankan di
media, dengan sebagian produk yang ditawarkan
untuk membantu mewujudkan impian itu. Juga
merupakan sesuatu yang wajar untuk pergi berbelanja
membeli barang-barang kesukaan. Namun, yang
perlu diingat, jangan memaksakan diri.
Saat ini, tekanan pada remaja untuk
bersikap konsumtif dan bergaya hidup ala Barat
semakin bertambah berat. Pola hidup konsumtif
itu didukung dengan maraknya mal dan pusat

77
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

perbelanjaan di berbagai penjuru kota.
Sedangkan dari sisi budaya, media massa setiap
hari masuk ke rumah-rumah dengan tayangan
yang penuh budaya asing.
Gaya hidup berikut simbol-simbolnya
saat ini tengah mengguncang struktur kesadaran
manusia. Masyarakat cenderung terserap dalam
keperkasaan kebudayaan pop yang kian
hegemonik dengan segala atributnya. Gaya hidup
telah menjadi komoditas dan dalam menapaki
kehidupannya kebanyakan orang tampak lebih
mementingkan ‘kulit’ ketimbang ‘isi’.
Bagi informan yang mengenakan pakaian
muslim atau muslimah, mengaku melakukannya
dengan kesadaran sendiri menuruti perintah
agama. Selain itu juga karena nasihat orang tua,
lingkungan pergaulan, trend pakaian muslim dan
muslimah yang Anda lihat pada televisi, maupun
terinspirasi dari film-film religi saat ini.
Panutan selera dalam berpenampilan
adalah teman sebaya, trend di media, dan selera
sendiri. Selain itu, nilai-nilai agama dan
lingkungan tempat tinggal juga berpengaruh.
Selera berpakaian yang mengikuti budaya Barat
misalnya remaja pria menyukai pakaian Skaters,
Hiphop, dan aksesoris blink-blink yang sedang
trend seperti gelang, kalung, dan tindik di
wajahnya. Serta merk-merk barang dari luar
seperti Nike, Reebok, Adidas untuk pakaian
olahraga.
Penyanyi dan pemain film yang mereka
lihat di televisi dan majalah juga banyak
dijadikan panutan selera dalam berpakaian.
Begitu juga halnya dengan tokoh-tokoh agama
atau pemain film yang menggunakan busana
muslim/muslimah. Di samping itu, selera pribadi
masih turut berperan, walau kebanyakan memang
mengikuti trend.
Musik pop adalah jenis musik yang
paling banyak disukai oleh informan. Meskipun
demikian, ada juga yang mengaku menyukai
musik rock, dangdut, atau rohani. Tetapi sebagian
besar informan menyukai jenis musik dan lagulagu pop dan ada juga yang menganggap musik
dangdut sebagai musik pinggiran atau
kampungan.
Sebagian besar informan lebih menyukai
musik dalam negeri. Alasannya, liriknya mudah
dimengerti dan dekat dengan keseharian mereka.
Tapi ada juga informan yang suka musik luar
negeri. Seperti boy band dari luar atau juga
penyanyi solo dari luar maupun band-band luar

78

negeri. Mereka menyukai lagu-lagu dari Barat
karena liriknya yang mengena di hati mereka.
Informan mengaku masih mengenal lagu
dan kesenian daerah. Namun, kebanyakan
mereka tidak menyukainya karena tidak mengerti
dan dianggap membosankan. Informan saat ini
lebih menyukai lagu-lagu yang sedang populer
yang dibawakan oleh penyanyi favoritnya saat
ini.
Informan kunci umumnya berpendapat
bahwa selera musik remaja saat ini bagus dan
masih bisa ditolerir. Alasannya karena musikmusik yang sedang popular saat ini liriknya
cukup santun dan penampilan artisnya dalam
video klip pun tidak terlalu seronok.
Remaja di Desa Sukaraya juga suka
mengikuti gaya penyanyi favoritnya dalam
bergaya. Seperti gaya artis favorit mereka yang
mengenakan pakaian seperti tanktop, rok mini,
celana hiphop yang besar di bawah pinggang.
Sedangkan lagu atau kesenian daerah
tetap diminati oleh sebagian remaja Desa
Sukaraya. Setidaknya
demikian
menurut
pengakuan informan kunci. Namun, ada juga
yang berpendapat bahwa lagu dan kesenian
daerah sudah tidak diminati lagi oleh remaja.
Seperti halnya penyanyi favorit, remaja
Desa Sukaraya juga sering mengikuti gaya
pemain
film
atau
sinetron
favoritnya.
Menanggapi hal ini, ada informan yang melarang
dengan tegas anaknya untuk turut serta. Ada juga
yang membiarkan saja sepanjang tidak terlalu
berlebihan. Penyebab remaja mengikuti gaya
tersebut bisa jadi sekedar ikut teman, ingin
terlihat seperti artis, mengikuti trend atau pilihan
sendiri.
Informan mengetahui tentang lagu-lagu
dan film yang disukai dari media (seperti televisi,
majalah remaja masa kini, radio), teman-teman di
lingkungannya. Ketika ditanyakan penyanyi atau
band dalam negeri yang menjadi favoritnya,
jawaban informan, antara lain, Peterpan, Dewa,
Radja, Ungu, Samsons, Padi, Nidji, Slank, Ratu,
Ari Lasso, Agnes Monica, Rossa, Krisdayanti,
Audy, dan sebagainya. Sedangkan untuk penyanyi
atau band luar negeri, yang banyak disukai,
adalah Maroon 5, RHCP, Craig David, Britney
Spears, Shahrukh Khan, Siti Nurhaliza dan lainlain. Informan mengaku suka mengikuti gaya dari
penyanyi atau band favorit mereka tersebut.
Beralih pada film, para informan
umumnya lebih menyukai film remaja yang
bertemakan percintaan muda-mudi. Ada juga

Universitas Sumatera Utara

Hastuti dan Sudarwati, Gaya Hidup Remaja Pedesaan...

yang menyukai film bernuansa religi. Film horor
tampaknya tidak disukai oleh informan.
Untuk pemain film dalam negeri,
informan menyukai Dian Sastrowardoyo, Nirina
Zubir, Luna Maya, Marcella Zalianty, Samuel
Rizal, Irwansyah, dan lainnya. Sedangkan
pemain film luar negeri yang disukai, antara lain,
Tom Cruise, Matt Damon, Ben Affleck, Daniel
Radcliffe, Orlando Bloom, Nicole Kidman, Halle
Berry, Penelope Cruz, dan lainnya.
Tapi umumnya informan lebih menyukai
film dalam negeri karena dialognya dapat
dimengerti dan gaya para pemainnya pun tak jauh
beda dengan remaja kebanyakan. Informan
mengaku suka mengikuti gaya dari pemain film
favorit mereka tersebut.
Secara psikososial, kehidupan remaja
adalah kehidupan mencari idola. Mereka
mendambakan sosok orang yang dapat dijadikan
panutan. Namun justru karena identifikasi diri
dan kegemaran mengikuti gaya artis idola inilah
jika remaja bertanya pada diri mereka sendiri:
"Who am I?" maka pertanyaan itu tidak pernah
akan terjawab dengan pasti. Yang ada dalam
pikiran hanyalah "I wanna be like him" atau "I
don't know who I am". Lantaran itu remaja
mencari model yang diidolakan mereka. Semakin
mereka mengadaptasikan diri mereka pada idola
mereka, mereka akan semakin kehilangan identitas
diri dan menjadi tidak asli lagi. Sehingga ketika
mereka berkata "It's my life", padahal hati mereka
tetap berdilema "Is it my life?".
Interaksi remaja Desa Sukaraya dengan
masyarakat kota khususnya Kota Medan. Sekedar
pergi ke kota untuk sekolah, berekreasi maupun
belanja saat ini sudah tidak jadi hambatan, karena
transportasi yang sudah lancar. Angkutan umum
maupun kendaraan beroda dua yang biasa disebut
RBT atau ojek sudah semakin banyak, serta jalan
untuk pergi ke Medan pun sudah bagus. Hal ini
memudahkan remaja Desa Sukaraya untuk
berinteraksi dengan kota.
Interaksi remaja desa saat ini dengan
kota membawa perubahan terhadap gaya hidup
mereka yakni, gaya penampilan, pergaulan
sehari-hari, pergaulan dengan lawan jenis dan
cara mereka mengisi waktu luang dengan
berkumpul bareng bersama teman-temannya,
jalan-jalan ke mal, atau pergi nonton, serta
mengadakan pesta ulang tahun dan Valentine.
Interaksi mereka dengan kota tidak hanya
membawa perubahan dengan cara berpikir
mereka yang semakin modern, tetapi juga

terhadap perubahan gaya hidup mereka yang
tadinya dipengaruhi oleh nilai agama dan budaya
setempat. Sekarang mengikuti gaya hidup remaja
kota. Menyebabkan semakin memudarnya
identitas remaja desa tersebut. Dalam hal ini
membawa perubahan gaya hidup, pergaulan
sehari-hari dengan teman dan pergaulan dengan
lawan jenis yang mereka lihat hasil interaksi
mereka dengan kota.
Sebagian besar informan merasa adalah
hal wajar bagi sepasang remaja berlawanan jenis
berjalan sambil berpegangan tangan, apalagi bila
mereka telah resmi berpacaran. Tapi ada juga
informan yang menganggap hal tersebut tidak
pantas dilakukan.
Orang tua tidak terlalu membatasi
pergaulan informan dengan teman berlawanan
jenis. Paling-paling mereka hanya mengingatkan
agar informan bisa mengendalikan diri dan
menjaga kehormatan.
Pada masa remaja, ketertarikan terhadap
lawan jenis mulai muncul dan berkembang. Rasa
ketertarikan tersebut kemudian dinyatakan
melalui berbagai bentuk, misalnya, berpacaran di
antara mereka. Berpacaran merupakan upaya
untuk mencari seorang teman dekat dan di
dalamnya terdapat hubungan mengkomunikasikan
diri kepada pasangan, membangun kedekatan
emosional, serta proses pendewasaan kepribadian.
Sebagian besar informan remaja Desa
Sukaraya mengaku bahwa cara mereka bergaul
dengan teman berlawanan jenis biasa saja, akrab
tapi tetap menjaga jarak. Alasannya karena
mereka takut orang akan berpandangan negatif.
Sedangkan bagi mereka yang sudah mempunyai
pacar, khawatir pacarnya merasa cemburu bila
bergaul terlalu dekat dengan lawan jenis.
Bagi informan yang mengenakan busana
muslim/muslimah dalam keseharian mereka,
mengaku lebih membatasi diri dalam pergaulan
dengan lawan jenis. Mereka takut bila terlalu
dekat, bisa menimbulkan fitnah.
Berpacaran dengan berbagai perilaku
dari yang ringan seperti sentuhan, berpegangan
tangan, hingga ciuman, pada dasarnya, adalah
perwujudan keinginan untuk menikmati serta
memuaskan dorongan seksual. Hubungan antara
lawan jenis melalui bentuk pergaulan biasa, ialah
sesuatu yang wajar dilakukan, selama tidak
menjurus pada bentuk pergaulan bebas. Itulah
sebabnya, dibutuhkan kedewasaan dalam
berpacaran.

79
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

Kedewasaan dalam berpacaran bisa
dilihat dari kesiapan untuk bertanggung jawab.
Ini dapat terwujud lewat kemampuan untuk
menyesuaikan diri terhadap berbagai tuntutan
peran, membagi waktu, perhatian, dan tanggung
jawab. Menghadapi permasalahan sekaligus
menjalin keintiman, namun tetap mampu
mengendalikan diri sehingga senantiasa memenuhi
nilai-nilai yang dianut saat berhubungan dengan
lawan jenis.
Tanpa adanya pengendalian diri, maka
akan sangat mudah terhanyut untuk melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan
norma. Contohnya saja, pergaulan bebas dan
hubungan seks pranikah. Apalagi bila orang tua
tidak terlalu membatasi pergaulan informan
dengan teman berlawanan jenis. Yang terpenting
memang adalah bahwa remaja harus mampu
mengendalikan diri dan menjaga kehormatan.
Informan remaja Desa Sukaraya bersama
kawan-kawan sebayanya mengaku sering
memperingati acara ulang tahun. Biasanya ini
dilakukan dengan makan bersama atau
melakukan kegiatan lain bersama. Tapi di luar
peringatan ulang tahun, seluruh informan
mengaku tak pernah mengadakan pesta.
Mengenai tradisi hari Valentine atau hari
kasih sayang, sebagian informan mengaku sering
merayakannya bersama pacar, hanya sekedar
untuk senang-senang saja. Sedangkan, informan
lain mengaku tak pernah merayakannya karena
Valentine