Gambaran Endoskopi Gastrointestinal pada Anak di Medan
Gambaran Endoskopi Gastrointestinal pada Anak di Medan
Supriatmo
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/
RS H. Adam Malik Medan
-5
Seorang
endoskopis anak harus mampu melakukan
semua jenis tindakan yang bisa dilakukan
endoskopis dewasa. Seorang endoskopis harus
mengetahui segala manfaat dan risiko tindakan
endoskopi dan mampu mengatasi kedaruratan
yang timbul sehingga harus melalui fase latihan
yang ketat dan sistematis sebelum diberikan
6-10
kompetensi melakukan endoskopi.
Di seluruh dunia dicapai kesepakatan
bahwa yang boleh melakukan endoskopi
adalah seorang dokter anak yang telah
274
Majalah Kedokteran Nusantara Volume
40 y No. 4Sumatera
y Desember
2007
Universitas
Utara
Supriatmo
Gambaran Endoskopi Gastrointestinal…
mengikut pendidikan tambahan di dalam
bidang gastroenterologi anak dan selanjutnya
mengikuti latihan endoskopi di bawah
pengawasan endoskopis anak di sentra yang
telah memenuhi syarat dan mempunyai
fasilitas yang lengkap. Fasilitas yang harus
dilengkapi meliputi alat sedasi lengkap dengan
resusitasi, alat monitoring tekanan darah,
denyut nadi dan saturasi oksigen. Banyak
sentra yang melakukan endoskopi di ruang
operasi yang dianggap telah mempunyai alat
pendukung yang lengkap, terutama untuk
mengatasi kedaruratan yang mungkin timbul
11-13
selama prosedur dilakukan.
Indikasi endoskopi saluran cerna bagian
1,3,6,8
atas:
1. Penyakit gangguan asam lambung.
2. Sangkaan inflamasi mukosa.
3. Nyeri epigastrium.
4. Hematemesis atau melena
5. Sakit menelan atau sulit menelan
6. Tertelan bahan kaustik atau benda asing
7. Muntah berulang
8. Terapi intervensi: kauterisasi, dilatasi
striktur, ekstraksi benda asing.
3,5,7,10
Indikasi kolonoskopi:
1. Perdarahan saluran cerna
2. Diare kronik
3. Sangkaan Inflammatory Bowel Disease
(IBD)
4. Survey keganasan
5. Terapi intervensi: polipektomi, ekstraksi
benda asing, dilatasi striktur, kauterisasi
METODE
Penelitian ini dilakukan secara retrospektif
dengan
melihat
catatan
pasien
yang
berkunjung ke Rumah Sakit H.Adam Malik,
Rumah Sakit Dr.Pirngadi dan Rumah Sakit
Sarimutiara Medan selama periode Juli 2005 –
Juni 2007 yang dilakukan pemeriksaan
endoskopi baik untuk saluran cerna bagian
atas maupun kolonoskopi dengan berbagai
indikasi. Endoskopi dilakukan di Rumah Sakit
Sarimutiara Medan, dengan sedasi dan pada
anak-anak yang tidak koperatif dilakukan
endoskopi di bawah anastesi umum. Selama
melakukan endoskopi seorang perawat terlatih
melakukan pemantauan terhadap tanda-tanda
vital dan dilakukan pemantauan terhadap
saturasi oksigen pasien. Pasien yang akan di
endoskopi
dipersiapkan
oleh
perawat
endoskopi bekerja sama dengan perawat
ruangan rawat inap maupun rawat jalan
Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
HASIL
Tabel 1.
Karakteristik subjek penelitian
Endoskopi saluran cerna atas
(n=41)
Jenis kelamin
Laki-laki
23
Perempuan
18
Usia (tahun)
2–5
11
5 – 10
20
> 10
10
Status gizi
Gizi kurang
9
Gizi baik
25
Gizi lebih
7
Kolonoskopi
(20)
13
7
4
13
3
10
8
2
1,2,8,9
Kontraindikasi absolut
1. Sangkaan perforasi usus
2. Peritonitis akut
4,6,7,11
Kontraindikasi relatif
1. Gangguan perdarahan dan/atau gangguan
trobosit
2. Neutropenia
3. Pasien dengan risiko perforasi
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
perkembangan endoskopi anak di Medan, serta
melihat penyakit-penyakit gastrointestinal yang
sering pada anak secara endoskopi dan
histopatologi.
Selama periode penelitian dilakukan
endoskopi pada 61 orang anak yang terdiri
dari 41 anak dilakukan endoskopi saluran
cerna bagian atas dan 21 anak dilakukan
kolonoskopi. Dari Tabel 1 terlihat bahwa
endoskopi lebih banyak dilakukan pada anak
laki-laki
dibanding
anak
perempuan.
Sedangkan kelompok usia terbanyak adalah
usia 5-10 tahun sebanyak 33 dari 61 anak
yang dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran
cerna. Umumnya Status gizi pada anak yang
dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran
cerna bagian atas adalah gizi baik, namun
sebaliknya pada anak yang dilakukan
pemeriksaan kolonoskopi terdapat gizi kurang
sebanyak 10 dari total 20 kasus yang diperiksa.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 4 y Desember 2007
275
Universitas Sumatera Utara
Karangan Asli
Tabel 2.
Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas
pada subjek penelitian
Muntah
Hematemesis
Melena
Sakit Perut Berulang
Sakit menelan
Regurgitasi
Sakit ulu hati
Refluks gastroesofagus
Asites
Tertelan benda asing
N=41
4
5
4
11
3
2
5
3
2
2
Proktitis
Kolitis
Hemoroid
Polip
Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas
yang terbanyak adalah sakit perut berulang
sebanyak 11 kasus, diikuti hematemesis dan sakit
ulu hati masing-masing sebanyak 5 kasus. Pada
kasus anak dengan asites dilakukan endoskopi
saluran cerna bagian atas untuk melihat adanya
varises esofagus yang berhubungan dengan
kelainan di vena porta. Pada penelitian ini
dilakukan endoskopi pada 2 kasus untuk melihat
adanya benda asing yang tertelan dan sekaligus
dilakukan ekstraksi benda asing. Benda asing yang
tertelan adalah uang logam Rp 100 pada seorang
anak usia 5 tahun dan bakteri jam digital ukuran
sedang pada seorang anak usia 4 tahun.
Tabel 3.
Indikasi Kolonoskopi pada subjek penelitian
BAB berdarah
Diare kronis
Hematokesia
Polip
Disentri berulang
Sakit sewaktu BAB
N=20
6
4
2
1
3
4
Dari Tabel 3 terlihat bahwa indikasi
kolonoskopi yang terbanyak adalah BAB
berdarah sebanyak 6 kasus, kemudian diikuti
diare kronis dan sakit sewaktu BAB masingmasing sebanyak 4 kasus. Pada satu kasus
dilakukan kolonoskopi atas indikasi keluarnya
polip bertangkai dari lubang anus dan sering
berdarah.
Table 4.
Diagnosis subjek penelitian berdasarkan hasil
endoskopi saluran cerna bagian atas
Esofagitis
Gastritis
Gastroesofagitis
Bulbonitis
Duodenitis
Gastroduodenitis
Infeksi H. pylori
Ulkus peptikum
Varises esofagus
Benda asing
276
N=41
12
8
3
1
4
2
4
3
2
2
Tabel 5.
Diagnosis subjek penelitian berdasarkan hasil
kolonoskopi
N=20
8
5
4
3
Dari Tabel 5 terlihat bahwa diagnosis
berdasarkan hasil pemeriksaan kolonoskopi
terbanyak dijumpai proktitis sebanyak 8 kasus
diikuti kolitis 5 kasus, hemoroid 4 kasus dan
dijumpai polip tunggal pada 3 kasus. Keluhan
pada kasus dengan polip adalah BAB berdarah
dan sakit sewaktu BAB. Pada kasus dengan
polipektomi dianjurkan dilakukan polipektomi.
Walaupun banyak laporan yang menyatakan
bahwa polip dapat terputus sendiri (self
amputated) tapi masalahnya kita tidak bisa
memastikan kapan polip itu putus sendiri
sementara
keluhan
pasien
umumnya
membuat orang tua dan anaknya cemas.
DISKUSI
Pada penelitian ini, hasil pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas yang
terbanyak adalah esofagitis sebanyak 12 kasus,
diikuti gastritis sebanyak 8 kasus, serta
duodenitis dan infeksi H. pylori masingmasing 4 kasus. Diagnosis infeksi H. pylori
berdasarkan hasil biopsi dan pemeriksaan
histopatologi. Dugaan ini infeksi kuman ini
berdasarkan hasil pemeriksaan Urea breath
test positif. Keluhan penderita adalah sakit
perut berulang dan tidak sembuh dengan
pengobatan standar. Setelah dilakukan
eradikasi H. pylori dengan triple drug yaitu
kombinasi
omeprazol,
amoksillin
dan
klaritromisin selama dua minggu pasien
menunjukkan perbaikan klinis yang sangat
nyata. Sayangnya keluarga pasien menolak
untuk dilakukan pemeriksaan endoskopi ulang
ataupun urea breath test dengan alasan
keluhan sudah hilang. Pada kasus dengan
asites ditemukan varises esofagus derajat satu
pada kedua kasus sehingga tidak dilakukan
ligasi dan dianjurkan kontrol 3 bulan lagi
untuk melihat keadaan varises esofagus.
Pengalaman penulis selama melakukan
kolonoskopi tidak menjumpai adanya IBD
Bowel Disease) seperti
(Inflammatory
penyakit Chron maupun kolitis ulseratif.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume
40 y No. 4Sumatera
y Desember
2007
Universitas
Utara
Supriatmo
Beberapa sentra lain di Indonesia melaporkan
adanya kasus IBD pada anak-anak Indonesia.
8
Okello dkk , melakukan endoskopi pada
135 orang anak dengan indikasi nyeri
epigastrium (67.4%), dispepsia (11.9%), sakit
perut berulang (3%) dan muntah (3%).
Mendapatkan hasil bahwa diagnosis terbanyak
adalah ulkus duodenum (14.8%) dan gastritis
9
(12.6%). Miller dkk , melakukan penelitian
pada penderita infeksi HIV dan menyatakan
bahwa tidak ada parameter gastrointestinal,
nutrisi ataupun imunologis yang dapat
memprediksi hasil endoskopi secara signifikan.
Tatalaksana medis secara nyata berubah pada
70%
anak
setelah
didapatkan
hasil
pemeriksaan endoskopis. Penelitian ini
mengambil
suatu
kesimpulan
bahwa
endoskopi merupakan alat yang berguna
untuk menterapi langsung ulkus peptikum
dan infeksi dari saluran cerna bagian atas
dengan infeksi HIV. Gejala gastrointestinal
spesifik tidak dapat dijadikan sebagai
prediktor abnormalitas hasil pemeriksaan.
Pemakaian antibiotik pada pasien yang
dilakukan
endoskopi
masih
banyak
dipertanyakan. Kesepakatan yang dibuat
menyatakan bahwa antibiotik diberikan pada
kasus-kasus
risiko
tinggi
menderita
endokarditis. Sebagai contoh endoskopi pada
penderita kelainan katup jantung. Antibiotik
juga diberikan pada kasus-kasus yang berisiko
mengalami bakteremia transien seperti pada
kasus striktur esofagus, ligasi varises
esophagus.
Prosedur
pemeriksaan
endoskopi
memberikan kecemasan bukan hanya kepada
anak tetapi juga orang tua dan bahkan seluruh
anggota keluarga. Perlu dicari metode yang
efektif untuk mengurangi kecemasan ini.
10
Pornthawee dkk , melaporkan dari hasil
penelitian mereka bahwa persiapan pasien
dengan
menjelaskan
prosedur
teknis
pemeriksaan memakai ilustrasi visual dapat
secara signifikan mengurangi kecemasan anak
dan orang tua. Penjelasan dengan metode ini
efektif pada anak usia di atas lima tahun.
Penelitian lain memberikan penjelasan kepada
pasien dan orang tua dengan menunjukkan
gambar-gambar prosedur endoskopi, dan
mendapatkan hasil bahwa anak dan orang tua
menjadi lebih koperatif sewaktu dilakukan
prosedur pemeriksaan. Pemantauan terhadap
tanda vital terutama jantung dan paru mutlak
Gambaran Endoskopi Gastrointestinal…
dilakukan selama pemeriksaan. Banyak
laporan yang menyatakan bahwa frekuensi
denyut jantung dan saturasi oksigen menurun
selama pemeriksaan. Pemberian oksigen
selama pemeriksaan berlangsung mutlak
dilakukan untuk mengurangi risiko selama
pemeriksaan berlangsung.
Pemberian
lidokain
topikal
masih
kontroversi penggunaannya pada anak karena
umumnya endoskopi dilakukan di bawah
sedasi atau anastesi umum. Masalahnya
beberapa
negara
hanya
mengizinkan
penggunaan sedasi seperti profopol oleh ahli
anastesi. Kenyataannya memang lebih aman
jika selama prosedur berlangsung juga diawasi
oleh ahli anastesi, dan operator endoskopi bisa
fokus
melakukan
pekerjaannya,
tetapi
tentunya akan menambah biaya yang pada
akhirnya akan memberatkan pasien. Krauss
11
dkk , manajemen rasa sakit sakit dan
kecemasan pada anak yang akan dilakukan
pemeriksaan untuk tujuan diagnostik maupun
terapetik di luar kamar operasi telah dikenal
selama 15 tahun terakhir ini. Banyaknya alat
monitor non-invasif, shortacting opioids, dan
antagonist benzodiazepine memungkinkan
klinisi untuk memberikan sedasi secara aman.
Tujuan prosedur sedasi adalah untuk
mengontrol rasa sakit, kecemasan dan gerakan
12
dengan aman dan efektif. Abu-Shahwan dkk ,
melakukan penelitian dengan menggunakan
kombinasi propofol dan remifentanil sebagai
sedasi pada anak yang akan dilakukan
pemeriksaan endoskopi dan mengambil suatu
kesimpulan bahwa kombinasi propofol dan
remifentanil aman, efektif dan bisa diterima.
13
Gyepes dkk , mendapatkan kenyataan
bahwa endoskopi fiberoptik merupakan alat
bantu diagnosis yang lebih akurat untuk
melihat lesi mukosa superfisial dibanding
pemeriksaan barium konvensional. Pada
pemeriksaan endoskopi, gambaran dan
karakter mukosa bias dipelajari. Area
hiperemis, merah dan mudah terjadi
perdarahan merupakan tanda kuat adanya
inflamasi, dan gambaran ini berhubungan erat
dengan hasil pemeriksaan histopatologi.
14
Kavin dkk , melaporkan bahwa tidak
semua lesi penyebab perdarahan bisa dilihat
dengan endoskopi standar. Untungnya untuk
mengatasi sekarang sudah ada wireless capsule
endoscopy yang bisa dipergunakan untuk
melihat lesi pada daerah yang tidak bisa dilihat
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 4 y Desember 2007
277
Universitas Sumatera Utara
Karangan Asli
dengan endoskopi standar. Wireless capsule
endoscopy sudah banyak dipergunakan pada
pasien dewasa sedangkan pada pasien anak
masih jarang dipakai. Usia termuda yang
pernah dilakukan pemeriksaan dengan
wireless capsule endoscopy adalah seorang
anak perempuan usia 2.5 tahun dengan
melena berat yang tidak terdeteksi dengan
pemeriksaan endoskopi standar, barium dan
angiografi mesenterium.
Endoskopi masih merupakan pilihan
untuk mendiagnosis adanya infeksi H.pylori
namun harus didukung oleh ahli patologi yang
mampu mengenali adanya H.pylory. Pada
beberapa kasus dengan urea breath test positif
tidak ditemukan kuman H.pylori dari hasil
biopsi. Sehingga beberapa penulis memilih
melakukan pemeriksaan urea breath test dari
pada harus dilakukan endoskopi yang
merupakan pemeriksaan invasive dan terbatas
pada rumah sakit tertentu saja.
Penelitian ini mengambil kesimpulan
bahwa endoskopi merupakan suatu alat bantu
diagnostik dan terapetik yang aman bila
dilakukan oleh ahli yang kompeten. Selama
melakukan
endoskopi
tidak
dijumpai
komplikasi baik selama tindakan maupun
setelah tindakan. Kelemahannya adalah tidak
semua rumah sakit memiliki alat endoskopi
yang cocok buat anak sehingga harga menjadi
mahal karena hanya tersedia di sentra
tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baillie J. Gastrointestinal endoscopy. Basic
principles
and
practice.
Oxford:
Butterworth-Heinemann Ltd, 1992.
2. Hadi S, Thahir G, Daldijono, Rani A,
Akbar N. Endoskopi dalam bidang
gastroenterohepatologi. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI, 1987.
3. Wyllie R, Kay MH. Gastrointestinal
endoscopy in infant and children. Pediatr
in rev 1993;14:9
4. Ukarapol N, Lertprasertsuk N, Fuchs GJ,
Wongsawasdi L, Sirisanthana V. Impact
of gastrointestinal endoscopy on HIVinfected children. Digestive endoscopy
16(1):26-29.
278
5. Kato S, Nakagawa H, Harada Y, Saito Y,
Watanabe N, Abe J, et al. A clinical study
of upper gastrointestinal endoscopy in
Japanese children. Pediatr Int 33(1):3642.
6. Charlton JE. Paediatric endoscopy should
be carried out under general anaesthesia.
BMJ 1995; 311: 452-3.
7. Hirota WK, Petersen K, Baron TH,
Goldstein JL, Jacobson BC, Leighton JA,
et al. Guidelines for antibiotic prophylaxis
for
GI
endoscopy.
Gastrointest
Endosc 2003; 58(4):475-82.
8. Okello
TR.
Upper
gastrointestinal
endoscopic findings in adolescents at
Lacor Hospital, Uganda. Afr Health Sci
2006;6(1):39-42.
9. Miller TL, McQuinn LB, Orav EJ.
Endoscopy of the upper gastrointestinal
tract as a diagnostic tool for children with
human immunodeficiency virus infection.
J Pediatr 1997; 130(5):766-73.
10. Pornthawee R, Nuthapong U. Effect of
Systematic Psychological Preparation
Using Visual Illustration Prior to
Gastrointestinal Endoscopy on the
Anxiety of Both Pediatric Patients and
Parents. J Med Assoc Thai 2006; 89
(2):231-5.
11. Krauss B, Green SM. Sedation and
analgesia for procedures in children.
NEMJ; 342(13):938-45.
12. Abu-Shahwan I, Mack D. Profopol and
remifentanil for deep sedation in children
undergoing gastrointestinal endoscopy.
Paediatr Anaesth 2007; 17(5):460-3.
13. Gyepes MT, Smith LE, Ament ME.
Fiberoptic
Endoscopy
and
Upper
Gastrointestinal
Series:
Comparative
Analysis in Infants and Children. Am J
Roentgenol 128:53-56, January 1977.
14. Kavin H, Berman J, Martin TL, Feldman
A, Forsey-Koukol K. Successful Wireless
Capsule Endoscopy for a 2.5-Year-Old
Child: Gastrointestinal Bleeding From
Mixed, Juvenile, Capillary HemangiomaAngiomatosis of the Jejunum. Pediatr
2006; 117; 539-543.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume
40 y No. 4Sumatera
y Desember
2007
Universitas
Utara
Supriatmo
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/
RS H. Adam Malik Medan
-5
Seorang
endoskopis anak harus mampu melakukan
semua jenis tindakan yang bisa dilakukan
endoskopis dewasa. Seorang endoskopis harus
mengetahui segala manfaat dan risiko tindakan
endoskopi dan mampu mengatasi kedaruratan
yang timbul sehingga harus melalui fase latihan
yang ketat dan sistematis sebelum diberikan
6-10
kompetensi melakukan endoskopi.
Di seluruh dunia dicapai kesepakatan
bahwa yang boleh melakukan endoskopi
adalah seorang dokter anak yang telah
274
Majalah Kedokteran Nusantara Volume
40 y No. 4Sumatera
y Desember
2007
Universitas
Utara
Supriatmo
Gambaran Endoskopi Gastrointestinal…
mengikut pendidikan tambahan di dalam
bidang gastroenterologi anak dan selanjutnya
mengikuti latihan endoskopi di bawah
pengawasan endoskopis anak di sentra yang
telah memenuhi syarat dan mempunyai
fasilitas yang lengkap. Fasilitas yang harus
dilengkapi meliputi alat sedasi lengkap dengan
resusitasi, alat monitoring tekanan darah,
denyut nadi dan saturasi oksigen. Banyak
sentra yang melakukan endoskopi di ruang
operasi yang dianggap telah mempunyai alat
pendukung yang lengkap, terutama untuk
mengatasi kedaruratan yang mungkin timbul
11-13
selama prosedur dilakukan.
Indikasi endoskopi saluran cerna bagian
1,3,6,8
atas:
1. Penyakit gangguan asam lambung.
2. Sangkaan inflamasi mukosa.
3. Nyeri epigastrium.
4. Hematemesis atau melena
5. Sakit menelan atau sulit menelan
6. Tertelan bahan kaustik atau benda asing
7. Muntah berulang
8. Terapi intervensi: kauterisasi, dilatasi
striktur, ekstraksi benda asing.
3,5,7,10
Indikasi kolonoskopi:
1. Perdarahan saluran cerna
2. Diare kronik
3. Sangkaan Inflammatory Bowel Disease
(IBD)
4. Survey keganasan
5. Terapi intervensi: polipektomi, ekstraksi
benda asing, dilatasi striktur, kauterisasi
METODE
Penelitian ini dilakukan secara retrospektif
dengan
melihat
catatan
pasien
yang
berkunjung ke Rumah Sakit H.Adam Malik,
Rumah Sakit Dr.Pirngadi dan Rumah Sakit
Sarimutiara Medan selama periode Juli 2005 –
Juni 2007 yang dilakukan pemeriksaan
endoskopi baik untuk saluran cerna bagian
atas maupun kolonoskopi dengan berbagai
indikasi. Endoskopi dilakukan di Rumah Sakit
Sarimutiara Medan, dengan sedasi dan pada
anak-anak yang tidak koperatif dilakukan
endoskopi di bawah anastesi umum. Selama
melakukan endoskopi seorang perawat terlatih
melakukan pemantauan terhadap tanda-tanda
vital dan dilakukan pemantauan terhadap
saturasi oksigen pasien. Pasien yang akan di
endoskopi
dipersiapkan
oleh
perawat
endoskopi bekerja sama dengan perawat
ruangan rawat inap maupun rawat jalan
Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
HASIL
Tabel 1.
Karakteristik subjek penelitian
Endoskopi saluran cerna atas
(n=41)
Jenis kelamin
Laki-laki
23
Perempuan
18
Usia (tahun)
2–5
11
5 – 10
20
> 10
10
Status gizi
Gizi kurang
9
Gizi baik
25
Gizi lebih
7
Kolonoskopi
(20)
13
7
4
13
3
10
8
2
1,2,8,9
Kontraindikasi absolut
1. Sangkaan perforasi usus
2. Peritonitis akut
4,6,7,11
Kontraindikasi relatif
1. Gangguan perdarahan dan/atau gangguan
trobosit
2. Neutropenia
3. Pasien dengan risiko perforasi
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
perkembangan endoskopi anak di Medan, serta
melihat penyakit-penyakit gastrointestinal yang
sering pada anak secara endoskopi dan
histopatologi.
Selama periode penelitian dilakukan
endoskopi pada 61 orang anak yang terdiri
dari 41 anak dilakukan endoskopi saluran
cerna bagian atas dan 21 anak dilakukan
kolonoskopi. Dari Tabel 1 terlihat bahwa
endoskopi lebih banyak dilakukan pada anak
laki-laki
dibanding
anak
perempuan.
Sedangkan kelompok usia terbanyak adalah
usia 5-10 tahun sebanyak 33 dari 61 anak
yang dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran
cerna. Umumnya Status gizi pada anak yang
dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran
cerna bagian atas adalah gizi baik, namun
sebaliknya pada anak yang dilakukan
pemeriksaan kolonoskopi terdapat gizi kurang
sebanyak 10 dari total 20 kasus yang diperiksa.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 4 y Desember 2007
275
Universitas Sumatera Utara
Karangan Asli
Tabel 2.
Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas
pada subjek penelitian
Muntah
Hematemesis
Melena
Sakit Perut Berulang
Sakit menelan
Regurgitasi
Sakit ulu hati
Refluks gastroesofagus
Asites
Tertelan benda asing
N=41
4
5
4
11
3
2
5
3
2
2
Proktitis
Kolitis
Hemoroid
Polip
Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas
yang terbanyak adalah sakit perut berulang
sebanyak 11 kasus, diikuti hematemesis dan sakit
ulu hati masing-masing sebanyak 5 kasus. Pada
kasus anak dengan asites dilakukan endoskopi
saluran cerna bagian atas untuk melihat adanya
varises esofagus yang berhubungan dengan
kelainan di vena porta. Pada penelitian ini
dilakukan endoskopi pada 2 kasus untuk melihat
adanya benda asing yang tertelan dan sekaligus
dilakukan ekstraksi benda asing. Benda asing yang
tertelan adalah uang logam Rp 100 pada seorang
anak usia 5 tahun dan bakteri jam digital ukuran
sedang pada seorang anak usia 4 tahun.
Tabel 3.
Indikasi Kolonoskopi pada subjek penelitian
BAB berdarah
Diare kronis
Hematokesia
Polip
Disentri berulang
Sakit sewaktu BAB
N=20
6
4
2
1
3
4
Dari Tabel 3 terlihat bahwa indikasi
kolonoskopi yang terbanyak adalah BAB
berdarah sebanyak 6 kasus, kemudian diikuti
diare kronis dan sakit sewaktu BAB masingmasing sebanyak 4 kasus. Pada satu kasus
dilakukan kolonoskopi atas indikasi keluarnya
polip bertangkai dari lubang anus dan sering
berdarah.
Table 4.
Diagnosis subjek penelitian berdasarkan hasil
endoskopi saluran cerna bagian atas
Esofagitis
Gastritis
Gastroesofagitis
Bulbonitis
Duodenitis
Gastroduodenitis
Infeksi H. pylori
Ulkus peptikum
Varises esofagus
Benda asing
276
N=41
12
8
3
1
4
2
4
3
2
2
Tabel 5.
Diagnosis subjek penelitian berdasarkan hasil
kolonoskopi
N=20
8
5
4
3
Dari Tabel 5 terlihat bahwa diagnosis
berdasarkan hasil pemeriksaan kolonoskopi
terbanyak dijumpai proktitis sebanyak 8 kasus
diikuti kolitis 5 kasus, hemoroid 4 kasus dan
dijumpai polip tunggal pada 3 kasus. Keluhan
pada kasus dengan polip adalah BAB berdarah
dan sakit sewaktu BAB. Pada kasus dengan
polipektomi dianjurkan dilakukan polipektomi.
Walaupun banyak laporan yang menyatakan
bahwa polip dapat terputus sendiri (self
amputated) tapi masalahnya kita tidak bisa
memastikan kapan polip itu putus sendiri
sementara
keluhan
pasien
umumnya
membuat orang tua dan anaknya cemas.
DISKUSI
Pada penelitian ini, hasil pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas yang
terbanyak adalah esofagitis sebanyak 12 kasus,
diikuti gastritis sebanyak 8 kasus, serta
duodenitis dan infeksi H. pylori masingmasing 4 kasus. Diagnosis infeksi H. pylori
berdasarkan hasil biopsi dan pemeriksaan
histopatologi. Dugaan ini infeksi kuman ini
berdasarkan hasil pemeriksaan Urea breath
test positif. Keluhan penderita adalah sakit
perut berulang dan tidak sembuh dengan
pengobatan standar. Setelah dilakukan
eradikasi H. pylori dengan triple drug yaitu
kombinasi
omeprazol,
amoksillin
dan
klaritromisin selama dua minggu pasien
menunjukkan perbaikan klinis yang sangat
nyata. Sayangnya keluarga pasien menolak
untuk dilakukan pemeriksaan endoskopi ulang
ataupun urea breath test dengan alasan
keluhan sudah hilang. Pada kasus dengan
asites ditemukan varises esofagus derajat satu
pada kedua kasus sehingga tidak dilakukan
ligasi dan dianjurkan kontrol 3 bulan lagi
untuk melihat keadaan varises esofagus.
Pengalaman penulis selama melakukan
kolonoskopi tidak menjumpai adanya IBD
Bowel Disease) seperti
(Inflammatory
penyakit Chron maupun kolitis ulseratif.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume
40 y No. 4Sumatera
y Desember
2007
Universitas
Utara
Supriatmo
Beberapa sentra lain di Indonesia melaporkan
adanya kasus IBD pada anak-anak Indonesia.
8
Okello dkk , melakukan endoskopi pada
135 orang anak dengan indikasi nyeri
epigastrium (67.4%), dispepsia (11.9%), sakit
perut berulang (3%) dan muntah (3%).
Mendapatkan hasil bahwa diagnosis terbanyak
adalah ulkus duodenum (14.8%) dan gastritis
9
(12.6%). Miller dkk , melakukan penelitian
pada penderita infeksi HIV dan menyatakan
bahwa tidak ada parameter gastrointestinal,
nutrisi ataupun imunologis yang dapat
memprediksi hasil endoskopi secara signifikan.
Tatalaksana medis secara nyata berubah pada
70%
anak
setelah
didapatkan
hasil
pemeriksaan endoskopis. Penelitian ini
mengambil
suatu
kesimpulan
bahwa
endoskopi merupakan alat yang berguna
untuk menterapi langsung ulkus peptikum
dan infeksi dari saluran cerna bagian atas
dengan infeksi HIV. Gejala gastrointestinal
spesifik tidak dapat dijadikan sebagai
prediktor abnormalitas hasil pemeriksaan.
Pemakaian antibiotik pada pasien yang
dilakukan
endoskopi
masih
banyak
dipertanyakan. Kesepakatan yang dibuat
menyatakan bahwa antibiotik diberikan pada
kasus-kasus
risiko
tinggi
menderita
endokarditis. Sebagai contoh endoskopi pada
penderita kelainan katup jantung. Antibiotik
juga diberikan pada kasus-kasus yang berisiko
mengalami bakteremia transien seperti pada
kasus striktur esofagus, ligasi varises
esophagus.
Prosedur
pemeriksaan
endoskopi
memberikan kecemasan bukan hanya kepada
anak tetapi juga orang tua dan bahkan seluruh
anggota keluarga. Perlu dicari metode yang
efektif untuk mengurangi kecemasan ini.
10
Pornthawee dkk , melaporkan dari hasil
penelitian mereka bahwa persiapan pasien
dengan
menjelaskan
prosedur
teknis
pemeriksaan memakai ilustrasi visual dapat
secara signifikan mengurangi kecemasan anak
dan orang tua. Penjelasan dengan metode ini
efektif pada anak usia di atas lima tahun.
Penelitian lain memberikan penjelasan kepada
pasien dan orang tua dengan menunjukkan
gambar-gambar prosedur endoskopi, dan
mendapatkan hasil bahwa anak dan orang tua
menjadi lebih koperatif sewaktu dilakukan
prosedur pemeriksaan. Pemantauan terhadap
tanda vital terutama jantung dan paru mutlak
Gambaran Endoskopi Gastrointestinal…
dilakukan selama pemeriksaan. Banyak
laporan yang menyatakan bahwa frekuensi
denyut jantung dan saturasi oksigen menurun
selama pemeriksaan. Pemberian oksigen
selama pemeriksaan berlangsung mutlak
dilakukan untuk mengurangi risiko selama
pemeriksaan berlangsung.
Pemberian
lidokain
topikal
masih
kontroversi penggunaannya pada anak karena
umumnya endoskopi dilakukan di bawah
sedasi atau anastesi umum. Masalahnya
beberapa
negara
hanya
mengizinkan
penggunaan sedasi seperti profopol oleh ahli
anastesi. Kenyataannya memang lebih aman
jika selama prosedur berlangsung juga diawasi
oleh ahli anastesi, dan operator endoskopi bisa
fokus
melakukan
pekerjaannya,
tetapi
tentunya akan menambah biaya yang pada
akhirnya akan memberatkan pasien. Krauss
11
dkk , manajemen rasa sakit sakit dan
kecemasan pada anak yang akan dilakukan
pemeriksaan untuk tujuan diagnostik maupun
terapetik di luar kamar operasi telah dikenal
selama 15 tahun terakhir ini. Banyaknya alat
monitor non-invasif, shortacting opioids, dan
antagonist benzodiazepine memungkinkan
klinisi untuk memberikan sedasi secara aman.
Tujuan prosedur sedasi adalah untuk
mengontrol rasa sakit, kecemasan dan gerakan
12
dengan aman dan efektif. Abu-Shahwan dkk ,
melakukan penelitian dengan menggunakan
kombinasi propofol dan remifentanil sebagai
sedasi pada anak yang akan dilakukan
pemeriksaan endoskopi dan mengambil suatu
kesimpulan bahwa kombinasi propofol dan
remifentanil aman, efektif dan bisa diterima.
13
Gyepes dkk , mendapatkan kenyataan
bahwa endoskopi fiberoptik merupakan alat
bantu diagnosis yang lebih akurat untuk
melihat lesi mukosa superfisial dibanding
pemeriksaan barium konvensional. Pada
pemeriksaan endoskopi, gambaran dan
karakter mukosa bias dipelajari. Area
hiperemis, merah dan mudah terjadi
perdarahan merupakan tanda kuat adanya
inflamasi, dan gambaran ini berhubungan erat
dengan hasil pemeriksaan histopatologi.
14
Kavin dkk , melaporkan bahwa tidak
semua lesi penyebab perdarahan bisa dilihat
dengan endoskopi standar. Untungnya untuk
mengatasi sekarang sudah ada wireless capsule
endoscopy yang bisa dipergunakan untuk
melihat lesi pada daerah yang tidak bisa dilihat
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 4 y Desember 2007
277
Universitas Sumatera Utara
Karangan Asli
dengan endoskopi standar. Wireless capsule
endoscopy sudah banyak dipergunakan pada
pasien dewasa sedangkan pada pasien anak
masih jarang dipakai. Usia termuda yang
pernah dilakukan pemeriksaan dengan
wireless capsule endoscopy adalah seorang
anak perempuan usia 2.5 tahun dengan
melena berat yang tidak terdeteksi dengan
pemeriksaan endoskopi standar, barium dan
angiografi mesenterium.
Endoskopi masih merupakan pilihan
untuk mendiagnosis adanya infeksi H.pylori
namun harus didukung oleh ahli patologi yang
mampu mengenali adanya H.pylory. Pada
beberapa kasus dengan urea breath test positif
tidak ditemukan kuman H.pylori dari hasil
biopsi. Sehingga beberapa penulis memilih
melakukan pemeriksaan urea breath test dari
pada harus dilakukan endoskopi yang
merupakan pemeriksaan invasive dan terbatas
pada rumah sakit tertentu saja.
Penelitian ini mengambil kesimpulan
bahwa endoskopi merupakan suatu alat bantu
diagnostik dan terapetik yang aman bila
dilakukan oleh ahli yang kompeten. Selama
melakukan
endoskopi
tidak
dijumpai
komplikasi baik selama tindakan maupun
setelah tindakan. Kelemahannya adalah tidak
semua rumah sakit memiliki alat endoskopi
yang cocok buat anak sehingga harga menjadi
mahal karena hanya tersedia di sentra
tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baillie J. Gastrointestinal endoscopy. Basic
principles
and
practice.
Oxford:
Butterworth-Heinemann Ltd, 1992.
2. Hadi S, Thahir G, Daldijono, Rani A,
Akbar N. Endoskopi dalam bidang
gastroenterohepatologi. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI, 1987.
3. Wyllie R, Kay MH. Gastrointestinal
endoscopy in infant and children. Pediatr
in rev 1993;14:9
4. Ukarapol N, Lertprasertsuk N, Fuchs GJ,
Wongsawasdi L, Sirisanthana V. Impact
of gastrointestinal endoscopy on HIVinfected children. Digestive endoscopy
16(1):26-29.
278
5. Kato S, Nakagawa H, Harada Y, Saito Y,
Watanabe N, Abe J, et al. A clinical study
of upper gastrointestinal endoscopy in
Japanese children. Pediatr Int 33(1):3642.
6. Charlton JE. Paediatric endoscopy should
be carried out under general anaesthesia.
BMJ 1995; 311: 452-3.
7. Hirota WK, Petersen K, Baron TH,
Goldstein JL, Jacobson BC, Leighton JA,
et al. Guidelines for antibiotic prophylaxis
for
GI
endoscopy.
Gastrointest
Endosc 2003; 58(4):475-82.
8. Okello
TR.
Upper
gastrointestinal
endoscopic findings in adolescents at
Lacor Hospital, Uganda. Afr Health Sci
2006;6(1):39-42.
9. Miller TL, McQuinn LB, Orav EJ.
Endoscopy of the upper gastrointestinal
tract as a diagnostic tool for children with
human immunodeficiency virus infection.
J Pediatr 1997; 130(5):766-73.
10. Pornthawee R, Nuthapong U. Effect of
Systematic Psychological Preparation
Using Visual Illustration Prior to
Gastrointestinal Endoscopy on the
Anxiety of Both Pediatric Patients and
Parents. J Med Assoc Thai 2006; 89
(2):231-5.
11. Krauss B, Green SM. Sedation and
analgesia for procedures in children.
NEMJ; 342(13):938-45.
12. Abu-Shahwan I, Mack D. Profopol and
remifentanil for deep sedation in children
undergoing gastrointestinal endoscopy.
Paediatr Anaesth 2007; 17(5):460-3.
13. Gyepes MT, Smith LE, Ament ME.
Fiberoptic
Endoscopy
and
Upper
Gastrointestinal
Series:
Comparative
Analysis in Infants and Children. Am J
Roentgenol 128:53-56, January 1977.
14. Kavin H, Berman J, Martin TL, Feldman
A, Forsey-Koukol K. Successful Wireless
Capsule Endoscopy for a 2.5-Year-Old
Child: Gastrointestinal Bleeding From
Mixed, Juvenile, Capillary HemangiomaAngiomatosis of the Jejunum. Pediatr
2006; 117; 539-543.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume
40 y No. 4Sumatera
y Desember
2007
Universitas
Utara