Gambaran Stres Kerja Pada Terapis Anak Autisme Di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru Di Medan Tahun 2010
GAMBARAN STRES KERJA PADA TERAPIS ANAK AUTISME DI YAYASAN TERAPI ANAK AUTISME KECAMATAN MEDAN BARU
DI MEDAN TAHUN 2010
Oleh : NIM. 051000120 DECY SITUNGKIR
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(2)
GAMBARAN STRES KERJA PADA TERAPIS ANAK AUTISME DI YAYASAN TERAPI ANAK AUTISME KECAMATAN MEDAN BARU
DI MEDAN TAHUN 2010
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh : NIM. 051000120 DECY SITUNGKIR
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(3)
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul :
GAMBARAN STRES KERJA PADA TERAPIS ANAK AUTISME DI YAYASAN TERAPI ANAK AUTISME KECAMATAN MEDAN BARU
DI MEDAN TAHUN 2010
Yang Dipersiapkan dan Dipertahankan oleh :
NIM 051000120 DECY SITUNGKIR
Telah diuji dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi pada tanggal 23 Juni 2010
dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima Tim Penguji
Ketua Penguji Penguji I
Ir. Kalsum, M.Kes
NIP. 19590813 199103 2 001 NIP. 19650615 199601 2 001 dr. Halinda Sari Lubis, MKKK
Penguji II Penguji III
Dra. Lina Tarigan, Apt, MS Umi Salmah, SKM, M. Kes NIP. 19590806 198811 2 001 NIP. 19730523 200812 2 002
Medan, 30 Agustus 2010 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Dekan,
NIP. 19610831 198903 1 001 Dr. Drs. Surya Utama, MS
(4)
ABSTRAK
Stres kerja adalah stres yang timbul pada pekerja di organisasi/perusahaan dikarenakan dampak negatif lingkungan kerja yang mempengaruhi psikologi, fisiologi dan perilaku pekerja yang mengganggu pelaksanaan kerja.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui gambaran stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme di Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010. alat ukur untuk mengetahui stres kerja dengan menggunakan kuesioner. Populasi adalah seluruh terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme YAKITA, KIDCARE dan TALI KASIH di Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010 berjumlah 27 orang. Sampel penelitian adalah populasi (Total Sampling).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Baru di Medan tahun 2010 mengalami stres kerja, meskipun tingkat stres kerja terapis tersebut rendah.
Disarankan agar pihak manajemen yayasan terapi anak autisme memberi perhatian khusus kepada terapis untuk mengatasi stres kerja dengan memperhatikan proporsi terapis dengan jumlah anak autisme yang ditanggungjawabi, menyediakan fasilitas untuk kesejahteraan terapis. Untuk terapis supaya menjalin kerja sama dengan atasan dan teman kerja.
(5)
ABSTRACT
Occupational stress is an arising out stress at organization’s workers because of negative impact of working environment that influence worker’s psychology, physiology and behavior that bothering implementation of working.
This research a descriptive one, which purpose to find the working stress on autism Therapists in the therapy foundation for autism children, YAKITA, KIDCARE and TALI KASIH in the district of Medan Baru in Medan on 2010, using total sampling method on 27 therapists.
The research indicate that the autism therapists in the autism foundation in the district of Medan Baru are having working stress, although it is only at the low level.
Therefore, it’s suggested to the foundation management to give special attention to the therapists to overcome the working stress, concerning the proportion of the therapysts and the member of autism children and give facility for them. For the therapists to cooperate with his/her partner and principle.
(6)
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : Decy Situngkir
Tempat/tanggal lahir : Tebing Tinggi, 31 Desember 1986
Agama : Kristen Protestan
Status Perkawinan : Belum Menikah Jumlah Anggota Keluarga : 3 (tiga) orang
Alamat : JL. Jamin Ginting gg. Medan Area No. 15 G, Medan
Riwayat Pendidikan
1. TK Ostrom Methodist Tebing Tinggi : Tahun 1990 - 1992 2. SD Ostrom Methodist Tebing Tinggi : Tahun 1992 - 1998 3. SLTP Ostrom Methodist Tebing Tinggi : Tahun 1998 – 2001 4. SMU Negeri 1 Tebing Tinggi : Tahun 2001 – 2004 5. Fakultas Kesehatan Masyarakat : Tahun 2005 – 2010
(7)
KATA PENGANTAR
Segala puji, hormat dan nyanyian syukur bagi Dia, Allah Bapa di Surga, sebab hanya oleh karena kasih karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : ”GAMBARAN STRES KERJA PADA TERAPIS ANAK AUTISME DI YAYASAN TERAPI ANAK AUTISME KECAMATAN MEDAN BARU DI MEDAN TAHUN 2010”.
Skripsi ini Penulis persembahkan kepada orang tua tercinta, Papa D. Situngkir dan Mama M. Sibarani yang telah mengajarkan pengajaran tentang pendidikan dan senantiasa mendukung penulis dalam setiap keadaan, juga kepada adik-adik : Grace Situngkir dan Surya Situngkir.
Dalam pengerjaan skripsi ini Penulis mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik dukungan moral maupun material. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Dra. Lina Tarigan Apt, M.S selaku Kepala Departemen K3 FKM USU dan sebagai Dosen Penguji II yang telah memberikan banyak masukan dalam penulisan skripsi.
3. Ir. Kalsum, M.Kes selaku selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan kepada Penulis dan selaku dosen pembimbing akademik Penulis selama mengikuti pendidikan di FKM USU.
4. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan banyak masukan baik dalam kuliah reguler maupun dalam penulisan skripsi.
5. Umi Salmah, SKM, M. Kes selaku Dosen Penguji III yang telah memberikan banyak masukan dalam penulisan skripsi.
6. Seluruh dosen dan staff di Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja atas dukungan dan bimbingan yang diberikan kepada Penulis selama mengikuti pendidikan.
(8)
7. Terapis anak Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru yang memberikan respon positif atas penelitian ini.
8. Yayasan Terapi Anak Autisme KIDCARE atas fasilitas dan pelayanan yang diberikan kepada Penulis selama melaksanakan peneltian
9. Yayasan Terapi Anak Autisme Tali Kasih atas fasilitas dan pelayanan yang diberikan kepada Penulis selama melaksanakan penelitian
10. Yayasan Terapi Anak Autisme YAKITA atas fasilitas dan pelayanan yang diberikan kepada Penulis selama melaksanakan peneltian
11. Orangtua tercinta, Papa (D. Situngkir), yang telah memberikan pengajaran tentang pentingnya pendidikan dan Mama (M. Sibarani) yang senantiasa mendukung Penulis dalam setiap keadaan, juga adik - adik (Grace dan Surya) 12. Sahabat-sahabat yang selalu mendukung Penulis dalam menjalankan studi,
”EL-ELYON” (Sri Melda, Ade, Betty, Flora, Lamria, Noni, Rani, Yenti), ”LEMUELLA” (Asri, Icha, Sabeth, Vera) dan ”TA IDIA PROBATA” (Eriama, Lia, Marlina, Margareth, Melda) yang senantiasa memotivasi Penulis dalam banyak hal.
13. Buat sahabatku (Ady, Armen, Bernido, Bona, Cathy, Debora Yung, Ice, Jefry, Minar, Rini, Roy, dll), teman - teman pelayanan POMK FKM USU dan Panitia KMRSU VII terima kasih buat doa dan dukungannya.
14. Seluruh teman - teman angkatan 2005 dan peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, terima kasih untuk semangat dan dukungannya.
15. Pihak-pihak lainnya yang telah membantu Penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Akhirnya Penulis berharap semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi perkembangan ilmu pengethaun di masa yang akan datang.
Medan, Juni 2010
(9)
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan ... i
Abstrak ... ii
Daftar Riwayat Hidup ... iv
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi ... vii
Daftar Tabel ... ix
Daftar Lampiran ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.3.1. Tujuan Umum ... 6
1.3.2. Tujuan Khusus ... 6
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1. Stres Kerja ... 8
2.1.1. Pengertian Stres Kerja ... 8
2.1.2. Jenis - jenis Stres ... 9
2.1.3. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja ... 10
2.1.4. Gejala - gejala Stres Kerja ... 19
2.1.5. Dampak Stres Kerja ... 20
2.1.6. Upaya untuk Menanggulangi Stres Kerja ... 21
2.2. Autisme ... 22
2.2.1. Pengertian Autisme ... 22
2.2.2. Penyebab Autisme ... 23
2.2.3. Kriteria Autisme ... 25
2.3. Terapis ... 26
2.4. Kerangka Konsep ... 30
BAB III METODE PENELITIAN ... 31
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 31
3.2. Tujuan Penelitian ... 31
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31
3.3.1. Lokasi Penelitian ... 31
3.2.3. Waktu Penelitian ... 31
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 31
3.3.1. Populasi ... 31
3.3.2. Sampel ... 32
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 32
3.4.1. Data Primer ... 32
(10)
3.5. Defenisi Operasional ... 32
3.6. Aspek Pengukuran ... 33
3.7. Pengolahan dan Penyajian Data ... 34
BAB IV HASIL PENELITIAN... 35
4.1. Gambaran Lokasi Penelitian... 35
4.1.1. Yayasan YAKITA... ... 35
4.1.2. Yayasan KIDCARE ... 36
4.1.3. Yayasan TALI KASIH ... 39
4.2. Karakteristik Responden... . 40
4.2.1. Jenis Kelamin ... 41
4.2.2. Umur ... 41
4.2.3. Masa Kerja ... 42
4.2.4. Tingkat Pendidikan ... 42
4.2.5. Status Perkawinan ... 43
4.3. Hasil Pengukuran Stres Kerja... 43
BAB V PEMBAHASAN ... 49
5.1. Karakteristik Terapis... ... 49
5.1.1. Jenis Kelamin ... 49
5.1.2. Umur ... 49
5.1.3. Masa Kerja ... 50
5.1.4. Tingkat Pendidikan ... 50
5.1.5. Status Perkawinan ... 51
5.2. Keadaan Stres Kerja Terapis... ... 52
5.2.1. Beban Kerja... 53
5.2.2. Hubungan Interpersonal... 58
5.2.3. Pengembangan Karier... 60
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 62
6.1. Kesimpulan... 62
6.2. Saran... 64 DAFTAR PUSTAKA
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel 4. 1. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Kelompok Jenis Kelamin di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010... 41 Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Umur di Yayasan Terapi
Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan
Tahun 2010... 41 Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Masa Kerja di Yayasan
Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan
Tahun 2010... 42 Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Tingkat Pendidikan di
Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan
Tahun 2010... 42 Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Status Perkawinan di
Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan
Tahun 2010... 43 Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Tingkat Stres Kerja di
Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan
Tahun 2010... 43 Tabel 4.7. Distribusi Beban Kerja Dengan Stres Kerja Pada Terapis Anak
Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan
Baru di Medan Tahun 2010... 44 Tabel 4.8. Distribusi Hubungan Interpersonal Dengan Stres Kerja Pada
Terapis Anak Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme
Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010... 46 Tabel 4.9. Distribusi Pengembangan Karier Dengan Stres Kerja Pada
Terapis Anak Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner
Lampiran 2 Surat Permohonan Izin dari Fakultas Kesehatan Masyarakat niversitas Sumatera Utara
Lampiran 3 Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian dari Yayasan Anak Kita (YAKITA)
Lampiran 4 Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian dari yayasan KIDCARE
Lampiran 5 Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian dari yayasan TALI KASIH
Lampiran 6 Rekapitulasi Hasil Penelitian Lampiran 7 Slide
(13)
ABSTRAK
Stres kerja adalah stres yang timbul pada pekerja di organisasi/perusahaan dikarenakan dampak negatif lingkungan kerja yang mempengaruhi psikologi, fisiologi dan perilaku pekerja yang mengganggu pelaksanaan kerja.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui gambaran stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme di Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010. alat ukur untuk mengetahui stres kerja dengan menggunakan kuesioner. Populasi adalah seluruh terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme YAKITA, KIDCARE dan TALI KASIH di Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010 berjumlah 27 orang. Sampel penelitian adalah populasi (Total Sampling).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Baru di Medan tahun 2010 mengalami stres kerja, meskipun tingkat stres kerja terapis tersebut rendah.
Disarankan agar pihak manajemen yayasan terapi anak autisme memberi perhatian khusus kepada terapis untuk mengatasi stres kerja dengan memperhatikan proporsi terapis dengan jumlah anak autisme yang ditanggungjawabi, menyediakan fasilitas untuk kesejahteraan terapis. Untuk terapis supaya menjalin kerja sama dengan atasan dan teman kerja.
(14)
ABSTRACT
Occupational stress is an arising out stress at organization’s workers because of negative impact of working environment that influence worker’s psychology, physiology and behavior that bothering implementation of working.
This research a descriptive one, which purpose to find the working stress on autism Therapists in the therapy foundation for autism children, YAKITA, KIDCARE and TALI KASIH in the district of Medan Baru in Medan on 2010, using total sampling method on 27 therapists.
The research indicate that the autism therapists in the autism foundation in the district of Medan Baru are having working stress, although it is only at the low level.
Therefore, it’s suggested to the foundation management to give special attention to the therapists to overcome the working stress, concerning the proportion of the therapysts and the member of autism children and give facility for them. For the therapists to cooperate with his/her partner and principle.
(15)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dimana tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan masyarakat. 1
Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, khususnya pasal 23 tentang kesehatan kerja menyebutkan bahwa upaya kesehatan kerja harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan.2
Dalam dunia kerja, sering timbul (muncul) berbagai masalah sehubungan dengan stres dan kondisi-kondisi yang dapat memicu terjadinya stres. Baik disadari maupun tidak, pekerjaan seseorang menimbulkan stres pada dirinya. Hal ini pasti akan tampak dalam kurun waktu yang panjang, karena memang manusia setiap harinya berkecimpung di tempat kerjanya lebih dari sepertiga kali waktunya.3
Stres adalah situasi ketegangan/tekanan emosional yang dialami seseorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan, dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran dan kondisi fisik seseorang.4
(16)
Stres dalam suatu lingkungan pekerjaan sampai batas yang dapat ditolerir bisa memberikan suatu rangsangan sehat guna mendorong individu-individu dalam suatu organisasi untuk memberikan tanggapan positif terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi sehingga mereka terpacu untuk mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki dalam rangka memenuhi tugas dan tanggung jawabnya, dan bila ini terjadi maka stres pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas dan prestasi kerja.
Pada kondisi sebaliknya, stres yang berlebihan sudah tidak mampu lagi ditolerir oleh seorang individu akan menimbulkan dampak yang tidak sehat, karena individu tersebut kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya secara utuh. Akibatnya ia tidak dapat lagi mengambil keputusan-keputusan yang tepat dan kadang perilakunya ikut terganggu. Dampak lain yang mungkin terjadi adalah sakit secara fisik, putus asa, sering absen, dan lain-lain. Akhirnya selama stres ini belum teratasi, maka tingkat produktivitas/prestasi kerja cenderung dan terus menurun. Kondisi yang sama dapat terjadi bila dalam lingkungan pekerjaan tersebut tidak ada stres sama sekali. Karena tantangan-tantangan kerja tidak ada sehingga pekerjaan menjadi suatu hal yang membosankan dan menjemukan.5
Sekitar 80% penyakit dan kesakitan dipicu dan diperburuk oleh stres kerja. Tiga dari lima orang menyatakan bahwa stres kerja berhubungan langsung dengan masalah kesehatan akut dan kronis sehingga dalam laporan pemerintah Amerika Serikat di tahun 1992, stres kerja dijuluki sebagai penyakit abad ke-20.6
Dari 160 juta tenaga kerja Uni Eropa, 56 persennya mengatakan mereka bekerja dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan 60 persen mengatakan mereka dikejar-kejar tenggat yang ketat. Lebih dari sepertiganya tidak punya suara atas apa
(17)
yang diperintahkan oleh majikan untuk mereka kerjakan, dan 40 persen melakukan pekerjaan yang membosankan. Inilah mungkin penyebab timbulnya berbagai penyakit yang terkait dengan pekerjaan: 15 persen tenaga kerja mengeluhkan sakit kepala, 33 persen sakit punggung, 23 persen kelelahan, dan 23 persen sakit leher dan bahu, plus berbagai penyakit lainnya.7
Stres kerja juga merupakan penentu penting timbulnya depresi, penyebab keempat terbesar timbulnya penyakit di seluruh dunia. Depresi diperkirakan bakal menduduki tempat kedua menjelang 2020 sesudah penyakit jantung yang menduduki tempat ketiga. Di negara-negara Uni Eropa, ongkos yang harus dibayar akibat stres kerja dan penyakit mental yang terkait dengannya diperkirakan mencapai rata-rata 3-4 persen dari PDB, yaitu sekitar 265 miliar euro setiap tahun.7
Hasil penelitian Caroline mengenai faktor – faktor penyebab stres kerja pada terapis dari anak Austistic Spectrum Disorder mengatakan bahwa terapis anak autis adalah salah satu dari pekerja yang memiliki tingkat stres cukup tinggi, karena para terapis ini bekerja dengan anak yang memiliki kebutuhan khusus, atau berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Faktor-faktor penyebab stres pada masing-masing partisipan memiliki variasi dan kombinasi yang beragam. Ketiga partisipan mengalami stres terhadap suara yang tinggi dan kuat, tekanan, frustrasi yang bersumber dari konflik, serta ketakutan dan kecemasan. Faktor lain yang menjadi penyebab stres bagi para terapis, misalnya hubungan dengan rekan sekerja, lama bekerja sebagai terapis, anak autis, dukungan keluarga, kepadatan jadwal dan rutinitas kerja, serta ketidaksesuaian beban kerja dengan gaji yang didapat.8
(18)
Handojo menjelaskan bahwa anak autis termasuk anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan perilakunya, antara lain perilaku wicara dan okupasi mereka tidak berkembang seperti anak normal. Padahal kedua jenis perilaku ini penting untuk komunikasi dan sosialisasi.9
Anak-anak yang menderita autisme tampil seolah-olah mereka terbelenggu oleh pikiran mereka sendiri, sebab mereka tidak dapat mempelajari bahasa, atau keterampilan sosial yang dibutuhkan lingkungannya. Anak-anak ini tidak memperlihatkan kegembiraan atau kespontanan yang biasanya tampak pada anak-anak normal. Dan mereka sering memperlihatkan secara ekstrim hentakan keinginan, kemarahan dan rasa takut yang berlebihan.10
Autisme telah menjadi permasalahan kesehatan mental yang patut diberikan perhatian lebih. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di
Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 – 15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalensi autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak.
Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autisma. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penderita namun diperkirakan jumlah anak autis dapat mencapai 150 - 200 ribu orang.
(19)
Hasil wawancara dengan bagian administrasi yayasan terapi anak autisme, diketahui bahwa mereka menyediakan paket terapi dengan 3 jenis paket yaitu : paket 1 (3x seminggu), paket 2 (4x seminggu), dan paket 3 (6x seminggu). Setiap terapis menerapi anak autisme dari ketiga jenis paket tersebut, yang jumlahnya 5-6 anak autis per bulannya, selama 1-2 jam.
Selain itu, mereka juga mengikuti terapi berenang yang bertujuan untuk mengatur gerakan badan dan irama pernafasan. Semua paket ini dilakukan terapis, kecuali terapi biomedik.
Akan tetapi, menjadi seorang terapis, ia merupakan seorang lulusan sarjana psikologi dan fisioterapi dan lulus tahap observasi terhadap anak autis yang akan menjadi anak didiknya. Jika lulus, ia dapat disebut terapis dan terikat kontrak selama 2 tahun.
Sebelum mulai bekerja, setiap terapis menyiapkan alat dan bahan untuk terapi sesuai dengan kebutuhan anak didiknya. Dan hal utama yang perlu dilakukan adalah mematikan handphone atau tidak membawanya ke ruang terapi, karena akan mengganggu kestabilam emosi anak. Selesai terapi, segera terapis harus mencatat bagaimana perkembangan anak pada hari itu, sementara anak didiknya yang lain telah menunggu untuk menjalani proses terapi.
Hal ini yang merupakan salah satu faktor penyebab stres terapis di tempat kerja, karena selain menghadapi anak didiknya dengan berbagai tingkah laku, mereka juga mengalami stres ketika metode untuk anak didiknya tidak berhasil.
Selain itu, anak autisme yang mengikuti terapi berusia 5 – 12 tahun, padahal usia anak yang ideal untuk mendapatkan terapi adalah 2 - 3 tahun, karena pada usia
(20)
ini perkembangan otak paling cepat. Sedangkan penatalaksanaan terapi setelah usia 5 tahun hasilnya berjalan lambat, karena perkembangan otak melambat 25%.9
Mereka juga tidak jarang harus mengalami cidera dikarenakan kemarahan, kesedihan atau ketakutan anak yang berlebihan seperti : bekas cubitan, gigitan, dipukul oleh mereka bahkan berulang kali mengganti kacamata.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Medan Baru di Medan.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan adalah belum diketahui gambaran stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui distribusi karakteristik terapis anak autisme (jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, masa kerja, status perkawinan) dengan stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010.
2. Untuk mengetahui distribusi lingkungan kerja (beban kerja, hubungan interpersonal, dan pengembangan karier) dengan stres kerja pada terapis anak
(21)
autisme di yayasan terapi anak autisme Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi para terapis dan pimpinan yayasan terapi anak autisme Kecamatan Medan Baru di Medan tahun 2010 mengenai stres kerja yang dialami oleh para terapis, sehingga dapat dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi/mengurangi stres kerja tersebut sebagai upaya peningkatan derajat kesehatan.
2. Sebagai sarana penambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang stres kerja serta bahan masukan peneliti lain yang membutuhkan data penelitian ini.
(22)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stres Kerja
2.1.1. Pengertian Stres Kerja
Para pekerja di setiap level mengalami tekanan dan ketidakpastian. Situasi inilah yang seringkali memicu terjadinya stres kerja.11 Selye (1992) mendefenisikan stres kerja : “Work stress is an individual’s response to work related environmental stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological, psychological, or behavioural reaction”
Berdasarkan definisi di atas, stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja.12
Brousseau dan Prince (1981)menjelaskan bahwa stres kerja adalah keadaan psikologis karyawan yang tidak menyenangkan untuk bekerja karena merasa terancam di lingkungan kerjanya.13
Luthans mendefenisikan stres kerja sebagai suatu peristiwa pada pekerja di organisasi perusahaan, yang mempengaruhi terhadap psikologis dan fisik seseorang yang akan mengganggu pelaksanaan kerja.6
(23)
Shin dkk.(1984) mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi lingkungan kerja yang bersifat negatif seperti konflik peran dan kurangnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.13
Menurut Phillip L. Rice, seseorang dapat dikategorikan mengalami stres kerja jika : urusan stres yang dialami melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke rumah dapat juga menjadi penyebab stres kerja, yang mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan dan juga individu.11
Dari beberapa pengertian stres kerja di atas, disimpulkan bahwa stres kerja adalah stres yang timbul pada pekerja di organisasi perusahaan dikarenakan dampak negatif lingkungan kerja, yang mempengaruhi psikologi, fisiologi dan perilaku pekerja yang akan mengganggu pelaksanaan kerja.
2.1.2. Jenis-jenis Stres
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
1. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun) seperti promosi jabatan, cuti yang dibayar, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi., dan sebagainya.6; 3
2. distress yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak) seperti kematian anak, istri, di-PHK dari pekerjaannya, dan sebagainya.11
(24)
2.1.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Stres Kerja
Greenberg (1999) menjelaskan bahwa banyak aspek yang dapat menyebabkan stres kerja seperti :
a. Faktor intrinsik dalam pekerjaan seperti : beban kerja berlebih, waktu kerja, kondisi lingkungan kerja, dan lain-lain.
b. Peran tenaga kerja dalam organisasi seperti : konflik peran, ketaksaan peran, konflik dalam organisasi
c. Pengembangan karier seperti : promosi jabatan, ambisi yang gagal, dan lain-lain. d. Hubungan antar pribadi di tempat kerja mencakup hubungan tenaga kerja dengan
rekan kerja, atasan dan klien.
e. Struktur dan iklim di tempat kerja mencakup kurangnya partisipasi tenaga kerja dalam mengambil keputusan, kurangnya konsultasi, dan lain-lain.
Selain itu, ketidakpuasan tenaga kerja pada gaji dan kondisi tempat kerja seerti : kebisingan, pencahayaan yang tidak baik, ventilasi yang buruk, dan lain-lain juga dapat menyebabkan stres kerja.14
Duane (2006) menjelaskan faktor - faktor lingkungan kerja yang dapat menyebabkan stres kerja diantaranya :
1. Beban kerja berlebih atau terlalu sedikit
Tuntutan dari sebuah pekerjaan (seperti : cara bekerja, beban kerja, jumlah jam kerja) dapat menyebabkan stres dan ketegangan. Beban kerja berlebih/terlalu sedikit timbul sebagai akibat dari tugas - tugas yang terlalu banyak/terlalu sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu.
(25)
Dibedakan menjadi dua bagian : beban kerja berlebih/terlalu sedikit ’kuantitatif’ dan beban kerja berlebih/terlalu sedikit ’kualitatif’.15
a. Beban kerja berlebih/terlalu sedikit ’kuantitatif’
Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, seperti harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan sumber stres pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ini adalah desakan waktu. Waktu dalam masyarakat industri merupakan satu unsur yang sangat penting.
Menurut Kiev dan Khon dalam meneliti 2.659 manajer puncak dan menengah menemukan bahwa para manajer menyebutkan heavy workload/time pressures/unrealistic deadlines sebagai faktor utama yang menimbulkan stres pada mereka.
Pada saat - saat tertentu, dalam hal tertentu waktu akhir (deadline) dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Namun, dapat juga menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang.17
Beban kerja terlalu sedikit juga dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Kemajuan teknologi dan meningkatkan otomasi dalam industri di satu pihak dapat mengarah pada makin menjadinya majemuk pekerjaan, di lain pihak, pada teknologi menengah, mengarah pada penyederhanaan pekerjaan.
Pada pekerjaan yang sederhana, dimana banyak terjadi banyak pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari - hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang harus
(26)
dilakukan mengakibatkan berkurangnya perhatian. Hal ini, secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak cepat dalam keadaan darurat.
Bentuk lain yang merupakan pembangkit stres juga ialah adanya fluktuasi dalam beban kerja. Untuk jangka waktu tertentu bebannya sangat ringan, untuk saat - saat lain bebannya malah berlebihan.
Situasi tersebut dapat dijumpai pada tenaga kerja yang mengatur perjalanan bagi orang lain pada biro - biro perjalanan, yang menjadi pemandu wisata, tenaga kerja yang bekerja di biro - biro konsultasi, pramuniaga di toko - toko, dan sebagainya. Keadaan ini menimbulkan kecemasan, ketidakpuasan kerja dan kecenderungan meninggalkan pekerjaan.17
b. Beban kerja berlebih/terlalu sedikit ’kualitatif’
Beban kerja berlebih/terlalu sedikit kualitatif yaitu jika tenaga kerja merasa tidak mampu melakukan suatu tugas atau terlalu sulit, atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan/atau potensi dari tenaga kerja.
2. Struktur dan iklim organisasi
Strukur organisasi dapat menyebabkan stres. Seringkali muncul keluhan bahwa struktur yang ada terlalu kaku, birokratis dan kurang memungkinkan terjadinya proses pembimbingan dari atas ke bawah. Seorang tenaga kerja juga sering merasa tidak senang jika mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan apalagi dibatasi tingkah lakunya.
(27)
3. Peran.Individu dalam Organisasi
Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus ia lakukan sesuai dengan aturan – aturan yang ada dan yang sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Namun tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah, dikarenakan terjadi konflik peran dan ketaksaan peran.
Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya :
1. pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang ia miliki.
2. tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan bagian dari pekerjaannya,
3. tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya atau orang lain yang dinilai penting baginya,
4. pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya.
Van Sell dkk dan Khan dkk, menemukan bahwa tenaga kerja yang menderita konflik peran lebih banyak memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah dan ketegangan pekerjaan yang lebih tinggi. French dan Caplan menemukan para tenaga kerja pria kantor mempunyai kaitan erat dengan konflik peran yang menyebabkan detak jantung dan rasa tegang meningkat.17
Ketaksaan peran dirasakan jika seorang tenaga kerja tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau
(28)
merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu. Kenyataan seperti ini mungkin banyak dialami pekerja di Indonesia, dimana perusahaan atau organisasi tidak punya garis-garis haluan yang jelas, aturan main, visi dan misi yang seringkali tidak dikomunikasikan pada seluruh karyawannya. Akibatnya, sering muncul rasa ketidakpuasan kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga akhirnya timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan
Selain faktor – faktor di atas, menurut Munandar (2001), ada beberapa faktor lain yang menyebabkan stres kerja yaitu :
1. Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal yang dimaksud adalah hubungan pekerja dengan teman kerja, atasan dan klien. Konflik terjadi ketika teman kerja bekerja lambat sedangkan teman kerja yang lain ingin mengerjakan secepat mungkin, pekerja diperlakukan tidak adil misalnya : atasan mendapat bonus, namun pada para karyawan dikatakan mereka tidak punya uang untuk membayar gaji.15
Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi. Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi.
2. Pengembangan Karier (Career Development)
Stres pada pekerjaan sebenarnya mencerminkan naik – turunnya karir seseorang. Studi menunjukkan bahwa seseorang yang bekerja sebenarnya membawa sejumlah harapan ke pekerjaannya, yang paling sering adalah adanya
(29)
peningkatan. Namun, harapan itu sering kali tidak tercapai dikarenakan : ketidakjelasan sistem pengembangan karir dan penilaian prestasi kerja, budaya nepotisme dalam manajemen atau karena tidak ada kesempatan lagi untuk naik jabatan.
3. Tuntutan dari Luar Organisasi/Pekerjaan
Hal ini mencakup segala unsur kehidupan seorang pekerja seperti : isu – isu tentang keluarga, krisis kehidupan, pernikahan, kesulitan keuangan, anak, penyakit (illness), keyakinan – keyakinan pribadi organisasi yang bertentangan, konflik antar keluarga dan tuntutan perusahaan..
Hardjana (1994) Keluarga, yang merupakan kesatuan inti dalam masyarakat, dapat menjadi sumber stres tersendiri. Setiap anggota keluarga memiliki perilaku, kebutuhan dan kepribadian yang berbeda-beda. Kurang luasnya rumah dan berjubelnya penghuni yang terlalu banyak, mudah mengganggu rasa privasi dan menjadi lahan subur untuk timbul dan berkembangnya perselisihan, bahkan permusuhan.
Di samping itu, keluarga dapat menjadi sumber stres karena peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan para anggota keluarga. Bertambahnya anggota keluarga dengan kelahiran anak dapat menimbulkan stres bagi ibu pada waktu kehamilan, kelahiran dan pengasuhannya; bagi bapak keluarga karena harus memikirkan tambahan penghasilan; bagi anak-anak lain – bila sudah ada – karena perhatian, mungkin juga jatah uang dan makan, ikut berkurang.19
Pertentangan keluarga - pekerjaan terjadi ketika tenaga kerja menghadapi pertentangan antara peran mereka di tempat kerja dan peran mereka dalam
(30)
kehidupan sehari - hari. Wanita yang bekerja juga memiliki peran ganda dalam keluarga, hal ini merupakan sumber stres kerja. Peranan wanita lebih banyak daripada pria dikarenakan mereka juga harus mengerjakan tanggung jawab mereka dalam rumah tangga terus menerus.
Beberapa studi akhir menunjukkan bahwa perselisihan antar keluarga dan pekerjaan memberi dampak yang sangat berarti bagi kesehatan dan kepribadian baik pria maupun wanita seperti depresi atau kecemasan, daripada pekerja yang tidak memiliki perselisihan antar keluarga dan pekerjaan.
Keluarga juga dapat menjadi sumber stres karena ada anggota keluarga yang sakit, apalagi serius dan berkepanjangan juga kematian anggota keluarga, dapat mendatangkan stres berat bagi para anggota keluarga yang ditinggalkannya. 4. Dalam Diri Individu
Usia dewasa mengalami perubahan bersifat fisik baik efisiensi, kesehatan dan kekuatan yang mencapai puncaknya, secara psikis muncul keinginan dan usaha pemantapan, sering mengalami ketegangan emosi karena kompleksitas persoalan, kemampuan mental seperti penalaran, meningat dan reaktif pada posisi puncak.19 Masa kerja memberi pengaruh terhadap kematangan pengalaman pejabat dalam suatu jabatannya, tetapi bila terlalu lama pada suatu jabatan akan menimbulkan kebosanan, terutama bila lingkungan kerja kurang menyenangkan, maka kondisi ini akan menimbulkan stres.21
Ciri-ciri individu juga menentukan sejauh mana ia memberikan reaksi – reaksi psikologis, fisiologis dan/atau dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil interaksi situasi dengan individunya, mencakup ciri – ciri kepribadian yang
(31)
khusus dan pola – pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai – nilai, pengalaman lalu, keadaan hidup dan kecakapan (seperti : intelegensi, pendidikan, pelatihan dan pembelajaran).17
a. Kepribadian
Dr. Meyer Friedman dan Dr. Ray Roseman dari Harold Brunn Institute for Cardiovascular Research di San Fransisco menemukenali dua pola perilaku, masing-masing terdiri dari satu perangkat cirri kepribadian yang majemuk, yaitu tipe A dan tipe B.
Orang dari tipe A digambarkan sebagai orang yang memiliki derajat dan intensitas yang tinggi untuk ambisi, dorongan untuk pencapaian (achievement) dan pengakuan (recognition), kebersaingan (competitiveness) dan keagresifan. Orang tipe A memiliki paksaan untuk bekerja berlebih, selalu bergelut dengan batas waktu, dan sering menelantarkan aspek-aspek lain dari kehidupan seperti keluarga, kejaran sosial (social pursuits), kegiatan-kegiatan waktu luang dan rekreasi.
Sebaliknya pola perilaku orang tipe B digambarkan lebih menggampangkan (easy going) dan santai. Secara relatif bebas dari rasa mendesak, mereka tidak selalu harus berkejar dengan waktu. Karena mereka tidak mempunyai konflik berarti dengan orang lain, mereka merasa lebih sedikit permusuhan.
b. Kecakapan
Kecakapan merupakan variabel yang ikut menentukan stres tidaknya suatu situasi yang sedang dihadapi. Jika seorang tenaga kerja mengahadapi masalah yang ia rasakan tidak mampu ia pecahan, sedangkan situasi tersebut
(32)
mempunyai arti yang penting bagi dirinya, situasi tersebut akan ia rasakan sebagai situasi yang mengancam dirinya sehingga ia mengalami stres.
Menurut Cooper (1983) latar belakang pendidikan berpengaruh terhadap kualitas dalam bekerja. Kualitas yang rendah dapat mengakibatkan beban kerja menjadi bertambah dan akan menimbulkan stres.21
c. Nilai dan Kebutuhan
Setiap organisasi mempunyai kebudayaan masing-masing. Kebudayaan yang terdiri dari keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan norma-norma perilaku yang menunjang organisasi dalam usahanya mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan pemanduan (integrasi) internal.
Para tenaga kerja diharapkan berperilaku sesuai dengan norma-norma perilaku yang diterima dalam organisasi. Jika tidak ia bisa mengundurkan diri, karena tidak ada pekerjaan lain atau karena sebab lain, maka tenaga kerja akan mengalami stres.
Peristiwa traumatik juga dapat menyebabkan stres pada seseorang seperti gempa bumi dan banjir, bencana buatan manusia seperti perang dan kecelakaan nuklir, kecelakaan mobil atau pesawat terbang; dan penyerangan fisik seperti pemerkosaan atau upaya pembunuhan.22
2.1.4. Gejala-gejala Stres Kerja
Stres sebagai ketegangan atau tekanan emosional yang dialami seseorang dan abstrak gejalanya, oleh para ahli dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu :
(33)
a. Gejala fisik, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada metabolisme organ tubuh seperti denyut jantung yang meningkat, sakit kepala, dan sakit perut yang bisa kita alami dan harus diwaspadai.
b. Gejala emosional, yaitu perubahan-perubahan sikap yang terjadi seperti ketegangan, kegelisahan, ketidaktenangan, kebosanan, cepat marah, menurunnya rasa percaya diri, kehilangan spontanitas dan kreativitas dan lain-lain.
c. Gejala keperilakuan, yaitu perubahan-perubahan atau situasi dimana produktivitas seseorang menurun, absensi meningkat, kebiasaan makan berubah, merokok bertambah, banyak minum minuman keras, tidak bisa tidur, berbicara tidak tenang, dan lain-lain.4
d. Gejala intelektual, yaitu ditandai dengan lemahnya daya ingat, tidak mampu berkonsentrasi, produktivitas atau prestasi kerja menurun dan mutu kerja rendah, dan lain-lain.
e. Gejala interpersonal, ditandai dengan kehilangan kepercayaan pada orang lain, mudah menyalahkan orang lain, suka mencari-cari kesalahan orang lain, dan lain-lain.23
Pada sistem saraf otonom, menimbulkan gejala seperti keluarnya keringat dingin (dan keringat pd telapak tangan), rasa panas dingin badan, asam lambung yang meningkat (sakit maag), kejang lambung dan usus, mudah kaget, gangguan seksual, dan lain-lain. Gejala berat akibat stres : kematian, gila (psikosis) dan hilangnya kontak sama sekali dgn lingkungan sosial.24
(34)
2.1.5. Dampak Stres Kerja
Dalam keadaan stres, tubuh kita akan mengaktifkan respon melawan atau menghindar, baik kita memilih untuk tetap aktif maupun diam saja. Akibatnya, kita mengeluarkan lebih banyak energi, dan hal ini berdampak pada emosional dan fisik. a. Dampak pada emosional
Dampak pada emosional seperti : keletihan yang membuat pekerja tidak fokus pada pekerjaan, kemampuan untuk mengingat informasi menjadi sangat terbatas dan berpengaruh pada proses pengambilan keputusan, menutup diri, depresi, dan harga diri rendah
b. Dampak pada fisik
Di awal tahun 1970-an, ada dugaan bahwa dari semua penyakit dan kesakitan yang terjadi, 60%-nya berkaitan dengan stres. Berdasarkan temuan terbaru tentang interaksi pikiran-tubuh, diperkirakan sebanyak 80% dari semua masalah yang berkaitan dengan kesehatan disebabkan atau diperburuk oleh stres.
Diantaranya : sakit kepala karena tegang, sakit kepala migrain, Temporomandibular Joint Dysfunction (TMJ), masalah lambung (Ulkus dan Kolitis, Irritable Bowel Syndrome (IBS), cemas saraf, pilek, penyakit jantung Koroner bahkan Kanker.
2.1.6. Upaya Menanggulangi Stres Kerja
John R. Schermerhorn, Jr., James G. Hunt dan Richard N. Osborn membuat beberapa pedoman untuk menanggulangi stress yaitu :
(35)
Waktu yang kita miliki memang terbatas, sehingga bilamana kita berbagai tuntutan dapat mengakibatkan stres, namun bila waktu dapat diatur dengan baik dapat meningkatkan penyelesaian berbagai pekerjaan dengan lebih efektif. Beberapa prinsip yang dapat dipegang adalah :
a. Membuat daftar mengenai aktivitas yang harus dilakukan
b. Menentukan prioritas aktivitas berdasarkan kepentingan dan urgensinya c. Menentukan waktu pelaksanaan sesuai dengan prioritas
2. Latihan fisik
Melakukan berbagai kegiatan fisik yang menyenangkan seperti : jogging, jalan kaki, naik sepeda, bermain tennis, bermain golf. Latihan ini dapat meningkatkan kesehatan jantung, melancarkan peredaran darah atau kesehatan fisik secara umum, yang akan meningkatkan kemampuan dalam menghadapi berbagai tantangan. 3. Relaksasi
Kegiatan bertujuan untuk mencapai suatu situasi dimana semua komponen tubuh istirahat dan relaks, yang dapat digunakan dalam beberapa menit, kurang lebih 20 menit setiap hari, yang dilakukan dengan cara :
a. Duduk santai dengan mata tertutup di sebuah tempat yang sepi
b. Secara perlahan - lahan menyebutkan kata - kata atau kalimat yang mendamaikan pikiran dan perasaan anda secara berulang - ulang
c. Menarik nafas secara santai melalui hidung dan mengeluarkannya melalui mulut
d. Menghindari pikiran - pikiran yang mengganggu, dengan sikap mental menerima.
(36)
4. Terbuka pada orang lain
Mendiskusikan secara terbuka dengan orang lain yang drkat dengan anda masalah – masalah, ketakutan yang dihadapi, dan lain - lain.
5. Pace yourself
Rencanakan hari - hari anda secara fleksibel. Tidak melakukan dua hal dalam waktu yang bersamaan, bersikap tenang, tidak terburu - buru, dan berpikir sebelum bereaksi. Hidup berlandaskan hari, bukan menit per menit.
2.2. Autisme
2.2.1. Pengertian Autisme
Autisme pertama kali ditemukan oleh dr. Leo Keanner, seorang psikiater di Harvard sejak tahun 1938. Kanner mendeskripsikan autisma sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.10
Menurut Faisal (2003) autisme bukan satu gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autisme hidup dalam dunianya sendiri, berbuat semaunya sendiri baik cara berpikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih muda, biasanya usia 2-3 tahun, dan bisa mengenai siapa saja, baik yang sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak atau dewasa, dan semua etnis.25
(37)
Anak-anak yang mengidap autisme memiliki syaraf yang tidak bersambung sampai ke bagian-bagian tertentu pada otak dalam jumlah banyak, yang mana hal ini bisa memancing mereka untuk bereaksi secara berlebihan terhadap stimulus seperti suara gaduh, cahaya atau rangsangan lainnya. Terganggunya syaraf otak ini menyebabkan mereka kurang mampu beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi terhadap sekelilingnya, karena itu perubahan lingkungan yang terjadi memaksa mereka untuk berusaha keras menyeleksi informasi apa saja yang datang berulang-ulang.26
Perilaku autistik digolongkan menjadi 2 jenis yaitu :
1. Perilaku yang eksesif (berlebihan) adalah perilaku yang hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menyepak, menggigit, mencakar dan memukul, dan juga sering menyakiti diri sendiri.
2. Perilaku yang defisit (berkekurangan) ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai (naik ke pangkuan ibu bukan untuk kasih sayang tapi untuk meraih kue), bermain tidak benar dan emosi tanpa sebab (misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab).9
2.2.2. Penyebab Autisme Penyebab autisme yaitu : a. Gangguan susunan saraf pusat
Banyak pakar sepakat bahwa pada otak anak autisme dijumpai suatu kelainan pada otaknya. Ada tiga lokasi di otak yang mengalami kelainan neuro-anatomis (anatomi susunan saraf pusat) yaitu pada lobus patietalis, cerebellum dan system
(38)
limbiknya. 43 % penyandang autisma yang mempunyai kelainan pada lobus parietalis otaknya, menyebabkan anak cuek terhadap lingkungannya.
Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berpikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Jumlah sel Purkinye di otak kecil yang sangat sedikit, menyebabkan gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine. Akibatnya terjadi gangguan atau kekacauan lau-lalang impuls di otak. Selain itu, ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di dalam system limbic mengakibatkan gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi.
b. Gangguan Sistem Pencernaan
Tahun 1977, seorang pasien autis, Parker Beck, mengeluhkan gangguan pencernaan yang sangat buruk. Ternyata, ia kekuranganenzim sekretin. Setelah mendapatkan suntikan sekretin, Beck sembuhdan mengalami kemajuan luar biasa. Kasus ini memicu penelitian-penelitian yang mengarah pada gangguan metabolisme pencernaan.
c. Peradangan Dinding Usus
Berdasarkan pemeriksaan endoskopi atau peneropongan usus pada sejumlah anak autis yang memiliki pencernaan buruk ditemukan adanya peradangan usus pada sebagian besar anak. Dr. Andrew Wakefield ahli pencernaan (gastro enterolog) asal Inggris, menduga peradangan tersebut disebabkan virus, mungkin virus campak. Itu sebabnya, banyak orangtua yang kemudian menolak imunisasi MMR (Measles, Mumpus, Rubella) karena diduga menjadi penyebab autis pada anak.
(39)
d. Sensory Interpretation Errors
Rangsangan sensoris yang berasal dari reseptor visual, auditori dan taktil, mengalami proses yang kacau di otak anak, sehingga timbul persepsi yang semrawut, kacau atau berlebihan, yang pada akhirnya menyebabkan kebingungan dan ketakutan pada anak. Akibatnya anak menarik diri dari lingkungan yang “menakutkan”.
e. Faktor Genetika
Ditemukan 20 gen yang terkait dengan autisma, namun gejala autisma bias muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Bisa saja autisma tidak muncul, meski anak membawa gen autisma.
Disamping faktor genetika ini, banyak faktor pemicu yang diperkirakan berperan dalam timbulnya gejala autisma. Pada kehamilan trisemester pertama, yaitu 0-4 bulan, faktor pemicu bisa terdiri dari : infeksi (toksoplasmosis, rubella, candida, dan sebagainya), logam berat (Pb, Al, Hg, Cd), zat aditif (MSG, pengawet, pewarna, dan sebagainya) alergi berat, obat-obatan, jamu peluntur, muntah-muntah hebat (hiperemesis), perdarahan berat, dan lain-lain.
Proses kelahiran yang lama (partus lama) dapat memicu terjadinya autisma. Bahkan sesudah lahir (post partum) juga dapat terjadi dikarenakan : infeksi ringan-berat pada bayi, imunisasi MMR dan Hepatitis B, logam ringan-berat, MSG, zat pewarna, zat pengawet, protein susu sapi (kasein), dan protein tepung terigu (gluten).
(40)
2.2.3. Kriteria Anak Autisme
Adapun kriteria seorang anak didiagnosa sebagai anak autisme yaitu :
A. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3).
(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 gejala dari gejala-gejala di bawah ini :
a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju.
b. Tak bisa bermain dengan teman sebaya
c. Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain
d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala-gejala di bawah ini :
a. Bicara terlambat bahkan sama sekali tak berkembang (dan tak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara)
b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru
(3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala di bawah ini :
(41)
a. Mempertahankan suatu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas dan berlebih-lebihan
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya
c. Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan diulang-ulang d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda
B. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang :
a. interaksi sosial b. bicara dan berbahasa
c. cara bermain yang kurang variatif
C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett/Gangguan Disintegratif Masa Kanak 2.3. Terapis
Terapi berasal dari kata “therapy” yang berarti penyembuhan, tidak hanya membahas masalah pengobatan jasmaniah, tetapi penyesuaian diri dan fungsi berpikir.25
Terapis adalah seseorang yang dilatih dan diberi izin untuk merawat klien yang mengalami cacat mental ataupun cacat fisik .27 Adapun terapis antara lain : Dokter, Psikiater, Psikolog, Perawat, Fisioterapis, Speech Therapist, Occupational Therapist, dan Social Worker.
Terapis anak autisme adalah seorang lulusan psikologi yang kemudian dilatih dan diberi izin untuk merawat anak autisme. Untuk membantu anak autis menjadi lebih “normal” dibutuhkan bantuan pengobatan dan terapi.
(42)
Ada beberapa jenis terapi untuk membantu anak autis menjadi lebih baik, antara lain :
1. Terapi Perilaku
Terapi yang bertujuan mengajarkan bagaimana berperilaku, mengembangkan menjadi lebih baik, mengurangi perilaku yang tidak lazim dan menggantinya dengan perilaku yang dapat diterima masyarakat. Terapi perilaku terdiri dari : a. Terapi Wicara
Merupakan terapi wajib diberikan kepada anak autis karena sebagian besar mereka tidak dapat berbicara atau berbahasa. Kecenderungan mereka tidak dapat berbicara bukan karena bisu, namun karena mereka tidak dapat merespon lingkungan sehingga tidak peduli dan tidak mau merespon apa-apa. Terapi ini perlu dilakukan secara kontiniu dalm ruang yang aman, tenang dan dapat meningkatkan perhatian.
b. Terapi Okupasi
Terapi yang diberikan kepada anak autisyang mengalami gangguan pada sensori haklusnya untuk memperbaiki kekuatan koordinasi dan keterampilannya. Hal ini memberi pengaruh amat besar bagi otot halus jari tangan agar dapat menulis
c. Sosialisasi dengan menghilangkan perilaku yang tidak wajar, dimulai dari kepatuhan, kontak mata, tat karma, dan sebagainya.
3. Terapi Biomedik
Terapi ini menggunakan obat-obatan, vitamin, mineral, food supplements, tiap individu membuthkan terapi medis yang berbeda. Dasar pemikirannya, gangguan
(43)
dalam tubuh akan memunculkan gangguan perilaku sehingga gangguan dalam tubuh dapat diatasi, gangguan perilaku yang ditampilkannya pun akan berkurang. 4. Terapi Sensori Integrasi
Diberikan kepada anak autis yang mengalami gangguan dalam memproses impuls yang diterima dari berbagai indera secara simultan. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran sensoris dan kemampuan merespon terhadap stimulus sensori tersebut. Untuk itu digunakan stimulus yang bervariasi antara lain ayunan, bola trampoline, sikat dan baju yang lembut, parfum, lampu berwarna-warni, pemijatan dantekstur bervariasi.
5. Terapi Bermain
Merupakan usaha penyembuhan untuk mencapai perkembangan fisik, intelektual, emosi, dan sosial anak secara optimal. Suasana untuk terapi bermain, suasana yang tidak membuat anak merasa tertekan, takut atau terpaksa bermain, seperti dijelaskan oleh Danuatmaja (2003) bahwa anak haruslah senang, santai dan merasa akrab dengan suasana.9
Sebelum melakukan terapi, sebaiknya dilakukan persiapan - persiapan, agar kelancaran proses terapi dapat dijaga, seperti :
a. Inventarisasi berbagai item yang berefek imbalan pada anak, mulai dari materi (makanan, minuman, mainan, barang-barang tertentu), verbal (pujian, nyanyian), taktil (pelukan, ciuman, belaian, kelitikan, tepukan dan aksi-aksi tertentu (“Toss”, “Yes”, PDIP). Imbalan makanan yang berupa snack atau keripik atau biscuit, perlu dipotong kecil – kecil agar dapat dimakan secara cepat oleh anak.
(44)
b. Jadwal kegiatan harian bagi anak dan terapis untuk setiap hari dari Senin s/d Minggu
c. Form-form program, pencatatan dan penilaian untuk mencatat semua proses dan hasil terapi dan pembuatan program terapi
d. Ballpoint yang berbeda warna untuk setiap terapis, untuk membedakan dengan cepat bila terjadi kemacetan, terapis mana yang lancer dan terapis mana yang macet
e. Alat peraga yang sesuai dengan materi saat itu. Alat peraga perlu disiapkan sebelum setiap sessi terapi dilaksanakan, sehingga tidak banyak waktu yang terbuang.9
2.4. Kerangka Konsep
Karakteristik Terapis - Jenis Kelamin
- Umur - Pendidikan - Masa Kerja - Status Pernikahan
STRES KERJA Lingkungan Kerja
- Beban Kerja - Hubungan
Interpersonal - Pengembangan
(45)
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif, yang bertujuan untuk menguraikan bagaimana gambaran stres kerja pada terapis anak autisme di yayasan terapi anak autisme di Kecamatan Medan Baru Tahun 2010.28
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di yayasan terapi anak autisme di Kecamatan Medan Baru. Adapun yang menjadi pertimbangan pemilihan lokasi penelitian adalah :
1. Menarik minat peneliti karena dari hasil observasi peneliti mendapatkan gambaran bahwa hal ini sangat menarik
2. Belum pernah dilakukan penelitian sejenis di tempat tersebut
3. Adanya izin dari pihak yayasan terapi anak autisme di Kecamatan Medan Baru. 3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada Januari – Mei 2010. 3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh terapis anak autisme dari 3 yayasan terapi anak autisme (Yayasan Tali Kasih, Yayasan Kid Care, dan Yayasan Yakita) di Kecamatan Medan Baru di Medan yaitu sebanyak 28 orang.
(46)
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh terapis anak autisme yang menjadi populasi (total sampling). Akan tetapi, saat penelitian dilaksanakan sample bekurang 1 menjadi 27 terapis dikarenakan cuti.
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya.
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari yayasan terapi anak autisme di Kecamatan Medan Baru, yaitu berupa data umum yayasan tersebut.
3.5. Defenisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah :
1. Terapis KIDCARE adalah terapis yang melakukan terapi wicara, fosioterapi pada anak, okupasi terapi, sensory integration, hydro therapy.orang yang melakukan terapi (kecuali terapi biomedik) pada anak autisme.
2. Terapis Tali Kasih adalah terapis yang melakukan terapi individual, gerak dan irama, pengenalan lingkungan, belajar kelompok, olah raga dan bermain, berenang, bermain bola, bermain di playground, fisioterapi, speech therapy. 3. Terapis YAKITA adalah orang yang melakukan terapi pada anak autisme. 4. Umur adalah usia terapis yang dihitung berdasarkan ulang tahun terakhir saat
penelitian dilakukan.
(47)
6. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang telah diselesaikan oleh terapis.
7. Masa kerja adalah rentang waktu sejak terapis menjadi terapis sampai saat penelitian dilakukan.
8. Status pernikahan adalah status terapis yang terdiri dari menikah dan tidak menikah
9. Beban Kerja adalah tanggung jawab yang harus dikerjakan oleh terapis.
10. Hubungan interpersonal adalah interaksi dan komunikasi terapis dengan rekan kerja, atasan, anak autisme, orangtua dan sebaliknya.
11. Pengembangan karier adalah kesempatan setiap terapis untuk mendapatkan kesempatan menambah pengetahuan dan mengikuti pelatihan untuk menangani anak autisme.
12. Stres kerja adalah suatu peristiwa pada pekerja di yayasan terapi, yang mempengaruhi terhadap psikologis dan fisik seseorang yang akan mengganggu pelaksanaan kerja.
3.6. Pengukuran Stres Kerja
Untuk mengetahui distribusi lingkungan kerja dengan stres kerja yang dialami terapis, maka diukur dengan menggunakan 15 pertanyaan Setiap jawaban dari responden memiliki nilai :
1 = tidak pernah sama sekali 2 = Kadang-kadang
3 = Cukup sering 4 = Sangat sering
(48)
5 = Terus-menerus
jadi nilai tertinggi (total skor) dari 15 pertanyaan adalah 75. jika semakin tinggi nilai yang diperoleh, semakin tinggi stres kerja yang dialami oleh terapis. Penilaian :
1. jika nilai responden < 45 : stres rendah 2. jika nilai responden ≥ 45 : stres tinggi.29 3.7. Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang telah dikumpulkan dari kuesioner diolah secara manual, kemudian dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi .
(49)
BAB IV
HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Lokasi Penelitian
Yayasan terapi anak autisme adalah salah satu tempat pelayanan kesehatan khusus untuk merawat anak autisme hingga ’sembuh’. YAKITA, KIDCARE, dan TALI KASIH adalah 3 dari 5 yayasan terapi anak autisme yang berada dalam wilayah Kecamatan Medan Baru dengan luas wilayah 5,84 Km 2 , dengan batas - batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah timur : Kecamatan Medan Polonia Sebelah selatan : Kecamatan Medan Johor
Sebelah barat : Kecamatan Medan Sunggal dan Kecamatan Medan Selayang
Sebelah utara : Kecamatan Medan Petisah
4.1.1. Yayasan Anak Kita (YAKITA)
Yayasan ini berlokasi di Jl. Hayam Wuruk No. 11 B, berdampingan dengan lokasi rumah sakit Hayam Wuruk Medical Centre. YAKITA memiliki jumlah karyawan sebanyak 10 orang dimana :
1.Terapis : 8 terapis 2.Administrasi : 2 orang
(50)
4.1.2. Yayasan KIDCARE a. Sejarah
Awal berdirinya Yayasan KidCare Children Therapy Center dikarenakan anak dari Ibu Irmayanti Daulay menderita Cerebral Palsy (CP). Jauhnya melakukan pengobatan ke Jakarta dan membeli peralatan untuk menerapi anaknya, juga melihat kondisi bahwa di Medan tidak ada pelayanan kesehatan untuk menolong anak autime dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya mendorong beliau mendirikan sebuah yayasan terapi anak autisme, dimana yayasan ini resmi berdiri pada tanggal 16 September 2006 yang berlokasi di Jl. D.I. Panjaitan No.32. Kemudian yayasan ini pindah lokasi ke Jl. Sei Rotan No.2/17.
b. Visi dan Misi
1. KidCare menyediakan sarana dan prasarana untuk membantu mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki anak – anak yang memerlukan kebutuhan khusus maupun anak normal dan memberikan perhatian lebih sehingga diharapkan mereka mampu untuk mandiri.
2. KidCare memberikan upaya pelayanan kesehatan profesional yang bertanggung jawab atas kapasitas fisik dan kemampuan fungsional anak-anak yang memerlukan kebutuhan khusus.
3. KidCare menjalin kerja sama yang baik dengan para dokter, guru dan lingkungan agar tercipta suatu kerja sama yang baik agar mencapai hasil yang optimal seperti yang diharapkan.
(51)
c. Jenis Terapi
Jenis terapi yang diberikan : 1. Fisioterapi pada anak
Adalah terapi fisik yang dapat membantu anak untuk memperbaiki kondisi pergerakan agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan peran dan fungsinya di masyarakat.
2. Terapi Wicara
Merupakan pelayanan kesehatan dalam bidang perilaku komunikasi untuk meningkatkan dan memulihkan kemampuan perilaku komunikasi, yang berhubungan dengan kemampuan bahasa, wicara, suara dan irama/kelancaran yang diakibatkan oleh adanya gangguan/kelainan anatomis, fisiologis psikologis dan sosiologis.
3. Okupasi Terapi (OT)
Terapi ini dilakukan dengan melakukan kegiatan sehari-hari misalnya memakai pakaian, makan sendiri, menggunakan gunting, pensil, memasang tali sepatu, dan bermain dengan teman, termasuk juga belajar untuk percaya diri dalam menentukan pilihan dan memutuskan sesuatu.
4. Sensory Integration
Terapi ini akan membantu memudahkan tubuh anak untuk merespon dan otak untuk mengatur jalannya pemprosesan sensori.
(52)
d. Jumlah Karyawan
Jumlah karyawan di yayasan KidCare yang berlokasi di Jl. Sei Rotan No.2/17 Kecamatan Medan Baru berjumlah 13 orang dengan keterangan sebagai berikut :
1. Supervisor : 1 orang 2. Bagian Pemasaran : 1 orang 3. Terapis : 6 orang 4. Bagian administrasi : 2 orang 5. Cleaning Service : 1 orang
6. Satpam : 2 orang
e. Fasilitas
KidCare memberikan fasilitas-fasilitas dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus antara lain :
1. Ruang Fisiotherapy 2. Ruang Sensory Integrasi 3. Ruang Occupational Therapy 4. Ruang Hydro Therapy 5. Ruang Day Care 6. Ruang Terapi Wicara 7. Ruang Ibadah
8. Ruang Receptionist dan Ruang Tunggu 9. Kelas Sosialisasi
10.Ruang Konsultasi Gizi 11.Aula
(53)
4.1.3. Yayasan Tali Kasih a. Sejarah
Yayasan ini berdiri pada tahn 2001, yang berlokasi di Jl. Sei Alas No. 18 Kecamatan Medan Baru, di bawah pimpinan Bapak M. Said.
b. Visi dan Misi
Visi : Giving Parents Hope and Children the Future
Misi : Menyelenggarakan pendidikan yang bermutu untuk menolong orangtua yang mempunyai anak autis dan berkebutuhan khusus dalam meraih masa depannya.
c. Jumlah Karyawan
Jumlah karyawan di yayasan Tali Kasih yang berlokasi di Jl. Sei Alas No. 18 Kecamatan Medan Baru berjumlah 22 orang dengan keterangan sebagai berikut :
1. Asisten : 6 orang 2. Terapis : 14 orang 3. Administrasi : 1 orang 4. Satpam : 1 orang d. Jenis Terapi
Jenis terapi yang diberikan yaitu : 1. Terapi individual
2. Gerak dan Irama
3. Pengenalan Lingkungan 4. Belajar Kelompok 5. Olahraga dan bermain
(54)
6. Berenang 7. Bermain bola
8. Bermain di play ground 9. Fisioterapi
10. Speech Terapi e. Fasilitas
Fasilitas yang tersedia yaitu : 1. Ruangan Full AC
2. Peralatan Tulis selama belajar
3. Menyediakan media belajar seperti kartu angka, kartu emosi 4. Menyediakan media bermain
5. Ruang tunggu yang nyaman 6. Pelatihan komputer
7. Tempat parkir 4.2. Karakteristik Terapis
Karakteristik terapis dalam penelitian ini meliputi data umur, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan dan status pernikahan. Berikut ini adalah distribusi karakteristik terapis dalam tabel yang diperoleh melalui pengisian kuesioner.
(55)
4.2.1. Jenis Kelamin
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Jenis Kelamin di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.
Jenis Kelamin Frekuensi
(Orang) %
Laki - laki 6 22,2
Perempuan 21 77,8
Jumlah 27 100,0
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa terapis yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 6 orang (22,2%) dan terapis yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 21 orang (77,8%).
4.2.2. Umur
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Kelompok Umur di
Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.
Umur (Tahun)
Frekuensi
(Orang) %
21 - 25 13 48,1
26 - 30 12 44,4
≥ 31 2 7,4
Jumlah 27 100,0
Umur terendah terapis adalah 21 tahun dan umur tertinggi responden adalah 32 tahun. Dari tabel dapat dilihat bahwa kelompok umur terapis paling banyak pada kelompok umur 21 – 25 tahun, yaitu sebanyak 13 orang (48,1%), kelompok umur 26 – 30 tahun sebanyak 12 orang (44,4%) dan kelompok umur paling sedikit pada kelompok umur 31 tahun ke atas sebanyak 2 orang (7,4%).
(56)
4.2.3. Masa Kerja
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Masa Kerja di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.
Masa Kerja (Tahun)
Frekuensi
(Orang) %
< 1 6 22,2
1 - 4 18 66,7
5 - 8 3 11,1
Jumlah 27 100,0
Terapis paling banyak bekerja selama 1 - 4 tahun, yaitu sebanyak 18 orang (66,7%). Paling sedikit terapis memiliki masa kerja 5 – 8 tahun, yaitu sebanyak 3 orang (11,1%).
4.2.4. Tingkat Pendidikan
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.
Tingkat Pendidikan
Frekuensi
(Orang) %
PGTK 1 3,7
DIII 7 26
Sarjana 19 70,3
Jumlah 27 100,0
Sebahagian terapis berada pada tingkat pendidikan Sarjana yaitu sebanyak 19 orang (70,3%), terapis yang berada pada tingkat pendidikan Diploma sebanyak 7 orang (26%) dan terapis yang berada pada tingkat pendidikan PGTK 1 orang (3,7%).
(57)
4.2.5. Status Perkawinan
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Status Perkawinan di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.
Status Perkawinan Frekuensi
(Orang) %
Menikah 7 26,0
Belum menikah 20 74,0
Jumlah 27 100,0
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebahagian besar terapis belum menikah yaitu sebanyak 20 orang (74%), sedangkan responden yang sudah menikah sebanyak 7 orang (26%).
4.3. Hasil Pengukuran Stres Kerja
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Terapis Berdasarkan Tingkat Stres Kerja di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.
Tingkat Stres Frekuensi
(Orang) %
Stres tinggi 0 0
Stres rendah 27 100,0
Jumlah 27 100,0
Berdasarkan tabel di atas, diperoleh bahwa seluruh terapis anak autisme di ketiga yayasan terapi anak autisme di Kecamatan Medan Baru mengalami stres kerja pada kategori rendah (100%).
(58)
Tabel 4.7. Distribusi Beban Kerja Dengan Stres Kerja Pada Terapis Anak Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010.
Indikator Frekuensi
1 2 3 4 5
Hak yang kesil untuk mengerjakan tanggung jawab
20 74% 5 18,5% 2 7,4% 0 0% 0 0%
Ketidakjelasan tentang bidang dan tanggung jawab
20 74% 3 11,1% 3 11,1 %
1 3,7% 0 0%
Waktu cukup untuk
menyelesaiakn pekerjaan
11 40,7% 12 44,4% 2 7,4% 2 7,4% 0 0%
Ketidakmampuan mengerjakan pekerjaan
15 55,5% 10 37% 2 7,4% 0 0% 0 0%
Bagaimana cara mengerjakan
pekerjaan dengan baik
9 33,3% 15 55,5% 1 3,7% 1 3,7% 1 3,7 %
Rasa aman dalam mengerjakan tugas
7 25,9% 7 25,9% 4 14,8 %
6 22,2 %
3 7,4 %
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa distribusi beban kerja dengan stres kerja pada terapis anak autisme dilihat dari indikator hak untuk mengerjakan tanggung jawab bahwa 20 terapis (74%) tidak pernah tidak mempunyai hak yang kecil untuk mengerjakan tanggungjawabnya, 5 terapis (18,5%) kadang-kadang dan 2 terapis (7,4%) cukup sering memiliki hak yang kecil untuk mengerjakan tanggung jawab mereka.
Dilihat dari indikator ketidakjelasan tentang bidang dan tanggung jawab, 20 terapis (74%) tidak pernah mengalami ketidakjelasan tentang bidang dan tanggung jawab sebagai terapis, 3 terapis (11,1%) kadang – kadang, 3 terapis (11,1%) cukup
(59)
sering dan 1 terapis (3,7%) sangat sering merasakan ketidakjelasan tentang bidang dan tanggung jawabnya.
Dari indikator ketidakmampuan mengerjakan pekerjaan, 15 terapis (55,5%) mampu mengerjakan pekerjaan mereka, 10 terapis (37%) kadang – kadang merasa tidak mampu dan 2 terapis (7,4%) cukup sering merasa tidak mampu mengerjakan pekerjaan mereka.
Dari indikator bagaimana cara mengerjakan pekerjaan dengan baik, 9 terapis (33,3%) tidak pernah mengalami bahwa pekerjaan mengganggu pikiran mereka bagaimana cara mengerjakan pekerjaan dengan baik, 15 terapis (55,5%) kadang - kadang, 1 terapis (3,7%) cukup sering merasakan, 1 terapis (3,7%) sangat sering dan 1 terapis (3,7%) terus - menerus merasakan bahwa pekerjaan mengganggu pikiran mereka bagaiman mengerjakannya dengan baik.
Dari indikator rasa aman dalam mengerjakan tugas – tugas mereka, 7 terapis (25,9%) tidak pernah harus berhati - hati dalam mengerjakan tugas mereka sebagai terapis, 7 terapis (25,9%) kadang – kadang, 4 terapis (14,8%) cukup sering berhati – hati, 6 terapis (22,2%) sangat berhati - hati dan 3 terapis terus - menerus harus berhati-hati.
(60)
Tabel 4.8. Distribusi Hubungan Interpersonal Dengan Stres Kerja Pada Terapis Anak Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010
Indikator Frekuensi
1 2 3 4 5
Konflik dengan orang sekitar
19 70,3% 7 25,9% 0 0% 1 3,7% 0 0% Konflik dengan
atasan
10 37% 14 51,8% 3 11,1% 0 0% 0 0% Khawatir tentang
keputusan-keputusan
15 55,5% 11 40,7% 1 3,7% 0 0% 0 0%
Merasa tidak disukai
16 59,2% 10 37% 1 3,7% 0 0% 0 0% Tidak mampu
mempengaruhi
keputusan dan tindakan atasan
16 59,2% 7 25,9% 1 3,7% 3 11,1 %
0 0%
Tahu harapan teman kerja
17 62,9% 9 33,3% 1 3,7% 0 0% 0 0% Pekerjaan dengan
kehidupan keluarga
23 85,1% 4 14,8% 0 0% 0 0% 0 0%
Berdasarkan hasil penelitian, distribusi hubungan interpersonal dengan stres kerja pada terapis anak autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010 dilihat dari beberapa indikator seperti pada tabel 4.8.
Ditinjau dari konflik dengan orang sekitar, 19 terapis (70,3%) mengatakan selalu mampu menyelesaikan konflik dengan orang - orang sekitarnya, 7 terapis (25,9%) mengatakan kadang - kadang dan 1 terapis (3,7%) mengatakan sangat sering tidak mampu menyelesaikan konflik dengan orang - orang sekitarnya.
Ditinjau dari konflik dengan atasan, 10 terapis (37%) tahu tentang apa yang atasan mereka pikirkan tentang mereka., 14 terapis (51,8%) kadang - kadang dan 3
(61)
terapis (11,1%) cukup sering tidak tahu tentang apa yang atasan mereka pikirkan tentang mereka.
Selain itu, 16 terapis (59,2%) tidak pernah merasa tidak mampu mempengaruhi keputusan - keputusan dan tindakan - tindakan atasan mereka, 7 terapis (25,9%) kadang – kadang , 1 terapis (3,7%) cukup sering dan 3 terapis (11,1%) sangat sering merasa tidak mampu.
Ditinjau dari rasa khawatir tentang keputusan-keputusan yang sudah diambil, 15 terapis (55,5%) tidak pernah merasa khawatir tentang keputusan - keputusan yang diambil, 11 terapis (40,7%) kadang - kadang dan 1 terapis (3,7%) cukup sering khawatir.
Ditinjau dari indikator merasa tidak disukai, dimana 16 terapis (59,2%) tidak pernah merasa tidak disukai oleh orang - orang di tempat kerja mereka, 10 terapis (37%) kadang - kadang dan 1 terapis (3,7%) cukup sering merasa tidak disukai.
Ditinjau dari indikator tahu harapan-harapan dari teman kerja mereka, 17 terapis (62,9%) tidak pernah tidak mengetahui harapan – harapan dari teman – teman sekerja mereka, 9 terapis (33,3%) kadang – kadang dan 1 terapis (3,7%) cukup sering tidak tahu.
Ditinjau dari pekerjaan dengan kehidupan keluarga, 23 terapis (85,1%) mengatakan bahwa pekerjaan mereka sebagai terapis tidak pernah mengganggu hubungan di dalam keluarga sedangkan 4 terapis (14,8%) kadang-kadang.
(62)
Tabel 4.9. Distribusi Pengembangan Karier Dengan Stres Kerja Pada Terapis Anak Autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Medan Baru di Medan Tahun 2010
Indikator Frekuensi
1 2 3 4 5
Kesempatan untuk mengikuti program pengembangan
karier
17 62,9% 9 33,3% 1 3,7% 0 0% 0 0%
Kemudahan untuk mengakses informasi
16 59,2% 8 29,6% 3 11,1% 0 0% 0 0%
Dari hasil penelitian, ditinjau dari kesempatan untuk mengikuti program pengembangan karier, 17 terapis (62,9%) tidak pernah tidak tahu ada program pengembangan karier sebagai terapis, 9 terapis (33,3%) kadang - kadang tidak tahu dan 1 terapis (3,7%) cukup sering tidak tahu.
Ditinjau dari kemudahan untuk mengakses informasi, 16 terapis (59,2%) tidak pernah tidak mampu mendapatkan informasi yang mereka butuhkan untuk pekerjaan mereka, 8 terapis (29,6%) kadang – kadang tidak mampu mendapatkan informasi yang dibutuhkan dan 3 terapis (11,1%) cukup sering tidak mampu mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
(63)
BAB V PEMBAHASAN Karakteristik Terapis
Jenis Kelamin
Para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Penelitian menunjukkan pekerja wanita selalu melaporkan sakit kepala, cemas, depresi, gangguan tidur dan gangguan makan lebih sering dibandingkan pekerja pria.15
Berdasarkan hasil penelitian jumlah terapis perempuan lebih banyak daripada terapis laki-laki, sebanyak 21 orang (77,8%) dan terapis laki-laki dan terapis perempuan berada pada kategori stress kerja rendah. Hal ini membuktikan pernyataan Guppy dan Rick (1996) yang mengatakan bahwa jenis kelamin bukanlah faktor penyebab stres.31
Umur
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui frekuensi terapis paling banyak mengalami stres kerja adalah kelompok 21 - 25 tahun sebanyak 13 orang (48,1%) dan paling sedikit pada kelompok umur ≥ 31 tahun sebanyak 2 orang (7,4%). Namun, mereka berada pada kategori stres kerja yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh terapis dalam kelompok umur di atas mengalami stres kerja.
Hal ini sesuai dengan pendapat Hardjana yang menyatakan bahwa tak seorang pun bisa terhindar dari stres. Bayi, balita, kaum remaja, orang dewasa bahkan kelompok lansia.19
(64)
Masa Kerja
Jika dilihat pada tabel 4.3., masa kerja terapis yang paling panjang adalah 8 tahun. Masa kerja yang paling pendek adalah 2 bulan. Secara umum, terapis paling banyak bekerja dalam rentang waktu 1- 4 tahun dengan jumlah 18 orang (66,7%) dari seluruh responden. Akan tetapi, hal ini tidak mempengaruhi tinggi atau rendahnya stres kerja seorang terapis.
Berbeda dengan penelitian Kemalahayati yang mengatakan bahwa masa kerja memberi pengaruh terhadap kematangan pengalaman pejabat dalam suatu jabatannya.21 Penelitian Sarwono bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja pustakawan perpustakaan dengan stres kerja. Jika dibandingkan antara terapis yang bekerja sebagai terapis anak autisme selama 2 bulan dengan terapis yang bekerja selama 8 tahun, mereka juga berada pada kategori stres kerja yang rendah.
Tingkat Pendidikan
Rendahnya stres kerja yang dialami oleh terapis dikarenakan mereka berasal dari latar belakang pendidikan sarjana psikologi (70,3%), akademi fisioterapi (26%), dan PGTK (3,7%). Menjadi terapis anak autisme bukan hal yang sulit bagi mereka karena sesuai dengan ruang lingkup studi yang mereka geluti dan bagi mereka anak – anak itu adalah jiwa mereka.
Hal ini sesuai dengan pendapat Cooper yang mengatakan bahwa latar belakang pendidikan berpengaruh terhadap kualitas dalam bekerja. Kualitas yang rendah dapat mengakibatkan beban kerja menjadi bertambah dan akan menimbulkan stres.21
(65)
5.1.5. Status Perkawinan
Dari 27 terapis anak autisme, ada 6 terapis (22,2%) yang sudah menikah. Dari 21 terapis perempuan 4 terapis perempuan (19%) sudah menikah, sedangkan dari 6 terapis laki-laki, 2 orang (33,3%) sudah menikah.
Hal - hal yang mencakup segala unsur kehidupan seorang pekerja seperti : isu - isu tentang keluarga, krisis kehidupan, pernikahan, kesulitan keuangan, anak, penyakit (illness), keyakinan - keyakinan pribadi organisasi yang bertentangan, konflik antar keluarga, dan lain - lain juga merupakan faktor yang mempengaruhi stres kerja terapis.
Keluarga dapat menjadi sumber stres karena peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan para anggota keluarga. Bertambahnya anggota keluarga dengan kelahiran anak dapat menimbulkan stres bagi ibu pada waktu kehamilan, kelahiran dan pengasuhannya; bagi bapak keluarga karena harus memikirkan tambahan penghasilan; bagi anak-anak lain – bila sudah ada – karena perhatian, mungkin juga jatah uang dan makan, ikut berkurang.19
Beberapa studi akhir menunjukkan bahwa perselisihan antar keluarga dan pekerjaan memberi dampak yang sangat berarti bagi kesehatan dan kepribadian baik pria maupun wanita seperti depresi atau kecemasan, daripada pekerja yang tidak memiliki perselisihan antar keluarga dan pekerjaan.15
Wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita karir yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah
(1)
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepomo, I. 2001. Hukum Perburuhan. Penerbit Djembatan., Jakarta.
2. Departemen Kesehatan RI. 1992. Undang-undang Kesehatan No.23 Tahun
1992.
3. Indoskrip. 2008. Manajemen Kinerja SDM. http ://www.indoskripsi.com.
Diakses tanggal 26 September 2009.
4. Hariandja, ETM. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Grasindo, Jakarta.
5. Mistiani. 2007. Pengaruh Kepuasan Kerja dan Stres. http ://Buletin LitBang,
Dephan.go.id/index.asp.no : 188. Diakses tanggal 24 November 2009.
6. Widyastuti P. 2004. Manajemen Stres, National Safety Councli. Jakarta : EGC
7. Levi, L. 2009. Opini : Resiko Penyakit Akibat Kerja.
8. Caroline. 2007. Faktor-faktor Penyebab Stres Pada Terapis Dari Anak
Autistic Spectrum Disorder (ASD). Tesis, Universitas Katolik Atmajaya,
Jakarta.
9. Handojo Y. 2003. Autisma : Petunjuk Praktis & Pedoman Materi Untuk
Mengajar Anak Normal, Autis & Perilaku Lain. PT. Bhuana Ilmu
(2)
10.Safaria, T. 2005. Autisme : Pemahaman Baru Untuk Hidup Bermakna Bagi
Orang Tua. Graha Ilmu, Cetakan Pertama, Jogyakarta.
11.Jacinta, FR. 2002. Stres Kerja
September 2009.
12.Widyasari P. 2008. Stres Kerja
tanggal 15 September 2009.
13.Sarwono. 2006. Berkala Ilmu Perpustakaan dan Informasi - Volume 31, No. 1 :
Hubungan Masa Kerja Dengan Stres Kerja Pada Pustakawan Perpustakaan. Universitas Gajah Mada, Jogjakarta.
14.Greenberg, JS. 1999. Stress Management. The McGraw-Hill Companies, Inc,
USA
15.Schultz, PD , Sydney ES. 2006. Psychology and Work Today. Pearson
Education, Inc, New Jersey.
16.Landy, JF , Jeffrey MC. 2004. Work In The 21st Century : An Introduction To
Industrial And Organizational Psychology. McGraw – Hill, New York.
17.Munandar, SA. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), Jakarta.
18.Santoso,G. 2004. Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja. Prestasi
Pustaka, Jakarta.
19.Tarigan, L. 2004. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Stres Kerja di
Ruang Bedah RSU Santa Elisabeth Medan Tahun 2004, Skripsi, FKM
(3)
20.Murbin, Ani C. 2006. Psikologi Perkembangan. PT. Ciputa, Press Group, Jakarta
21.Kemalahayati, 2008.Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Stres
Kerja Pada Pejabat Eselon III Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008. Tesis, USU, Medan.
22.Lukluk Z, Siti B. 2008. Psikologi Kesehatan. Mitra Cendikia Press, Jogjakarta.
23.Brecht, G. 2000. Mengenal dan Menanggulangi Stres : Seri Mengenal Diri.
PT. Prenhallindo, Jakarta.
24.Anoraga, P. 2005. Psikologi Kerja. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
25.Danuatmaja, B.2003. Terapi Anak Autis di Rumah. Cetakan 1. Puspa Swara,
anggota IKAPI, Jakarta.
26.Le Fann, J.2006. Deteksi Dini Masalah - Masalah Psikologi Anak dan Proses
Terapinya. Cetakan 1. Penerbit : THINK, Jogjakarta.
27.Purwaningsih, W, Karlina I. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika
Press, Jogjakarta.
28.Arikunto, S. 2006. Prosedur Suatu Penelitian-Suatu Pendekatan Praktik.
Cetakan 13. Penerbit : Rineka Cipta, Jakarta.
29.Singarimbun M. 1989. Metode Penelitian Survei. Cetakan I (revisi). Penerbit :
PT. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
30.Aamodt, GM. 2004. Applied Industrial/Organizational Psychology.
(4)
31.Visimedia. 2007. Undang - Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dan Undang – Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serkat Pekerja/Serikat Buruh. Cetakan II. Penerbit Visimedia, Jakarta.
(5)
Nama Terapis
Umur Jenis Kelamin
Masa Kerja (tahun)
Pendidikan Status
Perkawinan FAKTOR LINGKUNGAN KERJA
BB1 BB2 BB3 BB4 BB5 BB6 KON1 KON2 KON3 KON4 KON5 KON6 KON7 PD1 PD2 JLH
Santo 22 L < 1 D III Belum Menikah
1 1 2 2 2 4 2 3 1 1 1 2 1 2 1 26
Siska 23 P < 1 D III Belum Menikah
1 1 1 1 2 4 1 2 2 1 2 1 1 1 1 22
Baskami 25 L 1 tahun 3 bln
D III Belum Menikah
1 1 2 2 2 3 1 2 1 1 4 2 1 2 3 28
Oktarini 30 P < 1 Sarjana Menikah 1 1 1 1 2 2 1 2 2 1 1 2 1 1 1 20
FC 29 P 3 Sarjana Belum Menikah
1 1 2 2 3 5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 23
Neni 25 P 2 Sarjana Belum Menikah
1 1 1 1 1 3 1 2 1 2 1 1 1 1 1 19
Marina 25 P < 1 D III Belum Menikah
1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16
Eviyanti 28 P 2 Sarjana Menikah 1 2 2 2 2 5 1 2 2 2 2 2 1 2 2 30
FM 27 P 4 PGTK Belum Menikah
1 1 1 1 1 3 1 2 1 2 1 1 1 1 1 19
E 32 P 8 Sarjana Belum Menikah
1 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 28
FH 30 P 5 Sarjana Menikah 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15
Balqis 30 P 4 Sarjana Belum Menikah
2 1 2 1 2 2 1 1 2 1 1 2 1 2 1 22
CP 23 P 2 D III Belum Menikah
3 3 2 2 1 1 2 2 1 2 2 2 1 2 2 27
Susi 30 P 4 Sarjana Belum Menikah
1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 16
Juwita 25 P 3 Sarjana Belum Menikah
1 1 2 1 1 2 1 2 1 1 2 1 1 1 1 19
CR 25 P 1 Sarjana Belum Menikah
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16
SA 27 L 2 Sarjana Belum Menikah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15
US 26 P 2 Sarjana Belum Menikah
1 3 2 3 5 4 4 1 2 3 1 1 1 1 2 34
Gustina 21 P < 1 D III Belum Menikah
1 1 1 1 2 4 1 2 2 2 1 1 2 1 2 24
X 29 L 3 Sarjana Menikah 2 1 2 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19
(6)
Rikardo 29 L 5 Sarjana Menikah 1 4 4 2 2 1 2 1 1 1 4 1 2 1 2 29
Qamar 25 P 3 Sarjana Belum Menikah
2 1 1 1 2 1 1 2 2 2 1 3 1 2 2 24
Cindy 22 P 2 Sarjana Belum Menikah
2 2 4 2 2 4 2 3 2 2 2 3 2 3 3 38
RD 24 P < 1 Sarjana Belum Menikah
1 1 3 3 4 3 1 3 3 2 4 2 2 2 1 35
Suhadi 31 L 1 Sarjana Menikah 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18
Yuni sarah
28 P 2 Sarjana Menikah 3 3 2 2 2 4 2 2 2 1 3 1 1 2 3 33
Betty 25 P 1 thn 3 bln
D III Belum Menikah