Mencari Peluang Keadilan dan Distribusi Kesejahteraan

2. Pola Kemitraan Perkebunan

Hal yang juga menjadi pembelajaran berharga adalah keberhasilan model pengembangan koperasi melalui jalur kemitraan dengan petani sekitarnya. Seperti yang diungkapkan dalam laporan Tim Riset Sains-STPN di Kabupaten Tasikmalaya (2010), dalam kemitraan tersebut, koperasi tidak memakai skema hutang, melainkan bagi hasil, yaitu 30% untuk Koperasi pemegang HGU dan 70% untuk petani pemilik tanah. Dalam hal ini, koperasi memberikan bantuan teknis dan bibit unggul, sementara rakyat menyediakan tanahnya. Satu-satunya persyaratan yang ditekankan koperasi terhadap petani-petani ini adalah keseriusan untuk memperbaiki nasib. Model kemitraan ini tidak berhenti pada penyediaan bibit karet saja. Untuk meningkatkan produktifitas tanaman karet milik petani, koperasi menurunkan tenaga pendamping dan membantu mengarahkan cara-cara persiapan

23. Hal yang sama juga dijumpai penulis di beberapa wilayah dataran tinggi Garut, Jawa Barat. Lahirnya orgnisasi tani lokal dalam memastikan hak penggarapan secara nyata mendorong naiknya tingkat upah buruh ril dan bertambahnya kemampuan daya serap tenaga kerja di desa

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

lahan, penanaman, dan perawatan tanaman karet milik petani. Kerjasama kemitraan ini akan berlanjut hingga pemasaran. 24 Dengan demikian, petani tidak akan terjerembab masuk dalam pasar komoditas secara sendiri-sendiri dengan posisi tawar yang rendah, akan tetapi dengan adanya koperasi petani akan lebih memiliki kemampuan untuk masuk dan memilih pasar komoditi perkebunan yang mereka usahakan secara kolektif. Seperti yang diungkapkan salah seorang pengurus koperasi, “dengan petani kami bermitra, dengan pengusaha kami berdagang”.

c. Catatan Pembelajaran

Dari beberapa paparan sebelumnya maka beberapa catatan pembelajaran yang dapat dipetik dari skema pembangunan kawasan di Kalimantan Selatan yakni,

1. Peningkatan nilai investasi (PMDN/PMA) dan kegiatan usaha yang dicirikan oleh penerbitan ijin usaha dan HGU di sektor perkebunan maupun pertambangan turut dikuti oleh arus migrasi masuk ke Kalimantan Selatan yang kian tahun terus meningkat. Pada saat yang bersamaan, kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja pada kedua sektor tersebut yakni pertanian/perkebunan dan pertambangan justru tidak menunjukkan kinerja yang positif atau tidak memiliki dampak yang signifikan (kontradiktif ). Bahkan yang terjadi di sektor pertanian justru mengalami penurunan persentase terhadap daya serap tenaga kerja. Rendahnya daya serap tenaga kerja lokal oleh industri yang dibangun di sekitarnya dapat mendorong

24. Bandingkan dengan laporan penelitian Rimbo Gunawan et al (1995) mengenai pelaksanaan proyek kemitraan PIR-Bun di wilayah Cisokan, Jawa Barat yang menguraikan beberapa faktor yang menyebabkan petani kecil dirugikan dalam pelaksanaan proyek kemitraan tersebut.

Membaca Ulang Keberadaan Hak Guna Usaha (HGU) dan Kesejahteraan Rakyat

terbentuknya kelompok masyarakat yang terlempar dari usaha pertanian karena tidak terserap industri, kemudian menjadi pengangguran yang terlempar dari pertanian, tak sanggup masuk ke lapisan tenaga kerja industrial, lalu terlunta-lunta di pedesaan dan perkotaan.

2. Ditengah situasi yang kontradiktif tersebut (laju ekspansi investasi berbanding terbalik dengan daya serap tenaga kerja), sektor jasa dan bangunan justru menunjukkan kemampuanya dalam menyerap tenaga kerja. Namun, dari pengalaman di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia, masuknya warga pedesaan ke sektor jasa, bangunan, maupun transportasi sesungguhnya mereka mengisi sektor informal atau bahkan kantong-kantong kemiskinan yang ada di wilayah perkotaan. Hingga Agustus 2009, sekitar 69,96% penduduk Kalimantan Selatan merupakan tenaga kerja di sektor informal. Jika pun mereka masuk dalam industri perkebunan khususnya Kelapa Sawit, melihat tren model rekruitmen tenaga kerja perkebunan di berbagai tempat, posisi warga disekitar lokasi HGU Perkebunan Sawit adalah kategori buruh harian lepas dengan konsekuensi tidak mendapatkan perlindungan UU Tenaga Kerja maupun fasilitas lainnya.

3. Dengan demikian, pilihan strategi pertumbuhan (trickle down effect) dengan titik berat pada pembangunan industri padat modal melalui kegiatan PMDN/PMA di sektor eksploitasi sumberdaya (perkebunan dan pertambangan) sampai sejauh ini belum mampu menunjukkan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja di tingkat lokal/wilayah atau belum mampu menjadi basis keberlanjutan nafkah bagi penduduk.

4. Namun dibalik kondisi ketidakmampuan aktivitas investasi (padat modal) baik PMDN maupun PMA dalam menyerap

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

tenaga kerja masyarakat pedesaan, disisi yang lain, perkebunan rakyat justru masih menunjukkan kehandalannya dalam memastikan keberlanjutan penghidupan dan produktifitas masyarakat termasuk penyerapan tenaga kerja di pedesaan. Keberadaan Koperasi Mangunwatie merupakan sebuah model pembelajaran yang sangat baik bagaimana petanian berbasis keluarga yang terintegrasi melalui organisasi kolektif koperasi ternyata mampu menjawab tantangan ketimpangan sosek ekonomi di kawasan perkebunan yang sering diidentikkan dengan struktur warisan agraria kolonial.