MAKNA U<LI@ AL-AMR DALAM PANDANGAN PENERIMA PERTAMA

BAB II MAKNA U

Menurut Abdullah Saeed, untuk melakukan penafsiran kontekstual perlu menggunakan prinsip, perangkat, dan gagasan penafsiran untuk menemukan makna teks tersebut. Dalam mengidentifikasi makna teks, perlu mempertimbangkan teks- teks tersebut dipahami oleh penerima pertama yakni pada abad ke-7, dan tentu juga bagaimana ia dipahami dalam penafsiran terhadap teks tersebut. 1 Pada tahap awal,

diperlukan analisis kritis terhadap teks. Analisis ini dipusatkan kepada bagaimana teks berbicara. Dalam hal ini diperlukan beberapa aspek penelusuran terhadap teks. Penelusuran tersebut meliputi analisis linguistik, konteks sastrawi, teks-teks yang berkaitan, dan konteks mikro maupun makro turunnya ayat, untuk menemukan pesan-pesan di balik teks tersebut. Aspek-aspek tersebut digunakan untuk melihat makna historis u>li@ al-amr.

A. Analisis Linguistik QS. Al-Nisa>: 59 dan 83 Analisis linguistik ini meliputi analisis terhadap bahasa teks, makna kata dan

frasa, sintaksis ayat atau ayat-ayat secara umum, dan seluruh persoalan yang berhubungan dengan teks temasuk juga masalah 2 qira>’at. Hal ini sangat diperlukan

untuk memahami makna teks. Abdullah Saeed menyatakan bahwa kunci dari

1 Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in The Twenty-First Century: A Contextualist Approach (New York: Routlegde, 2014), hlm. 98 2 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an , hlm. 151

Analisis linguistik terhadap kata u>li@ al-amr ini juga harus melibatkan keseluruhan ayat yang berbicara tentangnya. Kata u>li@ al-amr terdapat pada QS. Al- Nisa>’: 59 dan 83. Dari kedua ayat tersebut, terdapat beberapa kata yang perlu dilakukan analisis linguistik yakni kata at}i@‘u>, u>li@ al-amr, tana>za’tu>m, faruddu>hu, ta’wi>l dan la‘alimahu. Kata-kata tersebut akan dikaji secara linguistiknya.

1. QS. Al-Nisa>’: 59

a. Kalimat At}i‘u> Alla>h wa At}i‘u> al-Rasu>l wa U<li@ al-Amr ( اوعٌطأ و الله اوعٌطأ

Kalimat at}i@‘u> merupakan bentuk perintah. Lafaz Alla>h merupakan maf‘u>l atau objek dari at}i@‘u>. Kalimat wa at}i@‘u> al-rasu>l merupakan at}af dari at}i@‘u> Allah. Frasa wa u>li@ al-amr juga merupakan at}af dengan wawu dari at}i@‘u> Allah. Lafaz u>li@ merupakan

3 Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in The Twenty-First Century , hlm. 101 3 Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in The Twenty-First Century , hlm. 101

Kata at}i@‘u> dalam konteks kalimat at}i@‘u> allaha wa at}i@‘u> al-rasu>l dalam QS. Al- Nisa>: 59 merupakan kata yang berbentuk perintah 5 (fi‘l amr). Kata at}i@‘u> berasal

dari akar kata t}a-wa-‘a (عوط). Menurut Ar-Ra>gib Al-Asfiha>ni kata at}i@‘u> dalam QS. Al-Nisa>: 59 berasal dari kata 6 t}a>‘a-yat}u>‘u-t}au‘an. Kata t}awa‘a merupakan antonim

dari kata 7 al-kurh ( ه ), yang berarti benci atau tidak suka. رك لا Dalam kamus Maqa>yi@s al-Lugah kata tersebut menunjukkan pertentangan terhadap dengan hal yang bersifat

kesukaan, menyayangi, dan hal-hal yang penuh dengan kasih sayang. 8 Menurut al- Ju>hari@, kata at-t}au‘u dalam kalimat كٌدٌ ُعوط نلاف memiliki arti minqa>du yang berarti

menyerah atau tunduk, 9 tetapi menurut al-Zabi@di@, kata at-t}au‘u dalam konteks kalimat tersebut merupakan majaz, sama seperti dalam ungkapan ِنانعلا ُعوط ٌسرف

memiliki makna 10 ٌسلس yang berarti kuda yang terkendali. Sedangkan kata al-t}au‘u

4 Muh}yiddin Al-Darwisy, I’ra>b al-Qur’a>n al-Kari@m wa Baya>nuh (Beirut: Da>r Ibnu Kas\i@r, 1999), jilid 2, hlm. 46 5 Bajat Abd al-Wa>hid Sa>lih, Al-I‘ra>b al-Muffas}al li Kita>billah wa al-Murratal (tt: Da>r al-Fikr, 1993), jilid 2, hlm. 306 6 Abi@ Al-Qa>sim Al-Husain bin Muhammad al-Ra>gib al-Asfiha>ni, al-Mufrada>t fi@ Gari>b al- Qur'a>n (Beirut: Mustafa Al-Ba>z, tt.), juz 1, hlm. 405 7 Jamaluddi@n Muhammad ibn Manz}ur al-Misri@, Lisa>n al- ʻ Ara>b (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), jilid 8, hlm. 285 8 Ahmad bin Faris, Maqa>yi@s al-Lugah (Beirut: Da>r Ih}ya al-Tura>s al-‘Arabi, 2001), hlm. 890 9 Abi@ Nas}r Isma>il bin H}amma>d Al-Ju>hari@, al-S{ih{ah{ Ta>j al-Lugah wa S}iha>h} al-'Arabiyyah (Qahirah: Da>r al-Hadi@s, 2009), hlm. 711-712. 10 Muhammad Murtada al-Husaini@ al-Zabi@di@, Ta>j al-'Aru>s min Jawa>hir al-Qa>mus, (Kuwait: Maktabah Kuwait, 1998), juz 21, hlm. 462

( عوطلا) dalam QS. Al-Nisa>’: 59 bermakna al-inqiya>d yang berarti ketundukan, ketaatan, atau kepatuhan. 11 Jadi, jika dikaitkan dengan kata Allah dan rasul, kalimat

tersebut bermakna taat, tunduk, atau patuhlah kepada Allah dan Nabi Muhammad. Frasa u>li@ al-amr terbentuk dari dua kata, yakni u>li@ dan al-amr. Kata u>li@ ( ًلوُأ),

menurut Ibnu Manz}ur, kata ini berasal dari kata alla-ya’illu (atau yaullu)-allan ( - لَأ ألأأ - لؤٌ ). Kata ini dalam bahasa Arab mempunyai banyak varian makna. Kata al-allu

( 12 لَلأا), dengan fathah, bermakna عرسأ yakni mempercepat. Bisa juga bermakna melantangkan suara dalam berdoa. Bisa juga bermakna pancaran atau kilauan. 13 Sedangkan kata u>lu> ( وُلوُأ) merupakan bentuk jamak dan tidak ada bentuk tunggalnya. Kata 14 u>lu> ( وُلوُأ), dengan alif berharakat dammah, bermakna z\awu> (و ُوذ). Kata z\awu> merupakan jamak dari kata 15 z\u> ( وُذ). Kata z\u> bermakna s}a>h}ib, yakni pemilik. Menurut Hans Wehr kata 16 u>lu> mempunyai makna possessors yakni para pemilik.

Kata u>lu> bermakna pemilik juga terdapat dalam QS. An-Naml: 33 اوُل وُأ َو ة وُق اوُل ْوُأ ُن ْحَن دٌِدَش سْأَب artinya ‚kami orang-orang pemilik kekuatan dan (juga) keberanian yang sangat‛. Kata u>lu> bermakna memiliki, juga terdapat dalam kalimat بابللأا وُلوُأ ًنءاج

11 Abi@ Al-Qa>sim al-H{usain bin Muhammad al-Ra>gib al-Asfiha>ni, al-Mufrada>t fi@ Gari>b al- Qur'a>n , juz 1, hlm. 405 12 Jamaluddi@n Muhammad ibn Manz}ur al-Misri@, Lisa>n al- ʻ Ara>b , jilid 11, hlm. 27 13 Jamaluddi@n Muhammad ibn Manz}ur al-Misri@, Lisa>n al- ʻ Ara>b, jilid 11, hlm. 29 14 Jamaluddin Muhammad ibn Manz}ur al-Misri@, Lisa>n al- ʻ Ara>b, jld. 11, hlm. 32

15 Muhammad bin Abi> bakr bin 'Abd al-Qa>dir al-Ra>zi, Mukhta>r al-S}ih{a>h} (Beirut: Maktabah Libanon, 1986), hlm. 94 16 Hans Wehr,

A Dictionary of Modern Written Arabic (New York: Spoken Language Service Inc., 1976), hlm. 35.

yang berarti ‚Orang yang berpengetahuan telah datang kepadaku‛. 17 Jadi, kata u>li@ di sini tidak ada perdebatan makna yang signifikan. Kata u>li@ memiliki arti pemilik.

Kata al-amr ( ُرملأا) merupakan ism mas}dar berasal dari fi‘l ma>d}i amara- ya’muru-amran ( 18 اأرمَأ - ُرُمأٌَ - َرَمَأ ). Menurut Ah}mad bin Fa>ris dalam Maqa>yi@s Al-Lugah

huruf ر م ا berasal dari lima bahasan. Pertama, menunjukkan sesuatu. Dalam kasus pertama ini seperti dalam kalimat ُهُتٌضر رمأ ذه yang berarti ‚saya telah menyetujui urusan ini dengannya‛. Kedua, menujukkan perintah yang berlawanan dengan

larangan, seperti dalam ungkapan ٌةَعاطم ٌةَرْمَأ كٌلع ًل yang memiliki maksud ‚saya memerintah kamu dan kamu harus mematuhi saya‛. Ketiga, menujukkan suatu yang berkembang menjadi banyak dan berkah, seperti dalam kalimat ُءً شلا َرِمَأ دق yang bermakna kas\ura ( رُثك) yakni sesuatu yang melimpah. Sebagaimana juga ungkapan orang arab ةرومأم ٌةَرْهُم لاملا ُرٌخ yang bermakna ‚sebagus-bagusnya harta ialah anak kuda betina yang banyak‛. Keempat, menujukkan tanda dan waktu, hal ini terdapat pada kata ُة َرا َم َلأا yang memiki makna ةملاعلا yang berarti tanda. Sebagaimana dalam

kalimat ةراَمأ كنٌبو ًنٌب ْلَعجا yang berarti ‚buatlah tanda di antara aku dan kamu‛. Kelima, menujukkan menujukkan keajaiban atau mukjizat, sebagaimana dalam QS. Al-Kahfi: 71. 19

17 . Lihat juga Edward Willam Lane, An Arabic-English Lexicon, jilid 1, hlm. 84 18 Jamaluddin Muhammad ibn Manz}ur al-Misri@, Lisa>n al- ʻ Ara>b, jld. 4, hlm. 30 19 Ahmad bin Faris, Maqa>yi@s al-Lugah, hlm . 73-74

Di atas telah dijelaskan makna-makna dari amr dan derivasinya. Pertanyannya, apa makna al-amr dalam konteks QS. Al-Nisa>’: 59? Oleh karena itu, makna al-amr perlu diteliti lebih jauh secara spesifik dan detail. Kata amara (kata kerja) bermakna

perintah seperti dalam kalimat اأرمع برضف اأدٌز ُت رَمَأ yang artinya ‚saya memerintah Zaid, dan dia memukul Umar‛. Kata al-amr dalam QS. Al-Nisa>’: 59 merupakan kata benda dan bentuk tunggal. Bentuk jamaknya yakni al-umu>r ( روملأا) ada juga yang mengatakan 20 al-awa>mir ( ُرما َولأا).

Menurut al-Ra>gib makna dari al-amr yakni نأشلا yang berarti perkara, persoalan, hal, ataupun urusan. 21 Hal ini juga dikemukakan Hans Wehr dan Lane,

bahwa kata al-amr bermakna an order, a command, dan an instruction yang berarti sebuah perintah. 22 Dijelaskan oleh Ibnu Manz}ur, bahwa makna dari al-amr yakni ُدحاو

رومُلأا yang berarti salah satu perkara, urusan, ataupun sesuatu. Kata al-amr juga bermakna ةَثدا yang berarti sebuah kejadian atau peristiwa. Lebih lanjut Ibnu َحـلا Manz}ur menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan z\u al-amr ( رمُلأاوذ) yakni al-ami@r, bentuk pluralnya yakni 23 umara>’.

20 Lihat juga Edward Willam Lane, An Arabic-English Lexicon (Beirut: Librairi Du Liban, 1968), jilid 1, hlm. 96 21 Abi@ al-Qa>sim al-Husain bin Muh}ammad al-Ra>gib al-Asfiha>ni@, al-Mufrada>t fi@ Gari>b al- Qur'a>n , juz 1, hlm. 30 22 Hans Wehr,

A Dictionary of Modern Written Arabic , hlm. 26.

23 Seperti gubernur, pangeran, atau raja. Kata al-ami@r jamaknya yakni umara>’ . Lihat Jamal al- Di@n Muh}ammad ibn Manz}ur al-Ifriqi@, Lisa>n al- ʻ Ara>b, jilid 4, hlm. 31. Lihat juga Edward Willam

Lane, An Arabic-English Lexicon , jilid 1, hlm. 97

Menurut Khali@l ‘Abd al-Kari@m, di era awal Islam, kata al-amr dimaksudkan untuk membahas kepemimpinan dalam kekuasaan. 24 Pidato pertama Umar bin

Khat}t}ab setelah dibaiat menjadi pengganti Abu Bakar, menyebut Abu Bakar sebagai نٌملسملا رمأ ًلو yakni pemimpin urusan kaum muslimin. Dalam kelanjutan pidatonya, Umar mengatakan ‚ مكرومأ تٌلو ًنإ مث‛ yakni, ‚kemudian sayalah, saya

yang akan mengurus kalian‛. 25 Begitu juga dengan kata al-ami@r yang berarti pemilik urusan. Penyebutan amir al-mukminin terhadap Umar bin Khat}t}ab, merupakan salah

satu pembuktian bahwa al-ami@r merupakan seorang pemimpin atau orang yang mempunyai kekuasaan dalam sebuah pemerintahan. 26

Jadi, pemaknaan term u>li@ al-amr juga harus memperhatikan bentuknya. Term u>li@ al-amr dalam QS. Al-Nisa>’: 59 merupakan sebuah frasa. Sebagai sebuah frasa, maka pemaknaanya mengikat satu sama lain dan lebih spesifik, tidak lagi seperti ketika kata-kata tersebut terpisah. Secara kata u>li@ berarti pemilik dan al-amr berarti urusan, tetapi jika menjadi sebuah frasa, bermakna para pemimpin yang mengurusi

urusan suatu kaum.

2. Kalimat Faintana>za’tu>m fi@ Syai’in Faruddu>hu ilalla>h wa ar-Rasu>l ( ْىُتْػَساََُت ٌِئَف

24 Lihat Khalil Abdul Karim , Hegemoni Quraish (Yogyakarta: LKIS, 2002), hlm. 218 25 Muhammad Husain Haikal, al-Fa>ru>q ‘Umar (Qa>hirah: Muassasah al-Hindawi, 2014), hlm. 95 26 Sejarah penisbatan gelar Ami@r al-Mukmini@n terhadap khalifah ‘Umar. Silahkan lihat Muhammad Husain Haikal, al-Fa>ru>q ‘Umar, hlm. 105

Huruf fa’ ( ف) dalam kata faintana>za‘tum fi@ syai’in merupakan fa’ isti’na>fiyah, yakni fa’ permulaan kalimat. In ( نإ) merupakan salah satu perangkat syarat}. In men- jazm-kan dua fi‘l, fi‘il syarat} dan jawab. Fungsi in yakni mengikat antara jawab dan syarat}. Tana>za’tum merupakan fi‘l syarat dan kata kerja (fi‘l ma>d{i). Fi@ syai’in merupakan 27 jar-majrur yang berhubungan dengan tana>za’tum. Kata tana>za’tum berasal dari naza’a-yanzi’u-naz’an ( أاعزَن - ع ِزنٌ - عزن ). Menurut Ibnu Manz}ur, dalam konteks kalimat 28 ُموقلا َعَزاَنَت, memiliki makna اوُمَصَتخا yang berarti berseteru, berdebat, cekcok, atau berselisih.

Siapa yang berselisih dalam ayat tersebut? Menurut Ibn ‘A<syu>r, kata tana>za’tum merupakan orang-orang beriman yang memungkinkan terjadinya perselisihan di antara mereka. Meliputi perselisihan antara sesama penguasa, sesama

ulama, para 29 wazir dengan ami@r, penguasa dengan rakyat, atau sesama warga. Sedangkan apa yang diperselisihkan? Penjelasannya terdapat pada kata selanjutnya,

yakni fi@ syai’in. Menurut Ibn ‘A<syu>r, lafaz fi@ syai’in merupakan nakirah yang menunjukkan keumuman persoalan. Maksudnya, fi@ kulli syai’in yakni dalam setiap sesuatu atau persoalan. 30 Oleh karena itu, perselisihan di sini tidaklah spesifik antara

27 Bajat ‘Abd al-Wa>hid Sa>lih, al-I‘ra>b al-Muffas}al li Kita>billah wa al-Murratal , jilid 2, hlm. 306 28 Abu> Fadl Jamaluddin ibn Manz}ur al-Ifri@qi>@, Lisa>n al- ʻ Ara>b, jilid 8, hlm. 418 29 Muhammad T{a>hir ibn ‘A<syu>r, Tafsi@r al-Tahri@r wa al-Tanwi@r (Tu>nis: Da>r Sahnu>n, 1997), jilid 5, hlm. 99 30 Muhammad T{a>hir ibn ‘A<syu>r, Tafsi@r al-Tahri@r wa al-Tanwi@r, jilid 5, hlm. 99 27 Bajat ‘Abd al-Wa>hid Sa>lih, al-I‘ra>b al-Muffas}al li Kita>billah wa al-Murratal , jilid 2, hlm. 306 28 Abu> Fadl Jamaluddin ibn Manz}ur al-Ifri@qi>@, Lisa>n al- ʻ Ara>b, jilid 8, hlm. 418 29 Muhammad T{a>hir ibn ‘A<syu>r, Tafsi@r al-Tahri@r wa al-Tanwi@r (Tu>nis: Da>r Sahnu>n, 1997), jilid 5, hlm. 99 30 Muhammad T{a>hir ibn ‘A<syu>r, Tafsi@r al-Tahri@r wa al-Tanwi@r, jilid 5, hlm. 99

Huruf fa’ ( ف) dalam kata faruddu>hu merupakan huruf yang menjadi tanda jawab dari lafaz in ( نإ) dalam faintana>za’tum. Kata ruddu> merupakan kata kerja perintah. Ila Alla>h merupakan jar-majrur dan berhubungan dengan ruddu>hu. Al- Rasu>l merupakan at}af dari lafaz Alla>h. 31 Kata ruddu> ( اوّدرف) merupakan kata kerja perintah (fi‘l amr). Kata ruddu>hu, i‘rab-nya sama dengan i‘rab kata at}i@’u>, yakni sebagai kata kerja perintah. Sedangkan hu ( ه) adalah objeknya (maf‘u>l bih). Kata ganti 32 hu ( ه) merujuk pada syai’in. Dalam bahasa Arab kata ini berasal dari akar kata radda-yaruddu-raddan ( اأدر - ّدُرٌ - ّدر ). Kata al-ruddu ( درلا) bermakna ءىشلا فرص هعجرو yakni mengubah sesuatu dan mengembalikannya. 33 Ahmad bin Faris dalam Maqa>yi@s al-Lugah juga memaknainya dengan mengembalikan sesuatu. 34 Sedangkan maksud dari ilalla>h wa al-rasu>l, menurut para mufasir yakni Alquran dan sunnah setelah Nabi Muhammad wafat. 35 Oleh karena itu, kalimat faintana>za’tu>m fi@ syai’in faruddu>hu ilalla>h wa ar-Rasu>l merupakan satu kesatuan. Kalimat tersebut merupakan perintah dan arahan Allah, apabila terdapat perselisihan (siapa dan

31 Muh}yiddin Al-Darwisy, I’ra>b al-Qur’a>n al-Kari@m wa Baya>nuh , jilid 2, hlm. 46 32 Muh}yiddin Al-Darwisy, I’ra>b al-Qur’a>n al-Kari@m wa Baya>nuh , jilid 2, hlm. 46 33 Abu Fadl Jamaluddin ibn Manz}ur Al-Ifri@qi@>, Lisa>n al- ʻ Ara>b, jilid 3, hlm. 213 34 Ahmad bin Faris, Maqa>yi>s al-Lugah , hlm. 380 35 Abu> Hayya>n al-Andalusi, Tafsi@r al-Bahr al-Muhit} (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2010),

jilid 3, hlm. 291 jilid 3, hlm. 291

b. Kalimat in Kuntum Tu’minu>n bi alla>h wa al-Yaum al-Akhir ( ِ هللَّاِب ٌَىُُِيْؤُت ْىُتُُك ٌِإ ِزِخ ْلْا ِوْىَيْناَو )

In ( ٌإ) dalam konteks kalimat di atas merupakan huruf syarat{. Kuntum merupakan kata kerja dan ism-nya. Jumlah tu’minu>na dalam keadaan nasab, sebab menjadi khabar-nya kuntum. Sedangkan kata billa>h merupakan jar-majrur dan berhubungan dengan kuntum. Lafaz al-yaum merupakan at{af pada lafaz Alla>h. Begitu juga dengan lafaz 36 al-akhir, yang menjadi sifat atau penjelas dari al-yaum.

Apabila dalam kaidah syarat} harus ada jawab, maka dalam kasus ini, jawab in dibuang. Menurut Abu Hayya>n al-Andalusi@, maksudnya yang dibuang yakni faruddu>hu ilaalla>h wa al-Rasu>l. Ia menambahkan bahwa syarat dalam potongan ayat ini, berfungsi sebagai dorongan atau desakan kepada orang-orang mukmin (dalam

seruan 37 ya> ayyuha al-laz\i@na amanu>) agar mengikuti kebenaran.

c. Kalimat z\alika Khairun wa Ah}san al-Takwi>lan ( ألاٌوأتلا ُنَسحأ و ٌرٌخ كلذ) Kalimat z\alika khairun wa ah}san al-ta’wilan, z\alika merupakan ism isyarah.

Menurut Abu Hayya>n al-Andalusi@, lafaz z\alika sebagai isyarat yang menjelaskan

36 Bajat Abd al-Wa>hid Sa>lih, Al-I‘ra>b al-Muffas}al li@ Kita>billah wa al-Murratal , jilid 2, hlm. 306. Lihat juga Muh}yiddin Al-Darwisy, I’ra>b al-Qur’a>n al-Kari@m wa Baya>nuh , jilid 2, hlm. 46 37 As\i@r al-Di@n ‘Abdullah bin Yusuf bin ‘Ali Al-Andalusi@ al-Ma ‘ruf bi Abi Hayya>n, Tafsi@r al- Bah}r al-Muh}i@t} , jilid 3, hlm. 279

‚merujuk terhadap Alquran dan sunnah‛. 38 Lafaz khairun merupakan mubtada’ dibaca dammah karena bentuk tunggal. Lafaz ah}sannu merupakan at}af dari lafaz

khair. Lafaz al-ta’wil merupakan tamyiz, dibaca nas}ab dengan fathah karena bentuk tunggal. 39 Kata ah}sanu berasal dari mad}i hasuna-yahsunu-husnan ( اأنسح - نُسحٌ - نسح ).

Kata ini berlawanan dengan kata حبُقلا yang berarti kejelekan. Kata Ah}sanu merupakan ism tafd}i@l yang menunjukkan suatu perkara melebihi dari perkara yang

lain. 40 Oleh karena itu, ah}sanu bermakna lebih baik atau sebaik-baiknya. Sedangkan kata 41 at-ta’wi@lan menjadi hal yang menjelaskan keadaan konteks radduhu. Kata at- ta’wi>l merupakan kata benda yang berasal dari kata kerja awwala-yuawwilu-ta’wi>lan ( لاٌِوأت - ل ّوؤٌ - ل ّوأ ), sedangkan dalam bentuk asalnya (baca: s\ula>s\i mujarrad) yakni - لا

ألاوأ - لوؤٌ yang bermakna raja‘a dan‘a>da yang berarti kembali. Ibnu Manz}ur menyebutkan beberapa makna dari kata at-ta’wi@l. Disebutkan dalam Lisa>n al-‘Arab kata 42 at-ta’wi>l bisa bermakna kembali, hari pembalasan, rujukan, dan penafsiran.

Edward William Lane dalam kamus Lexicon menyebutkan bahwa kata ah}sanu at- ta’wi@l memiliki arti sebaik-baiknya akibat. 43

3. QS. Al-Nisa>’: 83

38 As\i@r al-Di@n ‘Abdulla>h bin Yusuf bin ‘Ali al-Andalusi@ al-Ma ‘ruf bi Abi@ Hayya>n, Tafsi@r al- Bah}r al-Muh}i@t} , jilid 3, hlm. 279 39 Bajat ‘Abd al-Wa>hid Sa>lih, al-I‘ra>b al-Muffas}al li@ Kita>billah wa al-Murratal , jilid 2, hlm. 306-307

40 Taufiqul Hakim, Rumus Qaidah (Jepara: Al-Falah Offset, 2004), hlm. 17. 41 Muh}yiddin al-Darwisy , I’ra>b al-Qur’a>n al-Kari@@@@@@>m wa Baya>nuh, jilid 2, hlm. 46 42 Abu Fadl Jamaluddin ibn Manz}ur al-Ifri@qi@, Lisa>n al- ʻ Ara>b, jilid 11, hlm. 38-40 43 Edward Willam Lane, An Arabic-English Lexicon, jilid 1, hlm. 126 40 Taufiqul Hakim, Rumus Qaidah (Jepara: Al-Falah Offset, 2004), hlm. 17. 41 Muh}yiddin al-Darwisy , I’ra>b al-Qur’a>n al-Kari@@@@@@>m wa Baya>nuh, jilid 2, hlm. 46 42 Abu Fadl Jamaluddin ibn Manz}ur al-Ifri@qi@, Lisa>n al- ʻ Ara>b, jilid 11, hlm. 38-40 43 Edward Willam Lane, An Arabic-English Lexicon, jilid 1, hlm. 126

sebagai huruf syarat. Dalam pengalan Ja>’a hum amrun, ja>’a merupakan kata kerja yang berarti datang. Kata Hum merupakan objek atau maf‘u>l bih yang didahulukan. Hum di sini merujuk terhadap segolongan Muslim yang lemah imannya atau munafik. Menurut al-T{abari@ huruf

ha dan mim tersebut berfungsi untuk menyebut segolongan kaum Muslimin yang mengubah perkataan Nabi, sebab makna dari ayat

ini yakni ‚apabila datang kepada mereka suatu perintah tentang keamanan, maka mereka akan mengubah apa yang telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad. 44

Kata amrun merupakan fa>‘il dari ja>’a, dibaca dammah karena bentuk tunggal. Kata amrun berbentuk masdar, yang berarti perkara, sesuatu, atau peristiwa. Min al-amn merupakan jar-majrur, aw al-khawfi yakni at}af dari al-amn. Az\a>‘u> bih merupakan sebuah jumlah. 45 Az\a>‘u> bih juga merupakan jawab dari syaratnya iz\a ( اذإ). Jadi,

kalimat ini menjelaskan perbuatan orang-orang yang dimaksud dalam sebuah kondisi atau keadaan.

Kata al-amn ( ٍِْيَ ْلْا) berasal dari amina-ya’manu-amnan ( اًُيأ - ٍُيأي - ٍَِيَأ ). Kata ini berantonim 46 al-khawf ( ِفْىَخْنا). Kata al-amn bermakna keselamatan atau

44 Ibnu Jarir al-T{abari@, Tafsir al-T{abari@ terj. Akhmad Afandi (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), hlm. 374

45 Bajat ‘Abd al-Wa>hid Sa>lih, al-I‘ra>b al-Muffas}al li@ Kita>billah wa al-Murratal , jilid 2, hlm. 336 46 Abi@ Nas}r Isma>il bin H}amma>d al-Ju>hari@, As}-S{ih{ah{ Ta>jj Al-Lugah, hlm. 56 45 Bajat ‘Abd al-Wa>hid Sa>lih, al-I‘ra>b al-Muffas}al li@ Kita>billah wa al-Murratal , jilid 2, hlm. 336 46 Abi@ Nas}r Isma>il bin H}amma>d al-Ju>hari@, As}-S{ih{ah{ Ta>jj Al-Lugah, hlm. 56

ha tersebut menjelaskan perkara, sehingga mempunyai makna ‚mereka menyebarluaskan perkara keamanan atau kecemasan yang datang kepada mereka‛. Jadi, dalam penggalan ayat

tersebut, menjelaskan tingkah laku segolongan kaum Muslimin yang lemah imannya dalam sebuah keadaan. Mereka menyebarluaskan hal-hal yang kepastiannya bukan dari Nabi saw. Hal tersebut berkaitan dengan laskar perang kaum Muslimin.

b. Kalimat wa lau raddu>hu ila al-Rasul wa ila u>li@ al-amr minhum ( ىَنِإ ُِوُّدَر ْىَنَو ْىُهُِْي ِزْيَ ْلْا يِنوُأ ٰىَنِإَو ِلىُسهزنا)

Wawu dalam konteks wa lau raddu>hu merupakan wawu ha>liyah. 50 Lafaz-lafaz seperti ruddu, al-rasu>l, dan u>li@ al-amr yang telah disebutkan dalam QS. Al-Nisa>’: 59,

diulang kembali dalam ayat ini. Menurut al-T{abari@, maksud dari penggalan ayat di atas yakni apabila informasi yang mereka dapatkan dari musuh ataupun kaum Muslimin didiamkan atau diverifikasi kepada Nabi Muhammad dan u<li@ al-amr. Sedangkan lafaz minhum merupakan penyebutan untuk u>li@ al-amr. Oleh karena itu,

47 Hans Wehr,

A Dictionary of Modern Written Arabic , hlm. 28.

48 Muhammad Murtada al-H}usaini@ al-Zabi@di@, Ta>j Al-'Aru>s min Jawa>hir al-Qa>mus, jilid 23, hlm. 288. 49 Abu Fadl Jamaluddin ibn Manz}ur Al-Ifri@qi@, Lisa>n al- ʻ Ara>b, jilid 9, hlm. 120 50 Muh}yiddin Al-Darwisy, I’ra>b al-Qur’a>n al-Kari@m wa Baya>nuh, hlm. 73 48 Muhammad Murtada al-H}usaini@ al-Zabi@di@, Ta>j Al-'Aru>s min Jawa>hir al-Qa>mus, jilid 23, hlm. 288. 49 Abu Fadl Jamaluddin ibn Manz}ur Al-Ifri@qi@, Lisa>n al- ʻ Ara>b, jilid 9, hlm. 120 50 Muh}yiddin Al-Darwisy, I’ra>b al-Qur’a>n al-Kari@m wa Baya>nuh, hlm. 73

c. Kalimat la‘alimahu al-laz\i>na yastanbit{u>nahu minhum ( ْىُهُِْي ََُّىُطِبَُتْسَي ٍَيِذهنا ًَُِّهَؼَن) Kata la‘alimahu ini terdiri dari huruf lam, kata ‘alima, dan huruf ha. Kata

‘alima merupakan kata kerja, ‘alima-ya‘lamu-‘ilman. Kata ‘alimahu bermakna arafahu yakni mengetahuinya. 51 Menurut Edward William Lane, kata ‘alimahu

mempunyai makna dia mengetahuinya dengan sungguh-sungguh atau pasti. 52 Tidak terdapat perbedaan dalam memaknai kata la‘alimahu. Sedangkan lafaz

yastanbit{u>nahu minhu maksudnya yakni untuk mengetahui kebenaran informasinya hendaknya bertanya langsung kepada u>li@ al-amr dengan kata lain bahwa kebenaran informasi tersebut dapat diketahui dari u>li@ al-amr.

d. Kalimat wa laula fad}l al-la>h ‘laikum wa rah}matuhu la> taba‘tum al-syait{a>n illa qali@lan ( ًليِهَق هلَِإ ٌَاَطْيهشنا ُىُتْؼَبهت َلَ ُُّتًَْحَرَو ْىُكْيَهَػ ِ هاللَّ ُمْضَف َلَْىَنَو)

Penggalan ayat ini merupakan akhir dari QS. AL-Nisa>’: 83. Menurut Quraish Shihab, maksud dari penggalan ayat di atas yakni karunia yang Allah berikan kepada kaum Muslimin adalah kitab suci dan membekali, akal yang sehat, diutusnya Nabi

51 Muh}ammad Murtada al-H{usaini@ al-Zabi@di@, Ta>j al-'Aru>s, juz 33, hlm. 126. Lihat juga Muh}ammad bin Abi> Bakr bin 'Abd al-Qa>dir al-Ra>zi @, Mukhta>r al-S}iha>h }, hlm. 189. 52 Edward Willam Lane, An Arabic-English Lexicon, jilid 5, hlm. 2138

Muhammad, memberi taufik dan hidayah. Dari karunia tersebut, kaum Muslimin dapat mengamalkan tuntunan agama. 53

Oleh karena itu, secara linguistik, term u>li@ al-amr dalam QS. Al-Nisa>’: 59 dan 83terbentuk dari dua kata, yakni u>li@ dan al-amr. Kata u>li> bermakna pemilik. Sedangkan kata al-amr bermakna urusan. Term u>li@ al-amr pada masa pewahyuan identik dengan kata ami@r. Kata ami@r di era Nabi Muhammad sering dikaitkan dengan penguasa suatu tempat, kelompok, ataupun pemimpin pasukan perang. Oleh karena itu, term u>li@ al-amr bermakna pemimpin yang mempunyai wewenang yang mengatur urusan orang banyak dalam sebuah wilayah.

B. Konteks Sastrawi U<li@ al-Amr dalam QS. Al-Nisa>: 59 dan 83

1. Konteks Sastrawi U<li@ al-Amr dalam QS. Al-Nisa>: 59 Setelah membahas QS. Al-Nisa>: 59 dan 83 dari aspek linguistik, langkah

selanjutnya membahas ayat-ayat tersebut dalam konteks sastrawi. Apa itu konteks sastrawi? Abdullah Saeed dalam Reading the Qur’an menjelaskan bahwa aspek ini merupakan pengidentifikasian konteks sastrawi terhadap teks yang menjadi fokus

penafsiran. 54 Tujuan dari aspek konteks sastrawi adalah memahami bagaimana teks yang sedang diteliti mempunyai fungsi dalam surat tertentu atau secara luas dalam

53 M. Quraish Shihah, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2011), vol. 2, hlm. 642. 54 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 99

Alquran. Dengan melihat bagaimana ayat sebelum dan sesudahnya, bagaimana komposisi dan struktur teks termasuk model retorika dalam ayat tersebut. 55

Sedangkan langkah teknis dari aspek sastrawi terhadap teks Alquran identik dengan analisis sastra pada umumya, khususnya sastra jenis teks berlapis atau prosa. Prosa merupakan jalinan kisah yang dibawa oleh pelaku-pelaku tertentu dengan peranan, alur, latar, tahapan dan rangkaian hingga membentuk cerita. 56 Unsur-unsur penting dalam prosa yakni meliputi plot (plot), karakter (characters), gaya cerita (narrative), dan latar (setting). 57 Sedangkan dalam bangunan prosa terbagi menjadi

tiga bagian, yakni tema, fakta, dan sarana pengucapan. Fakta dalam prosa meliputi karakter, plot, dan latar. Sedangkan sarana kesusastraan adalah teknik yang

dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun narasi. 58 Oleh karena itu, untuk menemukan makna dari u>li@ al-amr dibutuhkan analisis terhadap sturuktur

teks QS. Al-Nisa>’: 59 dan 83 berdasarkan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya dengan menganalisis sastra tersebut.

Pemahaman QS. Al-Nisa>’: 59 dapat dilakukan dengan melihat ayat sebelumnya, QS. Al-Nisa>’: 58. Sebagai berikut QS. Al-Nisa>’: 58:

55 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran, hlm. 151 56 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra (Bandung: Sinar Baru, 2011), hlm. 66 57 Mario Klarer,

58 An Introduction to Literary Studies (New York: Routledge, 1998), hlm. 14 Pokja Akademik, Metode Penelitian Sastra I (Yoyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm.

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [An Nisa>’:58]

QS. Al-Nisa>’: 58, menurut Al-Suyu>t}i dan Al-Wa>h}idi>, turun ketika Us\man bin T{alhah meminta agar Nabi Muhammad merestuinya untuk memegang kunci Ka’bah dan sekaligus mengurus pemberian minum kepada orang-orang yang tawaf di Ka’bah, tetapi Nabi Muhammad tidak merestuinya, kemudian Nabi Muhammad masuk ke Ka’bah dan turunlah ayat ini. Setelah Nabi Muhammad keluar, maka Nabi

memberikan kunci itu kepada Usman. 59 Tetapi menurut Al-Ja>biri@, sabab al-nuzu>l di atas tidaklah tepat karena ayat ini turun sebelum Fath Makkah dan tidak bisa

dijadikan dasar karena sanadnya lemah. 60 Menurut al-T{abari@, ayat ini turun berkenaan dengan pemegang urusan kaum muslimin yang hendak menerima amanat

dari Nabi Muhammad. 61 QS. Al-Nisa>’: 58 mempunyai beberapa poin pesan, yakni 1) perintah kepada Nabi untuk memberi amanat kepada orang yang berhak

menerimanya, 2) amanat tersebut yakni perintah untuk melaksanakan hukum yang

59 Abu> al-H}asan ‘Ali@ bin Ah}mad al-Wa>h}idi@ al-Naisa>bu>ri@, Asba>b al-Nuzu>l (Beirut: Da>r al-Fikr, 2000), hlm. 168. Lihat juga Abd Al-Rah}man bin al-Kam>al Jala>l al-Di@n al-Suyu>t}i@, Luba>b al-Nuqu>l fi@

Asba>b al-Nuzul, (Beirut: Muassasah al-Kutub al-S|aqa>fiah, 2002), hlm. 80. 60 Muh}ammad ‘A<bid Al-Ja>biri@, Fahm al-Qur’a>n al-Tafsi@r al-Wa>dih} H{asba Tarti@b al-Nuzu>l

(Beirut: Markaz Dira>sa>h al-Wah{dah al-‘Arabiyah, 2009), jilid 3, hlm. 225. 61 Abu> Ja’far Muh}ammad bin Jari@r al-T{abari@, Ja>mi‘ Al-Baya>n fi@ Tafsi@r al-Qura>n (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1992), jilid 5, hlm. 91-93 (Beirut: Markaz Dira>sa>h al-Wah{dah al-‘Arabiyah, 2009), jilid 3, hlm. 225. 61 Abu> Ja’far Muh}ammad bin Jari@r al-T{abari@, Ja>mi‘ Al-Baya>n fi@ Tafsi@r al-Qura>n (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1992), jilid 5, hlm. 91-93

Apabila dikaitkan dengan QS. Al-Nisa>’: 59, maka terdapat keselarasan. Berikut QS. Al-Nisa>’: 59:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

QS. Al-Nisa>’: 58 diakhiri dengan informasi bahwa Allah memberikan pengajaran kepada Nabi Muhammad. QS. Al-Nisa>’: 59 merupakan kelanjutan dari QS. Al-Nisa>’:

58. Jika dilihat dari sturktur teksnya, QS. Al-Nisa>’: 59 merupakan perintah untuk taat dan sekaligus petunjuk jika terjadi sebuah perselisihan.

Jala>l Al-Di>n al-Suyu>t}i menyatakan bahwa sabab al-nuzu>l QS. Al-Nisa>’: 59, sebagaimana riwayat Ibn ‘Abba>s, berkenaan dengan ‘Abdulla>h bin Huz\a>fah bin Qais

ketika diutus oleh Nabi SAW memimpin suatu pasukan dalam 62 sariyah. ‘Ali@ bin Abi@ T{a>lib menjelaskan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan salah satu kejadian

yang terdapat dalam sebuah perang sariyah. Tepatnya saat Nabi mengutus salah satu sahabat ans}ar untuk menjadi pemimpin perang dan memerintahkan mereka untuk

62 Jalaluddin al-Suyut}i, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie (Depok: Gema Insani, 2009), hlm. 173 62 Jalaluddin al-Suyut}i, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie (Depok: Gema Insani, 2009), hlm. 173

Sedangkan menurut al-T{abari@, ayat ini turun ketika terjadi polemik antara Kha>lid sebagai pemimpin pasukan dengan ‘Amma>r bin Yasar, sebagaimana

berikut 65 : Rasulullah pernah mengutus sebuah pasukan khusus di bawah pimpinan Kha>lid

bin Walid. Dalam pasukan tersebut terdapat ‘Amma>r bin Yasar. Mereka berjalan menuju tempat kaum yang dituju. Ketika berada di dekat tempat kaum tersebut, mereka beristirahat karena hari sudah malam. Kemudian mereka diketahui oleh mata-mata kaum yang hendak dituju. Maka kaum tersebut melarikan diri meninggalkan tempat kecuali seorang laki-laki yang memerintahkan kepada keluarganya agar semua barang mereka dikemasi. Kemudian mereka sendiri berjalan kaki pada waktu malam menuju ke tempat pasukan Kha>lid bin Walid. Setelah sampai, ia menanyakan tentang ‘Amma>r bin Yasar. Lalu ia datang dan mengatakan, ‚hai Abu al-Yaqzan, sesungguhnya aku telah masuk Islam dan bersaksi tidak tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Sesungguhnya kaumku telah mendengar kedatangan kalian dan mereka semua melarikan diri kecuali aku tetap tinggal.

63 Muqbil bin Hadi, Shahih Asbabun Nuzul (Depok: Meccah, t.th), hlm. 134 64 Abu Isa bin Su>rah al-Tirmiz\i@, Sunan al-Tirmiz\i@ (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), jilid 5, hlm. 257

Maka apakah Islamku dapat bermanfaat bagiku besok pagi nanti? Jika tidak maka akupun akan ikut lari‛. ‘Amma>r menjawab, ‚tidak bahkan Islammu dapat bermanfaat untuk dirimu. Sekarang pulanglah dan tetaplah di tempat tinggalmu. Pada keesokan hari, Kha>lid bin Wali@d datang menyerang, dan ia tidak menemukan seorangpun musuh selain lelaki tadi. Lalu Kha>lid menawan dan mengambil hartanya. Sampailah berita itu kepada ‘Amma>r, maka ‘Amma>r datang kepada Kha>lid dan mengatakan, ‚lepaskan laki-laki ini, karena dia telah masuk Islam, dan dia telah berada di bawah perlindunganku‛, Kha>lid berkata, ‚atas dasar apa kamu memberi perlindungan?‛ Keduanya bertengkar dan melaporkan peristiwa itu kepada Rasulullah. Maka rasulullah membolehkan tindakan ‘Amma>r dan melarang mengulanginya lagi yakni memberi perlindungan tanpa seizin pemimpin.

Dari peristiwa tersebut kemudian turunlah QS. Al-Nisa>’: 59. Riwayat dari al- T{abari@ di atas dinilai lemah oleh H{asan bin Muh}ammad bin ‘Ali. 66 Meskipun

demikian, kedua sabab al-nuzu>l tersebut menunjukkan perselisihan antara pemimpin perang dengan pasukannya. Mengenai perbedaan asba>b al-nuzu>l di atas, peneliti lebih memilih kisah Abdullah bin Huz\afah bin Qais daripada Kha>lid bin Wali@d sebagai sabab al-nuzu<l QS. Al-Nisa>’: 59. Hal ini didasari karena riwayat Ibnu Abba>s tentang kisah ‘Abdulla>h bin Huz\afah memiliki kualitas lebih.

Dari kisah di atas terdapat titik temu bahwa di zaman Nabi, term u>li@ al-amr dalam QS. Al-Nisa>: 59 dinisbatkan terhadap pimpinan atau orang yang diberi mandat atau otoritas. Dalam kisah ini merupakan pimpinan perang yang diperintah oleh Nabi. QS. Al-Nisa>’: 59 merupakan perintah untuk taat kepada Allah, Rasul, dan u>li@ al-amr. Ayat di atas hanya menjelaskan bagaimana cara mengatasi jika terdapat perbedaan, perselisihan, perdebatan, atau cekcok di antara orang-orang mukmin. Jika

66 H}asan bin Muh}ammad bin ‘Ali@, ‚Asba>b al-Nuzu>l al-Wa>rid fi Kita>b Jami‘ al-Baya>n li al- imam Ibn Jari>r al-T{abari@‛, disertasi , jurusan Al-Kitab dan Al-Sunnah, Fakultas Dakwah dan

Ushuluddin, Universitas Umm Al-Qura, 1419 H, jilid 1, hlm. 536

terjadi perselisihan maka merujuklah kepada Allah dan kepada rasulnya. Di akhir ayat juga ditambah dengan arahan Allah bahwa dengan melaksanakan arahan tersebut pasti berujung pada penyelesaian yang baik. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang diperselisihkan tersebut dan wajib taat dalam hal apa? Jika merujuk terhadap term faintana>za’tum fi@ syai’in, kata syai’in tersebut merupakan nakirah, yang menunjukkan keumuman. Begitu juga ketika merujuk terhadap konteks kedua asba>b al-nuzu>l, tidak terdapat perselisihan yang mengangkut perihal agama. Oleh karena itu, menurut peneliti, perselisihan tersebut terkait dengan persoalan- persoalan umum yang menyangkut kemaslahatan kehidupan umat, tidak hanya spesifik terkait perselisihan dalam hal agama-teologis.

Begitu juga dengan QS. Al-Nisa>’: 60 yang berisi tentang peradilan dan masih dalam kerangka arahan bagaimana tata cara menghakimi. Berikut QS. Al-Nisa>’: 60:

ُ َِِ ْآٍَُٔناَََخَي ن أ َنوُديِرُي َمِيأت َؼ ٌَِ َلِزُ أ ٓاٌََو َمأ َلِِۡ َلِزُُأ ٓاٍَِة ْأٌَُِاَء أًُٓذنَأ َنٍُُٔعأزَي ََيِ ذلَّٱ َِ َرَح أًَلَأ ] 06 : ءاسنىا [ ٥٪ ا ا ديِػَة َۢ َلًََٰل َض أًُٓذيِضُي نَأ ََُٰ َطأيذشلٱ ُديِرُيَو ۡۖۦِِّة ْاوُرُفأؾَي نَأ ْآوُرِمُأ أدَكَو ِتُٔغَٰ ذطىٱ

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada t}a>gu>t, padahal mereka telah diperintah mengingkari t}a>gu>t itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. Al-Nisa>’: 60)

Menurut al-Suyu>t}i@ dalam Tafsi@r Jala>lain, ayat di atas turun karena terjadi sengketa seorang Yahudi dengan seorang munafik. Orang munafik ini meminta kepada Ka‘ab bin al-Asyraf agar menjadi hakim di antara mereka, sedangkan Yahudi

meminta kepada Nabi Muhammad. Kedua orang tersebut datang kepada Nabi Muhammad. Nabi memberikan kemenangan kepada orang Yahudi. Orang munafik tersebut tidak puas, lalu mereka mendatangi Umar dan orang Yahudi pun me nceritakan persoalannya. Umar bertanya kepada orang munafik itu, "Benarkah demikian?" "Benar," jawabnya. Maka orang itu pun dibunuh oleh Umar. 67 Sedangkan dalam Luba>b al-Nuqu>l berkenaan dengan Abu Barzah Al-Aslami, seorang dukun yang memutuskan perselisihan di antara orang-orang Yahudi. 68 Al-Suyu>t}i@, dalam QS. Al-Nisa>’: 60 menafsirkan kata al-t}agu>t yakni dengan orang-orang durhaka seperti Ka‘ab bin al-Asyraf. 69

Terdapat korelasi antara ketiga ayat (baca: QS. Al-Nisa>’: 58-60) di atas. Jika disistemisasikan maka akan membentuk alur dengan beberapa poin. 1) Diawali dengan perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk memberi amanat kepada yang berhak. Dari sini didapati pertanyaan, apa isi amanat tersebut? Siapa objek dari amanat tersebut? 2) Menjawab pertanyaan pertama, dalam QS. Al-Nisa>’: 58 dijelaskan bahwa Allah memerintah untuk mengadili umat dengan hukum yang adil. Jadi amanat tersebut berisi tentang melaksanakan keadilan. 3) Dalam QS. Al-Nisa>’:

58 diinformasikan bahwa Allah memberikan pengajaran atau nasihat kepada Nabi Muhammad terkait bagaimana mekanisme hukum yang adil tersebut. 4). Arahan

67 Jalal al-Di@n Al-Suyu>t}i@, Tafsi>r Jala>lain (Qahirah: Da>r Al-Fikr, 1999), hlm. 115 68 Abd al-Rahman bin al-Kam>al Jala>l al-Di@n al-Suyu>t}i@, Luba>b al-Nuqu>l, hlm. 53 69 Jala>l al-Di@n al-Suyu>t}i@, Tafsi>r Jala>lain, hlm. 115 67 Jalal al-Di@n Al-Suyu>t}i@, Tafsi>r Jala>lain (Qahirah: Da>r Al-Fikr, 1999), hlm. 115 68 Abd al-Rahman bin al-Kam>al Jala>l al-Di@n al-Suyu>t}i@, Luba>b al-Nuqu>l, hlm. 53 69 Jala>l al-Di@n al-Suyu>t}i@, Tafsi>r Jala>lain, hlm. 115

Keseluruhan QS. Al-Nisa>’: 58-60 berbicara tentang amanat dan keadilan dalam hukum. Dari poin-poin tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa posisi u>li@ al-amr

orang yang mendapat amanat dari Nabi Muhammad yang berfungsi untuk menyelesaikan persoalan dengan hukum yang adil. Sebagaimana dalam QS. Al- Nisa>’: 59 bahwa uli@ al-amr ditujukan kepada pimpinan atau komandan pasukan. Oleh karena itu, yang berhak memberi keputusan ialah pemimpin. Ditinjau dari sisi QS. Al-Nisa>’: 60 jika terdapat perselisihan, meminta keputusan kepada dukun tidak diperbolehkan dan Allah memerintahkan hendaknya keputusan tersebut diserahkan, selain kepada Nabi, yakni kepada pemimpin. Dengan kata lain, hal ini merupakan persoalan otoritas, siapa yang berhak memberikan keputusan atau siapa yang tidak mempunyai otoritas dalam hal ini? Oleh karena itu, Allah memberikan petunjuk kepada kaum Muslimin agar menaati Rasul dan para pemimpin yang diberi amanat sebagai orang yang otoritatif untuk menyelesaikan segala persoalan yang terjadi pada kaum Muslimin.

2. Konteks Sastrawi QS. Al-Nisa>’: 83

Menurut Sayyid Qut}b dalam tafsir Fi@ Z}ila>l Al-Qur’a>n bahwa QS. Al-Nisa>’: 77-83 merupakan satukesatuan. 70 Berikut akan mengurai satu persatu ayat tersebut.

Berikut QS. Al-Nisa>’: 77:

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun‛ (QS. Al-Nisa>’: 77)

Ayat di atas membahas tentang sikap kelompok kaum muslimin yang lemah imannya. Lemah iman di sini dekat dengan kemunafikan. Diawali QS. Al-Nisa>’: 77 yang berisi tentang tindak-tinduk segolongan kaum muslimin yang enggan berperang melawan kaum musyrikin dan digambarkan mereka dalam ketakutan. Mereka melakukan nego kepada Allah dengan berkata ‚...Ya Tuhan kami, mengapa engkau wajibkan perang bagi kami? Mengapa tidak menangguhkan kepada kami beberapa bulan lagi...‛ (QS. Al-Nisa>’: 77). Kemudian Allah menguatkan dan menyenangkan hati mereka dengan berfirman diakhir QS. Al-Nisa>’: 77

70 Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Quran (Jakarta: Gema Insani, 1992), jilid 2, hlm. 24-25

‚...Kesenangan di dunia ini hanya sebe ntar dan akhirat itu lebih baik untuk orang- orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun‛. Kemudian ayat selajutnya, QS. Al-Nisa>’: 78, sebagai berikut:

‚Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?‛ (QS. Al-Nisa>’: 78)

QS. Al-Nisa>’: 78 di atas Alquran berbicara tentang kematian. Dijelaskan bahwa kematian itu adalah hak progratif Allah, bukan peperangan yang menjadi satu alasan kematian. Alasan lain ialah Allah menghendakinya sebagaimana dicontohkan oleh Allah ‚...kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh...‛ . Dalam QS. Al-Nisa>’: 77-78 terdapat beberapa bahasan kunci, jika dirunut, yakni perintah perang, nego untuk tidak perang, ketakutan, kehidupan akhirat, dan kematian. Jika dinarasikan, maka kedua ayat tersebut berisi penguatan terhadap hati orang-orang muslim yang lemah iman dan takut mati dalam perang. Perlunya penguatan tersebut disebabkan karena mereka takut terhadap kematian dan menghendaki kehidupan duniawi. Penguatan terhadap hati mereka Allah berfirman ‚...akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun‛ .

Akhir QS. Al-Nisa>’: 78 juga membahas tindakan segolongan mukmin yang imannya lemah. Dijelaskan bahwa ‚jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "...Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)...‛. QS. Al-Nisa>’: 79 merupakan jawaban Allah atas apa yang mereka katakan, berikut QS. Al-Nisa>’: 79:

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS. Al-Nisa>’: 79)

Ayat di atas masih menyinggung persoalan peperangan kala itu. Apabila terjadi bencana dan sial dalam peperangan orang-orang (yang disinggung dalam QS. Al- Nisa>’: 77) berkata bahwa itu disebabkan oleh Nabi Muhammad. Oleh karena itu, Allah kembali berfirman agar menaati semua perintah dari Nabi sebagaimana dalam

QS. Al-Nisa>’: 80. 71 Begitu juga ayat selanjutnya, QS. Al-Nisa>’: 81, juga membahas tentang perkataan orang-orang yang lemah imannya dan mendekati kemunafikan.

QS. Al-Nisa>’: 81 Sebagaimana berikut:

اًظيِفَح ْىِهْيَهَػ َكاَُْهَسْرَأ اًََف ٰىهنَىَت ٍَيَو ۖ َ هاللَّ َعاَطَأ ْذَقَف َلىُسهزنا ِغِطُي ٍهي 71 ‚Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka‛. (QS. Al-Nisa>’: 80)

‚ Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan: "(Kewajiban kami hanyalah) taat". Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebahagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung‛. (QS. Al-Nisa>’: 81)

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa mereka berpaling dari Nabi Muhammad. Segolongan muslim tersebut jika di depan Nabi Muhammad berkata ‚taat‛. Taat artinya patuh, tunduk, atau tidak berpaling dari Nabi, tetapi jika sudah tidak lagi bersama Nabi Muhammad, mereka melakukan hal yang tidak sama dengan apa yang mereka katakan di depan Nabi dan mengatur siasat yang berbeda. Oleh karena itu, di sini jelas mereka bisa disebut dengan orang-orang munafik. Jika tidak taat terhadap kepada Nabi tentulah mereka juga tidak mendengarkan apa yang ada dalam Alquran. Mereka berpaling dari Nabi yang posisinya menyampaikan wahyu (baca: Alquran) dari Allah. Dari keadaan tersebut maka Allah menjawab perbuatan mereka dalam

QS. Al-Nisa>’: 82. 72 Selanjutnya QS. Al-Nisa>: 83 yang juga menjelaskan tingkah laku orang-orang munafik dalam hal peperangan. Sebagaimana berikut:

اًزيِثَك اًف َلِتْخا ِّيِف اوُذَجَىَن ِ هاللَّ ِزْيَغ ِذُِػ ٍِْي ٌَاَك ْىَنَو ۚ ٌَآْزُقْنا ٌَوُزهبَذَتَي َلَفَأ 72 Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari

sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. Al-Nisa>’: 82)

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS. Al-Nisa>’: 83)

Mengenai sabab an-nuzu>l QS. Al-Nisa>’: 83 terdapat 2 pendapat yang berbeda, pertama, al-Suyu>t}i menyatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan kesalahpahaman yang dilakukan para sahabat Nabi. Para sahabat Nabi kala itu menganggap bahwa Nabi menceraikan istri-istrinya. Kemudian ‘Umar bin Khat}t}ab mengklarifikasi masalah ini kepada istri Nabi dan Nabi Muhammad langsung. Ternyata Nabi Muhammad tidak menceraikan istri-istrinya. Kemudian ‘Umar bertanya kepada Nabi apakah dia harus memberitakan hal ini kepada para sahabat- sahabat yang lain?. Nabi menjawab ‚iya, jika engkau mau‛ kemudian Umar berdiri di depan Masjid untuk menyiarkan berita tersebut dalam beberapa hari. Setelah itu, turunlah QS. al-Nisa>’: 83. 73 Pendapat kedua, menurut al-Farra’, al-Bagawi@, dan al-

S|a‘labi@ ayat tersebut turun berkaitan dengan orang-orang munafik yang

73 Jalaluddin as-suyuthi, Sebab Turunnya Ayat,,, hlm. 182.

menyebarkan berita tentang sebuah sariyah utusan Nabi Muhammad, sebelum Nabi menyebarkan. 74

Pendapat pertama, term u>li@ al-amr ditujukan kepada orang yang memiliki mandat dan menguasai dalam persoalan tersebut. Pendapat yang pertama bertentangan dengan aspek sastrawi dan aspek linguistik QS. Al-Nisa>’: 83. Pendapat pertama tidak menampilkan bahwa QS. Al-Nisa>: 83 membahas tentang persoalan peperangan, sebagaimana dalam tinjuan konteks sastrawinya, ayat tersebut masih dalam lingkup peperangan. Pendapat pertama juga tidak mewakili kalimat ‚...apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya...‛ yang mengarah kepada persoalan peperangan. Sedangkan pendapat yang kedua, tidak mengandung pertentangan dari aspek linguistik maupun aspek sastrawinya. Term u>li@ al-amr dalam pendapat kedua, ditujukan kepada yang berwenang dalam peperangan, selain Nabi Muhammad, yakni pemimpin sariyah. Oleh karena itu, pendapat kedua ini lebih mewakili konteks spesifik QS. Al-Nisa>: 83.

Analisa konteks sastrawi dari QS. Al-Nisa>’: 77-83 didapati beberapa poin. Pertama , keseluruahan ayat berbicara dalam konteks perintah perang. Kedua, mayoritas ayat merupakan respon dan arahan dari Allah atas segolongan muslim yang lemah imannya bahkan munafik. Ketiga , keseluruhan ayat berhubungan dengan keadaan atau kondisi laskar kaum muslimin. Dari ketiga kesimpulan tersebut, posisi

74 Abu> Zakariya> Yahya bin Ziya>d al-Farra’ , Ma‘ani al-Qur’a>n (Beirut: Da>r Alim al-kutub, 1983), jilid 2, hlm. 279. Lihat juga Abi@ Muh}ammad al-H}usain bin Mas’u>d al-Bagawi@, Tafsir> al-

Bagawi@ (Beirut: Da>r Ihya al-Tura>s\ al-‘Arabi, 2002), jilid 2, hlm. 666 Bagawi@ (Beirut: Da>r Ihya al-Tura>s\ al-‘Arabi, 2002), jilid 2, hlm. 666

Jika demikian, terdapat beberapa kesamaan bahkan keselarasan antara QS. Al- Nisa>’: 59 dan 83. Kedua ayat sama-sama berbicara tentang orang yang mempunyai mandat langsung dari Nabi. Dari segi pemaknaan terhadap term u>li@ al-amr, keduanya merujuk kepada pemimpin atau komandan dalam peperangan. Keselarasannya yakni orang yang memiliki amanat, memiliki otoritas, dari Nabi untuk menyelesaikan perselisihan.

C. Analisis Konteks Makro QS. Al-Nisa>: 59 dan 83 dan Sosio-Historis Arab Dari konteks spesifik di atas, perlu dipaparkan juga, bagaimana kedudukan

pemimpin atau komandan perang dalam sistem pemerintahan kala itu, apa fungsi dari pemimpin, bahkan perlu juga diperjelas bagaimana pengangkatan pemimpin perang. Disebabkan kedua ayat tersebut berbicara tentang tata cara penyelesaian dalam sebuah perselisihan, diperlukan juga penjelasan tentang korelasi pemimpin dan qadi@. Jika ditarik ke ranah yang lebih luas, diperlukan pemaparan bagaimana pemimpin atau komandan perang dalam sistem pemerintahan kala itu, apa fungsi dari pemimpin, bahkan perlu juga diperjelas bagaimana pengangkatan pemimpin perang. Disebabkan kedua ayat tersebut berbicara tentang tata cara penyelesaian dalam sebuah perselisihan, diperlukan juga penjelasan tentang korelasi pemimpin dan qadi@. Jika ditarik ke ranah yang lebih luas, diperlukan pemaparan bagaimana

Menurut Abdullah Saeed, konteks sosio-historis masa pra-Islam dan periode awal Islam tidak bisa diabaikan dalam rangka memahami Alquran. Dalam hal ini, dibutuhkan pemahaman terhadap kehidupan Nabi Muhammad secara mendetail. Kehidupan Nabi baik di Makkah maupun di Madinah. Pemahaman tersebut mencakup, iklim sosial, ekonomi, politik, hukum, adat, kebiasaan, norma-norma, dan institusi, termasuk keragaman, khususnya di wilayah Hijaz. Memahami hal-hal tersebut akan membantu mufasir dalam memahami Alquran dan hubungannya

dengan lingkungan tempat ia diturunkan. 75 Oleh karena itu, dalam sub bab ini dijelaskan mengenai konteks luas pada saat Alquran diwahyukan, baik di Makkah

maupun di Madinah. Berikut dijelaskan kondisi, aturan, sosial, khususnya perpolitikan dan sistem pemerintahan di Madinah, menimbang QS. Al-Nisa>’: 59 dan

93 merupakan ayat madaniyah.

1. Kehidupan Sosial Makkah pra dan era Pewahyuan Jazirah Arab terdiri dari padang pasir dan tanah subur. Kawasan padang pasir

lebih luas daripada kawasan yang subur. Di antara kawasan yang subur, seperti daerah sabit di utara, Hijaz di barat, dan Yaman di barat daya. Penduduk kawasan

75 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an , hlm. 116-118 75 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an , hlm. 116-118

tetap. Berpindah-pindah mencari makanan. Kehidupan mereka berkelompok atau lumrah disebut dengan kabilah atau kesukuan. Perang merupakan jalan paling mudah bagi mereka untuk meyelesaikan persoalan. 77

Sedangkan Ka‘bah di Makkah, sudah terdapat jabatan-jabatan untuk mengurus Ka’bah. Jabatan-jabatan tersebut seperti, h{ija>bah, siqa>yah, rifa>dah, nadwah, liwa>’, dan qiya>dah. Jabatan h{ija>bah pemegang kunci Ka‘bah. Jabatan siqa>yah penyedia air tawar --yang sulit ditemui di Makkah— untuk para peziarah. Jabatan rifa>dah penyedia makanan. Nadwah yakni pimpinan rapat pada setiap tahun musim. Qiya>dah merupakan pimpinan pasukan bila dalam keadaan perang. Jabatan-jabatan penting ini dipegang oleh Qusai bin Kilab pada pertengahan abad kelima masehi. 78 Setelah

Qusai meninggal kepemimpinan ini berangsur-angsur pindah ke Hasyim setelah itu kepada Abdul Mut}allib. Qusai juga yang membuat Da>r Al-Nadwah.

Menurut Khali@l ‘Abd al-Kari@m, Makkah di era Nabi Muhammad telah memiliki sistem pemerintahan. Pemerintahan Makkah pada saat itu plutokrasi. Suku Quraisy mempunyai kepala suku. Kepala suku tersebut turut bergabung dalam majlis di Da>r al-Nadwah. Majelis ini membahas persoalan perdagangan, masalah

76 Ismail R. Al-Faruqi dan Lois L. Al-Faruqi , Atlas Budaya Islam (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 41-43

77 Muhammad Husein Haekal, Sejarah Nabi Muhammad (Jakarta: Litera Antarnusa, 2010), hlm. 15

78 Muhammad Husein Haekal, Sejarah Nabi Muhammad, hlm. 32 78 Muhammad Husein Haekal, Sejarah Nabi Muhammad, hlm. 32

Menurut Burhanuddin Dallau, sebagaimana dikutip oleh Khali@l, pemerintahan Da>r al-Nadwah telah membahas otoritas-otoritas legislatif, eksekutif, hukum, dan administratif yang meliputi persoalan global dan khususnya bagi masyakarat

Makkah. Persoalan-persoalan tersebut meliputi, 1) Peperangan dan perdamaian. 2) Membicarakan persoalan perdagangan, urusan pasar, dan haji. 3) Membahas masalah-masalah sosial. 4) Membahas masalah baik dan buruk dan orang-orang kaya tersebut bermusyawarah perkara yang perlu untuk dibahas. Setiap keputusan harus dikembalikan kepada kemaslahatan dan kepada orang yang mencolok kemampuannya. Misalnya, ketika berurusan kepada persoalan pendendaan maka dilimpahkan kepada Abu bakar karena ia mempunyai pengalaman dan ukuran denda.

Kha>lid bin Wali@d menangani persoalan perselisihan, pertengkaran, dan lain-lain. 80 Menurut Aksin Wijaya, jika ditarik ke ranah yang lebih luas lagi, masyarakat

Arab di era Nabi Muhammad terbagi menjadi kelas-kelas. Kelas-kelas ini berbeda- beda, tergantung kedudukan sosial, politik, ekonomi, maupun suku. Kelas-kelas tersebut membutuhkan para pemimpin untuk mengaturnya. Kata u>li@ al-amr ini juga

79 Sepuluh suku tersebut yakni Bani Hasyim, Bani Umayyah, Bani Naufal, Bani Abd Dar, Bani Asad, Bani ‘Adi, Bani Jamah, Bani Tamim, Bani Makhzum dan Bani Sahm. Lihat Khalil Abdul

Karim , Hegemoni Quraish , hlm. 90-91 80 Khalil Abdul Karim , Hegemoni Quraish, hlm. 93 Karim , Hegemoni Quraish , hlm. 90-91 80 Khalil Abdul Karim , Hegemoni Quraish, hlm. 93

2. Sistem Masyarakat Madinah era Pewahyuan Sebagaimana disinggung oleh Ira M. Lapidus, bentuk kemasyarakatan warga

Madinah berbeda dengan masyarakat Badui di Makkah. Masyarakat Madinah hidup bertetangga. Artinya kedekatan ruang lebih menonjol daripada kedekatan ras dan

kekerabatan. Masyarakat Madinah hidup bertetangga dan tidak berpindah-pindah tempat. Masyarakat Madinah juga diwarnai dengan umat Yahudi yang mayoritas

lebih simpatik terhadap paham monoteisme. 82 Bentuk masyakarat ini sudah berjalan sebelum Nabi berada di Madinah.

Masyarakat Madinah sejak dahulu hingga sekarang terkenal ramah. Jika ditilik dari asal-usul klan Madinah, seperti suku Aws dan Khazraj dari Yaman. Orang-orang Yaman merupakan orang-orang yang berbudi luhur dan berperasaan halus. Oleh karena itu, mereka merasa kasihan kepada kaum yang tertindas. Karena sifat inilah,

mereka mau menerima Nabi Muhammad dan kaum Muslim dari Makkah. 83

81 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian:Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Izzat Darwazah (Bandung: Mizan, 2016), hlm. 193-196 82 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2000), jilid 1, hlm. 38 83 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Alquran dan Hadis- hadis Shohih (Jakarta: Lentera Hati, 2011), hlm 503-504.

Apakah tidak ada konflik di Madinah? Jawabannya tentu ada. Nabi Muhammad diundang ke Madinah untuk membantu menyelesaikan konflik antara suku Aws dan Khazraj. Madinah merupakan perkampungan yang diributkan dengan konflik kedua klan yang besar tersebut. Permusuhan ini berkepanjangan dan menjadi anaman yang nyata bagi warga kecil yang tidak terlibat konflik. 84 Nabi Muhammad datang ke Madinah dalam situasi konflik antara kedua klan.

Kedua klan mengundang Nabi Muhammad ke Makkah. Enam orang dari perwakilan masing-masing suku mengakui Muhammad sebagai nabi. Kedua klan menyampaikan sumpah setia untuk menghidari perbuatan yang dianggap berdosa. Hal ini terjadi pada tahun 620-621 M. Pada tahun 622, sebanyak 75 warga Madinah menerima kedatangan Nabi Muhammad. Mereka bersumpah untuk membela Nabi Muhammad. Hal ini lumrah disebut dengan ‚perjanjian Aqabah‛. Kedatangan Nabi tidak lepas dari konflik di atas. Madinah era sebelum Nabi Muhammad merupakan perkampungan yang tidak memiliki sistem pemerintahan. Kedudukan tertinggi hanya pimpinan klan. Tidak lebih dari itu. Mereka membutuhkan seorang artibtrator

atau 85 haki@m. Arbitrator yang tidak memihak. Lapidus menyatakan bahwa dengan kemenangan atas masyarakat pagan dan

Yahudi Madinah, Nabi Muhammad membentuk seluruh komunitas Madinah di

84 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 38 85 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 38-39 84 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 38 85 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 38-39

Struktur pemerintahan Nabi berdasarkan kesamaan keyakinan agama, seremoni, etnis dan hukum. Nabi Muhammad berusaha menumbuhkan kerukunan di Madinah. Kerukunan antar suku bahkan agama. Salah satu usahanya membuat aturan masyarakat Madinah, atau dikenal dengan piagam Madinah.

Menurut Quraish Shihab, dalam piagam tersebut sangat menjunjung tinggi perberlakuan hukum tanpa pandang bulu. Semua masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Setiap penganiayaan harus dihentikan. Aturan-aturan dalam piagam Madinah tersebut menjadi acuan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari

masyarakat Madinah sejak ditetapkannya. 87 Ini awal kebijakan Nabi Muhammad di Madinah. Sebagaimana dijelaskan oleh Philiph K Hitti, Nabi Muhammad di

Madinah perlahan menjadi sosok negarawan. Di awal hijrah, Islam merupakan agama dalam sebuah negara di Madinah. Kemudian berangsur, tepatnya setelah

perang Badar, Islam berubah menjadi negara itu sendiri. 88 Informasi dari Philip K Hitti terkait sistem pemerintahan di Madinah penting

untuk dijadikan pertimbangan untuk mengeksplor lebih jauh demi menambah

86 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 41 87 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, hlm. 520 88 Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), hlm. 146-147 86 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 41 87 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, hlm. 520 88 Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), hlm. 146-147

Pernyataan itu (muslim satu dengan muslim yang lain bersaudara) menggantikan ikatan persaudaraan Arab yang paling utama, yaitu kesukuan, dengan ikatan iman; sejenis Pakta Islam telah terbentuk di Semenanjung Arab. Masyarakat baru ini tidak memiliki hirarki kependetaan, tidak pula kekuasaan pendeta. Masjidnya menjadi forum publik, markas militer, dan tempat Ibadah. Pemimpin dalam shalat atau imam, juga sekaligus menjadi komandan pasukan, yang diperintahkan untuk melindungi komunitasnya dari ancaman luar. 89

Dari pernyataan di atas bisa disimpulkan bahwa Madinah di era turunnya Alquran benar-benar telah menjadi suatu kekuatan yang terstrukur dengan baik. Paling tidak,

di atas disebutkan bahwa terdapat komandan yang berfungsi untuk mengurus pasukan atau orang-orang yang berada di bawah komandonya.

Berbicara tentang struktur militer, Nabi Muhammad dalam tiga gazwah pertama, yakni Badar, Uhud, dan Ahzab, memegang pimpinan pusat dan Nabi juga memberikan komando keberbagai pempinan bawah. Misal, dalam perang Badar, Nabi meyerahkan menunjuk 7 pemimpin bawah. Begitu juga dalam Uhud, Nabi menunjuk 3 komandan bawah. Termasuk juga pada fath{ Makkah, Nabi menunjuk pimpinan klan menjadi komandan bawah. Seluruh pasukan dibagi menjadi empat kelompok. Pimpinan pusat tetap dipegang Nabi, sayap kanan dipimpin oleh Kha>lid bin Wali@d dan sahabat dari suku Arab yang lain. Sayap kiri dipimpin oleh al-Zubair.

89 Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 151

Sa‘ad bin ‘Ubadah memimpin kaum ans}ar. Abu Ubaidah bin al-Jarrah memimpin kaum 90 muhajiri@n.

Begitu juga dalam peperangan di Hunain, T{a‘if, Tabuk, dan sariyah yang lain, Nabi Muhammad menyerahkan pimpinan kepada sahabat yang ditunjuk langsung oleh Nabi. Pemimpin sariyah berbagai macam secara kuantitas, seperti Muh}ammad bin Maslamah al-Ans}ar yang memimpin 5 orang pasukan hingga Usamah bin Zaid bin Harits\ah yang memimpin 30.000 pasukan untuk pertempuran melawah

Bizantium. Terdeteksi sebanyak 28 91 gazwah dan 51 sariyah di era madaniyah.

Tahun 9 H, banyak para pakar sejarah yang menyatakan bahwa tahun itu disebut 92 sanah al-wufu>d atau tahun delegasi atau utusan. Disebut tahun utusan atau

delegasi karena pada tahun tersebut delegasi yang datang dari luar Madinah kepada Nabi Muhammad teramat banyak. Kendati sebelum dan sesudah tahun tersebut telah

berdatangan. 93 Delegasi dari sekitar Madinah maupun dari tempat yang jauh. Tujuan delegasi tersebut tak lain untuk menawarkan persekutuan dengan Nabi Muhammad.

Oleh karena itu, Khali@l ‘Abd al-Kari@m menyebutkan bahwa kekuatan negara

90 Afzalur Rahman, Nabi Muhammad sebagai Pimpinan Militer (Jakarta: Amzah, 2006), hlm. 111-112 91 Afzalur Rahman, Nabi Muhammad sebagai Pimpinan Militer, hlm. 112 92 Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 149 93 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, hlm. 1020

Madinah sudah mapan, dan Nabi Muhammad telah menjadi pemimpin Semenanjung Arab. 94 Ia juga membahas sekitar 70 delegasi yang datang kepada Nabi Muhammad.

Khali@l ‘Abd al-Kari@m juga banyak menyinggung persoalan kemiliteran Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah. Nabi Muhammad mengangkat S{ard bin Abdullah Al-Azadi sebagai pemimpin (ami@r) kabilah Azad Syanu>’ah, sebuah kabilah di Yaman. 95 Nabi Muhammad mengangkat Al-Haris\ bin ‘Abd Al-Kala>l bin Garb dan Na’im menjadi ami@r di Himmir, sebuah kawasan di daerah Yaman. 96 Nabi

Muhammad juga pernah mengangkat Ziya>d bin Al-Haris\\ Al-S{ida>’i sebagai pemimpin kaum S{ida>’, sebuah kabilah di Yaman. 97

Begitupula dengan utusan Nabi Muhammad ke beberapa wilayah. Salah satu tujuan utusan tersebut untuk membina suatu wilayah. Nabi Muhammad pernah mengutus Mu‘a>z\ bin Jabal untuk menjadi penguasa, hakim, pengajar sekaligus

pengumpul zakat di salah satu wilayah di Yaman. 98 Nabi juga mengutus Abu> Mu>sa al-Asy‘ari, di wilayah yang lain di Yaman, dengan tugas yang sama dengan Mu‘az

bin Jabal. Bagitu juga dengan pengutusan ‘Ali@ bin Abi@ T{a>lib ke Yaman. ‘Ali menggantikan Kha>lid bin Wali@d. ‘Ali diberi tugas untuk menerima seperlima harta

94 Khali@l ‘Abd al-Kari@m, Daulah Yas\rib: Bas{air fi@ ‘Am al-Wufu>d wa fi@ Akhbarihi (Beirut: Penerbit Sina, 1999), hlm. 39 95 Khali@l ‘Abd al-Kari@m, Daulah Yas\rib, hlm. 42 96 Khali@l ‘Abd al-Kari@m, Daulah Yas\rib, hlm. 153 97 Khali@l ‘Abd al-Kari@m, Daulah Yas\rib, hlm. 203 98 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, hlm. 1035-1037 94 Khali@l ‘Abd al-Kari@m, Daulah Yas\rib: Bas{air fi@ ‘Am al-Wufu>d wa fi@ Akhbarihi (Beirut: Penerbit Sina, 1999), hlm. 39 95 Khali@l ‘Abd al-Kari@m, Daulah Yas\rib, hlm. 42 96 Khali@l ‘Abd al-Kari@m, Daulah Yas\rib, hlm. 153 97 Khali@l ‘Abd al-Kari@m, Daulah Yas\rib, hlm. 203 98 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, hlm. 1035-1037

Dari sini dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad juga bertindak sebagai penguasa dan memberi tugas kepada sesorang untuk menjadi pemimpin. Pemimpin tersebut bisa pemimpin pasukan ataupun wilayah. Para pemimpin tetap berada di bawah komando Nabi Muhammad. Jika dilihat dari kasus pengutusan Ali, pemimpin pasukan juga merupakan qa>d}i@. Kasus pengutusan Mu‘az bin Jabal pun demikian, pemimpin wilayah merupakan penguasan sekaligus menjadi qa>d}i@. Tidak ada bahasa gubernur, akan tetapi memiliki fungsi yang sama. Jika ditarik ke ranah luas, maka term ami@r saat itu ditujukan kepada penguasa suatu kabilah dan pasukan.

D. Analisis Teks-teks yang Berkaitan dengan U<li@ al-Amr Analisis ini merupakan eksplorasi terhadap teks-teks lain yang senada dengan

teks yang sedang diteliti. Hal ini mengungkap perbedaan dan persamaan dengan ayat yang diteliti. 100 Oleh karena itu, di sini ditampilkan hadis-hadis yang berkenaan

ketaatan terhadap ami@r dan yang berhubungan dengan term u>li@ al-amr. ِ الله ِلوُسَر ْنَع كِلاَم ِنْب ِسَنَأ ْنَع ًِّكَمْلا ت ْخُب ُنْب ِبا ه َوْلا ُدْبَع ًِنَث دَح َلاَق َةَعاَف ِر ِنْب ِناَعُم ْنَع ِةَرٌِغُمْلا وُبَأ اَنَث دَح

99 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, hlm. 1038 100 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an , hlm. 151

Telah menceritakan kepada kami Abu al-Mughiroh, dari Mu'an bin Rifa'ah berkata, telah menceritakan kepadaku Abdul Wahhab bin Bukht al-Maki dari Anas bin Malik dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Allah akan memperbagus dan mengangkat derajat seorang hamba yang mendengar sabdaku ini, kemudian ia mengembannya. Betapa banyak pengemban ilmu agama namun hakikinya ia tidak berilmu sama sekali. Dan betapa banyak pengemban ilmu agama menyampaikan kepada yang lebih faham darinya. Ada tiga hal yang hati seorang mukmin sejati tidak bakalan mendengkinya; Pertama, mengikhlashkan amal hanya karena Allah 'azza wajalla, kedua, menasehati u>li@ al-amr, dan ketiga, komitmen bersama jamaah muslimin, karena doa mereka menyertai dari belakang ".

Hadis di atas diriwayatkan oleh beberapa mukharrij, di antaranya yakni al- 101 Darimi@, Ima>m Ah}mad, Ibn Hibba>n, Al-Haki@m al-Nisaburi@ dan al-T{abrani@.

Berikut riwayat Imam Muslim tentang perintah ketaatan kepada seorang ami@r. ْنَع نٌَْصُح ِنْب ىٌَْحٌَ ْنَع َةَسٌَْنُأ ًِبَأ ِنْب ِدٌَْز ْنَع ٌلِقْعَم اَنَث دَح . َنٌَْعَأ ُنْب ُنَسَحْلا اَنَث دَح . بٌِبَش ُنْب ُةَمَلَس ًنثّدحو

Dan telah menceritakan kepadaku Salamah bin Syabib Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin A'yan Telah menceritakan kepada kami Ma'qil dari Zaid bin Abu Unaisah dari Yahya bin Hushain dari kakeknya Ummul Hushain, ia berkata, saya mendengar mendengarnya berkata; Aku ikut menunaikan haji bersama-sama dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika haji wada'. Aku melihat ketika beliau melempar Jamrah Aqabah. Sesudah itu, beliau pergi dengan kendaraannya bersama Bilal dan Usamah; yang satu memegang tali Unta, dan yang satu lagi memayungi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan bajunya dari terik matahari. Kata Ummul Hushain;

101 Lihat Abu Muhammad Al-Darimi, Sunan Ad-Darimi> (Beirut: Da>r Kutub al-Ilmiyah, 1996), jilid 1, hlm. 74, hadis no. 232. Lihat Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ah}mad (Beirut:

Da>r Ih}ya Al-Turas\ al-‘Arabi>, 1993), jilid 4, hlm. 98, hadis no. 13.058. Lihat Abi Ha>tim Muhammad bin Hibba>n bin Ahmad bin Hibba>n bin Mu‘ad Al-Tamimi@, S{ahi{h{ ibn Hibba>n (Beirut: Da>r Al-Fikr, 1996), jilid 2, hlm. 27, hadis no. 658. Lihat Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah al-Nisaburi, Mustadrak ‘ala S}ah}ih}ain (Beirut: Da>r Kutub al-Ilmiyah, 1990), hlm. 1, hlm. 162, hadis no. 302. Lihat juga Abu Al-Qa>sim Sulaiman bin Ahmad bin Ayub bin Matir Al-Sya>mi, Al-T{abra>ni@, Mu‘jam T{abra>ni@ Al-Kabir (t.tp: Al-Zahra’ Al-Hadis\ah, t.t), jilid 2, hlm. 127, hadis no. 1544

Ketika itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam banyak bicara. Yang aku dapat mendengarnya, beliau bersabda: "Sekalipun yang memegang kekuasaan adalah seorang budak hitam, tetapi dia memerintah dengan Kitabullah, maka dengarkan dan patuhilah dia ".

Selain Muslim, hadis di atas juga diriwayatkan juga oleh al-Bukhari, Ah}mad, al-Tirmiz\i, al-Baihaqi@, al-Nasa’i, al-Haki@m, dan Ibn Maja>h. 102 Sebagaimana dikutip

oleh al-‘Asqala>ni@, bahwa al-Jauzi@ menyatakan bahwa yang dimaksud pemimpin di atas ialah orang yang ditunjuk oleh penguasa tertinggi. Al-Asqalani@

menyepakatinya, dengan alasan bahwa hadis memang harus dimaknai secara luas. 103 Al-Asqalani@ mengutip dari al-Khat}t}abi bahwa hadis di atas bisa jadi merupakan

hanya contoh saja. Contoh dengan penekanan untuk taat terhadap perintah pimpinan yang memegang kekuasaan. 104

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Al Mughirah bin Abdurrahman Al Hizami dari Abu Az Zannad dari Al A'raj dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:

102 Lihat Abu> al-Husain Muslim, S}ah}ih{ Muslim (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), jilid 9, hlm. 39, hadis no. 392. Lihat juga Abu> Abdilla>h Muh}ammad al-Bukhari@, S}ah}ih} Bukhari, (t.t: Da>r

Ibn Kas|ir, 1993), jilid 6, hlm. 2612, hadis no. 7142. Lihat juga Abu> Abdilla>h Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ah}mad , jilid 5, hlm. 19, hadis no. 16.333. Abu> Isa Muh}ammad al-Tirmizi, Sunan al- Tirmiz|i> (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), jilid 5, hlm. 297, hadis no. 1707. Lihat Abu> Bakar Ah}mad bin H}usain al-Baihaqi@, Sunan al-Kubr lil-Baihaqi (Beirut: Da > r al-Fikr, 1996), jilid 12, hlm. 287, hadis no. 16935. Lihat Abu> Abdilla>h Muhammad Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah (Beirut: Da>r Ihya’ al-Arabi>, t.t) jilid 2, hlm. 955, hadis no. 2931. Lihat juga Abu> ‘Abd al-Rah}man Ah}mad bin ‘Ali bin Syuaib bin ‘Ali@ bin Sina>n bin Bahr bin Dina>r, Sunan al-Nasa>’i (Beirut: Da>r Al-Makrifat, 1994), jilid 4, hlm. 431, hadis no. 7807. Lihat juga Lihat juga Abu> al-Qa>sim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyu>b bin Mat}ir al- Sya>mi, al-T{abra>ni@, Mu‘jam T{abra>ni@ al-Kabir, jilid 1, hlm. 173, hadis no. 333.

103 Abu> Fadl Ah}mad bin ‘Ali@ al-Asqalani>, Fath} al-Bari Syarah} S}ah}ih} Bukhari (Beirut: Da>r al- Fikr, 1993), jilid 2, hlm. 416 104 Abu> Fadl Ahmad bin ‘Ali@ al-Asqalani>, Fath} al-Bari Syarah} S}ah}ih} Bukhari, jilid 15, hlm. 17

"Barang siapa menaatiku sungguh dia telah mentaati Allah, dan barangsiapa bermaksiat kepadaku maka dia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa metaati seorang pemimpin sungguh dia telah mentaatiku, dan siapa saja bermaksiat kepada seorang pemimpin maka dia telah bermaksiat kepadaku.

Hadis di atas diriwayatkan oleh banyak mukharrij dalam kitab-kitab hadis sahih. 105 Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqala>ni@, hadis di atas dan QS. Al-Nisa>’: 59 saling

berkaitan. Sebagaimana Ibnu Hajar menutip dari Ibnu al-Tin, bahwa bangsa-bangsa Quraisy sebelum Nabi tidak mengenal sistem pemerintahan. Hadis di atas untuk

mendorong mereka agar taat dan tunduk kepada orang yang diangkat menjadi pemimpin, seperti penunjukan pemimpin untuk melakukan peperangan atau diberi kekuasaan atas suatu wilayah. Pentingnya menaati pemimpin yakni menjaga

persatuan, keseimbangan, dan mencegah perpecahan. 106

E. Memahami Hirarki Nilai QS. Al-Nisa>: 59 dan 83 Abdullah Saeed menjelaskan bahwa penafsiran kontekstual tetap perlu

memperhatikan sifat hirarkis dari nilai-nilai yang ditemukan di dalam setiap teks Alquran. Penafsiran kontekstual juga perlu menentukan tingkat signifikansi nilai- nilai Alquran terhadap ayat yang diteliti. Hal ini penting dilakukan dalam penafsiran

105 Lihat Abu al-Husain Muslim, S}ah}ih{ Muslim , jilid 12, hlm. 176, hadis no. 4705, 4703. Lihat juga Abu Abdillah Muhammad Al-Bukhari, S}ah}ih} Bukhari, jilid 3, hlm. 1080, hadis no. 2890. Lihat

juga Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ah}mad , jilid 2, hlm. 498, hadis no. 7406, 7620, 8941, 9274, 9848, 9892, dan 10412. Lihat juga, Abu Bakar bin Khuzaimah, S}ah}ih} Ibn Khuzaimah (Beirut: Al-Maktabah al-Islamiyah, 1992), jilid 3, hlm. 46, hadis no. 1595. Lihat Abu Bakar Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Sunan al-Kubr lil-Baihaqi (Beirut: Da > r al-Fikr, 1996) jilid 12, hlm. 288, hadis no. 16938. Lihat Abu Abdillah Muhammad Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah , jilid 4, hlm. 1, hadis no. 3. Lihat juga Abu Abd al-Rahman Ahmad bin ‘Ali bin Syuaib bin ‘Ali bin Sina>n bin Bahr bin Dina>r, Sunan Al-Nasa>’i , jilid 7, hlm. 147, hadis no. 4177

106 Abu Fadl Ahmad bin Ali al-Asqalani>, Fath} al-Bari Syarah} S}ah}ih} Bukhari , jilid 15, hlm. 3 106 Abu Fadl Ahmad bin Ali al-Asqalani>, Fath} al-Bari Syarah} S}ah}ih} Bukhari , jilid 15, hlm. 3

Lebih jelasnya, nilai yang dimaksud ialah apa yang ingin diambil, dikuti, dipraktikkan oleh seorang Muslim. Abdullah Saeed merumuskan 5 hirarki nilai dalam yang terdapat dalam Alquran. Hirarki tersebut berurutan dari level yang tinggi sampai rendah. Nilai-nilai tersebu meliputi, 1) nilai-nilai yang wajib, 2) nilai- nilai fundamental, 3) nilai-nilai perlindungan, 4) nilai-nilai implementatif, dan 5), nilai-nilai intruksional. 108

Level pertama adalah nilai-nilai yang wajib. Nilai-nilai ini sebagaimana yang ditegaskan di seluruh isi Alquran, baik di periode Mekkah ataupun Madinah. Nilai- nilai ini mencakup inti Islam. Seperti keyakinan-keyakinan fundamental atau rukun iman, praktik-praktik ibadah fundamental yang ditegaskan dalam Alquran seperti sholat, puasa, bayar zakat, dan haji serta hal-hal spesifik yang ditegaskan secara

lansung terkait halal dan haramnya dalam Alquran. 109 Level kedua adalah nilai-nilai fundamental. Nilai-nilai fundamental merupakan

niai yang sering diulang-ulang atau ditegaskan dalam Alquran. Nilai-nilai fundamental mencakup nilai-nilai yang terindikasi sebagai nilai kemanusiaan. Seperti nilai-nilai yang mencakup perlindungan jiwa, harta, dan benda. Nilai-nilai

107 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 64 108 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 64 109 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 65 107 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 64 108 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 64 109 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 65

Level ketiga adalah nilai-nilai perlidungan. Nilai-nilai perlindungan merupakan nilai-nilai yang memberikan dukungan terhadap nilai-nilai fundamental. Contoh spesifik dari nilai-nilai perlindungan ialah larangan dan hukuman mencuri sebagai dukungan atas kepemilikan harta. Nilai-nilai perlindungan sangat penting untuk

merealisasikan nilai-nilai fundamental. 111 Level keempat adalah nilai-nilai implementasi. Nilai-nilai implementasi adalah

ukuran-ukuran spesifik yang digunakan untuk mempraktikkan nilai-nilai perlindungan masyarakat. Misalnya, potong tangan sebagai hukuman untuk orang yang mencuri. Ukuran ini tidak terlihat sebagai tujuan utama Alquran karena hanya mencegah agar orang tidak melakukan tindak kejahatan. Jadi, ketika hal itu sebuah

pencegahan maka ukuran itu bisa diganti dengan ukuran yang lain. 112 Level kelima adalah nilai-nilai intruksional. Nilai-nilai intruksional merupakan

nilai-nilai yang menunjuk terhadap sejumlah intruksi, arahan, petunjuk dan nasehat yang spesifik di dalam Alquran. Nasehat yang berkaitan dengan isu-isu, situasi, lingkungan dan konteks tertentu. Abdullah Saeed juga menegaskan bahwa sejumlah besar Alquran bersifat instruksional. Nilai-nilai instruksional perlu dieksplor dengan

110 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 66 111 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 66-67 112 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 67-68 110 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 66 111 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 66-67 112 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 67-68

Jika dilihat dari kelima nilai di atas, QS. Al-Nisa>’: 59 dan 83 termasuk dalam nilai intruksional. QS. Al-Nisa>’: 59 merupakan bentuk instruksi untuk menaati pemimpin jika terdapat hal-hal yang menyangkut perselisihan dalam sebuah kelompok masyarakat. Begitu juga QS. Al-Nisa>’: 83 merupakan bentuk instruksi untuk menyerahkan persoalan yang simpang siur dalam sebuah masyarakat. Perintah taat kepada pemimpin turun dikarenakan terdapat hal terkait pengambilan keputusan tanpa melihat otoritas siapa yang berhak dan karena terdapat fitnah-fitnah yang disebar oleh orang-orang munafik. Hal ini sangat penting untuk menjaga keutuhan masyarakat, untuk menolak perpecahan yang menghadirkan kerusakan dalam tatanan masyarakat.

Penekanan QS. Al-Nisa>’: 59 dan 83 adalah pada ketaatan terhadap u>li@ al-amr, yakni pemimpin. Nilai ketaatan terhadap pemimpin ini merupakan nilai yang mempunyai cakupan luas. Meskipun term u>li@ al-amr merujuk terhadap

113 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 68-69 113 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 68-69

QS. Al-Nisa>’: 59 dan 83 sangat relevan dalam rangka menjalankan misi-misi Nabi Muhammad. Di Madinah merupakan era pembentukan struktur komunitas Muslim dan menguatkan ummah. Struktur ini menjadi penting untuk menyokong misi Nabi Muhammad, seperti perintah-perintah Alquran yang berkaitan dengan perang, termasuk juga perintah yang berkaitan dengan penegakan hukum yang adil. Sebab, saat itu pengambilan keputusan tidak seimbang karena dalam tradisi mereka saat itu bertahkim kepada dukun-dukun dan atau kepada orang berpihak kepada sebuah kabilah saja. Karena sebagaimana diketahui, bahwa bangsa Arab saat itu kental dengan tradisi fanatisme golongan.

Oleh karena itu, ayat ini berbicara tentang mekanisme bagaimana menyelesaikan persoalan di masyarakat. Sehingga dari sini dapat disimpulkan bahwa nilai universal dari QS. Al-Nisa>: 59 dan 83 ialah mengembalikan persoalan yang belum jelas kebenarannya kepada pihak yang mempunyai wewenang. Pada bab selanjutkan dijelaskan bagaimana para mufasir menafsirkan kedua ayat tersebut dalam konteksnya masing-masing.