MEMAHAMI MAKNA KONTEKSTUAL U><LI@ AL-AMR DALAM ALQURAN

BAB III MEMAHAMI MAKNA KONTEKSTUAL U>

Setelah melakukan kajian bagaimana penerima pertama memaknai u>li@ al-amr, langkah selanjutnya mengaitkan penafsiran teks dengan konteks masa kini. Sebagai awal dari kontekstualisasi ini, Abdullah Saeed menyatakan bahwa sebelum melakukan usaha mengaitkan pada konteks modern, diperlukan analisis terhadap para mufasir sesudahnya memaknai teks tersebut. Kajian terhadap tura>s\ tafsir guna mengetahui apakah teks tersebut dipahami secara konsisten atau tidak dan

mengidentifikasi perbedaan dalam penafsiran terhadap ayat yang diteliti. 1 Pada bab ini dijelaskan bagaimana tafsir-tafsir terhadap uli@ al-amr. Kajian ini meliputi konteks

sekaligus tafsir-tafsirnya. Konteks tersebut meliputi masa Khulafa>’ al-Rasyidu>n, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Usmaniyah, dan konteks modern.

A. Makna U<li@ al-Amr pada Era Pra Modern

1. Sistem Pemerintahan Umat Islam Pra Modern Masa pra modern ini penulis memulai dari masa al-khulafa>’ al-ra>syidi@n yang

merupakan pemimpin Islam dari kalangan sahabat, setelah Nabi Muhammad wafat. Mereka dipilih langsung oleh para sabahat Nabi dengan cara yang demokratis. Pemimpin umat Islam pada masa ini yakni Abu Bakar, Umar bin Khat}t}ab, Us\ma>n

1 Abdullah Saeed, Reading the Quran, hlm. 105

M. Abu Bakar mempimpin umat Islam dalam jangka waktu dua tahun. Tepatnya

pada 11-13 H atau 632-634 M. Abu Bakar membagi kekuasaannya menjadi 12 wilayah dengan 12 kelompok pasukan yang masing-masing dipimpin oleh seorang

komandan. Pengiriman pasukan secara bebarengan untuk menghadapi pembangkang terhadap negara yang enggan membayar zakat, dan penumpasan nabi-nabi paslu yang muncul setelah Nabi Muhammad wafat. Termasuk ‘Ali@ bin Abi> T{a>lib yang

diberi amanah mengamankan Madinah. 3 Di era kepimimpinan Abu> Bakar, sistem pemerintahan Islam masih sangat sederhana. Hal ini juga dibuktikan dengan

pengangkatan Abu> Bakar sebagai pengganti Rasulullah di S|aqifah. S|aqifah merupakan sebuah tempat berlangsungnya pemilihan pengganti Rasulullah. Majelis ini dihadiri oleh anggota yang berumur 40 tahun lebih. Dihadiri dari pihak muhajirin

maupun Anshar. 4 Sebagaimana dinyatakan oleh Haekal bahwa pemerintahan Abu Bakar masih menggunakan sistem musyawarah. Ia mengajak pemuka-pemuka Arab,

Irak dan Syam untuk bersatu dengan Madinah. Kebijakan pertamanya yakni

2 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Bagaskara, 2015), hlm. 78 3 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, hlm. 79 4 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, hlm. 80-81 2 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Bagaskara, 2015), hlm. 78 3 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, hlm. 79 4 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, hlm. 80-81

Abu Bakar tidak mempunyai waktu banyak untuk menata suatu sistem pemerintahan yang kokoh. Kota-kota yang telah dibebaskan Kha>lid bin Wali@d diserahkan kepada warga setempat. Di lain sisi, Abu Bakar menjadi pemimpin tertinggi militer, dan menempatkan Madinah sebagai markas pasukan. Ia juga mengatur semua pengiriman perintah untuk bergerak dari tempat ke-tempat yang lain. Ia juga mengeluarkan perintah agar jangan memindahkan pasukan sebelum

mendapat izin dari darinya. 6 Pada era kekhalifahan Umar bin Khat}t}ab (13-23 H/ 634-644 M) pengembangan

secara luas sistem pemerintahan terus dilakukan. Umar membentuk departemen- departemen (diwa>n). Tugas diwa>n yakni menyampaikan perintah khalifah kepada para penguasa daerah dan sebaliknya, yakni melaporkan kinerja penguasa daerah kepada khalifah. Negara dibagi menjadi 8 provinsi, Mekkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basyrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Pembayaran gaji pejabat juga telah dibuat. Ia juga membentuk wazi@r, Baitul Ma>l, dan organisasi kehakiman di daerah- daerah. 7 Lalu ia mengangkat qa>di untuk wilayah Damaskus, Yordania, Hims, dan

5 Muhammad Husein Haekal, Abu Bakar As-Siddiq (Jakarta: Literaantarnusa, 2010 ), hlm. 358-359 6 Muhammad Husein Haekal, Abu Bakar As-Siddiq , hlm. 99 7 Umi Kulsum, ‚Peradaban Islam Masa Khulafa’ Al-Rasyidun‛, dalam Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Klasik Hingga Modern (Yogyakarta: LESFI, 2009), hlm. 47-50

Qinnashrin. 8 Ia mengangkat Abu Darda sebagai hakim di Madinah. Syuraih sebagai hakim di Kuffah. Abu Musa Al-‘Asyari sebagai hakim di Basrah. Al-Qais bin Al-

Sahmi sebagai hakim di Mesir. 9 Peradilan dalam Islam telah ada sejak zaman Nabi Muhammad. Nabi bisa berperan sebagai penguasa sekaligus sebagai sumber hukum.

Nabi juga mengangkat beberapa sahabat menjadi hakim. Menurut Alaiddin Koto, terdapat 4 perangkat hukum yang dijadikan pedoman bagi seorang hakim dalam memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Keempat perangkat tersebut di antaranya adalah ikrar, bukti, sumpah, dan penolakan. Para hakim yang diangkat oleh Nabi Muhammad ialah Mu‘a>z} bin Jabal, ‘Ali@ bin Abi@ T}a>lib, dan Attab bin Asid. Nabi mengangkat mereka untuk menjadi penguasa sekaligus menjadi hakim di

daerah Yaman. 10 Peradilan di era Nabi masih sangat sederhana. Di era Dinasti Umayyah, ulama dan ahli hukum Islam disebar ke berbagai

daerah negeri Islam. Khalifah juga mengangkat para qa>d}i@ untuk bertugas di ibu kota pemerintahan. Pengangkatan qa>d}i@ di daerah-daerah, diserahkan kepada penguasa setempat. Kedudukan para hakim di ibu kota maupun di daerah sederajat. Di era ini belum ada tingkatan lembaga peradilan atau belum ada qa>d}i@ al-qud}a>h. Para qa>d}i@ tersebut secara hirarkis tetap berada di bawah khalifah dan wakil-wakilnya. Para

8 Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 215 9 Muhammad Husein Haekal, Umar bin Khattab (Jakarta: Literaantarnusa, 2010), hlm. 620- 621 10 Alaiddin Koto (ed), Sejarah Peradilan Islam (jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm. 39-45 8 Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 215 9 Muhammad Husein Haekal, Umar bin Khattab (Jakarta: Literaantarnusa, 2010), hlm. 620- 621 10 Alaiddin Koto (ed), Sejarah Peradilan Islam (jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm. 39-45

Peradilan dalam Islam telah ada sejak zaman Nabi Muhammad. Nabi bisa berperan sebagai penguasa sekaligus sebagai sumber hukum. Nabi juga mengangkat beberapa sahabat menjadi hakim. Menurut Alaiddin Koto, terdapat 4 perangkat hukum yang dijadikan pedoman bagi seorang hakim dalam memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Keempat perangkat tersebut di antaranya adalah ikrar, bukti, sumpah, dan penolakan. Para hakim yang diangkat oleh Nabi Muhammad ialah Mu‘a>z} bin Jabal, ‘Ali@ bin Abi@ T}a>lib, dan Attab bin Asid. Nabi mengangkat

mereka untuk menjadi penguasa sekaligus menjadi hakim di daerah Yaman. 12 Peradilan di era Nabi masih sangat sederhana.

Usman bin Affan (23-35 H/644-656 M) dan Ali (35-40 H/65-616 M) meneruskan pengembangan yang dilakukan oleh Umar. Semisal disebabkan kekuasaan Umar melintang lautan, maka ia membentuk angkatan laut. Setelah terbunuhnya ‘Ali, Mua’wiyah bin Abu> Sofyan menyatakan dirinya sebagai khalifah. Ia mengakhiri kedudukan Makkah dan Madinah dengan memindahkan pusat

pemeritahan ke Damaskus. Inilah cikal-bakal terbentuknya Dinasti Umayyah. 13 Pemindahan kekuasaan kepada Muawiyah sekaligus mengakhiri bentuk demokrasi.

11 Basiq Jalil, Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 152-154 12 Alaiddin Koto (ed), Sejarah Peradilan Islam (jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm. 39-45 13 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 85-86

Kekhalifahan berbentuk monarki. 14 Dinasti Umayyah berlangsung selama 91 tahun (41-127 H/661-750 M) dan dipimpin oleh 14 khalifah secara beruntun dan turun

temurun. Sumber utama pemasukan Dinasti Umayyah sama dengan pendapatan pada

masa Khulafa>’ Al-Rasyidun, yaitu pajak. Semua biaya untuk administrasi lokal, belanja tahunan, gaji pasukan, dan berbagai bentuk layanan masyarakat dipenuhi

dari pemasukan lokal. Sisa pendapatan dimasukkan ke kas negara. Kebijakan Muawiyah untuk menarik zakat, sekitar 2,5 persen dari pendapatan tahunan orang Islam. Lembaga peradilan dipegang oleh Muslim, sedangkan hukum bagi nonmuslim diserahkan kepada pimpinan agama masing-masing. Para hakim hanya berada dalam kota-kota besar. Gubernur menetapkan dan memilih para pejabat pengadilan. Hakim-hakim biasanya dipilih dari kalangan fuqaha>’ yaitu ulama yang

memperdalam Alquran dan Hadis. 15 Di era Dinasti Umayyah, ulama dan ahli hukum Islam disebar ke berbagai

daerah negeri Islam. Khalifah juga mengangkat para qa>d}i@ untuk bertugas di ibu kota pemerintahan. Pengangkatan qa>d}i@ di daerah-daerah, diserahkan kepada penguasa setempat. Kedudukan para hakim di ibu kota maupun di daerah sederajat. Di era ini belum ada tingkatan lembaga peradilan atau belum ada qa>d}i@ al-qud}a>h. Para qa>d}i@

14 Dudung Abdurrahman, ‚Peradaban Islam Masa Umayyah Timur‛, dalam Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Klasik Hingga Modern , hlm. 71 15 Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 281-282 14 Dudung Abdurrahman, ‚Peradaban Islam Masa Umayyah Timur‛, dalam Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Klasik Hingga Modern , hlm. 71 15 Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 281-282

pencatatan keputusan pengadilan. 16 Kondisi keagamaanpun cukup beragam. Pakar hadis dan hukum yang terkenal

yaitu H{asan al-Bas}ri@ dan Ibnu Syihab Al-Zuhri. Kaum Sunni ortodok dan para sufi sepanjang masa tidak pernah lelah menelaah kesalehan hidup H{asan Al-Bas}ri@. Di era

Dinasti Umayyah, juga muncul gerakan rasinonalis, yaitu Muktazilah yang dipelopori oleh Was}il bin At}a’ yang juga pernah beguru kepada Hasan Bas}ri@ di Basrah. Sementara itu, di Kuffah, aliran Syiah menjadi mayoritas. Ahli hadis dan ilmu di Kuffah yakni seorang sahabat Nabi, yaitu Abdullah bin Mas’ud (w. 653).

Ibnu Mas‘ud hidup di Kuffah semenjak pemerintahan Umar dan Usman. 17 Pada saat itu, bahasa Arab masih belum tersistematisasi. Oleh karena itu, di

era awal Dinasti Umayyah pengerjaan tata bahasa dilakukan oleh Abu> al-Aswa>d al- Du‘ali@ (w. 688 M) atas perintah ‘Ali@ bin Abi T{a>lib di Bagdad. Kemudian dilanjutkan oleh muridnya yakni Khali@l bin Ah}mad (w. 786 M) di Basrah. Muridnya dari Persia menulis buku dengan sistematis, yakni al-Sibawaih (w. 793 M). Buku ini yang

kemudian menjadi literatur penting dalam kajian kebahasaan selanjutnya 18 . Marwan

16 Basiq Jalil, 17 Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 152-154 Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 300-301

18 Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 302.

al-Himar (w. 753) merupakan khalifah terakhir dinasti ini. 19 Kemudian kekhalifahan di lanjutkan oleh bani Abbasiah.

Pemerintahan Abbasiah dapat dibagi menjadi dua periode masa awal dan masa kemunduran. Masa awal yakni pada tahun 750 M hingga 833 M. Sedangkan masa kemunduran yakni pada 833-945. 20 Pusat Administrasi dan Ibukota Dinasti

Abbasiyah berada di Bagdad. Beberapa provinsi yang di kontrol langsung dari Bagdad yakni, Iraq, Mesopotamia, Mesir, Syiria, Iran Barat, dan Khuziztan.

Diawal terbentuknya, Dinasti Abbasiyah menekankan tujuannya pada pengorganisiran militer dan mencetak kader-kader yang handal dalam bidang

administrasi. 21 Keterbukaan dalam birokrasi pemerintahan dijalankan dengan nyata. Terdapat 3 tipe biro pemerintahan yang berkembang, yaitu, kearsipan, dinas

pengumulan pajak, dan kemiliteran. Pengembangan sistem organisasi terus berjalan sesuai dengan kebutuhan pada saat itu, seperti wazi@r yang muncul belakangan. Kerja wazi@r biasanya semula dinisbatkan kepada sekretaris, namun pada saat itu beralih fungsi untuk mengkoordinir, mengawasi, dan mengontrol kerja birokrasi. 22

Masa jabatan gubernur dibatasi dalam waktu yang pendek. Sehingga nasibnya sangat ditentukan oleh kemurahan sang khalifah. Para gubernur diorganisir agar

19 Al-Suyut}i@, Tarikh Khulafa’ (Bandung: Mizan, 2010), hlm. 320 20 Latiful Khuluq, ‚Perkembangan Peradaban Islam Masa Daulah Abbasiah‛ dalam Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Klasik Hingga Modern , hlm. 100

21 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 107 22 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 109 21 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 107 22 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 109

Bamarki, ia juga bisa mengangkat hakim dan gubernur. Setelah khalifah al-Muqtadir (908-932 M) seorang wazi@r diganti oleh seorang amir, penglima tertinggi. Wazi@r utama mengepalai beberapa departemen di bawahnya. 24

Khalifah juga mengangkat beberapa qa>d}i@, atau hakim. Para qa>d}i@ biasanya dipilih dari kalangan ahli fikih yang berpengaruh dan bertugas mengadili dan penerapan hukum Islam. 25 Pelaksanaan peradilan dipercayakan oleh para khalifah

atau wazi@r kepada ulama ahli fikih, yang diangkat menjadi hakim. Tokoh pertama yang mendapat gerlar qa>d}i@ al-quda>t adalah Abu Yusuf (w. 798 M) yang bekerja di bawah khalifah al-Mahdi. Hakim dibedakan menjadi dua, utama dan khusus. Tugas hakim utama yakni memutuskan kasus, menjadi wali anak yatim, orang sakit mental dan anak kecil, mengatur lembaga wakaf, menjatuhkan hukuman kepada pelanggar hukum agama, mengangkat para wakil pengadilan di berbagai provinsi. Sedangkan hakim khusus, yakni memiliki kekuasaan terbatas sesuai dengan perintah dari

khalifah, 26 wazi@r atau gubernur.

23 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 109 24 Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 396-398 25 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, hlm. 109 26 Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 406-407

Di masa Dinasti Abbasiyah muncul ulama-ulama besar di bidang ilmu kalam. Baik dari kalangan Muktazilah maupun dari ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Dari kalangan Muktazilah dikenal antara lain Abu> al-Huzail al-Allaf, al-Niz}a>m, al-Ja>hiz, al-Jubba>‘i, dan Abu> Hasyim. Sedangkan dari kalangan ahl al-sunnah di antara yang populer ialah al-Asy‘a>ri, Al-Baqillani@, Juwaini@, al-Gaza>li@, dan al-Maturidi@. Ulama- ulama fikih di zaman Abbasiyah yakni Abu> Hanifah, M>alik, Syafi‘i, dan Ah}mad bin H{anbal. 27

Di era Abbasiyah terdapat lembaga peradilan dalam organisasi kehakiman. Lembaga-lembaga tersebut di antaranya ialah peradilan ibu kota, provinsi, kota, dan kota-kota. Badan peradilan pada era Abbasiyah ada tiga macam. Pertama, al-qad}a>’, bergelar al-qa>d}i@. Al-qa>d}i@ bertugas mengurus persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama pada umumnya. Kedua, al-h}isbah, bergelar al-muh{tasib. Al-Muh{tasib bertugas menyelesaikan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah- masalah umum dan tindak pidana. Ketiga, al-Nad}ar fi@ al-Maz}a>lim, bergelar qa>d}i@ al- maz}a>lim. Bertugas menyelesaikan perkara-perkara banding dari badan pertama dan kedua. Sumber hukum peradilan, selain Alquran dan sunnah, adalah kitab-kitab fikih, terutama fikih Hanafi@, Maliki@, Syafi’i@, dan Hanbali@. Kitab-kitab fikih tersebut

dijadikan sebagai pelaksanaan hukum yang dilakukan oleh para 28 qa>d}i@.

27 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, hlm. 178 28 Basiq Jalil, Peradilan Islam, hlm. 158-160

Masa kemunduran Dinasti Abbasiyah sangat panjang. Kemunduran ini dilihat dari tidak adanya perkembangan sampai kekuasaannya musnah di bawah Mongol Tartar pada tahun 1258 M. Akibat lemahnya kekuatan Bagdad, banyak provinsi yang enggan menyetor pajak dan memerdekakan diri. Tragedi mihnah juga membuat rakyat terpecah. Hingga kedatangan masa bani Buwaih (945-1055 M) yang menguasai posisi-posisi wazir, dan khalifah tidak banyak ikut campur dalam urusan pemerintahan. Pada tahun 1055 hingga 1057 M, ideologi sunni menjadi mayoritas. Kebijakan Niza>m al-Mulk mendirikan madrasah menjadi tonggak paham sunni. Para pengajar dan kepala madrasah bermazhab Syafi’i. Kendati para intelektual pendukung penggunaan nalar dan yang tidak, pada saat itu imbang. Hingga pada akhirnya, Hulagu Khan bisa memasuki Bagdad. Mereka menghabisi Khalifah Al-

Mu‘tas{im dan penduduk kota. 29 Era Abbasiyah membentang dari 132-656 H atau 750 M-1258 M. Kurang lebih selama 500 tahun berkuasa.

Tradisi sistem pemerintahan tidak sampai di sini. Dinasti Usmaniyah merupakan dinasti besar setelah Abbasiyah runtuh. Setelah Usman mengumumkan berdirinya dinasti ini, pada tahun 668 H/1300 M, ia langsung memperluas wilayah. Perluasan tersebut gencar hingga masa Sulaiman I, yakni pada tahun 1520 M. Wilayah kekuasannaya membentang di Asia hingga Eropa. Raja-raja Dinasti Usmaniyah mempunyai gelar sultan dan khalifah. Pergantian khalifah secara turun

29 Machasin, ‚Peradaban Islam masa Daulah Abbasyiah: Masa Kemunduran‛, dalam Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Klasik Hingga Modern , hlm. 109-117 29 Machasin, ‚Peradaban Islam masa Daulah Abbasyiah: Masa Kemunduran‛, dalam Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Klasik Hingga Modern , hlm. 109-117

Struktur masyakatnya sangat heterogen. Sebagai sebuah penguasa, Dinasti Usmaniyah berkuasa yang menentukan seluruh nasib warga timur tengah dan

Balkan. Diawal dan dipertengahan kekuasaan, dinasti ini berhasil mendominasi, mengendalikan, dan membentuk masyarakat dibawah pemerintahanya. Salah satu konsep yang diterapkan oleh Dinasti Usmaniyyah yakni membedakan antara askeri dan re’aya. Yakni membedakan antara pejabat dan raykat yang dikuasai, elit penguasa dan yang dikuasai, pemungut pajak dan yang dipungut. 31

2. Tafsir U<li@ al-Amr di Era Pra-Modern Masa khulafa>’ al-rasyidi>n dan Dinasti Umayyah membentang dari 11 H hingga

135 H atau 632 hingga 750 M. Kedua masa tersebut merupakan masa sahabat dan tabiin. Mufasir terkemuka dari kalangan sahabat yakni empat orang khulafa>’ al- rasyidi@n, Ibn ‘Abba>s, Ubay bin Ka‘ab, Zaid bin S|a>bit, Abu> Mu>sa al-‘Asy’ari@, dan ‘Abdulla>h bin Zubair. Adapun dari kalangan tabi’in yang berguru dan pendukung Ibn

30 Munzirin Yusuf, ‚Peradaban Islam di Turki‛, dalam Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Klasik Hingga Modern , hlm. 129-130 31 Munzirin Yusuf, ‚Peradaban Islam di Turki‛, hlm. 132-134

‘Abba>s dalam bidang tafsir yaitu, Sa‘id bin Zubair, Muja>hid bin Jabbar, T{aus bin Kisan al-Yamani@, Ikrimah, At}a’ bin Abi Raba>h, dan lain-lain. 32

Makna u>li@ al-amr dalam QS. Al-Nisa>’: 59 menurut Ibn ‘Abba>s (3 SH-68 H) sebagaimana yang terdapat dalam Tanwi@r al-Miqba>s min Tafsi@r Ibn ‘Abba>s bermakna umara>’ sara>ya (para pemimpin perang) dan ia menambahi dengan kalimat ‚dikatakan juga para ulama‛. 33 Penulis tidak menemukan tafsir Ibn Abba>s yang secara eksplisit menyatakan bahwa makna u>li@ al-amr adalah umara>’. Hanya saja, al- T{abari@ dalam Ja>mi‘ al-Baya>n menyebutkan sebuah riwayat Ibn ‘Abba>s dan mengategorikan riwayat tersebut dalam tafsir 34 u>li@ al-amr sebagai umara>’. Berikut

riwayatnya: نع ،ملسم نب ىلعٌ ًنربخأ : لاق ،جٌرج نبا نع ،دمحم نب جاجح انث : لاق ،رازبلا حابصلا نب نسحلا انثدح

Al-H{asan bin Al-S{abba>h Al-Bazzar menceritakan kepada kami, ia berkata: Hajjaj in Muhammad menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij, ia berkata: Ya‘la bin Muslim mengabarkan kepadaku dari Sa‘id bin Jabi@r, dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ia berkata tentang firman Allah ‚ at{i@‘u alla>h wa at{i@‘u al-rasu>l wa u>li@ al-amr‛, bahwa ayat ini diturunkan kepada laki-laki yang diutus oleh Nabi Muhammad dalam perang sariyah.

Jika diperhatikan, dalam riwayat tersebut Ibn Abba>s hanya menjelaskan bagaimana sabab al-nuzu>l QS. Al-Nisa>: 59. Hal ini sama dengan riwayat yang

32 Thamem Ushama, Metodologi Tafsir Alquran (Jakarta: Riora Cipta, 2000), hlm. 10-13 33 Abdullah bin Abba>s, Tafsir Ibn Abba>s (Beirut: Da>r al-Kutub Al-ilmiyah, 2004), hlm. 95. 34 Abu> Ja‘far Muh}ammad bin Jari@r al-T}abari@, Ja>mi’ al-Baya>n fi@ Tafsi@r al-Qur’a>n (Beirut: Da>r

al-Ma’rifat, 1992), jilid 5, hlm. 93-96 al-Ma’rifat, 1992), jilid 5, hlm. 93-96

Mus\anna menceritakan kepadaku, dia berkata: Abdullah bin S}a>lih, dia berkata kepadaku: Mu‘a>wiyah bin S}alih menceritakan kepadaku dari Ali bin Abi@ T{alh}ah, dari Ibn Abba>s tentang ayat at{i@‘u alla>h wa at{i@‘u al-rasu>l wa u>li@ al-amr,

maksudnya adalah orang-orang yang ahli fikih dan agama. 36 Pentahqiq dalam karya tersebut menyatakan bahwa riwayat di atas merupakan

as\ar sahabat. Dari sejumlah riwayat yang dikemukakan oleh al-T{abari@ dan al-Suyut}i dalam karyanya masing-masing, riwayat dari Ibn Abba>s hanya terdapat dua dengan bahasan yang berbeda, sebagaimana di atas. Riwayat pertama berisi tentang sabab al-nuzu>l ayat. Sedangkan riwayat kedua berisi tentang tafsir Ibn ‘Abba>s terhadap ayat tersebut. Oleh karena itu, menurut penulis, Ibn ‘Abba>s memaknai u>li@ al-amr dalam QS. Al-Nisa>’: 59 sebagai ulama> ’. Jika demikian, u>li@ al-amr dalam QS. Al- Nisa>’: 59 di era Ibn ‘Abba>s telah terjadi sebuah kontekstualisasi dan perlu disadari bahwa dalam konteks ini pemaknaan ‚ulama‛ terhadap term u>li@ al-amr adalah sebuah tafsir baru kala itu. Hal ini berbeda dengan tafsir yang telah berkembang pula

35 Riwayat tentang perselisihan antara Kha>lid bin Wali@d dengan Amma>r bin Yasar telah penulis sebutkan dalam bab sebelumnya. Lihat Jalal Al-Din Al-Suyut}i, Al-Durr Al-Mans\u>r fi Tafsi@r bi

Al-Ma’s\u>r (Qahirah: Markaz Al-Hijr, 2003), juz 4, hlm. 503

36 Ali bin Abi T{alh{ah, Tafsir Ibnu Abbas (Jakarta: Pustaka Azam, 2009), hlm. 203 36 Ali bin Abi T{alh{ah, Tafsir Ibnu Abbas (Jakarta: Pustaka Azam, 2009), hlm. 203

Muja>hid (w. 102 H), salah satu murid Ibn Abba>s, memaknai term u>li@ al-amr yakni dengan ahli fikih dan yang mempunyai akal. 38 Begitu juga menurut At}a>’ bin

Abi@ Rabba>h al-Aslam (w. 114 H), seorang tabiin pertengahan, juga murid Ibnu Abbas, makna u>li@ al-amr menurutnya yakni orang yang mempunyai ilmu dan ahli fikih. 39 Oleh karena itu, jika diperhatikan, maka perbedaan makna u>li@ al-amr telah

terjadi sejak zaman sahabat Nabi. Mufasir dari kalangan tabi‘in mengikut pemaknaan u>li@ al-amr sebagai ahli fikih. Menurut penulis, selain dari kalangan tabiin banyak berguru kepada Ibn ‘Abba>s, makna seperti ini murni ijtihad dari mufasir sesuai dengan kondisi saat itu.

37 Ibnu Mas‘ud, Tafsir Ibnu Mas‘ud (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 423 38 Mujahid menafsirkan QS. Al-Nisa>’: 83 juga demikian. Lihat Abi@ Al-Hajja>j Muja>hid Ibn Jabar, Tafsi@r Muja>hid (Beirut: Da>r al-Kutub al-ilmiyah, 2005), jilid 2, hlm. 53 dan 55

39 Lihat Abu> Muh}ammad al-Darimi@, Sunan al-Darimi> (Beirut: Da>r Kutub al-Ilmiyah, 1996), jilid 1, hlm. 72

Dalam rentang waktu abad ke 2 H hingga ke 7 H, era Daulah Abasyiah, perbedaan makna u>li@ al-amr semakin tersistematisasi dan berkembang. Muncul kata- kata baru untuk menjelaskannya. Muqa>til bin Sulaima>n (80-150 H) memaknai u>li@ al- amr dalam QS. Al-Nisa>’ 59 dan 83 dengan taat kepada umara> ’ sarayah. Sebab turunnya ayat berkaitan dengan Kha>lid bin Wali@d dan berbicara peperangan. 40 Ima>m Syafi‘i (150-204 H) menjelaskan bahwa makna yang paling mendekati QS. Al-Nisa>’:

59 yakni pemimpin perang sariyah. Sebab orang Arab dan sekitarnya belum mengenal pemerintahan. Mereka memandang bahwa penguasa tidak pantas dipatuhi,

termasuk ketaatan kepada Nabi Muhammad. Oleh karena itu, mereka ditugaskan untuk menaati 41 u>li@ al-amr yang ditugaskan menjadi pemimpin. Al-Farra’ (144-207

H) dalam 42 Ma‘a>ni al-Qur’a>n memaknai dengan pemimpin perang. Ibn Qutaibah (213-276 H) berpendapat bahwa u>li@ al-amr dalam QS. Al-Nisa>’: 59 bermakna

pemimpin atau penguasa, sedangkan QS. Al-Nisa>’: 83 bermakna ahli atau orang yang mempunyai ilmu. 43

Al-T{abari@ (224-310 H) mendapati 4 perbedaan dalam memaknai term u>li@ al- amr, meliputi; 1) para pemimpin, terdapat 6 riwayat, 2) ahli ilmu dan ulama fikih, terdapat 11 riwayat, 3), para sahabat Nabi Muhammad, terdapat satu riwayat, 4)

40 Abi@ al-H}asan Muqa>til bin Sulaima>n, Tafsir Ibn Muqa>til (Beirut: Muassasah al-Tarikh al- ‘Arabi@, 2002), jilid 1, hlm. 382

41 Ahmad Mustafa Al-Farran, Tafsir Imam Syafi‘i (Jakarta: Almahira, 2008), jilid 2, hlm. 160 42 Abi@ Zakariya> Yahya bin Ziya>d al-Farra>’ , Ma‘a>ni al-Qur’a>n (Beirut: Da>r ‘Alim al-Kutub, 1983), jilid 1, hlm. 279

43 Abi@ Muh}ammad ‘Abdulla>h bin Muslim bin Qutaibah, Tafsi@r Gari@b al-Qura>n (Beirut: Da>r al- Kutub al-Ilmiyah, 1978), hlm. 130 dan 132

Abu Bakar dan Umar bin Khat}t}a>b saja, terdapat satu riwayat. Ia menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah pemimpin dan penguasa berdasarkan hadis-hadis sahih. 44 Al-Samarqandi@ (w. 383) memaknai term u>li@ al-amr dengan mengutip pendapat al-Kalbi@ dan Muqa>til yakni para pemimpin perang. Dikutip juga pendapat al-Dahha>k, yakni para fuqaha>’, ulama dalam agama, para khalifah dan para penguasa . Sedangkan makna u>li@ al-amr dalam QS. Al-Nisa>: 83 yakni keempat khulafa>’ al-rasyidi@n. Wajib menaati mereka selama tidak memerintah dalam hal

kemaksiatan. 45 Al-Samarqandi@ tidak memasukkan pendapatnya sendiri. Berbeda dengan al-T{abari@ yang memberi penegasan terhadap makna.

Al-Jas}s}a>s} (w 370 H) dalam Ah}ka>m Al-Qur’a>n menjelaskan bahwa makna u>li@ al-amr yakni umara>’ dan ulama. Menurut Al-Jas}s}a>s}, memaknai term u>li@ al-amr sebagai ulama dan penguasa diperbolehkan sebab istilah tersebut mencakup keseluruhan. Adapun pernyataan bahwa makna u>li@ al-amr penguasa, yakni penguasa yang memiliki badan pelaksana hukum yakni pemimpin dan lembaga kehakiman, penguasa yang memutuskan perkara, dan menegakkan keadilan. Artinya, kekuasaan

di sini merupakan kelompok yang mencakup 46 umara>’ dan ulama.

44 Abu> Ja‘far Muh}ammad bin Jari@r al-T}abari@, Ja>mi’ al-Baya>n fi@ Tafsi@r al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), jilid 4, hlm. 150-153 45 Nas}r bin Muh}ammad bin Ah}mad al-Lais\ al-Samarqandi@, Bahr al-‘Ulu>m (Beirut: Da>r al- Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), jilid 1, hlm. 363 46 Abu> Bakr Ahmad bin Ali al-Ra>zi@ al-Jas}s}a>s}, Ah}ka>m Al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, 1993), juz 2, hlm. 264

Al-Bagawi@ (w. 510 H) menjelaskan beberapa perbedaan takwil para mufasir terhadap term u>li@ al-amr beserta landasannya. Perbedaan-perbedaan tersebut sama dengan apa yang dikemukakan oleh al-T{abari@. Namun, yang menjadi pembeda, landasan yang berupa ayat Alquran. Seperti pendapat bahwa makna u>li@ al-amr merupakan ulama dan fuqaha>’ yakni berlandaskan QS. Al-Nisa>’: 83. Sedangkan pendapat bahwa makna u>li@ al-amr merupakan kaum Muhajirin, Ans}ar, dan pengikutnya berlandaskan QS. Al-Taubah: 100. Berbeda dengan al-T{abari@ yang

hanya memaparkan riwayat. 47 Menurut peneliti, jika QS. Al-Nisa>’: 83 dijadikan landasan memaknai u>li@ al-amr sebagai ulama, maka tidak tepat. Sebab di depan telah

dijelaskan bahwa konteks sastrawi QS. Al-Nisa>’: 83 berbicara persoalan peperangan. Tidak ada hubungannnya dengan ulama.

Al-Zamakhsyari@ (476-583 H), ulama yang mendukung paham muktazilah, berpendapat bahwa QS Al-Nisa>: 59 membahas tentang urusan umat yang diatur oleh penguasa. Penguasa yang amanah dan memutuskan perkara dengan adil. Term u>li@ al- amr bermakna penguasa yang haq. 48 Sedangkan QS. Al-Nisa>’: 83 berkaitan dengan

orang-orang yang lemah imannya yang menyebarkan berita tentang perang utusan Nabi yang belum jelas asal-usulnya. Menurutnya, term u>li@ al-amr dalam ayat ini merupakan para sahabat-sahabat besar yang mengetahui atau orang yang mendapat

47 Abi@ Muh}ammad Husain bin Mas‘u>d al-Bagawi@, Ma‘a>lim al-Tanzi@l (Riyad: Da>r al-T}ayyibah, 2006), jilid 1, hlm. 551-552 48 Mahmu>d bin ‘Umar bin Muh}ammad bin Ahmad al-Zamakhsyari@, Al-Kasysya>f ‘an Haqa>iq Tanzi@l, tahq. Al-Syaikh ‘A<dil Ahmad ‘Abd al-Mauju>d, (Riyadh: Maktabah al-‘Abi@ka>n, 1998), jilid 2,

hlm. 95 hlm. 95

Ibn ‘At}iyah (481-546 H) berpendapat bawa QS. Al-Nisa>: 59 ini merupakan perintah yang ditujukan kepada warga negara untuk menaati apa yang menjadi perintah maupun larangan penguasa sesuai dengan pendapat Abu Hurairah, Ibn ‘Abba>s dan jumhur. 50 Begitu juga dalam QS. Al-Nisa>’: 83, ia berpendapat bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan orang-orang munafik yang dibahas dalam QS. Al-Nisa>’: 81. Ayat tersebut turun berkenaan dengan perang syariah dan utusan Nabi. Oleh karena itu, menurut Ibnu At}iyah term u>li@ al-amr dalam QS. Al-Nisa: 83 bermakna penguasa dan orang yang berpengetahuan secara bersamaan. 51 Baik Al-

Zamakhsyari@ maupun Ibnu At}iyah menggunakan pendekatan sastrawi dalam masing- masing karya mereka.

Al-Qurt}ubi@ (w. 641 H) berpendapat bahwa QS. Al-Nisa>’: 59 merupakan kelanjutan dari QS. Al-Nisa>’: 58. Jika QS. Al-Nisa>’: 58 membahas tentang pemimpin atau penguasa dan perintah kepada mereka agar menunaikan amanat dan menetapkan hukum dengan adil, maka QS. Al-Nisa>’: 59 merupakan perintah kepada warganegara untuk menaati pemimpin, hal ini sesuai dengan pendapat mayoritas

49 Muhammad bin ‘Umar bin Muh}ammad bin Ahmad al-Zamakhsyari@, Al-Kasya>f, jilid 2, hlm. 116 50 Abu> Muh}ammad ‘Abd al-H{aq bin Galib bin ‘At}iyah al-Andalusi@, Tafsi@r al-Muharrar wa al- Waji@z (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), jilid 2, hlm. 71 51 Abu> Muhammad Abd al-H}aq bin Galib bin ‘At}iyah al-Andalusi@, Tafsi@r al-Muharrar wa al- Waji@z, jilid 2, hlm. 83 49 Muhammad bin ‘Umar bin Muh}ammad bin Ahmad al-Zamakhsyari@, Al-Kasya>f, jilid 2, hlm. 116 50 Abu> Muh}ammad ‘Abd al-H{aq bin Galib bin ‘At}iyah al-Andalusi@, Tafsi@r al-Muharrar wa al- Waji@z (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), jilid 2, hlm. 71 51 Abu> Muhammad Abd al-H}aq bin Galib bin ‘At}iyah al-Andalusi@, Tafsi@r al-Muharrar wa al- Waji@z, jilid 2, hlm. 83

Menurut Al-Baid{a>wi@ (w. 685 H) makna u>li@ al-amr dalam QS. Al-Nisa>’: 59 dan

83 merujuk kepada umara>’ kaum muslimin di era Nabi Muhammad, juga kepada era setelahnya seperti khulafa>’ al-rasyidi@n, para qa>d}i, dan pemimpin perang sariyah. Wajib menaati mereka selama mereka melestarikan kebenaran. Al-Baid}a>wi@ juga

menambahkan ‚dikatakan juga u>li@ al-amr adalah ulama syariat‛. 54 Dalam rentang waktu dari abad ke 13 M hingga abad ke 18 M begitu banyak

nama mufasir yang muncul. Al-Nasafi@ (w. 701 H), menyatakan bahwa QS. Al-Nisa>:

59 merupakan perintah bagi rakyat agar menaati para penguasa, setelah ayat sebelumnya memerintahkan kepada para penguasa agar menegakkan keadilan dalam

52 Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad bin Ah}mad al-Ans}ari al-Qurt}ubi@, Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r Ihya al-Tura>s\ al-‘Arabi@, 1993), jilid 3, 168-169

53 Abi@ Bakr Ahmad bin Ali Al-Ra>zi@ al-Jas}s}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r Al-Kutub Al- Ilmiyah, t.t), jilid 2, hlm. 264 54 Nas}r Al-Di@n Abu Sa‘id bin Abdullah bin Muhammad Al-Baid}a>wi@,

Anwa>r Al-Tanzi@l wa Asra>r Al-Ta’wi@l (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), jilid 1, hlm. 220 Anwa>r Al-Tanzi@l wa Asra>r Al-Ta’wi@l (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), jilid 1, hlm. 220

kewajiban taat kepada penguasa yang membela kebenaran. 56 Ia tidak menjelaskan mengapa ulama termasuk dalam ayat ini.

Ibn Kas\i@r (w. 774) berpendapat bahwa makna u>li@ al-amr mencakup ulama dan penguasa atau pemimpin. Ibn Kas\i@r mengutip pendapat-pendapat dari kalangan

tabiin terkait pemaknaan u>li@ al-amr sebagai ulama. Sedangkan terkait penguasa sebagai u>li@ al-amr dikutip dari asba>b al-nuzu>l QS. Al-Nisa>’: 59 dan hadis-hadis

terkait wajibnya taat kepada pemimpin. 57 Al-S|a‘a>labi@ (w. 786 H) membahas QS Al- Nisa>’: 59 dengan mengaitkan terhadap ayat sebelumnya (QS. Al-Nisa>’: 58) yang

membahas tentang keadilan hukum. Ia berkesimpulan bahwa makna u>li@ al-amr cenderung terhadap ‚penguasa‛. Taat kepada Nabi, maka juga harus taat kepada pemimpin. Mengenai perbedaan pemaknaan terhadap u>li@ al-amr di kalangan ulama, ia menyatakan bahwa makna u>>li@ al-amr sebagai ulama atau penguasa merupakan sahih. Sahih dengan penjelasan bahwa penguasa yang mengadili kaumnya sedangkan ulama disebabkan pentingnya posisi mereka, mematuhi fatwanya merupakan

55 As\i@r al-Di@n ‘Abdulla>h bin Yusuf bin ‘Ali@ al-Andalusi@ al-Ma ‘ruf bi Abi Hayyan, Tafsi@r al- Bah}r Al-Muh}i@t} (Beirut: Da>r Ihya’ al-Turas\ al-Arabi@, 1993), jilid 3, hlm. 290 56 Abu> al-Barka>h ‘Abdulla>h bin Ah}mad bin Mahmu>d al-Nasafi@, Mada>rik al-Tanzil wa H{aqa>iq al-Ta’wi@l (Libanon: Da>r al-Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t), jilid 1, hlm. 232 57 Abu Fida>’ Isma‘il bin Kas\ir al-Damsiqi@, Tafsi@r al-Qur’an al-‘Azi@m (Riyad: Da>r al-T{ayyibah, 2007), jilid 2, hlm. 343-346 55 As\i@r al-Di@n ‘Abdulla>h bin Yusuf bin ‘Ali@ al-Andalusi@ al-Ma ‘ruf bi Abi Hayyan, Tafsi@r al- Bah}r Al-Muh}i@t} (Beirut: Da>r Ihya’ al-Turas\ al-Arabi@, 1993), jilid 3, hlm. 290 56 Abu> al-Barka>h ‘Abdulla>h bin Ah}mad bin Mahmu>d al-Nasafi@, Mada>rik al-Tanzil wa H{aqa>iq al-Ta’wi@l (Libanon: Da>r al-Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t), jilid 1, hlm. 232 57 Abu Fida>’ Isma‘il bin Kas\ir al-Damsiqi@, Tafsi@r al-Qur’an al-‘Azi@m (Riyad: Da>r al-T{ayyibah, 2007), jilid 2, hlm. 343-346

Al-Biqa>‘i@ (885-809 H) memaknai para hakim sebagai uli@ al-amr, ketaatan kepada mereka kecuali dalam hal maksiat. Ulama juga termasuk u>li@ al-amr. Penekanannya yakni menyerahkan persoalan kepada yang mengurusinya. 60 Jalaluddin al-Mahalli (w. 864) dan al-Suyu>t}i@ (w. 911) dalam Tafsir Jalalain menyebutkan bahwa makna u>li@ al-amr yakni penguasa. Tafsir Abi Su‘u>d (w. 982 H) menjelaskan bawa u<li@ al-amr adalah para pemimpin yang benar dan para penguasa yang adil seperti 61 khalifa>’ al-rasyidi@n. Isma>‘i@l Haqqi@ (w. 1127), mufassir asal Turki, menjelaskan bahwa makna 62 uli@ al-amr yakni para penguasa yang benar dan adil

Mufasir awal dari kalangan Syiah, seperti Abi@ Ja’far Muh}ammad bin al-H{asan Al-T{u>si@ (w. 460 H) mengutip dari Abi@ Ja’far dan Abi@ Abdulla>h bahwa yang dimaksud dengan taat kepada u>li@ al-amr merupakan taat kepada para imam dari keluarga Nabi Muhammad. Tidak diperbolehkan taat secara mutlak kecuali terhadap para imam yang maksum dari kesalahan. Hal itu tidak mungkin ditemukan dalam

58 Abu> Zaid ‘Abd al-Rah}man bin Muh}ammad bin Mahlu>f Al-S|a‘a>labi@, al-Jawa>hir al-Hisa>n fi@ al-Tafsi@r al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), jilid 2, hlm. 255 59 Abu> Bakr Muh}ammad bin ‘Abdulla>h Ibn al-‘Arabi@, Ah}ka>m al-Qur’an (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), juz 1, hlm. 574 60 Burha>n Al-Di@n Abi@ Al-H}asan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa>‘i@, Tafsi@r Naz\m al-Durar (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), jilid 2, hlm. 271 61 Abu al-Su’u>d Muhammad bin Muhammad al-‘Ama>di@, Tafsi>r Abi@ Su‘u>d (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi@, 1990), jilid 2, hlm. 193

62 Isma>‘i@l Haqqi@, Ruh al-Baya>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), jilid 2, hlm. 223 62 Isma>‘i@l Haqqi@, Ruh al-Baya>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), jilid 2, hlm. 223

Al-Syaukani (w. 1225 H) menjelaskan bahwa setelah Allah memerintahkan kepada para pemimpin agar memutuskan hukum dengan haq, dalam QS. Al-Nisa>: 59 Allah memerintahkan manusia agar menaati Allah, Rasul dan u>li@ al-amr. Menurut Al-Syaukani, u>li@ al-amr adalah para imam, para sultan, para hakim, dan setiap orang

yang mempunyai kekuasaan. 65 Muh}ammad Jawa>d Mugniah (w. 1400 H) mencoba menengahi perbedaan pemaknaan antara Sunni dan Syiah terhadap makna u>li@ al-amr.

Menurutnya di kalangan sunni term u>li@ al-amr bermakna ahl al-hall wa al-‘aqdi, sedangkan di kalangan Syiah bermakna ahl al-bait. Oleh karena itu, pemaknaannya harus dikembalikan kepada 66 masing-masing u>li@ al-amr.

Memahami tafsir terhadap term u>li@ al-amr di era pra-modern, setidaknya terdapat dua model penafsiran terhadap u>li@ al-amr. Pertama, penafsiran yang sifatnya stagnan dan hanya mengutip terhadap tafsir-tafsir sebelumnya. Kedua, tafsir

63 Abi Ja’far Muhammad bin Al-Hasan Al-T{u>si@, al-Tibya>n fi@ Tafsir Al-Qur’a>n (Beirut: Da>r Ihya>’ Al-Tura>s\ Al-‘Arabi@, t.tt), jilid 3, hlm. 235-237 64 Abi Ali al-Fadl bin Al-Hasan al-T{abrisi@, Majma‘ Al-Baya>n fi@ Tafsi@r Al-Qur’>n (Beirut: Da>r Al-Murtadha, 2006), jilid 3, hlm. 95-97

65 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syauka>ni@, Fath} al-Qadi@r ((Beirut: Da>r Ihya’ al-Turas\ al-Arabi@, 1997), jilid 1, hlm. 481. 66 Muhammad Jawa>d Mugniyah, al-Tafsi@r al-Ka>syif (t.tp: Da>r al-Kita>b al-Islamiyah, 2007), jilid 2, hlm. 361-363

kontekstual sesuai dengan kondisi umat Islam saat itu. Dualisme penafsiran terhadap term u>li@ al-amr dalam Alquran telah terjadi sejak masa sahabat Nabi. Penafsiran terhadap term u>li@ al-amr sebagai ‚ulama‛ merupakan tafsir Ibn Abba>s. Kemudian penafsiran tersebut banyak diikuti oleh murid-muridnya. Tidak hanya sampai di murid-muridnya, penafsiran tersebut juga banyak dikutip oleh mufassir setelahnya. Sedangkan penafsiran terhadap term u>li@ al-amr sebagai ‚pemimpin‛ juga berkembang sejak masa sahabat Nabi. Hal ini dapat dilacak dengan adanya sejumlah riwayat pendukung, seperti riwayat tentang wajibnya taat terhadap pemimpin, termasuk sabab al-nuzu>l QS. Al-Nisa>: 59 dan 83 yang berkaitan dengan pemimpin perang.

B. Makna U><li@ Al-Amr pada era Modern-Kontemporer Al-Maudu>di@ dalam Tafhi@m Al-Qur’a>n menyatakan bahwa QS. Al-Nisa>’: 59

merupakan landasan seluruh keagamaan, sosial, dan struktur politik Islam serta ketentuan awal dari konstitusi negara Islam. Setelah perintah taat kepada Allah dan Rasul, perintah Islam dalam kehidupan muslim juga membutuhkan ketaatan kepada sesama muslim yang mempunyai wewenang. Wewenang yang mengatur berbagai hal yang menjadi urusan bersama. Seperti cendekiawan dan pemimpin politik dari sebuah komunitas. Termasuk kantor administrasi, kantor pengadilan, kepala suku, dan wakil daerah. Apabila terdapat perselisihan antara muslim atau antara penguasa merupakan landasan seluruh keagamaan, sosial, dan struktur politik Islam serta ketentuan awal dari konstitusi negara Islam. Setelah perintah taat kepada Allah dan Rasul, perintah Islam dalam kehidupan muslim juga membutuhkan ketaatan kepada sesama muslim yang mempunyai wewenang. Wewenang yang mengatur berbagai hal yang menjadi urusan bersama. Seperti cendekiawan dan pemimpin politik dari sebuah komunitas. Termasuk kantor administrasi, kantor pengadilan, kepala suku, dan wakil daerah. Apabila terdapat perselisihan antara muslim atau antara penguasa

Quraish Shihab memaknai u>li@ al-amr yakni yang berwenang menangani urusan-urusan kamu. Menurutnya, bentuk jamak dalam terma u>li@ al-amr tidak mutlak dipahami dalam arti badan atau lembaga yang beranggotakan sekian banyak orang, tetapi bisa jadi mereka hanya perorangan yang masing-masing mempunyai kewenangan yang sah untuk memerintah dalam bidang masing-masing. Wewenang yang diperoleh, baik sebagai lembaga atau perorangan, bisa diperoleh dari masyarakat yang akan mengatur urusan mereka, seperti dari pemilihan umum. Bisa juga melalui pemerintah yang sah, yang menunjuk kelompok orang atau orang tertentu untuk menangani satu urusan. Mengutip dari Ibnu ‘Asyur, wewenang ini juga bisa didapat dari pengakuan masyarakat tanpa tertulis, karena kemampuan atau keteladannya. Ayat ini juga menunjukkan pentingnya lembaga eksekutif, yudikatif,

dan legislatif yang perlu diwujudkan oleh umat Islam. 68 Al-Maragi@ menjelaskan bahwa u>li@ al-amr yaitu para umara>’, hakim, ulama,

panglima perang, dan seluruh pemimpin dan kepala yang menjadi tempat kembali umat dalam kebutuhan dan kemaslahatan umum. Adapun maksud dari ‚fain tana>za‘tum fi@ syai’in faruddu>hu ila Alla>h wa al-Rasul‛ harus ada sekelompok orang

67 Abu A’la> Maudu>di@, Understanding the Qur’a>n (UK: Islamic Foundation, 1989), jilid 2, hlm. 50-52 68 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2011), jilid 2, hlm. 584-586 67 Abu A’la> Maudu>di@, Understanding the Qur’a>n (UK: Islamic Foundation, 1989), jilid 2, hlm. 50-52 68 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2011), jilid 2, hlm. 584-586

Al-Jazairi menyatakan bahwa QS>. Al-Nisa>: 58 merupakan perintah Allah kepada penguasa-penguasa muslim untuk menunaikan amanat-amanat yang merupakan hak rakyat, memutuskan hukum secara adil. Kemudian dalam QS. Al- Nisa>’: 59 Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah, Rasul, kemudian penguasa. Taat kepada penguasa dalam hal yang telah disyariatkan, jika dalam ketidak- makruf-an maka tidak diperkenankan taat. Adapun salah satu pelajaran yang bisa diambil yakni wajib menaati penguasa muslim, baik

para hakim atau ulama fikih. 70 Al-Jazairi berkomentar bahwa u>li@ al-amr dalam QS. Al-Nisa>: 83 bermakna pemimpin delegasi perang. 71

Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Wasit} memaparkan QS. Al-Nisa>: 59 merupakan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta wajib hukumnya

69 Ahmad Mustafa Al-Maragi@, Tafsir Al-Maraghi (Semarang: Thaha Putra), juz 5, hlm. 119- 121 70 Abu> Bakr Jabir Al-Jaza>iri@, Aisaru al-Tafa>sir (ttp: Maktabah Ulu>m wa H{ukm, 1995), jilid 1, hlm. 497-499 71 Abu> Bakr Jabir Al-Jaza>iri, Aisaru al-Tafa>sir, jilid 1, hlm. 515 69 Ahmad Mustafa Al-Maragi@, Tafsir Al-Maraghi (Semarang: Thaha Putra), juz 5, hlm. 119- 121 70 Abu> Bakr Jabir Al-Jaza>iri@, Aisaru al-Tafa>sir (ttp: Maktabah Ulu>m wa H{ukm, 1995), jilid 1, hlm. 497-499 71 Abu> Bakr Jabir Al-Jaza>iri, Aisaru al-Tafa>sir, jilid 1, hlm. 515

membicarakannya. 73 Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan bahwa u>li@ al-amr adalah penguasa.

Ketaatan terhadap penguasa merupakan kewajiban yang ketiga dalam agama. Apabila terjadi perselisihan antara ketentuan penguasa dengan rakyat maka tentu harus dimusyawarahkan bersama. Mengutip dari Muhammad Abduh, bahwa yang diajak musyawarah ialah ahl al-halli wa al-‘aqdi seperti direktur perusahaan besar, para profesor, sarjana diberbagai bidang, dan wartawan terkemuka. 74

Memahami makna u>li@ al-amr dalam konteksnya masing-masing didapati beberapa kesimpulan. Pertama, perbedaan takwil terhadap uli@ al-amr terjadi sejak masa khulafa>’ al-rasyidi@n. Penelusuran peneliti, titik perbedaannya dimulai dari tafsir Ibn ‘Abba>s. Kemudian pemaknaan u>li@ al-amr sebagai ‚ulama‛ berkembang di

72 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Wasit{ (Jakarta: Gema Insani, 2012), jilid 1, hlm. 302 73 Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Wasit{, jilid 1, hlm. 315 74 Hamka, Tafsir Al-Azhar (Singapura: Pustaka Nasional, 2007), jilid 2, hlm. 1285-1286

kalangan tabiin. Para mufassir di kalangan tabiin sebagian besar merupakan murid dari Ibn ‘Abba>s. Kedua, para qa>d}i, mufti, dan MUI (baca: yang pernah menjadi bagian dari penguasa) juga cederung memaknai dengan umara>’ seperti al- Zamakhsyari@, al-Baidawi@, Hamka, dan Qurasih Shihab dan mengambil keduanya seperti Ibn al-Arabi@. Ketiga, tafsir-tafsir yang ber- manhaj kebahasaan --termasuk sastra (al-adabi@) dan balagah (al-bala>gi@) —, seperti Ibnu Qutaibah, al-Farra>’, Ibn ‘At}iyyah, al-Zamakhsyari@@, Abu H{ayya>n al-Andalu>si@, al-Baid}a>wi@, dan Quraish Shihab, menjelaskan bahwa QS. Al-Nisa>: 59 perintah kepada masyarakat untuk menaati pemimpin mereka. Keempat, pemaknaan terhadap term u>li@ al-amr seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan, dan pembentukan nalar pengetahuan dalam Islam. Di masa khulafa>’ al-rasyidi@n dan Umayyah, berkembang term ulama dan umara>’. Di masa Abbasiyah, muncul istilah fuqaha>’ dan hakim. Di masa Daulah Usmaniyah, muncul istilah sultan. Kelima, Di era modern berkembang istilah ahl al- hall wa al-aqdi, pemerintah eksekutif dan legislatif. Sedangkan dalam tafsir-tafsir aliran Syiah makna u>li@ al-amr ialah ahl al-bait atau para imam yang maksum. Oleh karena itu, sekalipun sistem pemerintahannya berbeda dari masa ke masa, apapun bentuk sistem pemerintahan tersebut apabila memiliki kekuasaan dan otoritas untuk mengatur kehidupan kemaslahatan masyakarat luas maka sistem pemerintahan tersebut tetap bisa disebut dengan u>li@ al-amr. Tidak terkecuali sistem pemerintahan negara-bangsa seperti mayoritas sistem negara di era kontemporer ini. Begitu juga seperti sistem pemerintahan yang terdapat di Indonesia.