MAKNA KONTEKSTUAL U<LI@ AL-AMR DAN RELEVANSINYA TERHADAP KEWAJIBAN PENCATATAN PERKAWINAN DALAM UU. NO. 1 TAHUN 1974

BAB IV MAKNA KONTEKSTUAL U

A. Sistem Tata Negara Indonesia Para tokoh atau pemimpin bangsa Indonesia, sejak sebelum kemerdekaan,

sudah mengidealkan sistem pemerintahan presidensil untuk Indonesia. Kemudian hal tersebut tercermin dalam perumusan UUD 1945 yang menentukan bahwa kekuasaan pemerintahan menurut UUD dipegang oleh seorang presiden dengan dibantu oleh seorang wakil presiden, selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih dalam jabatan yang sama hanya sekali masa jabatan. Presiden juga dibantu oleh menteri

yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden. 1 Dalam landasan pembukaan UU dan struktur UUD 1945 didapati konsep

kenegaraan yang diterima sebagai prinsip-prinsip bernegara tanpa ada perbantahan di antara para penyusun UUD 1945. Landansan-landasan dan prinsip-prinsip tersebut di antaranya yakni 1) prinsip negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa; 2) prinsip kerakyatan atau kedaulatan rakyat; 3) prinsip negara berdasarkan atas hukum, baik dari arti formal maupun material; 4) prinsip negara berdasar konstitusi yang membatasi kekuasaan pemangku jabatan negara atau pemerintahan; 5) prinsip negara kesatuan dengan sistem otonomi yang luas; 6) prinsip pemerintahan republik;

1 Jimly Asshiddiqie, Penguatan Sistem Pemerintahan dan Keadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 57

7) prinsip negara memikul tanggung jawab atau berkewajiban menjamin keadilan sosial, mewujudkan kesejahteraan umum, dan mencerdasakan bangsa. 2

Pasca perubahan UUD 1945, untuk melaksanakan roda pemerintahan, terdapat

6 lembaga negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yakni presiden, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), MA (Mahkamah Agung), dan MK (Mahkamah Konstitusi). MPR mempunyai wewenag untuk menetapkan dan mengubah UUD. DPR bertugas untuk membentuk UU, fungsi DPR antara lain, yakni sebagai legislasi, anggaran, pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara. DPD berfungsi untuk mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, dan RUU lain yang berkaitan dengan kepentingan daerah. BPK memiliki kewenangan mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD), serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR agar ditindak lanjuti oleh para penegak hukum. Sedangkan kekuasaan presiden terdapat pada lembaga eksekutif. MA memiliki kewenangan sebagai penyelenggara peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. MA membawahi beberapa badan peradilan seperti Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Terakhir, adalah MK, berfungsi untuk menjaga kemurnian konstitusi.

2 Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi (Jakarta: Grafindo Pesada, 20140, hlm. 59

Hakim konstitusi terdiri atas 9 orang yang diajukan oleh masing-masing MK, DPR, dan pemerintah, dan ditetapkan oleh presiden. MK mempunyai wewenang antara lain menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa pemilu, dan lain- lain. 3 lembaga-lembaga di atas mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Segala urusan yang berkaitan dengan rakyat Indonesia diatur secara langsung maupun tidak langsung oleh lembaga-lembaga di atas. Jika diperhatikan, terlepas dari adanya perbedaan, sistem pemerintahan Indonesia tidak jauh berbeda dengan sistem-sistem pemerintahan dalam sejarah Islam yang telah penulis sebutkan dibagian terdahulu, yakni sama- sama ingin membentuk tatanan sosial masyarakat yang sejahtera, melalui pemerintahan.

Menurut Azhary, negara Indonesia merupakan negara hukum yang dirumuskan berdasarkan hukum. Unsur-unsur pembentuknya yakni pancasila; kedualatan rakyat; sistem konstitusi; persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bagi setiap warga negara; dan kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain. Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan cita-cita pancasila yakni Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makamur. Tujuannya yakni, 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

3 Radis Bastian, Buku Pintar terlengkap, Sistem-Sistem Pemerintahan Sedunia (Yogyakarta: Ircisod, 2015), hlm. 102-105

Indonesia; 2) memajukan kesejahteraan umum; 3) mencerdaskan kehidupann bangsa;

4) ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaannya, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 4 Disebabkan prinsip negara Indonesia

berdasarkan hukum, maka segala urusan rakyat Indonesia diatur dalam setiap UU, peraturan, permen, ataupun statuta yang ada. UU terus mengalami perkembangan dan bertambah seiring munculnya persoalan yang belum terbahas dalam UU. Dalam hal ini tidak terkecuali dalam urusan yang menyinggung agama, termasuk urusan perkawinan di Indonesia.

B. Fenomena Praktik Perkawinan Muslim Indonesia

1. Perkawinan di Indonesia: Tinjauan Fikih Munakahat dan Hukum Positif Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fikih disebut dalam dua kata,

yakni 5 nika>h ( حبكَ) dan zawa>j (جاوز). Dalam Alquran, kata ‚nikah‛ disebut sebanyak

23 kali, yang berarti berhimpun. Sedangkan kata ‚zawaja‛ disebut sebanyak 80 kali yang berarti berpasangan. Kata nikah berasal dari bahasa Arab yang berarti kawin.

Secara etimologi nikah berarti bercampur. 6 Sebagaimana diungkap oleh Mandailing, dalam sejarah Islam, berbagai mazhab juga telah mendefinisikan tentang

4 Azhary, Negara Hukum Indonesia (Jakarta: UI Press, 1995), hlm. 153 5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Pranada Media, 2006), hlm. 35 6 Taufik Mandailing, Good Married (Yogyakarta: Idea Press, 2013), hlm. 6 4 Azhary, Negara Hukum Indonesia (Jakarta: UI Press, 1995), hlm. 153 5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Pranada Media, 2006), hlm. 35 6 Taufik Mandailing, Good Married (Yogyakarta: Idea Press, 2013), hlm. 6

ikatan kuat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membina keluarga yang bahagia dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama. Sedangkan dalam UU. No. 1 tahun 1974 bahwa definisi perkawinan adalah ‚ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa‛. Menurut Ahmad Atabik definisi tersebut sejalan dengan hukum

pernikahan dalam fikih. 8

Fikih munakahat, sebagai salah satu bab dari fikih Islam, merupakan suatu aturan yang diformalisasikan dari Alquran dan harus dijalankan dalam kehiduapan. Untuk melangsungkan pernikahan, terdapat lima faktor yang harus dipenuhi, yakni

1) akad, 2) wali nikah, 3) saksi, 4) calon suami, dan 5) calon istri. 9 Apabila kelima syarat tersebut sudah terpenuhi dalam prosesi pernikahan maka pernikahan tersebut

sudah bisa dianggap sah dalam pandangan fikih Islam. Terdapat perbedaan antara keabsahan perkawinan antara fikih dan UU

Perkawinan. Sahnya perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 diatur pasal 2

7 Taufik Mandailing, Good Married, hlm. 7 8 Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum ‚ Islam‛ dalam jurnal Yudisia , Vol. 5, No. 2, Desember 2014, hlm. 290

9 Nasaruddin Latif, Cermin Perkawinan dan Problematika Keluarga (Jakarta: Warsif Watampone, 2011), hlm. 5

dalam kedua ayatnya yakni (1) perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan adalah apabila dilakukan dengan aturan masing-masing agama dan kepercayaannya dan harus didaftarkan bagi yang beragama Islam ke P3 NTR menurut UU No. 32 Tahun 1974. Sedangkan bagi non-Muslim didaftarkan kepada pegawai pencatat perkawinan Kantor Catatan Sipil. 10 Perbedaan antara fikih munakahat dan hukum positif yakni terletak pada pencatatan perkawinan. Fikih munakahat tidak mengatur adannya pencatatan, sedangkan negara melalui UU no. 1 tahun 1974 tersebut mewajibkan pencatatan. Dalam hal ini terdapat dua kiblat acuan perkawinan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena terdapat sistem yang berbeda antara sistem dalam tradisi Islam dengan sistem Indonesia sebagai negara hukum. Pemberlakuan UU tersebut kemudian menuai beberapa masalah dalam perkawinan Islam di Indonesia. Selanjutnya akan dijelaskan problematika perkawinan.

2. Problematika UU Perkawinan di Indonesia Menurut Aristoni dan Junaidi, sejak ditetapkan UU Perkawinan No. 1 tahun

1974 hingga hari ini masih terdapat beberapa persoalan dalam realisasinya. Persoalan tersebut muncul dari segi materil UU maupun dari kesadaran masyarakat. Pertama, problem ketentuan keabsahan suatu perkawinan. Kedua, tentang

10 Wasman dan Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Perbandingan Fikih dan Hukum Positif (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 46 10 Wasman dan Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Perbandingan Fikih dan Hukum Positif (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 46

terjadi yakni persoalan nomer dua dan tiga, keduanya saling berkaitan. Praktik nikah sirri telah ada dalam sejarah Islam. Kata ‚sirri‛ menurut bahasa,

merupakan serapan dari bahasa Arab ‚israr‛ yang bermakna rahasia. Nikah sirri bisa diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan. Definisi tersebut mengalami perubahan

sesuai dengan konteks yang terjadi. Terdapat dua definisi nikah sirri dalam literatur fikih. Pertama, nikah sirri yang dimaknai sebagai pernikahan yang tanpa wali dan saksi. Kedua, nikah sirri yang dimaknai sebagai pernikahan yang dihadiri wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak mengumumkan kepada masyarakat luas. Imam Syafi’i tidak memperbolehkan pernikahan model pertama maupun model

kedua. 12 Definisi-definisi tersebut berbeda dengan definisi hukum positif di Indonesia.

Rohmawati menyatakan bahwa khalifah ‘Umar bin Khat}t}ab pernah mengancam pelaku praktik nikah sirri dengan hukuman had. Para ulama menyatakan bahwa pernikahan yang tidak diumumkan hukumnya makruh. Sayyid Sabik menyatakan bahwa Islam mensunnahkan perayaan perkawinan agar terhindar dari nikah secara sembunyi. Mazhab Maliki dan sebagian ulama mazhab Hanbali

11 Aristoni dan Junaidi Abdullah, ‚4 Dekade Hukum Perkawinan di Indonesia: Menelisik Problematika Hukum dalam Perkawinan di Era Modernisasi‛, dalam Jurnal Yudisia , vol. 7, no. 1, Juni

2016, hlm. 87-95 12 Rohmawati, Perspektif Ulama Tulungagung tentang Nikah Sirri , (Yogyakarta: Lingkar Media, 2015), hlm. 25-26

menyatakan bahwa pernikahan yang tidak diumumkan kepada khalayak umum makan hukumnya tidak sah dengan mengacu kepada hadis riwayat Ibnu Majah yang menyatakan ‚pembeda antara yang halal dan yang haram dalam pernikahan adalah bunyi rebana dan suara perayaan‛. Hadis tersebut merupakan perintah kepada setiap orang yang hendak melangsungkan pernikahan agar merayakan, kendati secara sederhana. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim juga menginformasikan untuk mengumumkan perkawinan. Menurut Rohmawati, tidak bisa dipungkiri bahwa pada masa Nabi Muhammad dan periode awal Islam pencatatan perkawinan sebagai bukti tertulis berlangsungnya sebuah pernikahan belum dilakukan. 13 Donna Kahfi dalam

tulisannya yang berjudul ‚Nikah Sirri dalam Pespektif Hadis‛ menyatakan bahwa tidak terdapat perintah langsung dalam hadis untuk melakukan pencatatan pernikahan, tetapi apabila dua saksi dalam pernikahan belum cukup mengatasi persoalan yang muncul dikemudian hari, maka melakukan pencatatan pernikahan merupakan sebuah kebutuhan demi kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat

(maqa>s}id al-syari@’ah). 14

Menurut Irwan, mayoritas fuqaha> yang terdiri dari Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa nikah sirri hukumnya sah dan boleh. Berbeda halnya dengan pendapat Ibn Hazm, Ibn Munzi@r, dan Dawu>d al-Dahiri@ yang menilai bahwa nikah sirri hukumnya makruh. Ibn Qudamah meriwayatkan bahwa ‘Umar bin

13 Rohmawati, Perspektif Ulama Tulungagung tentang Nikah Sirri, hlm. 27-28 14 Donna Kahfi, ‚Nikah Sirri dalam Pespektif Hadis‛, dalam jurnal Musawa, Vol. 12 No 1 Januari 2013, hlm. 33 dan 39

Khat}t}ab, ‘Urwah, dan sejumlah sahabat Nabi juga memakruhkannya. 15 Mengacu kepada definisi, bahwa nikah sirri bahwa nikah yang tidak diumumkan terhadap

khalayak umum, mayoritas ulama periode awal dan pertengahan Islam berpendapat tidak sah dan makruh.

‘Ali al-Harawi@, guru besar Fikih dan Ushul Fikih, menyatakan bahwa nikah tidak resmi atau tidak tercatat mempunyai 5 bentuk. Pertama, pernikahan yang

dilaksanakan tanpa wali, saksi, dan tidak tercatatkan secara resmi. Mayoritas ulama berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak sah. Kedua, pernikahan yang dilaksanakan tanpa saksi dan pencatatan resmi. Mayoritas ahli fikih berpendapat bahwa pernikahan semacam ini tidak sah. Ketiga, pernikahan yang dilaksanakan tanpa wali dan petugas pencatat resmi. Pernikahan semacam ini tidak sah, karena tidak memenuhi aturan perwalian. Keempat, pernikahan yang dilaksanakan dan dihadiri oleh mempelai, saksi, dicatatkan sesuai dengan adat, dan tidak dicatatkan secara resmi. Kelima, pernikahan yang dihadiri oleh mempelai, wali, saksi, dan tidak tercatat secara adat maupun resmi. Menurut al-Harawi@, pernikahan dengan model 4

dan 5 hukumnya tidak sah. 16 Menurut Effi Setiawati, pengertian nikah sirri ialah pernikahan yang

dinyatakan sah secara ketentuan agama Islam tetapi pernikahan ini tidak diawasi

15 Irwan Masduqi, ‚Nikah Sirri dan Istbat Nikah dalam Pandangan Lembaga Bahtsul Masail PWNU Yogyakarta‛, dalam jurnal Musawa Vol. 12 No 2 Juli 2013, hlm. 189 16

Irwan Masduqi, ‚Nikah Sirri dan Istbat Nikah dalam Pandangan Lembaga Bahtsul Masail PWNU Yogyakarta‛ , hlm. 190 dan 198.

atau tidak tercatat oleh pejabat yang berwewenang. 17 Oleh karena itu, menurut peneliti, dilarangnya nikah sirri oleh kalangan ulama awal, pertengahan, maupun

kontemporer guna untuk mencegah kejadian-kejadian negatif yang timbul dari pernikahan tersebut. Hal ini selaras dengan maksud UU no. 1 tahun 1974. Menurut Dadi Nurhaedi, pencatatan pernikahan tersebut merupakan administratif. Pencatatan dalam bentuk akta nikah bertujuan untuk membantu menjaga dan memecahkan berbagai persoalan yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pernikahan. 18

Nikah sirri banyak menimbulkan masalah bagi perempuan yang menjalaninya. Berbagai masalah seperti suami mudah poligami, tidak memberikan nafkah, mudah menyangkal anak yang telah dihasilkan bersama, dan jika terjadi perceraian, maka

penyelasian harta bersama menjadi tidak jelas. 19 Tidak bagi perempuan saja, nikah sirri juga menyulitkan bagi akses bagi keduanya. Habiburrahman menyebutkan

bahwa pada bulan Maret 2011, DPRD Mandar, Sulawesi menyatakan terdapat 3936 pasangan suami isteri yang tidak mempunyai bukti nikah. Dampaknya yakni kasus rumah tangga tidak dilayani, meminta akte kelahiran untuk anak tidak dilayani, menginap di hotel ditanya mana bukti nikahnya, berangkat ibadah haji tidak dianggap bersama suami- istri dan lain sebagainya. Demikian juga yang menjadi keprihatinan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Malaysia, sebanyak 4316

17 Effi Setiawati, Nikah Sirri Tersesat di Jalan yang Benar? (Bandung: Eja Insani, 2005), hlm. 6 18 Dadi Nurhaedi, Nikah di Bawah Tangan (Yogyakarta: Saujana, 2003), hlm. 18 19 Effi Setiawati, Nikah Sirri Tersesat di Jalan yang Benar, hlm. 6 17 Effi Setiawati, Nikah Sirri Tersesat di Jalan yang Benar? (Bandung: Eja Insani, 2005), hlm. 6 18 Dadi Nurhaedi, Nikah di Bawah Tangan (Yogyakarta: Saujana, 2003), hlm. 18 19 Effi Setiawati, Nikah Sirri Tersesat di Jalan yang Benar, hlm. 6

yaitu: 1) pengakuan anak, 2) nafkah anak jika terjadi perceraian, dan 2) kekerasan dalam rumah tangga. 21 Penelitian yang dilakukan oleh Mujiati terhadap praktik

nikah sirri di Kudus, mengungkap bahwa praktik nikah sirri dilakukan disebabkan karena sulitnya seorang suami mendapat izin untuk poligami, maka lebih memilih nikah sirri sebagai jalan keluarnya. Ia juga menyimpulkan bahwa nikah siri membawa dampak dan sangat merugikan bagi istri dan anak-anaknya, kedua pihak juga mendapatkan gunjingan dari masyarakat sekitar, akhirnya malu bersosialisasi dengan masyarakat, dan bagi anak dapat berdampak pada psikologi dan kehidupan

sosialnya. 22 Dari penelitian-penelitian di atas, penulis menyimpulkan bahwa nikah sirri hanya berdampak negatif dan menimbulkan persoalan baru.

C. Makna Kontekstual U<li@ al-Amr dan Tren Ketentuan Perkawinan di Indonesia

Term u>li@ al-amr dalam pandangan penerima pertama menunjuk terhadap pemimpin-pemimpin suku atau pemimpin perang sariyah. Kemudian pemaknaan terhadap term tersebut mengalami transformasi sedemikian rupa seiring dengan

20 Habiburrahman, ‚Permasalahan Hukum Perkawinan dalam Praktik Pengadilan Agama‚ disampaikan pada Rakernas Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indoensia pada 18-22

September, 2011. Makalah Tidak diterbitkan. 21 Khoirul Hidayah, ‚Persoalan Hukum Perempuan Rembang Akibat Praktik Nikah Sirri‛, dalam jurnal

de Jure , Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 3 Nomor 1, Juni 2011, hlm.86-97 22 Mujiati, ‚Nikah Siri dan Implikasinya Dalam Kehidupan Sosial Di Desa Ngaringan Klumpit Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus‛Skripsi Jurusan Ilmu Hukum dan Kwarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Semarang, 2011, hlm. 109-110 de Jure , Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 3 Nomor 1, Juni 2011, hlm.86-97 22 Mujiati, ‚Nikah Siri dan Implikasinya Dalam Kehidupan Sosial Di Desa Ngaringan Klumpit Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus‛Skripsi Jurusan Ilmu Hukum dan Kwarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Semarang, 2011, hlm. 109-110

Berbeda pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, ketika pemikiran ketatanegaraan mulai dibentuk sedemikian rupa, pada saat yang sama, para mufasir juga memasukkan kata fuqaha>’, hakim, ataupun qa>d}i sebagai tafsir terhadap term u>li@ al-amr. Begitu juga pada masa Dinasti Turki Usmani, mufasir juga menyebut kata sultan sebagai tafsir terhadap term tersebut. Tidak hanya sampai di era monarki Islam, di era demokrasi saat ini, mufasir juga menyebutkan pemerintah legislatif atau eksekutif sebagai tafsir daripada term u>li@ al-amr dalam Alquran. Berikut gambar tren penafsiran terhadap u>li@ al-amr:

Gambar 1

Oleh karena itu, penafsiran terhadap term u>li@ al-amr dalam sejarah Islam, mulai dari umara>’ sariyah di era Nabi hingga pemerintah di era demokrasi adalah proses kontekstualisasi dan formalisasi. Kontektualisasi tafsir terhadap term tersebut terjadi dalam sepanjang sejarah Islam. Kontekstualisasi tersebut seiring dengan kondisi pemikiran ketetanegaraan yang ada. Maka dari itu, bisa dikatakan bahwa hal ini merupakan proses formalisasi. Sebagaimana penulis sebutkan di awal, ayat QS. Al-Nisa>’: 59 dan 83 berbicara tentang mekanisme bagaimana menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat. Dalam QS. Al-Nisa>’: 59 dan

83, Allah memerintahkan kepada umat Islam agar taat dan menyerahkan persoalan masyarakat kepada u>li@ al-amr. Proses formalisasi sebagaimana di atas juga terjadi dalam ketentuan penikahan di Indonesia. Oleh karena itu, sejarah terbentuknya ketentuan pernikahan dalam Islam hingga menjadi UU perkawinan Indonesia menjadi penting untuk dipaparkan di sini.

Dalam sejarah Islam, perkawinan diatur oleh ulama di berbagai mazhab fikih. Para khalifah dan para qa>d}i memutuskan perkara dengan mengacu terhadap kitab- kitab fikih. Oleh karena itu, pernikahan sirri di era klasik dan pertengahan dimaknai dengan perkawinan yang tanpa saksi dan tidak diumumkan kepada masyakarat luas. Mayoritas ulama berpendapat bahwa pernikahan semacam itu tidak sah. Adanya anjuran-anjuran nabi Muhammad untuk mengumumkan atau merayakan sebuah pernikahan bermaksud agar masyarakat luas mengetahui status sebuah pernikahan. Dengan merayakan pernikahan, mempelai akan terhindar dari fitnah-fitnah Dalam sejarah Islam, perkawinan diatur oleh ulama di berbagai mazhab fikih. Para khalifah dan para qa>d}i memutuskan perkara dengan mengacu terhadap kitab- kitab fikih. Oleh karena itu, pernikahan sirri di era klasik dan pertengahan dimaknai dengan perkawinan yang tanpa saksi dan tidak diumumkan kepada masyakarat luas. Mayoritas ulama berpendapat bahwa pernikahan semacam itu tidak sah. Adanya anjuran-anjuran nabi Muhammad untuk mengumumkan atau merayakan sebuah pernikahan bermaksud agar masyarakat luas mengetahui status sebuah pernikahan. Dengan merayakan pernikahan, mempelai akan terhindar dari fitnah-fitnah

Di Indonesia, keberadaan UU perkawinan telah lama diinginkan oleh masyakarat Indonesia, khususnya para pejuang kaum perempuan Indonesia. Sejak zaman kolonial UU tersebut sudah diinginkan atas penentangan terhadap sistem poligami. Pada saat Indonesia merdeka, peraturan hukum perkawinan masih memberlakukan hukum pemerintah Kolonial Belanda. Hukum perkawinan yang berlaku pada saat itu di antaranya ialah 1) Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum Adat. 2) Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam (fikih munakahat). 3) Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI). 4) Bagi warga Negara keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW). 5) Bagi perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR.

Setelah Indonesia merdeka, terbentuklah UU No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. Namun hal ini dinilai masih belum menampung seluruh aspirasi kaum perempuan dalam hal rumah tangga. Kisaran tahun 1950-1960 sejumlah organisasi perempuan mendesak agar negara segera melakukan perbaikan dan revisi terutama dalam masalah poligami. Pada tanggal 31 Juli 1973, pemerintah Setelah Indonesia merdeka, terbentuklah UU No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. Namun hal ini dinilai masih belum menampung seluruh aspirasi kaum perempuan dalam hal rumah tangga. Kisaran tahun 1950-1960 sejumlah organisasi perempuan mendesak agar negara segera melakukan perbaikan dan revisi terutama dalam masalah poligami. Pada tanggal 31 Juli 1973, pemerintah

Menurut Katz, perubahan sosial yang terkadung dalam UU. No. 1. Tahun 1974 adalah pertama, tentang perceraian. Sebelum ditetapkan UU perkawinan, sistem

perkawinan Islam di Indonesia mayoritas merujuk terhadap fikih klasik. Perceraian dalam sistem fikih klasik sangat mudah dilakukan oleh suami dan sangat sulit bagi seorang istri. Dengan adanya UU perkawinan 1974 tersebut, persoalan perceraian diatur dengan seadil-adilnya, baik suami maupun istri boleh mengajukan perceraian

kepada Pengadilan dengan memberikan alasan-alasan kenapa harus bercerai. 24 Kedua, ketentuan poligami. Sebelum disahkannya UU Perkawinan, seseorang

yang poligami hanya perlu melaporkan perkawinan barunya kepada pencatat, tetapi peraturan poligami dalam UU Perkawinan 1974 mengharuskan seseorang yang

hendak berpoligami mendapatkan ijin secara formal dari pengadilan. 25 Dalam UU no. 1 tahun 1974 pasal 3, pasal 4, dan pasal 65 dirumuskan syarat alternatif dan

23 Ahmad Rifai, Ibnu Sodiq, Abdul Muntholib, ‚Sejarah Undang-Undang Perkawinan Atas Pendapat Hingga Pertentangan dari Masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 1973-1974‛,

dalam journal of Indonesian History 4 (1) (2015), hlm. 1-9

24 June S. Katz and Ronald S. Katz, "Legislating Social Change in a Developing Country: The New Indonesian Marriage Law Revisited, hlm. 309-310

25 June S. Katz and Ronald S. Katz, "Legislating Social Change in a Developing Country: The New Indonesian Marriage Law Revisited, hlm. 311 25 June S. Katz and Ronald S. Katz, "Legislating Social Change in a Developing Country: The New Indonesian Marriage Law Revisited, hlm. 311

Ketiga, yakni penetapan umur minimal. 27 Hal ini berhubungan dengan perarturan UU perkawinan 1974 yang menyatakan bahwa umur minimal nikah bagi

laki-laki adalah 19 dan 16 bagi perempuan. Keempat , yakni pencatatan perkawinan. 28 Pencatatan perkawinan ini diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU. No. 1

tahun 1974. Menurut Rachmadi Usman, pencatatan perkawinan yang dimaksud di sini adalah setiap perkawinan yang berada di Indonesia harus dilaporkan kepada pihak pemerintah yang bersangkutan. Pencatatan sipil bertujuan untuk menyatakan hal-hal yang menyangkut status seseorang. Oleh karena itu, peristiwa-peristiwa penting dalam hidup seseorang seperti, kelahiran, kematian, perkawinan, dinyatakan dalam daftar atau surat-surat keterangan yang dikeluarkan oleh pihak pencatatan sipil. Prinsip pencatatan perkawinan bertujuan untuk, a) tertib administrasi perkawinan; b) memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status hukum suami, istri dan anak, c) memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbil karena perkawinan seperti hak waris, hak memperoleh akta kelahiran, dan lain-lain. Hal senada juga disampaikan oleh Dewan Perwakilan

26 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan tidak Dicatat (Jakarta: Pena Grafika, 2010), hlm. 40 27 June S. Katz and Ronald S. Katz, "Legislating Social Change in a Developing Country: The New Indonesian Marriage Law Revisited, hlm. 314 28 June S. Katz and Ronald S. Katz, "Legislating Social Change in a Developing Country: The New Indonesian Marriage Law Revisited, hlm. 313

Rakyat (DPR) dalam uji UU perkawinan. DPR menyatakan bahwa untuk menjamin hak-hak keperdataan dan kewajibannya yang timbul dari akibat perkawinan yang sah maka setiap perkawinan perlu dilakukan pencatatan. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan merupakan kebutuhan formal untuk legalitas dari sebuah kejadian. Pencatatan perkawinan ini berbentuk akta perkawinan atau akta nikah. 29

Sejak terbentuknya Peradilan Agama yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum keluarga, maka muncullah gagasan

penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Gagasan tersebut sebagai upaya dalam rangka mencari pola fikih khas Indonesia. Sumber rujukan dalam penyusunan KHI di antaranya ialah hukum positif seperti UU Perkawinan No. 1, Tahun 1974, kitab-

kitab fikih, dan hukum adat. 30 Sehingga terbentuklah ketentuan perkawinan versi fikih Indonesia. Dari sejarah panjang aturan perkawinan di Indonesia, maka dapat

disimpulkan bahwa ketentuan perkawinan di Indonesia juga terjadi proses formalisasi dan kebutuhan konteks. Ketentuan pernikahan di Indonesia pada awalnya hanya menggunakan sistem fikih munakahat klasik, kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1946, UU. No. 1 Tahun 1974, dan disusul dengan KHI. Lebih jelasnya perhatikan gambar berikut:

29 Rachmadi Usman, ‚M akna Pencatatan Perkawinan dalam Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia‛ dalam jurnal Legislasi Indonesia Vol. 14 No. 03 - September 2017, hlm.

255-274 30 Hikmatullah, ‚Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia‛ dalam jurnal Ajudikasi Vol 1 No 2 Desember 2017, hlm. 39-52

Gambar 2

Oleh karena itu, mengikuti tren penafsiran u>li@ al-amr dan tren ketentuan perkawinan dalam sejarah Islam dan di Indonesia , seharusnya masyarakat Indonesia mengikuti ketentuan perkawinan yang diatur dalam UU. No. 1 1974. Hal ini disebabkan adanya keselarasan antar keduanya, yakni sama-sama proses formalisasi dan spirit kebutuhan konteks. Perayaan perkawinan yang dianjurkan oleh Nabi merupakan sebuah kegiatan untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat terhadap status kedua mempelai. Dalam konteks saat ini, saksi dan perayaan perkawinan tersebut sejalan dengan spirit pencatatan perkawinan di Indonesia yang menghendaki pengakuan atas sebuah pernikahan. Dengan melakukan pencatatan perkawinan, seseorang akan mempunyai perlindungan hukum positif yang kuat. Perlindungan hukum tersebut tidak bisa didapat dengan menghadirkan dua saksi seperti di era klasik. Oleh karena itu, ketentuan perkawinan dalam fikih klasik tidak memungkinkan untuk diterapkan dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum.

Maka dari itu, ketika ketentuan perkawinan Muslim di Indonesia resmi diatur oleh pemerintah dalam UU No. 1. Tahun 1974, pada saat yang sama, jika menggunakan tren tersebut, seharusnya masyarakat Indonesia melaksanakan ketentuan UU. No. 1 Tahun 1974 tersebut dan meninggalkan ketentuan fikih klasik karena konteksnya sudah berubah. Dengan demikian, dualisme (baca: pemerintah dan ulama) pemaknaan u>li@ al-amr hilang dan mengembalikan segala persoalan yang menyangkut kemaslahatan masyarakat kepada negara. Termasuk meninggalkan praktik nikah sirri dan melakukan kewajiban pencatatan perkawinan kepada pihak yang diatur oleh negara.