DI AGNOSIS DAN TAT TALAKSAN NA

BAB II DI AGNOSIS DAN TAT TALAKSAN NA

II.1. Dia gnosis

II.1.a. Pe enilaian Risik ko HIV dan D Diagnosis HIV V AIDS pada a Pasien deng gan VHB

Da apat dilihat p pada bab seb belumnya.

Koinfeks si lain

A) harus dilakuka n pada se Ɵa ap pasien de engan koinf eksi HIV dan n hepa ƟƟs B

Sk krining an Ɵb bodi virus he epa ƟƟƐ C (V VHC) dan he epa ƟƟs A (I gG an Ɵbodi ŚĞƉĂƟƟs A

B. Bila ƟĚĂk ditemukan adanya infeksi la ama maka d apat diberik an vaksin vir rus he ƉĂƟƟs s A (VHA). Va aksinasi terh adap virus h hepa ƟƟs

C hingga a saat ini belu um ditemuka an.

II.1.b. Pe enilaian Risik ko VHB dan Diagnosis H epa ƟƟƐ B pa ada Pasien y ang Terinfek ksi HIV

Se emua pasien dengan HIV V dilakukan p pemeriksaan n HBsAg. Pas sien dengan HBsAg posit tif harus dilakuka n pemeriksa aan HBeAg, h hitung jumla h virus DNA VHB, pemer riksaan fungs si ha Ɵ sepert ti enzim transam inase, waktu u protrombin n/ Prothromb bin Ɵme (PT) ), dan tromb bosit. Pemeri iksaan ini dig gunakan untuk m menilai kondi isi ha Ɵ sebe elum terapi d dan juga me enentukan w waktu dimula ainya terapi. . Pasien

dengan HBsAg nega a Ɵf dianjurk kan dilakuka n pemeriksa aan an Ɵbod i HBc dan a an Ɵbodi HBs s untuk menilai ada atau Ɵd dak adanya i nfeksi di ma asa lampau. Pasien deng gan ĂŶƟďodi HBc memili ki risiko mengala ami reak Ɵfas i, khususnya a pada keada aan imunosu presi.

Gambar 2

2.1. Fase fas se infeksi vir us hepa ƟƟs

B kronik

Pemahaman n yang jela s mengena i perjalanan n alamiah infeksi VHB B kronik da an hasil interpret tasi hasil pe meriksaan s serologis VHB B diperlukan n sebelum m memulai tera api. Terdapat t empat fase pad da infeksi VH

B kronik, yai tu:

Fase e imunotole ran Fase e ini ditanda ai dengan k adar DNA V VHB yang Ɵn nggi dengan kadar alani in aminotran nsferase (ALT T) yang norm mal, Fase e imunoklire ens Pad da fase ini te erjadi perlaw wanan terha adap virus o leh sistem i mun, sehing gga terjadi f fluktuasi nila i ALT dan DN NA VHB, Fase e pengidap i nak Ɵf/ Low r replica Ɵve

Fase e ini ditanda ai dengan DN NA VHB yang rendah (<2x x10 3 IU/mL), nilai ALT no ormal dan ke rusakan hat i minimal,

Fase reak fasi Pasien pada fase pengidap inak f dapat mengalami fase reak fasi, dimana DNA VHB kembali

naik mencapai >2x10 3 IU/mL dan i amasi ha kembali terjadi.

II.1.C.Pemeriksaan Virus He

s B (VHB)

A. Pemeriksaan Klinis Untuk Gejala Penyakit

Lanjut

Pemeriksaan klinis untuk gejala adanya penyakit ha sangat diperlukan. Ada atau dak adanya sirosis menjadi kunci untuk strategi pengobatan pada pasien koinfeksi HIV-VHB. Gejala sirosis melipu :

Pembesaran dan perubahan struktur ha , Hipertensi portal (ensefalopa hepa k, perdarahan saluran cerna, dan splenomegali), Terjadinya pelebaran kapiler darah supe sial (spider Ŷaevi), kemerahan pada telapak

tangan (pal ŵar erLJtheŵa), Ikterus, asites, dan edema.

B. Pemeriksaan Tes Serologi dan Molekuler Untuk Status VHB

Pada pasien dengan koinfeksi HIV-VHB, petugas pelayanan kesehatan harus menger dalam menginterpretasi hasil tes serologi dengan demikian akan lebih mudah dalam menentukan terapi yang akan dipilih (tabel 2.2).

Ta ďel 2.2. Interpretasi Tes Serologi Penanda

HBsAg An -HBs An -HBc IgM An HBeAg An -HBe DNA VHB

Total

HBc

Masa Inkubasi -

- - Infeksi Akut

- + Infeksi

-+ + - -± - Lampau

Infeksi Kronik +

Imunisasi -+ - --- -

C. Biopsi

Biopsi ha merupakan pemeriksaan yang sangat ng dalam diagnosis dan tatalaksana pasien dengan infeksi virus hep

s B. Biopsi ha juga berperan pe ng dalam tatalaksana infeksi virus hepa s B pada koinfeksi HIV-VHB. Melalui pemeriksaan biopsi, derajat nekroin amasi yang terjadi pada sel ha dan kekakuan ha dapat diukur. Penjelasan mengenai biopsi ha yang lebih mendalam dapat dilihat pada bab sebelumnya. Pemeriksaan jaringan

menggunakan biopsi ha sulit digunakan untuk pemantauan keberhasilan terapi. Oleh karena hal tersebut, dikembangkan berbagai metode non-invasif yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. Namun, terdapat perbedaan nilai AUC pemeriksaan AST to Platelet

oI ŶĚex (APRI) dan Fibroscan antara koinfeksi HIV-VHC dengan koinfeksi HIV-VHB. Suatu studi meta analisis dilakukan terhadap 9 studi untuk menilai kemampuan skor APRI untuk menilai derajat brosis ha pada pasien dengan koinfeksi HIV- VHB. Studi menunjukkan nilai Area 0,79 and 0,75. Nilai ambang batas 0,5 menunjukkan sensi tas sebesar 84% dan spes sitas sebesar 41%. Nilai ambang batas sebesar 1,5 menurunkan sensi tas sebesar 49% dan meningkatkan spesi sitas sebesar 84%. Nilai Area penggunaan skor APRI belum dapat menggan kan teknik biopsi

sepenuhnya. 13 Meskipun metode di atas belum dapat menggan kan biopsi ha , elastogra transien (ET) banyak digunakan dalam diagnosis dan pemantauan derajat brosis ha pada pasien hepa sB sepenuhnya. 13 Meskipun metode di atas belum dapat menggan kan biopsi ha , elastogra transien (ET) banyak digunakan dalam diagnosis dan pemantauan derajat brosis ha pada pasien hepa sB

C karena m emiliki sensi i tas, spesi sitas, maup pun Area Un der the Curv ve (AUC) yan g cukup baik. Se elain itu, pe meriksaan i ni bersifat non-invasif dan dak m memerlukan waktu yan g lama, sehingga a lebih mud ah digunaka an untuk me emantau de erajat brosi is ha pada pasien hep p

sB maupun

C yang men ndapatkan ta atalaksana a n virus. Me kanisme pem meriksaan ET T dapat dilih hat pada bab sebe elumnya me mbahas koin nfeksi HIV da an VHC. Se elain pada pa asien dengan n monoinfek si hepa sB B dan hepa s C, penggu unaan ET jug ga dapat diterapk kan pada pas sien koinfeks si HIV dan V VHB. Studi ya ang dilakuka an terhadap

62 pasien k koinfeksi HIV dan n VHB dilak ukan untuk membandi ngkan kema ampuan diag gnos k ET dengan bio psi ha sebagai standar bak u emas. Has sil peneli an menunjukk an nilai AUC C yang baik u untuk se ap derajat

ha , di man a nilai AURO OC untuk F 2 sebesar 0, ,85, F 3 seb esar 0,92, d an F4 sebes ar 0,96. Nilai opt timal untuk s s ap deraja at brosis ( F F2, F3, dan F4) berturut t-turut sebes sar 5,9; 7,6; d dan 9,3. Sensi t tas untuk se e p deraja at brosis m menggunakan n ET juga b baik, dengan n nilai untuk k se ap

brosis

derajat f fibrosis bertu urut-turut ad dalah 81%, 8 5%, dan 92% %. 14

Se elain pemer riksaan di a atas, diperl ukan peme eriksaan lain n untuk m enilai progr resivitas kerusaka an h . Dipe erlukan peme eriksaan

k dan labora k torium yang g menyeluruh h untuk men nilai ada atau

aknya sirosis a s, selain pem meriksaan bi iopsi. Pengh itungan skor r Child Pugh h dapat dilih at pada bab sebe elumnya.

D. Evaluasi Kom morbid

Dapat di ilihat pada b ab sebelumn nya.

II.2. Tata alaksana Pas sien Koinfek si He

B dan HIV

Tu ujuan tatala aksana pada a pasien k koinfeksi HI V-VHB ada lah menuru unkan prog resi Įtas berkemb bangnya si rosis, men cegah dek ompensasi

ha , men ncegah terj jadinya kar rsinoma hepatose elular. Targ et terapi ko oinfeksi HIV V-VHB adala ah menekan n secara e sien dan p ersisten replikasi VHB dan m menghen ka an progresifi itas penyaki t, baik kom plikasi maup pun kema a an yang terkait p penyakit hati i.

15, 16 Terapi an virus un ntuk infeksi v virus hepa t tis B kronik p pada pasien dengan koinfeks si HIV dan VH HB dilakukan n terus men erus seumu r hidup. 16 Ha al ini diseba bkan karena a pasien

dengan koinfeksi HI

V dan VHB hanya mem miliki kemung gkinan kecil untuk meng galami serok konversi

HBsAg d an munculny ya an bodi H HBs. 16

Beberap pa obat mem miliki ak vitas s an HIV da n VHB. Hal in ni dapat dilih hat pada ske ma berikut:

Pemberi ian entecavi ir pada pasi en HIV den gan infeksi VHB kronik yang dak mendapatk kan ARV dapat m memicu mut tasi M184V yang akhirn nya menyeb babkan resis stensi terha dap lamivud din dan

B dan HIV di indikasikan, pilihan peng gobatan VHB B adalah dengan menggunak kan tenofovi ir dengan k kombinasi la amivudin ata au emtricita abin. 6-8, 15, 16 6 Apabila terjadi r resistensi la amivudin, re egimen tera api an -HIV harus dita mbah deng gan tenofov ir, atau menggan n salah sat u NRTI deng gan tenofovi

emtricita abin. 6 Pada p pasien denga an terapi VH

r. 15, 17 Pembe erian tenofo ovir pada koi infeksi VHB d dan HIV memiliki i hasil yang c cukup baik, dengan sup resi VHB DN NA >90%, hila angnya HBeA Ag pada 46% % kasus,

dan hila angnya HBsA Ag sebesar 12% pada kasus HBsA Ag posi f se etelah terap i selama 5 tahun. 8

Penggu unaan obat i ni Ɵdak bole eh dihen Ɵka n, karena ob bat obat ter sebut merup pakan ARV y yang juga memili ki efek an Ɵ virus terhad dap VHB, se ehingga pen nghen Ɵan ob bat tersebut t memicu te erjadinya kerusak kan hepatos selular akiba at reak

Ɵfasi. 6 Apabila ol eh karena s sesuatu sehi ngga tenofo ovir ƟĚĂk dapat d digunakan, a alterna Ɵf te rapi yang d irekomenda si adalah m enggunakan n entecavir d ditambah

dengan n ĂŶƟretrovi iral yang akt tif menekan n replikasi V VHB atau mo onoterapi pe eg IFN atau adefovir dikomb binasi denga an lamivudin n atau emtr icitabin atau u telbivudin ditambah d dengan an Ɵr retroviral yang ju uga ak ƟĨ men nekan replika asi VHB. 6

P Penggunaan telbivudin p pada terapi koinfeksi HB BV dan HIV termasuk di i dalam reko omendasi yang d dianjurkan o leh (Americ an Associati ion for the Study of Li ver Diseases s) AASLD, (E European Associa a Ɵon of Sino ological Libra arians) EASL, namun pen neli Ɵan in vit tro yang dila akukan oleh Lin et al. menun jukkan rend dahnya ak Ɵfi itas telbivud din terhadap p HIV, sehing gga memun gkinkan pen nggunaan obat in i pada pasie n HIV denga n risiko yang g rendah aka an munculny a resistensi H HIV. Akan tet tapi Low, et al. m melaporkan h hal sebalikny ya, dimana te erdapat pasie en dengan n nilai RNA HIV V yang renda h setelah terapi k kombinasi ad defovir dan telbivudin. N Nilai ini melo onjak segera a setelah pen nghen Ɵan te elbivudin, sehingg ga dipikirkan n mungkin te lbivudin mem miliki peran dalam terap pi HIV. 18

Peneli P Ɵan la ain dilakukan n oleh Mila azzo et al. t terhadap 3 pasien koin nfeksi HIV V VHB yang menda patkan mon noterapi telb bivudin selam ma 6 bulan. Hasil pene li Ɵan menun njukkan kem mampuan telbivu din yang cu ukup baik te erhadap viru us hepa ƟƟƐ

B dan ƟĚak k adanya ak k Ɵvitas terha adap HIV maupu n resistensi g geno Ɵpik te rhadap obat ARV yang te erjadi. 19 Pasien dapat P t berada dal am kondisi d dengan nilai i DNA VHB d dan an Ɵ HBc c posi Ɵf sert a derajat nekroin n ŇĂmasi yan ng ƟŶggi, na amun HBsAg g Ɵdak terde eteksi. Kond disi ini diseb but occult V HB. Oleh karena itu, diperlu kan pemerik ksaan HBsAg g dan an ƟH BC, dan hitu ung muatan virus DNA V VHB pada seluruh h pasien den ngan HIV. P Pasien denga an seluruh h hasil pemeri ksaan negat tif, dianjurka an untuk

menda patkan vaksi inasi hepa tis B, dengan kondisi nila i CD4 lebih d dari 200 sel/m mm 3 Ɵt . Pandua an susunan t atalaksana d dapat dilihat pada gamba ar dan tabel di bawah ini : 20

*Saa at ini belum d dilaporkan ke egagalan ter rapi hepa ƟƟs s B dengan te enofovir.TDF F = tenofovir , EFV =

ef favirens, Peg gIFN = pegyla ated interfero on, ADV= ad defovir, LPV/r r = lopinavir/ /ritonavir, 3T TC = lamivudin, , FTC = emtr icitabine, ETV V = entecavi r, LdT = telb ivudine, AZT T = zidovudin

Ta abel 2.5. Dos sis obat an Ɵ retroviral un ntuk remaja dan dewasa a.

Nam ma generik

Dosis

Nuc cleoside reve rse transcrip ptase inhibito or (NRTI)

Emt tricitabin (FT TC)

1 x 200 0 mg

Lam mivudin (3TC

2 x 150 0 mg atau 1 x x 300 mg

Nuc cleo Ɵde rever rse transcrip ptase inhibito or (NtRTI)

Ten ofovir (TDF) )

1 x 300 0 mg

Ade efovir (ADV)

1 x 10 mg

Non n nucleoside reverse tran nscriptase inh hibitor (NNR TI)

Efav virenz (EFV)

1 x 600 0 mg

Target terap T pi dalam pen ngobatan ko infeksi HIV V VHB adalah kadar DNA V VHB kurang dari 60 IU/mL (< <300 kopi/m mL) setelah p pengobatan selama 24 m minggu dan selama mon nitor selang 6 bulan DNA VH B Ɵdak terde eteksi.

2.3. Inte eraksi Obat

Be erikut adala h tabel yan g menunjuk kkan berbag gai interaksi obat NRTI (nucleoside reverse transcrip ptase inhibito ors) dengan obat lainnya a:

Tabel 2

2.6. Interaksi antar obat h hep ĂƟƟs B d an HIV Adefovir

Telbiv vudin

Peg inter rferon alfa

Obat Hep p ĂƟƟs B

Adefovir Telbivudi n PEG inter rferon alfa

HIV NRTI

Tenofovir r Zidovudin n

Lamivudin n Abacavir

N/A

Emtricitab bin

N/A

HIV NNRT TI

Efavirenz

N/A

Nevirapin n

N/A

HIV PI

Lopinavi ir

N/A

Ritonavi ir

Opioid

Metado n

N/A A N/A

=k kedua obat t tidak boleh d diberikan ber rsama (ada b buk Ɵ klinis da an/atau tert ulis di label) = kedua obat ƟĚĂŬ boleh h diberikan bersama (s secara teorit tis, belum a ada ďƵŬƟ kli inis/ Ɵdak

t tertulis di lab bel) =m mungkin terj adi interaksi i; perlu pem mantauan ket tat, pengatu ran dosis at au perubaha an waktu pemberian o p obat ( (ada buk Ɵ kli inis dan/atau u tertulis di l abel)

=m mungkin terj rjadi interaks si; perlu pem mantauan ket tat, pengatu uran dosis at tau perubaha an waktu p pemberian o obat (secara teori ( Ɵs, belum ad da buk Ɵ klini is/ Ɵdak tertu ulis di label)

=t tidak ada int eraksi klinis yang signi Įk kan (ada buk Ɵ klinis) =t tidak ada int eraksi klinis yang signi Įk kan (secara te eori ƟƐ͕ belum m ada buk Ɵ klinis)

N/A = b belum ada d ata Keteran ngan interak ksi:

Adefov vir

Telbivu udin: Pemb berian adefo ovir (10 mg/h hari) Ɵdak m engubah far rmakokine Ɵk k plasma stea ady state telbiv vudin (600 mg/hari), d dan sebalikn nya. Koadm inistrasi ked dua obat di itoleransi deng gan baik. 24

Peg IFN N: Stud i farmakokin ne Ɵk PEG int terferon alfa a menunjukk kan variabili tas yang Ɵn nggi pada pemb berian bersa amaan denga an adefovir; hasil studi i inkonklusif. J Jalur elimina asi kedua obat memang b erbeda nam mun disarank kan monitor r efek samp ing yang leb bih ketat pada a koadminist rasi adefovir r dan PEG IFN N alfa. 25

Tenofo ovir: Tidak k ada peruba ahan farmak okine Ɵk yan g signi Įkan p pada koadm inistrasi ade efovir dan teno fovir. Namun n, keduanya Ɵdak direko omendasikan n untuk diber rikan bersam ma. 25,26

Lamivu udin: Tidak k ada interak ksi ƐŝŐŶŝĮkan n pada koadm ministrasi ad defovir 10 m mg dan lamiv vudin 100 mg. 25 5 Nevirap pin:

Tidak k ada interak ksi signi Įkan pada koadm ministrasi ade efovir 10 mg g dan nevirap pin. 25 Efavire nz:

Tidak k ada interak ksi signi pada koadm ministrasi ade efovir 10 mg g dan efavire nz. Įkan 25 Ritonav vir:

Tidak k ada perbe edaan konse entrasi riton avir yang b bermakna sig gni Įkan ant tara grup terap pi dengan da an tanpa ade efovir. AUC a adefovir ƟĚa ak berbeda s signi Įkan ant tara grup terap pi dengan da an tanpa rito navir. 27

Telbivu udin

Peg IFN N: Uji klinis men unjukkan a adanya pen ningkatan r risiko neuro opa Ɵ perife er pada koad dministrasi t elbivudin da an peg IFN; kedua oba at ini dikont traindikasika an untuk diber rikan bersam maan. 28,29

Adefov vir: Farm makokine Ɵk s steady state e telbivudin Ɵdak berub bah pada ko oadministras i dengan adefo ovir, dan seb baliknya. 24,28

Lamivudin: Studi fase II menunjukkan respon terapi pada kombinasi telbivudin dan lamivudine lebih rendah dibandingkan monoterapi telbivudin. Tidak ada perubahan farmakok ŝŶĞƟŬ yang signi Įkan pada kedua obat, namun keduanya dikontraindikasikan untuk diberikan bersamaan. 24,28

Tenofovir: Farmakokine Ɵk steady state telbivudin ƟĚak berubah pada koadministrasi dengan tenofovir, dan sebaliknya. 28,30

Peg Interferon alfa

Adefovir: Studi farmakokine Ɵk PEG interferon alfa menunjukkan variabilitas yang ƟŶggi pada pemberian bersamaan dengan adefovir; hasil studi inkonklusif. Jalur eliminasi kedua obat memang berbeda namun disarankan monitor efek samping yang lebih ketat pada koadministrasi adefovir dan PEG IFN alfa. 25

Telbivudin: Uji klinis menunjukkan adanya peningkatan risiko neuropa Ɵ perifer pada koadministrasi telbivudin dan peg IFN; kedua obat ini dikontraindikasikan untuk diberikan bersamaan. 28,29

Tenofovir: Telah dilaporkan kejadian gagalha Ɵ pada koinfeksi VHC HIV dengan sirosis dalam pengobatan kombinasi tenofovir dan peg IFN. Monitor gejala gagal ha

Ɵ dan anemia. 30 Zidovudin:

Terdapat risiko signi Įkan terjadinya anemia sehingga pemberian zidovudine bersama peg IFN/RBV

Ɵdak dianjurkan. 30

Stavudin: Insidens pankrea ƟƟs dan asidosis laktat mencapai 3% pada pemberian secara bersamaan dengan peg IFN/RBV. 30

Lamivudin: Tidak ada interaksi farmakokine ƟŬ namun telah dilaporkan kejadian gagal haƟ pada koinfeksi HIV VHC dengan sirosis dalam pengobatan kombinasi lamivudin dan peg IFN. Monitor gejala gagal ha

Ɵ dan anemia. 30

Abacavir: Beberapa studi melaporkan respon terapi peg IFN/RBV berkurang pada pemberian bersama abacavir, namun masih kontradik

Ɵf dengan hasil studi lain. 30 Emtricitabin: Risiko gagal ha Ɵ dilaporkan lebih Ɵnggi pada pemberian bersamaan dengan peg

IFN/RBV. Pantau munculnya gejala gagal ha

Ɵ dan anemia. 30

Metadon: Pemberian peg IFN alfa 2a (180 mcg per minggu selama 4 minggu) pada pasien VHC dalam methadone maintenance therapy terbuk Ɵ meningkatkan kadar metadon 10 15%. Tidak diketahui adanya signi Įkansi klinis. Pantau EKG ruƟn untuk deteksi adanya toksisitas metadon. 30

II.4. Kontraindikasi Obat

Kontraindikasi dari masing masing obat untuk pengobatan koinfeksi HIV dan VHB adalah: 9

1. Kontraindikasi penggunaan IFN maupun Peg IFN : Kontraindikasi absolut : Hamil dan menyusui Penyakit ha Ɵ terdekompensasi (meningkatkan risiko thrombopenia, kemaƟan karena gagal ha Ɵ atau sepsis); Penyakit psikiatri Ɵdak terkontrol Leukopenia signi Įkan atau thrombositopenia (<50.000); Penyakit arteri koroner ƟĚak stabil, diabetes atau hipertensi; atau Gangguan kejang ƟĚak terkontrol

Kontraindikasi re ůĂƟĨ : Penyakit autoimun Riwayat depresi atau penyakit psikiatri

2. Kontraindikasi adefovir (ADV) adalah hamil dan nefrotoksisitas. Tidak ada data mengenai interaksi ADV dengan obat yang lain.

3. Kontraindikasi lamivudin (3TC) adalah hipersensi ƟĮtas dan terdapat interaksi lamivudin dengan cotrimoxazole, stron ƟƵm 89 chloride, sulphametoxazole, trimethoprim. Lamivudin dikontraindikasikan untuk digabung dengan pemberian emtricitabine dikarenakan keduanya meningkatkan risiko untuk terjadinya immune ƌĞĐŽŶƐƟƚƵƟŽŶ syndrome.

4. Kontraindikasi emtricitabin + tenofovir adalah penggunaan untuk pr ŽĮůĂksis pada individu dengan HIV 1 posi Ɵf atau dengan status yang ƟĚak diketahui. Indikasi kombinasi emtricitabin dan tenofovir adalah hanya untuk pasien terinfeksi HIV dengan kombinasi regimen an Ɵretroviral lainnya.

5. Kontraindikasi entecavir adalah hipersensi ƟĮƚĂƐ͘ 21 Namun perlu diperha Ɵkan efek sampingnya yang dapat menyebabkan kema Ɵan yaitu asidosis laktat dan hepatomegali berat

dengan steatosis. Pada pasien koinfeksi HIV VHB yang Ɵdak diterapi dengan anƟretroviral, penggunaan entecavir masih ƟĚak direkomendasikan karena berpotensi menyebabkan resistensi.

II.5. Pemantauan dan Evaluasi pada Pasien Koinfeksi HIV VHB

II.5.a. Pemantauan he ƉĂƟƟs B

Tujuan dari pemantauan pasien selama terapi adalah untuk menilai keamanan penggunaan obat, ketaatan minum obat, dan respon terapi. Respon terapi hepa ƟƟs B yang baik ditandai dengan: Serum ALT yang tetap normal Kadar DNA VHB yang terus menurun (se ƟĚaknya menurun <1 log DNA VHB setelah 3 bulan terapi dan jumlah virus <200 IU/mL dalam waktu jangka panjang)

Pemantauan terapi dilakukan dengan jadwal sebagai berikut Sebelum

^ĞƟĂƉ Se Ɵap Terapi

6 bulan Serum ALT Kadar DNA VHB

Respons terapi hepa ƟƟs B pada pasien koinfeksi HIV VHB serupa dengan monoinfeksi VHB, yang melipu Ɵ:

a. Complete Virological Response kopi/mL) setelah pengobatan selama 24 minggu. Untuk pasien dengan comple ƚe virologic

response, terapi dilanjutkan dengan obat yang sama dan tetap dilakukan monitor selang 6 bulan.

b. Par ƟĂů Virological Response

kopi/mL) setelah pengobatan selama 24 minggu. Pada pasien dengan respon parsial yang telah diterapi dengan obat yang low ŐĞŶĞƟĐ barrier (contoh: lamivudine), ditambahkan obat kedua yang Ɵdak cross resisƚanƚ untuk mencegah munculnya resistensi dan lonjakan virus. Pasien dengan respon parsial yang telah diterapi dengan obat yang high gene Ɵc barrier (contoh: entecavir) harus monitor ulang selang Ɵga bulan dan teruskan terapi selama 48 minggu. Pada pasien dengan respon parsial yang telah diterapi dengan DAA dan high barrier

ƌĞůĂƟĨ (contoh: adefovir), harus monitor ulang selang ƟŐa bulan, pengobatan dilanjutkan 48 minggu, jika setelah 48 minggu tetap hasilnya Ɵdak adekuat maka harus mengganƟ terapi.

Namun, jika setelah 48 minggu responnya menjadi komplit maka pengobatan diteruskan.

c. Inadequate Virological Response De nisi inadequate virologic response adalah kadar DNA VHB lebih dari atau sama dengan

2000 IU/mL ( 4 log 10 kopi/mL) setelah pengobatan selama 24 minggu. Pasien dengan respon yang dak adekuat memerlukan penggan an terapi, jika masih tersedia dapat diberikan obat kedua yang

cross-resistant. Setelah pengga an terapi, monitor tetap dilanjutkan selang 3 bulan.

II.5.b. Monitor ARV

Hitung CD4 sebaiknya dimonitor ap 3-6 bulan dan jumlah virus HIV (jika tersedia) dimonitor ap 6 bulan.

II.5.c. Monitor Ketaatan Pasien dalam Mengkonsumsi Obat

Pasien harus diberitahu oleh petugas pelayanan kesehatan mengenai efek samping dan toksiksitas dari obat ARV sehingga pasien dak menghen kan sendiri pengobatannya.

II.6. Hepatotoksisitas akibat ARV

Toksisitas dapat terjadi pada pasien yang menerima NRTI, yang dapat menyebabkan mikrosteatosis berat dengan asidosis laktat. Kondisi ini berpotensi parah dengan ngkat kema an yang nggi maka dalam keadaan tersebut disarankan menggan dengan ARV yang lain. Komplikasi terkait ha dapat terjadi akibat are ak vitas VHB, disk

nuasi ARV, atau toksisitas ARV yang dapat mempengaruhi terapi HIV. Beberapa di antaranya adalah: 26 FTC, 3TC, dan TDF juga memiliki

vitas an viral terhadap VHB. Diskon nuasi obat-obat ini dapat menyebabkan kerusakan hepatoselular yang berat akibat reak fasi VHB.

Entecavir ak f terhadap HIV. Penggunaan entecavir sebagai terapi VHB pada pasien koinfeksi tanpa ARV dapat menyebabkan mutasi seleksi pada M184V, menghasilkan resistensi terhadap

3TC dan FTC. 6 Entecavir hendaknya hanya digunakan pada pasien dalam regimen ARV dengan virus tersupresi pada kasus koinfeksi HIV/VHB. Apabila 3TC digunakan sebagai obat tunggal pada koinfeksi, resistensi VHB terhadap 3TC ditemukan pada 40% kasus terapi 3TC setelah 2 tahun dan 90% setelah 4 tahun. 3TC dan FTC harus digunakan dalam kombinasi dengan an -HBV lainnya. Rekons tusi imun setelah inisiasi terapi HIV dan/atau HBV dapat menyebabkan peningkatan transaminase, karena VHB merupakan penyakit dipengaruhi oleh sistem imun. Beberapa ARV dapat menyebabkan peningkatan transaminase dan derajat serta progresinya lebih

pada koinfeksi VHB. Pada koinfeksi, peningkatan transaminase dapat dikaitkan dengan serokonversi HBeAg akibat rekon tusi imun, sehingga penyebab peningkatan ini harus dipas kan sebelum memutuskan untuk menghen kan terapi. Serokonversi harus dinilai dari kadar HBeAg, an -Hbe dan DNA VHB.

II.7. Skrining Karsinoma Hepatoselular Infeksi virus hepa s B sangat berhubungan dengan berkembangnya menjadi kanker ha bahkan tanpa adanya sirosis. Rekomendasi dari PPHI menunjukkan pe ngnya dilakukan skrining untuk karsinoma hepatoselular se p 6-12 bulan dengan modalitas pemeriksaan alfa-fetoprotein (AFP) dan USG pada kelompok berisiko, termasuk pasien dengan hepa

B kronik yang berusia lebih dari 30 tahun. 22

Rangkuman

Se Ɵap pasien VHB dianjurkan untuk melakukan penilaian risiko dan diagnosis HIV mengingat adanya kesamaan moda transmisi Skrining an Ɵďodi VHC dan hepaƟƟs A harus dilakukan pada seƟap pasien koinfeksi HIV VHB. Vaksinasi virus hepa ƟƟs A diberikan kepada pasien koinfeksi HIV VHB yang Ɵdak menunjukkan adanya infeksi lama virus hepa ƟƟs A untuk mencegah infeksi VHA Semua pasien HIV perlu memeriksakan status infeksi VHB dengan pemeriksaan HBsAg

Pasien koinfeksi HIV VHB perlu melakukan pemeriksaan HBeAg dan hitung jumlah virus DNA VHB untuk menentukan fase infeksi virus hepa ƟƟs B dan juga melakukan pemeriksaan fungsi ha Ɵ untuk menilai kondisi haƟ sebelum terapi Pemeriksaan serologi ŚĞƉĂƟƟƐ B yang menyeluruh perlu dimengerƟ oleh seluruh petugas pelayanan kesehatan untuk menentukan status infeksi VHB pasien Tata laksana pasien koinfeksi HIV VHB memiliki tujuan untuk menurunkan progre ƐŝĮƚĂƐ berkembangnya sirosis, mencegah dekompensasi ha Ɵ, dan mencegah terjadinya karsinoma hepatoselular Target terapi koinfeksi HIV VHB adalah menekan secara e ĮƐŝensi dan persisten replikasi VHB dan menghen Ɵkan progresiĮtas penyakit, baik komplikasi maupun ŬĞŵĂƟĂŶ yang terkait penyakit ha Ɵ Terapi VHB pada pasien koinfeksi HIV VHB dilakukan terus menerus seumur hidup karena kemungkinan kecil mengalami serokonversi HBsAg dan munculnya an ƟďŽdi HBs Target terapi dalam pengobatan koinfeksi HIV VHB adalah kadar DNA VHB kurang dari 60 IU/mL setelah pengobatan selama 24 minggu dan selama monitor selang 6 bulan DNA VHB ƟĚĂŬ terdeteksi `Pasien koinfeksi HIV VHB dengan indikasi ARV mendapatkan terapi lini pertama untuk ARV berupa tenofovir + lamivudin/emtricitabine + efavirenz. Selain sebagai ARV, tenofovir juga menjadi terapi an Ɵvirus untuk heƉĂƟƟƐ B. Hingga kina belum dilaporkan kegagalan terapi hepa ƟƟs B menggunakan tenofovir Pasien koinfeksi HIV VHB dengan indikasi ARV yang mendapatkan terapi lini pertama dan mencapai target DNA VHB (<60 IU/mL setelah pengobatan selama 24 minggu) namun target CD4/VL HIV Ɵdak tercapai mendapatkan pengubahan lini terapi menjadi zidovudin + tenofovir + lamivudine/emtricitabin + lopinavir yang didahului dengan pemberian ritonavir Pada pasien HIV VHB yang Ɵdak mencapai target DNA VHB namun target CD4/VL HIV tercapai mendapatkan pengubahan regimen terapi berupa entecavir + tenofovir + lamivudine/emtricitabin + efavirens. Pilihan lain adalah dengan menggan Ɵ entecavir dengan pegylated interferon atau adefovir atau telbivudin Apabila pada pasien HIV VHB kedua target pengobatan hepa ƟƟs B dan HIV ƟĚĂŬ tercapai, pasien segera dirujuk ke ahli hepatologi dan HIV Perha ƟĂŶ khusus diperlukan dalam pemberian obat ARV, mengingat banyaknya interaksi dan kontraindikasi obat ARV dengan obat lainnya Pemantauan dan evaluasi pasien koinfeksi HIV VHB melipu Ɵ pemantauan terapi hepaƟƟs

B dan HIV Pemantauan terapi hepa ƟƟs B melipuƟ efek samping penggunaan obat, ketaatan minum obat dan respons terapi. Skrining terhadap KHS juga perlu dilakukan se Ɵap 6 12 bulan Pemantauan terapi HIV melipu Ɵ peningkatan nilai hitung CD4, ketaatan pasien mengonsumsi obat, dan efek samping obat yang mungkin terjadi seper Ɵ hepatotoksisitas