Konsep Hak Asasi Manusia

2.1.4 Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi

Mencermati tiga konstitusi yang pernah berlaku di indonesia maka secara sepintas tampaklah bahwa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan UUD Sementara 1950 mengandung rumusan-rumusan hak asasi yang lebih luas dan lebih eksplisit daripada UUD 1945. Salah satu alasan yang mendasarnya adalah terjadinya

53 Meskipun istilah HAM belum dikenal ketika Islam turun pada masyarakat Arab pada abad ke-7 Masehi, namun prinsip penghormatan dan penghargaan pada manusia dan kemanusiaan sudah diajarkan Islam secara tegas.

Inti ajaran Islam adalah Tauhid, yakni mengajarkan kepada manusia hanya ada satu pencipta, yaitu Allah SWT. Selain Tuhan, semuanya hanyalah makhluk. Karena itu, Tuhan semata, yang mutlak disembah, dipuji dan diagungkan serta tempat menggantungkan seluruh harapan dan kebutuhan. Nabi Muhammad sudah mengimplementasikan prinsip-prinsip persamaan dan penghormatan kepada manusia kepada masyarakat Madinah yang sangat heterogen sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah. Ibid., Lihat dalam Musdah Mulia, 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, Jakarta: Naufan Pustaka.

54 Ibid., hlm. 240. Lihat juga dalam Muladi, 1996. "Hukum dan HAM" Sumbangan Tulisan dalam Bagir Manan (Editor), 1996. Kedaulatan Rakyat, HAM dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna Menghormati Prof. Dr. R. Sri

Soemantri M., S.H., Jakarta: Gama Media Pratama, hlm. 113-120.

perbedaan pendapat dalam tubuh perumus UUD 1945, sehingga rumusan HAM yang tercantum dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah hasil kompromi dari tajamnya perbedaan pendapat tersebut. 55

Soekarno dan Soepomo pada awalnya tegas menolak dimasukkannya materi HAM ke dalam rancangan konstitusi Indonesia karena keduanya berpendapat bahwa Negara Indonesia yang disusun berdasar paham kekeluargaan dan kegotongroyongan tidak dapat menerima materi HAM yang didasarkan atas paham “liberalisme dan individualisme”. Hatta dan Yamin, yang juga setuju dengan paham Negara kekeluargaan, sebaliknya mengingatkan agar materi HAM dimuat di dalam rancangan konstitusi karena mereka khawatir pada suatu masa para penyelenggara Negara akan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. 56 Kompromi

tampaknya tercapai juga di antara dua pandangan itu. Baik di dalam Pembukaan maupun di dalam batang tubuh rancangan konstitusi terdapat materi HAM, walaupun tidak seluas dan seeksplisit rumusan di dalam Konstitusi RIS dan UUD Sementara 1950.

Menyikapi jaminan HAM dalam UUD 1945 sebelum perubahan, maka terdapat pandangan yang beragam. Studi yang dillakukan oleh Majda El-Muhtaj menemukan paling tidak, ada tiga kelompok pandangan, yakni: pertama, mereka yang berpandangan bahwa UUD 1944 tidak memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif; kedua, mereka yang berpandangan UUD 1945 memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif; dan ketiga, berpandangan bahwa UUD 1945 hanya

memberikan pokok-pokok jaminan atas HAM. 57

Pandangan pertama didukung oleh Mahfud MD. Hal ini didasarkan bahwa istilah HAM tidak ditemukan secara eksplisit di dalam Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasannya. Menurut Mahfud MD, tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa UUD 1945 itu sebenarnya tidak banyak memberi perhatian pada HAM, bahkan UUD 1945 tidak berbicara apa pun tentang HAM universal kecuali tiga hal, yaitu Sila Keempat Pancasila yang meletakkan asas “Kemanusiaan yang Adil dan

55 Alasan yang sering dikemukakan ialah, UUD 1945 disusun lebih dari tiga tahun sebelum diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) oleh PBB. Jadi, karena konstitusi RIS dan UUD Sementara 1950

disusun setelah adanya Deklarasi Universal HAM oleh PBB, dapat dimengerti jika sebagian besar deklarasi itu kemudian dimuat oleh kedua konstitusi ini. Ibid., Lihat juga dalam Yusril Ihza Mahendra, 1996. Dinamika Tata Negara Indonesia, Jakarta; GIP, hlm. 93-110.

56 Ibid., hlm. 241. Lihat juga dalam Bagir Manan, 2012. Membedah UUD 1945, UB Press, hlm. 16-32. 57 Ibid., Lihat juga dalam Majda El Muhtaj, 2002. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, dari UUD 1945

sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta: Kencana.

Beradab” dan Pasal 29 yang mendefinisikan jaminan “Kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah”. 58

Tegasnya bahwa HAM yang tersirat di dalam UUD 1945 bersumber pada falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Penegakkan HAM di Indonesia sejalan dengan impmementasi dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan kata lain, Pancasila merupakan nilai-nilai HAM yang hidup dalam kepribadian bangsa.

Kelompok ketiga didukung oleh Kuntjoro Purbopranoto dan M. Solly Lubis. Menurut Kuntjoro, jaminan UUD 1945 terhadap HAM bukan tidak ada, melainkan dalam ketentuan-ketentuannya UUD 1945 mencantumkannya secara tidak sistematis. Selengkapnya beliau mengatakan sebagai berikut:

Perumusan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan asasi manusia dalam UUD 1945 belumlah tersusun secara sistematis. Hanya empat pasal yang memuat ketentuan-ketentuan hak-hak asasi, yakni Pasal 27, 28, 29, dan 31. Sebabnya, tidaklah karena nilai-nilai hukum dari hak-hak asasi itu kurang mendapat perhatian, akan tetapi karena susunan pertama UUD 1945 itu adalah inti-inti dasar kenegaraan, yang dapat dirumuskan sebagai hasil perundingam antara para pemimpin kita dari seluruh aliran masyarakat, yang diadakan pada masa

berakhirnya pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang di Indonesia. 59 Setelah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, maka muatam HAM dalam

Perubahan Kedua UUD 1945 jauh melebihi ketentuan yang pernah diatur dalam UUD 1945. Selain karena terdapatnya satu bab tersendiri, hal lain adalah berisikan pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan HAM, baik secara pribadi maupun sebagai warga negara Indonesia. Muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 dapat dikatakan sebagai bentuk komitmen jaminan konstitusi atas penegakkan hukum dan HAM di Indonnesia.

Selain penegasan muatan HAM dalam pasal-pasal tersebut, pengaturan HAM juga masih dapat ditemukan pada ketentuan pasal-pasal seperti Pasal 27 Ayat (1), dan (2), dan Pasal 28. Kesemua pasal ini bukanlah hasil Perubahan UUD 1945, melainkan diadopsi langsung dari teks pasal dalam UUD 1945.

58 Ibid., Lihat juga dalam M. Mahfud MD., 2011, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 137-209.

59 Ibid., hlm. 242. Lihat juga dalam Kuntjoro Purbopranoto, 1975, HAM dan Pancasila, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 26.

Jika dicermati maka setidaknya terdapat 12 jenis HAM dengan berbagai profil yang ditegaskan dalam Hasil Perubahan Kedua UUD 1945. Secara substansial, materi muatan HAM terbilang baik karena memuat berbagai hal kepentingan manusia yang harus dijaga, dipelihara, dijamin, dan dilindungi. Tidak dipungkiri dengan menjadikan perihal HAM dalam sebuah bab tersendiri merupakan sebuah keberhasilan yang patut diapresiasi secara positif. 60

Tabel 1: Materi Muatan HAM dalam UUD Negara RI Tahun 1945 dan

Perubahannya

NO

BAB/Pasal

Isi

1 BAB X/27 Ayat (3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta

dalam upaya pembelaan negara.

2 BAB XA/28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

3 BAB XA/28B (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

4 BAB XA/28C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

5 BAB XA/28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepentingan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

60 Ibid., hlm. 243. Lihat juga dalam Majda El-Muhtaj, Hak...op.cit, hlm. 113.

(2) Setiap orang berhak berkerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

(3) Setiap

orang

berhak atas status

kewarganegaraan.

6 BAB XA/28E (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, dan berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

7 BAB XA/28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Setiap orang berhak untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki segala jenis saluran yang tersedia.

8 BAB XA/28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri sendiri, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain.

9 BAB XA/28H (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh kesejahteraan.

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapa saja.

10 BAB XA/28I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragam, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan untuk tidak di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat di kurangi dalam keadaan apapun.

(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat dikriminatif itu.

(3) Identitas budaya dan hak masayarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

(4) Perlindungan, pemajuan, dan penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah.

(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum

11 BAB XA/28I (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis

12 BAB XII/30 Ayat Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta (1)

dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara. Muatan dan Rumusan HAM dalam UUD Negara RI Tahun 1945 dan

perubahannya tidak luput dari kritik. Pertama, kritik yang disampaikan oleh Majda El-Muhtaj berkaitan dengan redaksional dan jangkauan lingkup HAM yang dimuat dalam Hasil Perubahan Kedua UUD 1945 masih terbilang sangat sederhana, bahkan tidak menggambarkan sebuah komitmen atas penegakkan hukum dan HAM. Hal ini bisa dilihat dari adanya pasal-pasal yang saling tumpang tindih, sehingga tidak diperoleh kejelasan tentang rangkaian profil generasi ham yang telah berkembang selama ini. Selain itu, juga tidak diperkenankan daya desak pengakkan hukum dan HAM oleh Negara dalam bentuk kewajiban-kewajiban konkret secara eksplisit. Lebih lanjut Muhtaj menyatakan:

HAM yang diatur dalam Perubahan UUD 1945 masih terbilang konvensional karena apa yang ditegaskan adalah hal klasik yang setiap manusia pun mengerti dan memahaminya sebagai hak universal, seperti hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak atas perlakuan adil dan persamaan di hadapan hukum, hak memperoleh pendidikan dan pengajaran, hak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak secara manusiawi. Jauh lebih penting adalah di samping pengaturan HAM yang diatur dalam Perubahan UUD 1945 masih terbilang konvensional karena apa yang ditegaskan adalah hal klasik yang setiap manusia pun mengerti dan memahaminya sebagai hak universal, seperti hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak atas perlakuan adil dan persamaan di hadapan hukum, hak memperoleh pendidikan dan pengajaran, hak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak secara manusiawi. Jauh lebih penting adalah di samping pengaturan

Secara redaksional, Satya Arinanto mengatakan bahwa materi muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 sebagian besar merupakan pasal-pasal yang berasal atau setidak-tidaknya memiliki kesamaan dengan pasal-pasal HAM sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi

Manusia dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 62 Sementara Saldi Isra mencermati materi muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 tidak konsisten dalam kategorisasi hak-hak asasi, apakah pembagian atas derogable right ataukan nonderogble right, ataukah merumuskannya dengan cara

memuat hak-hak individual, komunal, dan vulnerable right. 63

2.1.5 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Dalam tataran internasional, gagasan awal mengenai adanya kebutuhan untuk suatu komisi nasional hak asasi manusia telah timbul sejak tahun 1946, kurang lebih satu tahun setelah didirikannya PBB, dan dua tahun sebelum dicanangkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam tahun 1948. Namun pembentukkannya masih membutuhkan waktu, pemikiran dan persiapan yang baik. Baru dalam tahun 1978 dapat diadakan seminar untuk menyusun dasar-dasar pembentukkan institusi nasional hak asasi manusia. Dalam tahun 1991 diadakan sebuah lokakarya di Paris untuk menyusun kerjasama institusi nasional dan regional, dan untuk mengkaji cara-cara peningkatan institusi-institusi nasional tersebut. Seminar tersebut berhasil merumuskan dasar-dasar yang kemudian disebut sebagai The Paris Principles , yang disahkan oleh The Human Rights Commission pada tahun

61 Ibid., hlm. 245. Lihat juga dalam Ibid., hlm. 16. 62 Ibid., hlm. 246. Lihat juga dalam Satya Arinanto, op.cit. 63 Ibid., Lihat juga dalam Saldi Isra, 2002, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Sinar Harapan.

64 Ibid., Lihat juga dalam Saafroedin Bahar, 2002, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Sinar Harapan.

Dalam tataran Nasional, Komnas HAM, yang awalnya dibentuk dengan Keppres No. 50 Tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993 dan kemudian dipertegas dengan UU No. 39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk

‘mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia’ dan ‘meningkatkan perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai

bidang kehidupan 65 ’. Tujuan pembentukkan Komnas HAM melalui undang-undang ini secara

prinsipil ternyata tidak jauh berbeda dengan tujuan Komnas HAM sebelumnya yang dibentuk dengan Keppres, karena Komnas HAM ‘generasi pertama’ juga bertujuan membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan

peningkatan perlindungan HAM di Indonesia. 66 Kehadiran sebuah lembaga yang lahirnya dibidani oleh Presiden selalu

menghadirkan pesimisme. Demikian situasi yang mewarnai kelahiran dari Komnas HAM, sebab pelanggaran HAM di Indonesia justru banyak melibatkan negara. 67

Mulai tahum 2000, Komnas HAM bekerja dengan visi dan misi yang telah dirumuskan. 68 Visi Komnas HAM adalah Hak Asasi Manusia Untuk Semua dan

mempunyai misi sebagai berikut:

a. Mewujudkan lembaga yang mandiri, profesional, representatif, berwibawa, dan dipercaya oleh masyarakat nasional maupun internasional.

b. Menegakkan, memajukan, dan memelihara HAM.

c. Membantu menyelesaikan pelanggaran HAM di masyarakat.

d. Menggerakkan pembangunan berwawasan HAM.

e. Membangun jaringan kerjasama dengan semua pihak.

65 UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 75. 66 Sirajuddin dan Winardi, op.cit., hlm. 247. Lihat juga dalam Sri Hastuti Puspitasari, loc.cit, hal. 103. 67 Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Cornelis Jay dan Pratikno menunjukkan argumentasi yang cukup tajam

bahwa pelanggaran HAM di Indonesia banyak melibatkan negara sebagai pelaku utamanya. Akan sulit melakukan penegakkan hukum atas pelanggaran hukum atas pelanggaran HAM oleh lembaga yang didirikan atas prakarsa penguasa negara, Ibid., Lihat juga dalam Sri Hastuti Puspitasari, "Komnas HAM Indonesia Kedudukan dan Perannya dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 21 Vol

9 2002, hlm. 103.

68 Visi dan misi komnas HAM baru dirumuskan tahun 2000 sebagai hasil dari Lokakarya Perencanaan Strategis Komnas HAM Tahun 2000. Visi dan Misi ini memperjelas keberadaan Komnas HAM sebagai lembaga Independen

dalam penegakkan HAM di Indonesia, Ibid., hlm. 105.

Dalam undang-undang HAM 1999 pasal 75 menyebutkan bahwasannya Komnas HAM memiliki tujuan: 69

a. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan

b. Meningkatkan perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Pada awal terbentuknya Komnas HAM beberapa kalangan sempat berpendapat bahwa Komisi ini akan bernasib sama dengan lembaga bentukan pemerintah yang

lain yang tidak dapat bersifat bebas dari pengaruh tekanan pemerintah. 70 Menurut penelitian Praktiko & Cornelis Lay, dkk dari FISIPOL UGM mengenai citra dari

Komnas HAM sebagai berikut: 71

a. Landasan hukumnya lemah, hanya Keppres.

b. Disambut dengan pesimisme karena hanya dianggap aksesoris negara.

c. Sistem pemerintahannya otoriter.

d. Bisa dimanfaatkan sebagai instrumen penetrasi negara.

e. Anggota Komnas HAM dianggap sebagai mesin tambahan bagi korporatisme negara.

Namun, berkat sikap independen para anggotanya Komnas HAM menjadi salah satu lembaga tempat rakyat mengadukan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi. 72

Memang pada saat pertama dibentuk Komnas HAM sedikit memiliki “taring” untuk “menggigit”, hal itu bisa dilihat pada kinerja Komnas HAM pada 1993-1997 73 yaitu

sebagai berikut:

a. Mampu menjadi institusi yang dipercaya masyarakat untuk berhadapan dengan kesewenangan negara.

b. Diposisikan sebagai “martil politik” menghadapi kekuasaan otoriter negara yang melanggar HAM.

69 UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, op.cit., hlm. 26. 70 Sirajuddin dan Winardi, op.cit., hlm. 248. Lihat juga dalam Bagir Manan, op.cit., hlm. 53.

71 Ibid., Lihat juga dalam Anshari Thayib, "Tantangan Komnas HAM dalam Pemajuan dan Penegakan HAM di Indonesia", Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia serta Penegakkan Hukumnya, ed.,

Zulkarnain, (Malang, 2003), hlm. 3. 72 Ibid., Lihat juga dalam Bagir Manan, loc.cit.

73 Ibid., Lihat juga dalam Anshari Thayib, loc.cit.

c. Bisa menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat yang terdesak yang memerlukan perlindungan HAM.

Dengan bergulirnya reformasi dimana kondisi negara sejak 1998 74 mengalami perubahan, yakni:

a. Sistem politik semakin terbuka.

b. Kekuasaan negara semakin melemah.

c. Kapasitas politik masyarakat semakin menguat, sehingga memunculkan konflik- konflik horizontal (antar kelompok masyarakat) maupun vertikal (antara masyarakat lokal dengan negara).

d. Bangkitnya indigenious people dan hak-hak adat yang menemukan ruang yang lebih luas.

e. Menguatnya tuntutan masyarakat akan demokratisasi, good governance, desentralisasi, civil society, dan demiliterisme.

Komnas HAM dalam melaksanakan fungsi pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud pada Pasal 76, memiliki tugas dan kewenangan sebagai

berikut: 75

a. Pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi atau ratifikasi;

b. Pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukkan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia;

c. Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian;

d. Studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia;

e. Pembahasan mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakkan, dan pemajuan hak asasi manusia; dan

f. Kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi lembaga atas pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

74 Ibid., hlm. 4. 75 Anshari Thayib, op.cit., Pasal 89 Ayat (1) hlm. 31.

Dalam melaksanakan fungsi penyuluhan sebagaimana Pasal 76, Komnas HAM memiliki tugas dan kewenangan sebagai berikut: 76

a. Penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia;

b. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal, non formal serta berbagai kalangan lainnya; dan

c. Kerjasama dengan orgamisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan: 77

a. Pengamatan dan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;

b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia; Yang dimaksud dengan penyelidikkan dan pemeriksaan dalam rangka pemantauan adalah kegiatan pencarian data, informasi, dan fakta untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia.

c. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;

d. Pemanggilan saksi untuk dimintai keterangan dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu dimintai menyerahkan bukti yang diperlukan;

e. Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;

f. Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan.

g. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, perkarangan, bangunan, dan tempat- tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan

h. Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara

76 Ibid., ayat (2) hlm. 32. 77 Ibid., ayat (3) hlm. 32-33.

pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak. Yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik antara lain mengenai pertahanan, ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup.

Untuk melaksanakan fungsi mediasi sebagaimana ketentuan Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan: 78

a. Perdamaian kedua belah pihak;

b. Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli; Yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan, atas dasar kesepakatan para pihak.

c. Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;

d. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan

e. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti;

2.1.6 Pengadilan Hak Asasi Manusia

Menurut hukum HAM Internasional, Pengadilan Tribunal Militer Internasional di Nuremberg, Jerman 1946, adalah pengadilan internasional pertama di dunia. Pengadilan tersebut mengadili kejahatan terhadap perdamaian dan kemanusiaan. Pengadilan dilaksanakan dengan dasar legitimasi moral dan legal. Pengadilan Nuremberg menjadi topik diskusi dan tema perdebatan dalam bidang akademis. Penuntutan sebagai proses hukum adalah salah satu cara jalan keluar bagi kejahatan HAM. Nilai-nilai pengadilan HAM adalah keadilan, peradaban, dan kemanusiaan. Keadilan adalah bahasa universal bagi umat manusia, salah satu institusi yang paling popular yang nantinya akan terus menggunakan keadilan dalam perannya di pengadilan, baik itu lokal, nasional, regional ataupun internasional. Terdapat hubungan yang erat antara keadilan dan masyarakat yang beradab. Peran terpenting dari pengadilan adalah penegakan hukum. Ini berarti bahwa hasil dari proses hukum harus menghasilkan pengadilan yang adil dan bersifat imparsial. Lebih jauh,

78 Ibid., ayat (4) hlm. 33.

keberadaan pengadilan harus diterima secara legitimasi oleh entitas politik internasional. 79

Dalam konteks nasional, secara hukum, Indonesia memiliki rencana aksi nasional tentang HAM, yang dikeluarkan oleh Presiden Habibie. Rencana Aksi Nasional Indonesia tentang HAM 1998-2003 merupakan dasar politik bagi pemerintah Indonesia untuk menjalankan pengadilan HAM. Rencana Nasional dikeluarkan pada bulan Juni 1998, untuk setiap rencana HAM, Pemerintah Indonesia harus sadar dan eksplisit menghadapi korupsi, xenophobia, dominasi militer yang berkuasa di Indonesia selama rezim Suharto dan mendorong sesuai bidangnya semua etos mengenai pengakuan HAM, kohesifitas sosial, toleransi rasial, tanggung-jawab nasional baik secara nasional maupun internasional. Secara substansial, Indonesia memburuhkan revolusi ide-ide yang berkaitan dengan kemanusiaan secara umum. Pada tanggal 23 September 1999, Presiden Habibie juga menandatangani UU No.

39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang-Undang ini berisi pasal yang mengatur visi baru dari Pemerintah Indonesia tentang HAM. Visi HAM ini adalah bergerak bagi rakyat Indonesia yang harus terus mengalir dalam rangka membimbing perkembangan demokrasinya. Pengakuan terhadap HAM adalah komponen penting

dari penegakan hukum dan peradaban. 80 Bahwa dalam rangka turut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin

pelaksanaan Hak Asasi Manusia serta memberi perlindungan, kepastian keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat sesuai dengan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). 81 Pada tanggal 23 November 2000 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak-Hak Asasi Manusia, yang mana konsekuensinya pemerintah wajib untuk membentuk pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya terbentuklah Peradilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc. Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc bertempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (sesuai Keppres No.

79 Sirajuddin dan Winardi, op.cit., hlm. 254. Lihat juga dalam Artidjo Alkostar, 2004, Pengadilan HAM, Indonesia dan Peradaban, Yogyakarta: Pusham UII, hlm. 81.

80 Ibid., hlm. 255. Lihat juga dalam Ibid., hlm. 120. 81 Ibid., Lihat juga dalam Siswono Dirdjosisworo, op.cit., hlm. 33.

96 Tahun 2001). Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) tingkat pertama dilantik pada tanggal 31 Januari 2002, 82 kemudian menyusul pengangkatan Jaksa ad

hoc sebanyak 24 orang pada tanggal 7 Februari 2002. Selanjutnya, penyerahan perkara oleh Jaksa kepada Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) tanggal 21 Februari 2002, dan pada tanggal 14 Maret 2002 Pengadilan Hak Asasi Manusia

(HAM) ad hoc memulai persidangannya. 83 Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan

peradilan umum yang mana bersifat ad hoc atau Kasuistis artinya pengadilan HAM ini dibentuk untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Hukum acara yang digunakan dalam pengadilan HAM ini berdasarkan pada ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. Berdasarkan pasal 4 undang-undang Nomor 26 tahun 2000 pengadilan HAM bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat.

Pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk berada pada lingkungan Peradilan Umum, yang mana memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000. Sesuai dengan ketentuan pada pasal 27 ayat (2) pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada

Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. 84 Majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (2) diketuai oleh hakim dari

Pengadilan HAM yang bersangkutan. Hakim ad hoc yang bertugas dalam pengadilan HAM ad hoc diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas ususl Ketua Mahkamah Agung. Dengan masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Hakim ad hoc yang diangkat oleh Presiden tersebut sekurang-kurangnya berjumlah

12 (dua belas) orang. 85 Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dibentuk berdasarkan UU

Pengadilan HAM diharapkan dapat melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan kepastian

82 Ibid., Lihat juga dalam Ibid., hlm. 5. 83 Ibid., Lihat juga dalam Ibid., hlm. 34.

84 Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Bandung, 2001), Pasal 27 hlm. 95.

85 Ibid., Pasal 28.

hukum, dan perasaan aman bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat. Adapun pembentukan Undang- Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat merupakan “extra ordinary crime” dan berdampak secara luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian, baik materiil maupun inmateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan

kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. 86

2. Terhadap perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang bersifat khusus. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat adalah:

a. Diperlukan penyidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc;

b. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM). Sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

c. Diperlukan ketentuan mengenai tenggat waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan;

d. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan sanksi;

e. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluwarsa bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat.

Mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat seperti kejahatan genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaan, berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas retroaktif, diberlakukan pasal mengenai kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang 87 sebagaimana

86 Sirajuddin dan Winardi, op.cit., hlm. 257. Lihat juga dalam Siswono Dirdjosisworo, op.cit., hlm. 17. 87 Ibid.

tercantum dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen yang berbunyi: 88

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis ” Dengan kata lain asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi

Hak Asasi Manusia (HAM) itu sendiri berdasarkan pada ketentuan diatas.

1. Struktur dan Juridiksi Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 2-6 yang menjelaskan mengenai struktur dan juridiksi dari Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), yakni sebagai berikut:

 Pada pasal 2 dijelaskan mengenai: “Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum”. 89

 Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

1) Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan;

2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang

bersangkutan. 90 “Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan pengadilan khusus yang

berada di lingkungan peradilan umum”.  Pasal 4 adalah sebagai berikut:

“Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat”. 91

88 UUD 1945 Hasil Amandemen (Jakarta, 2002), Pasal 28J ayat (2) hlm. 57. 89 UU RI No. 26 Tahun 2000, op.cit., Pasal 2-6, hlm. 78-79. 90 Ibid. 91 Ibid.

Yang dimaksud dengan “memeriksa dan memutus” dalam ketentuan ini adalah rehabilitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 92

 Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: “Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) bewenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh

Warga Negara Indonesia”. 93 Ketentuan ini dimaksud untuk melindungi Warga Negara Indonesia yang

melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat, yang dilakukan diluar batas teritorial, dalam arti dihukum sesuai dengan undang-undang ini. 94

 Pasal 6 menerangkan bahwa: “Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat yang dilakukan oleh seorang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun pada

saat kejahatan dilakukan”. 95 Seseorang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun yang melakukan Hak

Asasi Manusia (HAM) yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri. 96

2. Kategori Pelanggaran HAM Berat dan Wewenang dari Pengadilan HAM Kategori pelanggaran HAM berat yang merupakan lingkup wewenang dari

pengadilan HAM meliputi: 97 kejahatan genoside dan kejahatan kemanusiaan.

a. Kejahatan genoside Adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk

menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok, etnis, kelompok agama, dengan cara:

1) Membunuh anggota kelompok;

2) Yang dimaksud dengan anggota kelompok adalah seseorang atau lebih anggota kelompok.

92 Sirajuddin dan Winardi, op.cit., hlm. 258. Lihat juga dalam Siswono Dirdjosisworo, op.cit., hlm. 37. 93 UU RI No. 26/2000, op.cit., Pasal 5, hlm. 79. 94 Sirajuddin dan Winardi, op.cit., Lihat juga dalam Siswono Dirdjosisworo, op.cit., hlm. 37-38. 95 UU RI No. 26/2000, loc.cit., hlm. 38. 96 Sirajuddin dan Winardi, op.cit., hlm. 259. Lihat juga dalam Siswono Dirdjosisworo, loc.cit., hlm. 38. 97 UU RI No. 26/2000, op.cit., Pasal 7-9, hlm. 79-81.

3) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok;

4) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

5) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau

6) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

b. Kejahatan terhadap kemanusiaan Adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan

yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

1) Pembunuhan adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 340 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. 98

2) Pemusnahan, yaitu dengan sengaja membuat kondisi kehidupan suatu kelompok penduduk terhenti antara lain dengan memutus akses pangan dan obat-obatan yang merupakan kebutuhan vital yang dapat membawa kehancuran kehidupan kelompok tersebut. 99

3) Perbudakan adalah tindakan menguasai seseorang sedemikian rupa sehingga orang-orang tersebut yang khususnya terdiri dari wanita dan anak-anak

menjadi tidak berarti dan diperdagangkan sebagai budak. 100

4) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa

didasari oleh alasan yang diijinkan oleh hukum internasional. 101

5) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.

6) Penyiksaan, yaitu tindakan dengan sengaja menyakiti dan menimbulkan penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang yang

98 Ibid., hlm. 116. 99 Sirajuddin dan Winardi, op.cit., hlm. 260. Lihat juga dalam Siswono Dirdjosisworo, op.cit., hlm. 158

100 Ibid. 101 UU RI No. 26 Tahun 2000, loc.cit.

ditahan di bawah penguasaan si pelaku. Dikecualikan terhadap mereka yang melaksanakan pidana secara sah serta tidak melakukan penyiksaan yang dapat menimbulkan penderitaan. 102

7) Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan lain yang setara.

8) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

9) Penghilangan orang secara paksa yaitu tindakan penangkapan, penahanan, atau penyekapan orang-orang oleh pelaku dengan kewenangan dukungan, atau persetujuan diam-diam dari suatu negara atau suatu organisasi politik, yang diikuti penolakan untuk mengakui perampasan kebebasan tersebut dengan maksud memindahkan mereka dari perlindungan hukum untuk

jangka waktu tertentu. 103

10) Kejahatan apartheid yaitu perbuatan tindak manusiawi yang dilakukan dalam hubungan degan suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi secara sistematik terhadap suatu kelompok ras oleh ras lain dengan maksud mempertahankan rezim.