Latar Belakang Terbentuknya Jaringan Islam Liberal (JIL)

B. Latar Belakang Terbentuknya Jaringan Islam Liberal (JIL)

Sejak masuknya sekularisme dan liberalisme ke dunia Islam, baik melalui kolonialisme maupun interaksi budaya, polemik dan benturan pemikiran senantiasa mewarnai perjalanan peradaban Islam. Menurut Daud Rasyid dalam Adian Husaini (2002: vii), apabila ditelusuri akar permasalahannya, dapat ditemukan ada dua kekuatan besar yang bertarung di panggung pemikiran yaitu Islam dan Barat. Jaringan Islam liberal yang berkembang di Indonesia secara massif sejak tahun 2001, diperkirakan muncul seiring atau bahkan akibat kemunculan kelompok-kelompok Islam fundamentalis di Indonesia. Dalam sejarah, pemikiran Islam liberal selalu muncul sebagai reaksi atas kemunculan pemikiran Islam fundamentalis. Semakin menjamur kelompok-kelompok Islam fundamentalis, semakin kuat pula dorongan untuk mengorganisasikan jejaring Islam liberal. Jika dicermati, perkiraan tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak pula salah karena bangkitnya Islam fundamentalis dengan berbagai aksinya bukan faktor tunggal munculnya gagasan Islam liberal. Menariknya, kemunculan Islam liberal di Indonesia seolah-olah terjadi setelah adanya persentuhan secara intens dengan Barat dengan demokrasi-liberalnya, sedangkan Islam fundamentalis muncul di Indonesia setelah terjadi persentuhan dengan Arab dengan puritanismenya. Hal ini menunjukkan bahwa kemunculan masing-masing kelompok bukan hanya karena merespon situasi yang ada di dalamnya atau bukan hal yang murni dari Indonesia, namun juga adanya pengaruh yang datang dari luar.

1. Akar dan Wajah Pemikiran Islam Liberal

a. Liberalisme di Barat Perkembangan sejarah manusia, memperlihatkan tahap di mana bangsa, masyarakat, penduduk secara lahiriah hidup di tanah sendiri dan menurut adat istiadat sendiri tampak secara bebas (merdeka) mengatur, mengurus dan

commit to user

musik, drama, lukis serta menghayati agama yang dianut. Namun, pada kenyataannya meskipun hidup di tanahnya sendiri, orang-orang dalam bangsa dan masyarakat tidak sepnuhnya bebas-merdeka. Masyarakat masih diatur dengan ketat dan harus menetapi peraturan dan undang-undang oleh lembaga negara dibawah penguasa, maupun oleh agama. Dari berbagai peraturan dan undang- undang baik yang secara mendasar maupun dalam praktik banyak yang menindas, tidak sesuai dengan kebutuhan zaman serta aspirasi orang-orang yang harus menaati. Dalam suasana hidup yang semakin menekan tersebut lahir pandangan dan gerakan liberalisme (Mangunhardjana, A., 1997: 148)

Secara umum pandangan dan gerakan liberalisme mengedepankan nilai- nilai individual, menjunjung tinggi martabat pribadi manusia dan kemerdekaannya. Kaum liberalis percaya akan kebaikan dan kemampuan manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan hidupnya, optimisme terhadap pandangan bahwa semua manusia adalah baik mengakar kuat dalam pemikiran ini. Dalam bidang ekonomi, kaum liberalis menuntut kebebasan dan dihilangkannya segala hambatan, halangan dan pembatasan yang menghadang kehidupan ekonomi baik dalam bentuk undang-undang atau aturan-aturan. Dalam bidang politik-kenegaraan, kaum liberalis menuntut agar hak-hak politis setiap orang dilindungi dan setiap orang bebas untuk bergerak dan ikut berpartisipasi dalam bidang politik sesuai dengan aspirasi dan cita-citanya, dan mendapat perlindungan masyarakat dan negara yang diperlukan, dengan cara itu ketertiban, keamanan dan kemajuan negara akan terjamin (Mangunhardjana, A., 1997: 149).

Paham liberal (liberalisme) adalah satu di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissance yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti "bebas dari batasan" (free from restraint ), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. Bertolak belakang dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan pada saat gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia. Sehingga dipercayai bahwa akar ideologi Barat adalah ide pemisahan

commit to user

agama dari negara. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik, bidang ekonomi, maupun bidang agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme (M. Shiddiq Al-Jawi dalam http://hi- in.facebook.com/topic.php?uid=75026590041&topic=9232 , diakses 10 Februari 2012).

Pada tingkat global, cara pandang sekular-liberal gaya Barat kemudian diglobalisasi sebagai bagian dari upaya pelestarian hegemoni yang dalam logika politis merupakan hal yang wajar dan menjadi dominan. Demokratisasi liberal mengharuskan sekularisasi dan sekaligus pluralisme yang tidak membedakan manusia atas dasar agama atau ras tertentu, tetapi manusia dikotak-kotakkan atas dasar bangsa dan negara. Proses imitasi terhadap pola pikir dan budaya kekuatan dominan akan memuluskan program hegemoni di bidang bisnis dan ekonomi (Adian Husaini, 2005: 17).

Faktor penting yang menjadi latar belakang sejarah panjang pergeseran Barat menjadi sekular dan liberal yang kemudian mengglobalkan pandangan hidup dan nilai-nilainya ke seluruh dunia, termasuk di dunia Islam oleh Adian Husaini (2005: 29-30) diklasifikasikan dalam tiga faktor penting : a. trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan (Problem sejarah Kristen), b. problem teks Bible, c. problem teologis Kristen. Ketiga problema tersebut saling berkaitan sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang selanjutnya melahirkan sikap berpikir sekular- liberal dalam sejarah tradisi pemikiran Barat modern.

Problem sejarah Kristen dapat dipahami melalui perjalanan sejarah peradaban Barat (Western Civilization) dengan apa yang disebut “Zaman Kegelapan” (the dark ages) atau “Zaman Pertegahan” (the medieval ages). Salah satu fenomena penting dalam sejarah Abad Pertengahan di Eropa adalah upaya Gereja Kristen memperoleh dan memelihara kekuatan politiknya. Agama Kristen mulai mendapatkan peluang kebebasan (setelah beratus-tahun mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi) dari Kaisar Konstantin, yang pada tahun 313 M mengeluarkan Edict of Milan yang melarang penindasan terhadap semua

commit to user

Gereja untuk menjadi bagian dari administrasi pemerintahan. Dengan dikeluarkannya Edict of Theodosius pada tahun 392 M, agama Kristen memegang posisi sebagai agama negara (state-religion) dari Imperium Romawi (Romawi Empire ). Di akhir masa Kekaisaran Romawi, institusi-institusi kenegaraan Romawi mengalami kehancuran namun institusi Gereja meraih kekuatan dan signifikansinya. Organisasi Gereja tumbuh menjadi lebih kuat dan keanggotannya semakin meningkat. Agama Kristen (Christianity) merupakan prinsip pemersatu dan Gereja menjadi Institusi yang dominan dan sentral. Tidak ada satupun aspek kehidupan di Abad pertengahan yang tidak tersentuh oleh pengaruh Gereja. (Adian Husaini, 2005: 31)

Di zaman hegemoni kekuasaan Gereja lahir sebuah institusi Gereja yang terkenal kejahatan dan kekejamannya yaitu “Inquisisi”. Karen Armstrong dalam Adian Husaini (2004: 148-149), menggambarkan kejahatan institusi Kristen tersebut yang merupakan instrumen terror dalam Gereja Katolik sampai dengan akhir abad ke-17. Gereja yang memegang otoritas atau wakil Tuhan, di mana Paus adalah wakil Kristus yang diklaim mempunyai sifat Infallible (tidak dapat salah) melegalisasikan berbagai kekejaman dan penindasan. Penyalahgunaan kekuasaan Gereja justru menimbulkan pemberontakan dari dalam tubuh Gereja sendiri yang sering disebut dengan istilah “reformasi”. Pergolakan pemikiran dan pertarungan gagasan, seperti tercermin dalam kasus Copernicus, Galileo, Darwin dan para saintis yang menentang doktrin gereja dan berusaha mengembangkan kejayaan akal di atas segalanya harus mendapat konsekuensi yang tidak sederhana dari pihak Gereja (Syamsuddin Arif, 2008: 86)

Hegemoni kekuasaan Gereja mengakibatkan krisis kepercayaan dalam masyarakat, Gereja dan tokoh-tokohnya dianggap telah menyimpang dan melakukan banyak penyelewengan. Pemberontakan terjadi di berbagai wilayah, beberapa di antaranya adalah Martin Luther adalah tokoh pertama yang berani melakukan protes atau pemberontakan secara terang-terangan terhadap Paus dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan (Ninety-five These) di pintu gerejanya, di Jerman (Adian Husaini, 2005: 37). Luther terutama menentang

commit to user

itu juga menggugat keseluruhan doktrin supremasi Paus yang telah kehilangan legitimasi akibat penyelewengan yang dilakukan, akibatnya Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Luther mempercayai bahwa konsep keselamatan hanya datang dari Tuhan, dan dasar ajaran hanya dari kitab suci bukan tradisi suci, oleh sebab itu Luther meyakini bahwa Paus tidak memiliki wewenang dalam urusan keselamatan umat. Gerakan Luther kemudian dikenal dengan Protestan yang kemudian memisahkan diri dari Katolik Roma.

Pemberontakan yang terus berlangsung kemudian memisahkan dunia Kristen Eropa menjadi dua bagian besar, yaitu Katolik dan Protestan. Bukan hanya memisahkan tetapi juga menimbulkan persaingan yang dibarengi dengan berbagai aksi pembantaian. Di Prancis, pertarungan antara Katolik dan Protestan terlihat dalam kisah mengerikan pembantaian kaum Protestan (terutama Calvinists) di Paris oleh kaum Katolik yang dikenal sebagai “The St. Bartholomew’s Day Massacre”. Prancis juga dikenal dengan Revolusinya (1789) yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity” (Adian Husaini, 2005: 38)

Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat juga berpengaruh terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Trauma tersebut yang kemudian melahirkan paham sekularisme dalam politik, yaitu memisahkan antara agama dengan politik. Dalam pandangan kelompok penentang hegemoni Gereja meyakini bahwa jika agama dicampur dengan politik maka akan terjadi “politisasi agama”. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi (privat) dan politik (negara) adalah wilayah publik, agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor (Adian Husaini, 2005: 39)

Di sisi lain, problem yang berkaitan dengan teks Bible semakin memperkuat kecenderungan terhadap munculnya penafsiran berbeda pada makna yang terkandung di dalamnya. Mulai dari Perjanjian Lama (Hebrew Bible) yang masih menjadi misteri sampai Perjanjian Baru (The New Testament) yang juga mengalami problem otentisitas teks. Bruce M. Metzger, seorang guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary menjelaskan ada dua kondisi

commit to user

original saat ini dan bahan-bahan yang ada bermacam-macam, berbeda satu dengan lainnya (Adian Husaini, 2005: 42-43). Dominasi Gereja dinilai menghambat kemajuan penelitian ilmiah karena Bible mengandung hal-hal yang kontradiktif dengan akal hingga Revolusi ilmiah (scientific revolution) yang dirintis Copernicus dengan teori heliosentrisnya dianggap bertentangan dengan ajaran Bible (Adnin Armas, 2003: 3).

Selain problematika sejarah dan problem otentisitas Bible, terdapat faktor lain yang menyebabkan Barat mengarahkan perubahan menuju secular-liberal, yaitu problem teologi Kristen. Sepanjang sejarah peradaban Barat, terjadi berbagai persoalan dalam perdebatan teologis. Di zaman pertengahan, rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi pada zaman pertengahan tidak digunakan untuk mengkritisi atau menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi digunakan untuk mengklarifikasi, menjelaskan, dan menunjangnya. Marvin Perry dalam bukunya Western Civilization: A Brief History, menggambarkan sikap para ilmuwan dan pemikir abad pertengahan yang menolak berbagai keyakinan Kristen di luar jangkauan akal manusia karena tidak dapat ditelaah dengan argumen rasional. Bagi para pemikir di zaman pertengahan, akal tidak memiliki keberadaan yang independen, tetapi pada akhirnya harus mengakui standar kebenaran yang bersifat suprarasional dan di luar jangkauan manusia agar pemikiran logis diarahkan oleh batasan-batasan Kristen dan dituntun oleh otoritas scriptural dan keagamaan (Adian Husaini, 2005: 47)

Dari problem teologi Kristen inilah muncul gagasan yang menyatakan perlunya menjembatani dan mempertemukan antara iman dan akal. Sejarah intelektual Kristen adalah serangkaian upaya mencairkan konflik faith versus reason, konflik antara dogma dan filsafat, agama dan sains, dan seterusnya. Karena itu bisa dipahami mengapa Siger de Brabant yang dikecam, Bruno dieksekusi, Galileo di-immurasi (dibakar), dan Spinoza yang dikucilkan tentu dalam usahanya mengembangkan sains (Syamsuddin Arif, 2008: 173).

Sebagai suatu peradaban besar yang masih eksis hingga kini, Islam memiliki banyak perbedaan fundamental dengan peradaban Barat. Problem

commit to user

hegemoni Gereja selama ratusan tahun telah membentuk konsep traumatis terhadap agama sehingga muncul paham sekularisasi yang menempatkan agama pada pojok kehidupan yang sempit (Adian Husaini, 2005: 55). Kejayaan dan kemajuan Barat yang dipercaya bisa tercapai karena mampu keluar dari kungkungan hegemoni kekuasaan Gereja, tanpa disadari telah menginspirasi kalangan umat Islam yang mengaku berpandangan kritis sehingga secara mudah mengimpor gagasan sekular-liberal peradaban Barat ke dalam pemikiran Islam.

b. Liberalisme dalam Islam Pemikiran Islam liberal telah menjalar dalam berbagai peradaban, termasuk peradaban di Timur Tengah yang justru lebih identik dengan Islam puritan atau kelompok Islam fundamentalnya. Islam liberal tampil dengan wajah

dan respon yang berbeda-beda, tentu hal yang membuatnya sama adalah berbagai keinginan untuk mencapai kebebasan. Akar-akar gerakan liberalisme Islam di Timur Tengah bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika gerakan kebangkitan (harakah al-nahdhah) di kawasan Timur Tengah hampir serentak dimulai (Luthfi Assyaukanie, 2001 dalam http://islamlib.com/id/artikel/wacana-islam-liberal-di- timur-tengah2, diakses 30 April 2012). Menurut Bernard Lewis (2004: 188), argumen yang sering dijadikan dalil dalam pola hubungan antara Timur dan Barat bukanlah kemunduran Timur dalam hal ini peradaban Islam namun bangkitnya Barat yang ditandai dengan berbagai penemuan, gerakan ilmu pengetahuan, revolusi teknologi, industri dan politik sehingga Barat mampu menegakkan hegemoninya di dunia.

Bagi kelompok Islam yang dikenal sebagai kalangan fundamentalis menganggap kemunduran Islam disebabkan karena negara-negara muslim telah banyak mengadopsi gagasan dan praktik yang berasal dari luar Islam. Sedangkan kelompok yang dikenal sebagai pembaharu atau reformis berpandangan sebaliknya, bahwa penyebab hilangnya keagungan Islam karena dipertahankannya cara-cara lama terutama dalam hal kekakuan banyak pemimpin agama Islam. Praktik agama yang kolot membuat para reformis mengarahkan kritikan pada

commit to user

pernah jaya dan secara lebih umum atas terkekangnya kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat (Lewis, 2004: 190).

Pada awalnya, kecenderungan liberalisme tokoh-tokoh pembaru Muslim di kawasan Arab dipicu oleh semangat pemberontakan terhadap kolonialisme Eropa dan terhadap keterbelakangan kaum Muslim. Albert Hourani adalah salah seorang pengajar di Oxford’s Middle East Centre. Hourani banyak mengkaji dan menulis tentang Timur Tengah. Dalam karyanya Arabic Thought in the Liberal Age 1798 – 1939 , menegaskan dalam masyarakat Arab era liberal pernah muncul dan hidup selama beberapa waktu, sebelum kemudian mengalami pasang surut dalam menghadapi berbagai perlawanan. Pemikiran-pemikiran Islam yang liberal, dalam pandangan Hourani, didorong pertama kali pada tahun 1798 ketika pasukan Napoleon Bonaparte memasuki wilayah Mesir. kedatangan Napoleon di Mesir merupakan tonggak penting bagi Muslim Liberal dan juga bagi bangsa Eropa. Bagi kaum Muslim Liberal, kedatangan itu membuka kekaguman, betapa tentara Eropa yang modern mampu menaklukkan dan menguasai jantung Islam. Bagi orang Eropa, kedatangan itu menyadarkan betapa mudah menaklukkan sebuah peradaban yang di masa silam begitu berjaya dan sulit ditaklukkan. Kedatangan Napoleon ke Mesir bukan sekadar invasi militer, melainkan juga titik awal westernisasi bangsa Arab dan kaum Muslim. Hourani menjadikan era liberal sebagai rujukan masa kebangkitan Islam di dunia modern. Dunia Arab kemudian menyaksikan era liberal yang ditandai dengan berkembangnya respon yang positif terhadap kemajuan Barat. Indutrialisasi, rasionalisasi, dan modernisasi adalah pilar-pilar kehidupan Barat yang menjadi perhatian bersama sebagian besar orang- orang Arab. Ketiga pilar tersebut dinilai penting untuk kehidupan manusia (Rimbun Natamarga, dalam http://sejarah.kompasiana.com/2011/02/01/akar-dan- wajah-pemikiran-islam-liberal/, diakses 11 November 2011)

Semangat kemajuan Barat mendorong para pemikir muslim dan non- muslim bersama-sama mengadakan dialog secara bebas, mengekspresikan secara bebas pemahaman terhadap agama dan budaya di tengah-tengah masyarakat Arab. Berbagai wacana liberal silih berganti memenuhi era 1798-1939, meskipun

commit to user

kebebasan berpikir tidak surut. Selama 1798-1939, era tersebut diramaikan oleh tiga generasi pemikir. Generasi pertama muncul dan mewarnai pemikiran- pemikiran pada 1830-1870. Generasi ini mempertanyakan mengapa dunia Barat bisa maju dan mengapa dunia Arab dan Islam mengalami kemunduran. Dari pertanyaan-pertanyaan semacam ini muncul beberapa pemikir yang mencoba memberi jawaban. Di antaranya yang terkenal adalah Rifa’ah Badawi Rafi’ Ath- Thahthawi (1801-1873) yang disebut sebagai bapak pembaruan pemikiran keagamaan Mesir dengan kekagumannya atas Paris yang disiplin dan tertib meskipun beberapa kritikan atas materialis Prancis juga ditulis dalam karyanya, Khairuddin Pasya At-Tunisi (1825-1889), Faris Asy-Syidyaq (1804-1887) dan Butrus Al-Bustani (1819-1883).

Generasi kedua muncul pada rentang 1870-1900. Gagasan dimulai dengan beberapa wacana yang lebih berani, mengenai ketertinggalan Arab dan Islam dari Barat masih dibicarakan serta juga mendiskusikan rasionalisme Barat yang perlu diterapkan dalam menjalankan Islam. Artinya, akal perlu dipakai untuk menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits. Selain itu, wacana yang mulai muncul adalah masalah persamaan gender. Pada rentang waktu, dibahas isu-isu emansipasi wanita di tengah-tengah masyarakat Arab pada umumnya dan masyarakat muslim secara khusus. Di antara pemikir-pemikir generasi kedua ini adalah Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) yang bisa dikatakan aktivis umat yang hampir kehidupannya dihabiskan untuk berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain demi untuk merealisasikan cita-citanya yaitu mempersatukan umat dan bersama mengusir penjajah dari bumi timur., Muhammad Abduh (1848-1905), dan Qasim Amin (1865-1908).

Tokoh Islam liberal yang dianggap paling kuat pengaruhnya terhadap orientasi pemikiran intelektual di Indonesia adalah Muhammad Abduh. Kendati dididik secara tradisional dan berguru pada beberapa ulama Universitas Al-Azhar, yang sebagian besar bersikap konservatif, Abduh menunjukkan dirinya sebagai intelektual yang terbuka dan progresif. Abduh dipercaya menjadi Mufti Agung Mesir. Abduh bisa dipandang sebagai seorang ulama yang mempertahankan

commit to user

menjadi mufti, ia mengeluarkan fatwa kontroversial. Yaitu halalnya bunga bank dan daging hasil sembelihan orang-orang nonmuslim. Tidak mengherankan bila murid-murid Abduh terpecah menjadi dua kelompok besar. Ada kelompok Abduh al-Yamånå (kelompok kanan), yang cenderung mengembangkan pemikiran- pemikiran keagamaannya. Ada pula kelompok Abduh al-YasÉrå (kelompok kiri), yang lebih berusaha mengembangkan gagasan-gagasan modern (Gatra, Kholis Bahtiar Bakri, 2001: 74).

Kelompok kanan antara lain, Muhammad Rasyid Ridha dan Shakib Arselan. Kelompok ini menjadi lebih fundamental pada Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb. Merekalah yang kemudian melahirkan gerakan Ikhwan al-Muslimun dan kelompok-kelompok Islam garis keras lainnya, seperti Hizb al-Tahrir. Sementara itu, Qasim Amin dan Ali Abdur Raziq dianggap sebagai murid Abduh beraliran kiri. Kelompok kiri mencapai puncaknya pada diri Hasan Hanafi, sebagai penggagas Islam kiri. Kemudian berkembang menjadi tokoh sekuler yang radikal, seperti Fuad Zakariya, Zaki Najib Mahmud, dan Ahmad Said. Pemikiran kelompok kiri, yang bisa disebut Islam libera di kawasan Arab mengalami perkembangan cukup pesat. Murid-murid dan simpatisan Abduh yang berkecenderungan kiri makin menyebar, tak terbatas di kawasan timur Arab, melainkan juga meluas hingga ke barat seperti Maroko, Tunisia, dan Aljazair (Gatra, Kholis Bahtiar Bakri, 2001: 74).

Generasi ketiga pada 1900-1939. Rentang ini adalah puncak era liberal di dunia Arab sekaligus menandai akhir era tersebut. Berbagai wacana liberal muncul dan dipikirkan. Namun, tema tentang kekhalifahan Islam mengenai perlunya kekhalifahan Islam bagi masyarakat Arab dan Islam adalah hal yang sering mendatangkan perdebatan sengit di antara pemikir pada generasi ini. Memasuki dasawarsa 1920-an, wacana mulai mengerucut menjadi wacana- wacana politis. Muncul isu-isu tentang nasionalisme, baik itu nasionalisme Arab, nasionalisme Turki atau bahkan nasionalisme Mesir. Keadaan ini kemudian diikuti wacana-wacana yang bersifat fundamental, di mana tokoh-tokoh mulai meninggalkan upaya-upaya rasionalisasi dan modernisasi dalam beragama. Di

commit to user

1966), dan Thaha Husain (1889-1973) (Rimbun Natamarga, dalam http://sejarah.kompasiana.com/2011/02/01/akar-dan-wajah-pemikiran-islam- liberal/, diakses 11 November 2011).

Akhir generasi ketiga era liberal dalam pembahasan Hourani bukan berarti menandakan matinya pemikiran liberal dalam Islam selama-lamanya. Kemunculan gerakan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Takfir wal Hijrah, dan negara Israel adalah beberapa sebab signifikan yang mendorong kebangkitan kembali pemikiran liberal di dunia Arab dan terkhusus lagi di tengah- tengah kaum muslimin di dunia. Tampil dengan corak yang lebih baru, era liberal yang kedua dimulai ketika negara-negara Arab kalah dalam Perang Tujuh Hari melawan Israel pada 1967. Setelah kekalahan itu, muncul tulisan-tulisan dengan semangat yang sama ketika era liberal pertama berlangsung. Di antara nama terkenal yang membawa semangat ini adalah Zaki Najib Mahmud, Najib Mahfouz, Nawal el Sadawi, Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Adonis, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Khalid Abul Fadhl. Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan telah menyebar ke negara-negara Islam termasuk Indonesia. Tulisan-tulisan tokoh-tokoh ini dikaji dalam diskusi-diskusi, bahkan kadang kala beberapa pemikir itu pun diundang untuk berbicara langsung (Syamsuddin Arif, 2008: 78).

Menurut Lutfi Assyaukanie, dosen filsafat dan sejarah pemikiran Islam di Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, ruang gerak Islam liberal pada dasarnya mengalami hambatan. Islam liberal tidak bisa berinteraksi dengan masyarakat secara luas. Bahkan cenderung mengalami konflik serius, karena berbenturan dengan otoritas agama dan masyarakat (Gatra, Kholis Bahtiar Bakri, 2001: 74). Misalnya kasus yang menimpa intelektual Mesir, Nasr Abu Zayd. Ia terpaksa diasingkan ke Belanda oleh Universitas Al-Azhar, karena pemikiran- pemikirannya yang kontroversial. Yang tragis adalah nasib Mahmud Mohammed Taha. Intelektual Sudan ini dihukum mati oleh pemerintah fundamentalis Sudan. Intelektual liberal, seperti Ahmad Khalafallah, Najib Mahfouz, Fuad Zakariyya, Muhammad Syahrour, dan Hasan Hanafi, justru mengalami beberapa pelecehan.

commit to user

untuk berekspresi sesuai dengan keyakinannya. Tidak aneh jika di antarany ada yang pindah ke negara-negara Barat, seperti Mohammed Arkoun seorang pemikir asal Aljazair yang menetap di Prancis.

Di Indonesia, gagasan Islam liberal yang pernah dirintis, antara lain, oleh Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Munawir Sjadzali, dan Abdurrahman Wahid juga mengalami nasib serupa dengan mendapat kecaman dan tuduhan sesat, bahkan dianggap sebagai agen zionis yang ingin merusak Islam. Meskipun pengalamannya tidak seburuk yang dialami intelektual Islam liberal di kawasan Timur Tengah, menurut Ulil Abshar Abdalla, gagasan Islam liberal sebenarnya telah gagal. Buktinya, tidak ada yang bisa diperbuat para intelektual Islam liberal Indonesia pada saat kekerasan atas nama agama terus berkecamuk, bahkan fundamentalisme dan ekstremisme agama semakin kuat. Kegagalan Islam liberal, menurut Ulil, antara lain karena tidak adanya pengorganisasian secara sistematis. Berbeda dengan kelompok fundamental yang memiliki infrastruktur jaringan umatnya yang solid dan sudah terbangun lama. Dalam pandangan Lutfi Assyaukanie, gerakan Islam liberal terlalu elitis, dan tidak mengakar ke masyarakat bawah. Pada masa awal kebangkitan Islam liberal, pemegang isu-isu pembaruan adalah tokoh-tokoh agama yang memiliki otoritas dan berpengaruh di masyarakat, seperti Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, dan Qasim Amin. Sedangkan di Indonesia, gagasan lebih banyak dibawa kalangan akademisi dan peneliti, yang tidak mengakar di masyarakat. Akibatnya, masyarakat merasa asing dengan isu-isu pembaruan. Bahkan, mereka menjadi reaktif karena menerima doktrin bahwa gagasan Islam liberal adalah sesat (Gatra, Kholis Bahtiar Bakri, 2001: 75).

2. Masuknya Pengaruh Islam Liberal ke Indonesia Berkembangnya Islam liberal di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari besarnya peran orientalis yang mempengaruhi pemikiran tokoh-tokoh dan generasi muda Muslim serta masuknya penjajah Barat ke tanah Indonesia yang

commit to user

termasuk urusan agama.

a. Orientalisme Orientalisme adalah gerakan pemikiran dan berbagai studi orang Barat (nonmuslim) tentang Timur (Islam) yang mencakup pokok syariat Islam, ilmu, peradaban, sastra, bahasa, dan kebudayaan. Gerakan pemikiran tersebut telah memberikan andil besar dalam membentuk persepsi Barat tentang Islam. Mengopinikan kemunduran pola pikir umat Islam dalam rangka pertarungan peradaban antara Timur (Islam) dengan Barat yang kemudian bergerak dengan berbagai motif, mulai motif agama, ekonomi dan penjajahan, politik, maupun keilmuan. Orientalis menjadikan ilmu sebagai alat untuk menggerogoti da’wah Islam dan bersembunyi di balik pembahasan dan penelitian ilmiah. Memasukkan bibit-bibit (benih-benih) kebatilan terutama ke dalam Syari’ah Islamiyah, masalah-masalah Fiqih, muamallah dan lain-lain, dengan sengaja menyusun hal- hal menyesatkan terhadap generasi muda Islam, yang belajar kepada orientalis, memantapkan serta memberikan hal-hal yang membuat orang merasa cukup terhadap pikiran-pikiran yang merusak dan berbahaya, kemudian menarik secara halus agar para mahasiswa yang belajar dengan Orientalis dan yang belajar di Barat bergabung dengan Orientalis dalam merusak dan tanpa disadari mencari- cari kejelekan Islam (Abdul Mun’im Hasanain, 2008: 10).

Di antara cara orientalis dalam menggerogoti da’wah Islam adalah membenamkan umat Islam ke dalam pemikiran yang menyesatkan terutama generasi mudanya dengan memalingkan dan mengaburkan ajaran Islam yang telah memiliki landasan jelas (Al-Qur’an serta Hadist). Faham-faham tersebut diajarkan dengan memperlihatkan Firman Allah yang sesuai dengan pemahaman orientalis, tentu dengan tujuan menciptakan keragu-raguan dalam jiwa-jiwa umat Islam. Seperti melanggengkan materialism, faham yang mementingkan nafsu dan kesenangan dunia. Eksistensialisme, aliran kebebasan yang merupakan kelanjutan dari materialism modern. Ditanamkan pada pemuda-pemuda Islam untuk pendangkalan, yang dianggap sebagai gerakan kebebasan. Peranan besar yang

commit to user

semboyan “Gerakan pembebasan yaitu bebas dari Agama, akal dan perikemanusiaan supaya mereka menjadi hewan yang lebih sesat, tidak khawatir lagi pada bahaya-bahaya kolonialis, dan Orientalis untuk memerangi Islam dan penggerogotan da’wahnya”. Selain itu, Orientalis juga menyebarkan faham kepada ilmuwan Islam, agar memisahkan antara ilmu dengan agama (yang disebut Sekularisme), yaitu propaganda dengan wajah intelektualisme (Islam dan Orientalis - IndoForum http://www.indoforum.org/t239248/#ixzz1ytiaHLsV, diakses 26 Juni 2012)

Menurut Syamsuddin Arif (2008: 282), orientalisme dalam arti kata kajian terhadap kebudayaan dan peradaban Timur telah bermula paling tidak setelah terjadi kontak dan interaksi antara orang-orang Yunani dengan orang Mesir Kuno, Babylonia, dan Persia. Sedangkan di abad pertengahan, orientalisme adalah upaya mempelajari karya-karya ilmuwan Islam bahwa “Cahaya berasal dari Timur” (Ex Oriente Lux). Kemudian sejak zaman Renaissance, orientalis bukan hanya mempelajari bahasa, agama dan peradaban Mesir Kuno, Parsi, Zoroaster, Arab dan Islam, tapi juga bahasa dan peradaban India, Cina dengan agama Hindu dan Budhanya. Namun dengan motif dan tujuan yang lebih sempit, yaitu sebagai alat dan senjata untuk menjajah, menguasai, dan mempengaruhi bangsa dan peradaban Timur yang membawa slogan 3G (gold, glory, gospel). Atas motif tersebut maka lahirlah orientalis (seperti: Goldziher, Alphonse Mingana, Noldeke, Hurgronje, Lewis, Arthur J., Binder, dll) yang mendalami kajian Timur untuk menghancurkan Islam.

Ignaz Goldziher adalah termasuk orientalis Yahudi terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam. Pada usia 16 tahun, Goldziher telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum . Kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Nabi Muhammad SAW. Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya. Menurut Jamal, Goldziher melontarkan tuduhan

commit to user

lain (Yahudi, Nasrani, Majusi dan pemuja berhala) yang sengaja dipilih Muhammad. Menurut Prof. Jamal, tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh Goldziher sama halnya ketika turun Al-Qur’an, orang-orang Musyrik juga menyatakan Muhammad seorang yang gila, tukang sihir, mendongeng palsu dan lain-lain

(Tabrani

dalam

http://www.tabraniaceh.com/2011/06/sosok- orientalisme-dan-kiprahnya.html, diakses 26 Juni 2012). Pada tahun 1927 Alphonse Mingana, pendeta asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani- Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani”. Pernyataan orientalis- missionaris tersebut dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab sucinya dan juga disebabkan oleh kecemburuannya terhadap umat Islam dan kitab suci nya Al-Quran (Syamsuddin Arif, 2008: 3).

Jauh sebelum Mingana, tepatnya pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav Fluegel menerbitkan mushaf hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu dinamakan Corani Textus Arabicus. Naskah ini sempat dipakai tadarrus oleh aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) (http://annastacy.wordpress.com/2008/06/29/tokoh-idola-uli-abshar-abdalla- orientalisme-dan-al-quran-kritik-wacana-keislaman-mutakhir/ , diakses 26 Juni 2012). Kemudian datang Theodor Noeldeke seorang pakar semitik Jerman yang menyelesaikan studinya di Gottingen, Vienna, Leiden dan Berlin. Pada tahun 1859 tulisannya tentang Sejarah Al-Qur`an memenangkan penghargaan dari French Academie des Inscription . Noeldeke yang ingin merekonstruksi sejarah Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860).

Tulisan Noldeke tentang Sejarah Al-Quran terus direvisi oleh muridnya Friedrich Schwally dan karyanya diterbitkan dengan judul: The Origin of the Qur’an (1909). Pada tahun 1919 Schwally menyelesaikan edisi keduanya dengan judul The Collection of The Qur’an. Schwally juga merintis penyusunan, penyusunan buku The History of the Text. Setelah Schwally meninggal, usahanya

commit to user

buku tentang Sejarah Al-Qur’an itu ditulis oleh beberapa orientalis yang terus menerus disempurnakan. Hasil karya tersebut menjadi karya standar dalam masalah sejarah kritis penyusunan Al-Quran bagi para orientalis. Taufik Adnan Amal, Dosen Ulumul Qur’an dan aktivis Islam Liberal, juga menjadikan karya orientalis menjadi rujukan utamanya dalam menulis buku “Rekonstruksi Sejarah Al-Quran”

(Tabrani

dalam

http://www.tabraniaceh.com/2011/06/sosok- orientalisme-dan-kiprahnya.html, diakses 26 Juni 2012) Pada tahun 1937, Arthur Jeffery datang dengan ambisi membuat edisi kritis Al-Quran, mengubah Mushaf Utsmani yang ada dan menggantikannya dengan mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, berkeinginan merestorasi teks Al-Quran berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang dianggap mengandung bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan (rival codices). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl yang pernah bekerja keras mengumpulkan foto lembaran-lembaran naskah (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Quran tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia II berkecamuk (Syamsuddin Arif, 2008: 5).

Christian Snouck Hurgronje, orientalis yang banyak dikenal masyarakat Indonesia. Snouck meraih gelar sarjananya di Fakultas Teologi, Universitas Leiden. Kemudian Snouck melanjutkan ke jurusan sastra Semitik dan meraih doktor, ketika umur 23 tahun. Disertasinya tentang Perjalanan Haji ke Mekkah (Het Mekkanche Feest). Tahun 1884 Snouck pergi ke Jeddah sampai 1885, Snouck kemudian berpura-pura masuk Islam dengan menggunakan nama Abdul Ghaffar agar bisa ke Mekkah dan menjalankan ibadah haji, namun enam bulan kemudian diusir karena terbongkar jati dirinya. Snouck kembali ke Belanda sebagai lektor di Universitas Leiden hingga tahun 1887. Selanjutnya Snouck tinggal di Indonesia, dengan kedudukan sebagai penasihat pemerintah Belanda. Selain itu, juga menulis De Atjehrs (Penduduk Aceh) dalam dua jilid (1893-1894). Dalam disertasinya Het Mekkanche Feest, Snouck menjelaskan arti ibadah haji

commit to user

dengan menyimpulkan bahwa haji dalam Islam merupakan sisa-sisa tradisi Arab Jahiliyah (http://myquran.org/forum/index.php?topic=65952.0, diakses 26 Juni 2012).

Keinginan orientalis untuk terus meningkatkan keragu-raguan di kalangan umat Islam tidak pernah surut bahkan semakin gencar dengan cara-cara baru sampai tujuan yang diinginkan benar-benar tercapai, seperti tercantum dalam Al-Qur’an:

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu (QS. Al-Baqarah {2}: 120).

Pada tahun 1930, Samuel Zwemer pada Konferensi Misionaris di Kota Yerussalem menyatakan: "Misi kolonialisme dan misionaris terhadap Islam bukanlah menghancurkan kaum Muslimin. Namun mengeluarkan seorang Muslim dari Islam, agar dia menjadi orang Muslim yang tidak berakhlak. Dengan begitu akan membuka pintu bagi kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam." Samuel Zwemmer yang juga orientalis-Yahudi ini bahkan mendirikan Jurnal the Muslim World , namun isinya bukan untuk membela Islam bahkan ingin melemahkannya. Bahkan pada tahun 1978 di Colorado, tepatnya di Green Area, Amerika Serikat (AS) seluruh pendeta dunia berkumpul untuk membicarakan strategi melumpuhkan

Dzulhadi dalam

http://www.akhirzaman.info/islam/miscellaneous/1256-metode-studi-islam- orientalis-bahayakan-keilmuan-islam.html, diakses 30 Juni 2012)

Selain itu, lahir juga orientalis modern dengan berbagai karyanya yang banyak menjadi rujukan dan menginspirasi intelektual muslim Indonesia khusunya yang tergabung dalam kelompok Islam liberal. Leonard Binder adalah seorang Yahudi yang dikenal sebagai ahli Internasional untuk bidang Politik Timur Tengah dan Pemikiran Politik Islam ini juga memperoleh gelar Guru Besarnya dengan sponsor dari University Of California Los Angeles (UCLA). Dalam malakukan panelitian Binder sering bersama-sama Fazlur Rahman. Di

commit to user

dibiayai oleh Ford Foundation itu melibatkan puluhan ahli dan meneliti lima masalah pokok (Binder, 2001: v). Hasil risetnya kemudian di bukukan oleh Fazlur Rahman dalam karyanya Islam and Modernity : Tranformation of an Intellectual Tradition ( 1982). Di antara karya-karya yang telah dipublikasikan: Religion and Politics in Pakistan (1961), Iran : Poolitical Development in a Changing Society (1962), The Ideological revolution in the Middle East (1964), In a Moment of Enthusiasm : Political Power and the second Stratum in Egypt (1978), Islamic Liberalism(1988) (Moh. Rofiq dalam http://musrofiq.blogspot.com/2012/06/v- behaviorurldefaultvmlo_13.html#!/2012/06/v-behaviorurldefaultvmlo_13.html, diakses 26 Juni 2012).

Philip K. Hitti, Guru Besar Emeritus Sastra Semit di William and Annie S. Paton Foundation, Universitas Princeton, selama beberapa dasawarsa diakui oleh dunia internasional sebagai ahli Islam (orientalis) yang paling berbobot di Barat. Salah satu karyanya, Islam and the West : An Historical, Cultural Survey, meskipun ringkas namun secara garis besar menyoroti berbagai hal paling penting mengenai hubungan antara dua peradaban yang berlawanan (Islam dan Barat) semenjak abad pertengahan hingga sekarang. Selain itu Bernard Lewis, sejarawan Yahudi Inggris-Amerika yang menjabat sebagai Profesor Kehormatan bidang Timur Tengah di Universitas Princeton. Lewis mendalami sejarah Islam serta interaksi kebudayaan Barat dan Islam. Lewis adalah salah satu dari sedikit cendekiawan Eropa diizinkan untuk mengakses arsip dari Kekaisaran Ottoman di Istanbul. Selain itu dalam studi sejarah keislaman, telah diterbitkan terjemahan klasik Arab, Turki, Persia dan puisi Ibrani. Beberapa karya Lewis di antaranya , The Arabs in History , What Went Wrong? and The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror .

Selain orientalis-orientalis tersebut, masih banyak orientalis lain yang pengaruhnya besar bagi dunia Islam. Orientalis masa kini pun tak kalah banyaknya dengan zaman dahulu. Bahkan kini mendirikan Islamic-Islamic Studies di Barat, untuk mendidik anak-anak cerdas Islam agar mengikuti jejaknya. Di antara tokoh yang terkenal adalah Wilfred C Smith dengan konsep World

commit to user

sehingga muncul keharusan mengkaji ulang terminologi agama dan Samuel P. Huntington dengan teori Benturan Peradabannya. Ada beberapa orientalis yang dikenal cukup akomodatif dengan Islam, meski masih ada bias-bias dalam tulisannya. Seperti John L Esposito dan Karen Armstrong. Esposito, meski banyak melahirkan karya-karya yang membela Islam, namun tetap memberi cap kepada Sayyid Qutb dan Al Maududi sebagai tokoh “Islam Radikal”. Karen Armstrong menyamakan “Islam Fundamentalis” dengan Kristen Fundamentalis dan Yahudi Fundamentalis. Dan itulah yang dirujuk dan dipuja-puja kaum liberal untuk melihat Islam (Tabrani dalam http://www.tabraniaceh.com/2011/06/sosok- orientalisme-dan-kiprahnya.html, diakses 26 Juni 2012)

b. Kolonialisme di Indonesia Kedatangan penjajah Belanda dan Portugis ke Indonesia dengan melaksanakan program trilogy Imperialisme, yaitu Gold, Glory, Gospel, sangat jelas memperlihatkan bahwa di samping untuk menguasai kekayaan alam , para penjajah berusaha untuk menyebarkan agama, dalam hal ini adalah Kristen. Kekhawatiran akan munculnya kekuatan Islam yang akan melawan hegemoni penjajah, mengingat Islam adalah mayoritas di Hindia Belanda maka pemerintah kolonial berupaya untuk mempersempit peran Islam (Adian Husaini, 2005: 371).

Pemerintah baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran Aufklarung atau Enlightenment memerintah di Indonesia, mulai diterapkan politik pengajaran liberal (Haidar Putra Daulay, 2007: 29). Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politiek , yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek adalah : a. dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; b. dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; c. dalam bidang politik

commit to user

rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam. (Aqib Suminto, 1985: 12). Sekularisme sebagai akar liberalisme masuk ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekular telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. Namun beberapa tahun setelah keluar Undang-undang tersebut beberapa pemberontakan terjadi, hal ini tentu melatarbelakangi penyimpangan kebijaksanaan netral pemerintah kolonial demi terpeliharanya ketertiban dan keamanan. Puncaknya pada tahun 1882 Lembaga Peradilan Agama diresmikan oleh pemerintah, dengan demikian maka politik tidak mencampuri masalah agama telah berakhir. Sejak itulah pemerintah semakin mencampuri agama Islam, terutama di bidang pendidikan (Aqib Suminto, 1985: 27-29).

Selanjutnya, Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad ke-20 semakin menancapkan liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakannya disebut unifikasi, yaitu upaya mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje, menjadi cara manjur dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meski pun ada perbedaan agama (Deliar Noer, 1991: 183).

Bidang pendidikan menjadi jalur pilihan penjajah dalam memperluas liberalism. Pada awal abad ke-20 Indonesia telah dipengaruhi ide-ide pembaruan pemikiran Islam yang juga memasuki dunia pendidikan. Terlihat dari munculnya upaya-upaya pembaruan dalam bidang materi, metode. Bidang materi tidak hanya berorientasi pada mata pelajaran agama, tetapi dimasukkan pula mata pelajaran umum. Metode pengajaran telah lebih bervariasi, tidak lagi semata-mata membaca kitab dalam bentuk sorogan dan wetonan. Hingga bentuk lembaga pendidikan Islam yang tidak lagi berorientasi pada ilmu agama saja (Haidar Putra Daulay, 2007: 35).

commit to user

abad ke 20 dan 21 mulai banyak generasi muda Muslim yang memutuskan untuk belajar keislaman di negara-negara Barat (Eropa, Amerika dan Australia) di bawah bimbingan mahaguru bukan Muslim (Yahudi, Nasrani, ataupun atheis) dan dengan bahasa pengantar selain Arab (Syamsuddin Arif, 2008: 280). Hal ini telah membentuk pandangan atau pemahaman generasi muda Muslim dalam mengkritisi Islam. Bibit-bibit sekular telah benar-benar tertanam di Indonesia, bahkan setelah pemerintah kolonial Belanda meninggalkan tanah jajahan, bukan berarti paham sekular telah hilang. Beberapa peristiwa yang memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh dan aturan yang ditetapkan masa penjajahan masih diwarisi oleh tokoh-tokoh bangsa. Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular-liberal yang ditanamkan penjajah. Revolusi kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rezim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular.

Menurut Adian Husaini (2005: 374), dapat dicermati dalam sidang- sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Salah satu hal penting untuk diingat adalah seputar pembentukan konstitusi negara Indonesia. Perdebatan terjadi antara dua kelompok yaitu kelompok nasionalis Islam dan kelompok nasionalis sekular (golongan kebangsaan). Perdebatan dalam BPUPKI diakhiri dengan pembentukan Panitia Sembilan yang berhasil menyusun suatu Gentlemen’s Agreement, yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Tetapi dalam rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, Piagam Jakarta digugat oleh seorang Kristen dari Maluku bernama Latuharhary, dengan alasan akan dapat mengalami kesulitan dalam aplikasinya di berbagai daerah, khususnya ketika berhadapan dengan adat istiadat. Sehingga, Piagam Jakarta yang sudah disepakati di BPUPKI dihapus, dengan alasan ada keberatan dari pihak Kristen Indonesia Timur yang menghendaki dicoretnya kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mohammad Natsir menyebut ini sebagai “peristiwa ultimatum terhadap Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan”.

commit to user

Yamin telah memenangkan kompetisi politik melawan kelompok Islam dengan tokohnya Abdul Kahar Muzakkar, H. Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso.

Pemerintahan yang sekular tidak hanya berhenti dalam perjalanan sekitar proklamasi, dari awal masa Orde Baru sampai sekitar tahun 1988 dapat disebut sebagai tahapan antagonis antara pemerintah dan Islam, di mana semakin memperlihatkan sekularisasi dan deislamisasi. Pengembangan gagasan dan pemikiran rasional di Indonesia, secara langsung terlihat dari beberapa program Departemen Agama masa Orde Baru dengan mengirim para sarjana IAIN untuk melanjutkan studi dan belajar ilmu-ilmu Islam di negeri Barat pada kaum orientalis (Budi Handrianto, 2007: 57). Lahirnya pemikiran Islam Liberal di kalangan pemikir dan intelektual Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh para pemikir Barat yang menggagas liberalisasi Islam dan secara cepat meluas dalam berbagai aspek. Proyek imperialis yang masuk melalui jalur pendidikan menjadi alur terprogram dan memberikan pengaruh besar bagi pandangan ideologis negara Indonesia cenderung berpihak pada Barat yang dinilai sukses dalam pengembangan Ilmu pengetahuan sehingga negara-negara Barat berhasil maju pesat, dan Indonesia pantas belajar dari para orientalis.

Dapat dimengerti mengapa berbagai bentuk pemikiran liberal sangat potensial untuk dapat tumbuh subur di Indonesia, baik liberalisme di bidang politik, ekonomi, atau pun agama. Dalam bidang ekonomi, liberalisme ini berwujud dalam bentuk sistem kapitalisme (economic liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi yang bercirikan adanya kepemilikan pribadi (private ownership ), perekonomian pasar (market economy), persaingan (competition), dan motif mencari untung (profit). Dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi liberal yang mengharuskan pemisahan agama dari negara sebagai titik tolak pandangannya dan selalu mengagungkan kebebasan individu. Dalam bidang agama, liberalisme diwujudkan dalam modernisme (paham pembaruan), yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban Barat yang mengedepankan pluralisme

commit to user

Indonesia, terlihat dengan hadirnya Nurcholish Madjid dengan ide pembaruannya tahun 1970-an. Menurut Ulil Abshar Abdalla, tradisi liberal sebenarnya sudah ada dan berkembang kuat di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Sejak 1980-an, banyak isu-isu sensitif dalam Islam yang dipecahkan oleh NU dengan tidak biasa. Mulai dari Pancasila sebagai asas tunggal, bunga bank, bank konvensional, sampai ke isu insklusivisme Islam Indonesia. Wajar, jika citra NU sebagai organisasi Islam tradisionalis, sudah lama harus ditinggalkan. Sejak 1970-an, sudah dapat dikatakan mengisi posisi yang pernah ditempati Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) pada 1920-an. Greg Barton, penulis biografi Gus Dur, meyakini bahwa posisi sebagai kelompok Islam konservatif sekarang ini justru dipegang oleh Muhammadiyah dan Persis (Rimbun Natamarga, dalam http://sejarah.kompasiana.com/2011/02/01/akar-dan-wajah-pemikiran-islam- liberal/, diakses 11 November 2011).

3. Politisasi Agama Pasca Orde Baru

Banyak kalangan menganggap bahwa masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin di bawah rezim Soekarno maupun era Orde Baru Soeharto adala rezim yang tidak apresiatif terhadap Islam, bahkan dipandang telah melakukan proses peminggiran aspirasi umat Islam di Indonesia (Syarif Hidayatullah, 2010: 27). Permasalahan besar dan mendasar yang dihadapi pemerintah masa Orde Baru telah mendorong penentu kebijakan untuk melakukan rekontruksi sistem ekonomi dan politik yang diarahkan kepada modernisasi dengan menggunakan pendekatan pragmatis dalam pemecahan permasalahan yang justru mengundang perbedaan pendapat yang tajam antara tokoh-tokoh muslim dengan intelektual sekuler.

Kebijaksanaan berkembang bersamaan dengan restrukturisasi partai- partai politik, serta pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh kekuatan sosial politik dan organisasi masa (Asas tunggal Pancasila). Keharusan pemberlakuan asas tunggal, berimplikasi kepada peniadaan asas, serta ciri yang menjadi identitas organisasi politik dan organisasi masa, sehingga peluang membangkitkan Islam Politik secara ideologis menjadi tertutup. Puncaknya adalah

commit to user

kekuasaan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan nasional, terbatas pada lingkaran pegawai-pegawai pemerintah terutama perwira-perwira militer dan pejabat-pejabat tinggi birokrasi termasuk di dalamnya para tehnokrat (Muslih Fuadie, dalam http://jurnalushuluddin.wordpress.com/2008/03/11/usaha- memahami-ide-pembebasan-telaah-sosiologis-atas-pembaharuan-nurcholish- madjid-1970-1972/, diakses 9 Juni 2012)

Perubahan setting politik pasca Orde Baru tanpa diduga memberi ruang bagi berkembangnya wacana penegakan syariat Islam di Indonesia. Pro dan kontra tentu bermunculan, setiap kelompok mengajukan argumentasi untuk meneguhkan pendirian masing-masing, argumentasi yang dibangun tidak lagi ditujukan untuk berusaha meyakinkan pihak lain, tetapi justru melakukan stigmatisasi satu sama lain. Di mata kelompok pro pelaksanaan syariat, kelompok yang menolak syariat dianggap Islamophobia. Sementara kelompok anti pelaksanaan syariat memandang sebagian kelompok pro pelaksanaan syariat sebagai orang-orang yang hendak melakukan politisasi agama (Arskal Salim dalam http://islamlib.com/id/artikel/islam-di-antara-dua-model-demokrasi, diakses 19 Februari 2012).

Pada saat rezim Orde Baru tumbang, euphoria reformasi telah mendukung kebebasan tanpa batas sebagai bentuk pelampiasan kegagalan pemerintah orde baru. Semangat demokrasi memberikan landasan bagi kelompok Islam untuk menjalankan kembali aktivitasnya yang sempat dikurung masa Orde Baru. Munculnya kelompok Islam radikal (yang lebih dikenal dengan Islam fundamentalis) di garis depan mengambil bagian dari euphoria tersebut. Pada saat beberapa kelompok fokus kampanye damai untuk pelaksanaan syari’ah Islam, kelompok lain menggunakan cara-cara kekerasan seperti penyerangan sporadis pada tempat-tempat hiburan dan jihad dengan berbagai asumsi perang fisiknya. Krisis tersebut digunakan sebagai dasar kelompok Islam radikal untuk memproklamirkan Islam murni sebagai satu-satunya solusi bagi krisis multidimensional (Masdar Hilmy, 2009: 154).

commit to user

pada saat suatu komunitas agama tertentu mengalami proses marginalisasi dalam kehidupan yang terus berubah. Ketidakmampuan merespons kehidupan, membuat kelompok tersebut meneguhkan identitas dirinya melalui simbol dan atribut keagamaan. Melalui peneguhan tersebut kelompok ini berusaha membedakan diri dari kelompok lain. Pada waktu yang sama, akan merasa memiliki energi baru untuk melawan kelompok atau umat yang selama ini dituding sebagai penyebab ketidakberdayaannya. Selain itu, juga bisa terjadi ketika rezim penguasa berkeinginan melanggengkan kekuasaannya sehingga mencari legitimasi pada agama. Dengan legitimasi agama, kekuasaan yang dipegang dimanifestasikan sebagai titah ilahi yang tidak boleh diganggu gugat, serta harus dipatuhi secara mutlak. Politisasi agama membuat ajaran agama akan terpangkas dari nilainya yang universal. Ajaran agama ditundukkan ke dalam kepentingan yang berdimensi temporal, lokal, atau sektarian. Agama menjadi alat kepentingan sekelompok manusia tertentu, baik elite penguasa, kelompok oposisi, atau kaum agamawan sendiri. Masing-masing menjadikan agama sebagai ajaran yang bersifat reaktif guna meneguhkan ambisi, kepentingan, memberantas perbedaan, dan melawan segala sesuatu yang dianggap bertentangan atau berbeda dengan pandangan atau kepentingan kelompok tertentu (Abd A’la, 2002: 4).

Keberagaman respon pemikir politik Islam kontemporer dalam menanggapi sistem politik Barat menjelang abad ke-19, dengan penetrasi Barat ke Dunia Islam juga membawa konsep politik yang baru bagi kaum Muslim. Pertikaian yang berkelanjutan di antara sesama Muslim tentang bagaimana seharusnya respon dunia Muslim terhadap nilai-nilai Barat. Kelompok konservatif merespon dengan penolakan sepenuhnya yang percaya dengan paradigma bahwa hubungan antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Asumsi tersebut ditegakkan berdasarkan pemahaman bahwa Islam adalah satu agama yang sempurna dan mempunyai kelengkapan ajaran di semua segmen kehidupan manusia termasuk di bidang praktik kenegaraan, pandangan ini yang mengilhami gerakan fundamentalisme (Zainal Abidin Amir, 2003: 14-15)

commit to user

untuk diangkat. Menurut Cassanova, sekularisasi sebagai proses sosial adalah konseptualisasi dalam proses modernisasi sosial yang berbentuk diferensiasi wilayah sekular dari institusi keagamaan. Berdasarkan sekularisasi semacam itu, politik (dan aspek-aspek sejenis yang bersifat sekular) disikapi sebagai persoalan duniawi yang tidak dapat dilepaskan dari perubahan dan kehidupan yang terus berkembang. Dimensi kehidupan tidak dapat dianggap sakral sehingga disamakan dengan aspek keimanan dan sejenisnya. Aspek tersebut merupakan persoalan yang dinamis sehingga harus dibedakan dengan keyakinan dan ritual-ritual keagamaan yang tidak akan pernah mengalami perubahan. Sekularisasi mensyaratkan dimensi kehidupan sekular yang harus dibedakan dari nilai-nilai agama yang sakral, tetapi pada saat yang sama kedua aspek itu tidak dapat dipisahkan. Agama dijadikan sebagai pijakan bagi persoalan kehidupan yang dinamis: politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pendidikan (Kompas, Abd A’la, 2002: 4).

Di Indonesia muncul gerakan Islam Liberal, yang cenderung moderat dalam melemparkan isu-isu keagamaan global. Tema-tema moderat Islam Liberal, dilengkapi arus lain dari tumbuhnya moderatisme Islam Indonesia, yakni, post- tradisionalisme Islam (postra), yang digerakkan anak-anak muda Nahdlatul Ulama (NU). Kehadiran kelompok ini, terlihat hendak meneguhkan moderatisme Islam Indonesia, yang sebenarnya secara organisatoris telah lama dikembangkan secara dominan oleh dua varian pergerakan Islam terbesar di Indonesia, yaitu: NU dan Muhammadiyah. Kehadiran dua arus utama moderatisme Islam Indonesia (Islam Liberal plus Post-Tradisionalisme Islam), tidak terlepas dari kemunculan fenomena fundamentalisme-radikal yang semakin ekspresif pasca Orde Baru. Kehadiran kelompok-kelompok yang sering melakukan aksi-aksi, yang dalam konteks tertentu mengedepankan kekerasan, dengan dalih memberantas kemaksiatan dan melindungi kaum Muslim dari keteraniayaan (semisal kasus Maluku dan Poso), bagaimanapun menunjukkan sisi lain citra Islam Indonesia. Namun citra yang terbentuk oleh mengerasnya kelompok fundamentalisme- radikal di Indonesia, dalam banyak hal kurang menguntungkan, terutama bila

commit to user

mencairkan kebekuan dengan menampilkan Islam dalam tema perdamaian, dialogis, dan toleransi (Kompas, M. Alfan Alfian M, 2002: 5).

Islam moderat, bila ditinjau dari pilihan atas doktrin amar ma’ruf nahi munkar , pilihannya lebih terletak pada amar ma’ruf (menyeru kepada kebaikan). Maka, pendekatan yang digunakan lebih dialogis dan persuasif, daripada kekerasan. Sementara pihak fundamentalisme-radikal, memilih nahi munkar (mencegah kejahatan). Maka, terlihat gerakan-gerakannya yang massif dan cenderung memakai kekerasan, terpaksa dilakukan dengan dalih demi memberantas kejahatan dan kemaksiatan. Persoalannya adalah, bagaimana penegakan hukum dilakukan di Indonesia, sehingga kelompok-kelompok fundamentalisme-radikal tidak bertindak sendiri, meskipun didasari niat baik, tetapi tetap melanggar hukum positif di Indonesia. Dalam konteks ini, sebenarnya tidak bisa dipertentangkan atas kedua doktrin tersebut. Maka, kelompok Islam moderat juga bertugas membendung tindakan fatal kelompok fundamentalisme- radikal. Meskipun dominan kelompok Islam moderat di Indonesia, kurang memiliki daya greget, dan seolah kurang mampu menjawab banyak pertanyaan seputar realitas dinamika keislaman dan keindonesiaan, kecuali melalui wacana- wacana semata. Inilah yang membuat kelompok fundamentalis-radikal mengerucut, seolah mengambil-alih hal-hal yang di lapangan tidak dilakukan kalangan moderat. Oleh karena itu, dalam konteks ini perlu ada agenda nyata dari kalangan moderat, bukan hanya bergelut di dataran wacana, tetapi juga aksi nyata di lapangan. Kalangan Islam moderat harus berjuang meneguhkan peran positif Islam dalam merajut keharmonisan dalam konteks multikulturalisme Indonesia (Kompas, M. Alfan Alfian M, 2002: 5).

Namun di sisi lain Islam Liberal yang cenderung moderat juga mengalami tantangan dalam sepak terjangnya. Sidik Jatnika dalam Adian Husaini dan Nuim Hidayat (2002: 122), mencatat bahwa agen gerakan Zionisme di Indonesia yang paling mutakhir adalah gerakan dengan membonceng euphoria reformasi. Atas nama kebebasan, hak asasi manusia secara terang-terangan mulai memperjuangkan pengakuan terhadap berbagai perilaku penyimpangan sosial

commit to user

Indonesia. Kelompok ini dengan lantang mengkampanyekan agar komunisme dan atheisme ataupun pemujaan terhadap setan di beri hak hidup di Indonesia seperti sebuah agama atu ideologi. Bahkan tidak malu memperjuangkan agar pelacuran, homoseksual, lesbian dianggap sebagai profesi dan perilaku yang sah keberadaannya. Namun, jika masyarakat melakukan penggrebekan terhadap para pelaku penyimpangan tersebut justru masyarakat yang disalahkan karena dianggap telah melanggar hak individu manusia.

4. Lahirnya Jaringan Islam Liberal di Indonesia Jaringan Islam liberal adalah nama sebuah gerakan dan aliran pemikiran yang bermula dari ajang diskusi di Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta Timur. Ulil Abshar Abdalla bersama Ahmad Sahal, editor jurnal Kalam dan Goenawan Mohamad, redaktur senior majalah Tempo adalah penggagas kehadiran Komunitas Islam Utan Kayu. Jauh sebelum Komunitas Islam itu lahir, Utan Kayu sejak 1996 telah menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film, dan seni rupa. Di tempat itu pula Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang salah satu motor utamanya Ulil Abshar Abdalla berkantor. Bersama Goenawan Mohammad (mantan pemimpin redaksi Tempo) serta sejumlah pemikir muda seperti Ahmad Sahal, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib dan Saiful Mujani, Ulil kerap menggelar diskusi bertema ‘pembaruan’ pemikiran Islam. Akhir tahun 1999 para pengusung wacana Islam Liberal menemukan titik temu dan sepakat mendirikan wadah diskusi yang tanpa basa-basi membawa bendera Islam liberal dengan nama ‘Jaringan Islam Liberal’ yang lebih dikenal dengan JIL pada 8 Maret 2001 (Gatra 8 Desember 2001: 66-67).

Beberapa tokoh Jaringan Islam Liberal yang berada dalam jajaran pendiri menunjukkan sikap kritis bukan hanya karena lingkungan yang mendukung sikap kritisnya dalam menelaah konsep-konsep Islam namun dari perjalanan pendidikan yang dilalui memberikan warna dalam menggagas Islam liberal. Goenawan Muhammad adalah seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas. Tanpa lelah memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui

commit to user

yang didirikannya. Meskipun jarang memberikan pernyataan tentang Islam liberal dan pluralisme, Goenawan adalah tokoh yang paling berperan bagi tumbuhnya bibit-bibit Islam liberal di Indonesia melalui perannya di media, memfasilitasi terbentuknya kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL). Dengan jabatannya sebagai pemimpin redaksi beberapa majalah termasuk majalah Tempo yang sering mengangkat Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Ulil Abshar Abdalla hingga dikenal secara nasional bahkan menjadi ditokohkan oleh masyarakat (Budi Handrianto, 2007: 110).

Nama Islam liberal menggambarkan prinsip-prinsip yang dianut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial- politik yang menindas. “Liberal” di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan . Pelopor JIL percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Dan kemudian memilih satu jenis tafsir, dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu “liberal”. Untuk mewujudkan Islam Liberal, membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Kehadiran JIL semakin melengkapi Komunitas Utan Kayu, menjadi perpaduan antara kebebasan seni-budaya dan agama. Berawal dari dunia maya, JIL mulai menyebarluaskan pemikiran dan tulisan tokoh-tokohnya, menjadikan mailing list (milis) yang tergabung dalam [email protected] sebagai media diskusi dan berdebat secara bebas. Diskusi pertama yang menjadi cikal bakal terbentuknya JIL terjadi pada tanggal

21 Februari 2001 dengan topik “Akar-akar Liberalisme Islam : Pengalaman Timur Tengah” yang di presentasikan oleh Luthfi Assyaukanie. Dari diskusi mengenai wacana Islam liberal di Timur Tengah kemudian muncul gagasan untuk membuat sebuah website sebagai wahana ajang diskusi secara luas yang dapat diakses masyarakat umum dalam www.islamlib.com.

Islam Liberal melekat bukan hanya sebagai formalisasi nama website, namun telah terlihat dalam berbagai diskusi yang ingin mencari sebuah model Islam yang bebas, mencerahkan dan penuh dengan toleransi. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, kebebasan digaungkan sebagai bentuk reformasi. Namun seiring

commit to user

dengan terorisme, isu tersebut dipandang oleh para pengagum liberalisme dekat dengan model pemahaman keagamaan yang kaku, sempit dan radikal. Karena itu nama islam liberal seringkali disinggungkan atau menjadi lawan dari gerakan “Islam radikal”. Gerakan Islam liberal yang terbentuk dalam Jaringan Islam Liberal tidaklah bentuk pengerucutan namun sebuah bentuk perkembangan dari gerakan Islam liberal pada periode sebelumnya karena terbukti muncul kelompok- kelompok atau perhimpunan lain yang juga terpengaruh kondisi sosial politik Indonesia masa reformasi. Terkhusus Jaringan Islam liberal, dengan tegas merumuskan latar belakang pendirian JIL, sebagai berikut:

Kekhawatiran akan bangkitnya ‘ekstremisme’ dan ‘fundamentalisme’ agama sempat membuat banyak orang khawatir akhir-akhir ini. Gejala yang menunjukkan perkembangan seperti itu memang cukup banyak. Munculnya sejumlah kelompok militant Islam, tindakan pengrusakan gereja (juga tempat ibadah yang lain), berkembangnya sejumlah media yang menyuarakan aspirasi “Islam militant”, penggunaan istilah “jihad” sebagai alat pengesahan serangan terhadap kelompok agama lain, dan semacamnya adalah beberapa perkembangan yang menandai bangkitnya aspirasi keagamaan yang ekstrem tersebut (www.islamlib.com, rubrik tentang kami diakses 10 Februari 2012).

Ketegangan dan kecurigaan yang ditimbulkan oleh pandangan keagamaan yang berbeda menyebabkan kesulitan dalam membangun suatu kehidupan yang damai di antara kelompok-kelompok keagamaan yang ada. Menurut kelompok Jaringan Islam Liberal, pandangan keagamaan yang terbuka, plural, dan humanis adalah salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis. Pandangan tersebut semakin meredup karena hanya menjadi konsumsi kalangan akademis dan kalangan terdidik di kelas menengah dan sulit dipahami oleh kalangan masyarakat awam, karena bahasa yang digunakan bersifat elitis. Kekhawatiran yang dirasakan kelompok Jaringan Islam Liberal, mengantarkan para tokohnya secara serius dan sistematis merumuskan apa yang menjadi fokus tujuan atau misi dalam pembentukan JIL. Dalam website www.islamlib.com, Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:

commit to user

Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).

b. Mengutamakan Semangat Religio Etik, Bukan Makna Literal Teks.

Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.

c. Mempercayai Kebenaran yang Relatif, Terbuka dan Plural. Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.

d. Memihak pada yang Minoritas dan Tertindas. Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.

e. Meyakini Kebebasan Beragama.

commit to user

adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.

f. Memisahkan Otoritas Duniawi dan Ukhrawi, Otoritas Keagamaan dan Politik. Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.

Berdasakan landasan tersebut JIL bertujuan untuk menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Karena itu dipilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik, sehingga tidak ada struktur organisasi yang resmi, namun tetap dikoordinasi. Sebagai koordinator JIL dikenal nama Ulil Abshar Abdalla, dan beberapa kontributor yang bertanggungjawab juga sebagai editor website www.islamlib.com seperti: Akhmad Sahal, Anick, Burhanuddin, Hamid Basyaib, Lanny Octavia, Luthfi Assyaukanie, Malja Abrar, Abd. Moqsith Ghazali, Nong Darol Mahmada, Novriantoni, Saidiman Ahmad, Taufik Damas (Sumber: Rubrik Kontak Kami http://islamlib.com/id/halaman/kontak ).

JIL adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal. Keyakinan tokoh-tokoh JIL bahwa cara tersebut adalah pilihan tepat untuk memperoleh dukungan untuk mengembangkan gagasan liberalisme dalam Islam semakin ditegaskan dengan merumuskan misi, sebagai berikut: Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak. Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga,

commit to user

(Budi Handrianto, 2007: 266)