Pemikiran dan Strategi Jaringan Islam Liberal (JIL) Tahun 2001-2005

C. Pemikiran dan Strategi Jaringan Islam Liberal (JIL) Tahun 2001-2005

1. Seputar Istilah dan Tokoh-tokoh Islam Liberal

a. Istilah Islam Liberal Istilah “Islam Liberal” pertama kali dipopulerkan oleh Asaf ‘Ali Asghar Fyzee (1899-1981), seorang sarjana hukum berkebangsaan India yang juga professor tamu di Cambridge University dan University of California Los Angeles. Fyzee menggunakan istilah ini untuk merujuk kelompok Islam yang memberikan apresiasi terhadap tradisi intelektual yang menentang gagasan teokrasi, memberikan dukungan terhadap demokrasi, menjamin hak-hak non- Muslim dan kaum perempuan, membela kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan. Kurang lebih ungkapan Islam liberal bisa dibaca dalam sebuah konteks bagaimana apresiasi kaum intelektual Muslim terhadap proses perubahan dari modernisasi ke demokratisasi Dunia Islam. Masalah demokratisasi Dunia Islam dapat dipetakan dalam dua kerangka masalah pokok: antara minimnya pengalaman empiris baik di masa lalu atau masa kini dan masalah interpretasi sistem nilai yang memberikan apresiasi terhadap demokrasi. Yang pertama berimplikasi pada keharusan mempersiapkan infrastruktur sosial, seperti kemajuan ekonomi dan pendidikan, sedangkan yang kedua berimplikasi pada keharusan melakukan reinterpretasi sistem nilai Islam dengan cara menemukan substansi ajaran Islam untuk mengapresiasi kebebasan berpikir dan gagasan- gagasan kemajuan lainnya (Taufik Rahman, 2004: 49-50)

Terminology Islam liberal menjadi polpuler setelah Leonard Binder mempublikasikan mengenai pemikiran politik di Timur Tengah melalui bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologis (Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan) pada tahun 1988. Dalam buku ini Binder mengkaji beragam pendekatan mengenai perubahan dalam pemikiran Barat dan Islam untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang lebih baik

commit to user

(Binder, 2001: 1-2), antara lain:

1. Pemerintah liberal merupakan hasil proses bersinambung dari wacana rasional.

2. Wacana rasional dimungkinkan keberadaannya di kalangan mereka

yang memiliki budaya atau kesadaran yang berlainan.

3. Wacana rasional dapat mewujudkan konsensus budaya dan sikap saling

pengertian, serta kesepakatan mengenai hal-hal tertentu.

4. Konsensus memungkinkan adanya tatanan politik yang stabil, dan merupakan landasan rasional dalam memilih strategi-strategi politik.

5. Pemilihan strategi secara rasional merupakan landasan peningkatan

kondisi kesejahteraan manusia melalui upaya bersama.

6. Liberalisme politik, dalam konteks ini, bisa dikotak-kotakkan. Ia bisa saja didapati di manapun, atau mesti dipertahankan tanpa menggunakan wacana.

7. Penolakan liberalisme di Timur Tengah atau di manapun bukan semata persoalan moral atau ketidakpedulian politis.

8. Liberalisme politik hanya akan ada bila prasyarat sosial dan intelektual terpenuhi.

9. Prasyarat ini telah terpenuhi di sebagian kawasan Timur Tengah yang mayoritas Islam.

10. Dengan melibatkan diri dalam wacana rasional bersama mereka yang kesadarannya telah dibentuk oleh budaya Islam, upaya peningkatan prospek liberalisme politik di kawasan itu dan kawasan lain yang belum akrab dengan wacana bukanlah sesuatu yang mustahil.

Leonard Binder menempatkan gerakan Islam liberal sebagai sebuah proses kritik terhadap modernisme pembangunan di dunia ketiga dengan mengambil kasus di Timur Tengah. Ia mengasumsikan bahwa gerakan Islam liberal sebagai sebuah gerakan kultural yang mengusung proses yang berkesinambungan mengenai wacana rasional. Dengan rasionalisme inilah diharapkan adanya sebuah perubahan pola pemerintahan yang lebih liberal sehingga terbuka kemungkinan menciptakan sebuah konsensus budaya dan sikap saling pengertian, serta kesepakatan mengenai hal-hal tertentu berdasarkan strategi yang rasional untuk meningkatkan kesejahteraan manusia melalui upaya bersama (Binder, 2001: 2-4). Dari hasil penelitiannya di Timur Tengah, Binder menyebutkan bahwa kalangan tradisi merupakan rival utama gerakan Islam liberal. Kaum tradisionalis didefinisikan Binder sebagai kelompok yang menjadikan bahasa Al-Quran sebagai basis dari pengetahuan absolut tentang dunia. Sedangkan bagi islam liberal bahasa Al-Quran berkoordinasi dengan esensi

commit to user

mengingat kata-kata Al-Quran membutuhkan pemahaman dan penafsiran di balik pernyataan verbalnya itu. Untuk itu konteks dan makna interpretative dari wahyulah yang sebenarnya bekerja. Dan tentu ini sebuah pemahaman yang debatable dan bersifat relative, tidak suci dan kaku seperti diyakini kaum tradisionalis.

Mohammad Nasih, seorang aktivis Jaringan Islam Liberal Semarang memberikan jawaban atas kontroversi pengertian Islam liberal. Islam liberal adalah suatu bentuk penafsiran baru atas agama Islam dengan wawasan keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang. Penekanan pada semangat religio- etik, bukan pada makna literal teks, kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, pemihakan pada yang minoritas dan tertindas, kebebasan beragama dan berkepercayaan, bahkan untuk tidak beragama sekalipun, dan pemisahan otoritas agama dan otoritas politik. Menurut Nasih nama Islam liberal hanyalah menggambarkan prinsip-prinsip yang dianut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi (meminjam istilah Mu’tazilah, salah satu sekte Islam yang terkenal karena penekanannya pada aspek rasionalitas”kebebasan manusia”), dan pembebasan struktur sosial politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Jadi adjektif liberal mempunyai dua makna sekaligus yaitu kebebasan dan pembebasan. Oleh karena itu, menurut Nasih tidak tepat jika Islam liberal dikait- kaitkan secara berlebihan dengan liberalisme yang dianut Barat (Suara Merdeka,

30 September 2002: VI).

b. Tokoh-Tokoh Islam Liberal Menurut Adian Husaini dan Nuim Hidayat (2002: 18-19), Ali Abdul Raziq (1866-1966) adalah tokoh pertama yang merupakan rujukan kaum Islam liberal. Bila Raziq dikenal hanya melalui karya tulisnya. Maka Fazlur Rahman bisa disebut sebagai tokoh pertama Islam liberal yang melakukan aksi gerakan, selain juga tulisan-tulisan. Rahman dilahirkan di Indo-Pakistan (sebelum terpecah dengan India) dan ketika mulai dewasa Rahman merasa tidak cocok dengan gerakan Jamaat Islami yang dirintis Maududi. Ketidakpuasaan Rahman dengan

commit to user

ke Barat. Kiprah dan studinya di Barat, mendorong Rahman untuk kembali ke Pakistan dan berusaha menuangkan pikiran-pikiran liberalnya melalui lembaga- lembaga pemerintahan yang dipercayakan kepada Rahman.

Jabatan ganda sebagai Direktur Lembaga Riset Islam dan sebagai dewan Penasihat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan, mulai digunakan secara agresif untuk menyerang hukum-hukum Islam, misalnya: menentang dalil-dalil kebolehan poligami, hak cerai laki-laki, mendukung Keluarga Berencana (KB), dan menurutnya bunga bank kecil halal namun bunga bank berlipat ganda haram. Pendapat-pendapat Rahman secara langsung mendapat serangan-serangan tajam dari para ulama Islam Pakistan. Serangan tersebut membuat Rahman kembali memantapkan perjalanannya ke Amerika (1970) sebagai Guru Besar Kajian Islam di Department of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago . Selain Fazlur Rahman di Universitas Chicago, para mahasiswa juga dididik oleh ilmuwan politik yang bernama Leonard Binder. Rahman dan Binder sering bersama-sama mengadakan proyek penelitian, di antaranya penelitian tentang “Islam dan Perubahan Sosial” yang meliputi masalah pokok, seperti: pendidikan agama dan perubahan peran ulama dalam Islam, syariat dan kemajuan ekonomi, keluarga dalam masyarakat dan hukum Islam masa kini, Islam dan masalah legalitas politik, perubahan konsepsi-konsepsi stratifikasi di dalam masyarakat muslim masa kini (Sibawaihi, 2007: 17-21). Hasil riset tersebut kemudian dibukukan oleh Rahman dalam karyanya Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, sedangkan Binder menyusun buku dari penelitian tersebut dengan judul Islamic Liberalism.

Tokoh-tokoh Islam liberal lainnya yang cukup berpengaruh di Dunia Islam, khususnya Mesir adalah Dr. Farag Faudah yang dituduh anti-syariat Islam dan divonis kafir, terbunuh tidak beberapa lama setelah peristiwa debat dengan kelompok Islam (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 23), Dr. Muhammad Khalafullah dan Dr. Fuad Zakaria. Selain itu juga dikenal penganut paham Islam liberal, yaitu Nashr Abu Zayd yang dianggap murtad dan pengadilan memutuskan perkawinannya dengan Istrinya Profesor Ibtihal Yunis sehingga Nashr pindah ke

commit to user

Ahmed An-Na’im, Mohammad Arkoun, Mohammad Abed Al Jabiri, Mustafa Kemal Attaturk dengan penerapan sekularismenya di Turki, sedangkan dari kalangan wanita (tokoh-tokoh feminis) antara lain Fatimah Mernissi dan Rif’at Hassan.

Selain itu muncul tokoh-tokoh Indonesia yang mulai mengembangkan pemikiran-pemikiran liberalnya. Islam liberal di Indonesia adalah sama dengan pembaruan Islam atau Islam neo-modernis. Seperti diketahui istilah neo-modernis berasal dari Fazlur Rahman sebagaimana dikutip Greg Barton (1999: 9), membedakan gerakan pembaruan Islam dalam dua abad terakhir kepada empat macam, yaitu revivalisme Islam, Modernisme Islam, neo-revivalisme Islam dan neo-modernisme Islam. Gerakan neo-modernisme Islam mempunyai karakteristik sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik. Meskipun tipologi Fazlur Rahman ini dimaksudkan untuk seluruh dunia Islam, tetapi tipologi keempat gerakan tersebut diwakili juga oleh tokoh-tokoh Indonesia, seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi dan Ahmad Wahib. Greg Barton (1999: 8) menegaskan bahwa telah muncul gerakan intelektual Islam baru di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan tersebut selain lahir dari tradisi Modernisme Islam yang terdahulu dan telah ada di Indonesia, juga secara tangguh tampil berbeda baik dari sisi konsepsi maupun aplikasi gagasannya dengan pendekatan yang khas. Gerakan pemikiran baru ini berkembang membawa misi suci yaitu memadukan cita-cita liberal progresif dengan keimanan yang saleh.

Lebih jauh Budi Handrianto dalam bukunya menyebutkan 50 pengusung ide Sekularisme, pluralisme dan liberalisme dalam tiga kategori:

c. Para Pelopor yang terdiri dari 8 orang : Abdul Mukti Ali, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Harun Nasution, M. Dawam Rahardjo, Munawir Sjadzali, Nurcholish Madjid

d. Para Senior yang terdiri dari 15 orang : Abdul Munir Mulkhan, Ahmad Syafi’I Ma’arif, Alwi Abdurrahman Shihab, Azzyumardi Azra, Goenawan Mohammad, Jalaluddin Rahmat, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hudayat,

commit to user

Abdurrahman, Nasaruddin Umar, Said Aqiel Siradj, Zainul Kamal.

e. Para Penerus Perjuangan yang terdiri dari 27 orang : Abd A’la, Abdul Moqsith Ghazzali, Ahmad Fuad Fanani, Ahmad Gauss AF, Ahmad Sahal, Bahtiar Effendi, Budhy Munawar Rahman, Denny J.A., Fathimah Usman, Hamid Basyaib, Husein Muhammad, Ihsan Ali Fauzi, M. Jadul Maula, M. Luthfi Assyaukanie, Muhammad Ali, Mun’im A. Sirry, Nong Darol Mahmada, Rizal Malarangeng, Saiful Mujani, Siti Musdah Mulia, Sukidi, Sumanto Al Qurthuby, Syamsu Rizal Panggabean, Taufik Adnan Amal, Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Zuly Qodir.

Menurut Budi Handrianto (2007: 4), pada dasarnya yang masuk dalam kategori daftar nama pengusung atau pendukung sekularisme, pluralisme dan liberalisme adalah tokoh di Indonesia yang mempunyai pandangan tersebut baik dinyatakan secara lisan maupun tulisan dan pengaruhnya sudah jelas terlihat. Kategorisasi tersebut bukanlah hal yang mutlak dan sewaktu-waktu bisa terjadi perubahan sesuai gagasan yang dikembangkannya.

Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, pesantren menjadi bagian penting dalam pembentukan moral generasi bangsa. Namun globalisasi dan modernisasi seringkali berbenturan dengan pemikiran serta doktrin-doktrin kyai pesantren. Kehidupan tradisional makin subur terlembagakan dengan sistem pendidikan yang cenderung mengajarkan literature kuno dibanding mengembangkan kajian keagamaan yang sedang muncul di permukaan. Pesantren mempertahankan tradisi-tradisi nilai yang bersendikan pengabdian, keikhlasan, kejujuran dan kepatuhan pada kyai dalam mempelajari ilmu agama. Menentang rasionalisme seperti berpikir terbuka dan mengembangkan nalar kritisisme serta minimnya ijtihad dengan mengajarkan ilmu yang berorientasikan fiqih merupakan topic utama pesantren sebagai akar tradisionalisme yang dimonumentalkan sebagai ajaran ritual umat Islam (Fakhruddin Karmani, 2004: 65-66). Kondisi pesantren yang dekat dengan tradisi-tradisi lama dan cenderung eksklusif membuka paradigm liberalisasi dalam pemikiran santri-santri kritis yang menghendaki Islam dinamis dan mengikuti perkembangan zaman. Maka tidak

commit to user

individu yang pernah ada dalam kungkungan pesantren maupun lingkungan yang mengharuskan untuk berpikir kritis.

Berikut adalah beberapa tokoh yang berpengaruh dan bahkan menjadi pelopor terbentuknya Jaringan Islam Liberal di Indonesia:

1) Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid atau biasa disapa dengan nama Cak Nur, lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiyai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH. Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Dari kedua orang tuanya, Cak Nur mewarisi darah intelektualisme dan aktivisme dua organisasi besar Islam di Indonesia, yaitu Masyumi yang modernis dan Nahdlatul Ulama (NU) yang tradisionalis. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi filsafat dan Kalam Ibnu Taimiyah (Budi Handriyanto, 2007: 63). Mantan ketua HMI di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah ini pernah berjasa dalam krisis kepemimpinan yang dialami bangsa Indonesia pada tahun 1998. Cak Nur adalah orang yang sering dimintai nasehat oleh Presiden Soeharto mengenai kerusuhan dan krisis negara.

Pembaruan Islam yang dicetuskan tokoh yang mendapat julukan sebagai “Penarik gerbong kaum pembaru” oleh Majalah Tempo ini adalah ide dan gagasan Nurcholis tentang gerakan sekularisasi di Indonesia sejak tahun 1970, dalam acara halal bi halal di Jakarta 3 Januari yang dihadiri para aktivis penerus Masyumi, Nurcholish Madjid menyampaikan makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran dan Masalah Integrasi Umat”. Selain menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina Mulya, semasa hidupnya Nurcholish juga aktif menjadi pembicara dalam seminar internasional Islam di dalam maupun di luar negeri. Selain itu, banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa diantaranya bahkan

commit to user

diakses 26 Juni 2012). Kesan mendalam selama Nurcholis berkesempatan mengunjungi Amerika membuatnya tertarik ketika Falur Rahman dan Leonar Binder (keduanya merupakan Guru Besar Chicago University) menawari Nurcholish proyek penelitian di Amerika pada tahun 1976. Proyek penelitian yang sebagian besar berbentuk seminar dan lokakarya serta di danai oleh Ford Foundation, sebuah yayasan Amerika yang hingga saat ini masih bekerjasama dengan kegiatan- kegiatan Jaringan Islam Liberal dan Yayasan Paramadina yang pernah dipimpin Nurcholish (Budi Handrianto, 2007: 64). Nurcholish banyak terinspirasi pandangan tokoh-tokoh orientalis baik melalui pertemuan dalam studinya maupun dengan karya-karya yang pernah dibaca. Demikian juga dengan kalangan aktivis Jaringan Islam Liberal yang menganggap Nurcholish sebagai “Bapak Pluralisme dan Toleransi” dan bertekad akan meneruskan perjuangannya (Budi Handrianto, 2007: 74).

2) Siti Musdah Mulia Siti Musdah Mulia. Lahir 3 Maret 1958 di Bone, Sulawesi Selatan. Putri pertama pasangan H. Mustamin Abdul Fatah dan Hj. Buaidah Achmad. Ibunya, merupakan gadis pertama di desanya yang menyelesaikan pendidikan di Pesantren Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), Pare-Pare, sedang ayahnya pernah menjadi Komandan Batalyon dalam Negara Islam pimpinan Abdul Kahar Muzakkar yang kemudian dikenal sebagai gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Musdah adalah perempuan pertama yang meraih doktor dalam bidang pemikiran politik Islam di IAIN Jakarta (1997), dengan disertasi: Negara Islam: Pemikiran Husain Haikal (diterbitkan menjadi buku oleh Paramadina tahun 2000); Perempuan pertama dikukuhkan LIPI sebagai Profesor Riset bidang Lektur Keagamaan di Departemen Agama (1999) dengan Pidato Pengukuhan: Potret Perempuan Dalam Lektur Agama (Rekonstruksi Pemikiran Islam Menuju Masyarakat Egaliter dan Demokratis). Atas upayanya mempromosikan demokrasi dan HAM pada tahun 2007 dalam peringatan International Women Days di Gedung Putih, Musdah menerima penghargaan International Women of Courage mewakili Asia Pasifik

commit to user

penghargaan Internasional dari Itali, Woman of The Year 2009 (http://mujahidahmuslimah.com/component/content/article/41-biografi/47- biografi-musdah-mulia-dalam-buku-muslimah-sejati-.html , diakses 26 Juni 2012).

Pendidikan formal dimulai dari SD di Surabaya (tamat 1969), Pesantren As’adiyah, Sulawesi Selatan (tamat 1973); Fakultas Syari'ah As’adiyah (1977). Menyelesaikan Sarjana Muda Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar (1980); Program S1 Jurusan Bahasa dan Sastera Arab di Fakultas Adab, IAIN Alaudin, Makasar (1982); Program S2 Bidang Sejarah Pemikiran Islam (1992) dan Program S3 Bidang Pemikiran Politik Islam di IAIN IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (Budi Handrianto, 2007: 235) Pendidikan non-Formal antara lain: kursus singkat mengenai Islam dan Civil Society di Universitas Melbourne, Australia, kursus singkat Pendidikan HAM di Universitas Chulalongkorn, Thailand, kursus singkat Advokasi Penegakan HAM dan Demokrasi (International Visitor Program) di Amerika Serikat, kursus singkat Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan di Universitas George Mason, Virginia, Amerika Serikat, kursus singkat Pelatih HAM di Universitas Lund, Swedia, kursus singkat Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan Perempuan di Bangladesh Institute of Administration and Management (BIAM), Dhaka, Bangladesh. Visiting Professor di EHESS, Paris, Perancis, International Leadership Visitor Program , Departement of State, Washington (Mohammad Nasor, 2008: 30).

Kiprahnya dalam menyuarakan, membela dan mengembalikan hak-hak perempuan di mata agama telah membawa Musdah dikenal banyak kalangan terutama kalangan pemerhati dan aktivis isu perempuan di Indonesia. Di samping pegawai negeri sipil (PNS), sejak mahasiswa Musdah dikenal sebagai aktivis organisasi pemuda dan ormas atau LSM Perempuan. Karya intelektualnya semakin lengkap dengan tulisannya terkait dengan isu perempuan, antara lain: Lektur Agama Dalam Media Massa (Depag 1999), Anotasi Buku Islam Kontemporer (Depag 2000), Islam Menggugat Poligami, Kesetaraan dan Keadilan Gender, Pedoman Dakwah Muballighat, Analisis Kebijakan Publik, Muslimat

commit to user

Reproduksi, Seluk-Beluk Ibadah Dalam Islam, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru keagamaan, dan Perempuan dan Politik, Gramedia,. Islam and Violence Against Women , Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Poligami : Budaya Bisu yang Merendahkan Martabat Perempuan, Menuju Kemandirian Politik Perempuan, Islam dan HAM. Selain itu, Musdah Mulia adalah staf ahli pada Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) Badan Litbang Departemen Agama dan Sekretaris umum ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) (Budi Handrianto, 2007: 237).

Akhir tahun 2004, Musdah Mulia menjadi koordinator dalam tim Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama RI membuat rumusan tandingan bagi Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan melalui Inpres tahun 1991 yang secara resmi menjadi referensi para hakim agama di Peradilan Agama, terutama dalam memutuskan perkara yang berhubungan dengan perkawinan. Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI), bertujuan untuk mengkaji kembali hukum-hukum yang dianggap merugikan kaum perempuan. CLD-KHI menjadi kontroversi di kalangan pakar Islam yang berkeberatan dan menolak gagasan tersebut. Kegagalan CLD-KHI tidak membuat Musdah berhenti menyuarakan isu-isu gender yang mendukung paham liberalisme dan pluralisme, bersama rekan-rekan dalam satu tujuan baik di ICRP maupun JIL dibantu The Asia Foundation lembaga donasi dari Amerika. Musdah bahkan muncul kembali bersama para penulis buku Fiqih Lintas Agama, yang oleh sebagian umat Muslim dianggap banyak membuang makna teks dan menggunakan aspek konteks secara amburadul (Budi Handrianto, 2007: 240).

3) Goenawan Mohamad Goenawan Mohamad adalah seorang jurnalis dan sastrawan kritis yang terus memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui tulisan dan berbagai organisasainya. Pendidikan formalnya hingga SMA banyak dihabiskan di Pekalongan, kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi Fakultas Psikologi UI namun tidak sampai lulus namun justru menuntut ilmu ke College of Europe, Belgia. Sepulangnya ke tanah air Goenawan sempat menjadi wartawan harian

commit to user

bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Banyak tulisan tentang agenda-agenda politik Indonesia. Jiwa kritis membawa Goenawan untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi dan merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994. Goenawan kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang pertama di Indonesia. Goenawan juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia (Budi Handrianto, 2007: 107-108).

Beberapa karya Goenawan yang telah dihasilkan seperti kumpulan esai antara lain Seks, Sastra, Kita (1980); Kekuasaan dan Kesusastraan (1993); Catatan Pinggir (mencapai tujuh jilid); Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001); Eksotopi (2002), dan Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai (2009). Terjemahan bahasa Inggris atas esainya dikerjakan oleh Jennifer Lindsay dan terbit sebagai Sidelines (1994) dan Conversations with Difference (2002). Goenawan telah menerbitkan enam buku puisi: Parikesit (1971) dan Interlude (1973) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Asmaradana (1992), Misalkan Kita Di Sarajevo (1998), Sajak-sajak Goenawan Mohamad: 1961-2001 (2001) dan Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004), diedit oleh Laksmi Pamuntjak. Ia juga menulis tiga libreto untuk opera kontemporer: Kali, The King’s Witch , dan Tan Malaka. (http://salihara.org/about/curators/goenawan- mohamad , diakses 26 Juni 2012)

Menurut Budi Handrianto (2007: 110), “meskipun jarang memberikan pernyataan tentang Islam liberal dan pluralisme, Goenawan adalah tokoh yang paling berperan bagi tumbuhnya bibit-bibit Islam liberal di Indonesia melalui perannya di media”. Goenawan memfasilitasi terbentuknya kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) di markas teater Utan Kayu yang sejak tahun 1996 menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teter, music, film dan seni rupa. Dengan majalah Tempo, Goenawan mengangkat Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid

commit to user

ditokohkan oleh masyarakat. Popularitas Goenawan bukan hanya dalam lingkup nasional tetapi telah meluas hingga Internasional. Beberapa penghargaan diterimanya baik dari Universitas Tel Aviv, Universitas Leiden, yang didasarkan pada aktivitas goenawan selama 30 tahun terakhir yang memperjuangkan kebebasan pers dan jurnalisme yang independen di Indonesia (negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia). Terlepas dari kualitas teknik jurnalistiknya, goenawan merupakan sosok tokoh pers yang konsisten dalam meliberalkan islam di Indonesia (Budi Handrianto, 2007: 112).

4) Ulil Abshar Abdalla Ulil Abshar Abdalla yang aktif dalam lingkungan Nahdlatul Ulama menjadi sosok kontroversial pada saat Jaringan Islam Liberal juga ramai diperbincangkan kalangan intelektual muslim. Predikat liberal melekat kuat dalam diri koordinator JIL ini. Pendidikannya dilalui mulai dari Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pondok Pesantren Mansajul ‘Ulum, Cebolek, Pondok Pesantren Al- Anwar, Sarang, Rembang. Pernah kuliah di Fakultas Syari’ah (LIPIA) dan sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Perjalanan karirnya di habiskan dengan aktif dalam berbagai organisasi, ketua Lakpesdam NU, staf di ISAI, Direktur program (Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Direktur Freedom Institute. Puncaknya pada tahun 2001 Ulil Abshar Abdalla mendirikan sebuah jaringan yang dikenal dengan nama Jaringan Islam liberal dengan tujuan sebagai berikut yang dikutip dari blog pribadinya,

Tujuan utama kelompok ini secara umum ada dua. Pertama, melakukan kritik atas pemahaman keislaman yang fundamentalistis, radikal dan cenderung pada kekerasan. Paham-paham semacam ini muncul bak cendawan setelah era reformasi di Indonesia sejak 1998. Bagi saya, paham Islam yang radikal, eksklusif, dan pro-kekerasan ini sangat berbahaya bukan saja bagi masyarakat Indonesia yang plural, tetapi juga bagi Islam sendiri. Sebagai seorang Muslim, saya tidak mau agama saya”dibajak” oleh kaum radikal-fundamentalis untuk mengesahkan kekerasan atas nama agama. Kedua, untuk menyebarkan pemahaman Islam yang lebih rasional, kontekstual, humanis, dan pluralis. Di mata saya dan teman-teman yang menggagas JIL, Islam harus terus-menerus dikonfrontasikan dengan realitas sosial yang terus berubah. Jawaban yang diberikan oleh agama atau ulama di masa lampau, belum tentu tepat untuk zaman sekarang. Oleh karena,

commit to user

masa lampau sangat penting. Tidak semua hal yang tertera dalam Quran dan hadis harus dimaknai secara

harafiah. Quran dan hadis dibentuk oleh konteks yang spesifik, dan karena itu harus terus-menerus dikontekstualisasikan, terutama ajaran-ajaran yang berkenaan dengan kehidupan sosial-politik. Bagi saya dan teman-teman JIL, misalnya, sistem pengelolaan “negara” yang pernah dicontohkan oleh Nabi dan sahabat-sahabat sesudahnya di Madinah tidak mesti kita contoh mentah- mentah untuk dipraktekkan pada zaman sekarang, sebab kita berhadapan dengan konteks sejarah yang berbeda (Ulil Abshar Abdalla dalam http://ulil.net/page/6/, diakses 26 juni 2012).

Ulil Abshar Abdalla semakin dikenal masyarakat karena berbagai tulisannya di media massa yang menghebohkan kalangan Islam. Salah satunya yang membawa Ulil mendapat Fatwa mati oleh Forum Ulama Umat Islam (FUUI) adalah artikel provokatifnya dalam Kompas 18 November 2002 berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” (http://islamlib.com/id/artikel/telaah- kritis-konstruktif-pemikiran-ulil-abshar-abdalla, diakses 2 Mei 2012). Dalam beberapa diskusi yang diterbitkan www.islamlib.com, Ulil terlihat sebagai pengagum Barat yang melihat agama secara lebih longgar dengan toleransi yang dianggapnya menjadi modal Indonesia sebagai negara yang beragam.

Sebagai pendiri dan koordinator JIL yang sering menyuarakan liberalisasi tafsir Islam, Ulil menuai banyak kritik dan atas pergerakannya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam liberal Ulil disebut sebagai pewaris pembaru pemikiran Islam melebihi Nurcholish Madjid. Pemikiran anehnya tentang beberapa konsep dalam Islam semakin diperkuat dengan pendidikan S2 dan S3 bidang perbandingan agama di Universitas Boston, Amerika Serikat (Budi Handrianto, 2007: 261-263).

Ulil memanfaatkan setiap kesempatan untuk memahami apa yang Ulil sebut pemahaman Islam liberal. Ketika mendapat undangan dari University of Michigan untuk menjadi guest lecturer dengan memberi mata kuliah tentang “Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia” selama setengah bulan di universitas yang terletak di kota Ann Arbor. Setelah mengajar, Ulil kemudian menetap di Athens, negara bagian Ohio, tepatnya di Ohio University. Ulil berkeinginan

commit to user

Ulil secara utuh tentang Alqur’an dan ajaran Islam secara umum dari perspektif Islam liberal (kutipan wawancara dalam http://islamlib.com/id/artikel/saya-ingin- meniru-al-tahtawi, diakses 6 Mei 2012), dalam akhir wawancara Ulil menegaskan

Terus terang, saya ingin meniru Rifa’ah Rafi’Al-Tahtawi, seorang ulama Mesir yang dikirim ke Perancis pada abad ke-19 oleh pemerintah Mesir untuk menjadi pemimpin mahasiswa Mesir yang sekolah di Perancis. Dia menulis kesannya mengenai kota Paris khususnya, dalam kitabnya yang terkenal Tahlîsul Ibrîs fi Talkhîsil Bâris. Kesimpulannya kira-kira, banyak hal positif yang bisa kita pelajari dari orang lain, siapapun mereka. Dalam kehidupan orang Amerika, saya menemukan banyak hal yang menurut standar Islam akan sangat Islam sekali, sekalipun banyak juga hal lain yang menjauhi nilai islam. Tapi kalau ditotal, yang sesaui dengan nilai-nilai Islam lebih banyak ketimbang yang tidak sesuai.

Hal ini menggambarkan bagaimana sosok Ulil yang kagum dengan kehidupan Barat khususnya Amerika, negara yang menempanya dalam proses mencari dan menemukan konsep Islam liberal.

5) Luthfi Assyaukanie Luthfi Assyaukanie adalah pengajar Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina. Pendidikan tingginya dihabiskan di luar negeri, mulai dari Jordan University, Aman, ISTAC, kuala lumpur hingga University of Melbourne. Sebagai salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal, Luthfi meyakini bahwa Islam dating sebagai bentuk protes dan perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks, baik dalam wajahnya yang fundamentalis (dalam sikap politis) maupun konservatif (dalam pemahaman keagamaan). Sehingga dalam pandangan Luthfi, Islam liberal adalah sebuah gerakan reformasi dengan semangat protestanisme klasik yang berusaha memperbaiki kehidupan umat Islam (Budi Handrianto, 2007: 216-218). Karya monumental Luthfi adalah sebagai penyunting buku “Wajah Islam Liberal di Indonesia”. Buku yang menjadi propaganda pertama Islam liberal di Indonesia.

Keberaniannya dalam menyampaikan komentar tentang Islam membuat Luthfi dikenal sebagai aktivis JIL yang menganggap bahwa mempelajari karya orientalis adalah suatu keharusan untuk membuka pemahaman umat Islam agar mampu berhadapan dengan apa yang ada diluar pandangannya. Dalam blog

commit to user

terhadap khazanah keislaman begitu besar. Salah satu jasa terbesar para Orientalis adalah meneliti sumber-sumber awal Islam yang masih dalam bentuk manuskrip, lalu mengedit (tahqîq), mengkatalogisasi, dan menerbitkannya dalam bentuk buku yang kemudian bisa diakses oleh setiap orang. Buku-buku hadis banyak di-tahqîq oleh para Orientalis. Luthfi berpendapat bahwa tidak melihat sisi negatif dari Orientalisme kecuali pada aspek-aspek metodologis seperti banyak dikritik oleh sarjana studi budaya (cultural studies), seperti Edward Said. Namun pertengkaran soal metodologis adalah sesuatu yang wajar dalam dunia akademi di Barat. Edward Said mengecam para Orientalis karena mereka dianggap sebagai perpanjangan kuasa, kolonialisme, dan hegemoni Barat. Kritik Luthfi terhadapnya adalah Said terlalu sibuk dengan kekeliruan-kekeliruan Orientalisme sehingga mengabaikan dinamika yang kompleks dari disiplin ini. Satu hal yang sering dilupakan bahwa kaum Orientalis adalah para ilmuwan juga yang akan mengkritisi temuan-temuan koleganya yang dianggap tidak akurat (http://www.assyaukanie.com/interviews/islamic-studies-di-barat, diakses 26 Juni 2012)

Selain beberapa tokoh tersebut, ada juga intelektual seperti; Nong Darol Mahmada adalah salah satu aktivis yang giat menyuarakan masalah-masalah gender. Santri yang menyelesaikan kuliah di jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta dan pernah aktif dalam kelompok belajar yang bermukim di Ciputat dikenal dengan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) ini aktif dalam Jaringan Islam Liberal, mengelola website Islamlib.com dan salah satu koordinator di divisi pengembangan media dan advokasi Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Pengamat masalah gender dan Islam ini, gencar mengkampanyekan tidak wajibnya jilbab bagi wanita muslim melainkan lebih pada keharusan budaya daripada keharusan agama (Budi Handrianto, 2007: 227).

Ahmad Sahal, salah satu koordinator diskusi pada Komunitas Utan Kayu pernah mengenyam pendidikan pesantren Futuhiyyah, Demak dan Al Falah, Kediri serta Perguruan Tinggi Islam di Yogyakarta. Sahal aktif dalam pergerakannya di Freedom Institut juga sebagai redaktur Jurnal Kalam (Budi

commit to user

media masa, tulisan-tilisannya juga mampu membawa Denny meraih sejumlah penghargaan di bidang akademis, jurnalistik dan konsultan politik. Denny meyakini bahwa komunitas Islam liberal di Indonesia sudah saatnya mengembangkan sebuah teologi tersendiri yang sah secara substansi dan metodologi, yaitu teologi Islam liberal yang dalam politik teologi itu menjadi teologi negara sekular (Budi Handrianto, 2007: 196). Taufik Adnan Amal, dosen mata kuliah ulumul Qur’an pada Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makasar dan anggota Forum Kajian Budaya dan Agama (FKBA). Taufik merupakan intelektual yang aktif menggagas edisi kritis Al-Qur’an dengan bukunya Rekonstruksi sejarah Al-Qur’an. Selain beberapa tokoh-tokoh tersebut, banyak aktivis yang bergabung dengan Jaringan Islam liberal, baik melancarkan gagasannya dalam kebebasan beragama sampai kebebasan berpendapat baik politik maupun isu-isu gender.

2. Agenda Jaringan Islam Liberal Tahun 2001-2005 Secara umum Islam liberal memiliki dua agenda besar. Pertama, secara internal adalah sebuah proses kritik diri bagaimana keberagamaan itu bukan sesuatu yang instant, tapi ia melibatkan sebuah pencairan yang serius dan tentu beresiko diasingkan (bahkan dikafirkan) oleh kaumnya sendiri. Kedua, secara eksternal adalah masalah strategi bagaimana menempatkan Islam dalam proses perubahan sosial dan global yang mengarah pada pelembagaan nilai-nilai demokrasi (Taufik Rahman, 2004: 63)

Charles Kurzman (2001: xliii-lx) dalam pengantar bukunya “Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global” menjelaskan Enam formulasi agenda Islam liberal antara lain : Pertama, melawan Teokrasi (against theocracy). Kalangan Islam liberal menolak ide penyatuan agama dan negara, dan menolak pandangan bahwa syariat Islam mewajibkan sistem politik tertentu bagi tegaknya tatanan politik Islam. Kedua, mendukung gagasan dan ide demokrasi. Kalangan Islam liberal berpendapat bahwa pada dasarnya Islam memberikan dukungan sepenuhnya terhadap ide demokrasi, seperti adanya konsep

commit to user

khusus . Ketiga, Rights of Women, yaitu membela hak-hak kaum perempuan. Berkaitan dengan pembelaan terhadap hak-hak perempuan, posisi kalangan Islam liberal berhadapan dengan pandangan konvensional yang membentuk konstruksi pandangan konservatif dalam memberikan pemaknaan terhadap teks-teks Islam baik Al-Quran maupun hadist Nabi yang menjelaskan tentang poligami, hak-hak kewarisan, hak kaup pria untuk bercerai, otoritas kesaksian hukum pria yang lebih besar, tentang jilbab, pemisahan gender, ketidaksesuaian kaum perempuanuntuk menjadi pemimpin sebuah komunitas Muslim. Keempat, membela hak-hak non- Muslim (minoritas). Pandangan kalangan Islam liberal terhadap hak-hak non- Muslim maupun kalangan minoritas, mendapatkan basis historisnya yang kuat, terutama melalui kesepakatan Piagam Madinah pada masa kepemimpinan Rasulullah. Kelima, Freedom of Thought, yaitu membela kebebasan berpikir. Gagasan tentang kebebasan berpikir merupakan ide yang sangat fundamental bagi kalangan Islam liberal. Kebebasan berpikir menjadi suatu wacana yang substansial dalam ide-ide Islam liberal, agar dapat memberikan dasar pembenaran terhadap pengungkapan pemikiran Islam lainnya. Keenam, Progress, yaitu ide membela gagasan kemajuan. Posisi kalangan Islam liberal yang mendukung gagasan tentang kemajuan, berhubungan erat dengan posisi kalangan Islam liberal yang melihat modernitas dan perubahan sosial sebagai proses transformasi yang bersifat positif dan potensial.

Sejak era kebangkitan Islam, berbagai persoalan menyangkut kehidupan kaum muslim telah didiskusikan. Terlihat bahwa Jaringan Islam Liberal terinspirasi dengan formulasi yang dikembangkan oleh Charles Kurzman, karena pada perkembangannya agenda besar yang diusung tidak jauh berbeda dengan formulasi Islam Liberal Charles Kurzman. Menurut Luthfi Assyaukanie (2001 dalam

http://islamlib.com/id/artikel/empat-agenda-islam-yang-membebaskan, diakses 10 Februari 2012), melihat paling tidak ada empat agenda utama yang menjadi payung bagi persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaru dan intelektual muslim selama ini. Yakni, agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekspresi. Kaum muslim

commit to user

perspektif masa silam yang lebih banyak memunculkan kontradiksi daripada penyelesaian yang baik.

Agenda pertama adalah agenda politik. Yang dimaksud dengan agenda ini adalah sikap politik kaum muslim dalam melihat sistem pemerintahan yang berlaku. Dengan kata lain, agenda ini berusaha untuk menolak sistem pemerintahan Islam dan mendukung sekularisme. Secara teologis, persoalan ini bisa dikatakan telah selesai, khususnya setelah para intelektual muslim, semacam Ali Abd al-Raziq, Ahmad Khalafallah (Mesir), Mahmud Taleqani (Iran), dan Nurcholish Majid (Indonesia), menganggap persoalan tersebut sebagai persoalan ijtihadi yang diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslim.

Pilihan terhadap bentuk negara, apakah republik, kerajaan, semi- kerajaan, parlementer adalah pilihan manusiawi, dan bukan pilihan ilahi. Umat Islam lebih mengetahui urusan dunia mereka, persis seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad: “antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian). Dan karena urusan politik adalah urusan dunia, maka menjadi hak kaum muslim untuk mengaturnya sendiri. Tak ada satu ayatpun di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan manusia menentukan satu bentuk atau sistem politik tertentu. Allah hanya mengisyaratkan perlunya memiliki tatanan yang jujur dan adil. Dan dalam hal politik, bisa apa saja, termasuk sistem demokrasi yang kini dianggap sebagai alternatif terbaik dari sistem politik yang pernah ada.

Agenda kedua adalah agenda yang menyangkut kehidupan antar-agama kaum muslim (toleransi agama). Dengan semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negara-negara muslim, pencarian teologi pluralisme tampaknya menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar. Pengalaman awal-awal masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi, kerap dijadikan model percontohan adanya toleransi kehidupan antar-agama dalam Islam. Dengan model ini, Islam dianggap sebagai agama yang menghormati keberadaan agama-agama lain, inklusif, dan toleran. Menurut pemahaman tokoh-tokoh JIL, asas teologi Islam yang lebih penting menyangkut kehidupan antar-agama tidak terbatas hanya pada pengalaman Madinah. Al-Qur’an, sebagai kitab suci yang menjadi rujukan

commit to user

Islam untuk, bukan saja menghormati keberadaan agama-agama lain, tapi mengajak mereka mencari kesamaan-kesamaan (QS. 3: 64). Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah menjamin para penganut agama-agama lain (seperti Yahudi, Kristen, Sabean) akan mendapatkan pahala sesuai dengan perbuatan baik mereka dan dijamin berada dalam lindungan Allah (QS. 2: 62 dan QS. 5: 69). Ayat-ayat seperti ini memperkuat ayat-ayat lainnya yang menyatakan bahwa semua agama, selama mengakui ketertundukannya kepada Allah (yang merupakan makna dari kata “Islam”), pada dasarnya adalah sama.

Agenda ketiga adalah agenda emansipasi wanita. Agenda ini mengajak kaum muslim untuk memikirkan kembali beberapa doktrin agama yang cenderung merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. Hal ini karena doktrin-doktrin tersebut bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mengakui persamaan dan menghormati hak-hak semua jenis kelamin (lihat misalnya QS. 33:35, QS. 49:

13, QS. 4: 1). Sudah saatnya kaum muslim bersikap kritis dalam melihat dan membaca warisan keagamaannya, karena sebagian dari pesan-pesan yang terkandung dalam warisan-warisan keagamaan itu dibentuk dalam kondisi sosial- budaya tertentu. Dan karenanya, perlu penafsiran dan pemahaman ulang.

Agenda keempat tentang kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Agenda ini menjadi penting dalam kehidupan kaum muslim modern, khususnya ketika persoalan tersebut berkaitan erat dengan masalah Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Islam sangat menghormati hak-hak asasi manusia, dengan demikian, juga menghormati kebebasan berpendapat. Sejak dibukanya kembali “pintu ijtihad” lebih dari satu abad silam, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk takut memiliki pendapat pribadi. Pendapat (ijtihad) adalah sesuatu yang sangat dihargai dan dihormati dalam Islam. Begitu dihormatinya sebuah pendapat, sebuah kaedah fikih menegaskan bahwa seseorang akan diberikan dua pahala jika benar dalam berijtihad, dan diberikan satu pahala jika salah.

Atas dasar hal itu, Islam menghargai pendapat atau karya seseorang. Tidak ada hak bagi siapapun untuk melarang seseorang memiliki kebebasan berpendapat. Namun demikian, Islam mengakui adanya batasan-batasan dalam

commit to user

hukum yang menjadi urusan negara. Seseorang yang melanggar cara-cara berekspresi, akan berhadapan dengan undang-undang yang telah diatur oleh negara (Luthfi Assyaukanie, 2001 dalam http://islamlib.com/id/artikel/empat- agenda-islam-yang-membebaskan, diakses 10 Februari 2012).

Sedangkan Ulil Abshar Abdalla yang dikutip oleh Budi Handrianto (2008: xlviii), mengungkapkan bahwa untuk menandingi kalangan revivalis, JIL telah menyusun sejumlah agenda, antara lain: Kampanye sekularisasi seraya menolak konsep Islam Kaffah (total) dan menolak penegakan syariat islam, menjauhkan konsep Jihad dari makna perang, penerbitan Al-Qur’an edisi kritis, mengkampanyekan feminisme dan kesetaraan gender serta pluralisme. Menurut Ulil, beragama secara kaffah itu tidak sehat dilihat dari berbagai segi, agama yang kaffah hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami kehidupan seperti zaman modern. Bagi Ulil, beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah. Berdasarkan agenda yang digagas oleh tokoh-tokoh JIL, selanjutnya akan dibahas secara rinci beberapa proyek besar agenda JIL sejak tahun 2001- 2005.

a. Agenda Politik Pada dasarnya istilah Islam progresif, Islam liberal, Islam sekular, Islam

reduksionis, Islam akomodatif dan sejenisnya merujuk pada hal yang senada, yaitu tentang Islam yang tunduk atau tersubordinasikan kepada Barat. Komaruddin Hidayat menyebutkan bahwa ekspresi pemikiran liberal dalam politik adalah menolak formula klasik, dengan contohnya yang diterapkan oleh Ali Abdur Raziq dan Kemal Attaturk (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 33). Pemecatan Raziq dari anggota ulama Al-Azhar, dilakukan oleh Haiah Kibaril Ulama (Dewan Ulama Terkemuka) yang terdiri dari 19 orang ulama dan mengklasifikasikan kesalahan fatal Raziq dalam tujuh butir, yaitu: 1) Menjadikan syariat Islam hanya sebagai hukum agama yang tidak ada kaitannya dengan pengaturan atau tata laksana urusan duniawi, 2) berpendapat bahwa jihad Rasulullah ditujukan untuk meraih kekuasaan setingkat raja dan bukan untuk

commit to user

pemerintahan di masa Rasulullah tidak jelas, rancu, kacau, tidak komplit, dan membingungkan (bagi yang mencoba memahaminya), 4) berpendapat bahwa tanggungjawab (Muhammad) Rasulullah hanya menyebarluaskan syariat tanpa menjadi penguasa atau pemerintah, 5) menganggap sepi ijma’ (kesepakatan) para sahabat Rasul yang menetapkan umat harus menunjuk seorang untuk mengelola urusan keagamaan da keduniaan serta mengakui adanya kewajiban untuk mengangkat seorang imam, 6) mengingkari bahwa qudhat (kehakiman) merupakan fungsi syariat, 7) berpendapat bahwa pemerintahan Abu Bakar dan Khulafaur Rasyidin merupakan pemerintahan sekuler (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 13)

Selain itu proses sekularisasi Turki secara resmi dimulai dengan proklamasi negara Republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923. Mustafa Kemal terpilih sebagai presiden pertama, lalu mengganti nama menjadi Kemal Attaturk (Bapak Bangsa Turki). Turki secara tegas menyebut dirinya sebagai negara sekuler. UUD Turki pasal 1 menegaskan, Turki adalah negara (1) Republik, (2) Nasionalis, (3) Kerakyatan, (4) Kenegaraan, (5) Sekularis, (6) Revolusioneris. Karena itu, hal-hal yang dianggap membahayakan prinsip sekuler akan diserang. Islam yang dipeluk oleh 99 % rakyat Turki dianggap suatu ancaman potensial yang dapat menghancurkan prinsip sekuler, kenyataan menunjukkan bahwa Islam tidak pernah mati di Turki, meskipun segala macam cara telah dilakukan untuk mensekulerkan rakyat Turki. Bahasa Arab diganti dengan bahasa Turki, lembaga pendidikan agama ditutup, wanita dan pria dipaksa berpakaian ala Barat, Huruf Arab diganti dengan huruf latin, kalender Islam diganti dengan kalender Masehi (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 34)

Kedua tokoh tersebut cukup menginspirasi tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal dalam mengembangkan agenda sekularisme di Indonesia. Diskursus negara sekular tidak terlepas dari keterbatasan dan kekurangannya, mengalami pembusukan dari dalam dan dari luar. Dalam tataran nasional, ditemukan ketidakmampuan dan ketidaktegasan sistem sekular dalam menyelesaikan berbagai persoalan, seperti konflik etnis, penggusuran dan krisis ekonomi. Begitu

commit to user

hegemoni politik dan ekonomi sekaligus. Hal Ini menjadi amunisi kalangan pro negara syariat untuk menghancurkan sistem sekuler. Akibatnya, stigmatisasi terhadap sistem sekuler semakin kuat, bukan untuk keluar dari krisis kemanusiaan, politik, budaya dan lain-lain, melainkan untuk kembali kepada syariat (Zuhairi Misrawi 2002, dalam http://islamlib.com/id/artikel/negara- syariat-atawa-negara-sekuler , diakses 2 Mei 2012)

Karena itu, yang patut disadari bersama adalah bagaimana memahami kembali sistem sekuler, dalam hal ini adalah demokrasi. Sebagai sebuah sistem, demokrasi merupakan jalan tengah untuk keluar dari ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Yang menjadi kata kuci dalam demokrasi adalah pelembagaan yang didasari atas nilai-nilai persamaan, pluralitas, kemanusiaan dan kesetaraan. Demokrasi meniscayakan terwadahkannya keadilan, sehingga dapat menghindari dari otoritarianisme dan meminimalisir segala bentuk penindasan, baik yang dilatarbelakangi agama, politik maupun ekonomi. Dalam konteks masyarakat beragama, seperti di tanah air, pemikiran keagamaan tidak hanya dikampanyekan dalam hal formalisasi, melainkan adanya pelembagaan pemikiran yang didasarkan atas nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan persamaan hak. Olivier Roy (1994) dalam The Failure of Political Islam mempunyai kritikan yang tajam bagi kalangan Islam Politik yang hanya berkutat pada kekuasaan dan mengesampingkan dimensi kemanusian, pluralitas, keadilan dan kesetaraan. Menurutnya, model yang diterapkan di Iran merupakan contoh terbaik yang tersedia dalam komunitas muslim, karena menjadikan sistem sekuler sebagai upaya melembagakan pemikiran keagamaan (the Iranian model is in fact a “secular” model, in the sense that it is the state that defines the place of the clergy and not the clergy who define the place of politic ). Dengan demikian, sebenarnya permasalahan bukan hanya terletak pada akhir mendirikan negara syariat atau negara sekuler, melainkan berupaya melembagakan keadilan, kemanusiaan, kesetaraan dan kebhinnekaan (Zuhairi Misrawi 2002, dalam http://islamlib.com/id/artikel/negara-syariat-atawa-negara-sekuler , diakses 2 Mei 2012)

commit to user

Islam adalah agama yang dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif sebagai tantangan yang mengancam struktur yang menindas baik di dalam maupun luar Arab. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality) dan keadilan sosial (social justice). Islam menekankan kesatuan manusia, dan menekankan keadilan pada semua aspek kehidupan (Engineer, 1999: 33). Atas dasar keadilan dan kesetaraan maka umat manusia diharuskan untuk hidup berdampingan secara damai dan berusaha membebaskan golongan masyarakat lemah dari penderitaan. Bahkan Ibn Taymiyyah seorang ahli hukum abad pertengahan, menganggap keadilan adalah hal sentral, “Kehidupan manusia di muka bumi ini akan lebih tertata dengan sistem yang berkeadilan walau disertai perbuatan dosa, daripada dengan tirani yang alim” (Engineer, 1999: 39). Keyakinan semacam itu juga tercermin pada pemikiran tokoh-tokoh liberal yang berusaha mengembangkan pluralisme.

Sebelumnya perlu dibedakan antara makna pluralitas dan pluralisme. Pluralitas agama adalah wujud fakta keberagaman dan perbedaan agama-agama di dunia ini. Sebagai fakta, pluralitas merupakan ketentuan Tuhan (Sunnatullah), dan karenanya tidak dapat dihapuskan. Adapun pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, sikap dan pendirian yang dimiliki seseorang terhadap kenyataan akan keberagaman dan fakta perbedaan tersebut. Secara khusus, pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, keyakinan bahawa agama-agama yang bermacam-macam dan berbeda-beda itu mempunyai kesamaan dari segi ontologi, soteriologi, dan epistemologi. Seperti dikemukakan Peter Byrne, profesor di King’s College London UK, pluralisme agama merupakan persenyawaan tiga tesis. Pertama, semua tradisi agama-agama besar dunia adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang transendent dan suci. Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Dan ketiga, semuanya tidak ada yang lebih benar dari yang lain, artinya setiap agama harus senantiasa terbuka untuk dikritik dan ditinjau kembali (Syamsuddin Arif, 2010: 2). Pluralisme didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah

commit to user

xxxi). Menurut Budhy Munawar Rachman, ide toleransi dan pluralisme antaragama, akan membawa umat manusia kepada paham “kesetaraan kaum beriman di hadapan Allah”. Walaupun berbeda agama, tetapi iman di hadapan Allah adalah sama. Karena iman menyangkut penghayatan manusia kepada Allah, yang jauh lebih mendalam dari segi-segi formal agama, berkaitan dengan religiusitas atau bahasa keilmuan sekarang spiritual intelligence. Oleh karena itu, yang diperlukan dalam penghayatan masalah pluralisme antaragama, adalah pandangan bahwa siapapun yang beriman (tanpa harus melihat agamanya apa) adalah sama di hadapan Allah. Karena Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu (http://islamlib.com/id/artikel/basis-teologi-persaudaraan-antar-agama,diakses

30 April 2012). Menurut Rachman (2001), dari segi teologi Islam seharusnya tidak menjadi masalah. Al-Qur’an menegaskan bahwa keselamatan di hari akhir hanya tergantung kepada apakah seseorang itu percaya kepada Allah, percaya kepada hari akhir dan berbuat baik, dan inti ajaran agama adalah mengenai ketiga hal tersebut. Hal Ini dikemukakan Al-Qur’an dalam Al-Baqarah dan Al-Maidah (Q.S.

2: 62 dan 5: 69). Dalam mengomentari ayat tersebut, Abdullah Yusuf Ali menegaskan bahwa ajaran Allah itu satu, Islam mengakui keimanan yang benar dalam bentuk yang lain, asal dijalankan dengan sungguh-sungguh dan didukung oleh akal sehat, disertai tingkah laku yang baik (sebagaimana hal yang sama berlaku bagi orang Islam sendiri). Sementara Muhammad Asad dalam tafsirnya mengomentari, the idea of “salvation” here made conditional upon three elements only: belief in God, belief in the Day of Judgement, and rightous action in life . Dengan begitu, agama jelas mengakui adanya kesetaraan kaum beriman di hadapan Allah. Kalau orang Islam diwajibkan menjalankan agamanya, begitu juga umat dalam agama lain. Dalam QS. Al-Maidah (5: 66) tertera: “Dan sekiranya mereka mengikuti ajaran Taurat dan Injil serta segala yang diturunkan dari Tuhan kepada mereka, niscaya mereka akan menikmati kesenangan dari setiap penjuru”. Ukuran derajat seseorang dengan orang lain adalah takwa, bukan formalisme

commit to user

kembali cintakasih dan persaudaraan antar agama (dari basis teologisnya) yang dicita-citakan

masa-masa mendatang

(http://islamlib.com/id/artikel/basis-teologi-persaudaraan-antar-agama, diakses

30 April 2012).

c. Kesetaraan Gender Kesalahpahaman ekstrem tentang ijtihad dan pemahaman Al-Qur’an

khususnya ayat-ayat yang dianggap merugikan kaum perempuan kembali terjadi dan bahkan lebih besar, didemonstrasikan dengan gamblang oleh kelompok Islam liberal (sekuler) yang memberikan salah satu bukti lain bahwa upaya melahirkan ijtihad yang benar di tengah-tengah umat Islam belum berhasil, dan kesalahan ekstrem ini jelas akan lebih menyesatkan umat dari hakikat ijtihad yang sebenarnya. Di Indonesia paham ini ditumbuhsuburkan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandani Ulil Abshar Abdalla yang bersinergi dengan Yayasan Paramadina Jakarta pimpinan mendiang Cak Nur (Nurcholish Madjid) (Ade Fariz Fazrullah, 2007: 466).

Gerakan feminis di Barat tidak dapat dipungkiri merupakan respons dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di sana, terutama yang menyangkut nasib dan peran kaum wanita. Salah satu penyebabnya ialah pandangan ‘sebelah mata’ terhadap perempuan (Misogyny) dan berbagai macam anggapan buruk (stereotype) serta citra negative yang dilekatkan kepada wanita, bahkan telah terwujud dalam tata-nilai masyarakat, kebudayaan, hukum, dan politik. Pada abad pertengahan hingga di awal abad modern, citra dan kedudukan perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki, peran wanita dibatasi hanya dalam lingkup rumah tangga. Wanita disamakan dengan budak (hamba sahaya) dan anak-anak, dianggap lemah fisik maupun akalnya. Paderi-paderi gereja menuding perempuan sebagai sumber malapetaka dan pembawa sial (Syamsuddin Arif, 2008: 103-104)

Kaum feminis di Barat umumnya menganggap Mary Wollstonecraft (1759-1797) sebagai nenek moyang dan pelopor feminis. Melalui A Vidication of

commit to user

terhadap perempuan, menuntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan diperjuangkan untuk bersekolah dan memberikan suara dalam pemilihan umum (suffrage). selain hak pendidikan dan politik, para aktivis perempuan juga menuntut reformasi hukum dan undang- undang negara agar lebih adil dan tidak merugikan perempuan. Berbagai agenda emansipasi dilakukan secara intensif, termasuk menolak pembedaan di lingkungan kerja. Namun pada perkembangannya, gerakan feminis di Barat terlihat mengalami stigmatisasi dengan munculnya feminis-feminis radikal yang bersikap anti laki-laki, mengutuk sistem patriarki, mencemooh perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lesbianism dan revolusi seks, justru menodai reputasi gerakan emansipasinya (Syamsuddin Arif, 2008: 106-107)

Gerakan feminisme juga disalahkan karena semakin menyuburkan pergaulan sesama jenis, menjauhkan keinginannya untuk menjalin perkawinan, dan mengubah perempuan menjadi makhluk yang gila karier. Emansipasi di Barat terbukti telah merusak sendi-sendi masyarakat dan menghancurkan nilai-nilai keluarga. Banyaknya wanita yang mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan akan berdampak buruk bagi negara-negara yang bersangkutan karena menghentikan populasi generasi baru. Karena terlalu radikal dan melampaui batas-batas kewajaran yang umum, gerakan feminis di Barat berangsur-angsur surut dan nyaris tinggal wacana. Syamsuddin Arif (2008: 109), menjelaskan bahwa gerakan feminis hanya akan menyengsarakan kaum wanita. Relasi gender tidak harus dipahami sebagai perseteruan dan pertarungan antar kelompok (class struggle) dengan saling menegasikan dan berebut posisi, melainkan dalam perspektif kerjasama dan hubungan timbal balik, dalam arti saling menopang dan bahu membahu membangun keluarga, bangsa dan negara, saling melengkapi, saling mengisi dan saling menghargai satu sama lain.

Wacana emansipasi di kalangan umat Islam, pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis dari Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita Muslimah mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi agar mengetahui

commit to user

umat. Menurut Hasan at-Turabi, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah public, termasuk hak dan kebebasan mengemukakan pendapat, mengikuti pemilu, berdagang, menghadiri shalat berjamaah, ikut ke medan perang, dan lain-lain. Namun ada juga yang menggunakan pendekatan secular-liberal yaitu Qasim Amin. Intelektual yang disebut-sebut sebagai “bapak feminism Arab” meulis buku yang menyeru emansipasi wanita ala Barat, menurut Amin jika ingin maju buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya (Syamsuddin Arif, 2008: 109-110).

Gagasan Qasim Amin telah mendapat sanggahan dan tolakan keras yang sekaligus membuktikan bahwa tidak seperti yang sering dituduhkan, ternyata kedatangan Islam adalah agama yang emansipatoris dan telah menyebabkan terjadinya revolusi gender pada abad ke-7 M. Islam telah mengeliminasi adat istiadat Jahiliyah yang berlaku di Jazirah Arab, seperti mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan dilahirkan, mengawini perempuan sebanyak yang disukai dan menceraikan sesuka hati, serta mempraktikan bermacam-macam pola perkawinan yang jelas sangat merugikan dan menindas perempuan. Mulai dari anak sulung laki-laki yang boleh menikahi janda (istri) mendiang ayahnya, ada bapak yang saling menukarkan putrinya untuk dinikahi satu sama lain, bertukar istri hanya dengan kesepakatan suami tanpa membayar mahar, hingga maraknya suami yang yang dengan paksa menyuruh istrinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil semata-mata hanya untuk mendapatkan bibit unggul dari orang lain yang dipandang istimewa (Syamsuddin Arif, 2008: 110-111).

Gerakan feminis radikal nampaknya berpengaruh juga di kalangan Muslim. Fatima Mernissi dari Maroko, Nawal al-Saadawi dari Mesir, Riffat Hasan dari Pakistan (pendiri International Network fot the Rights of Female Victims of Violence in Pakistan ), Taslima Nasreen dari Bangladesh, Assia Djebar dari Aljazair, Amina Wadud dari Amerika Serikat yang sempat membuat heboh dengan ulahnya menjadi khatib dan imam shalat jum’at, Zainah Anwar dari Sis- ters In Islam (SIS) Malaysia, Siti Musdah Mulia dari Indonesia. Beberapa tokoh

commit to user

feminism di negara-negara Muslim, dan tentunya masih banyak perempuan yang memandang emansipasi dari segi yang salah kaprah (Syamsuddin Arif, 2008: 112)

Di Indonesia, wacana tersebut terlihat dari dukungan JIL terhadap Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang disusun sebagai laporan dari hasil penelitian selama dua tahun yang dilakukan oleh sebuah tim yang menamakan dirinya dengan Kelompok Kerja Pengarus Utamaan Gender (Pokja PUG) pimpinan DR. Siti Musdah Mulia, MA staf ahli Menteri Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional sejak masa Said Agil Husein al-Munawwar, yang diserahi tugas oleh Direktorat Peradilan Agama Depag RI untuk meneliti, mengkaji ulang dan menyusun draft pembaruan (revisi) terhadap Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.1 tahun 1991. PUG dibentuk berdasarkan Inpres No. 9 tahun 2001, yang di dalamnya tertuang pernyataan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif gender (Ade Fariz Fahrullah, 2007: 467). Isu gender yang dihembuskan dunia Barat telah memberikan efek bius yang sangat kuat di bumi pertiwi seiring dengan kecenderungan naiknya kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana dilansir oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Kasus-kasus kekerasan yang marak diperlihatkan media masa menjadi acuan Pokja PUG dalam menyusun CLD KHI, namun permasalahannya adalah banyak argumentasi dari gagasan-gagasan feministik seputar gender yang tertuang dalam CLD KHI. Jika dicermati mengandung banyak kerancuan, sehingga menimbulkan kontroversi di kalangan ulama khususnya dan umat Islam pada umumnya. Karena pembaruan terhadap KHI yang diajukan oleh Tim Pokja PUG, bukan lagi dalam konteks tajdid (pemurnian) maupun ishlah (perbaikan), tetapi justru terjebak dalam konsep bid’ah (penyimpangan) dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam yang asli. Selain itu, pendekatan yang digunakan bukan pendekatan syari’at, tetapi pendekatan gender, pluralisme, hak azasi manusia, dan demokrasi (Ade Fariz Fahrullah, 2007: 469).

commit to user

muslim yang meyakini emansipasi wanita dengan model Barat. Fatimah Mernissi adalah salah satu tokoh feminis yang tergerak untuk membuka belenggu aturan agama terhadap perempuan. Tidak lain karena lingkungan Mernissi kecil yang meyakinkannya untuk bergerak memperjuangkan keadilan bagi perempuan. karya-karya Mernissi sarat dengan pengalaman individualnya. Setidaknya pengalaman individual tersebut yang memacunya untuk melakukan riset historis tentang sesuatu yang dirasa mengganggu paham keagamaannya. Misalnya kita lihat dalam karyanya The Veil and Male Elite (Menengok kontroversi Keterlibatan Wanita Dalam Politik) yang kemudian direvisi menjadi Women and Islam: A Historical and Theological Enquiry .

Pelacakan Mernissi terhadap nash-nash suci baik Al-Qur’an dan Hadist didasari pada pengalaman individunya sehari-hari ketika berhubungan dengan masyarakat. Soal lain yang menjadi concern Mernissi adalah hijab. Tema hijab sangat dominan dalam karir intelektual Mernissi karena soal itulah yang sejak kecil mempengaruhi dirinya dan keluarganya, dan tentunya keluarga muslim lainnya. Hijab, yang merupakan instrumen pembatasan, pemisahan dan pengucilan terhadap perempuan dari ruang publik bagi Mernissi merupakan bentuk pemahaman keagamaan dominan. Hijab juga berarti sarana pemisahan antara penguasa dan rakyat. Pemikiran hijab yang terakhir ini dipengaruhi oleh realitas kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat Arab (Nong Darol Mahmada, 2001

dalam http://islamlib.com/id/artikel/berontak-demi-kaum-perempuan,

diakses 2 Mei 2012). Dengan melakukan penafsiran-penafsiran Al-Qur’an dan Hadist, riset sejarah dan analisa sosiologis, Mernissi berusaha keras untuk membongkar pemahaman tersebut, untuk kemudian memberikan tafsir alternatif. Pemikiran Mernissi mengenai hal ini bisa dilihat dalam dua bukunya The Forgetten of Queen in Islam ( Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan) dan Islam and Democracy (Islam dan demokrasi: antologi Ketakutan)

Dalam beberapa karyanya, Mernissi juga mencoba menunjukkan bahwa kekurangan-kekurangan yang ada dalam pemerintahan Arab bukanlah karena secara inheren ajaran-ajaran religius yang nota bene menjadi undang-undang

commit to user

dimanipulasi oleh orang yang berkuasa untuk kepentingan dirinya sendiri. Namun dalam beberapa hal Mernissi membela Arab, ketika negara-negara ini disorot dan dicitrakan negatif oleh pers Barat (Fatima Mernissi, 1994: 26).

Menurut Nong Darol Mahmada (2001), Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, aktivitas perempuan berangsur-angsur surut. Ditambah dengan peristiwa keterlibatan Siti Aisyah (isteri Nabi) dalam memimpin perang unta melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa itu kontroversial dikalangan pemikir Islam klasik. Ada satu pendapat yang mengatakan, tindakan itu merupakan ijtihad Aisyah sehingga tidak berdampak politis apapun dan mendapatkan satu pahala. Ada juga sebagian kalangan yang mengatakan, peristiwa itu merupakan sebab perpecahan umat Islam. Sehingga menjadi legitimasi perempuan Islam untuk tidak berkiprah di bidang politik. Puncak pembatasan terjadi pada masa Kekhalifahan Daulah Islamiyah dan Abbasiyah. Pada dinasti Umayah masa Khalifah Al-Walid II (743-744 M), perempuan pertama kalinya ditempatkan di harem-harem dan tidak mempunyai andil dalam keterlibatan publik. Suara keterlibatan perempuan pada masa ini hampir tidak terdengar. Pada akhir kekhalifahan Abbasiyah yaitu pada pertengahan abad ke-13 M, sistem harem telah tegak kokoh. Pada periode inilah, lahirnya tafsir-tafsir Al-Qur’an klasik semisal Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya. Ini mempengaruhi penafsiran-penafsiran mereka yang mengabaikan ayat-ayat kesetaraan

(http://islamlib.com/id/artikel/hijabisasi-perempuan-dalam-ruang- publik , diakses 2 Mei 2012). Di Indonesia, hijabisasi terhadap perempuan sempat ramai seiring dengan derasnya tuntutan diberlakukannya syari’at Islam. Dan hijabisasi merupakan agenda pertama dari penerapan syariat Islam. Ini bisa dilihat dalam bentuk diwajibkannya peemakaian jilbab, pembatasan ruang gerak dan sebagainya. Contohnya di Aceh dan Padang atau daerah-daerah yang menghendaki pemberlakuan syariat Islam. Bahkan masjid yang sebelumnya berfungsi sebagai ruang publik sekarang hanya milik kaum lelaki. Praktik-praktik seperti ini terjadi di negara-negara yang mendasarkan pada syari’at Islam, misalnya Afghanistan,

commit to user

kesetaraan perempuan tidak lagi dipersoalkan, membatasi perempuan dari ruang publik merupakan langkah yang mundur bagi keberlangsungan masa depan Islam (Nong Darol Mahmada, 2001 dalam http://islamlib.com/id/artikel/hijabisasi- perempuan-dalam-ruang-publik , diakses 2 Mei 2012).

d. Metode Hermeneutika Secara etimologi istilah Hermeneutics berasal dari bahasa Yunani kuno hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan, hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan (Sibawaihi, 2007: 6). Menurut para ahli, pembakuan istilah hermeneutics sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan atau teks baru terjadi sekitar abad ke-18 Masehi, menyusul terjadinya gerakan Reformasi yang dicetuskan oleh Martin Luther di Jerman. Para teolog Protestan menolak klaim otoritas Gereja Katolik dalam pemaknaan dan penjabaran kitab suci. Bagi kaum Protestan, setiap orang berhak menafsirkan Bible, dengan catatan mengetahui bahasa dan konteks sejarahnya. Friedrich Schleiermacher, seorang teolog Protestan yang pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik interpretasi kitab suci (biblische Hermeneutik) menjadi hermeneutika umum yang mengkaji prasyarat atau kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya suatu pemahaman atau penafsiran yang benar dari sebuah teks. Schleiermacher bukan hanya berupaya membebaskan tafsir dari dogma, tetapi juga mengajukan perlunya melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum ini, semua teks harus diperlakukan sama, tidak ada yang perlu diistimewakan, tak peduli apakah kitab suci (Bible) ataupun teks hasil karangan manusia biasa (Syamsuddin Arif, 2008: 178-180). Bagi Habermas, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi dan kepentingan terselubung yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideology, hermeneutika harus bisa mengungkapkan manipulasi, dominasi, dan propaganda di balik bahasa sebuah teks, segala sesuatu yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna sistematis.

commit to user

dari nilai, hermeneutika mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi. Hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan terhadap Bible, di mana campur tangan manusia dalam perjanjian lama (Torah) dan perjanjian baru (Gospels) jauh lebih banyak dibandingkan apa yang diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa a.s. Bila diterapkan pada Al-Qur’an, hermeneutika secara otomatis menghendaki penolakan terhadap status Al-Qur’an sebagai Kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya.

Hermeneutika menganggap setiap teks sebagai produk sejarah, sebuah asumsi yang tepat dalam kasus Bible mengingat sejarahnya yang problematis. Hal ini tidak berlaku untuk Al-Qur’an, yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia. Selain itu, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran darimanapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis, di mana makna senantiasa berubah. Terakhir, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistimologis, bahwa tidak ada tafsir yang mutlak benar (semuanya relative). Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir gadungan dan pemikir-pemikir liar (Syamsuddin Arif, 2008: 182-183).

Menurut Ahmad Fuad Fanani (2002), hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi sangat relevan dipakai dalam memahami pesan Al-Qur’an agar subtilitas inttelegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) dari pesan Allah bisa ditelusuri secara komprehensif. Pesan Allah yang diturunkan pada teks al-Qur’an melalui Nabi Muhammad tidak hanya dipahami secara tekstual, juga bisa kita pahami secara kontekstual dan menyeluruh dengan tidak membatasi diri pada teks dan konteks ketika Al-Qur’an turun. Maka, teks Al-Qur’an beserta yang melingkupinya dapat digunakan agar selaras dan cocok dengan kondisi ruang, waktu, dan tempat di mana manusia

commit to user

karena problem hermeneutika adalah problem bahasa. Untuk itu, dalam memahami teks Al-Qur’an, disamping harus memahami kaidah tata bahasa, juga mengandaikan suasana psikologis dan sosio historis (wacana) teks tersebut. Dengan kata lain, istilah teknis yang diciptakan Ferdinand de Saussure (seorang ahli bahasa dari Swis) adalah hubungan yang dialektis antara teks dan wacana. (http://islamlib.com/id/artikel/metode-hermeneutika-untuk-al-quran, diakses 30 April 2012).

Analisis yang dilakukan oleh Mohammad Arkoun dan Fazlur Rahman harus diakui sebagai prestasi intelektual. Analisisnya telah mampu membongkar apa yang selama ini tidak tersentuh (unthoucable) oleh akal klasik maupun modern. Al-Qur’an sesungguhnya mempunyai visi transformatif dan liberatif untuk kemanusiaan. Ayat-ayat mengawali misi penurunan Al-Qur’an dengan mengadakan revolusi teologis. Revolusi teologis ini mengartikulasikan substansinya melalui jargon “Tauhid” yang menegasikan seluruh sesembahan selain Allah. Tauhid ini juga menegaskan semangat egalitarianisme sebagai simbol perlawanan terhadap perbudakan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Makkah. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah mengindikasikan semangat revolusi sosiologis terhadap tatanan dan struktur sosial kehidupan masyarakat dengan menjadikan keadilan dan kemakmuran sebagai doktrin sandaran (Ahmad Fuad Fanani, 2002 dalam http://islamlib.com/id/artikel/metode-hermeneutika-untuk-al- quran , diakses 30 April 2012). Hermeneutika yang merupakan metode penafsiran yang memadai pada era modern, perlu memberikan tujuan penafsiran yang tegas dan jelas. Tugas hermeneutika Al-Qur’an yang mendesak adalah untuk pembebasan sosial kemanusiaan dari berbagai eksploitasi yang merugikan. Eksploitasi itu bisa berbentuk ekonomi, politik, sosial, budaya, serta pengekangan keberagamaan. Maka umat Islam Indonesia harus mempelopori penafsiran Al- Qur’an yang berimplikasi pada pembebasan sosial. Sudah waktunya para agamawan terjun untuk membebaskan penindasan, membela hak-hak wanita, dan berdiri pada garda terdepan menumbangkan segala ketidakadilan. Usaha yang

commit to user

layak dipertimbangkan sebagai pemandu gerakan dan wacana keilmuan.

e. Konsep Jihad Jihad merupakan salah satu tema penting dalam ajaran Islam. Tiang

Islam adalah Shalat dan atapnya adalah jihad. Upaya mereduksi makna Jihad, karena besarnya kecenderungan untuk mengkonotasikan jihad dengan perang. Jika dihadapkan kepada kelompok yang memusuhi Islam, maka umat Islam harus berjihad. Mengingat jalan kekerasan fisik bari bisa dilakukan jika umat Islam diserang secara fisik pula, maka penerapan Jihad bisa berbeda-beda, tergantung skala prioritas, karena itu tidak perlu dimaknai secara tunggal sebagai perang fisik secara frontal (Nur Rachmat Yuliantoro, 2002: 6-7).

Dalam pandangan Jaringan Islam Liberal pemaknaan Jihad jelas tidak bisa disamakan dengan perang. Tema Jihad menguat semenjak Amerika merencanakan serangan ke Afganistan menyusul tragedi 11 September. Beberapa organisasi keislaman mengangkat tema jihad untuk membangun solidaritas anti- Amerika (Gatra, Asrori S.Karni & Hendra Makmur, 2001: 70). Berbagai demonstrasi dan aksi anti-Amerika dan sekutu-sekutunya telah menggeser citra Islam di Indonesia sebagai Islam yang lebih toleran, menekankan kedamaian dan perdamaian, harmonis, selalu menempuh jalan tengah moderat (ummatan washatan ), atau bahkan digambarkan media massa internasional sebagai Islam with a smiling face . Pergeseran citra ini dapat mengubah pandangan dan harapan banyak kalangan, khususnya kalangan Islam internasional di negara-negara lain, bahwa Islam Indonesia merupakan alternatif bagi kemajuan Islam di tengah peradaban dunia dan modernisme yang tidak terelakkan. Islam di Indonesia dalam pandangan dunia adalah Islam yang kompatibel dengan modernisme, kemajuan sains dan teknologi, dan multikulturalisme.

Pada waktu yang sama, pemerintahan Presiden Megawati juga mengambil posisi dan sikap yang lebih tegas terhadap kelompok-kelompok garis keras. Sikap tegas dimulai dengan ancaman mencabut kewarganegaraan bagi yang akan pergi ke Afghanistan dan bergabung dengan tentara Taliban sampai kepada

commit to user

(FPI-Solo) dan memanggil pimpinan FPI, Habib Riziq Shihab ke kantor polisi. Dengan sikap tersebut, gelombang demonstrasi dan sikap anti-Amerika, serta tuntutan-tuntutan kepada pemerintah Indonesia terlihat menurun secara signifikan. Menurut Azyumardi Azra (2001 dalam http://islamlib.com/id/artikel/jihad- proporsional, diakses 2 Mei 2012), memandang dampak yang terjadi terhadap kondisi politik dan ekonomi nasional, maka sebaiknya seluruh elemen bisa melihat masalah konfrontasi Amerika Serikat (AS) dengan Bin Laden (Taliban) secara lebih jernih, dingin dan obyektif dengan titik tolak kepentingan nasional. Juga perlu pengamatan yang lebih jernih tentang Bin Laden maupun rezim Taliban dilihat dari perspektif Islam di Indonesia. Dalam berbagai segi pemahaman dan praktek keagamaan yang dianut Bin Laden maupun Taliban memiliki perbedaan yang mencolok dengan pemahaman dan praktik Islam umumnya di Indonesia.

Solidaritas Islam (ukhuwwah Islamiyyah) sangat dianjurkan dalam ajaran Islam, karena sebagaimana dikemukakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, setiap Muslim merupakan saudara bagi Muslim lainnya, penderitaan yang dialami seorang atau sekelompok Muslim lainnya juga merupakan penderitaan bagi Muslim lainnya. Tetapi ekspresi solidaritas Islam itu harus ditempatkan pada proporsinya. Dalam kerangka proporsionalitas, maka ukhuwah Islamiyah terhadap Muslim Afghanistan yang menjadi korban serangan AS tidak harus selalu dalam bentuk jihad dalam arti perang bersama-lama melawan AS. Berbagai constraints yang ada, baik di dalam negeri sendiri dan di luar negeri (khususnya di Afghanistan dan Pakistan) seharusnya mendorong ungkapan solidaritas Islam itu dalam bentuk lain, seperti pengumpulan dana, makanan, pakaian, obat-obatan untuk membantu saudara-saudara Muslim di Afghanistan (Azyumardi Azra, 2001 dalam http://islamlib.com/id/artikel/jihad-proporsional, diakses 2 Mei 2012).

Proporsionalitas ungkapan solidaritas Islam seharusnya juga lebih berorientasi ke dalam. Keadaan ekonomi Indonesia yang masih terpuruk telah menjadikan kaum Muslimin sebagai korban yang paling menderita, apakah dalam bentuk merosotnya pendapatan maupun dalam bentuk pengangguran yang

commit to user

di mana-mana. Bisa dipastikan, sebagian besarnya adalah kaum Muslimin. Ukhuwwah Islamiyah yang begitu menggelora lebih tepat ditujukan kepada permasalahan tersebut. Memandang berbagai gejala yang kurang menggembirakan, maka para pemimpin organisasi-organisasi besar seperti NU, Muhammadiyah, dan organisasi-organisasi besar lainnya mengambil sikap lebih pro-aktif. Sikap pro-aktif bisa dilakukan dengan lebih sering melakukan dialog dengan kelompok-kelompok garis keras untuk merumuskan sikap yang lebih proporsional dalam menyikapi berbagai perkembangan baik di dalam maupun luar negeri yang mempengaruhi kaum Muslimin dan Islam. Para pemimpin mainstream Muslim juga harus lebih outspoken dan asertif untuk menyatakan kepada publik umumnya tentang sikap proporsional dalam merespon dan menyikapi berbagai perkembangan tersebut (Azyumardi Azra, 2001 dalam http://islamlib.com/id/artikel/jihad-proporsional, diakses 2 Mei 2012). Sikap kalangan Islam Liberal terhadap konsep Jihad tentu bukan tanpa tantangan, karena pandangan yang berbeda dengan pemahaman kelompok Islam Radikal dalam memahami jihad, sementara dapat dilihat, kelompok Islam radikal semakin berkembang dan memperoleh banyak simpatisan serta tetap memegang teguh prinsipnya.

3. Strategi Pengembangan Islam Liberal di Indonesia Sejak berdiri, Jaringan Islam Liberal nampaknya kurang memperlihatkan jumlah simpatisan yang berarti, namun dibalik itu ternyata kesuksesan Jaringan Islam liberal dalam membumikan Islam liberal di Indonesia pasca Orde Baru terlihat nyata. Ada beberapa kegiatan pokok Jaringan Islam Liberal yang sudah dilakukan (http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil, diakses 10 Februari 2012)

a. Sindikasi Penulis Islam Liberal. Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal (atau belum dikenal) oleh publik luas sebagai pembela pluralisme dan inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan, wawancara dan artikel yang baik untuk koran-koran di daerah yang biasanya mengalami kesulitan untuk mendapatkan penulis yang

commit to user

penting, dan suara-suara keagamaan yang toleran juga penting untuk disebarkan melalui media daerah ini. Setiap minggu, akan disediakan artikel dan wawancara untuk koran-koran daerah.

b. Talk-show di Kantor Berita Radio 68H. Talk-show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-keagamaan di Tanah Air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melaui jaringan Radio namlapanha di 40 Radio, antara lain; Radio namlapanha Jakarta, Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh).

c. Penerbitan Buku. JIL berupaya menghadirkan buku-buku yang bertemakan pluralisme dan inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tema- tema tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel, wawancara, dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL, berjudul Wajah Liberal Islam di Indonesia.

d. Penerbitan Buku Saku. Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan Buku saku setebal 50-100 halaman dengan bahasa renyah dan mudah dicerna. Buku Saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu yang menajdi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu, tanggapan ini dari perspektif Islam Liberal. Tema-tema itu antara lain: jihad, penerapan syari’at Islam, jilbab, penerapan ajaran “memerintahkan yang baik, dan mencegah yang jahat” (amr ma’ruf, nahy munkar), dll.

e. Website Islamlib.com. Program ini berawal dari dibukanya milis Islam Liberal (islamliberal@yahoogroups.com) yang mendapat respon positif. Ada usulan dari beberapa anggota untuk meluaskan milis ini ke dalam bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan. Sementara milis akan tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua produk JIL (sindikasi media, talk show

commit to user

perkembangan berita, artikel, atau apapun yang berkaitan dengan misi JIL.

f. Iklan Layanan Masyarakat. Untuk menyebarkan visi Islam Liberal, JIL memproduksi sejumlah Iklan Layanan Masyarakat (Public Service Advertisement) dengan tema-tema seputar pluralisme, penghargaan atas perbedaan, dan dan pencegahan konflik sosial. Salah satu iklan yang sudah diproduksi adalah iklan berjudul “Islam Warna-Warni”.

g. Diskusi Keislaman. Melalui kerjasama dengan pihak luar (universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren, dan pihak-pihak lain), JIL menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman dan keagamaan secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling yang diadakan melalui kerjasama dengan kelompok-kelompok mahasiswa di sejumlah universitas, seperti Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Institut Pertanian Bogor, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dll.

Strategi pengembangan Jaringan Islam Liberal dapat dikatakan meraih kesuksesan berkat dukungan media. Di mana era global telah membawa dominasi informasi oleh negara-negara maju berkembang pesat. Pakar komunikasi Wilbur Schramm membenarkan bahwa hampir terdapat monopoli media internasional, adanya orientasi pasar pada media internasional. Dengan dominasi komunikasi, maka rekayasa informasi global sangat leluasa dilakukan. Dapat dipahami bahwa peran opini publik terhadap pola pikir, pola sikap, dan perilaku masyarakat sangat besar. Banyak pemilik media massa seolah-olah tidak peduli dengan informasi yang di sampaikan akan merusak atau mendidik (Adian Husaini, 2002: xxxvii)

Menurut Adian Husaini (2002: xlvii), bagi Barat tampaknya ada rumus yang dipegang: siapa yang mendukung sekularisme, tidak mencampurkan agama dengan politik, melawan Islam garis keras, bersahabat dengan zionis, itu yang akan dijadikan kawan dan dibantu oleh Barat. Selain itu Agenda yang diusung JIL dapat disadari ataupun tidak telah menampakkan kemiripan dengan warisan imperialis. Secara jujur, sebenarnya, ide-ide besar JIL dapat dipahami dalam kerangka warisan imperalisme Barat ke atas Dunia Islam. Jika diamati tentang

commit to user

barat dan agenda JIL. Dalam agenda politik, kaum muslimin diarahkan oleh JIL untuk mempercayai sekularisme, dan menolak sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Dalam agenda plurarisme, kelompok ini menyeru bahawa semua agama adalah benar, tidak boleh ada truth claim. Agenda emansipasi wanita, adalah menyamaratakan secara total peranan hak lelaki dan perempuan, dan agenda kebebasan berekspresi, seperti hak untuk tidak beragama, tak jauh berbeda dengan agenda politik di atas.

Semua ide-ide tersebut pada akhirnya, kembali kepada ideologi dan kepentingan imperialis. Kerana itu, sulit untuk tidak menganggap bahwa JIL adalah proyel imperialis dengan mencari akar pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam secara murni, kecuali setelah melalui penyelewengan teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya teologi pluralisme menganggap semua agama benar, sebenarnya berasal dari hasil Konsili Vatikan II 1963-1965 yang mengambil prinsip extra ecclesium nulla salus (di luar Katolik tak ada keselamatan) menjadi teologi inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan mungkin berada di luar Katolik. (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 97).

Dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak persamaan dengan ideologi liberalism-kapitalisme. Ide-ide besar kapitalisme itu antara lain: sekularisme, demokrasi, dan kebebasan. Kentalnya ide-ide pokok kapitalisme sehingga tokoh JIL menjadikan ideologi kapitalisme sebagai standard pemikiran. Meminjam bahasa Al Jawi, idea-idea kapitalisme diterima terlebih dulu secara taken for granted dan dianggap benar secara total, tanpa diberi peluang untuk didebat (ghair qabli li an-niqasy) dan tanpa ada kesempatan untuk diubah (ghair qabli li at-taghyir ) kemudian ide-ide tersebut dijadikan dasar untuk menilai dan mengadili Islam. Selain itu, peran The Asia Foundation dalam pemberian dana untuk kegiatan-kegiatan JIL semakin memperkuat adanya kerjasama khususnya dalam membentuk opini publik untuk mendukung pengembangan JIL (Thoriq dalam

http://islamicunderstanding.wordpress.com/2011/09/23/jil-cia-asia-foundation- rancak-serang-muslim-indonesia/, 29 Feb 2012

commit to user

dalam mengelola berbagai rubrik mulai dari reportase, kolom, editorial, wawancara, klipping, pernyataan pers, tokoh, sampai resensi buku, tercatat sejak tahun 2001 sampai 2005 berjumlah 743 tulisan (rubrik, judul, penyusun, dan waktu terbit: Terlampir) yang setiap tahunnya dapat diamati memperjelas agenda JIL sesuai dengan isu yang berkembang dan perlu didiskusikan. Sejak berdiri tahun 2001 JIL mulai dari diskusi-diskusi mengenai istilah liberal dalam Islam Liberal dan menyusun agenda-agenda yang harus dikerjakan. Tahun 2002, seiring dengan datangnya respon, kritik dan sejumlah peristiwa politik yang banyak mengusung Islam sebagai kekuatan ideologis, sehingga muncul penolakan terhadap penerapan syariat dalam negara, JIL mulai menggagas secara serius mengenai teologi negara sekular. Tahun 2003, pluralisme Nampak menjadi puncak dari agenda-agenda JIL, di mana sikap toleransi, kebebasan menafsirkan Al-Qur’an, kebebasan berekspresi (mulai pembahasan agama, seni, dan batasannya) menjadi tema diskusi yang diusung. Tahun 2004, seiring maraknya pemilu 2004, di mana partai Islam bersaing dengan legitimasi agama untuk meraih simpati masyarakat, diskusi JIL diwarnai dengan pembendungan- pembendungan politisasi agama dalam pemilu, posisi ulama dengan godaan politik kekuasaan sehingga gagasan sekularisasi Nurcholis Madjid dianggap perlu dikembangkan dengan tidal mencampuradukkan antara kepentingan politik menggunakan label Islam. Tahun 2005, memuncaknya respon dengan hadirnya Fatwa MUI mengenai haramnya Sekularisme, pluralisma dan liberalisme semakin memojokkan posisi JIL, namun JIL tetap intens dalam berbagai diskusinya dan mulai menegaskan kembali mengapa perlu meniru Barat yang maju, karena Islam terus berubah.