Pengaruh Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia Tahun 2001-2005

D. Pengaruh Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia Tahun 2001-2005

1. Jaringan Islam Liberal dan Cita-cita Civil Society Civil society, dipadankan dalam bahasa Indonesia dengan “masyarakat sipil”, “masyarakat kewargaan” adalah suatu istilah yang pada mulanya berasal dari Barat kemudian masuk ke negeri-negeri yang sedang giat melakukan

commit to user

dibicarakan banyak pemikir sebagai wacana dari praktik politik kontemporer. Sebagaisalah satu ajaran yang mwmpunyai misi mengubah tatanan sosial masyarakat, Islam memiliki konsep tentang masyarakat ideal dank arena itu Islam juga berkepentingan untuk mengubah masyarakat menuju cita-cita idealnya. Kesesuaian ajaran-ajaran Islam dengan civil society disepakati bahwa Islam mendorong penciptaan masyarakat madani, Nabi Muhammad bahkan telah mencontohkan secara aktual bagaimana perwujudan civil society yaitu ketika Nabi mendirikan dan memimpin Yatsrib yang kemudian dikenal sebagai kota Madinah dengan Piagam Madinah sebagai aturan yang disepakati bersama antara siapapun yang ada di Madinah (Masduki, 2007: 159).

Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan sosial yang mengedepankan semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam masyarakat madani, warga negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat nongovermental untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada independensinya terhadap negara. Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif antara warga negara dan negara. Masyarakat madani juga tidak hanya bersikap dan berperilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan semua warga negara sebagai pemegang hak kebebasan yang sama (Mawardji J., 2008: 20)

Terdapat beberapa unsur yang merupakan bagian dari proses pemaknaan masyarakat madani yang lebih dari sekadar gerakan-gerakan pro-demokrasi yang menekankan peranan Islam, demokratisasi sebagai pemberdayaan, bukan oposisi, pemerintah tetap merupakan faktor yang krusial bagi demokratisasi dan reformasi politik, kerjasama pemerintah dan masyarakat sipil, bukan konflik dan perebutan kekuasaan, pemerintah memerintah masyarakat sipil, tatanan demokratis tidak bisa diciptakan tanpa kekuasaan negara, menjamin stabilitas, di samping unsur

commit to user

Baso, 1999: 257) Memasuki dekade 1990-an, orang banyak berbicara tentang civil society yang oleh kalangan Islam disebut sebagai masyarakat madani. Tidak jarang terjadi salah kaprah dalam memberikan interpretasi tentang konsep dasar apa yang disebut sebagai civil society. Dan tidak jarang pula ada yang memahami dengan melihat civil society sebagai masyarakat sipil vis a vis militer dalam kehidupan politik di Indonesia (Afan Gaffar, 1999: 176). Sebutan masyarakat madani, seperti banyak diakui para pendukungnya, pertama kali diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim sewaktu masih menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia dalam satu forum ilmiah menyampaikan ceramah berjudul “Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani”, bahwa dalam sejarah Asia Tenggara, Islamlah yang pertama kali memperkenalkan cita-cita keadilan sosial dan pembentukan masyarakat madani, yaitu civil society yang bersifat demokratis. Meskipun Anwar menyadari bahwa konsep civil society berasal dari Barat, tetapi Ernest Gellner juga menyebut konsep High Islam yang menegaskan bahwa budaya tinggi Islam yang juga beroperasi dalam sejarah Asia Tenggara (Ahmad Baso, 1999: 258)

Menurut Hikam dalam Ahmad Baso (1999: 259-260), civil society diperlukan untuk menjembatani kemungkinan terjadinya dominasi oleh kekuatan primordial seperti agama. Maka, jika disepakati untuk membangun sebuah civil society dengan agama sebagai panglimanya akan mengalami kesulitan sebab dalam civil society agama ditempatkan sebagai salah satu elemen identitas. Hal ini berbeda dengan apa yang berlaku dalam wacana masyarakat madani yang menjadikan peranan Islam sebagai faktor dominan. Arena konsep civil society sepenuhnya berawal dari kemaslahatan manusia sebab civil society bukan berdasarkan prinsip agama, tetapi kewarganegaraan.

Senada dengan itu, kelompok JIL sejak awal telah bekerjasama dengan Asia Foundation dalam mendorong demokratisasi dan civil society di Indonesia. Seperti dijelaskan Ulil dalam Gatra (8 Desember 2001: 66), “kami susun program, kami ajukan ke Asia Foundation, dan disetujui”. Hal tersebut dibenarkan oleh Ahmad Suaedy, selaku Program Officer Islam dan Civil Society

commit to user

kami memang bekerjasama dengan banyak organisasi Islam”. Bukan hal yang mustahil bahwa organisasi Islam yang dirangkul dalam kerjasama tersebut adalah organisasi yang mengangkat agenda-agenda sejalan dengan Barat.

Dari penjelasan program-program JIL sebelumnya selama lima tahun (2001-2005), dapat diamati beberapa tahapan besar yang berjalan dalam pengembangan gagasan-gagasan liberalnya. Sejak berdiri tahun 2001 JIL mulai dari diskusi-diskusi mengenai istilah liberal dalam Islam Liberal dan menyusun agenda-agenda yang harus dikerjakan. Tahun 2002, seiring dengan datangnya respon, kritik dan sejumlah peristiwa politik yang banyak mengusung Islam sebagai kekuatan ideologis, sehingga muncul penolakan terhadap penerapan syariat dalam negara, JIL mulai menggagas secara serius mengenai teologi negara sekular. Tahun 2003, pluralisme Nampak menjadi puncak dari agenda-agenda JIL, di mana sikap toleransi, kebebasan menafsirkan Al-Qur’an, kebebasan berekspresi (mulai pembahasan agama, seni, dan batasannya) menjadi tema diskusi yang diusung. Tahun 2004, seiring maraknya pemilu 2004, di mana partai Islam bersaing dengan legitimasi agama untuk meraih simpati masyarakat, diskusi JIL diwarnai dengan pembendungan-pembendungan politisasi agama dalam pemilu, posisi ulama dengan godaan politik kekuasaan sehingga gagasan sekularisasi Nurcholis Madjid dianggap perlu dikembangkan dengan tidal mencampuradukkan antara kepentingan politik menggunakan label Islam. Tahun 2005, memuncaknya respon dengan hadirnya Fatwa MUI mengenai haramnya Sekularisme, pluralisma dan liberalisme semakin memojokkan posisi JIL, namun JIL tetap intens dalam berbagai diskusinya dan mulai menegaskan kembali mengapa perlu meniru Barat yang maju, karena Islam terus berubah.

Agenda tersebut mengarahkan pada cita-cita Jaringan Islam Liberal dalam Islam dan civil society yang sebenarnya adalah implementasi dari bentuk masyarakat madani dalam terjemahan era modern karena menurut Ulil (Kompas,

18 November 2002) menjelaskan, …Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan dominan. Dalam

usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul

commit to user

menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.

Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai- nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara “yang universal” dengan “yang partikular”.

Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. “Islam”-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others , salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.

Jadi dalam konteks ini Ulil menganggap bahwa masyarakat madani hanya ada pada masa Rasulullah, yang tidak akan bisa diterapkan di masa sekarang. Anggapan tersebut jelas bertentangan dengan konsep konstitusi Modern. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, & Ni’matul Huda (2008: 47), menjelaskan bahwa Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah yang dibuat untuk mempersatukan kelompok-kelompok sosial di Madinah menjadi satu umat dan mengakui hak-haknya demi kepentingan bersama, merupakan contoh atau teladan dalam sejarah kemanusiaan dalam membangun masyarakat yang bercorak majemuk. Ide-ide dalam ketetapan Piagam Madinah tetap mempunyai relevansi kuat dengan perkembangan dan keinginan masyarakat internasional dewasa ini, dan telah menjadi pandangan hidup modern berbagai negara di dunia. Tujuan membentuk masyarakat beradab atau dalam konteks ini disebut civil society yang penuh dengan toleransi antar umat beragama direpresentasikan dalam menggagas sekularisme dan pluralisme agama.

a. Kehidupan Politik (Menggagas Agenda Penolakan Negara Syariat)

Diskursus negara syariat sebenarnya bukan diskursus baru dalam wacana Islam Politik. Panorama seperti ini hampir menjadi karakter utama negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bisa dilihat dari maraknya organisasi

commit to user

seperti Ikhwan Muslimin (Mesir), Jamaat Islamiyah (India, Pakistan dan Bangladesh) dan FIS (Aljazair). Syariat Islam menjadi istilah penting dalam kajian hubungan Islam dengan negara. Sejak terbentuk kesadaran nasionalisme Indonesia, syariat Islam menjadi salah satu ideologi yang bersaing dengan kekuatan ideologi lain, pada era tertentu syariat Islam dianggap sebagai kekuatan yang bisa mengganggu stabilitas Nasional sehingga perlu dikendalikan. Dan di masa transisi Indonesia menuju Demokrasi, syariat Islam kembali memasuki arena wacana politik dan gerakan yang cukup sistematis untuk diterapkan sebagai hukum nasional (Taufik Rahman, 2004: 105-106).

Menguatnya keinginan masyarakat muslim di tanah air untuk menerapkan syariat Islam merupakan gejala yang menarik, bukan hanya dalam hal penerapan yang bersifat teknis, akan tetapi dalam mengungkap dimensi yang hilang dalam wacana syariat Islam. Terdapat ruang yang lebar untuk memahami kembali syariat Islam yang hanya dianggap identik dengan istilah “penerapan dan formalisasi”. Arus reformasi dan demokratisasi yang berkembang pesat pasca- totalitarianisme Orde Baru telah mengilhami keterbukaan dan kebebasan untuk mendiskusikan wacana keagamaan yang telah mengalami keterkungkungan (Zuhairi Misrawi, 2001: dalam http://islamlib.com/id/artikel/tafsir-humanis-atas- syariat-islam , diakses 30 April 2012).

Demokrasi yang dicita-citakan tentunya mempunyai keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang antagonistik. Demokrasi tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya melalui lembaga pengadilan dan kepolisian. Setiap Muslim memiliki kepercayaan bahwa kultur politik Nabi Muhammad adalah pemimpin yang harus diteladani, dan masyarakat politik (polity) yang dibangun, yakni Madinah, harus dijadikan acuan. Rasulullah bukan saja seorang pemimpin spiritual umat tapi juga seorang pemimpin politik. Dalam diri Nabi, dua kekuatan ini menyatu, dan Nabi dipercaya menjalankan kepemimpinan politiknya atas dasar Syari’ah. Berdasarkan keterangan tersebut

commit to user

keterbatasan-demokrasi diakses 30 April 2012) menegaskan Demokrasi itu sendiri membutuhkan kultur politik demokrasi, yakni kultur

massa mayoritas yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dibanding sistem lain. Di dalamnya ada keyakinan terhadap pluralisme politik: keyakinan bahwa keragamaan politik, teruatama yang berkaitan dengan politik yang bertumpu pada kekuatan primordial seperti agama, merupakan keniscayaan. Karena itu, tidak boleh ada kekuatan priomordial apapun untuk memaksakan dirinya menjadi dominan terhadap kekuatan primordial lain dalam wilayah publik. Kalau kultur ini lemah, di mana kekuatan primordial mayoritas menuntut menjadi kekuatan dominan dalam arena publik, maka sistem politik yang cocok untuk ini adalah non- demokrasi, misalnya saja otoritarianisme atau bahkan totalitarianisme.

Sejauh aspirasi politik syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok dalam masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Tapi kalau sudah menjadi keputusan publik, lewat lembaga-lembaga negara, maka ia akan mengikat semua Muslim. Kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang syari’ah, mulai terancam keberadaannya.

Maka, pada dasarnya penerapan syariat dianggap sebagai hal yang mengancam keragaman di Indonesia yang multikultural sehingga kelompok Islam liberal begitu menolak wacana syariat diterapkan di Indonesia. Penerapan syariat dikhawatirkan akan menjadi penghambat proses demokrasi yang diharapkan mampu menampung kebebasan. Secara umum argumentasi kaum liberal untuk menolak penerapan syariat Islam dapat dikategorikan menjadi tiga. Argumentasi historis , bahwa hukum Islam adalah produk masa lalu yang dibentuk berdasarkan latar belakang sosial dan politik masyarakat dan merupakan sebuah respon terhadap keperluan dan kepentingan masyarakat saat itu. Karena itulah, syariat Islam tidak mungkin diaplikasikan untuk saat ini karena tidak merefleksikan kepentingan masyarakat saat ini. Berdasarkan pertimbangan maqashid syariah, argumentasi ini menyatakan bahwa setiap hukum mempunyai objektif/maqasid utamanya sendiri. Dan objektif utama syariat Islam secara umum adalah menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia. Konsep maslahat itu sendiri berubah seiring dengan berjalannya waktu. Apa yang dianggap maslahat pada saat

commit to user

lain dan dalam konteks waktu yang lain. Yang terakhir berdasarkan argumen pertimbangan Hak Asasi Manusia, syariat Islam yang diterapkan dalam aturan pemerintahan sebagai dasar hukum dikhawatirkan akan menghambat toleransi dan melanggar

http://www.voa-

islam.com/news/indonesiana/2011/03/16/13797/kejanggalan-pemikiran-ulil- abshar-abdalla-tentang-islam/, diakses 10 Juni 2012). Menurut Ulil (Gatra, 21 Desember 2002: 29), pemberlakuan syariat Islam sama saja melibatkan secara penuh peran negara dalam kehidupan beragama, cara ini bisa mempersempit cara pandang Islam, Syariat menjadi terjebak dalam urusan larangan-larangan seperti minuman keras, Jilbab, perzinaan, perkawinan sesama jenis.

b. Terhadap Kehidupan Agama (Mengedepankan Pluralisme Agama)

Pengaruh cara pandang JIL terhadap kehidupan beragama jelas menimbulkan kontroversi luar biasa khususnya artikel yang ditulis Ulil dalam Kompas 18 November 2002. Menurutnya, temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugrah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya adalah milik orang Islam juga, tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam. Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri, yang harus dilawan adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu. Ulil berpandangan lebih jauh lagi, bahwa setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islam juga. Islam (seperti pernah dikemukakan

commit to user

Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme.

Paham pluralisme sangat dekat dan didukung oleh pandangan Islam inklusif yang terbuka terhadap kemajuan. Idea of progress bertitik tolak pada konsepsi atau doktrin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik , suci dan cinta kepada kebenaran dan kemajuan (manusia diciptakan Allah dalam fitrah dan berwatak hanif). Konsistensi idea of progress adalah sikap mental yang terbuka, berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja, asalkan mengandung kebenaran. Jadi, sejalan dengan intellectual freedom, manusia harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spectrum seluas mungkin, kemudian memilih mana yang menurut ukuran objektif mengandung kebenaran (Nurcholish Madjid, 2008: 234). Menurut Madjid (2008: 235), sikap terbuka merupakan salah satu tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk dari Allah, sedangkan sikap tertutup, sehingga “berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang beranjak ke langit”, merupakan salah satu tanda kesesatan.

Di satu sisi, JIL mengedepankan toleransi beragama, namun di sisi lain pengaruhnya sangat buruk bagi manusia, kelonggaran-kelonggaran yang dipercaya datang dari Al-Qur’an sebenarnya merupakan kelonggaran yang dibuat oleh manusia itu sendiri, bisa jadi kelonggaran tersebut telah malampaui batas toleransi. Kebebasan yang diususng oleh JIL telah meresahkan umat muslim khususnya bagi kelompok yang awam dan menerima mentah-mentah indahnya sebuah kebebasan termasuk kebebasan untuk tidak beragama. Menurut Djohan Effendi (dalam wawancaranya dengan Nong Darol Mahmada, Agustuss 2001,

http://islamlib.com/id/artikel/harus-ada-kebebasan-untuk-tidak-beragama, diakses 30 April 2012)

Pertama, keberagamaan harus menjadi suatu pilihan, keyakinan. Dan setiap orang harus meyakini bahwa keberagamaannya itu merupakan keyakinan yang ultimate. Kalau tidak seperti itu, buat apa beragama kalau kita tidak meyakini bahwa agama yang kita pegang akan menyelamatkan kita. Kedua, salah satu wujud keberagamaan yang paling dalam adalah ketulusan. Jadi ia harus secara tulus, tidak ada paksaan untuk menganut agama. Karena itu

commit to user

paling fundamental dari agama adalah kemunafikan. Jadi kalau orang tidak memperoleh kebebasan untuk menentukan pilihannya, entah karena paksaan secara halus ataupun kasar, dalam bentuk apapun, menurut saya tidak akan lahir keberagamaan yang tulus, yang betul-betul murni. Kalau tidak ada kemurnian dalam beragama, buat apa?

Pluralisme yang disalahartikan telah menimbulkan berbagai kontroversi di kalangan umat Islam khususnya di Indonesia. Pluralisme dan toleransi disuguhkan dengan berbagai argumentasi yang menolak adanya pemaksaan untuk memeluk satu agama. Menurut Nurcholish Madjid (2001), tidak boleh ada pemaksaan agama artinya tidak boleh memaksa manusia untuk memeluk satu agama. Agama-agama yang ada (sepanjang benar-benar bersifat standar dan mempunyai kitab suci) harus ditolerir dan juga harus diberi hak hidup. Al-Qur’an bahkan menuntut agar menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Berdasarkan hal itu, secara historis, masyarakat yang paling berhasil belajar soal kemajemukan adalah masyarakat Islam. Karena itu, negara-negara Islam rata-rata multi-agama, kecuali Arab Saudi, negara ini menerapkan kebijakan politik yang dimulai Umar bin Khattab untuk daerah Hijaz. Untuk Hijaz tidak boleh ada agama lain, karena dimaksudkan sebagai sebuah homebase yang aman. Mereka yang keluar dari hijaz, dan mereka yang bersedia keluar ke Irak atau Yaman, diberi kompensasi yang besar. Tapi kalau kita ke Mesir, Yaman, Uni Emirat Arab, Libanon dan lain- lain masih banyak orang-orang Nasrani, Yahudi dan lain-lain, dengan Gereja dan Sinagogenya

(http://islamlib.com/id/artikel/dalam-hal-toleransi-eropa-jauh- terbelakang, diakses 30 April 2012). Pemahaman-pemahaman semacam ini telah merasuk dalam pandangan masyarakat Indonesia bukan hanya di kalangan tokoh- tokoh intelektual saja melainkan hingga lapisan bawah, pemahaman pluralisme telah mengakar mulai dari pendidikan tingkat Sekolah Dasar, dengan menanamkan bahwa semua agama adalah sama sehingga perlu adanya toleransi antarumat beragama.

2. Respon dan Kritik terhadap Jaringan Islam Liberal Kehadiran dan sepak terjang JIL sejak awal telah memancing respon yang berbeda baik dari masyarakat awam, lintas agama, para ulama bahkan dari

commit to user

mirip. Mulai dari kritik metodologi, respon terhadap proyek-proyek JIL (masalah penolakan negara syariat, agenda pluralisme, dukungan akan betuk-bentuk kesetaraan gender, serta kebebasan berekspresi). Respon masyarakat bukan hanya bersifat diplomatis namun ada juga yang konfrontatif, menggunakan cara-cara kekerasan untuk membubarkan kelompok JIL, bahkan “Gerakan Indonesia tanpa JIL” ramai diperjuangkan oleh banyak kalangan yang merasa bahwa JIL telah sewenang-wenang dalam menginterpretasikan pemahaman kebebasan beragama secara berlebihan hingga dianggap merusak tata aturan Islam yang telah jelas.

Dukungan dan penolakan mewarnai perjalanan JIL dalam melanggengkan gagasan Islam Liberal agar dikenal masyarakat dalam kelas yang beragam. Kelompok pertama datang dari sekelompok intelektual tradisionalis muda yang sebagian besar adalah staf Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU, di mana Ulil Abshar Abdalla sebagai koordinator JIL masih menjadi ketua. Sejalan dengan itu Jadul Maulana seorang pemikir muda NU yang menjadi ketua Yayasan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), Yogyakarta membenarkan keberatan sebagian kalangan muda NU terhadap kampanye Islam Liberal. Respon muncul dengan mengajukan kritik atas orientasi liberal JIL yang menurut kelompok ini memiliki bias dan mengarah pada liberalisme Barat yang tidak memiliki kecocokan dengan Islam. Kemudian mengajukan sebuah pendekatan alternatif yang disebut dengan post tradisionalis Islam (Postra). Walaupun mengakui perbedaan atas penafsiran modernitas dan liberalisme namun Jadul Maulana menyebut “kalangan Post Tradisionalisme Islam masih bisa mencari dan mencapai titik temu dengan Islam Liberal, terutama dalam menghadapi dua musuh yang sama: fundamentalisme dan konservatisme“ (Gatra, 8 Desember 2001: 68).

Beberapa repon keras datang dari Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Adnin Armas dan Hartono Ahmad Jaiz. Menurut Husaini dan Hidayat, argumen- argumen JIL adalah menyesatkan, meskipun keduanya berusaha untuk tidak membuat ‘cap sesat’ pada siapapun yang dikritik (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: ix). Beberapa fokus yang penting diperhatikan adalah kritiknya

commit to user

hari ini sebagai ahli kitab, penolakan JIL pada pelembagaan syariat dan tuduhan mereka kepada JIL sebagai kelompok yang membawa kepentingan imperialis Barat, Zionisme (Israel) dan jebakan Misionaris Kristen. Poin ini penting diperhatikan bahwa untuk menggagas agenda masyarakat pluralis sebagai cita ideal JIL masih akan banyak mendapatkan hambatan dari kebanyakan kaum Muslim, kritik tersebut dirangkum dalam sebuah karya yang dipublikasikan.

Buku Armas memuat keterlibatan penulis dalam diskusi di milis islamliberal@yahoogroups.com. Armas menyatakan bahwa apa yang digagas dan dikembangkan JIL adalah bentuk lain tradisi orientalis yang mencoba mendangkalkan iman. Selain JIL mencoba menggunakan problem dan sejarah agama Barat (khususnya Kristen) sebagai masalah yang harus dihadapi umat Islam, terutama berkenaan dengan gagasan mengenai sekularisasi yang sebenarnya sama sekali tidak memiliki persamaan historis maupun dukungan teks dalam Islam. Armas menilai bahwa konsep liberal yang diusung tidak dieksplorasi secara mendalam sehingga memunculkan ide kebebasan yang liar tanpa batas (Adnin Armas, 2003: xiv). Sedangkan Jaiz mengkritik identifikasi mengenai pembaharu Islam sebagai modernis atau liberalis. Pengecapan label modernis atau liberalis sama sekali tidak Islami sebab terminologi ini menunjukkan sebuah kontaminasi nilai-nilai Barat yang secular dan tidak Islami. Jaiz menyatakan bahwa JIL adalah sebuah gerakan yang berbahaya bagi umat Islam, sebab berupaya mendangkalkan akidah di balik anjuran-anjurannya mengenai pentingnya ijtihad.

Khoirul Huda (2009: 37), mengutip pandangan Luthfi Assyaukanie bahwa pertentangan terjadi antara kelompok yang mempunyai cara pandang dan logika berfikir yang berbalik dalam memaknai Islam sehingga agenda masing- masing kelompok tentu berbeda. Berikut beberapa pandangan yang berbeda di antara keduanya yang berimplikasi pada agenda gerakan:

a. Di bidang politik, Muslim liberal berpandangan bahwa persoalan politik adalah masalah ijtihadi yang diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin, bentuk negara dan pemerintahan berupa republik, kerajaan, parlementer, atau

commit to user

Fundamentalis berpandangan bahwa bentuk negara adalah khilafah dengan dasar syari‘at Islam.

b. Berkaitan dengan hubungan internal umat Islam dan antar umat beragama. Kelompok Liberal meyebarkan faham pluralisme, inklusivisme dan toleransi, serta terbuka terhadap peradaban Barat, sebaliknya Islam fundamentalis cenderung mengembangkan anti-pluralis, eksklusif, menganggap agama lain sebagai orang kafir dan kelompok terkutuk serta mempercayai secara berlebihan teori konspirasi Barat dan umat Islam sebagai korbannya.

c. Emansipasi wanita, kelompok liberal berkeinginan kuat mendekonstruksi beberapa doktrin Islam yang cenderung mendiskreditkan dan merugikan kaum wanita melalui gerakan feminisme dan persamaan gender. Sedangkan Islam Fundamentalis lebih membatasi emansipasi secara konservatif pada kewajiban wanita di sekitar rumah tangga, memakai jilbab, melayani suami dan membolehkan suami untuk berpoligami.

d. Mengenai kebebasan berpendapat. Islam liberal sangat menghargai kebebasan berfikir dan berpendapat karena merupakan wilayah privat seseorang, yang dibatasi hanya kebebasan berekspresi karena dilakukan secara berlebihan akan berbenturan dengan wilayah Negara. Sedangkan Islam Fundamentalis lebih cenderung mempromosikan peradaban tekstual Islam.

Kasus-kasus aktual yang menandai adanya konflik tidak sebatas wacana antara sesama kelompok Islam progresif namun semakin berkembang di antaranya, tahun 2002 Ulil Abshar Abdalla menuai kritik para ulama dengan artikel provokatifnya di Kompas 18 November, berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Sejumlah ulama menjatuhkan fatwa mati akibat artikelnya yang dianggap menghina dan memutarbalikkan kebenaran agama. Menindaklanjuti apa yang kemudian dikenal dengan “Pernyataan Bersama Ulama dan Umat Islam Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur” di Bandung. Satu di antara isi pernyataan bersama itu berbunyi, “Menuntut aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan dan kegiatan yang secara sistematis dan masif melakukan penghinaan terhadap Allah, Rasulullah, umat Islam dan para ulama”.

commit to user

pemimpin acara Silaturahmi Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) bersama beberapa ulama dari berbagai organisasi ataupun pribadi mengusulkan agenda actual tertentu agar diangkat dalam pernyataan bersama dan menyepakati empat poin untuk dinyatakan bersama. Mulai soal penyelesaian hukum kasus Abu Bakar Ba’asyir, seruan memboikot produk coca-cola, fatwa mati Islam liberal, serta seruan menentang hegemoni politik Amerika Serikat (Gatra, 21 Desember 2002: 24-25).

Bahkan FPI (Front Pembela Islam) adalah lawan yang paling gencar untuk membubarkan JIL. Habib Riziq menyebut bahwa Islam Liberal adalah “Plagiat pemikiran”, karena gagasan-gagasannya hanya meniru tokoh-tokoh orientalis yang menggagas pembaruan terutama dalam memahami dan menilai Islam. Kaum Liberal Indonesia dengan semangat mengkampanyekan tentang perlunya membuat Tafsir Al-Qur’an edisi kritis. Padahal, jauh sebelum kaum Liberal Indonesia mengkampanyekan hal tersebut, adalah Arthur Jeffery (1893- 1959) seorang tokoh Kristen Methodist dari Australia, dalam buku “The Qur’an as Scripture” yang diterbitkan pada tahun 1952. Selain itu, masih ada Abraham Geiger (1810-1874) yang melakukan kajian Al-Qur’an dari konteks ajaran Yahudi, dan Gustav Weil (1808-1889) yang melakukan kajian Al-Qur’an secara kronologis, serta Theodor Noldeke (1836-1930) yang melakukan kajian kritis asal muasal Al-Qur’an, juga Pdt. Edward Sell (1839-1932) yang menggunakan metodologi “Higher Criticism” terhadap Al-Qur’an, lalu Ignaz Golziher seorang Yahudi asal Hungaria yang pernah menjadi mahasiswa di Universitas Al-Azhar (Habib Rizieq dalam http://pondokhabib.wordpress.com/2011/11/08/liberal- pelacur-pemikiran/ , diakses 26 juni 2012).

Kaum Liberal Indonesia dengan agresif mendorong penyatuan semua agama dengan konsep pluralisme, inklusivisme dan multikulturalisme. Jauh sebelum ini, Theolog dari kalangan Protestan seperti John Hick dan Paul F. Knitter, maupun dari kalangan Katholik seperti Raimundo Panikkar, sudah lebih dulu menyuarakannya. Di kalangan umat Hindu ada nama Ram Mohan Roy (1772-1833) yang mencampur adukkan ajaran semua agama, kemudian ajarannya

commit to user

gerakan ini semakin kuat diusung di kalangan Hindu oleh Ramakrishna (1836- 1886) dan Vivekananda (1863-1902). Kaum Liberal Indonesia menggelorakan semangat perkawinan sejenis. Namun, jauh sebelum kaum Liberal Indonesia menyuarakan legalisasi homoseksual dan lesbianisme, Eric James, seorang pejabat gereja Inggris melalui bukunya “Homosexuality and a Pastoral Church” telah menghimbau gereja agar mengedepankan toleransi kehidupan homoseksual dan lesbianisme serta mengizinkan perkawinan sejenis. Bahkan pada November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS sepakat mengangkat Uskup Homoseks bernama Gene Robinson. Maka, di negara Barat, Homosex dan Lesbi tidak dianggap sebagai kejahatan selama masyarakat menerimanya (Habib Rizieq dalam http://pondokhabib.wordpress.com/2011/11/08/liberal-pelacur- pemikiran/ , diakses 26 juni 2012).

Kritik lain juga datang dari Mustofa Bisri yang banyak menyorot gaya tulisan Ulil yang provokatif dan terkesan emosional, sementara Haidar Bagir yang menyatakan bahwa gagasan-gagasan yang dipromosikan JIL cenderung tidak memiliki basis teori dan metodologi yang jelas, terutama berhubungan dengan makna liberal yang multitafsir dan memiliki pengertian yang tidak terbatas (Gatra, 21 Desember 2002: 27). Syamsuddin, tokoh yang belajar pada orientalis namun kemudian membuat sebuah karya yang menunjukkan bagaimana orientalis ingin mengaburkan apa yang sudah jelas dalam aturan Islam juga turut memberikan kritik atas pandangan orang liberal yang menjelma sebagai intelektual muslim terutama masalah kesetaraan gender yang sering digaungkan tokoh-tokoh JIL. Menurut Syamsuddin (2008: 113), tidak ada ayat Al-Qur’an yang menampakkan misogyny ataupun bias gender. Justru begitu mulianya wanita dalam Islam hingga berbagai keistimewaan melekat pada diri perempuan. Pada skala hidup rumah tangga, perempuan dan laki-laki memiliki peran dan tanggungjawab berbeda namun saling melengkapi, adapun pada skala yang lebih luas, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, laki-laki dan perempuan dituntut untuk berperan dan berpartisipasi secara aktif, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan.

commit to user

Sekularisme, pluralisme dan liberalisme yang marak dan menjalar di kalangan Islam telah memanggil MUI untuk bertindak. Tanggal 26-29 Juli 2005 dalam Musyawarah Nasional (Munas)-nya yang ke-7, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengeluarkan 11 fatwa, yaitu;

1. MUI mengharamkan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual termasuk hak cipta.

2. MUI mengharamkan perdukunan dan peramalan termasuk publikasi hal tersebut di media.

3. MUI mengharamkan do’a bersama antaragama, kecuali do’a menurut keyakinan atau ajaran agama masing-masing dan mengamini pemimpin do’a yang berasal dari agama Islam.

4. MUI mengharamkan kawin beda agama.

5. MUI mengharamkan warisan beda agama kecuali dengan wasiat dan hibah.

6. MUI mengeluarkan kriteria maslahat atau kebaikan bagi orang banyak.

7. MUI mengharamkan pluralisme (pandangan yang menganggap semua agama sama), sekularisme dan liberalisme. (Keputusan fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005) Terlampir

8. Fatwa yang memperbolehkan pencabutan hak pribadi untuk kepentingan umum. Fatwa MUI ini sama dengan kebijakan pemerintah, asal diberikan ganti rugi yang layak dan tidak untuk kepentingan komersial.

9. MUI mengharamkan imam shalat perempuan.

10. MUI mengharamkan aliran Ahmadiyah.

11. MUI memperbolehkan hukuman mati untuk tindak pidana berat

Kontroversi dan reaksi negatif dari berbagai pihak langsung bermunculan, fatwa tersebut dianggap tidak mendorong terjadinya dialog antaragama serta kerukunan dan saling pengertian antar pemeluk agama dan juga antargolongan dalam satu agama. Terdapat beberapa poin penting karena dijadikan landasan argument penolakan terhadap fatwa tersebut. Pertama, soal definisi liberalisme, pluralisme, sekularisme yang dimaksud. Kedua, soal kekuatan dan pengaruh fatwa tersebut. Ketiga, soal pernyataan seseorang corong

commit to user

(Syamsuddin Arif, 2008: 116-118). Respon balik juga datang dari pihak JIL yang mempertegas posisinya yang tidak akan membubarkan diri, fatwa MUI dianggap telah membatasi kebebasan berpendapat di negara yang demokrasi. Namun seiring dengan itu pergerakan JIL mulai dirasakan pudar dengan perginya Ulil Abshar Abdalla ke Amerika untuk melanjutkan studinya sekaligus meredam respon berlebih dari pihak lawan.

Menyimak situs www.islamlib.com, sebagai situs resmi yang terbuka untuk umum dan memuat banyak lontaran pemikiran yang sangat bervariasi dalam berbagai bidang, mulai akidah, syariat, sosial dan budaya, politik sampai politik internasional. Dalam lapangan akidah promosi terhadap teologi inklusif dan pluralisdipandang sebagai hal yang sangat serius dalam penghancuran akidah Islam. Konsep persamaan agama dengan menggunakan pemahaman Al-Qur’an sebagai legitimasi dianggap telah mengaburkan konsep Tauhid Islam (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 82). Reinterpretasi terhadap basis teologi seperti diusulkan oleh kalangan pemikir muslim yang menamakan dirinya liberal, inklusif, dan pluralis, tampak sekali terlalu dipaksakan. Hal itu karena Islam hanya mengajarkan toleransi, sebatas menghormati agama lain bukan pluralisme, dalam arti mengakui kebenaran agama lain. Adanya hambatan teologis seperti diakukan oleh JIL, dikatakan tidak berdasar. Sejarah Islam dan umat Islam dari Rasulullah hingga beberapa abad sesudahnya, termasuk hari ini, tidak pernah menemukan hambatan teologis ketika berinteraksi dengan umat antar-agama. Karena memang basis teologi yang diajarkan Islam sudah cukup jelas dan mudah untuk diaplikasikan.

Selain teologi inklusif-pluralis penolakan terhadap penegakan syariat Islam adalah misi penting yang sangat berpengaruh dalam munculnya respon- respon kelompok lawan. Menurut pemahaman kelompok JIL Banyak dampak negatif yang bakal muncul dari pemaksaan penerapan syariat Islam di Indonesia. Dari soal kemiskinan, ketidakadilan hukum, hingga perampasan hak-hak kewarganegaraan akibat sentralisme kekuasaan pada hanya satu penafsiran. Korban pertama yang bakal muncul akibat penerapan syariat Islam itu adalah

commit to user

regulasi dalam Islam yang membatasi ruang gerak kaum perempuan (Kutipan wawancara

http://islamlib.com/id/artikel/korban-pertama-dari-penerapan-syariat-adalah- perempuan, diakses 30 April 2012). Seperti kutipan jawaban Ulil dalam menjawab pertanyaan mengenai dampak dari pelaksanaan syariat Islam yang sekarang ramai dituntut sebagian kaum muslim di Indonesia:

Kalau kita belajar dari pengalaman di Sudan atau Pakistan atau negeri Islam lainnya yang lebih dahulu melakukan penerapan syariat Islam, saya kira, pihak pertama yang paling merasakan dampak pelaksanaan syariat islam adalah kaum perempuan. Ini karena banyaknya regulasi dalam Islam dalam pelbagai hal. Misalnya, soal pengenaan pakaian dan lain-lain.

Kedua, kelompok minoritas non-muslim. Alasannya, saat ini kita sedang mencari tafsiran sesungguhnya kalau syariat islam diterapkan dalam bentuk hidup bersama. Apakah kalau kita merefer kepada Piagam Madinah, masih tergambar bahwa kelompok Islam berkuasa dan oleh karenanya ada perlindungan. Sementara kelompok non-Muslim menjadi warga kelas dua.

Ketiga, sebagaimana yang terjadi di Sudan dan lain-lain, kalau syariat Islam diterapkan dengan asumsi hukum hudud dilaksanakan secara konsisten, maka orang-orang miskin menjadi korban paling pertama.

Pandangan yang tidak menyeluruh mengenai konsep syariat telah menjebak kelompok Islam Liberal tidak lain adalah proses pertempuran peradaban global yang terjadi pada berbagai lini:politik, ekonomi, pemikiran, informasi. Hal ini dianggap sebagai agenda imperialis sejati yang diteruskan oleh tangan-tangan kelompok liberal. Syariat Islam yang sudah baku diacak-acak dan dianggap kuno, ketinggalan zaman dan tidak relevan lagi dengan nilai-nilai demokrasi Barat (Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002: 166)

Perlu dipahami, bahwa respon dan kritik tajam atas pergerakan JIL bukan tanpa alasan. Artikel-artikel kontroversial semakin sring di muat, mulai dari urusan negara, proyek menerbitkan Al-Qur’an edisi kritis, pelegalan pernikahan beda agama, masalah seni (pornoaksi dan pornografi hingga goyang inul) di mana fanatik beragama akan menghapus seni budaya, pandangan terhadap jilbab yang dianggap budaya arab saja, sampai tuntutan pelegalan hubungan sesama jenis yang dirasa merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi (seperti kasus

commit to user

dianggap pejuang wanita yang mampu berontak dengan tulisan-tulisannya). Penyimpangan-penyimpangan itu bukan hanya terjadi karena pemikiran tokoh- tokoh JIL yang terlalu liberal sehingga melampaui batas-batas agama. Namun kepercayaan akan teori Francis Fukuyama yang mengasumsikan bahwa sejarah akan berhenti pada prototype liberal Barat dan seluruh dunia harus mengikuti prototype ini (Khadhar, 2005: 99). Kegandrungan akan kemajuan Barat masih dijunjung tinggi oleh kelompok Jaringan Islam Liberal sehingga bukan hal yang mustahil bahwa jaringan ini akan terus ada dan mengembangkan gagasan melalui tulisan-tulisan tokoh-tokohnya karena bentuknnya yang tidak formal (menggunakan istilah ”jaringan” bukan organisasi resmi).

commit to user