1
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Berdasarkan Deklarasi Djoeanda 1957 yang berisikan konsepsi Negara Nusantara Archipelagic States yang diterima masyarakat dunia dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum
Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea UNCLOS 1982, maka wilayah laut Indonesia menjadi sangat luas sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar
di dunia. Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah laut 5,8 juta km, yang lebih kurang memiliki 17.508 buah pulau besar dan kecil, serta dikelilingi garis
pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada
1
Karena letak Indonesia yang strategis, diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta oleh Benua Asia dan Australia, seharusnya bangsa Indonesia yang dapat keuntungan paling
besar dari posisi kelautan global tersebut. Sayangnya, bangsa Indonesia di masa lalu melupakan jati dirinya sebagai bangsa maritim terbesar di dunia. Sumber daya kelautan hanya dipandang
. Dilihat dari keadaan geografis tersebut, maka sudah seharusnya Indonesia menyadari dan
memanfaatkan potensi kelautan yang demikian besar. Realitas memperlihatkan bahwa hingga saat ini potensi kelautan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal sehingga belum mampu
memberi sumbangan yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Ironisnya lagi, dibalik potensi kelautan yang begitu melimpah, justru komunitas nelayan yang menderita
kemiskinan. Bahkan, komunitas nelayan selalu diidentikkan dengan kemiskinan.
1
Mulyadi S. Ekonomi Kelautan. Jakarta : PT Raja Grafidno Persada. 2005.
Universitas Sumatera Utara
2
dengan “sebelah mata”. Kalaupun ada kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan, maka dilakukan secara kurang profesional dan ekstraktif, serta kurang mengindahkan aspek
kelestariannya. Sebaliknya, laut dipersepsikan sebagai tempat buangan keranjang sampah berbagai
jenis limbah baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. Dukungan infrastruktur , Iptek, SDM, sumber daya keuangan, hukum dan kelembagaan terhadap bidang
kelautan di masa lalu sangat rendah. Sejak tahun 1970 sampai 1996 kredit usaha yang dicurahkan untuk usaha perikanan sangatlah minim hanya sekitar 0,02 persen dari total kredit.
Oleh karena itu, wajar bila pencapaian hasil pembangunan kelautan sangatlah kecil dibandingkan dengan potensi kekayaan laut yang kita miliki.
2
Negara maritim merupakan negara yang mengontrol dan memanfaatkan laut sebagai syarat mutlak untuk mencapai kesejahteraan dan kejayaan. Negara maritim biasanya memiliki
visi maritim yaitu pandangan hidup yang digunakan untuk mengontrol dan memanfaatkan laut sebagai syarat mutlak untuk mencapai kemakmuran dan kejayaan negara. Menurut Mahan
3
Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dan memiliki potensi kelautan yang cukup besar, seharusnya mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat nelayan
yang menggantungkan hidupnya pada potensi kelautan maritim tersebut. Realitasnya , ada
enam syarat sebuah negara menjadi negara maritim yaitu: lokasi geografis, karateristik dari tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk dan pemerintahan.
2
Ibid hlm 5.
3
Wibisono M.S. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005.
Universitas Sumatera Utara
3
kehidupan masyarakat nelayan senantiasa dilanda kemiskinan, bahkan kehidupan nelayan identik dengan kemiskinan.
4
Banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan laut sebagai sumber mata pencaharian salah satunya adalah masyarakat yang berada di dusun Bagan Desa Percut Kecamatan Percut Sei
Tuan yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan
5
. Masyarakat yang menghuni daerah ini sebagian besar adalah beretnis Melayu. Tetapi hasil laut Indonesia
yang kaya akan sumber daya laut tidak mampu memberi kesejahteraan kepada nelayan. Tetapi Pemerintah tidak hanya diam dengan keadaan yang dialami oleh nelayan. Pemerintah sering
memberikan bantuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan salah satunya adalah dengan memberikan bantuan kapal Kepres 39
6
pada tahun 1980. Bantuan ini sampai ke desa nelayan Dusun Bagan yang terletak di desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
Adapun masyarakat yang menghuni dusun ini sebagian besar adalah suku Melayu, dan sekitar 90 masyarakatnya menggantungkan kehidupan pada laut. Dusun Bagan ini pun tidak jauh
berbeda dengan desa nelayan umumnya yang kehidupan masyarakatnya identik dengan kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah. Pemerintah mengeluarkan bantuan sesuai
dengan keputusan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring Trawl
7
4Agus Suriadi dkk. Model Pemberdayaan Sosial Ekonomi Komunitas Nelayan Miskin Berbasis Perempuan. Medan : Universitas sumatera Utara. 2009. Hal 1
5
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya di laut atau di perairan lainnya.
6
Disebut kapal Kepres 39 karena kebijakan tersebut dikeluarkan sesuai dengan keputusan pemerintah Republik Indonesia nomor 39 tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl.
7
Kata trawl ini berasal dari bahasa Perancis “troler”, dari bahasa Inggris “trailing” artinya adalah yang bersamaan, dan dalam bahasa Indonesia artinya adalah tarik ataupun mengelilingi. Dari penggabungan arti tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa trawl adalah alat yang digunakan untuk menangkap ikan dengan cara menarik atau mengelilingi dan lebih dikenal sebagai pukat harimau.
. Terdapat pada pasal empat yang bunyinya Penyerahan kapal termasuk dilakukan
Universitas Sumatera Utara
4
dalam bentuk kredit dan dilengkapi dengan kredit untuk penggantian alatperlengkapannya serta kredit modal kerja.
Tujuan pemerintah mengeluarkan bantuan kapal Kepres 39 ini adalah untuk mengurangi jumlah penggunaan trawl pukat harimau yang dapat menyebabkan rusak dan punahnya habitat
laut. Selain itu, penggunaan trawl ini juga menyebabkan semakin sedikitnya tingkat penghasilan nelayan tradisional yang hanya menggunakan jaring untuk menangkap ikan. Jadi untuk
menanggulangi dari pengurangan pemakaian pukat dan melindungi nelayan tradisional adalah dengan dikeluarkannya bantuan ini, karena dengan menggunakan kapal ini nelayan bisa melaut
dengan lebih baik dan disertai dengan bantuan jaring. Jadi sejak tahun 1980 penggunaan pukat dilarang. Kepres 39 ini dikeluarkan untuk membantu nelayan Bagan sebanyak 17 buah, satu buah
kapal itu digunakan untuk tiga orang nelayan atau istilahnya kongsi, yang mana kemudian kapal ini akan dibayar dengan cara cicilankredit.
8
Hingga tahun 1981 ternyata masih ada nelayan yang menggunakan trawl, nelayan ini adalah nelayan yang berasal dari pelabuhan Belawan yang saling berebut mencari ikan dengan
nelayan tradisional Bagan yang hanya menggunakan jaring. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antara nelayan Pelabuhan dengan nelayan Bagan. Nelayan Bagan tidak setuju atas penggunaan
trawl itu apalagi pengunaannya yang sudah dilarang sehingga pada saat itu nelayan Bagan benar- benar marah, menangkap nelayan Pelabuhan dan membakar kapal mereka. Setelah ini masalah pun
seperti hilang begitu saja karena tidak ada kabarnya lagi
9
8
Menurut wawancara yang penulis lakukan dengan pak Burhan tanggal 10 Desember 2012 di dusun Bagan. Uang untuk membayarnya diperoleh dari hasil tangkapan yang telah dibagi tiga orang yang sama rata dan sisanya itulah
yang dikumpulkan untuk membayar kapal kepres 39 yang mana uang tersebut akan digunakan kembali oleh pemerintah untuk membeli kapal boat lainnya guna membantu nelayan yang tidak mendapat bantuan kapal kepres 39.
9
Ibid
.
Universitas Sumatera Utara
5
Setelah masalah trawl pukat harimau reda maka muncul masalah baru di tahun 1996 yang masih menyangkut masalah nelayan pelabuhan Belawan dengan nelayan Bagan yaitu penggunaan
pukat Langgeh. Di sini nelayan Pelabuhan Belawan kembali menyulut konflik yaitu dengan penggunaan pukat kembali walaupun pukat yang digunakan lebih kecil dari pada trawl. Penggunaan
pukat ini juga menyebabkan konflik kekerasan seperti penggunaan trawl sebelumnya yaitu pembakaran kapal antar kedua pihak. Selain itu ada juga peristiwa penangkapan nelayan Bagan
yang dilakukan nelayan Pelabuhan, yang pada saat melaut tepatnya pukul 03.00 WIB, nelayan Bagan ditangkap dan dibawa ke daerah pelabuhan Belawan bahkan dipukuli. Setelah kejadian
tersebut selang beberapa hari kemudian di tengah malam tepatnya tahun 1996, polisi
10
dengan menggunakan baju biasa datang ke Bagan dengan tujuan ingin menculik orang-orang di dusun
Bagan khususnya nelayan. Akan tetapi pada saat itu ada warga yang mengetahui sehingga warga itu pun menjerit dengan berteriak maling sehingga polisi tersebut dipukuli oleh warga. Tanpa
diduga polisi tersebut mengeluarkan tembakan sehingga menyebabkan dua orang tewas yaitu Ramli dan Muhammad Ridwan. Konflik sesama nelayan berganti menjadi konflik antar polisi dengan
warga.
11
Setelah berakhirnya pemakaian trawl dan pukat langgeh maka muncul lagi hal yang baru di kalangan nelayan Bagan yang masih tetap pada penggunaan pukat yaitu pukat layang
12
10
Polisi yang datang ke Bagan ini berasal dari sektor Belawan dan polisi ini datang berkisar kurang lebih 10 orang dengan menggunakan satu buah mobil polisi.
11
ibid
12
Dikatakan pukat Layang karena alat tangkapnya ketika dioperasikan seperti layang-layang yang akan ditarik oleh satu mesin kapal.
. Tetapi kasus ini agak sedikit berbeda dengan kasus sebelumnya, karena pukat ini bukan berasal dari
nelayan pelabuhan Belawan tetapi buatan dari pak Burhan yang merupakan seorang nelayan Bagan. Pak Burhan menggunakan pukat layang ini pada tahun 1997. Awal dia menggunakan pukat ini
karena ada seorang temannya dari daerah Batu Bara yang juga nelayan sudah menggunakan pukat
Universitas Sumatera Utara
6
tersebut, dan dia menawarkan untuk mencoba menggunakan pukat di daerah Bagan dan ternyata hasilnya sangat memuaskan. Sejak itu pak Burhan mulai ketagihan menggunakan pukat layang,
tetapi penggunaan pukat tidak berjalan lancar, karena dia dimusuhi oleh nelayan lainnya bahkan rumahnya hampir dibakar karena marahnya nelayan lain. Dengan hal tersebut maka penggunaan
pukat layang hanya sebulan digunakan oleh pak Burhan. Tetapi setelah ia tidak menggunakan pukat itu lagi justru nelayan yang tadinya menentang maka merekalah yang kemudian menggunakan
pukat layang tesebut. Pukat layang ini sampai sekarang masih digunakan oleh nelayan Bagan. Seperti sebelumnya yang telah penulis ungkapkan di atas bahwa negara Indonesia hampir
70 wilayahnya adalah perairan yang berarti banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada laut, begitu juga masyarakat di Bagan ini. Di dalam mencari rejeki di laut ini sering terjadi
konflik karena perebutan sumber daya alam demi memenuhi kebutuhan hidup. Tidak terlepas di desa nelayan Bagan ini yang sering terjadi konflik sesama nelayan, baik itu sesama nelayan Bagan
ataupun dengan nelayan Pelabuhan. Pada umumnya konflik ini terjadi karena penggunaan alat dalam menangkap ikan yaitu pukat, penggunaan pukat menjadi pemicu utama terjadinya konflik
nelayan di dusun Bagan tahun 1980-2000. Kehidupan masyarakat Bagan memberikan ketertarikan kepada penulis untuk mengkajinya
secara lebih dalam baik itu dari segi kehidupan ekonomi atau sosial, masyarakatnya yang sebagian besar beretnis Melayu pesisir memberikan ketertarikan yang lebih pada penulis, hal ini dikarenakan
etnis Melayu yang kaya akan kebudayaan menarik untuk dikaji lebih dalam, selain itu masyarakatnya yang identik dengan kemiskinan dan pendidikan yang rendah semakin menambah
ketertarikan. Masalah kemiskinan ini nantinya akan dikaitkan dengan kebiasaan orang Melayu yang dikenal dengan sifat malasnya, yang apabila hari ini mendapat hasil yang lumayan maka untuk
beberapa hari dia tidak akan bekerja karena menganggap uang tersebut cukup. Dengan pemikiran
Universitas Sumatera Utara
7
seperti ini maka tidak akan ada uang yang bisa untuk ditabung. Jadi apabila beberapa hari ke depan sang nelayan tidak mendapatkan hasil maka mereka pun akan kebingungan untuk menghidupi
keluarga mereka. Penelitian ini akan memfokuskan pada masalah penggunaan pukat yang dilakukan nelayan
Bagan. Serta bagaimana kehidupan sosial masyarakatnya. Atas dasar pemikiran di atas maka
penelitian ini diberi judul “ Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Dusun Bagan Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang 1980-2000”.
Alasan pembatasan periodesasi penelitian dari tahun 1980-2000, dikarenakan tahun 1980 nelayan mendapat
bantuan kapal kepres 39 dari pemerintah, seharusnya dengan sudah dikeluarkan bantuan tersebut tidak ada lagi yang namanya penggunaan trawl, tetapi ternyata trawl ini masih digunakan oleh
nelayan pelabuhan yang menyebabkan pendapatan nelayan Bagan semakin sedikit karena hanya menggunakan jaring biasa. Selain penggunaan trawl masih banyak lagi pukat lain yang digunakan
menjadi pemicu konflik-konflik lain di tahun 1900-an, dan tahun 2000 adalah tahun yang bisa menikmati hasil dari penggunaan pukat Layang.
1.2 Rumusan Masalah