Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
36
Unit-unit usaha agribisnis yang dilakukan oleh Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu Subak Guama
Untuk meraih sisa hasil usaha yang maksimal dilakukan usaha yang sungguh-sungguh dengan memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan dan berusaha untuk mengembangkan
unit-unit usaha yang menguntungkan bagi usaha Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu Subak Guama. Berkembangnya unit-unit usaha menuntut ruang lingkup pemasaran yang lebih luas,
sehingga unit-unit yang berkembang dan menghasilkan produk pertanian seperti benih padi, pupuk organik dan beras dipasarkan ke kabupaten lain, seperti Badung, Gianyar dan
Jembrana.
Unit-unit usaha yang dikelola oleh Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu Subak Guama adalah sebagai berikut:
1. Crops Livestock System CLS
Merupakan usaha agribisnis hulu dengan tujuan memperbaiki struktur tanah dengan jalan mengembangkan kredit sapi 1-2 ekor kepada anggota secara bergulir yang dipelihara di
lahan pertanian masing-masing anggota. Jangka waktu kredit selama dua tahun dengan bunga per bulan sebesar 1 dan biaya administrasi kredit sebesar 2,5. Jika terjadi hal
yang tidak diinginkan misalnya, sapi yang diterima mati, maka diberikan keringanan berupa pembebasan pembayaran bunga dan perpanjangan pengembalian pokok kredit selama 1
tahun.
2. Integrated Crops Management ICM
Usaha pengembangan padi terpadu dilakukan dengan mengusahakan pengadaan bahan input produksi seperti: benih, pupuk, obat-obatan yang secara langsung disalurkan secara
kredit kepada petani dengan perhitungan bunga 1 per bulan dan sistem pembayarannya dilakukan setalah panen. Usaha ini memberi kemudahan kepada petani untuk memperoleh
bahan input berupa saprodi disamping harga yang terjangkau.
3. Kredit Usaha Mandiri KUM Usaha simpan pinjam ini dimanfaatkan oleh anggota ibu-ibu tani untuk menunjang
usaha rumah tangga skala kecil, seperti produksi minyak kelapa, dan modal usaha lainnya yang dimiliki oleh wanita tani. Bunga pinjaman sebesar 2 menurun, biaya administrasi
2,50 jangka waktu pinjaman selama 1 tahun.
4. Usaha penangkaran benih padi Usaha ini dilakukan dengan membina petani penangkar untuk bekerja sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Balai Benih selaku instansi yang berwenang mengeluarkan label benih bermutu. Luas penangkaran mencapai 50 Ha dengan jumlah produksi setiap
musim mencapai 400 ton. Disamping disalurkan kepada petani Subak Guama, hasil penangkaran benih padi ini juga disalurkan melalui kerja sama dengan PT Sanghyang Sri
selaku produsen benih padi nasional. Harga jual eceran per kg mencapai Rp. 4.500,00 untuk petani anggota dan Rp. 5.000,00 untuk petani bukan anggota. Harga jual partai besar kepada
rekanan sebesar Rp. 4.250,00
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
37
5. Produksi pupuk organik Bahan baku dari pupuk organik berasal dari kotoran sapi yang dipelihara di areal
pertanian Subak Guama. Bahan baku kotoran sapi ini dibeli dari petani peternak dan kemudian diproses menjadi pupuk organik. Produksi pupuk organik ini mencapai 7,5 ton per
hari dan disalurkan ke proyek-proyek perkebunan dan pasar swalayan Tiara Dewata Denpasar. Dampak langsung dari produksi pupuk ini kepada petani peternak adalah
memperoleh nilai tambah dari sisa kotoran sapi.
6. Penyosohan beras Untuk melengkapai usaha dari hulu sampai ke hilir, Koperasi Usaha Agribisnis
Terpadu Subak Guama mengembangkan unit usaha penyosohan beras. Bahan baku diperoleh dari hasil produksi padi di Subak Guama dan subak-subak yang lain di luar Subak Guama,
dengan kapasitas produksi 400 kg perjam. Beras hasil produksi Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu Subak Guama disalurkan ke pasar umum di Tabanan dan salah satu Koperasi
Karyawan Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar.
7. Peternakan sapi dengan kandang koloni Usaha ini difokuskan pada perolehan bio urine sapi yang dipergunakan untuk pupuk
daun untuk memenuhi permintaan petani di Subak Guama dalam program padi organik. Pemeliharaan ternak sapi dengan sistem kandang koloni dengan kapasitas enam ekor cukup
untuk mendukung permintaan petani tentang pupuk bio orine yang baru diperkenalkan. Tujuan selanjutnya adalah untuk memberdayakan petani peternak dalam Program CLS untuk
membuat pupuk organik bio urine secara mandiri, seperti membuat pupuk kompos dari kotoran sapi secara mandiri selama ini. Pupuk ini diharapkan dapat memperbaiki struktur
tanah di masa yang akan datang.
Keanggotaan dan Rapat Anggota Tahunan RAT
Untuk mewujudkan cita-cita Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu Subak Guama yakni kesejahteraan bagi anggotanya maka peran anggota yang berasal dari cacakan carik atau
kerama carik, memiliki peran penting dalam kehadirannya pada saat Rapat Anggota Tahunan. Rapat Anggota Tahunan sebagai ajang pertanggung jawaban pengurus tentang
pelaksanaan rencana kerja yang ditetapkan pada tahun buku bersangkutan.
Rapat Anggota Tahunan RAT Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu Subak Guama merupakan instrumen pertanggungjawaban pengurus mengenai kinerja dan pelaksanaan
perencanaan usaha yang ditetapkan sebelumnya. Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu Subak Guama melaksanakan Rapat Anggota Tahunan pada bulan Pebruari setiap tahunnya, ini
berarti pelaksanaan Rapat Anggota Tahunan RAT tepat waktu. Penetapan waktu Rapat
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
38
Anggota Tahunan RAT sesuai dengan anggaran dasar adalah bulan Januari sampai dengan bulan Maret tahun berikutnya.
Rapat Anggota Tahunan Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu Subak Guama telah dilaksanakan enam kali dan kehadiran anggota selalu memenuhi syarat sebagai berikut: 1
tahun 2003 kehadiran anggota 310 orang, 2 tahun 2004 kehadiran anggota 135 orang, 3 tahun 2005 kehadiran anggota 325 orang, 4 tahun 2006 kehadiran anggota 340 orang, 5
tahun 2007 kehadiran anggota 294 orang dan 6 tahun 2008 kehadiran anggota 365 orang. Jumlah kehadiran anggota pada setiap Rapat Anggota Tahunan merupakan barometer
kepercayaan anggota kepada koperasi.
KESIMPULAN
Keberhasilan perkreditan berbasis kelembagaan Subak Guama sangat tergantung dari semangat kepemimpinan subak sebagai lembaga sosial tradisional religius, dikaitkan dengan
strategi pengembangan agribisnis berbasis subak dan berdasarkan data primer memiliki: 1 intensitas pelaksanaan ritual nilai-nilai tradisional religius menunjukkan ritual di Subak
Guama berjalan dengan baik, 2 sistem pengairan setengah teknis, 3 memiliki Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu yang dikelola oleh Sumber Daya Manusia profesional, 4 kualitas
produk yang memadai dan mampu bersaing di pasar, dan 5struktur organisasi yang terintegrasi merupakan modal kuat untuk menjalankan proses perkreditan.
Faktor Internal-Eksternal, atau kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang menentukan strategi pengembangan agribisnis berbasis subak antara lain: 1 faktor kekuatan
internal, yaitu: sumber daya manusia, awig-awig atau aturan yang mengikat skor, nilai tradisional religius skor, struktur organisasi, sikap petani yang positif terhadap agribisnis,
2 faktor kelemahan internal yaitu: kualitas produk cepat rusak, kepemilikan lahan terbatas, pengetahuan petani terbatas, petani penyakap. Dukungan petani yang positif terhadap
agribisnis menunjukkan sangat setuju. Kekuatan internal berpengaruh antara lain: sumber daya manusia dengan nilai tradisional relegius, awig–awig yang mengikat, Koperasi Usaha
Agribisnis Terpadu dan sikap petani yang positif terhadap agribisnis. Kekuatan ini dimanfaatkan untuk mendapatkan peluang yang ada dengan memperkuat akses pasar untuk
memasarkan jumlah produk benih dengan produksi maksimal agar seluruh produk dapat diserap oleh pasar. Program pemerintah merupakan peluang menguntungkan untuk
mendapatkan inovasi teknologi yang berkelanjutan, sehingga peluang usaha dapat berjalan sangat baik dengan menjalin mitra kerja.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
39
DAFTAR PUSTAKA
Dudung Abdul Adjid. 1998, Bunga Rampai Agribisnis dalam Kebangkitan, Kemandirian dan Keberdayaan Masyarakat Pedesaan. Sinar Tani, Jakarta.
Kamandalu. A. A. N. B., Suratmini. P.T. dan Suryawan.I.B.G. 2012. Laporan Akhir Tahun Pendampingan Program SL-PTT Padi Sawah di Provinsi Bali. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Bali. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Sudarta, Wayan. 1989 Mobilisasi Sumber Daya dalam Subak yang Anggotanya Berdeda Agama. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.
Sutawan Nyoman, Windia, Sutjipta, dan Suteja. 1983. Studi Perbandingan Subak dalam Sistem Irigasi PU dan Subak dalam Sistem Irigasi Non PU. Kasus Subak Celuk dan
Subak Timbul Baru, Kabupaten Gianyar. Univesitas Udayana Denpasar. Sutawan, Nyoman dalam Pitana editor 1992, Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali
Sebuah Canangsari. Upada Sastra Denpasar. Wardana, P., J. Mejana, G.R. Pratiwi, Z. Susanti, Y. Nugraha dan Suharna. 2011. Laporan
Tahunan 2010. Inovasi Varietas Unggul Baru dan Teknologi Adaptif Perubahan Iklim Global. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementerian Pertanian.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
40
PERAN KEPEMIMPINAN DAN INOVASI LOKAL DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA:
Studi Kasus Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur
Rukavina Baksh
Fakultas Pertanian Universitas Tadulako E-mail: myvina00gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari peran kepemimpinan dan inovasi lokal dalam pengembangan ekowisata, yang dilakukan di Desa Tambaksari, kecamatan
Purwodadi, kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif untuk menggambarkan peran kepemimpinan dan inovasi lokal dalam pengembangan
ekowisata di Desa Tambaksari. Hasil studi menunjukkan bahwa peran leadership dalam pengembangan ekowisata di Desa Tambaksari sudah berfungsi dengan menginisiasi
pembentukan organisasi ekowisata yakni Badan Usaha Milik Desa La Dewi Sari. Lembaga ini mengatur dan mengendalikan jasa ekowisata yang ada di Desa Tambaksari.
Pengembangan inovasi dalam jasa ekowisata diarahkan untuk membangun partisipasi, menggali potensi lokal dan mengembangkan program-program lokal. Partisipasi masyarakat
dalam pengembangan ekowisata di Desa Tambaksari masih perlu ditingkatkan, salah satunya melalui pengembangan inovasi.
Kata kunci
: kepemimpinan, inovasi, ekowisata
ABSTRACT
This paper is aimed to study the roles of leadership and local innovation in ecotourism development. The study is conducted in Tambaksari village, Purwodadi District, Pasuruan
Regency, East Java. The study of a descriptive approach is employed to describe the role of leadership and local innovation in ecotourism development in Tambaksari village. The
result shows that the role of leadership in ecotourism development in Tambaksari village has been functioning through initiation of the formation of ecotourism organization La Dewi
Sari. This organization manages and controls the ecotourism services in Tambaksari village. The Innovation development of ecotourism services intended to create participation, explore
the local potential, and promote the local programs. The community participation in ecotourism development in Tambaksari village still need to be improved, one through local
innovation
Keywords
: leadership, innovation, ecotourism
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
41
PENDAHULUAN
Ekowisata didefinisikan oleh The International Ecotourism Society 2000, sebagai bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke kawasan alami yang dilakukan dengan
tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Pada titik ini, pengertian ekowisata dapat dilihat sebagai suatu konsep
pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya. Ekowisata
berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki
pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi suatu kemutlakan. Pelibatan
masyarakat mendorong terciptanya inovasi-inovasi penduduk lokal yang dapat meningkatkan nilai tambah produk dan jasa ekowisata yang dimiliki oleh suatu wilayah.
Pengembangan inovasi dalam jasa ekowisata diarahkan untuk membangun partisipasi, menggali potensi lokal dan mengembangkan program-program lokal bottom-up on regional
potentials dalam aspek lingkungan dan sosial budaya Fodor and Sitanyi dalam Nugroho, 2011. Pengembangan inovasi difokuskan kepada peran Otonomi institusi lokal untuk
mempromosikan transfer pengetahuan dan teknologi, untuk memelihara organisasi ekowisata senantiasa memberikan aliran manfaat kepada penduduk lokal Nugroho, 2011.
Keberhasilan pengembangan wisata juga tergantung pada kepemimpinan yang kuat pada berbagai kegiatan antar sektor, kegiatan-kegiatan wisata yang mendapatkan
keuntungan, dan penguatan jaringan antar sektor. Walaupun demikian, dalam jangka panjang, kepemimpinan dibutuhkan untuk mendorong konsep dari “followership” sehingga
wisata dapat memperoleh keuntungan ekonomi melalui usaha mereka sendiri secara proaktif Haven-Tang Jones, 2012. Kebutuhan akan leadership dalam jasa ekowisata sangat
penting WES dalam Nugroho, 2011. Organisasi cluster ekowisata perlu diperkuat dengan leadership untuk menjalankan visi, misi dan strategi dalam konservasi lingkungan Prieto,
Gilmore and Osiri dalam Nugroho dan Negara, 2013.
Desa Tambaksari adalah desa yang dicanangkan sebagai desa wisata yang terletak di Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan. Desa ini terdiri dari empat dusun, di mana
setiap dusun memiliki keunikan tersendiri. Dusun Krai dengan sapi perahnya, Dusun Ampelsari dengan kesenian tradisionalnya, Dusun Gunung Malang dengan perkebunannya,
dan Dusun Tambak Watu dengan situs purbakalanya. Keunikan tersebut yang membuat Desa Tambaksari memiliki unsur-unsur ekowisata yang belum lama ini dikembangkan di
wilayah tersebut. Disamping itu desa ini terletaknya di kaki Gunung Arjuno yang merupakan kawasan penyanggah sehingga konsep ekowisatalah yang dianggap paling cocok untuk
diterapkan di Desa Tambaksari dengan tujuan untuk melestarikan kawasan tersebut.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
42
Pengembangan ekowisata di Desa Tambaksari pada awalnya diprakarsai oleh Yayasan Kaliandra. Salah satu misi Yayasan Kaliandra ini adalah memfasilitasi upaya konservasi
alam dan budaya di kawasan hutan lindung sekitar Gunung Arjuno. Mulanya konsep ekowisata ini kurang mendapat respon dari masyarakat setempat karena kurangnya
pemahaman tentang ekowisata. Selain itu kurangnya rasa percaya terhadap orang luar juga merupakan faktor penghambat lainnya. Seiring berjalannya waktu sebagian masyarakat
mulai merespon kegiatan ekowisata yang dilakukan di Desa Tambaksari, ditandai dengan dibentuknya organisasi masyarakat La Dewi Sari yang mengatur kegiatan ekowisata di
desa tersebut. Peranan para pendiri La Dewi Sari, yang didukung oleh pemerintah setempat dan tokoh masyarakat, sangat penting dalam pendeklarasian Desa Tambaksari sebagai Desa
Wisata pada tahun 2010.
Pembentukan Desa Wisata Tambaksari yang relatif masih baru membuka peluang untuk para peneliti melakukan kajian-kajian yang hasilnya diharapkan dapat menjadi acuan
pengembangan ekowisata di daerah tersebut. Fenomena pengembangan ekowisata di Desa Tambaksari yang sebagian besar dimotori oleh masyarakat setempat, dapat memperkaya
studi tentang pengelolaan ekowisata. Menurut Nugroho dan Negara 2013, perpaduan antara kekayaan budaya dan manajemen cooperative dapat menjadi alternatif manajemen
ekowisata, untuk studi kasus di Candirejo, karena selama ini pengelolaan ekowisata selalu diasosiasikan dengan standar manajemen taman nasional Nugroho, 2011. Untuk itu studi
ini dilakukan untuk mengetahui peran kepemimpinan dan inovasi lokal dalam pengembangan ekowisata yang sedang dilakukan di Desa Tambaksari.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini bertempat di Desa Wisata Tambaksari. Desa ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Desa
Tambaksari merupakan salah satu desa yang terletak di kaki Gunung Arjuno, sehingga desa ini berfungsi sebagai daerah penyangga.
Lokasi penelitian tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan: 1 Desa tersebut telah ditetapkan sebagai desa wisata, 2 Desa tersebut merupakan daerah penyanggah hutan
karena letaknya terletak di kaki Gunung Arjuno, sehingga konsep ekowisata merupakan salah satu solusi untuk melestarikan daerah tersebut, 3 Desa Tambaksari memiliki
keunikan tersendiri, yaitu terdiri dari empat dusun yang masing-masing dusun memiliki spesifikasi tersendiri yakni, Dusun Krai dengan sapi perahnya, Dusun Ampelsari dengan
kesenian tradisionalnya, Dusun Gunung Malang dengan perkebunannya, dan Dusun Tambak Watu dengan situs purbakalanya. Keunikan tersebut bisa menjadi ajang pendidikan bagi
wisatawan dengan cara menginap di rumah-rumah penduduk homestay dan mengikuti kegiatan sehari-hari masyarakat di desa tersebut.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
43 Gambar 1. Lokasi Penelitian
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan observasi. Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif untuk
menggambarkan peran kepemimpinan dan inovasi lokal dalam pengembangan ekowisata di Desa Tambaksari. Wawancara dilakukan kepada masyarakat, pemimpin masyarakat Desa
Tambaksari, ketua La Dewi Sari dan tokoh masyarakat setempat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Desa Tambaksari
Desa Tambaksari merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Desa ini berbatasan sebelah Utara dengan Desa
Sumber Rejo yang masuk Kecamatan Purwosari, sebelah Selatan dengan Desa Jatisari Kecamatan Purwodadi, sebelah Barat dengan Desa Hutan R. Soerjo Kecamatan Purwodadi,
dan sebelah Timur dengan Desa Pucangsari Kecamatan Purwodadi.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
44
Lokasi penelitian yakni Desa Tambaksari berjarak 67 Km dari ibukota Propinsi Jawa Timur dan bisa ditempuh kurang lebih 2 jam perjalanan dengan kendaraan. Sedangkan jarak
dari desa ini ke ibukota KabupatenKotamadya Pasuruan 40 Km dan bisa ditempuh kurang lebih 1,5 jam dengan kendaraan.
Desa Tambaksari terletak di ketinggian 850 M dari permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata 2000 mmthn, dan suhu rata-rata 26
o
C. RPJM, 2011.
Tabel 1. Luas Wilayah Desa Menurut Penggunaannya No
Luas Ha Penggunaan
1
203 Pemukiman umum
2 348
Ladangtegalan
3
74 Perkebunan
4
48 Wisata pegunungan
5 250
Hutan Lindung Sumber: RPJM Desa Tambaksari 2011
Desa Tambaksari memiliki 4 dusun yakni, Dusun Krai, Dusun Ampelsari, Dusun Gunung Malang, dan dusun Tambak Watu. Jumlah penduduk Desa Tambaksari 4346 jiwa
dengan jumlah rumah tangga 1299 KK. Jumlah penduduk tersebut terdiri dari 2167 jiwa laki-laki dan 2179 jiwa perempuan.
Produk-Produk Ekowisata Desa Tambaksari
Perpaduan antara alam dan spiritual yang kuat dalam masyarakat Desa Tambaksari menjadi ketertarikan tersendiri bagi para wisatawan untuk berkunjung. Desa Tambaksari
memiliki berbagai macam potensi pariwisata yang ditawarkan. Potensi-potensi tersebut antara lain, situs-situs purbakala yang beraliran kejawen; pusat kesenian La Bagoes;
komunitas petani kopi; peternak susu sapi; meteor garden tugu tempat jatuhnya meteor pada tahun 1975; sumber air sumur gemuling. Selain itu Desa Tambaksari merupakan salah satu
pintu masuk dalam jalur pendakian Gunung Arjuna. Dengan jalur yang mudah dilalui dan memiliki kharismatik tersendiri di setiap tempat-tempat yang dilalui, membuat para pendaki
lebih memilih untuk memasuki kawasan pendakian Gunung Arjuna melalui Desa Tambaksari.
Produk ekowisata Desa Tambaksari salah satunya yaitu jelajah desa yang menawarkan perjalanan ke setiap Dusun, yaitu Dusun Krai, Sumur Ampelsari, Tambakwatu dan Gunung
Malang serta mempelajari berbagai macam tanaman yang tumbuh di sekitar Desa Tambaksari. Masing-masing dusun memiliki potensi yang berbeda-beda, sehingga
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
45 wisatawan akan mendapatkan pengalaman yang berbeda di setiap dusun. Perjalanan berawal
dari Dusun Krai, yang memiliki daya tarik utama pada produksi susu sapi perah. Di dusun ini wisatawan akan melihat proses pemeliharaan sapi secara tradisional di antaranya, cara
memberi makan, proses pemerahan susu dan melihat proses pengolahan susu seperti pembuatan stick susu. Terdapat pula pengolahan limbah sapi perah. Limbah yang dihasilkan
oleh sapi perah dikembangkan menjadi sumber energi yang ramah lingkungan yakni BIOGAS.
Dari Dusun Krai dilanjutkan berkunjung ke Dusun Ampelsari. Dusun Ampelsari merupakan pusat pemerintahan di Desa Tambaksari. Terdapat 12 Homestay yang
ditawarkan untuk penginapan wisatawan. Daya tarik utama yang terdapat di dusun ini adalah sanggar kesenian dengan berbagai pertunjukkan tarian tradisional seperti tarian asal
muasal Tambaksari dan juga tari remo. Sanggar kesenian tersebut merupakan pusat kesenian desa yang bernama La-Bagoes sebagai pusat pembelajaran kesenian jawa. Sanggar ini
menawarkan paket 10 menit menjadi seniman dengan belajar menggunakan alat-alat musik tradisional masyarakat Desa Tambaksari. Di dusun ini pula wisatawan dapat berbelanja
buah dari perkebunan secara langsung, seperti buah durian, alpukat, srikaya dan sawo pada saat musim panen sekitar bulan Desember hingga Maret setiap tahunnya. Terdapat pula
perkebunan bunga khususnya bunga mawar dan anggrek. Selain itu, wisatawan akan diajak untuk mengunjungi sumber air bertuah yang ada di Desa Tambaksari yaitu Sumur Gemuling.
Kunjungan selanjutnya ke Dusun Gunung Malang yang memiliki daya tarik utama perkebunan kopi dan proses pembuatan kopi. Di dusun ini wisatawan akan mempelajari
tentang proses pemetikan biji kopi secara langsung dari perkebunan kopi. Tidak hanya sebatas pemetikan biji kopi, wisatawan juga dapat mengolah biji kopi tersebut hingga
menjadi bubuk kopi yang siap diminum secara tradisional. Di Dusun Gunung Malang terdapat 14 homestay untuk para pengunjung. Dengan menginap di homestay ini,
pengunjung akan belajar cara memasak masakan tradisional dan sebaliknya tuan rumah juga belajar masakan khas para pengunjung.
Dusun terakhir dari jelajah desa adalah ke Dusun Tambakwatu. Daya tarik utama dusun ini adalah jejak meteor Meteor Garden dan situs-situs purbakala. Benda langit yang
biasa disebut dengan meteor tersebut jatuh pada tahun 1975 di ujung barat Dusun Tambakwatu. Selain itu terdapat pula wisata spiritual yang meliputi meditasi dan olah rasa
di situs-situs purbakala seperti Betoro Guru, Gua Ontobugo, Tampuwono, Petilasan Sepilar dan Eyang Semar. Betoro guru merupakan sebuah Arca yang dipercaya sebagai penjelmaan
Dewa Betoro Guru. Di dusun ini juga wisatawan akan mempelajari tentang pengolahan berbagai jenis pisang. Pengolahan pisang dapat menghasilkan berbagai macam makanan dan
hasil karya, yang diperoleh mulai dari pohon, daun, jantung pisang, dan buah pisang. Hasil olahan tersebut dapat berbentuk seperti, keripik pisang, pecel jantung pisang, bumbu rujak
pisang klutuk, mainan anak yang terbuat dari pohon pisang, bungkus makanan secara
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
46
tradisional dari daun pisang, dan batik dari getah pisang. Terdapat pula homestay yang digunakan tempat menginap bagi wisatawan.
Dusun Tambakwatu merupakan pintu masuk lintasan pendakian Gunung Arjuna. Bagi wisatawan yang berkeinginan untuk mendaki Gunung Arjuna, paket yang ditawarkan
adalah perjalanan tiga hari dua malam didampingi pemandu dan porter lokal. Gunung Arjuna sendiri merupakan gunung tertinggi ke-2 di Jawa Timur, dengan ketinggian mencapai
3339 M dpl. Di Gunung Arjuna terdapat cagar budaya yang berunsurkan Kerajaan Majapahit, hal ini dibuktikan dengan peninggalan situs-situs purbakala yang banyak dan
masih asli.
Selain itu, terdapat pula “Grebek Desa” yang menjadi daya tarik Desa Tambaksari, diadakan setiap setahun sekali yaitu setiap bulan Syuro. Pada acara ini setiap dusun
membawa hasil bumi dan jajanan yang dikemas sedemikian rupa, kemudian diarak menuju balai desa. Masyarakat akan berebut untuk mendapatkan hasil bumi yang dipercaya dengan
perolehan tersebut masyarakat akan mendapatkan rezeki.
Kepemimpinan dan Inovasi Lokal
Kepemimpinan atau “leadership” dapat dilihat dari beberapa perspektif yaitu: personality- dimana individu dianggap memiliki ciri-ciri khusus atau karakter; behavior-
dimana pemimpin mengambil tindakan untuk menciptakan perubahan dalam suatu kelompok tertentu; skills- dimana kemampuan dari kepemimpinan yang efektif diidentifikasi
Northouse, 2010.
Leadership juga dapat didefinisikan dengan keberadaan kekuatan hubungan antara leaders dan followers yang menginspirasi followers atau pengikut untuk
memenuhi lebih dari kepentingan diri sendiri secara langsung Northouse, 2010. Dalam masyarakat pedesaan, kepemimpinan lokal merupakan kunci kesuksesan yang
paling efektif dalam kegiatan pembangunan termasuk pengembangan ekowisata Davies, 2011. Kepemimpinan lokal adalah konsep yang mengacu kepada praktek-praktek
pemerintah lokal,
yang mampu
membangun visi,
membagi kebutuhan
dan mengimplementasikan kebersamaan di tingkat lokal untuk menghasilkan nilai tambah
Randle and Hatter dalam Nugroho, 2011. Seperti halnya pengembangan ekowisata di Desa Tambaksari diawali dengan perumusan visi dan misi oleh para pendiri Lembaga Desa Wisata
Tambaksari atau La Dewi Sari. Lembaga ini memiliki visi untuk, 1 menjadikan Desa Tambaksari sebagai desa yang paling nyaman sedunia; 2 desa yang sejahtera; 3 serta
menjadikan Desa Tambaksari sebagai tujuan pariwisata nasional dan internasional berdasarkan nilai, agama, budaya dan berwawasan lingkungan. Visi ini akan diwujudkan
dengan beberapa misi antara lain, 1 dengan menguatkan citra pariwisata Desa Tambaksari; 2 meningkatkan diversifikasi produk pariwisata; 3 meningkatkan mutu pelayanan
pariwisata; 4 meningkatkan hubungan kerja sama yang sinergi antarlembaga pariwisata lintas kecamatan, kabupaten, provinsi dan negara; 5 meningkatkan kesadaran peran
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
47 masyarakat; 6 penataan wilayah pengembangan pariwisata berdasarkan nilai keberagaman
alam, budaya masyarakat, dan berwawasan lingkungan. Visi dan misi tersebut jelas menunjukkan bahwa pengembangan ekowisata di Desa
Tambaksari tidak hanya melibatkan satu pihak melainkan dari semua pihak termasuk pemerintah, swasta, NGO, akademisi dan masyarakat. Menurut Dwyer and Edwards 2010,
leadership yang kuat dan efektif membutuhkan peran aktif dari berbagai level di tingkat pemerintah, swasta dan masyarakat. Kerjasama antara operator wisata dan pemimpin local
merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam pengembangan wisata pedesaan Wilson et al., 2001.
Peran Leadership dalam pengembangan ekowisata di Desa Tambaksari sudah berfungsi dengan menginisiasi pembentukan organisasi ekowisata yakni terbentuknya Badan
Usaha Milik Desa La Dewi Sari. Lembaga ini mengatur dan mengendalikan jasa ekowisata yang ada di Desa Tambaksari mulai dari jelajah desa, homestay, sampai menawarkan
pemandu untuk kegiatan pendakian ke Gunung Arjuno. Leadership di lembaga La Dewi Sari juga sudah berhasil memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekowisata.
Profil pemimpin Julianto yang merupakan ketua Lembaga Wisata Desa Tambaksari La Dewi Sari telah memberikan pengaruh yang positif kepada masyarakat dengan memotivasi
terbentuknya beberapa paguyuban antara lain: paguyuban rumah inap homestay, paguyuban transportasi, paguyuban pemandu, paguyuban seni dan paguyuban usaha
makanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Burns 2001, bahwa pemimpin harus mampu membangun sebuah visi dan menghasilkan ide-ide sehingga followers akan memahami
tantangan dan nilai yang terkandung dalam ide-ide tersebut.
Leadership berperan untuk menggali potensi dan inovasi lokal dalam aspek lingkungan dan sosial budaya Fodor and Sitanyi dalam Nugroho, 2011. Sistem inovasi
menekankan kepada peningkatan kinerja ekonomi berbasis knowledge, dicirikan oleh teknologi tinggi, tenaga trampil, pendidikan dan pelatihan, inovasi produk, diikuti aliran
teknologi dan informasi di antara individu, perusahaan dan institusi OECD, 1997. Telah dijelaskan sebelumnya, pengembangan inovasi dalam jasa ekowisata diarahkan untuk
membangun partisipasi, menggali potensi lokal dan mengembangkan program-program lokal. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan ekowisata di Desa Tambaksari dibagi
dalam lima tingkatan: partisipasi dalam perencanaan, partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam pemanfaatan hasil, dan
partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan ekowisata di Desa Tambaksari masih perlu ditingkatkan, salah satunya melalui pengembangan inovasi Baksh
et al.,2012. Inovasi untuk mengembangkan informasi pasar ekowisata sangat diperlukan. Hal ini bisa dilakukan oleh tour operator, LSM atau penduduk lokal dengan berbagai
pendekatan spesifik dan fleksibel Nugroho, 2011. Interaksi antar pengunjung, LSM,
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
48
akademisi dengan penduduk lokal juga dapat menjadi sumber gagasan dan inovasi untuk memperbaiki layanan ekowisata.
Dalam hal menggali potensi lokal dan mengembangkan program-program lokal, masyarakat Desa Tambaksari telah melakukannya dengan cara melestarikan kebudayaan
yang dimiliki diantaranya: situs-situs purbakala, kesenian tradisional, grebek desa dan jamasan. Disamping itu Desa Tambaksari pernah bekerja sama dengan Universitas Ciputra
Surabaya dan Leeds Metropolitan University Inggris. Melalui kerja sama ini, masyarakat Desa Tambaksari mulai mengikuti pelatihan serta pembekalan yang dapat menyokong
potensi “Ekowisata” di daerah tersebut. Universitas Ciputra mengunjungi Desa Tambaksari secara umum bertujuan untuk pertukaran budaya, wawasan dan pengetahuan dengan
masyarakat desa setempat. Mahasiswa jurusan Manajemen Perhotelan dan Pariwisata Universitas Ciputra belajar untuk berkomunikasi dengan lingkungan yang baru. Dengan
berkunjung ke Desa Tambaksari, mahasiswa-mahasiswa tersebut mendapatkan wawasan tentang proses pembuatan kopi, cara bertani, sampai cara bermain gamelan yang merupakan
seni tradisional yang terdapat di Desa Tambaksari. Selain itu, mahasiswa Ciputra juga mengajari masyarakat untuk belajar bahasa inggris, cara-cara membuat kue dengan bahan-
bahan lokal yang ada di Desa Tambaksari, dan juga masakan bahan lokal standard perhotelan.
Pertukaran budaya, wawasan dan pengetahuan juga dilakukan oleh mahasiswa Leeds Metropolitan University, Inggris. Selama berkunjung mahasiswa Leeds melakukan
pemetaan potensi desa melalui jelajah desa. Mahasiswa mempelajari potensi alam yang ada di Desa Tambaksari. Selain itu mereka juga mempelajari filosofi dan cara hidup berbagai
macam tanaman seperti kopi, pisang, bambu, talas, serta belajar tentang menyembelih hewan secara Islam. Sebagai timbal baliknya mahasiswa Leeds mengajari masyarakat tentang
management project, dan masuk ke sekolah-sekolah untuk mengajari bahasa inggris. Pengembangan inovasi difokuskan kepada peran Otonomi institusi lokal untuk
mempromosikan transfer pengetahuan dan teknologi, untuk memelihara organisasi ekowisata senantiasa memberikan aliran manfaat kepada penduduk lokal dan mencegah kerusakan
lingkungan Nugroho, 2011.
KESIMPULAN
Kepemimpinan yang kuat dan efektif membutuhkan peran aktif dari berbagai level di tingkat pemerintah, swasta dan masyarakat. Seperti halnya pengembangan ekowisata di Desa
Tambaksari tidak hanya melibatkan satu pihak melainkan dari semua pihak termasuk pemerintah, swasta, NGO, akademisi dan masyarakat.
Peran Leadership dalam pengembangan ekowisata di Desa Tambaksari sudah berfungsi dengan menginisiasi pembentukan organisasi ekowisata yakni terbentuknya Badan
Usaha Milik Desa La Dewi Sari. Lembaga ini mengatur dan mengendalikan jasa ekowisata
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
49 yang ada di Desa Tambaksari. Kepemimpinan di lembaga La Dewi Sari juga sudah berhasil
memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekowisata dengan memotivasi terbentuknya beberapa paguyuban antara lain: paguyuban rumah inap homestay,
paguyuban transportasi, paguyuban pemandu, paguyuban seni dan paguyuban usaha makanan.
Pengembangan inovasi dalam jasa ekowisata diarahkan untuk membangun partisipasi, menggali potensi lokal dan mengembangkan program-program lokal. Partisipasi masyarakat
dalam pengembangan ekowisata di Desa Tambaksari masih perlu ditingkatkan, salah satunya melalui pengembangan inovasi. Inovasi untuk mengembangkan informasi pasar ekowisata
sangat diperlukan.
Dalam hal menggali potensi lokal dan mengembangkan program- program lokal, masyarakat Desa Tambaksari telah melakukannya dengan cara melestarikan
kebudayaan yang dimiliki dan melakukan pertukaran pengetahuan dengan pihak-pihak luar.
DAFTAR PUSTAKA
Baksh, R., Soermarno, Luchman Hakim, Iwan Nugroho. 2012. Community Participation in the Development of Ecotourism: A Case Study in Tambaksari Village, East Java
Indonesia. Journal of Basic and Applied Scientific Research., 212:12432-12437, 2012.
Burns, P. 2001. Entrepreneurship and Small Business. Basingstoke: Palgrave. Davies, A. 2011. Local Leadership and Rural Renewal through Festival Fun: The Case of
Snowfest. In C. Gibson, C. Connell Eds., Festival Places: Revitalising Rural Australia pp. 61-73. Bristol: Channel View Publications.
Dwyer, L, Edwards, D. 2010. Sustainable Tourism Planning, In J. J. Liburd, D. Edwards Eds., Understanding the Sustainable Development of Tourism pp. 19-
44. Oxford: Goodfellow Publisher Limited. Haven-Tang Jones, E. 2012. Local Leaderhip for Rural Tourism Development: A Case
Study of Adventa Monmouthshire, UK. Tourism Management Perspective 4 2012: 28-35.
Northouse, P.G. 2010. Leadership: Theory and Practice 5th ed.. Thousand Oaks: Sage. Nugroho, I. dan Negara, P.D., 2013. The Role of Leadership and Innovation in Ecotourism
Services Activity in Candirejo Village, Borobudur, Central Java, Indonesia. World Academy of Science, Engineering and Technology, 79 2013: 1171-1175
Nugroho, I., 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. OECD, 1997. National Innovation System, Paris: OECD
RPJM. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Tambaksari.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
50
The Ecotourism Society, 2000. Ecotourism Statistical Fact Sheet. TIES Wilson, S., Fesenmaier, D. R., Fesenmaier, J., and Van Es, J. C. 2001. Factors for Success
in Rural Tourism Development. Journal of Travel Research, 402, 132-138
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
51
KAJIAN PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI TANJUNG ENU TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PESISIR
Yulianti Kalaba
1
, Lien Damayanti
2
James Walalangi
3
dan Erny Sirappa
4
1, 2 dan 4 Staf Pengajar Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Tadulako 3 Staf Pengajar Program Studi Ilmu Budidaya Perikanan Fakultas Peternakan
dan Perikanan Universitas Tadulako E-mail: lien_damayantiymail.com
ABSTRAK
Tanjung Enu merupakan obyek wisata unggulan di Kabupaten Donggala. Kawasan bahari Tanjung Enu memiliki sejumlah potensi pantai unggulan diantaranya terumbu karang,
tanaman mangrove dan lamun yang memiliki daya tarik bagi wisatawan. Dampak positiftujuan wisata ini adalah peningkatan pendapatan daerah PAD, dan aktifitas penyedia
jasa usaha nelayan.Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dampak ekowisata bahari Tanjung Enu terhadap pendapatan masyarakat lokal pesisir Tanjung Enu. Penelitian
menggunakan pendekatan model analisis pendapatan. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa adanya ekowisata bahari Tanjung Enu secara signifikan meningkatkan pendapatan
masyarakat secara langsung dari usaha penyedia sarana dan prasarana rekreasi,dan secara tidak langsung dari
matapencaharian sebagai nelayan. Dampak positif lainnya adalahpemberdayaanmasyarakat perairan untuk mempertahankan manfaat hasil tangkapan
danpeningkatan pendapatan. Kata kunci: ekowisata bahari, Tanjung Enu, pendapatan dan masyarakat lokal pesisir.
ABSTRACT
Tanjung Enu is a favourite tourism destination ini Donggala Regency. Coastal area of Tanjung Enu has a number of potential feature of beaches including coral reefs, mangroves
and seagrass as attraction for tourists. The positive impact this area destination is an increasing local revenue PAD, and the activity of general fishing service. This research
aimed to study the impact of coastal ecotourism Tanjung Enu on income oflocal people. The study used income analysis approach. The results showed that the presence of coastal
ecotourism Tanjung Enu significantly increase income of local people directly from businesses recreation facilities, and indirectly from livelihood as a fisherman. Another
positive impact is a community empowerment to sustain the benefits of increased revenue. Keywords: coastal ecotourism, Tanjung Enu, income and local people.
Keywords: marine ecotourism, cape enu, income and local coastal communities.
PENDAHULUAN
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
52
Ekowisata harus dibedakan dari wisata alam. Wisata alam, atau berbasis alam, mencakup setiap jenis wisata-wisata massal, wisata petualangan, ekowisata yang
memanfaatkan sumber daya alam dalam bentuk yang masih lain dan alami, termasuk spesies, habitat, bentangan alam, pemandangan dan kehidupan air laut dan air tawar. Wisata alam
adalah perjalanan wisata yang bertujuan untuk menikmati kehidupan liar atau daerah alami yang belum dikembangkan. Wisata alam mencakup banyak kegiatan, dari kegiatan
menikmati pemandangan dan kehidupan liar yang relatif pasif, sampai kegiatan fisik seperti wisata petualangan yang sering mengandung resiko. Ekowisata menuntut persyaratan
tambahan bagi pelestarian alam. Dengan demikian ekowisata adalah “Wisata alam berdampak ringan yang menyebabkan terpeliharanya spesies dan habitatnya secara langsung
dengan peranannya dalam pelestarian dan atau secara tidak langsung dengan memberikan pandangan kepada masyarakat setempat, untuk membuat masyarakat setempat dapat
menaruh nilai, dan melindungi wisata alam dan kehidupan lainnya sebagai sumber pendapatan Goodwin, 1997:124”.
Sumberdaya kelautan
dengan aneka-ragam
ekosistemnya yang
berupa keanekaragaman flora, fauna dan gejala alam dengan keindahan pemandangan alamnya
merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Potensi sumberdaya alam bahari dan ekosistemnya ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan rakyat dengan tetap memperhatikan upaya konservasi dan rehabilitasinya. Sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai pelestarian alam dan sekaligus sebagai
obyek wisata alam, adalah taman laut, pesisir-pantai, flora termasuk hutan, fauna, dan berbagai bentuk ekosistem khusus Wahyudin, 2005.
Sulawesi Tengah memiliki potensi yang sangat besar berupa laut yang dapat dikembangkan menjadi ekowisata bahari. Potensi laut yang dimiliki salah satunya adalah
luas perairan yang diperkirakan sekitar 3 tiga kali luas daratan yakni 193.923,75 km
2
membentang sepanjang wilayah sebelah timur sejau Teluk Tolo dan Teluk Tomini dan sebelah barat adalah Selat Makassar dan sebagian Laut Sulawesi. Potensi perairan laut
mengandung sumber penghasilan yang sangat besar berupa bahan makanan ikan dan tumbuhan laut. Potensi lestari perairan Laut Sulawesi Tengah diperkirakan sebesar
1.593.796 ton per tahun. Dengan potensi yang demikian besar Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah mengupayakan strategi pengelolaan kedalam 3 tiga zona, yang meliputi;
a Zona I, terdiri dari Laut Sulawesi dan Selat Makassar yaitu Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Toli-Toli dan Kabupaten Buol, b Zona II, terdiri dari Perairan Teluk
Tomini Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Poso dan Kabupaten Banggai, c Zona III, yang terdiri dari Perairan Teluk Tolo termasuk Kabupaten Banggai Kepulauan dan
Kabupaten Morowali.
Salah satu Kabupaten di Sulawesi Tengah yang memiliki potensi tersebut adalah Kabupaten Donggala. Hampir seluruh wilayah Kabupaten Donggala merupakan daerah
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
53 pesisir laut dengan pantai berpasir putih yang berada di sekitar mulut Teluk Tomini dan
perairan pantai Selat Makassar. Salah satu diantaranya adalah Pesisir Tanjung Enu yang
memiliki kekayaan sumberdaya perairan yang sangat baik dan sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi ekowisata bahari. Selain itu Tanjung Enu memiliki kekayaan
perairan berupa terumbu karang, lamun, hutan mangrove dan berbagai macam jenis ikan yang dapat menjadi salah satu andalan yang dapat ditonjolkan kepada setiap orang yang akan
berkunjung.
Ekosistem terumbu karang yang ada di Tanjung Enu saat ini juga dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Wisata merupakan perjalanan ke suatu tempat untuk sementara waktu
guna untuk memenuhi keinginan dan kepuasan diri Adi et al.,2013. Menurut Fandeli 2001 wisata adalah perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara
sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Namun, kegiatan wisata yang tidak bersifat konservatif dan tidak dikelola dengan baik akan
menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang menjadi obyek wisata tersebut. Untuk itu perlu adanya suatu bentuk wisata yang berbasis pada kelestarian lingkungan dan sosial
budaya masyarakat atau dikenal dengan ekowisata bahari.
Ekowisata bahari merupakan bentuk pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi Ketjulan, 2011. Konsep ekowisata tidak
mengedepankan faktor pertumbuhan ekonomi, melainkan menjaga keseimbangan antara kegiatan pemanfaatan dan kelestarian sumber daya Yulianda, 2007. Lebih lanjut Latupapua
2008 mengatakan bahwa Ekowisata merupakan konsep dan istilah yang menghubungkan pariwisata dengan konservasi. Ekowisata sering dipahami sebagai pariwisata berwawasan
lingkungan, jenis wisata ini merupakan salah satu bentuk pariwisata alternatif yang menonjolkan tanggungjawab terhadap lingkungan. Adanya pengembangan ekowisata bahari
di Tanjung Enu diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal pesisir Tanjung Enu. Wisata bahari Tanjung Enu merupakan obyek wisata bahari yang telah lama
dikembangkan namun dalam pengembangannya belum tersentuh oleh pemerintah setempat sehingga tidak mengalami perkembangan yang begitu signifikan. Jika dilihat dari
banyaknya frekuensi wisatawan yang berkunjung yang menyebabkan usaha masyarakat lokal mengalami penurunan, untuk itu diperlukan penelitian kajian ini sehingga dapat memberikan
gambaran kepada masyarakat untuk dapat lebih meningkatkan inovasi-inovasi dalam menciptakan ketertarikan wisatawan untuk berkunjung sehingga dapat meningkatkan
pendapatan dan juga kepada steakholder untuk lebih dapat memusatkan perhatian demi pengembangan ekowisata bahari di Tanjung Enu.
Upaya menempatkan masyarakat tidak hanya sebagai obyek tetapi menjadikan subyek dalam pembangunan akan berdampak pada manfaat yang diterima dan dirasakan oleh
masyarakat dari kegiatan pembangunan tersebut. Hal ini dikarenakan keberhasilan suatu pembangunan dapat diukur dari semakin besarnya manfaat yang diterima oleh masyarakat,
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
54
baik manfaat secara ekonomi maupun sosial. Potensi sumber daya yang ada demikian besar memungkinkan masyarakat sekitar untuk lebih meningkatkan kesejahteraannya. Pola pikir
masyarakat pesisir umumnya sangat sederhana, didominasi oleh bagaimana cara untuk bertahan hidup, bagaimana usaha penangkapan ikan ke laut untuk mendapatkan hasil yang
banyak. Kehidupan yang turun temurun juga dipandang terus menerus dilestarikan dari generasi ke generasi. Hal ini secara tidak langsung mengakibatkan keadaan keluarga nelayan
seolah-olah berada dalam lingkaran kemiskinan yang tidak habis-habisnya. Hal ini berimplikasi pada keadaan kesejahteraan keluarga nelayan tersebut Pendid, 2003.
Melihat kondisi tersebut, masyarakat perlu mengoptimalkan sumber daya manusia yang ada untuk meningkatkan kapasitasnya agar dapat memperoleh tambahan pendapatan.
Pekerjaan untuk memperoleh tambahan pendapatan tersebut misalnya dengan memanfaatkan potensi obyek wisata seperti berdagang makananikan, menjual souvenir, menyewakan
perahu, menyewakan penginapan, dan lain-lain di lokasi wisata Sulaksmi, 2007. Dengan demikian secara langsung telah memanfaatkan potensi dari obyek wisata di Tanjung Enu.
Sumber penghasilan tambahan ini harus bisa digarap secara bertahap dan terus menerus.
Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang dapat dikemukakan adalah: 1. Berapa besar pendapatan masyarakat lokal pesisir Tanjung Enu dari adanya
pengembangan ekowisata bahari Tanjung Enu 2. Bagaimana kondisi serta potensi daerah kajian dalam pengembangan kawasan
ekowisata bahari Tanjung Enu. Berdasarkan permasalahan di atas dapat dikemukakan tujuan dipublikasikannya hasil
pemikiran ini adalah: diketahuinya pendapatan yang diperoleh masyarakat lokal pesisir Tanjung Enu dari adanya pengembangan ekowisata bahari Tanjung Enu dan diketahuinya
kondisi serta potensi daerah kajian dalam pengembangan ekowisata bahari Tanjung Enu, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk lebih mengembangkan
ekowisata bahari Tanjung Enu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal pesisir Tanjung Enu.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Tanjung Enu terletak di Kabupaten Donggala Kecamatan Sindue, sekitar 30 km dari Kota Palu. Untuk mencapai lokasi wisata Tanjung Enu dapat ditempuh dari Kota Palu dalam
waktu kurang dari 1,5 jam, dengan menggunakan sepeda motor atau mobil. Luas wilayah Desa Enu adalah 17,90 km² dengan jumlah penduduk 1.528 jiwa. Menjawab permasalahan
dan tujuan yang telah dikemukakan, dalam kajian ini menggunakan analisis deskriptif berupa pengumpulan informasi yang erat kaitannya dengan kajian yang akan dilakukan, yakni
mengumpulkan informasi dari masyarakat lokal pesisir Tanjung Enu, pemerintah setempat dan tokoh masyarakat.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
55 Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan dapat dikemukakan bahwa selama ini
Tanjung Enu sebagai daerah wisata dan daerah penangkapan ikan belum mengalami perkembangan yang signifikan, dikarenakan kurangnya pengunjung yang datang dan belum
mendapat perhatian
dari pemerintah setempat. Hal ini
disebabkan potensi yang ada tidak dimanfaatkan dengan
baik
oleh masyarakat
setempat, kurangnya
sumberdaya manusia yang dimiliki
dalam hal
pengembangan inovasi-
inovasi baru
untuk menghasilkan suatu karya
yang dapat menambah daya tarik pengunjung. Selama ini
pendapatan masyarakat lokal
dari hasil usaha jasa hanya berkisar antara Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 500.000,- per bulan, sehingga masyarakat sulit untuk mengembangkan usahanya. Masyarakat lokal hanya
mengandalkan pendapatan dari hasil sebagai nelayan, karena seperti dikemukakan di awal bahwa Tanjung Enu memiliki potensi ikan cukup banyak yang disebabkan karena pelestarian
laut yang masih alami sehingga biota laut masih terjaga kealamiannya, termasuk terumbu karang, lamun dan mangrove yang dapat menambah populasi ikan. Tentu saja pendapatan
yang akan diperoleh dari hasil melaut berkisar antara Rp. 500.000,- sampai dengan Rp. 750.000,- per bulan. Perbedaan pendapatan ini menyebabkan masyarakat lokal pesisir
Tanjung Enu cenderung untuk meningkatkan pendapatan melalui hasil melaut dibandingkan dengan mengembangkan usaha sebagai penyedia jasa di ekowisata bahari Tanjung Enu.
Pantai merupakan asset yang potensial untuk dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan daerah, maka perencanaan kawasan pesisir pantai merupakan hal yang penting
untuk dikembangkan. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat perencanaan kawasan pesisir yang unggul. Dalam perencanaan pada obyek wisata sangat perlu mempertimbangkan
mata pencaharian dan lapangan kerja masyarakat di sekitar pesisir Tanjung Enu. Sehingga adanya peningkatan obyek wisata, tidak semakin mematikan usaha masyarakat sekitar,
namun semakin meningkatkan usaha mereka yang berada di sekitar lokasi pesisir Tanjung Enu, baik secara kuantitas maupun kualitas. Dengan demikian, potensi obyek wisata dan
sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Berdasarkan hasil kajian informasi dengan pemerintah setempat bahwa kondisi dan potensi pengembangan ekowisata bahari Tanjung Enu sangat memungkinkan untuk
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
56
dikembangkan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan kondisi laut masih sangat alami disertai dengan potensi biota laut yang masih alami dan tdak terkontaminasi dengan bahan-bahan
kimia. Kondisi dan potensi ini jika dikembangkan lebih lanjut akan sangat berdampak pada pengembangan ekowisata bahari yang dapat mendatangkan keuntungan masyarakat lokal
pesisir Tanjung Enu. Hal ini dapat dilihat dari gambar potensi laut di sepanjang pesisir Tanjung Enu sebagai berikut:
Gambar 1. Potensi Laut Tanjung Enu
Gambar 2. Potensi pulau karang sekeliling Tanjung Enu Kondisi laut yang masih alami
dikelilingi dengan pasir putih dan
keberadaan terumbu
karang yang masih alami, menjadi salah satu daya tarik
Keindahan pulau-pulau karang menambah
keindahan Ekowisata Bahari Tanjung Enu
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
57 Gambar 3. Potensi Habitat Fauna di Sepanjang Pesisir Tanjung Enu
Berdasarkan gambar di atas maka ekowisata bahari Tanjung Enu perlu dikembangkan lebih lanjut. Sesuai dengan teori ekowisata yang menyebutkan bahwa ekowisata merupakan
upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan pontensi sumber-sumber alam dan budaya untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan.
Sejatinya masyarakat sekitar memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan ekowisata bahari berbasis masyarakat dengan perspektif pemahaman yang utuh. Kondisi
dasar yang dimilikinya adalah 1 sebagai masyarakat pulau tempatan, 2 memiliki ruang hidup kelola dan inter-relasi tradisional dengan sumberdaya alamnya natural assets, 3
kekuatan sumberdaya manusia, dan 4 keunggulan sumberdaya sosial asset sosial dan sosio-kapital. Gabungan aset tersebut sudah dapat dijadikan modal untuk memulai usaha
ekowisata berbasis masyarakat Yayasan Berau Lestari,2012.
Berkaitan dengan kondisi yang ada, masyarakat lokal pesisir Tanjung Enu dapat mengembangkan ekowisata bahari berbasis masyarakat dengan perspektif dan pemahaman
yang utuh. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada masyarakat setempat, pelatihan berupa bagaimana mengelola sumberdaya laut yang ada
untuk dikelola menjadi makanan tradisional khas masyarakat pesisir, membangun sarana dan prasarana seperti cottage sebagai tempat untuk beristirahat, serta pelatihan sebagai pemandu
wisata yang akan melakukan kegiatan bawah laut seperti snorkling dan diving. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal pesisir Tanjung Enu melalui
usaha jasa yang dilakukan selain sebagai nelayan. Digambarkan setelah ekowisata bahari Tanjung Enu dikembangkan lebih lanjut, maka harapannya ekowisata bahari ini akan lebih
berkembang seperti pada gambar berikut: Habitat
Fauna yang
menambah keindahan
di sepanjang pesisir Tanjung Enu
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
58
Gambar 4. Gambaran Ekowisata Bahari Tanjung Enu setelah mengalami perkembangan Berdasarkan hasil pemantauan bahwa kegiatan ekowisata bahari yang berada di
Tanjung Enu tidak sedikit manfaat yang telah diperoleh, namun tidak sedikit pula kerugian yang ditimbulkannya. Dampak positif yang dapat dirasakan dari kegiatan ekowisata bahari
Tanjung Enu dapat berupa: 1 peningkatan penghasilan bagi masyarakat yang berada di
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
59 sekitar Tanjung Enu; 2 tersedianya kesempatan kerja baru bagi masyarakat; 3
berkembangnya usaha-usaha baru seperti: kios, warung-warung; 4 meningkatnya kesadaran masyarakat akan wisatawan tentang pentingnya konservasi sumberdaya alam; 5 peningkatan
partisipasi masyarakat; dan 6 peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan kajian di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Pendapatan masyarakat lokal pesisir Tanjung Enu masih dibawah standar pendapatan nasional maka dari itu diperlukan suatu strategi kebijakan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut secara optimal di kawasan ini. 2. Sumberdaya alam Tanjung Enu dapat dikembangakan untuk kegiatan ekowisata. Hal
ini berdasarkan potensi dan kondisi yang terkandung dalam kawasan ini, sehingga diharapkan melalui ekowisata bahari dapat bersifat terintegrasi dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Adi. B.A, Mustafa Ahmad, dan Ketjulan Romy, 2013. Kajian Potensi Kawasan dan Kesesuaian Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Lara untuk Pengembangan
Ekowisata Bahari. Jurnal Minat Laut Indonesia, 1 1 : 49-60.
Fandeli, C., 2001. Pengertian dan Kerangka Dasar Pariwisata dalam Fandeli, C. ed. 2001. Dasar-Dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. Editor Liberty. Yogyakarta. 35 hal
.
Dalam Adi. B.A, Mustafa Ahmad, dan Ketjulan Romy, 2013. Kajian Potensi Kawasan dan Kesesuaian Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Lara Untuk
Pengembangan Ekowisata Bahari. Jurnal Minat Laut Indonesia, 1 1 : 49-60
Ketjulan, R., 2011. Daya Dukung Perairan Pulau Bahari sebagai Obyek Ekowisata Bahari.
Jurnal Aqua Hayati, 7 3: 183-188
. dalam Adi. B.A, Mustafa Ahmad, dan Ketjulan Romy, 2013. Kajian Potensi Kawasan dan Kesesuaian Ekosistem Terumbu Karang di
Pulau Lara untuk Pengembangan Ekowisata Bahari. Jurnal Minat Laut Indonesia, 1 1 : 49-60
Latupapua, Y.T., 2008. Studi Potensi Kawasan dan Pengembangan Ekowisata di Tual
Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal Ichsan Gorontalo,3 1: 1360-1375. dalam Adi. B.A, Mustafa Ahmad, dan Ketjulan Romy, 2013. Kajian Potensi Kawasan dan
Kesesuaian Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Lara untuk Pengembangan Ekowisata Bahari. Jurnal Minat Laut Indonesia, 1 1 : 49-60
Pendit, S.N. 2003. Ilmu Pariwisata. Pradnya Paramita. Jakarta.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
60
Wahyudin, M. 2005. Analisis Potensi dan Permasalahan Wilayah Pantai Kota Semarang sebagai Kawasan Wisata Bahari. Magister of Management of Coastal Resources.
Masters thesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Yayasan Berau Lestari, 2012.
Menggagas Ekowisata Bahari Berbasis Masyarakat Di Kabupaten Berau, Kaltim.
Yulianda, F., 2007. Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir Berbasis Konservasi. Makalah disampaikan pada Seminar Sains 21 Februari 2007.
Departemen MSP. FPIK. IPB. Bogor. 19 hal
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
61
PERANAN TEKNOLOGI UNTUK MEMAJUKAN KELEMBAGAAN SUBAK BERBASIS EKOWISATA
DI TABANAN-BALI I Gusti Komang Dana Arsana
I Wayan Alit Artha Wiguna
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian-Bali E-mail:
igkomangdanayahoo.com
ABSTRAK
Kajian tentang teknologi padi aerob berbasiskan bahan organik pada sistem integrasi dalam ekosistem subak, berdasarkan pada tanaman padi bukanlah tanaman air, namun
tanaman yang membutuhkan air. Teknologi tersebut ternyata dapat memperkuat keberadaan kelembagaan subak. Untuk menunjang kelembagaan subak, tidak terlepas dengan pola
manajemen modern, selain mengandalkan iuran internal, kelembagaan subak mengelola keuangan yang bersumber dari para turis mancanagera sumber eksternal, hal ini impak dari
subak sebagai Warisan Budaya Dunia WBD yang mampu mempengaruhi turis mancanegara untuk dapat menikmati langsung keberadaan subak, sehingga meningkatkan
jumlah kunjungan turis mancanagera dari tahun ke tahun. Pengakuan dari UNIESCO ini tidak terlepas dari tanggung jawab pemerintah daerah khususnya dinas terkait yaitu Dinas
Pertanian dan Hortikultura Kabupaten Tabanan, untuk memperjuangkan keberhasilan memperoleh pengakuan bahwa subak sebagai WBD. Untuk setiap turis mancanagera yang
masuk ke dalam kawasan subak, diterapkan sistem tarif berupa karcis masuk ke kawasan subak pada 2013 sebesar Rp. 15.000 per orang. Pembagian dana yang masuk ke
kelembagaan subak terbagi menjadi: 1 20 untuk biaya operasional Pecalang, 2 Sisa dana dari hasil penerimaan di lapangan hasil bersih kemudian dibagi dua: 40 diberikan
kepada Pemda Kabupaten Tabanan dan 40 diberikan kepada desa adat. Bagian dana yang 40 tersebut menjadi 100 terbagi lagi menjadi bagian Desa Adat Jatiluwih 39, Desa
Adat Gunung Sari 26, Desa Dinas Jatiluwih 20, dan aparat Desa Jatiluwih sebagai dana operasional aparat desa sebesar 15.
Kata kunci
: teknologi, kelembagaan, ekowisata
ABSTRACT
Studies on aerobic rice technology based on organic matter in the ecosystem subak system integration, based on the rice crop is not water, but the plants need water, it turns out
these two technologies can strengthen the institutional existence of subak. To support the institutional subak, is inseparable with modern management pattern, in addition to relying on
internal dues, institutional financial management subak sourced from the foreign tourist external source, it is the impact of the WBD subak as capable of affecting foreign tourists
to enjoy directly on the existence of subak, thus increasing the number of visits Mancanagera
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
62
Tourists from year to year. Department of Agriculture and Horticulture Tabanan regency, so the recognition of UNESCOs responsibility can not be separated from the department of
local government in particular those related to the successful fight to gain recognition that subak as WBD. For every tourist that goes into subak region, there implementation of the
rates system to the subak area, in 2013 is Rp. 15,000 per person. Distribution of funds into institutional subak divided into: 1 20 for operational costs Pecalang, 2 proceeds from
the funds remaining in the field net proceeds and then divided by two, 40 is given to the district of Tabanan and 40 is given to adat village. Part fund the 40 to 100 are
subdivided into sections Jatiluwih 39 indigenous villages, traditional village Gunung Sari 26, 20 Jatiluwih village offices, and village officials Jatiluwih as operational funds
village officials by 15
Keywords : technology, institutional, ecotourism
PENDAHULUAN
Indonesia dengan luas wilayah daratan mencapai 1.910.931,32 km
2
, memiliki sekitar 6 juta Ha lahan sawah beririgasi. Dengan jumlah penduduk lebih dari 234,18 juta orang tahun
2010 BPS, 2010, maka kebutuhan beras mencapai 33.055.968 ton tahun 2010 dan menjadi 33.013.214 ton tahun 2014. Konsumsi beras per kapita menurun dari 139,35 kg tahun 2010
menjadi 130,99 kg tahun 2014. Rataan produksi beras nasional mencapai 37.222.861 ton per tahun, sehingga terjadi surplus beras 4.166.893 ton tahun 2010 Kementan, 2010.
Kenyataannya, Indonesia masih mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional setiap tahun. Tahun 2012 impor beras mendekati 2 juta ton, dan tahun 2013 Dirut
Perum
Bulog berencana
mengimpor beras
670 ton
http:metro.kompasiana.com201301 09aneh-surplus-tapi-tetap-import-beras-
522765.html, diunduh Jan 2013. Simarmata dikutip Dadang, dkk., 2008 dalam http:www.agrina-online.comshow
mengungkapkan bahwa metode intensifikasi padi sawah dengan sistem tergenang anaerob tidak saja akan menyebabkan tidak berfungsinya
kekuatan biologis tanah, tetapi juga menghambat perkembangan sistem perakaran padi. Menurut Bahasa Bali, Subak berasal dari suku kata SUAK, yang artinya sealiran air. Sistem
Subak mengenal Subak Basah dan Subak Kering. Subak Basah berarti mengatur kegiatan masyarakat dalam mengelola usahatani dengan sistem di sawah terkait pengaturannya mulai
dari pengolahan lahan sampai dengan panen dan pascapanen. Masyarakat di luar Bali, mengartikan Subak sebagai pengelolaan sistem pengaturan pengairan atau pengelolaan
irigasi dalam usahatani di sawah, tetapi yang sebenarnya lebih luas dari yang dimaksud tentang pengelolaan irigasi tersebut. Subak Kering berarti pengelolaan lahan terutama yang
terdapat di lahan ladang atau perkebunan termasuk kehutanan. Subak memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul. Pura tersebut khusus dibangun petani dan
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
63 diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan Dewi Sri. Saat ini menurut catatan
bahwa subak yang ada di Pulau Bali berjumlah 1.482 buah dan subak abian berjumlah 698 buah.
Subak merupakan aset kelembagaan tradisional yang telah terbukti efektivitasnya dalam menyangga pembangunan pertanian dan pedesaan di Bali. Karena keunikan dan
berbagai karakteristik lainnya, subak telah terkenal keseluruh penjuru dunia. Subak sebagai organisasi tradisional petani yang mengelola air irigasi dapat juga ditemukan di berbagai
belahan dunia seperti beberapa yang terkenal dan mempunyai kekhasannya seperti Muang Fai di Thailand, Zangera di Filipina Utara Pitana, 1993.
Purwita 1992 menyebutkan bahwa dalam lintasan sejarah Bali, tercatat adanya beberapa pengaruh budaya daerah yang datang ke Bali yaitu dari Sriwijaya Sumatera
sekitar abad ke 10, pengaruh budaya lemah tulis Jawa Timur sekitar tahun 1039 M, pengaruh budaya Kediri Jawa Timur sekitar tahun 1172 M, pengaruh budaya Singasari
Jawa Timur sekitar tahun 1284 M, pengaruh budaya Majapahit Jawa Timur sekitar tahun 1343 M, dan pengaruh budaya Kediri Jawa Timur dibawa oleh Dang Hyang Nirartha
sekitar tahun 1489 M, yang kesemuanya itu menumbuh kembangkan budaya Bali yang menjadi landasan budaya Bali selanjutnya.
Empat kawasan Subak di Bali Pura Luhur Ulun Danau Batur, DAS Pakerisan, Taman Ayun dan Jatiluwih telah menjadi bagian Warisan Budaya Dunia WBD. Penetapan subak
menjadi Warisan Budaya Dunia menjadi salah satu upaya mempertahankan lahan persawahan di Bali, sekaligus upaya mempertahankan konsep subak dengan berbagai adat-
istiadatnya, termasuk upaya pelestarian sumber mata air. Penetapan itu mewujudkan pengakuan dunia terhadap nilai-nilai universal dari subak, sehingga dunia ikut
melindunginya. Dari berita yang dilansir di nationalgeografic.co.id yang ditulis Zika Zakiya di Harian Kompas disebutkan, Chairperson Komite Warisan Dunia WHC sekaligus
Permanent
Delegate Rusia
Federation UNESCO
Eleonora Valentinovna
Mitrofanova, akhirnya disahkan Jumat 29 Juni 2012. Subak adalah lembaga atau organisasi tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi. Para penggarap sawah di Bali
menerima air irigasi dari satu sumber air atau bendungan dan inilah fungsi utama Subak. Subak berlandaskan Tri Hita Karana yaitu landasan yang mengintegrasikan tiga komponen
penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang diyakini oleh masyarakat Bali.
Sistem kosmologis masyarakat Bali yang unik telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Salah satunya melalui perencanaan tata ruang dan penggunaan lahan,
penataan pemukiman, arsitektur, upacara dan ritual, seni, serta dalam organisasi sosial. Tabanan merupakan satu kabupaten di Provinsi Bali dengan batas wilayah: sebelah utara
adalah Kabupaten Buleleng, sebelah timur adalah Kabupaten Badung, sebelah selatan adalah Samudera Pacifik, dan sebelah barat adalah Kabupaten Jembrana. Luas sawah di Kabupaten
Tabanan mencapai luas 22.453 Ha yang merupakan wilayah sawah yang terluas dan
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
64
sekaligus merupakan Lumbung Padi di Provinsi Bali. Kabupaten Tabanan memiliki 228 subak yang tersebar, dimana setiap subak yang ada diberi otonomi dalam mengatur anggota
subak yang telah disepakati secara bersama dalam bentuk aturan tertulis berupa Awig-awig.
Penetapan subak oleh UNESCO, PBB sebagai WBD berdampak terutama pada banyaknya turis mancanegara yang ingin menyaksikan, melihat, merasakan, dan
menikmati langsung tentang keberadaan subak di Bali sebagai sistem persawahan yang terbangun secara terasering dan ramah lingkungan karena senantiasa memperhatikan
konservasi dan keberlanjutan dimana pengelolaannya dibawah kelembagaan subak, khususnya di Kecamatan Penebel, Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, demikian juga keberadaan
subak mampu menarik turis domestik untuk menikmati sebuah panorama keindahan alami yang eksotis yang tercipta atas keberadaan subak.
Subak Jatiluwih meliputi luas areal 303 Ha terletak di Kawasan Suci Jatiluwih, Kecamatan Penebel. Subak Jatiluwih terbagi menjadi 7 tujuh tempek, yaitu 1 Tempek
Telape Gde, 2 Tempek Besi Kalung, 3 Tempek Kedamaian, 4 Tempek Gunung Sari, 5 Tempek Kesambi, 6 Tempek Uma Kayu, dan 7 Tempek Uma Dwi. Anggota Subak
Jatiluwih mencapai 526 orang. Kelembagaan di tingkat Subak Jatiluwih yang dipimpin oleh Pekaseh, memiliki kelembagaan harian: a Kelian Subak berarti Ketua Subak harian yang
tugasnya mengatur anggota dalam pengelolaan sawahkebuntegalan yang menjadi batas yuridiksi dari Subak Jatiluwih. Kelian menunjukkan juga kewenangan yang diberikan
kepada seseorang sebagai banjar, artinya Ketua Banjar sering disebut Kelian. Banjar merupakan wilayah administrasi adat yang dibentuk dibawah Desa Adat atau Pakraman; b
Penyarikan
berarti Sekretaris Subak yang bertugas mencatat semua yang menjadi
kesepakatan baik yang tertulis maupun tidak tertulis, c Petengan, berarti Bendahara Subak yang bertugas mengurusi semua pengelolaan keuangan yang dimiliki oleh subak, d Tanaka
berarti bagian informasi dan komunikasi dalam subak yang bertugas untuk memberikan arahan kepada anggota subak agar tetap mematuhi apa yang telah menjadi ketentuan atau
kesepakatan dalam subak. Untuk mengetahui peranan teknologi modern yaitu pengairan aerob dan kombinasi dengan pupuk organik untuk meningkatkan pendapatan petani
berbasiskan ekowisata, Subak Kedamaian sama dengan petani di Subak Telabah Gde yang merupakan kawasan Subak Jatiluwih.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
65 Gamabar 1. Hamparan Subak Jatiluwih sebagai Agrowisata
METODE PENELITIAN Pendekatan Kerangka Pemikiran
Kajian tentang teknologi padi aerob berbasiskan bahan organik pada sistem integrasi dalam ekosistem subak di Bali, didasarkan pada kenyataan bahwa tanaman padi bukanlah
tanaman air, namun tanaman yang membutuhkan air, sehingga pemberian air irigasi pada tanaman padi harus dilakukan pada saat yang tepat sesuai dengan tahapan fisiologis tanaman.
Budidaya tanaman padi secara konvensional yang sering disebut dengan budidaya padi sistem tergenang, selain kurang optimalnya pemanfaatan potensi sumberdaya tanaman, juga
potensi sumberdaya tanah kurang mampu bekerja dengan baik, sehingga produktivitas lahan menjadi kurang optimal.
Sistem budidaya padi aerob berbasiskan bahan organik akan mampu mengoptimalkan seluruh sumberdaya yang ada baik pada tanaman padi maupun pada lahan pertanian sawah,
sehingga mampu meningkatkan produksi padi karena tanaman padi akan mampu berproduksi sesuai dengan potensi yang dimiliki. Selain itu teknologi tersebut akan mampu
mengurangi pemanfaatan air irigasi antara 30-40 dibandingkan dengan sistem budidaya padi konvensional. Keuntungan lainnya adalah mengurangi produksi gas methane sebagai
penyumbang gas rumah kaca yang berpengaruh besar terhadap perubahan iklim global. Sistem budidaya padi aerob pada sistem integrasi dalam ekosistem subak juga akan
meningkatkan efisiensi ekonomi, karena berkurangnya pemanfaatan pupuk anorganik serta meningkatnya pelestarian sumberdaya pertanian. Produk yang dihasilkanpun merupakan
produk organik yang memiliki nilai kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional yang tidak memanfaatkan pupuk organik.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
66
Kooperator adalah petani pengelola lahan sawah dan memiliki ternak sapi yang dipelihara secara tradisional atau semi intensif di lahan persawahan. Jumlah petani
kooperator adalah sebanyak 20 orang, yang mau melaksanakan semua teknologi yang akan diimplementasikan seperti budidaya padi aerob yang berbasiskan bahan organik yang berasal
dari usaha ternak sapi milik petani itu sendiri. Setiap petani kooperator harus memelihara minimal satu ekor ternak sapi baik jantan ataupun betina dengan bobot badan berkisar antara
150-250 kg per ekor dan mengelola lahan sawah berkisar antara 0,30-0,50 Ha. Dengan demikian jumlah ternak sapi yang akan dipelihara oleh seluruh petani kooperator berkisar
antara 20-40 ekor, dengan total luas lahan sawah antara 6-10 Ha.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani
Rataan umur petani di Subak Kedamaian sama dengan petani di Subak Telabah Gde yaitu 49 tahun, kisaran umur petani di Subak Kedamaian antara 30 sampai 79 tahun
sedangkan di Subak Telabah Gde antara 37 sampai 63 tahun. Selanjutnya 90 petani di Subak Kedamaian telah menikah dan 10 telah menjadi janda atau duda, sedangkan di
Subak Telabah Gde 95 telah menikah, hanya 5 yang belum menikah.
Dilihat dari tingkat pendidikan formal maka sebagian besar 45 petani di Subak Kedamaian tidak tamat Sekolah Dasar SD, 35 tamat atau tidak tamat Sekolah Menengah
Pertama SMP dan hanya 20 yang pernah mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Atas SMA dan 5 yang sama sekali tidak pernah sekolah. Sedikit berbeda dengan petani
di Subak Telabah Gde, sebanyak 5 telah pernah mengenyam pendidikan tinggi, 50 berpendidikan SD, 20 berpendidikan SMP dan 25 berpendidikan SMA. Pendidikan non-
formal yang pernah diikuti oleh petani di Subak Kedamaian antara tanaman pangan, peternakan, dan perkebunan masing-masing sebanyak 5 dan 85 sama sekali belum
pernah mengikuti pendidikan non-formal. Sedangkan petani di Subak Telabah Gde yang belum pernah mengikuti pendidikan non-formal adalah sebanyak 75, mengikuti
pendidikan non-formal dibidang pertanian tanaman pangan sebanyak 15, peternakan dan perkebunan masing-masing sebanyak 5.
Pekerjaan Utama dan Sampingan
Pekerjaan utama petani di Subak Kedamaian adalah petani lahan sawah, masing-masing hanya sebanyak 5 yang memiliki pekerjaan utama sebagai pedagang dan pekerjaan
lainnya, sedangkan petani di Subak Telabah Gde seluruhnya 100 memiliki pekerjaan utama sebagai petani lahan sawah. Selanjutnya pekerjaan sampingan petani di Subak
Kedamaian adalah 30 sebagai peternak, 10 sebagai petani lahan sawah dan 60 pekerjaan lainnya. Tidak jauh berbeda dengan petani di Subak Telabah Gde yang memiliki
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
67 pekerjaan sebagai peternak adalah 25, petani lahan kering 15, dan pekerjaan lainnya
sebanyak 60.
Penguasaan Lahan
Rataan pemilikan sawah oleh petani di Subak Kedamaian 0,80 Ha dengan kisaran antara 0,25 - 1,60 Ha, sedangkan di Subak Telabah Gde berkisar antara 0,18 - 1,18 Ha
dengan rataan 0,66 Ha. Rataan tingkat penguasaan tegalan di Subak Kedamaian adalah sebesar 0,69 Ha dengan kisaran 0,00 - 2,89 Ha, sedangkan di Subak Telabah Gde berkisar
antara 0,00 - 2,50 Ha dengan rataan 0,80 Ha. Status kepemilikan lahan di Subak Kedamaian adalah 85 merupakan tanah warisan, 15 dari membeli dan warisan. Tidak jauh berbeda
dengan Subak Telabah Gde, yang 95 adalah warisan dan 5 dari membeli dan warisan. Dalam hal sewa-menyewa lahan, ternyata jumlah petani yang menyatakan memiliki
perjanjian dengan yang tidak memiliki perjanjian hampir sama jumlahnya. Petani yang memiliki perjanjian tidak tertulis adalah sebanyak 56,20 untuk Subak Kedamaian dan 50
untuk Subak Telabah Gde, sedangkan petani yang tidak memiliki perjanjian sebanyak 43,80 untuk petani Subak Kedamaian dan 50 untuk petani di Subak Telabah Gde.
Pemilikan Ternak Sapi
Sapi jantan yang dimiliki petani di Subak Kedamaian berkisar antara 0 - 4 ekor dengan rataan 1 ekor, sedangkan sapi betina berkisar antara 0 - 3 ekor dengan rataan 2 ekor. Tidak
jauh berbeda dengan petani di Subak Telabah Gde yang juga memiliki sapi jantan berkisar antara 0 - 3 ekor dengan rataan 1 ekor, sedangkan untuk Subak Telabah Gde rataan
pemilikan sapi jantan adalah 1 ekor dan sapi betina adalah 2 ekor.
Pola Tanam
Pola tanam usahatani sawah di Bali pada umumnya adalah Padi – Padi – Palawija – Bero. Untuk penanaman padi sawah menggunakan metoda Sri dan metoda Legowo dengan
menggunakan sistem demplot sebagai upaya dalam penerapan teknologi tepat guna. Penanaman awal dimulai pada Bulan PebruariMaret secara serempak dengan
menggunakan bibit lokal tanaman padi tinggi jenis Padi Merah Cendana dan dipanen sekitar Bulan JuniJuli; kemudian pada Bulan JuliAgustus sawah ditanami padi jenis unggul
seperti IR 64 atau jenis Seram dan dipanen pada Bulan SeptemberOktober, lalu pada Bulan OktoberNopember ditanami Palawija Jagung, Kacang-kacangan atau Cabe yang dipanen
pada Bulan DesemberJanuari, selanjutnya diberakan pada Bulan JanuariPebruari; demikian seterusnya pola atau siklus sistem usahatani sawah pada umumnya di daerah Bali yang
dikelola kelembagaan subak.
Hasil produksi padi dengan menggunakan pola tanam di atas dibedakan menjadi 2 dua produksi, yaitu 1 untuk jenis padi lokal, Padi Merah Cendana rataan produksinya
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
68
mencapai 3–4 ton per Ha sedangkan 2 jenis padi unggul IR 64 mencapai 5–6 ton per Ha.
Berdasarkan produksi tersebut anggota dikenakan iuran anggota kepada subak, sebagaimana apa yang disebut sebagai Pengasih atau pembayaran iuran irigasi kepada
kelompok atau subak, besarannya antara 2–4 kg GKG per orang per Are per musim panen.
Penerapan Usahatani
Varietas Ciherang sebagai Varietas Unggul Baru VUB adalah varietas padi yang dominan ditanam oleh petani di Subak Kedamaian maupun di Subak Telabah Gde, karena
75 petani di Subak Kedamaian dan 60 petani di Subak Telabah Gde menanam padi jenis Ciherang. Masing-masing hanya 5 Subak Kedamaian dan 15 Subak Telabah Gde
yang menanam padi IR64. Untuk padi Inpari hanya ditanam oleh petani di Subak Telabah Gde sebanyak 15, Mansur sebanyak 5 ditanam oleh petani di Subak Kedamaian dan 10
oleh Subak Telabah Gde. Selain itu juga terdapat 15 jenis padi lain yang ditanam oleh petani di Subak Kedamaian. Jenis padi lokal yang utama ditaman oleh petani di Subak
Kedamaian adalah padi lokal merah karena seluruh 100 petani menanamnya. Sedangkan untuk padi Mansur hanya ditanam oleh 5 petani di Subak Telabah Gde dan 95 lainnya
menanam padi lokal merah.
Sistem Irigasi yang Diterapkan Petani
Lokasi sawah dalam ekosistem subak menentukan sistem irigasi yang akan diterapkan petani. Terkait dengan hal tersebut, dari 40 orang petani responden dalam penelitian ini
diketahui bahwa sebanyak 15 berada di kawasan hulu subak, 55 di kawasan tengah dan 30 ada di kawasan hilir. Selanjutnya 90 diantara mereka menyatakan bahwa sumber air
irigasinya berasal dari air sungai dan hanya 10 mengaku berasal dari mata air. Petani di Subak Kedamaian menyatakan bahwa 15 diantaranya menggunakan air irigasi yang
bersumber dari mata air, sedangkan di Subak Telabah Gde hanya 5. Terkait dengan hal terebut, 55 petani di Subak Telabah Gde merasakan kekurangan air irigasi dan hanya 45
yang merasakan air irigasinya cukup. Berbeda dengan petani di Subak Kedamaian, yang hanya 20 merasakan kekurangan air irigasi, 70 merasakan cukup dan bahkan 10
merasakan bahwa air irigasinya berlebih.
Faktor yang masih berkaitan dengan sistem irigasi adalah saluran irigasi. Masing- masing sebanyak 85 petani Subak Kedamaian dan 80 petani Subak Telabah Gde yang
menyatakan bahwa salurasn irigasi primernya ada dalam keadaan baik. Hanya 15 petani di Subak Kedamaian dan 20 petani di Subak Telabah Gde yang menyatakan bahwa saluran
irigasi primernya ada dalam keadaan kurang baik. Juga sejalan dengan kondisi saluran irigasi sekunder, bahwa 80 petani Subak Kedamaian dan 75 petani Subak Telabah Gde yang
menyatakan ada dalam kondisi baik. Demikian pula halnya dengan petani yang menyatakan bahwa saluran irigasi sekunder yang kurang baik masing-masing 20 petani di Subak
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
69 Kedamaian dan 25 di Subak Telabah Gde. Terkait dengan kondisi saluran irigasi, maka
sebanyak 10 petani Subak Kedamaian dan 35 petani Subak Telabah Gde pernah mengalami kekeringan. Namun sebagian besar yaitu 90 petani di Subak Kedamaian dan
65 petani di Subak Telabah Gde tidak pernah merasakan adanya kekeringan, walaupun 100 petani dari kedua subak menyatakan menerapkan sistem irigasi tergenang dalam
budidaya padi.
Nampaknya sebagian besar petani, relatif masih boros dalam memanfaatkan air irgiasi, terbukti bahwa hanya 15 petani di kawasan Jatiluwih yang diwakili Subak Kedamaian dan
Telabah Gde menyatakan tidak ada air irigasi yang terbuang. Lainnya sebanyak 85 menyatakan air irgasinya melimpah dan terbuang saat mengairi sawah. Sebanyak 25
menyatakan melimpah dan terbuang ke sawah tetangganya, sebanyak 17,50 menyatakan melimpah dan terbuang ke selokan, 20 menyatakan terbuang ke sungai dan 22,50
menyatakan terbuang ke kali pangkung.
Pemanfaatan Pupuk Organik
Sebanyak 85 petani di Subak Kedamaian dan 89,50 petani di Subak Telabah Gde menyatakan bahwa mereka telah memanfaatkan pupuk organik dalam sistem budidaya padi
di sawah. Hanya 15 untuk Subak Kedamaian dan 10,50 untuk Subak Telabah Gde menyatakan bahwa mereka belum memanfaatkan pupuk organik dalam sistem budidaya
tanaman padi. Pupuk organik yang mereka peroleh sebagian besar adalah membuat sendiri dari limbah yaitu 80 untuk petani di Subak Kedamaian dan 70 untuk petani di Subak
Telabah Gde. Hanya 5 petani di Subak Kedamaian yang mengaku membeli pupuk organik dan 15 petani di Subak Telabah Gde yang mendapatkan dari bantuan pemerintah dan
masing-masing 15 justru mendapatkanya dari sumber lain.
Sebagian besar 55 petani di kawasan Jatiluwih yang diwakili Subak Kedamaian dan Telabah Gde menyatakan telah menggunakan pupuk organik sejak awal mereka bertani,
sisanya 32,50 menyatakan bahwa mereka menggunakan pupuk organik sejak 1-4 tahun lalu dan hanya 12,50 yang menyatakan baru pertama kali menggunakan pupuk organik.
Orang tua merupakan sumber informasi utama bagi petani yang berkaitan dengan pupuk organik yang mencapai 47,50. Sedangkan peran penyuluh baru mencapai 25, petani lain
15 dan sumber lainnya 12,50.
Terkait dengan pemanfaatan pupuk organik tersebut, maka sebagian besar petani 86,80 di kawasan Subak Jatiluwih yang diwakili oleh Subak Kedamaian dan Telabah
Gde menyatakan bahwa mereka mengandangkan sapinya secara permanen di kawasan ekosistem subak dan hanya 13,20 yang menyatakan bahwa sapinya dikandangkan secara
berpindah. Petani di kawasan Jatiluwih yang mengolah limbah sapi menjadi kompos dan tidak mengolah namun langsung digunakan sebagai pupuk setelah kondisi dan jumlahnya
berimbang yaitu masing-masing 43,60. Sedangkan petani yang langsung mengalirkan
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
70
limbah ke sawah jumlahnya mencapai 10,30 dan petani yang tidak memanfaatkan limbah sebagai pupuk jumlahnya hanya 2,60.
Mengolah limbah sapi menjadi kompos merupakan hal baru bagi petani di kawasan Jatiluwih, karena 46,20 menyatakan bahwa mereka mengolah limbah menjadi kompos
sejak setahun yang lalu tahun 2011 dan 41 menyatakan pengolahan limbah dilakukan sejak tahun 2012. Hanya sebagian kecil yang menyatakan bahwa mereka mengolah limbah
menjadi pupuk sejak dua tahun lalu atau sebelumnya yang hanya mencapai 12,80. Sebagian besar petani mengaku telah mengolah limbah sesuai dengan prosedur yang
mencapai 57,50. Sebanyak 22,50 menyatakan bahwa mereka hanya mengolah limbah dengan penerapan sekitar 75 dari teknologi anjuran. Sebanyak 7,50 petani menyatakan
bahwa mereka mengolah limbah secara sederhana tanpa mengikuti prosedur yang telah dianjurkan dan 12,50 lainnya menyatakan tidak melakukan pengolahan limbah.
Setidaknya terdapat 12,80 petani yang belum memanfaatkan limbah ternak sebagai pupuk organik. Dari 88,20 yang telah memanfaatkan limbah sebagai pupuk, aplikasinya
juga sangat beragam, namun setidaknya terdapat 30,80 yang telah mengaplikasikannya dengan cukup benar, yaitu ditabur ke lahan sawah saat pengolahan dengan konsentrasi 20 kg
per are, sedangkan yang lain sebanyak 56,50 mengaplikasikannya dengan cara yang belum sesuai standard. Untuk pupuk organik yang bersumber dari urin sapi, sebanyak 76,90
belum memanfaatkannya. Hanya 17,90 yang telah mengolah urin sapi menjadi bio-urin dan dimanfaatkan untuk pupuk tanaman padi dengan jalan disemprot. Masing-masing 2,60
langsung menyemprotkan urin sapi ke tanaman dan atau mengalirkan langsung ke sawah.
Pengendalian Gulma
Sebagian besar 97,50 petani di kawasan Subak Jatiluwih, melakukan pengendalian gulma secara mekanis, khususnya dengan menggunakan tangan, hanya 2,50 yang
mengendalikan gulma dengan menggunakan bahan kimia. Petani yang mengendalikan gulma secara kimia, seluruhnya mendapatkan herbisida dari kios pertanian.
Penanganan Pasca Panen
Sebagian besar 75 petani di kawasan Subak Jatiluwih melakukan prosesing gabah secara mandiri, dan hanya 25 yang tidak melakukan secara mandiri. Bagi petani yang tidak
memproses sendiri gabahnya menyatakan bahwa 95 langsung dijual di sawah ditebaskan. Sisanya sebanyak 5 menyatakan bahwa mereka tidak memproses gabahnya secara mandiri,
karena sibuk melakukan perkerjaan non pertanian, khususnya sebagai buruh bangunan.
Pemanfaatan Limbah Padi Jerami
Sebanyak 56,40 petani telah memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak, dan 43,60 lainnya sama sekali belum memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
71 Sebagaimana diketahui bahwa dalam setahun terdapat dua jenis tanaman padi yang ditanam
petani di kawasan Subak Jatiluwih. Terkait dengan hal tersebut, hanya 20,50 yang memanfaatkan jerami padi lokal maupun varietas unggul baru VUB sebagai pakan ternak.
Lainnya sebanyak 25,60 hanya memanfaatkan jerami lokal saja sebagai sumber pakan sapi dan 10,30 hanya memanfaatkan jerami padi jenis VUB sebagai pakan ternak sapi. Dalam
pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak, sebagian besar 33,30 menyatakan hanya memilih jerami yang masih muda saja, dan 2,60 melakukan fermentasi jerami untuk pakan
ternak. Selain sebagai pakan ternak sapi, sebanyak 30,80 petani menyatakan bahwa jerami hanya dipotong-potong dan dibiarkan membusuk di tengah sawah sehingga menjadi pupuk
hijau. Selain itu petani yang tidak memanfaatkan jerami sebagai pakan ternak, akan membakar jeraminya. Sebanyak 67,50 petani yang membakar jerami memiliki tujuan agar
lebih mudah dalam mengolah lahan sawah. Sebanyak 12,50 menyatakan agar hama penyakit tanaman hilang, sebanyak 10 menyatakan agar lebih cepat terjadinya penguraian
jerami dan 10 lainnya mengaku tidak tahu apa sesungguhnya tujuan membakar jerami padi di tengah sawah.
Manfaat Memelihara Sapi di Lahan Sawah
Pendapat petani tentang manfaat mengandangkan sapi di tengah sawah, setidaknya dapat digolongkan menjadi 4 manfaat antara lain: 1 manfaat ekonomi; 2 manfaat sosial;
3 manfaat budaya dan 4 manfaat lingkungan. Manfaat ekonomi yang dirasakan petani terkait dengan pemeliharaan sapi di tengah sawah antara lain: meningkatnya produksi padi
37,50 petani; meningkatnya pertumbuhan sapi 5 petani; menghemat tenaga kerja 20 petani; menghemat penggunaan pupuk kimia 32,50 petani dan menghemat
penggunaan pestisida 2,5 petani serta 2,50 lainnya menyatakan tidak tahu apa manfaat ekonomi akibat dari memelihara sapi di sawah.
Selanjutnya dari aspek sosial, sebanyak 1 45 petani mengaku hubungan mereka sesama petani menjadi lebih erat dengan adanya pemeliharaan sapi di sawah, 2 komunikasi
antar peternak sapi menjadi lebih sosial 17,50 petani, 3 mengurangi masalah perebutan air di subak, 4 terjadi penghematan pengunaan air 5 petani, 5 memperlancar kegiatan
sisoal bagi anggota subak 5 petani dan 6 memaksakan petani rajin mengontrol sapi dan sawahnya 15 petani. Sebanyak 12,50 petani yang menyatakan tidak merasakan adanya
manfaat sosial dalam pemeliharaan sapi di sawah.
Dilihat dari aspek budaya, 57,50 petani menyatakan bahwa memelihara sapi di sawah indentik dengan pelestarian budaya beternak sapi yang telah ada sejak ratusan atau
mungkin ribuan tahun yang lalu. Selain itu memelihara sapi di sawah juga menumbuhkan budaya datang ke sawah di kalangan petani. Jika ada sapi di sawah maka petani mau tidak
mau akan selalu datang ke sawah setiap hari. Hanya 2,50 petani yang tidak merasakan adanya manfaat budaya di kalangan masyarakat Bali.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
72
Dari aspek lingkungan, 77,50 petani merasakan bahwa dengan memelihara sapi di sawah akan mampu meningkatkan kesuburan tanah sawah, dan 12,50 petani mengaku
bahwa pemeliharaan sapi di tengah sawah bermanfaat dalam pelestarian keragaman hayati. Masing-masing sebanyak 2,50 petani menyatakan bahwa memelihara sapi di sawah dapat
melestarikan ekosistem subak dan melestarikan kemampuan sawah untuk berproduksi dengan baik. Hanya 5 petani yang menyatakan tidak merasakan adanya manfaat
lingkungan jika memelihara sapi di tengah sawah. Selanjutnya petani juga merasakan bahwa mengandangkan sapi di tengah sawah jauh lebih baik dibandingkan dengan di tegalan 30
petani dan 47,50 petani merasakan lebih baik. Hanya 22,50 petani yang merasakan sama saja antara mengandangkan sapi di tengah sawah atau di tegalan.
Pengetahuan Petani tentang Pemeliharaan Sapi di Lahan Sawah
Sebanyak 84,20 petani di kawasan Subak Jatiluwih yang menyatakan bahwa pemeliharaan sapi di lahan sawah akan menghemat tenaga kerja dan kotoran sapi dapat
langsung dimanfaatkan. Sedangkan yang menyatakan bahwa air kencing sapi dapat diolah menjadi bio urin dan dapat digunakan untuk menyemprot tanaman padi 2,60 petani. Sapi
juga tidak kekurangan pakan hijauan dinyatakan oleh 2,60. Sapi bisa dipakai untuk membantu membajak sawah dan secara tidak langsung pematang sawah menjadi bersih
masing-masing oleh 5,30 petani. Terkait dengan hal tersebut maka sebanyak 62,50 petani menyatakan bahwa pemeliharaan sapi di sawah adalah menguntungkan dan 30
menyatakan sangat menguntungkan. Hanya 5 menyatakan tidak tahu dan 2,50 menyatakan biasa saja. Memelihara sapi di lahan sawah juga menyebabkan petani sangat
memudahkan dalam penyediaan pakan dinyatakan oleh 15 dan yang menyatakan memudahan oleh 67,50. Hanya 15 yang menyatakan biasa saja serta 2,50 yang
menyatakan tidak tahu bahwa memelihara sapi di lahan sawah memudahkan dalam penyediaan pakan hijauan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pengetahuan petani
tentang pemeliharaan sapi di lahan sawah ada dalam katagori yang sangat baik.
Pengetahuan Petani tentang Manfaat Pupuk Organik
Sebanyak 86,80 petani di kawasan Subak Jatiluwih yang menyatakan bahwa pupuk organik akan mampu membuat tanah sawah menjadi subur dan gembur, mengurangi
penggunaan pupuk kimia oleh 10,50 dan berkurangnya hama dan penyakit tanaman padi oleh 2,60. Sedangkan petani yang menyatakan bahwa bio-urine bermanfaat untuk
memberantas hama dan penyakit tanaman padi sebanyak 23,10 dan yang menyatakan bahwa bio-urine dapat sebagai pengganti pupuk urea oleh 15,40. Untuk mengurangi
penggunaan pestisida kimia oleh 7,70, mengurangi pencemaran lingkungan oleh 2,60 dan tidak dapat dimanfaatkan oleh 51,30. Terkait dengan hal tersebut 27,50 petani
menyatakan bahwa kotoran sapi akan sangat lebih baik jika diolah menjadi kompos dan
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
73 62,50 menyatakan hal sama akan lebih baik. Hanya 2,50 yang menyatakan biasa saja dan
7,50 menyatakan tidak tahu jika kotoran sapi dapat diolah menjadi kompos. Petani yang tidak mengetahui jika urin sapi dapat diolah menjadi pupuk organik
adalah sebanyak 40. Selanjutnya petani yang mengetahui jika urin sapi sangat lebih baik jika diolah menjadi pupuk organik adalah sebanyak 20 dan yang mengetahui bahwa urin
sapi akan lebih baik jika diolah menjadi pupuk organik adalah sebanyak 40 petani. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 75 petani mengetahui dengan baik bahwa
kompos dan bio-urine lebih baik dibandingkan pupuk kimia dan 12,50 petani mengetahui dengan jauh lebih baik. Hanya 10 petani yang belum mengetahuinya, serta terdapat 2,50
yang menyatakan bahwa kompos dan urin sapi sama saja dengan pupuk kimia. Terkait dengan hal tersebut maka sebanyak 32,50 dan 52,50 petani yang menyatakan jauh lebih
murah dan lebih murah kompos dan bio-urin jika dibandingkan dengan pupuk kimia. Hanya 5 yang menyatakan sama saja antara kompos dan pupuk kimia, serta 10 petani lainnya
mengaku tidak mengetahui atau paham akan hal tersebut. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat dinyatakan bahwa pengetahuan petani di kawasan Subak Jatiluwih tentang
pemanfaatan pupuk organik ada dalam katagori baik.
Pengetahuan Petani tentang Jerami Padi sebagai Pakan Sapi
Sebanyak 37,50 petani menyatakan tahu, bahwa jerami padi dapat diolah menjadi pakan sapi, dan 25 yang mengaku ragu-ragu serta 37,50 lainnya menyatakan tidak tahu
jika jerami padi dapat diolah menjadi pakan sapi. Pengetahuan petani tentang manfaat jerami padi terfermentasi ternyata bahwa sebanyak 36,10 yang menyatakan tidak tahu.
Selanjutnya 27,80 menyatakan bahwa jerami terfermentasi dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi yang berkualitas baik, dan 25 petani yang menyatakan agar tidak kekurangan
pakan pada saat musim kering. Sebagai sumber serat kasar bagi sapi oleh 2,80 dan sebagai sumber protein bagi sapi oleh 8,30. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
pengetahuan petani tentang manfaat jerami padi sebagai pakan ternak ada dalam katagori rendah, sehingga perlu ditingkatkan.
Jasa Lingkungan Model Subak sebagai Keindahan Alam
Untuk menunjang pengelolaan kelembagaan subak yang bersifat global, tidak terlepas dengan pola manajemen modern, selain mengandalkan iuran internal, kelembagaan subak
mengelola keuangan yang bersumber dari para turis mancanagera sumber eksternal, hal ini impak dari subak sebagai WBD yang mampu mempengaruhi turis mancanegara untuk dapat
menikmati langsung tentang keberadaan subak, sehingga meningkatkan jumlah kunjungan turis mancanagera dari tahun ke tahun. Dalam pengelolaan subak secara kelembagaan, maka
subak telah menyatu dengan berbagai dinas, antara lain Dinas Kebudayaan dan Parawisata, Dinas Pertanian dan Hortikultura Kabupaten Tabanan, sehingga pengakuan dari UNESCO
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
74
tidak terlepas dari tanggung jawab pemerintah daerah khususnya dinas terkait tersebut untuk memperjuangkan keberhasilan memperoleh pengakuan bahwa subak sebagai WBD.
Untuk setiap turis mancanagera yang masuk ke dalam kawasan subak, dimana pada tempat-tempat tertentu didapatkan petugas adat atau Pecalang untuk diterapkannya sistem
tarif berupa karcis masuk ke kawasan subak. Pada tahun 2012 ditetapkan tarif masuk ke kawasan subak sebesar Rp. 10.000 per orang dan pada 2013 menjadi Rp. 15.000 per
orang. Pembagian dana yang masuk ke kelembagaan subak terbagi menjadi: 1 20 untuk biaya operasional Pecalang, 2 Sisa dana dari hasil penerimaan di lapangan hasil bersih
kemudian dibagi dua, 40 diberikan kepada Pemda Kabupaten Tabanan dan 40 diberikan kepada Desa Adat Pakraman. Bagian dana yang 40 tersebut menjadi 100 terbagi lagi
menjadi bagian Desa Adat Jatiluwih 39, Desa Adat Gunung Sari 26, Desa Dinas Jatiluwih 20, dan Aparat Desa Jatiluwih Desa Dinas sebagai Dana Operasional Aparat
Desa sebesar 15.
KESIMPULAN
Sebagain besar petani telah melaksanakan usahatani integrasi antara sapi dan tanaman padi secara turun temurun, sehingga mereka tidak tahu kapan sistem usahatani tersebut
dilakukan petani. Sebagian besar petani telah mengetahui dengan baik tentang peran pupuk organik bagi tanaman padi, namun petani belum mengetahui dengan baik cara mengolah
limbah ternak sapi menjadi pupuk organik. Sehingga mereka memanfaatkan limbah ternak menjadi pupuk organik secara langsung di sawah.
Seluruh petani sama sekali belum mengetahui tentang teknologi IPAT-BO, sehingga sebagian besar diantara mereka memanfaatkan air irigasi secara berlebih melalui sistem
usahatani padi tergenang. Bahkan tidak sedikit petani membuang sebagian air irigasinya ke salah sawah lainnya, ke selokan atau ke sungai.
SARAN
Sekalipun implementasi teknologi IPAT-B0 belum memberikan hasil yang memuaskan, namun telah menunjukkan adanya perbaikan produktivitas lahan sawah,
perbaikan kualitas beras yang dihasilkan. Untuk itu agar teknologi IPAT-BO terus dikembangkan dalam rangkan meningkatkan pendapatan petani dan keluarganya. Terlebih
untuk petani di kawasan warisan budaya dunia, yang memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keberlanjutan sistem subak.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
75
DAFTAR PUSTAKA
Anon. 2011a. Chemical of the Week. Methane. http:scifun. chem.wisc. edu chemweek
methanemethane. html. BPS [Badan Pusat Statistik] Jakarta, Indonesia. 2010. Perkembangan Beberapa Indikator
Utama Sosial-Ekonomi Indonesia BPS [Badan Pusat Statistik] Provinsi Bali. 2010. Bali dalam Angka.
Dadang WI, Yan S., Enny PT., Tri Mardi, Selamet R. 2008. Teknologi IPAT Produksi Padi Meningkat Tiga Kali Lipat.
http:www.agrina-online.com show_article .php?rid=
7aid=1196 Development Cooperation More Effective. Jica Research Institute. London, Washington,
DC. Edited by Ryo Fujikura and Masato Kawanishi. Pitana, I Gde, 1993 Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali, Penerbit Upada Satra
Denpasar. Purwita, IBP, 1993 Kajian Sejarah Subak di Bali dalam Subak Sistem Irigasi
Tradisonal di Bali, Penerbit Upada Satra Denpasar.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
76
MEMASARKAN EKOWISATA BANYUWANGI YANG BERORIATASI WISATA ALAM, PRODUK KHAS
DAN ETNIS OSING BANYUWANGI, JAWA TIMUR Ismini
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
ABSTRAK
Kabupaten Banyuwangi mempunyai potensi daya tarik wisata antara lain wisata alam, wisata budaya osing, maupun wisata produk khas Banyuwangi. Berkembangnya wisata yang
berdampak positif dalam penerimaan daerah Pendapatan Asli Daerah, PAD Pengembangan potensi wisata dilaksanakan melalui konsep bauran pemasaran marketing mix 4P Product,
Price, Place, Promotion. Keunggulan suatu produk wisata dapat dijelaskan melalui keunikan, otentitas, originalitas dan keragaman. Keunikan adalah kombinasi kelangkaan dan
daya tarik yang melekat pada obyek wisata. Originalitas mencerminkan keasalian atau kemurnian. Otentitas mengacu pada keaslian, yang merupakan perpaduan antara sifat
alamiah, eksotis dan bersahaja. Diversitas produk adalah keaneka ragaman produk atau jasa yang ditawarkan. Pemerintah perlu bekerja sama dengan perguruan tinggi, sebagai jembatan
antara pelaku wisata dan masyarakat setempat, agar dapat mengembangkan sektor pariwisata. Hal ini akan menyadarkan masyarakat lebih peduli sumberdaya alam, selain
memberikan aktivitas ekonomi lokal dan perolehan pendapatan masyarakat dan PAD Pendapatan Asli Daerah.
Kata kunci : Pemasaran, Ekowisata. Banyuwangi, Osing, Produk Khas
ABSTRACT
Banyuwangi regency has a potential tourist attraction such as nature tourism, cultural tourism Osing, or an typical products of tourism economic of Banyuwangi. A positive
impact of the tourism development is in the government local revenue, PAD. Development of tourism potential is carried out through the concept of marketing mix marketing mix4P
Product, Price, Place, Promotion. Benefits of a tourism product can be explained by the uniqueness, authenticity, originality and diversity of tourism object. The uniqueness is the
combination of scarcity and attraction of the object. Originality reflects authenticity or purity. Authenticity refers to a thing which is a blend of nature, exotic and earthy. Product
diversity is the diversity of the products or services offered. Government needs to work with the university, as a bridge between tourism stakeholders and local communities, in order to
develop the tourism sector. This will awaken the community more aware of natural resources, in addition to providing local economic activity and the acquisition of income and
revenue.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
77
Keywords : Marketing, Ecotourism, Banyuwangi, Osing, Typical Products
PENDAHULUAN
Kabupaten Banyuwangi julukan Sunrise of Java, Kota banteng, kota pisang. Peta lokasi Banhywangi Koordinat 7,53ᵒ - 8,46ᵒ LS dan 113, 53ᵒ – 114,38 ᵒ BT. Luas 5.782,50
kmᵌ. Suku Osing, Jawa , Madura, Tionghoa, bali, Bugis , Melayu . pembgaian admistratif. Flora banbu manggong. Faona Banteng Jawa. terdiri 24 kecamatan. Kabupaten banyuwangi
adalah sebuah kabupaten di propinsi Jawa Timur, Indonesia ibukotanya adalah Banyuwangi. Kabupaten ini terletak diujung paling timur di P jawa, berbatasan dengan kabupaten
situbondo di utara, selat Bali di timur, Samudra Hindia di Selatan serta Kabupaten Jember dan kabupaten Bondowoso di Barat. Pelabuhan Ketapang menghubungkan Pulau Jawa
dengan Pelabuhan Gilimanuk di Bali. Penduduk Banyuwangi cukup beragam mayoritas adalah suku Osing. Bahasa dan suku osing banyak dipengaruhi oleh bahasa dan budaya Bali.
BANYUWANGI, BUDAYA KHAS OSING
Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Jawa Timur, karakterr wilayah yang terletak di ujung paling timur ini menarik untuk diketahui .selain selain wilayah Tapel Kuda.. Suku
Osing adalah penduduk asli mayoritas Banyuwangi dan penduduk mayoritas dibeberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Suku osing merupakan perpaduan budaya dan tradisi
yang ada di Banyuwangi. Topografi Banyuwangi yang unik di dukung oleh kekuatan karakter masyarakat multikultur yang jumlahnya sekitar 1,5 juta jiwa dan tersebar di wilayah
seluas 5.782.50 km2. Ada 3 elemen masyarakat yang dominan membentuk streotipe Banyuwangi, Madura, pandalungan tapal kuda dan osing. Tapal kuda adalah nama sebuah
kawasan di propinsi jawa timur tepatnya di bagian timur, dinamakn tapal kudakarena bentuk kawasan tersebut dalam peta mirip dengan bentuk tapal kuda, kawasan tapal kuda
meliputi pasuruan bagian timur0, probolinggo, jember, situbondo,bondowoso dan Banyuwangi. Terdapat 3 pegunungan besar kawasan tersebut yakni pegunungan Bromo-
tengger- semeru.pegunungan Iyang dengan puncak tertingginya gunung argopuro , dan dataran tinggi Raung .
Tapal kuda merupakan wilayah subkultur di jawa timur yang memilik sejarah panjang
pemberontakan
. Penghuni tapal kuda mayoritas adalah Madura. Meski ada minoritas etnis jawa, namun pengaruh Madura yang sangat kuat menyebabkabkan karakter budaya
diwilayah ini lebih beraroma Madura. Orang-orang tapal kuda jg sangat identik dengan islam. Lebih spisifik lg NU. .
Pada jaman Mojopahit tapal kuda masuk menjadi mojopahit timur, sedangkan pada masa mataram, tapal kuda disebut Blambangan. Keberanian luar biasa adalah masyarakat
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
78
tapal kuda. Konon, menurut Pramudya Ananta Tour di Probolinggo. Mojopahit pernah direpotkan oleh pemberontak Minakdjinggo. Selain Mojopahit jg VOC pernah kesulitan di
sini. Untung suropati, anak Bali yang diasuh oleh Belanda dan akhirnya diburu oleh tuannya itu memperoleh dukungan yang amat kuat di sini, hingga akhirnyaa sanggup membangun
kerajaan di Pasuruan. Persebaran 3 entitas ini bias ditelisik dg karakter wilayah secara geografis yaitu Jawa
Mataram lebih bayak mendomonasi daerah daerah pegunungan yang banyak hutan seperti wilayah tegaldelimo purwohajo, tegalsari. Sedangkan masyarakat lebih dominan di daerah
gersang muncar, glenmoure . sementara masyarakat osing dominan diwilayah subur diswkitar banyuwangi kota , giri, glagah, rogokampi, songgon, singojuruh.cluring . genteng,
walaupun etnis khas banyuwangi. Secara proporsi . penduduk suku osing bukan mayoritas di 24 kecamatan.namun sebahagai gambaran etnis osing sekitar 20 persen. Dari total
Banyuwangi jawa 67 , Madura 12 dan 1 suku lain. Meski berkelompok dalam kantong tertentu, masyarakat osing tdk bersifat eksklusif seperti masyarakat Tengger yang
hidup didaerah dataran tinggi Tengger dekat gunung Bromo atau masyarakat Baduy di Banten. Osing sangat adaptif, terbuka dan kreatif terhadap unsur kebudayaan lain.
Unsur egaliter menjadi cirri yang sangat dominan dalam masyarakat osing. Ini tampak dalam bahasa osing yang tidak mengenal tingkatan bahas seperti bahasa jawa atau bahasa
Madura. Struktur masyarakat osingpun tidak berorientasi pada priyayi seperti orang jawa juga tdk punya kyai seperti Madura dan tidak punya ksatria seperti kasta orang Bali Heru
sp, saputra, Srintil, 2007 . Masyarakat Banyuwangi beragam islam tetapi karakter sinkretisme agama dan budayapun kental.kompas 25 juli 2008
SEJARAH
Sejarah Banyuwangi tidak lepas dari sejarah Blambangan. Pada pertengahan abad ke - 17, Banyuwangi merupakan bagian dari Kerajaan Hindu Blambangan yang dipimpin oleh
Pangeran Tawang alun. Pada masa ini secara administrasi, VOC menganggap Balambangan sebagai wilayah kekuasaannya, atas dasar penyerahan kekuasann jawa bagian timur
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
79 termasuk blambangan oleh Pakubuwono II kepada VOC. Padahal mataram tidak pernah bias
menguasai daerah Blambangan yang saat itu merupakan kerajaan hindu terakhir di pulau Jawa. Namun VOC tidak pernah benar-benar mencapkan kekuasaannya sampai pada akhir
abad ke-17, ketika pemerintah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan.. Daerah yang sekarang dikenal sebagai “ komplek Inggrisan” adalah bekas tempat kantor
dagang inggris. VOC segera bergerak untuk mengamankan kekuasaannya atas Blambangan pada akhir abad ke-18. Hal ini menyulut perang besar selama lima tahun 1767-1772.
Dalam peperangan itu terdapat satu pertempuran dasyat yang yang disebut PUputan Bayu sebagai merupakan usaha terakhir Kerajaan Blambangan untuk melepaskan diri belelenggu
VOC. Pertempuran Puputan Bayu terjadi pada tanggal 18 desember1771 yang akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Banyuwangi. Sayangnya perang itu tidak dikenal luas dalam
sejarah perjuangan bangsa indonesi melawan kompeni Belanda. Namun pada akhirnya VOClah yang memperoleh kemenangan dengan diangkatnya R.Wiroguno Mas Ali sebagai
Bupati Banyuwangi pertama dan tanda runtuhnya kerajaan Blambangan.Tetapi perlawanan sporadic rakyat Blambangan itu bisa terlihat dengan tidak adanya pabrik gula yang dibangun
oleh voc saat itu, berbeda dengan kabupaten lainya di Jawa Timur.
Tokoh sejarah fiksi yang terkenal adalah putri Sri Tanjung yang dibunuh oleh suaminya dipinggir sungai karena suaminya ragu akan janin dalam rahimnyabukan
merupakan anaknya tetapi hasil perselingkungan ketika dia ditinggal menujumedan perang. Dengan sumpah janjinya kepada sang suami sang putrid berkata “ jika darah yang mengalir
ke dalam sungai tersebut berbau wangi, maka menyesallah sang suami sebagai Raden Banterangini dan menamai daerah itu sebagai Banyuwangi.
Tokoh sejarah lain ialah Minak Djinggo. Seorang Adipati dari Blambangan yang memberontak terhadap kerajaan Mojopahit dan dapat ditumpas oleh utusan Mojopahit. Yaitu
Damarwulan. Namun sesungguhnya nama Minak Djinggo bukanlah nama asli dari adpati Blambangan. Nama tersebut diberikan oleh sebagian kalangan istana MOjopahit sebagai
wujud olok-olo kepada Brhe Wirabumi yang menang putra Prabu Hayam Wuruk dari selie. Bagi Masyarakat Blambangan,tidak berdasar. Cerita ini hanya bentuk propaganda`Mataram
yang tidak pernah berhasil menguasai wilayah Blambangan yang saat itu disokong oleh kerajaan hindu Mengwi di Bali.
JULUKAN
Kabupaten Banyuwangi menyandang beberapa julukan diantaranya: 1. Kota Banteng: Kabupaten dijuluki kota banteng dikarenakan di Banyuwangi
tepatnya di Taman Nasional Alas Purwo terdapat Banteng jawa.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
80
2. The Sunrise of Java: Julukan the Sunrise of Java disandang Kabupaten Banyuwangi tidak lain karena Daerah yang terkena pertama sinar matahari terbit di Kabupaten
Banyuwangi. 3.
Kota Pisang: Sejak dahulu Kabupaten banyuwangi sangat dikenal sebagai penghasil pisang terbesar, bahan tiap di pekarangan rumah warga selalu terdapat pohon pisang.
SENI BUDAYA
Kabupaten Banyuwangi selain menjadi perlintasan dari Jawa ke bali, juga merupakan daerah pertemuan Jawa ke Bali, juga merupakan daerah pertemuan berbagai jenis
kebudayaan dari berbagai wilayah. Budaya masyarakatBanyuwangi diwarnai oleh budaya Jawa, Bali, Madura, Melayu, Eropa, Tionghoa,dan budaya local yang saling isi mengisi dan
akhirnya menjadi tipikalyang tidak ditemuadi wilayah manapun di pulau jawa. Kesenian tradisional khas Banyuawngi antara lain :
1. Barong Kemiren 2. Gandrung banyuwangi
3. Seblang 4. Janger
5. Rengganis 6. Hadrah kuthulan
7. Patrol 8. Mocopatan Pacul Goang
9. Jaran Butho 10. Barong
11. Kebo-keboan 12. Angklung caruk
13. Gedhongan 14. Batik
Kesenian ini merupakan sebagian dari kesenian khas Banyuwangi yang masih hidup.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
81 .
Musik Khas Banyuwangi gamelan Banyuwangi yang mengiring tari gandrung
WISATA
Kabupaten banyuwangi memiliki banyak objek Wisata seperti : 1. Kawah ijen
2. Pantai boom 3. Pantai plengkung
4. Pantai rajegwesi 5. Pulau merah
6. Watu dodol
Gunung Ijen kawah ijen adalah sebuah gunung berapi aktif yang terletakdi daerah Kabupaten Banyuwangi , Jawa Timur, Indonesia. Gunung ini mempunyai ketinggian 2.443
m dan telah 4 kali meletus 1796,1817, dan 1906. Untuk mendaki ke gunung ini bias berangkat berangkat dari bondowoso ataupun dari Banyuwangi.
Untk mencapai gunung ijen dari Banyuwangi, bisa menggunakan kereta api ekonomi dengan tujuan banyuwangi dan turun di stasiun karangasem naik ojek atau naik mikrolet
bias menuju ke daerah yang dituju misalnya Hotel 2 untuk beristirahat dahulu.dari karang asem kemudian naik ojek dengan tujuankecamatan Licin desa Banyusari, dari desa
Banyusari perjalanan dilanjutkan menuju Paituding dengan menumpang truk pengangkut
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
82
belerang. Atau me four wdrive rp 700 rb bias 5 orang. Atau meenggunakan bus turun di bwi kota terus ojek atu ke ke Paituding atau ke desa banyusari.pintu gerbang utama dari cagar
alam kawasan ijen terletak di Paituding . Yang juga merupakan pos PHPA perlindungan
hutan dan pelestarian alam , alternative rute adalah bondowoso –wonosari –tapen- sempol- paituding. Fasilitas lain yang dapat dinikmati oleh pengunjung antara lain pondok wisata`
dan warung yang menjual keperluan pendakian untuk menyaksikan keindahan kawah ijen.
Dari Paituding berjalan kaki dengan jarak sekitar 3 km. Lintasan awal sejaauh 1,5 1.5 km cukup berat karena menanjak. Sebagian besar jalur dengan kemiringan 23-35 derajad.
Setelah bersistirahat di pos bunder pos yang unik karena bentuk lingkaran jalur selanjutnya agak landai. Selain itu wisatawanpendaki disughi pemandangan deretan pegunungan yang
sangat indah. Untuk turun menuju kekawah harus melintasi medan berbatu-batu sejauh 250 meter dg kondisi yang terjal. Kawah ijen sebuah danau kawah yang yang bersifat asam yg
berada di puncak gunung ijen tinggi 2568 m diatas permukaan laut dengan kedalaman danau 200m dari luar kawah mencapai 5456 hektar. Kawah ijen berada dalam wilayah cagar Alam
Taman Wisata Ijen .
Pantai Pulau Merah
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
83 Pulau Merah atau Red Island adalah sebuah pantai dan objek wisata di Banyuwang
tepatnta di Kecamatan Pesanggaran. Pantai ini dikenal karena sebuah bukit hijau kecil bertanah merah yang terletak di dekat bibir pantai. Bukit ini dapat dikunjungi dengan
berjalan kaki saat air laut surut. Di sana juga terdapat. Di Lokasi ini diadakan lomba selancar kategori internasional, kategori nasional, dan kategori lokal.
Pantai Plengkung
Pantai Plengkung G-Land
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
84
Pantai Plengkung, atau lebih dikenal dengan nama G-Land, adalah pantai yang terletak dalam kawasan Kabupaten Banyuwangi selatan tepatnya Taman Nasional Alas Purwo .
Plengkung untuk keperluan tempat surfing.
Watu Dodol
Watu Dodol merupakan pintu masuk Kabupaten Banyuwangi dari arah Surabaya Bali atau lewat utrara atau dari wilayah Kabupaten Situbondo Nama Watu Dodol sendiri
merujuk kepada sebuah batu besar setinggi 6 meter yang berlokasi tepat di antara kedua ruas jalan raya. Lokasi kawasan wisata ini sekitar 5 kilometer dari Pelabuhan Ketapang
penyeberangan. Patung Gandrung tarian khas Banyuwangi dengan tulisan Selamat Datang di Kabupaten Banyuwangi menjadi penghias gerbang masuk ke Kabupaten Banyuwangi.
Watu Dodol
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
85
Etimologi
Dalam bahasa Jawa, Watu memiliki arti Batu. Istilah Dodol dapat diartikan sebagai jenang. Jenang Dodol. dapat merujuk kepada makanan manis berbentuk persegi seukuran
kelingking. Dodol juga dapat berupa makanan dari ketan yang ditumbuk, dibentuk lonjong seukuran telapak tangan, kemudian digoreng.
Keunikan Wisata Watu Dodol
Watu Dodol merupakan batu karang berwarna hitam yang sangat keras serta memiliki bentuk yang unik, yaitu bagian atasnya lebih besar daripada dasarnya. Pada bagian selatan
sisinya, tumbuh sebatang pohon kelor yang menambah keunikan batu tersebut. Meskipun dulu terlihat angker, tetapi kini Watu Dodol terlihat asri karena dihiasi taman sebagai jalur
hijau.
Sumur Air Tawar
Sumur air tawar berlokasi di area Pantai Watu Dodol. Penduduk setempat membatasinya dengan dinding yang terbuat dari batu. Air tawar yang dikeluarkan dipercaya
dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Legenda
Kawasan Wisata Watu Dodol terkenal akan berbagai legenda mistisnya yang turut menarik perhatian wisatawan untuk datang.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
86
Legenda Nama Watu Dodol
Pada masa Blambangan diperintah oleh Minak Jinggo, sempat terjadi peperangan antara pasukan Blambangan dengan Majapahit. Pasukan Blambangan mengalami kekalahan
sehingga banyak yang melarikan diri menuju pantai di utara. Seorang prajurit Blambangan membawa bekal berupa jadah sejenis dodol, yaitu jenang
ketan berbentuk lonjong seukuran telapak tangan. Saat beristirahat di tepi pantai, bekal yang ia bawa tertinggal. Dodol tersebut akhirnya berubah menjadi Watu Dodol
[3]
.
Legenda Kyai Semar
Legenda ini diperkirakan bukan berasal dari masyarakat setempat orang osing - penduduk asli Blambangn karena mereka tidak mengenal pewayangan. Dikisahkan bahwa
Semar berjualan di pantai Watu Dodol, tetapi bahan yang ia jual terguling. Berasnya yang tumpah menjadi hamparan pasir putih, sementara pikulan kayunya terlempar dan menancap
di sela-sela Watu Dodol. Pikulan kayu tersebut tumbuh menjadi Pohon Kelor. Konon kayu kelor dapat menghilangkan segala ilmu kanuragan jika bersentuhan dengannya. Bekal air
minum Kyai Semar yang tumpah menjadi sumber air tawar yang mengalir di bibir pantai.
Kuliner Khas Banyuwangi Masakan: Kabupaten Banyuwangi mempunyai bermacam-macam masakan khas
Banyuwangi, diantaranyi:
1. Sego Tempong 2. Sego Cawuk
3. Sate Kalak 4. Pecel Pitik
5. Sambal Lucu 6. Jangan Kelor
7. Jangan pakis 8. Jangan leroban
9. Jangan Pol 10. Jangan Klentang
11. Jangan Bung 12. Uyah asem Pitik
13. Pindang Koyong 14. Bothok Simbuukan
15. Pecel Thotol
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
87 “ Rujak Soto” masakan khas Banyuwangi
“Nasi Tempong atau Sego “Tempong bahasa osing = tamparan adalah berupa
Nasi Putih dengan Lauk Pauk Ayam goreng, Bebek Goreng atau Ikan Goreng dengan pelengkap lalapan terong rebus, timun iris, kacang panjang, Toge dan sayuran lainnya,
beserta sambal terasi yang super pedas jika dimakan seperti kena tempelengtamparan muka merah dan keluar air mata seolah menangis.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
88
Jajanan Pasar
: Kabupaten banyuwangi mempunyai bermacam-macam jajanan pasar khas banyuwangi, diantaranya:
1. Bagiak 2. Klemben
3. Satuh 4. Manisan Cerme
5. Kacang Tanah open asin 6. Dodol Salak
7. Sate pisang anggur 8.
Loro Kencono 9. Kolak Gepuk
10. Widaran
Kue bagiak
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
89
Minuman : Kabupaten Banyuwangi mempunyai bermacam-macam minuman khas
Banyuwangi, diantaranya: 1. Secang
2. Selasih 3. Ronde
4. Angsle 5. Caok
6. Setup Semarang 7. Kolak Duren
Oleh–Oleh
: Kabupaten banyuwangi mempunyai bermacam-macam oleh-oleh khas Banyuwangi diantaranuya:
1. Awung iwe-iwel 2. Lanun
3. Serabi solo 4. Dodol garu
5. Jenang kudus 6. Jenang bedi
7. Jenang mutioro 8. Jenang selo
9. Ketot 10. Apem takir
11. Lak-lak 12. Precet
13. Supping 14. Bikang
15. Setupan polo
MEMASARKAN EKOWISATA BANYUWANGI
Keberadaan pemasaran dipengaruhi lingkungan disekitarnya baik lingkungan eksternal maupun lingkungan internal. Perubahan-perubahan lingkungan internal dan
ekternal akan akan memberikan pengaruh terhadap terciptanya peluang dimasa sekarang dan yang akan datang untuk memperoleh pangsa pasar yang pada gilirannya akan
meningkatkan pendapatan masyakat khususnya dan peningkatan PAD Pendapatan Asli Dareah .
Dengan melihat gambatan dan segala potensi ini maka perlu dilakukan bagaimana memasarkan ekowisata Kabupaten banyuwangi, salah satunya aspek memasarkan dengan
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
90
pelaksanaan konsep 4 P bauran pemasaran marketing mix . Menurut Janianton Danamik Helmut F. Weber , 2006 Dalam memasarkan keunggulan ekowisata ada beberapa hal 4
yang harus diperhatikan yaitu keunikan, otentitas, originalitas dan keragaman. Keunikan sebagai kombinasi kelangkaan dan daya tarik yang khas melekat pada obyek wisata,
originalitas mencerminkan keasalian atau kemurnian. Otentitas mengacu pada keaslian, yang merupakan perpaduan antara sifat alamiah,eksotis dan bersahaja dari daya tarik ekowisata.
Diversitas produk keanekaragaman produk atau jasa yang ditawarkan Dengan gambatran ini maka Banyuwangi perlu dilakukan bagaimana memasarkan Kabupaten banyuwangi salah
satunya aspek memasarkan dengan pelaksanaan pelaksanaan bauran pemasaran marketing mix konsep 4 P Product, Price, Place , promotion dalam memasarkan keunggulan
ekowisata ada.. Dalam memasarakan keunggulan ekowisata ada beberapa hal 4 hal yang harus diperhatikan yaitu keunikan, otentitas, originalitas dan keragaman. Keunikan sebagai
kombinasi kelangkaan dan daya tarik yang khas melekat pada obyek wisata.originalitas mencerminkan keasalian atau kemurnian. Otentitas mengacu pada keaslian, yang merupakan
perpaduan antara sifat alamiah,eksotis dan bersahaja dari daya tarik ekowisata. Diversitas produkkeaneka ragaman produk atau jasa yang ditawarkan.
Bauran Pemasaran Marketing Mix
Setiap usaha tentu berharap dapat tetap hidup dan berkembang dan mampu bersaing, demikian juga dengan memasarkan ekowisata Banyuwangi yang berorientasi pada wisata
alami, etnis budaya osing serta produk khas Banyuwangi. Dalam rangka inilah, maka diharapkan menerapkan dan menetapkan strategi dan cara pelaksanaan kegiatan pemasaran.
Kegiatan pemasaran yang dilakukan diarahkan untuk dapat mencapai sasaran pasar dan mendapatkan keuntungan atau berorientasi pasar.
Satu unsur strategi dalam strategi pemasaran terpadu adalah strategi bauran pemasaran marketing mix, hal ini berkaitan deengan penentuan bagaimana menyajikan penawaran
produk ekowisata di Kabupaten Banyuwangi pada segmen pasar tertentu, yang merupakan sasaran pasarnya. Jadi bauran pemasaran terdiri dari variable yang bisa dikendalikan oleh
pemerintah, pengusahasteckholder , masyarakat untuk mempengaruhi tanggapan konsumen dalam pasar sasarannya. Variabel ini dapat dikombinasikan dan dikoordinasikan seefektif
mungkin.
Unsur variabel strategi bauran pemasaran empat 4 unsur yaiatu strategi produk, strategi harga, strategi pendistribusianpenyaluran dan strategi promosi. Keempat strategi
tersebut saling mempengaruhi dependent sehingga semuanya penting sebagai satu kesatuan strategi :
a. Strategi Produk
Dengan mengembangkan paket wisata yang eksklusif dan bersinergi dari etnis osing, wisata alam serta khas produk Banyuwangi.
Strategi produk dalam hal ini adalah
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
91 menetapkan cara dan menyediakan produk yang tepat bagi pasar yang dituju yaitu wisatawan
domestic dan wisatawan Mancanegara, sehingga dapat memuaskan. dan sekaligus dapat meningkatkan keuntungan agar menjadi produk plus pelayanan. Faktor-faktor yang
terkandung dalam suatu produk adalah mutu, penampilan featruries,pilihan yang ada options, merek brand names, pengemasan packaging, ukuran size, jenis lines,
macam items dan pelayaann servise terkait dengan Wisata Alam, Etnis masyarakat Osing serta produk khas` Banyuwangi. Didalam strategi bauran pemasaran, strategi produk
merupakan unsur yang paling penting, karena dapat mempengaruhi strategi pemasaran lainnya.
b Strategi Harga
Dengan menawarakan harga diskriminasi dan segmen pasar,harga promosi, harga penggabungan produk , harga flekeibel..Strategi harga merupakan satu-satunya unsure
bauran pemasaranyang menghasilkan penerimaan penjualan, sedangkan unsure lainnya adalah unsur biaya. Didalam persaingan yang semakin tajam, terutama dalam pasar pembeli
buyers market, peranan harga sangat penting terutama untuk menjaga dan meningkatkan posisi di pasar, disamping untuk meningkatkan penjualan dan keuntungan. Faktor yang
mempengaruhi secara langsung adalah harga bahan baku, biaya produksi, ,biaya pemasaran, adanya peraturan pemerintah lainnya. Faktor yang tidak langsung , namun erat hubungannya
dalam penetapan harga adalah harga produk sejenis yang dijual oleh para pesaing, pengaruh harga terhadap barang substitusi dan komplementer, serta potongan discount, hal ini perlu
dilakukan.
c Strategi Pendistribusianpenyaluran
Usaha untuk mencapai tujuan dan sasaran pemasaran perlu melakukan
penyaluranpendistribusian barang dalam hal ini menawarkan ekowisata alam, budaya etnis osing serta dari produsen sampai ke konsumen yaitu mpada waktu yang tepat.
Pendistribusian barang sebaiknya dari daerah surplus produk ke daerah yang minus produkyang tidak ada produk. Dengan strategi saluran pemasaran yang dilakukan maka
penjualan produk akan menjadi cepat sampai ke tangan konsumen dengan harga yang sesuai dengan keinginan konsumen.
d Strategi Promosi
Strategi Promosi adalah salah satu strategi bauran pemarasan. Dalam rangka menunjang keberhasilan kegiatan pemasaran, maka perlu dijalankan strategi promosi yang
tepat. Promosi bisa secara langsung dari mulut ke mult, brosur , pameran, media cetak,
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
92
media elektronik misal TV, Radio, internet networking dan lain sebagainya, yang penting efektif dan efisien. Strategi distribusi place , promosi, proses dan bukti-bukti fisik
physical evidence dilakukan dengan memanfaatkan teknologi internet melalui pengembangan website khusus.secara lebih spesifi misalnya :
a. Menjalin kerja sama dengan pengusaha hotel, pemerintah, instansi-instansi swasta dan
lain-lain. terutama berbasis wisatawan domestic dan wisatawan Mancanegara juga konsumen lainnya.
b. Mengikuti kegiatan promosi pemasaran local, Nasional bahkan Internasional dengan memamerkan Banyuwangi
c. Mengidentifikasi target pasar yang diinginkan pasar utk produk yang dikembangkan d. Melakukan surve pasar secara berkala untuk mengetahui dinamika pasar.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Konsep memasarkan ekowisata masih jauh dari dukungan pemerintah misal infastruktur jalan dan lain-lain, juga kesadaran masyarakat masih rendah harus ada
peran pemerintah 2.
Peran pemerintah penting, penyuluhan , mudahnya perijinanan atau birokasi pemerintah.
3. Pemerintah perlu bekerja sama dengan perguruan tinggi menjadi penjembatan antara pengembang dan masyakat setempat, pada akhirnya akan menyadarkan
masyarakat lebih peduli sumberdaya alam agar bisa memperoleh pendapatan dari ekowisata dan kemudian memanfaatkan penghasilan masyarakat dan PAD
Pendapatan Asli Daerah.
4. Dengan gambaran tersebut maka Banyuwangi perlu dilakukan bagaimana memasarkan Kabupaten banyuwangi salah satunya aspek memasarkan dengan
pelaksanaan bauran pemasaran marketing mix konsep 4 P Product, Price, Place , promotion dalam memasarkan keunggulan ekowisata ada.
DAFTARPUSTAKA
Anonym, hasil diskusi dg masyarakat stempat di Banyuwangi Masyarakat Etnis Osing Artikel
www.wikipedia.orgbudayaosing Departemen Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, 1997. Analisa
Pemasaran Konsepsi Dasar Pembiayaan Efisiensi Pemasaran Hasil Pertanian Rakyat, Jakarta.
Hayami, Y., and Barker., 1987, Agricultural Marketing and Processing in Upland Java : Perpective From Sunda Village, CGRPT Bogor.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
93 Hennessy,D.A ,1996, Information Asymmetry As a Reason for Food Industry Vertical
Intergration.Amer J.Agr.Econ Janianton Danamik Helmut F. Weber,2006. Perencanaan dan Teori Aplikasi, Andi
Kotler, Philip, 1997. Marketing Management Analysis Planning, Implementation and Control. Nine
th
Edition Prentice Hall International, New Jersey. Publiser
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
94
PERANCANGAN MANGROVE REHABILITATION CENTER KRAKSAAN – PROBOLINGGO
DENGAN KONSEP EKOWISATA M. Nelza Mulki Iqbal
Students of Architecture Departement of Brawijaya University, Indonesia E-mail: nelzaiqbalgmail.com
ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu negara dengan hutan mangrove terbesar, mencapai 27 dari luas mangrove dunia dan 75 dari total mangrove di Asia Tenggara. Konversi
lahan mangrove menjadi lahan tambak, perumahan, industri, dan penggunaan lahan lain di Indonesia semakin terkikis tiap tahunnya. Menurut Kementerian Kehutanan, pada tahun
2003 laju penurunan dan kerusakan mangrove mencapai 200 ribu Hatahun. Kabupaten Probolinggo sebagai salah satu daerah pesisir memiliki potensi bakau yang cukup baik.
Pemerintah sedang merencanakan pengembangan ekowisata berbasis konservasi mangrove. Ekowisata sebagai model pariwisata tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga
sekaligus berbasiskan budaya serta memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat. Muatan ekologi ekowisata sangat erat kaitannya dengan implementasi
sustainable development dan sejalan dengan implementasi ekologi arsitektur. Seiring dengan mendesaknya kebutuhan untuk mengkonservasi dan merehabilitasi mangrove di wilayah
Kabupaten Probolinggo, maka perlu disediakan fasilitas untuk mempertahankan dan melestarikan ekosistem hutan mangrove. Hal ini tidak hanya memiliki fungsi konservasi
namun memberi manfaat dalam menjaga keseimbangan ekonomi, pendidikan, dan juga ekologi.
Kata kunci :
mangrove, ekowisata, ekologi arsitektur, konservasi
ABSTRAK
Indonesia is one of nations having the largest mangrove which contribute 27 of mangrove in the world, and 75 of mangrove in Southeast Asia. Conversion of mangroves
into fishponds, residential, industrial, and other land use in Indonesia has been very significant. According to the Ministry of Forestry, in 2003 the rate of decline of mangroves
area reach 200 thousand ha per year. Probolinggo regency has a good potential of coastal mangroves. The government is planning a mangrove conservation in the framework of
ecotourism development. Ecotourism as a model of tourism not only show sustainable economic activities, but also deliver on cultural and economic benefits for society. The
ecotourism ecology is closely associated with the implementation of sustainable development and in line with the ecological architecture. Along with the need to conserve
and rehabilitate mangrove in Probolinggo regency, it is necessary to provide facilities to maintain and preserve the mangrove forest ecosystem. This not only has a conservation
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
95 function but also will provide benefits in maintaining the balance of economic, educational,
and ecology.
Keywords : mangrove, eco-tourism, architectural ecology, conservation
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara dengan hutan mangrove terbesar , dengan prosentase mencapai 27 dari luas mangrove dunia serta 75 dari total mangrove di Asia
Tenggara. Sebagai negara maritim dengan keberadaan ekosistem mangrove sebagai barier alami di bibir pantai, Indonesia seakan menjadi pesakitan dengan semakin terkikisnya
ekosistem ini dikarenakan beberapa hal antara lain konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak, perumahan, industri, serta eksploitasi berlebihan terhadap ekosistem ini. Tidak
heran data yang dilansir oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tahun 1999, luas potensial mangrove di Indonesia yang berjumlah 8,6 juta Ha, yang tediri
atas 3,8 juta Ha di kawasan hutan dan 4,8 juta Ha di luar kawasan hutan, mengalami kerusakan dalam jumlah yang amat signifikan yakni 1,7 juta 44,73 hutan mangrove di
kawasan hutan, serta 4,2 juta Ha 87,50 untuk kerusakan hutan mangrove di luar kawasan hutan. Data Kementrian Negara Lingkungan Hidup KLH Republik Indonesia tahun 2000
menyebutkan luas hutan mangrove Indonesia mencapai 9,2 juta Ha dengan kondisi baik sejumlah 2,5 juta Ha, rusak sedang 4,5 juta Ha, dan kondisi rusak berat 2,1 juta Ha.
Wetsland International pun memperlihatkan fakta mengejutkan bahwa luasan hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya berkisar diangka 1,5 juta Ha saja.
Kecenderungan penurunan dan kerusakan tersebut diidentifikasi oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2003 mencapai degradasi nyata 200 ribu Hatahun.
Terdegradasinya mangrove secara pesat ini telah memicu meningkatnya erosi pantai yang menjadi penyebab kerusakan habitat alami fauna di ekosistem ini diantaranya ikan,
udang, makrobentos, burung dan lain-lain, peningkatan instrusi air laut ke daratan, serta mempengaruhi mata pencaharian nelayan pesisir. Oleh karenanya konservasi dan rehabilitasi
hutan mangrove sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat untuk menjaga kelestarian ekosistem ini.
Kabupaten Probolinggo sebagai salah satu daerah pesisir dengan potensi bakau yang cukup baik, sedang merencanakan pengembangan Kraksaan sebagai ibukota Kabupaten
Probolinggo, diantarannya menetapkan zonasi ruang terbuka hijau pesisir atau yang lebih dikenal dengan sabuk hijau di kawasan pesisir Kraksaan. Zonasi ini dilakukan sebagai
bagian dari perencanaan Kraksaan menjadi kota mandiri. Melalui data yang dilansir Badan Perencanaan dan Pembangunan Kabupaten Probolinggo 2012-2029, selain menetapkan
zonasi kawasan ini sebagai wilayah konservasi bakau, kawasan ini juga direncanakan
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
96
sebagai sebuah areal ekowisata yang diharapkan bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal terutama dalam hal ekonomi, pendidikan, dan konservasi lingkungan.
Untuk merehabilitasi dan mengkonservasi suatu areal ekositem mangrove, beberapa daerah telah mengembangkan sebuah tata pengelolaan lahan mangrove berbasis ekowisata.
Sebut saja Pantai Timur Surabaya dengan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Taman Hutan Ngurah Rai Bali dengan Mangrove Information Center, juga beberapa areal ekowisata
mangrove di Cilacap, Pasuruan, dan Banyuwangi. Sebagai suatu industri, wisata dipandang mempunyai peluang untuk aktif berperan dalam konservasi dan pembangunan berkelanjutan
dengan mendesain suatu konsep wisata berbasis konservasi. Jika dikelola dengan baik, industri wisata memungkinkan adanya aliran dana bagi pembiayaan program-program
pemberdayaan dan penguatan masyarakat lokal, serta konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup Hakim, 2004.
Pilihan jenis wisata yang dapat dikembangkan pada areal konservasi hutan mangrove adalah melalui ekowisata. Ekowisata dewasa ini menjadi salah satu pilihan dalam
mengkonservasi lingkungan yang khas yang terjaga keasliannya sekaligus menjadi suatu areal kunjungan wisata. Ekowisata secara konsep adalah model pariwisata yang tidak
hanya ramah lingkungan, tetapi juga sekaligus berbasiskan budaya serta memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat. Model pariwisata ini menjadi ideal karena
berfungsi ganda. Selain sebagai obyek wisata yang berbasiskan alam serta budaya setempat, ekowisata juga berfungsi untuk konservasi, observasi, serta pendidikan.
Ekowisata sekaligus meminimalisir bahkan meniadakan kerusakan lingkungan.
Muatan ekologi dalam sebuah areal wisata sangat erat kaitannya dengan implementasi sustainable development dalam arsitektural yang didalamnya akan sangat berperan
implementasi ekologi arsitektur dengan misi pemeliharaan dan konservasi alam. Sejalan dengan kebutuhan konservasi dan rehabilitasi mangrove di wilayah Kabupaten Probolinggo,
maka perlu adanya rancangan alternative desain kawasan konservasi mangrove berbasis ekowisata yang menerapkan aplikasi teknis dan prinsip ekowisata dan ekologi arsitektur
secara holistik.
METODE KAJIAN
Secara umum metode yang digunakan dalam kajian desain Mangrove Rehabilitation Center berkonsep ekowisata ini adalah dengan memadukan metode pemrograman, metode
analitis, dan juga pragmatic. Metode pemrograman mengacu pada teori William Pena 1985 yang dalam prosesnya menggunakan alur berpikir deduktif dan induktif yang berjalan secara
pararel. Tahapan pemrograman lebih ditekankan pada penganalisaan terhadap segala aspek terkait dengan rancangan sehingga menghasilkan suatu konsep skematik yang nantinya
menjadi dasar dan landasan pada tahapan perancangan.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
97 Memasuki tahapan selanjutnya mulailah diaplikasikan metode analitis dalam
mengolah data-data yang dihasilkan dalam analisa-sintesa ini. Sebagai metodologi desain, metode analitis mengacu pada formulasi yang dinamakan berpikir sebelum menggambar, “
thinking before drawing” Jones, 1971. Metode ini merupakan metode dasar yang
didalamnya dipilah lagi menjadi metode pendekatan yang lebih spesifik yakni metode pragmatic.
Metode pragmatic dalam desain dijelaskan oleh Geoffrey Broadbent 1973 dengan pengertian penciptaan bentuk tiga dimensional atau proses desain secara pragmatis, mengacu
pada proses coba-coba trial and error, dengan memanfaatkan berbagai sumber daya material yang ada sedemikian rupa memenuhi maksud yang ingin dicapai
Di era perkembangan metode arsitektur saat ini, metode pragmatic mengalami babak baru yang seperti dijelaskan Bjarke Ingels 2010 sebagai pragmatic utopian, yang tidak
terlalu naïve utopian namun juga tidak terlalu petrifying pragmatic. Pada tataran ini Ingels mencoba melebur unsur ekonomi dan ekologi BIGamy seperti beberapa contoh desain yang
disampaikan dalam bukunya Yes is More.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perancangan Mangrove Rahabilitation Center Kraksaan Probolinggo ini berada di bekas lahan tambak di Desa Kalibuntu yang tidak terpakai. Sebenarnya secara teknis
Pemerintah Kabupaten Probolinggo masih belum menentukan letak pasti untuk pembangunan areal ekowisata dan konservasi mangrove di Kabupaten Probolinggo. Melalui
Rencana Tata Ruang dan Zonasi Kota Kraksaan 2012-2029 areal ini direncanakan pada kawasan BWK IV, yang salah satunya adalah Desa Kalibuntu.
Tapak yang berada tepat di tepi pantai ini memiliki luas lebih kurang 107.027 meter persegi atau setara 1 Ha. Pada dasarnya kawasan ini adalah areal tambak yang sudah tidak
produktif dan tidak dipergunakan. Beberapa rumpun ekosistem mangrove juga dapat ditemui disini, dan sebagai yang utama berada di bibir daratan walaupun tidak banyak namun dapat
dihubungkan dengan areal mangrove di desa lain seperti Desa Asembagus dan Desa Kebonagung yang langsung dapat dihubungkan melalui Selat Madura.
Mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 167Kpts-II1994 mengenai Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Pelestarian Alam maka
areal yang dapat dipergunakan secara fungsional ruang adalah sebesar 10 atau kurang lebih 10.000 meter persegi, dengan sempadan pantai bervariasi antara 75 – 200 meter.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
98
Adapun mengenai batas-batas tapak adalah sebagai berikut: a. Sebelah Utara : Selat Madura
b. Sebelah Timur : Areal Mangrove c. Sebalah Barat : Tambak Ikan
d. Sebelah Selatan : Tambak Ikan
Desain Mangrove Rehabilitation Center Krakasaan Probolinggo secara program ruang mengaplikasikan kebutuhan ruang yang terkait dalam pengaplikasian prinsip ekowisata.
Program ruang yang dimaksud meliputi aspek konservasi, pendidikan, pariwisata, perekonomian, dan juga partisipatori. Dari keseluruhan program ruang dan fasilitas tersebut
didistribusikan menjadi tiga bagian yakni advantage zone, buffer zone, dan core zone, dengan pembagian sebagaimana dijelaskan dalam gambar di bawah ini.
Gambar 1. Batas tapak Mangrove Rehabilitation Center Kraksaan - Probolinggo
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
99 Keberadaan tapak yang berada di Desa Kalibuntu, dapat dijangkau dengan transportasi
motor maupun mobil dan letaknya yang berbatasan langsung dengan Selat Madura maka tapak dapat diakses pula menggunakan perahu. Untuk kondisi saat ini memang memerlukan
perbaikan di beberapa titik terkait akses jalan untuk transportasi darat sehingga memudahkan akses kedalam tapak. Hal ini juga senada dengan rencana pengembangan wilayah Kota
Kraksaan untuk membangun jalan arteri penghubung antar desa.
Pemilihan entrance pada tapak sangat dipengaruhi oleh sirkulasi yang ada di sekitar tapak, selain itu bentuk eksisting tambak juga membentuk pola grid jalan yang sangat jelas.
Dengan kondisi tersebut maka dipilihlah entrance utama di sisi timur yang menjadi titik kedatatangan utama semua kendaraan baik bis, mobil, maupun sepeda motor. Pemberian
sirkulasi singular langsung di dekat area parkir juga memudahkan kendaraan untuk keluar ataupun masuk ke dalam tapak tanpa mengganggu sirkulasi utama tapak yang dikhususkan
untuk jalur sepeda, dan juga operational car pada tapak.
Melalui pencapaian dan entrance yang terbangun sebelumnya, ditariklah beberapa orientasi bangunan yang berangkat dari pola poros dan framing tapak. Framing ini untuk
mengcapture view laut yang terlalu luas ketika ditemukan dengan program fungsi dan ruang. Dipilihnya poros sebagai titik temu sirkulasi juga bermaksud menjembatani orientasi
dan view maksimal baik ke luar maupun ke dalam tapak. Secara skematik proses pencapaian dan orientasi bangunan dapat dilihat pada gambar berikut:
Analisa sirkulasi pada tapak dibagi menjadi beberapa fokus dengan jalan pengelompokan pengguna sirkulasi, antara lain sirkulasi deck, sirkulasi bicycle track,
sirkulasi kendaraan MRC, sirkulasi kendaraan pengunjung dan pengelola, sirkulasi pejalan kaki. Masing-masing akan dianalisa berdasarkan alur dan kebutuhan ruang sehingga
memudahkan pemilihan fasilitas yang bisa dikembangkan. Adapun sintesa proses diagramatik pengaturan sirkulasi pada tapak ini prosesnya dapat diikuti melalui diagram
berikut ini:
Gambar 2. Diagram Fungsional Massa
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
100
Sistem utilitas yang terdapat pada tapak masih sangat minim karena aksesnya yang masih belum terjangkau kendaraan umum. Pada daerah tapak tidak ditemukan sama sekali
jaringan listrik udara. Untuk drainase dan penanganan air hujan pada tapak, mengikuti bentuk alami dari beberapa tambak yang berada pada area tapak. Bentuk tambak pada tapak
teridentifikasi menjadi dua bentuk dasar yakni irregural form bentuk tak beraturan dan square form persegi dengan posisi saluran air berada di sekitar tambak.
Arus drainase dikendalikan oleh pintu air yang dibuat secara tradisional, mengikuti jenis tambak yang berupa tambak tanah. Keuntungan dari jenis tambak ini adalah
kemudahan untuk pengaturan layout tambak ulang yang terintegrasi dengan sistem penanaman mangrove karena selain murah, jenis tanah yang didominasi tanah liat juga
memudahkan dalam upaya re-layout tambak.
Karena masih terbukanya peluang untuk menata ulang tambak ini maka terbuka pula peluang untuk mengatur aliran dan perencanaan drainase tapak yang terintegrasi dengan
upaya merehabilitasi mangrove. Untuk itulah dalam upaya mengatur tata drainase dan juga pengembangbiakkan mangrove maka dipergunakan system silvofishery, dalam pengaturan
tambak. Silvofishery merupakan gabungan dari dua kata yaitu silvi atau silvo yang berarti hutan dan fishery yang berarti perikanan, sehingga silvofishery dapat diterjemahkan sebagai
perpaduan antara tanaman mangrove hutan dengan budidaya perikanan. Silvofishery adalah salah satu konsep kuno dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang
mengintegrasikan konservasi mangrove dengan budidaya air payau.
Zonasi pada tapak terbagi menjadi tiga zonasi yakni advantage zone, core zone, buffer zone. Pembagian zonasi tapak ini mengacu pada program ruang dan kebutuhan fungsional
berdasarkan standart pengolahan kawasan ekowisata. Adapun penjelasan dari ketiga zonasi tersebut adalah sebagai berikut.
Advantage zone, zona ini mewakili zona publik yang berada di sisi utara dan sisi timur pada tapak untuk memudahkan pengunjung mengakses area ini. Zona ini berupa area parkir,
main entrance, head office, library, workshop, retail area, dan juga fish pond and resto. Pada zona ini juga ditempatkan sebuah menara view gigantis sekaligus plaza sebagai transisi,
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
101 orientasi dan juga penghubung antar zona pada tapak. Pada zona ini juga ditempatkan area
parkir utama bagi pengunjung dan juga pengelola untuk kemudian bisa menggunakan kendaraan akses seperti sepeda atau kendaraan operasional lain untuk menjelajah tapak atau
akses ke zona-zona lain.
Buffer zone, peruntukan buffer zone ini adalah implementasi kesinambungan prinsip ekowisata dimana didalamnya terdapat fungsi konservasi dan rehabilitasi namun juga
menghadirkan dampak nyata secara ekonomi bagi warga setempat. Zona ini berisi mangrove track yang merupakan atraksi utama dari Mangrove Rehabilitation Center Kraksaan
Probolinggo. Selain itu terdapat bird wathing dan fishpond yang terintegrasi dengan sistem silvofishery. Zona ini juga menjadi entrance untuk melakukan pengamatan mangrove lewat
jalur laut.
Core zone, ini adalah zona inti dari Mangrove Rehabilitation Center Kraksaan Probolinggo, sifatnya lebih kearah privat. Karena akses kedalam hanya bisa dilakukan oleh
peneliti, disini adalah areal utama untuk pengembangan mangrove. Didalamnya terdapat pusat riset dan development, laboratorium indoor dan outdoor, serta cultivation area. Selain
itu sebagai zona utama juga tempat diletakkannya zona konservasi hutan mangrove yang berbatasan langsung dengan laut.
Menanggapi kondisi angin dan cahaya matahari yang melimpah, juga dengan kondisi tapak yang besar, maka gubahan fungsional massa pada tapak di sebar spray menjadi
bentukan massa dengan berbagai variasi ukuran sehingga tidak hanya mengalirkan aliran angin dengan maksimal namun juga memaksimalkan pencahayaan alami pada fungsional
massa. Selain itu memecah bangunan pada massa yang lebih kecil juga sebagai tanggapan ekologis struktural dengan menyebar beban pada tapak sehingga dapat meminimalisir beban
konstruksi yang jatuh pada tapak. Secara diagramatik hasil sintesa digambarkan dalam diagram berikut.
Dengan tapak yang luas, bangunan lebih sesuai dengan menggunakan tatanan massa banyak. Massa bangunan ini peruntukannya disesuaikan dengan zoning masing-masing.
Pada advantage zone, pengelompokan massa terbagi menjadi tiga bagian yakni MRC Fun
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
102
XP, MRC Head Office, dan MRC Exibition. Demikian pula di bagian core zone yang juga terbagi menjadi tiga kelompok fungsional massa makro yakni research office, indoor lab,
dan mangrove lodge.
Area buffer zone, tidak diberi gambaran rinci karena didominasi oleh ruang luar, dan hanya terdapat beberapa titik sebagai tempat peristirahatan sambil mengamati hutan
mangrove. Tatanan massa pada tapak di spray dengan berorientasi pada satu titik poros ditengah yang juga sebagai pusat titik temu pada tapak. Teknik spray atau acak banyak
diadaptasi oleh beberapa arsitek muda seperti Sou Fujimoto dalam proyek ORDOS 100, ataupun Bjarke Ingels dalam proyek Talinn New City Hall. Cara ini seakan membiaskan
pertemuan ruang luar dan dalam in-between, sehingga diperoleh tatanan orientasi yang baik untuk mengcapture view dengan maksimal. Apalagi jika tapak berada di lahan yang cukup
luas dengan kondisi eksisting alam yang dominan.
Dengan jalan demikian maka didapatkan tata massa pada tapak seperti yang dapat dijelaskan pada skematik alternatif diagram berikut ini.
Alternatif ini merupakan pengembangan dari alternatif pertama yang hampir serupa secara tata massa, dan tetap mengacu pada imajiner radius di titik tengah. Alternatif ini
berupaya menghadirkan pengalaman ruang yang lebih kaya dengan jalan menyajikan framing view yang lebih variatif melalui pertemuan antar massa. Akibatnya massa yang
memanjang pada alternative pertama dibuat lebih compact dan lebih chaos namun tetap dalam lingkar imajiner radius yang telah ditentukan. Dengan demikian jalur akses menjadi
sedikit random tetapi diharapkan mampu menghadirkan pengalaman ruang yang lebih banyak bagi pengguna.
Bentuk dasar bangunan dirancang berdasar hasil analisa bentuk dan tata massa pada konsep awal massa. Berdasarkan pertimbangan itu, maka bentuk grid dan kotak sederhana
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
103 yang sinergis dengan pola dominan tapak yang merupakan areal tambak dijadikan pilihan.
Tampilan bangunan didasarkan beberapa kriteria yakni: 1.
Kesesuaian bangunan dan lansekap 2.
Skala bangunan 3.
Material bangunan 4.
Bentuk dan ketinggian atap
Bentuk dasar persegi yang diambil, secara pragmatic di slice untuk mendapatkan bentuk bangunan yang sesuai dengan footprint dasar bangunan serta kesesuaian view yang
dihasilkan pada saat masing-masing massa digabung menjadi sebuah kesatuan. Pemilihan bentuk utama didapatkan melalui trial and error dengan bantuan sketching tiga dimensional.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya penerapan prinsip ekowisata pada Mangrove Rehabilitation Center Kraksaan – Probolinggo ini mengacu pada Panduan Dasar
Pelaksanaan Ekowisata 2009 dengan beberapa prinsip seperti Konservasi, Pendidikan, Pariwisata, Perekonomian, dan Partisipasi Masyarakat. Kaidah eko arsitektural yang dipilih
dijelaskan dalam proses desain yang mengacu pada eko teknik, eko mental, eko spiritual, integrasi sistem dan integrasi SDA. Kaidah-kaidah ini merupakan simpulan pustaka yang
diambil dari pemilihan aspek eko arsitektural Ken Yeang 2006 dan Kristiadi 2004.
Secara Eko-Teknik, perencanaan bangunan dititik beratkan pada aspek teknikal. Maka dari itu aspek ini ditelaah menjadi dua bagian yakni aspek tapak dan juga bangunan.
Pada aspek tapak yang menjadi perhatian adalah angin dan matahari, pencapaian dan
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
104
orientasi, pola sirkulasi, utilitas tapak dan juga zonasi tapak. Sedang pada aspek bangunan analisa meliputi tata massa, bentuk dan tampilan bangunan, sistem bangunan, dan struktural
bangunan.
Aspek Ekomental terkait dengan kualitas ruang, dalam hal ini aspek eko mental berpengaruh pada kenyamanan gerak manusia terhadap ruang, aspek ini diwujudkan pada
space programming yang mengacu pada fungsional massa yang telah ditetapkan sebelumnya dengan disesuaikan dengan kenyamanan gerak manusia dalam ruang sesuai dengan standart
yang telah ada. Beberapa besaran ruang juga dihasilkan melalui komparasi langsung fungsional ruang terhadap obyek yang telah ada sebelumnya.
Ekospiritual berkaitan dengan kepuasan rohani dan rasa mensyukuri kehadiran Tuhan. Pada pengolahan massa dan tata tapak aspek ini diwujudkan dengan sebanyak mungkin
melakukan variasi view pada gubahan massa. Dengan pengelompokan massa yang cukup banyak, hal ini memberi peluang dalam mengeksplorasi bentuk massa namun dengan tetap
memperhatikan kesinambungan dan harmonisasinya dalam skala kawasan.
Selain itu langkah yang ditempuh dalam mewujudkan aspek ekospiritual pada tapak adalah dengan permainan sirkulasi yang tidak monoton, sehingga kemungkinan mengcapture
view alam dengan lebih banyak variasi semakin terbuka. Secara diagramatik perwujudan aspek ekospiritual dapat dilihat pada gambar skematik di bawah ini:
Sebagai obyek ekowisata yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan Mangrove Rabilitation Center Kraksaan – Probolinggo juga terkait dengan mekanisme siklus alam.
Dalam hal ini adalah upaya intervensi pembangunan yang menyentuh segala aspek, dari
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
105 sosial masyarakat, ekologi, sampai ke ranah ekonomi. Oleh karenanya integrasi terhadap
keselurahan aspek tersebut seolah menjadi konsep dasar pada areal ekowisata mangrove ini. Diharapkan ketidaksinambungan pembangunan yang berakibat pada persoalan manusia dan
lingkungan dapat diwadahi dalam satu siklus yang saling terkait satu dengan yang lainnya.
Integrasi sistem yang pertama adalah mengenai penanaman mangrove. Dengan lahan pembenihan 300x400 pada lahan laboratorium saja kita bisa mendapatkan lebih kurang
4.200 benih tiap bulannya, dan akan berkembang menjadi sekitar 50.000 benih pada tiap tahun. Dengan asumsi lahan penanaman mangrove minimal 5.000 benih tiap hektar maka
setiap tahunnya akan terdapat sekitar 10 Ha lahan yang bisa direhabilitasi mangrovenya.
Sementara itu, dalam upaya mengkonservasi energi listrik kemungkinan yang dapat dipergunakan adalah penggunaan photovoltaic dan juga windmill. Berdasarkan fungsi
bangunan yang kurang lebih sama pada proposal proyek terbangun Makoto Floating School di Afrika, sebuah massa bangunan membutuhkan energy listrik sebanyak 2.000 Wh tiap
harinya. Melalui pv yang mampu menyimpan daya 210 W tiap harinya maka dibutuhkan setidaknya tiga modul pv dengan dimensional 1,650 x 992 mm. Berarti dengan jalan ini
kebutuhan energy listrik pada bangunan akan dapat teratasi secara mandiri. Tentunya dalam pengaplikasiannya penempatan PV harus disesuaikan dengan
sunpath Kabupaten Probolinggo untuk memperoleh titik optimal dimana perletakan photovoltaic.
Begitu juga dengan windmill. Dengan melimpahnya angin di Kabupaten Probolinggo, potensi ini juga memungkinkan untuk diaplikasikan pada tapak maupun bangunan.
Prinsipnya juga sama dengan pv, energy yang dihasilkan disimpan dalam charger, dan dialirkan melalui inverter untuk kemudian bisa dipergunakan sesuai arusnya baik DC
maupun AC.
Konservasi air diarahkan pada pengelolaan air hujan dengan pengolahan menggunakan filtrasi anaerobic dengan menggunakan tanaman akar wangi. Penggunaan air
ini bisa dipergunakan untuk kebutuhan mandiri penghuni, dialirkan ke lahan mangrove, maupun penggunaan untuk kebutuhan kamar mandi dan toilet. Penyalurannya disalurkan
melalui deck dibawah mangrove. Sistem yang dipergunakan adalah dengan ground water tank yang dalam hal ini adalah kolam yang difungsikan sebagai volume penyimpanan air.
Secara ekonomi karena menggunakan metode silfofishery maka secara otomatis pendapatan warga juga akan meningkat. Karena sistem ini cukup banyak mengakomodasi
komoditas perikanan di air payau diantaranya kepiting bakau, bandeng, patin, kakap, maupun udang windu. Bahkan pada areal tapak ditemukan beberapa komunitas yang sudah
mendevelop daun mangrove sebagai sirup yang tentu saja dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat apabila dikembangkan lebih lanjut lagi. Secara skematik analisis mengenai
integrasi system pada Mangrove Rehabilitation Center Kraksaan – Probolingo dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
106
Integrasi sumber daya alam disini terkait dengan material pembangunan fasilitas Mangrove Rehabilitation Center Kraksaan – Probolinggo. Pilihan material yang
dipergunakan adalah bambu. Secara umum bambu merupakan satu tanaman yang sangat berpotensi secara ekonomis, dapat tumbuh dan beregenerasi dengan cepat hanya dalam
jangka waktu tiga tahun, memiliki ketahanan tarik lebih kuat dari baja dan ketahanan tekan lebih kuat dari beton.
Hampir keseluruhan bangunan pada Mangrove Rehabilitation Center ini menggunakan bahan bambu sebagai material utama. Apalagi dengan pemilihan sistem struktur rangka,
membuka kesempatan untuk mengksplorasi bentuk bambu menjadi sesuai dengan karakter bangunan ekowisata sesuai yang telah dikonsepkan sebelumnya.
Penggunaan material bambu ini nantinya akan dieksplorasi lagi dengan sistem konstruksi bambu belah. Secara ringkas penggunaan bambu belah adalah perpaduan bayu
dengan kayu lapis untuk membuat rangka-rangka bambu yang siap digunakan untuk konstruksi. Bambu yang dibelah terlebih dahulu dihaluskan, dilem, kemudian direkatkan
dengan menggunakan pasak bambu. Dengan jalan ini kita akan mendapatkan dua keuntungan kuat tarik dari bambu dan juga tekan dari kayu.
Skematik proses pengaplikasian metode pragmatik dan kaitannya dengan pemilihan parameter ekologi dapat diikuti pada skema desain berikut ini, pada kasus penentuan bentuk
dan orientasi core zone.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
107 Hasil Perancangan Mangrove Rehabilitation Center ini memiliki fungsi utama sebagai
pusat rehabilitasi dan konservasi mangrove sekaligus sebagai kawasan ekowisata. Kawasan ini juga terbagi menjadi tiga zona utama yakni Advantage Zone, Buffer Zone dan Core Zone
yang juga terdiri dari beberapa pengelompokan massa.
Mangrove Rehabilitation Center ini memiliki beberapa program yang diwadahi oleh fungsi bangunan yang berada pada kawasan ini antara lain: kegiatan konservasi ekosistem
mangrove, Kegiatan penelitian dan pengembangan mangrove, areal ekowisata, kegiatan edukasi dan workshop tentang mangrove, kegiatan pengamatan habitat flora dan fauna
mangrove, kegiatan tambak ikan, kepiting dan udang.
Kegiatan konservasi dan pengembangan ekosistem mangrove merupakan fungsi utama yang diwadahi pada Mangrove Rehabilitation Center ini. Selain itu adanya prinsip ekowisata
yang diaplikasikan pada areal ini juga berdampak pada berkembangnya program fungsional pada kawasan ini.
Sebagai fungsi utama maka areal Buffer Zone dan Core Zone memiliki porsi yang dominan pada kawasan ini. Pada areal tersebut diaplikasikan bagaimana eksisting lahan yang
berupa areal bekas tambak, dikonversi menjadi lahan budidaya dan pengembangan mangrove. Tidak hanya itu, sebagai upaya menambah nilai ekonomi masyarakat sekitar juga
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
108
diaplikasikan metode silfofishery pada lahan konservasi, agar tetap dapat dilakukan aktifitas pertambakan namun masih sejalan dengan pengembangan dan budidaya ekosistem
mangrove.
Ranah konservasi juga diaplikasikan melalui adanya fasilitas research dan development berupa laboratorium dan mangrove lodge untuk melakukan pengembangan,
pengamatan dan pelestarian terhadap ekosistem mangrove. Pada bagian tengah terdapat miniature touch pond yang berisi bibit-bibit mangrove muda yang bisa diakses langsung oleh
pengunjung. Selain itu masih terdapat areal mangrove forest conservation yang berada pada bibir daratan yang berfungsi sebagai barrier alami yang juga terus dikembangkan habitatnya.
Aspek pendidikan pada Mangrove Rehabilitation Center Kraksaan – Probolinggo difasilitasi melalui adanya ruangan kelas, areal workshop, gallery, dan juga perpusatakaan.
Melalui adanya fasilitas ini diharapkan pengunjung nantinya dapat mengetahui lebih banyak lagi mengenai pelestarian dan upaya konservasi mangrove. Selain itu dengan adanya fasilitas
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
109 workshop membuka kesempatan seluas-luasnya untuk terwujudnya interaksi antara
pengunjung dan juga masyarakat sekitar. Karena pada areal tapak sudah terbentuk kelompok-kelompok komunitas budidaya mangrove bahkan sampai mengekplorasinya
menjadi sirup mangrove. Inovasi seperti ini penting untuk disebarluaskan dalam rangka menghidupkan lagi semangat untuk melestarikan mangrove. Tidak hanya melestarikan dan
menjaga lingkungan tetapi sekaligus memberikan dampak langsung secara ekonomi. Fungsional ruang yang mengarah pada aspek pendidikan dibuat dengan beberapa view
terbuka, agar bisa menyatu dengan areal tapak yang memiliki view menarik berupa lahan mangrove dan juga view langsung kearah laut.
Atraksi wisata yang disajikan mengacu pada tiga aspek atraksi wisata yakni something to see, something to do, dan something to see. Ketiga aspek inilah yang lantas memberikan
pengaruh terhadap pemilihan program fungsi yang mendukung aspek wisata pada kawasan konservasi mangrove ini. Diantaranya mangrove trail, boat pier, resting hut, bird watching,
bicycle track, retail and souvenir, restaurant, dan juga touch pond.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
110
Pengunjung bisa menikmati panorama dan sensasi berpetualang melewati lahan mangrove baik dengan berjalan kaki maupun dengan bersepeda. Selain di sisi daratan
pengamatan terhadap mangrove juga bisa dilakukan melalui lautan dengan menggunakan kapal yang telah disediakan. View lainnya yang juga bisa diamati oleh pengunjung adalah
habitat flora dan fauna mangrove yang bisa dinikmati melalui menara pandang yang tersebar di beberapa titik pada kawasan ini.
Pada prosesnya, pembangunan akan juga melibatkan masyarakat dalam upaya proses pembangunan ekologi dari hulu ke hilir. Pertama komunitas yang sudah ada dan terbentuk
sebelumnya dikumpulkan untuk rembug bersama. Beberapa komunitas yang sudah terbentuk adalah Komunitas Pelestari Mangrove di Desa Kalibuntu, Komunitas Pembuat Syrup Daun
Mangrove, serta Petani Bambu. Komunitas ini juga akan dilebur dengan masyarakat lokal setempat. Proses ini bertujuan menghimpun aspek partisipatori, dan eko-sosial pada
masyarakat.
Secara on step, masyarakat dikumpulkan bersama tim perencana, dan juga pengelola Mangrove Rehabilitation Center dibawah Departemen Kehutanan Kabupaten Probolinggo.
Kemudian dimulai langkah dalam sosialisasi program ekowisata dan pembangunan berbasis konservasi ekologi pada areal mangrove. Disini juga sudah disosialisasikan ulang mengenai
pentingnya pelestarian mangrove kembali termasuk didalamnya penyampaian ulang kelebihan dari mangrove, bagaimana pelestarian dan optimasinya dalam pengembangan
ekonomi lokal melalui system silvofishery.
Pada step selanjutnya diadakan workshop dan penyuluhan detail mengenai kemungkinan plan desain yang akan diaplikasikan. Termasuk didalamnya persoalan
pelatihan mengenai aplikasi penggunakan struktur bambu belah. Pada tahapan ini bambu sudah mulai dipergunakan dalam rangka simulasi dan workshop pada masyarakat setempat.
Bambu yang nantinya dipergunakan adalah bambu lokal Kraksaan, yang ditemukan dalam radius 10 km ke luar site.
Selanjutnya tahapan aplikasi desain dilakukan dengan over layering kegiatan, dimana proses edukasi arsitektural pada warga setempat dilakukan dengan hampir bersamaan dengan
pelaksanaan konstruksi berdasarkan struktur yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses ini dilakukan dengan berdampingan antara tenaga ahli, tukang, dan juga masyarakat setempat.
Partisipatory design juga akan coba dimunculkan melalui diskusi-diskusi desain antara tim perencana dengan masyarakat setempat. Dan memungkinkan akan muncul beberapa
alternative desain yang digagas bersama dari rembug antara tenaga ahli dan juga perencana.
KESIMPULAN
Kawasan Mangrove Rehabilitation Center Kraksaan – Probolinggo merupakan sebuah rancangan dari hasil telaah kritis dari beberapa program dan juga kriteria desain yang
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
111 diperlukan untuk dipenuhi dalam perancangannya. Perancangan dengan langkah seperti ini
sangat membantu dalam menetapkan programming fungsional, pola tata massa, maupun sifat ruang yang kedepan diharapkan dapat terus dikembangkan. Perancangan dengan integrasi
aspek alam dan manusia akan menghasilkan tatanan ruang yang tidak hanya akan memberikan dampak baik bagi ekologi, tapi lebih dari itu sosial, budaya, ekonomi, dan juga
pendidikan yang sangat diperlukan bagi kehidupan di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, IBY 2002 Ekowisata Rakyat. Denpasar: Press Wisnu. Frick, Heinz. 1999. Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: Kanisius
Hakim, Luchman. 2004. Dasar-dasar Ekowisata. Malang: Bayumedia Publishing. Ingels, Bjarke. 2009. Yes is More .England :Evergreen
Iqbal, M.Nelza. 2012. Implementation Concept of Ecological Architecture and Ecotourism in Wonorejo’s Mangrove Ecotourism, Surabaya
. Proceedings of the 2nd ARCASIA Student Jambore 2nd International Conference on Sustainable Technology
Developtment. Universitas Udayana, Bali Kitamura, S et.all .1997. Handbook of mangroves in Indonesia - Bali Lombok - JICA,
Japan : ISME Mahdayani, Wiwik. 2009. Panduan Dasar Pelaksanaan Ekowisata. Jakarta: UNESCO
Mukaryanti, dkk. 2005. Pengembangan Ekowisata Sebagai Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan Kasus Desa Blendung - Kabupaten Pemalang
.Jurnal Teknik Lingkungan. P3TL-BPPT, Jakarta Pena, W.2001. Problem Seeking: An Architectural Programming Primer, 4th Edition. NY:
John Wiley Sons, Inc Wijayanti, Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Wisata Pendidikan. Jurnal Ilmiah Teknik
Lingkungan Vol.1 Edisi Khusus.UPN, Surabaya Yeang, 2006. Ecodesign: A Manual for Ecological Design. UK: John Wiley Sons Ltd
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
112
FESTIVAL BUDAYA LEMBAH BALIEM SEBAGAI AJANG PROMOSI UNTUK MENINGKATKAN WISATAWAN
DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA Erinus Mosip
Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang E-mail: leksimosipyahoo.co.id
ABSTRAK
Kabupaten Jayawijaya adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Papua, dikelilingi oleh puncak-puncak gunung abadi, kawasan ini didiami oleh suku Dani, Yali dan
Kimyal. Festival Lembah Baliem merupakan suatu atraksi yang digelar oleh suku-suku di Jayawijaya menyongsong hari kemerdekaan 17 Agustus yang ditetapkan sebagai Event
Pariwisata setiap tahun. Wisatawan berkunjung ke Jayawijawa untuk melihat budaya masyarakat Suku Dani yang kental dengan budaya pakaian adat Koteka, rumah adat Honai,
budaya memasak dengan cara Bakar Batu, budaya Karapan Babi. Kabupaten Jayawijaya memiliki potensi obyek wisata yang besar namun hingga kini masih belum dikembangkan
secara optimal. Solusi untuk membangun pariwisata di Jayawijaya yaitu dengan pelayanan dari berbagai jasa usaha pariwisata dan dapat sajian kesenian dan kawasan wisata budaya.
Jayawijaya memiliki obyek wisata yang banyak, maka perlu dikembangkan obyek pariwisata budaya tersebut dengan program yang kompatibel oleh lembaga pemerintah daerah,
pengembang obyek wisata oleh swasta dan masyarakat.
Kata kunci:
festival lembah baliem, jayawijaya, suku dani, wisata budaya
ABSTRACT
Jayawijaya district is one of the districts in the Province of Papua, surrounded by mountain, the region inhabited by the Dani, Yali and Kimyal. Valley of Baliem Festival is an
attraction that was held by tribes in Jayawijaya commemorate Independence Day August 17 is designated as a Tourism Event every years. Jayawijawa tourists visiting to see the culture
Dani tribal society with a strong culture Koteka custom clothing, custom home Honai, cultural cooking in a way Bakar Batu, culture Karapan Babi. Jayawijaya has great potential
tourist attraction but it is yet developed. Solution to build the tourism Jayawijaya with services from different service offerings to businesses and arts tourism and cultural tourism
area . Jayawijaya has many attractions, it is necessary to develop the cultural tourism attraction with compatible programs by local government agencies, private developers and
attractions by the public.
Keywords
: baliem valley festival, jayawijaya, dani tribal, cultural tourism
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
113
PENDAHULUAN Latar Belakang
Lembah Baliem dikelilingi oleh Pegunungan Jayawijaya, terkenal karena puncak- puncak salju abadinya, antara lain: Puncak Trikora 4.750 m, Puncak Mandala 4.700 m
dan Puncak Yamin 4.595 m. Pegunungan ini amat menarik wisatawan dan peneliti Ilmu Pengetahuan Alam karena puncaknya yang selalu ditutupi salju walaupun berada di kawasan
tropis Jayawijaya dalam angka, 2010.
Kabupaten Jayawijaya memiliki potensi budaya yang sangat unik dan variasi sumber daya alam baik flora dengan kesuburannya, fauna endemik yang khas serta bentang alam
yang sangat indah, unik, serta beberapa bentang alam yang cukup menantang Asso et al,.2009.
Penduduk asli yang mendiami Kabupaten Jayawijaya adalah Suku Dani, Kimyal dan Suku Yali. Sebelum tahun 1954, penduduk Kabupaten Jayawijaya merupakan masyarakat
yang homogen dan hidup berkelompok menurut wilayah adat, sosial dan konfederasi suku masing-masing. Namun, saat ini penduduk Jayawijaya sudah heterogen yang datang dari
berbagai daerah di Indonesia dengan latar belakang sosial budaya beragam.
Festival Lembah Baliem atau yang lebih dikenal dengan sebutan Demonstrasi Perang- perangan merupakan suatu atraksi yang digelar oleh suku-suku di Wamena menyongsong
hari kemerdekaan RI 17 Agustus yang ditetapkan sebagai Event Pariwisata setiap tahun Jayawijaya dalam angka, 2010.
Festival Lembah Baliem awalnya merupakan acara perang antar Suku Dani, Lani, dan Suku Yali sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan. Sebuah festival yang menjadi
ajang adu kekuatan antar suku dan telah berlangsung turun temurun. Festival Lembah Baliem berlangsung selama tiga hari dan diselenggarakan setiap Bulan Agustus bertepatan
dengan bulan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Awalnya pertama kali digelar tahun 1989. Yang istimewa bahwa festival ini dimulai dengan skenario pemicu perang
Wikipedia, 2013.
Salah satu daya tarik utama Festival Lembah Baliem adalah pertunjukan perang antar suku di lahan seluas 400 meter persegi yang melibatkan ratusan masyarakat dan penari.
Sepanjang atraksi perang berlangsung, musik tradisional Papua yang dinamis akan menambah riuh suasana festival. Sebuah skenario pemicu perang akan menandai dimulainya
acara. Skenario ini biasanya berupa pembunuhan anak suku, penyerbuan ladang, atau pencurian babi. Begitu suku lain melakukan perlawanan, bersiaplah menyaksikan secara
langsung peristiwa perang antar suku yang menjadi persembahan istimewa Festival Lembah Baliem Jelajah, 2013.
Pengembangan pariwisata di Lembah Baliem meliputi pariwisata budaya dan ekowisata alam, namun dalam implementasinya dititikberatkan pada pengembangan potensi
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
114
kebudayaan. Kebijakan pengembangan pariwisata tersebut sangat erat kaitannya dengan ketertarikan wisatawan terhadap kebudayaan masyarakat di Lembah Baliem, yang menjuluki
masyarakat Lembah Baliem, dengan sebutan the real live of people kehidupan manusia yang sesungguhnya Asso et al,.2009.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan disebutkan bahwa kepariwisataan di Indonesia diselenggarakan dengan
tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan kesejahteraan rakyat; menghapus kemiskinan; mengatasi pengangguran; melestarikan alam, lingkungan dan
sumber daya; memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk rasa cinta tanah air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan mempererat persahabatan antar bangsa
Agustina, 2012. Dengan demikian, pembangunan kepariwisataan dapat dijadikan sarana untuk menciptakan kesadaran akan identitas nasional dan kebersamaan dalam keragaman.
Pembangunan kepariwisataan dikembangkan dengan pendekatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan yang berorientasi pada
pengembangan wilayah, bertumpu kepada masyarakat, dan bersifat memberdayakan masyarakat yang mencakup berbagai aspek, seperti sumber daya manusia, pemasaran,
destinasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, keterkaitan lintas sektor, kerjasama antar negara, pemberdayaan usaha kecil, serta tanggung jawab dalam pemanfaatan sumber kekayaan alam
dan budaya Penjelasan UU No. 10 tahun 2009.
Masyarakat Suku Dani secara alamiah memiliki warisan budaya yang unik, dimana kebudayaan masyarakat tersebut memiliki nilai budaya yang kental sampai saat ini. Budaya
Suku Dani patut dilestarikan dan dikembangkan ke arah wisata budaya untuk meningkatkan pendapatan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana meningkatkan wisatawan lokal dan asing di Kabupaten Jayawijaya Papua?
2. Bagaimana mempromosikan Fesival Budaya Lembah Baliem sebagai daya tarik wisatawan di Jayawijaya?
Tujuan Tujuan publikasi dari hasil pemikiran ini adalah untuk:
1. Meningkatkan kunjungan wisatawan lokal dan asing pada Festival Budaya Lembah Baliem di Jayawijaya Papua.
2. Meningkatkan jumlah kegiatan seni dan budaya melalui berbagai kegiatan yang disajikan pada kawasan wisata budaya di Jayawijaya Papua.
3. Mengungguli, mengembangkan dan memelihara kebudayaan sebagai unsur pembangunan yang sejajar dengan unsur pembangunan lainnya.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
115 4. Mengembangkan sistem pengelolaan bersama antara pelaku usaha pariwisata dengan
pelaku kesenian dalam memberikan pelayanan hiburan kepada wisatawan.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Potensi Obyek Wisata di Kabupaten Jayawijaya Papua
Festival Lembah Baliem merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Jayawijaya. Rutinitas kegiatan atraksi perang-perangan ini telah menarik
wisatawan lokal dan asing di Jayawijaya. Dalam kegiatan ini produk yang dipamerkan salah satunya adalah budaya masyarakat suku asli Jayawijaya yaitu Suku Dani, Suku Yali dan
Suku Kimyal. Kebudayaan suku-suku yang kental merupakan suatu aset yang harus dikelola dengan baik guna meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat adat atau
suku yang ada di Jayawijaya.
Kawasan Kabupaten Jayawijaya merupakan kawasan yang belum tersentuh pengaruh budaya asing seperti di wilayah Papua yang lainya, hal ini terbukti dari wisatawan yang
berkunjung ke Jayawijawa untuk melihat budaya masyarakat Dani yang kental dengan budaya pakaian adat Koteka, rumah adat Honai, budaya memasak dengan cara Bakar Batu,
budaya Karapan “Wam Ena” Babi Jinak. Budaya Karapan Wam Ena ini juga yang melatar belakangi nama kota WAMENA yaitu terdiri atas dua kata yaitu WAM dan ENA. Wam =
Babi sementara Ena = Jinak sehingga jika digabungkan menjadi WAMENA artinya Babi Jinak. Selain dari aspek budaya, Jayawijaya memiliki potensi wisata yang besar karena
memiliki tempat-tempat ekowisata diantaranya: Gunung Salju, Danau Habema, Danau air Garam, Pasir Putih, Muara Kali Balim, Rumah adat Honai, Mummi kepala suku Obahorok,
dan keunikan Lembah Baliem yang luas dikelilingi gunung-gunung seperti pagar raksasa.
Wamena boleh dikatakan cukup terkenal dari daerah lain di tanah Papua karena merupakan salah satu kota terbesar di kawasan Pegunungan Papua yaitu Kota Wamena. Kota
ini terletak di lembah Sungai Baliem dan dikelilingi oleh pegunungan, dan masyarakat Indonesia banyak yang mengetahui Wamena karena daerah ini memilki tim sepak bola yang
diperhitungkan kebolehannya yaitu club sepak bola PERSIWA WAMENA, selain itu kota ini adalah kota yang memiliki produk pertanian Kopi Arabika Wamena, kebun dan pusat
produk buah merah dan Sarang Semut yang memiliki khasiat berbagai obat.
PERMASALAHAN
Kabupaten Jayawijaya memiliki potensi obyek wisata yang besar namun hingga kini masih belum dikembangkan secara optimal oleh pemerintah daerah dan pihak pelaku usaha
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
116
pariwisata di Jayawijaya. Alasan kurang dikembangkanya obyek wisata ini dengan baik disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu:
1. Sarana transportasi
Kabupaten Jayawijaya merupakan daerah di pegunungan Papua yang hanya bisa ditempuh melalui jalur transportasi udara, pesawat yang beroperasi wilayah ini
hanya maskapai Trigana Air yang ukurannya relatif kecil dan penerbangan setiap harinya terbatas. Hal ini membatasi jumlah kunjungan di Jayawijaya.
2. Sarana hotel
Sarana hotel yang tersedia di Kabupaten Jayawijaya relatif terbatas dan kelas hotel yang ada hanya hotel kelas melati namun memiliki harga yang tinggi sama dengan
harga hotel bintang lima, hal ini membatasi wisatawan yang berkunjung.
3. Kurang adanya ketertarikan oleh investor
Kondisi geografis Kabupaten Jayawijaya di pedalaman yang aksesnya lewat udara membutuhkan modal yang besar menyebabkan para investor kurang tertarik untuk
mengembangkan di kawasan ini.
4. Masalah keamanan
Masalah keamanan di Jayawijaya yang sering terjadi perang antar pendukung partai politik dan isu gerakan Organisasi Papua Merdeka OPM menyebabkan wisatawan
belum berani ke Jayawijaya.
5. Kurang melibatkan masyarakat oleh pemerintah daerah
Pemerintah daerah dinilai belum maksimal dan serius mengembangkan obyek wisata di daerah ini, dan pemerintah hanya melibatkan masyarakat hanya pada Bulan
Agustus sebagai ajang tahunan sementara pada waktu yang lainnya tidak, hal ini menyebabkan program tidak berkelanjutan namun hanya musiman.
SOLUSI Konsep Pengembangan Kawasan Wisata Budaya Kabupaten Jayawijaya Papua
Pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan di kawasan Jayawijaya dalam upaya mensinergikan berbagai kepentingan dari kawasan ini merupakan keterpaduan pengelolaan
yang memiliki nilai promosi yaitu one stop service, yang intinya tempat ini dapat memberikan pelayanan dari berbagai jasa usaha pariwisata dan dapat menikmati berbagai
sajian kesenian dan kawasan wisata budaya, hal ini nanti akan mencerminkan pengelolaan wisata budaya secara terpadu untuk tercapainya optimalisasi aset kepariwisataan dan
kebudayaan sebagai langkah pemberdayaan masyarakat suku - suku yang ada di Jayawijaya.
Memperbanyak variasi produk baru yang berbasis sumber daya budaya dengan konsep pelestarian lingkungan dan konsep partisipasi masyarakat, merupakan konsep yang diajukan
untuk meningkatkan peningkatan keunikan, kelokalan dan keaslian daerah dalam memasuki
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
117 persaingan penawaran produk alternatif. Konsep kawasan wisata budaya mengetengahkan
unsur-unsur budaya Suku Dani sebagai produk budaya yang dapat mendorong terciptanya pemberdayaan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Perpaduan antara fasilitas
usaha pariwisata kawasan wisata yang dipadukan dengan produk budaya dalam satu Philisophy of Leisure akan memberikan penampilan yang baik, dan mendukung terhadap
kualitas penyelenggara. Konsep keterpaduan fasilitas dalam kawasan mendorong wisatawan akan menikmati suasana santai yang berpengaruh kepada bertambahnya lama tinggal dan
belanja wisatawan serta mengenalkan budaya Suku Dani, Yali dan Kimyal kepada dunia luar sebagai kekayaan budaya Indonesia.
Pendekatan Pengembangan Pariwisata di Kawasan Jayawijaya Papua
Pendekatan perencanaan pengembangan meliputi: 1. Pendekatan Participatory Planning, dimana seluruh unsur yang terlibat dalam
perencanaan dan pengembangan kawasan wisata budaya diikutsertakan, yaitu masyarakat dan pelaku usaha pariwisata
2. Pendekatan potensi dan karakteristik ketersediaan produk budaya yang dapat mendukung keberlanjutan pengelolaan kawasan wisata budaya.
3. Pendekatan pemberdayaan masyarakat, adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan kemampuannya agar tercapai kemampuan baik
yang bersifat pribadi maupun kelompok. 4. Pendekatan kewilayahan, dimana faktor keterkaitan antar wilayah merupakan
kegiatan penting yang dapat memberikan potensi sebagai bagian yang harus dimiliki dan diseimbangkan secara berencana
5. Pendekatan optimalisasi potensi, dalam optimalisasi potensi yang berada di wilayah kecamatan atau di desa-desa perkembangan potensi kebudayaan masih jarang
disentuh atau digunakan sebagi sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Oleh karena itu optimalisasi kebudayaan dan kepariwisataan harus menjadi bagian yang
integral dalam proses pembangunan wilayah.
6. Pendekatan Event Rutin. Dimasukan dalam program kerja tahunan oleh pemerintah daerah melalui dinas pariwisata dengan program VISIT TO JAYAWIJAYA atau
dengan menetapkan Bulan Agustus sebagai Bulan Berkunjung ke Jayawijaya BBJ. 7. Pendekatan Promosi yang intensif. Promosi merupakan hal penting dalam
meningkatkan jumlahminat wisatawan, oleh karena itu perlu dilakukan melalui berbagai media baik media cetak, elektronik dan lain-lain.
8. Pendekatan Good Goverment. Untuk menciptakan wilayah pariwisata yang baik maka perlu membangun pemerintahan daerah yang baik melalui birokrasi,
pembangunan sarana prasarana dan menciptakan keamanan daerah yang kondusif secara berkelanjutan.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
118
KESIMPULAN
Berdasarkan permasalahan dan konsep yang dimuat dalam artikel ini dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: Jayawijaya memiliki obyek wisata yang banyak, maka
perlu dikembangkan obyek pariwisata budaya tersebut dengan program-program yang kompatibel oleh lembaga pemerintah daerah, pelaku usaha pariwisata dan masyarakat
dengan pendekatan-pendekatan:
Participatory Planning, Potensi dan Karakteristik,
Pemberdayaan Masyarakat, Kewilayahan, Optimalisasi Potensi, Event Rutin Tahunan, Promosi Intensif, dan Good Goverment.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina N, 2012. Desa Budaya Kertalangu sebagai Usaha Daya Tarik Wisata di Kota Denpasar. Universitas Udayana: Denpasar Bali
Asso, B et al. 2009. Kajian Strategis Pengembangan Potensi Ekowisata di Lembah Baliem sebagai Suatu Alternatif Pengelolaan Pariwisata Berkelanjutan. ECOTROPHIC 4 1:
31 - 37 ISSN: 1907-5626 Fakultas Pariwisata Udayana: Denpasar Bali Sastryuda Gumelar S. 2010. Konsep Pengembangan Kawasan Wisata Budaya. Hand Out
Mata Kuliah Concept Resort and Leisure, Strategi Pengembangan dan Pengelolaan Resort and Leisure
Team Penyusun. 2010. Jayawijaya dalama angka. Data Statistika Kabupaten Jayawijaya www. Wikipedia 2013. Lembah Baliem.com. diunggah tgl 20 Oktober 2013
www.http: blogspot.jelajah.com 2013. diunggah tgl 20 Oktober 2013
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
119
LAMPIRAN
Gambar 1. Kegiatan Festival Lembah Baliem
Keterangan: Drama Perang-perangan oleh Suku Dani lengkap dengan Pakaian adat Koteka
dalam Rangka Festiva Lembah Baliem pada Bulan Agustus di Wamena Jayawijaya Papua
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
120
BALI DAN PAPUA DI GARIS DEPAN GLOBAL: REFLEKSI EKOLOGI DAN PARIWISATA
2
I Ngurah Suryawan
Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua UNIPA Manokwari, Papua Barat
E-mail: ngurahsuryawangmail.com
ABSTRAK
Artikel ini memfokuskan dalam memahami Bali dan Papua sebagai dua daerah di Indonesia yang menjadi rebutan kuasa investasi global. Jejaring global itulah yang masuk
hingga ke kampung-kampung di Papua dan menghabiskan tebing-tebing dan tanah orang Bali menjadi hotel, villa dan fasilitas pariwisata lainnya. Artikel ini merefleksikan
pengalaman Papua yang lingkungan alamnya tereksploitasi dan meminggirkan masyarakat lokal Papua sendiri. Di Bali, pariwisata telah menjadi ideologi baru yang mempengaruhi cara
berpikir dan budaya masyarakat Bali. Pengalaman tersebut dapat merefleksikan wacana dan kebutuhan pengembangan ekowisata. Ekowisata sepatutnya diimplementasikan dalam
kehidupan keseharian masyarakat, promosi budaya dan menghargai identitas masyarakat lokal.
Kata kunci: global, refleksi, ekologi, pariwisata, ekowisata, rekognisi
ABSTRACT
This article focuses on understanding the Bali and Papua as two areas in Indonesia where became seizure power of global investment. Global networks has intervened villages
land in Papua. In Bali, they also destructed environment and land, and developed hotels, villas and other tourism facilities. This article reflects the experience of Papua in exploitation
of the natural environment and in marginalizing local communities. In Bali, tourism has become a new ideology that affects the thinking and culture ofthe Balinese people. The
experience may reflect discourse and ecotourism development needs. Ecotourism should be implemented in real economic activities, promotion of cultural existence and appreciation of
local communities identity.
Keywords: global, reflection, ecology, tourism, ecotourism, recognition
2
Beberapa bagian dalam artikel ini pernah dipublikasikan dalam I Ngurah Suryawan, Jiwa yang Patah Yogyakarta: Kepel Press dan Pusbadaya Unipa, 2012 dan I Ngurah Suryawan, Kiri Bali:
Sepilihan Esai Kajian Budaya Yogyakarta: Kepel Press dan Jurusan Antropologi UNIPA, 2013.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
121
PENDAHULUAN
Dalam sebuah perjalanan di Bulan Mei 2011 ke Kabupaten Teluk Bintuni di Provinsi Papua Barat, saya mendapatkan inspirasi untuk menulis bagian ini.
3
Dari Kota Manokwari, saya menggunakan pesawat kecil Susi Air menuju daerah yang disebut-sebut salah satu
kabupaten di tanah Papua dengan anggaran belanja daerah yang besar ini. Di kabupaten inilah berdiri perusahaan BP British Petrolium Indonesia yang melakukan eksplorasi gas
dengan nama proyeknya, Kilangan LNG Tangguh, dengan jenis produksi SDA, Gas Alam CairLNG. Lokasi aktivitasnya berada di Kawasan Teluk Bintuni yang meliputi wilayah
administratif 4 empat distrik Babo, Bintuni, Aranday dan Merdey di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat.
Masuknya perusahaan BP sebagai MNC Multinational Corporation terbesar kedua setelah PTFI PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, mengundang
berbagai bentuk program-program “pemberdayaan” terhadap masyarakat tempatan. Berbagai proyek untuk menunjukkan kepedulian sosial perusahaan MNC inipun menggelinding mulus
untuk masyarakat lokal. Namun sayang, listrik di kabupaten ini tidaklah hidup 24 jam. Selain hidup dan mati tidak menentu, ada jam-jam yang khusus terjadi pemadaman listrik. Bahkan,
sudah menjadi kewajiban bagi instansi pemerintah untuk membeli genset karena begitu seringnya listrik mati.
Saat saya menginjakkan kaki di Tanah Papua, saya beruntung mendengar kisah dari Mama Yance yang berjualan pinang di depan asrama dosen tempat saya tinggal. Mama
bercerita bagaimana ia dan seorang anaknya berkebun di sebuah kampung di pinggiran kota. Selain berkebun pinang, mama dan anaknya juga menanam sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dua atau tiga kali seminggu mama berjualan hasil kebunnya ke pasar di kota atau menumpang berjualan sirih pinang di dekat kampus. Saingan mama bukan hanya para
pendatang yang juga berjualan pinang, tapi para pedagang bermodal besar yang menghuni kios-kios di deretan terbawah pasar tingkat di pusat kota, sementara Mama Yance hanya
berjualan dengan menggelar karung di tanah dan kemudian menggelar dagangannya. Beberapa meter dari tempat Mama Yance berjualan, jaringan internasional hotel megah dan
deretan supermarket dengan reklame makanan siap saji berdiri menjulang.
Saat mengunjungi Kota Timika, ibukota Kabupaten Mimika Provinsi Papua akhir Oktober 2011, saya sempat mengunjungi pasar Timika. Mama-mama dari Suku Mee hanya
terlihat segelintir dibandingkan pedagang-pedagang dari luar Papua. Mama-mama yang saya temui menjual hasil-hasil bumi yang menurut pengakuan mereka dipetik langsung dari
kebun. Meskipun telah disediakan lapak semen yang permanen, mama-mama ini lebih memilih untuk menggelar dagangan yang telah mereka kelompokkan beralas noken tas,
karung atau plastik. Beberapa diantara mereka menjual noken-noken yang dipajang berjejer.
3
Catatan lapangan di Kabupaten Teluk Bintuni, Mei-Juni 2011
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
122
Beberapa diantaranya adalah noken bermotif bendera bintang kejora dengan tulisan “Wets Papua”. Seorang teman dari Suku Mee yang menemani saya berbincang dengan Bahasa Mee
kepada mama-mama dorang mereka. Terlihat mama-mama disamping saya tertawa lepas sambil sa pu saya punya teman menjelaskan bahwa kata yang benar adalah “West Papua”
di atas bendera bintang kejora.
4
Pada kesempatan lain, di pertengahan tahun 2010 saya sempat mengunjungi Pasar Gelael Jayapura. Dari sore hingga malam saya memperhatikan aktivitas mama-mama Papua
yang sibuk berjualan. Dari sore hari mama-mama Papua berdatangan entah darimana mulai memenuhi halaman di depan pasar swalayan Gelael. Di lantai pertama adalah swalayan dan
di lantai dua berdiri megah KFC. Mama-mama Papua berdatangan dengan membawa barang dagangan berupa sayur-sayuran, sirih pinang, buah-buahan, patatas, ubi, dan lainnya.
Dengan menggendong karung-karung, para mama ini mulai menggelar tikar dan alas seadanya untuk kemudian menggelar dagangannya. Sebagian dari mereka saya perhatikan
mulai mengeluarkan barang dagangan dari karung kemudian menggelarnya dalam bagian- bagian kecil. Sementara saya melihat orang-orang berbaju seragam pegawai negeri keluar
masuk Supermarket Gelael dan KFC. Mereka saya perhatikan berlama-lama berbelanja di dalam supermarket. Ada beberapa orang yang tampak bercengkerama di KFC.
Narasi di atas menggambarkan bagaimana sangat masifnya investasi yang masuk ke Papua yang beriring berjalan dengan terpinggirnya masyarakat lokal Papua sendiri. Kondisi
setali tiga uang terjadi di Bali. Di wilayah Kerobokan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, kini memang menjadi primadona kalangan ekspatriat dan kelas menengah Indonesia untuk
berinvestasi. Berjejer-jejer villa megah dibangun hingga ke bibir-bibir pantai. Selain villa, sarana hiburan seperti café, diskotik serta ruko-ruko, salon, spa, pusat perbelanjaan, butik-
butik dan restoran berbagai jenis makanan tanpa jenuh selalu hadir silih berganti di kawasan Kerobokan. Maka tidaklah heran jika sampai pagi buta, geliat kehidupan di Kerobokan tidak
pernah terhenti. Semua sarana kebutuhan para ekspatriat telah terpenuhi di Kerobokan. Hanya dengan 10 menit bersepeda motor, mereka bisa menikmati dentum musik para DJ di
diskotik-diskotik di wilayah Kuta.
Siapa yang membayangkan daerah Kerobokan akan seramai seperti sekarang? Seperti juga siapa yang menyangka Kuta akan menjadi “kampung internasional”. Saat tahun 1986,
jalan-jalan di Kuta dan Kerobokan seperti dicatat Setia 1986; Sujaya, 2002 seperti kubangan kerbau. Malam hari gelap gulita tanpa adanya penerangan. Pantai Kuta, Seminyak,
dan Loloan Yeh Poh, tiga pantai di kawasan Kuta-Kerobokan sangat kotor. Perahu-perahu nelayan berjejer menunggu melaut. Kuta kemudian lebih dulu berkembang berkat ide dari
Dokter Made Mandara yang membenahi rumahnya untuk dijadikan penginapan temannya seorang bule. Langkahnya kemudian diikuti warga lainnya yang menyulap sebagian
4
Catatan lapangan di pasar Kota Timika, Oktober 2011.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
123 rumahnya untuk penginapan murah. Deburan ombak pantai Kuta untuk berselancar menjadi
daya tarik tersendiri para para turis anak muda. Maka, mulailah industri pariwisata menerjang Kuta. Seolah tanpa henti, pembangunan
infrastruktur pariwisata melalap setiap jengkal tanah di seluruh wilayah Kuta. Saat pariwisata Kuta jenuh, yang menjadi incaran adalah daerah-daerah di sekitarnya yang masih
“perawan” dari tangan-tangan investasi. Wilayah Kerobokan menjadi sasaran berikutnya pasca 1998, ketika kelompok kelas menengah kaya mencari lahan baru yang aman
berinvestasi. Petani-petani Desa Kerobokan menjadi gagap, seolah tak percaya ketika para tukang kapling tanah membujuk mereka menjual tanah dengan harga yang menggiurkan
ketika itu. Tak kuat menahan bayangan rupiah yang melimpah, tanah leluhur di Kerobokan perlahan-lahan namun pasti ludes terjual. Meski desa pakraman melarang warganya menjual
tanah, banyak cara yang dilakukan untuk mensiasatinya. Salah satunya adalah meminjam Kartu Tanda Penduduk KTP krama desa pakraman, mengawini gadis Bali atau
“kerjasama” dengan krama desa pakraman untuk berusaha Kompas, 22 Februari 2008.
Artikel ini mendalami konteks Bali dan Papua, yang mencerminkan terhimpitnya daerah-daerah di negeri di tengah kuasa investasi global yang masuk melalui perusahaan-
perusahaan trans nasional yang mengeruk kekayaan lingkungan alam. Investasi dalam kasus Bali menunjukkan bagaimana melalui jalan pariwisata, kuasa global menjalar kepada
kehidupan ekonomi sosial dan budaya masyarakat Bali hingga kini. Data-data lapangan dikumpulkan melalui penelitian lapangan secara partisipatif dan wawancara mendalam.
Artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi dan memeriksa kembali pemahaman tentang beragam konsep-konsep pembangunan yang justru semakin lama semakin meminggirkan
masyarakat lokal yang seharusnya menjadi subyek dan tersejahterakan.
Di Bawah Cengkraman Emas dan Dollar
Kompleksitas masyarakat tempatan hari ini diantaranya adalah posisi mereka di tengah himpitan penetrasi modal yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya
manusia. Tangan-tangan eksploitasi tersebut dipraktikkan dengan sangat massif oleh perusahaan transnasional dalam bentuk jejaring kuasa kapital global. Di tengah terjangan
tersebut, kisah-kisah pelantunan identitas budaya masyarakat tempatan berada di garda depan frontier. Pada ruang-ruang interkoneksi jejaring kuasa politik global dan budaya
masyarakat tempatan ini akan terlihat fragmen-fragmen siasat manusia memanfaatkan peluang ekonomi politik dan juga lantunan-lantunan kisah penegakan identitas budayanya.
Bagian ini akan memetakan sebagian kecil investasi yang masuk ke Bali dan Papua serta dampak-dampak yang ditumbulkannya. Di Papua, tentu tidak akan bisa dilupakan
bagaimana Freeport memulai jaringan investasi pengerukan tambang emas pada tahun 1960- an. Freeport sebelumnya bernama Freeport Sulphur yang di Indonesia disebut PT Freeport
Indonesia PTFI dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya. Freeport
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
124
McMoRan, sebuah perusahaan AS, mulai melakukan kegiatan eksplorasi di Papua bagian selatan pada tahun 1960. Perusahaan tersebut menandatangani kontrak produksi dengan
Indonesia pada tahun 1966, tiga tahun sebelum diberlakukannya kekuasaan Indonesia atas Papua. Soeharto bersama rezimnya yang didukung militer sangat membutuhkan modal asing,
dan Freeport diberi keleluasaan besar dalam menyusun ketentutuan-ketentuan dari investasinya sendiri. Tambang tersebut dikelola oleh anak perusahaan bernama Freeport Indonesia, yang
dikendalikan oleh Freeport McMoRan. ICG, 2002: 20
Freeport adalah investor asing pertama yang menanamkan modal di Papua dan juga di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru. Untuk kegiatan pertambangannya, Freeport
menggunakan lahan Suku Amungme. Protes pertama dari Amungme muncul sejak 1967. Sejumlah rakyat Amungme menanam patok kayu berbentuk salib di sekeliling peralatan dan
kemah tim eksplorasi Freeport. Protes dan keberatan Amungme terhadap Freeport kian mengeras pada 1973. Freeport dan pemerintah segera membuat perjanjian dengan Amungme
dari Tsinga dan Waa dalam January Agreement 1974. Untuk Freeport, perjanjian ini penting sebagai bukti ijin tertulis untuk kegiatan pertambangan dari Amungme pasal 5 dan
larangan bagi Amungme untuk memasuki lokasi-lokasi kegiatan pertambangan dan tempat tinggal karyawan pasal 6 dan lampiran 4. Dengan demikian Freeport mendapatkan
jaminan tertulis bahwa tidak akan ada lagi gangguan dari Amungme Widjojo, 2001: 16.
Pada tahun 1988, Gunung Grasberg yang letaknya bersebelahan dengan tambang yang ada ternyata ditemukan mengandung cadangan mineral yang sangat besar. Grasberg mengubah
Freeport menjadi salah satu penghasil tembaga dan emas yang terbesar di dunia, dan mendongkrak pentingnya Papua bagi Indonesia. Kritik terhadap praktek-praktek lingkungan
perusahaan mulai meningkat, khususnya mengenai dampak limbah tambang terhadap sungai- sungai dan penduduk yang menghuni daerah di sekitar sungai tersebut. Setelah sebuah
pemberontakan memaksa ditutupnya tambang tembaga Bougainville di negara tetangga Papua Niugini, para pejabat Freeport meningkatkan program-program sosial dan mulai bersikap lebih
terbuka untuk mengakui kesalahan-kesalahannya di masa lalu. ICG, 2002: 21
LNG Tangguh menggunakan lahan seluas kurang lebih 3.000 hektar, jauh lebih kecil dibanding daerah tambang seperti Freeport atau operasi penebangan kayu yang besar. Akan
tetapi dampak ekonomi, sosial dan politiknya bakal cukup besar. BP berencana menanam jumlah sebesar AS2 milyar, yang bisa menghasilkan pendapatan sebesar AS32 milyar antara
tahun 2006, saat ekspor direncanakan mulai, dan 2003. Diperkirakan pemerintah pusat akan menerima hampir 9 milyar dolar AS dari proyek tersebut selama masa itu, dimana sekitar 3,6
milyar dolar AS akan disalurkan ke Papua.
Proyek tersebut bakal berdampak sangat besar terhadap petani dan nelayan yang menghuni wilayah teluk, selain terhadap ekonomi dan masyarakat di pedalaman, termasuk
kota-kota Sorong, Manokwari, dan Fakfak. Dampak tersebut sebagian positif, berupa lapangan pekerjaan, program pengembangan masyarakat dan pendapatan, namun sebagian lagi negatif
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
125 karena bakal terjadi pengacauan sosial serta kemungkinan konflik. Ada pula kemungkinan
dampak negatif terhadap lingkungan, misalnya pencemaran terhadap wilayah penangkapan ikan setempat karena proyeknya sendiri atau oleh kapal tangki yang berkunjung. Risiko-risiko
tersebut melampaui jangkauan laporan ini, namun demikian hal itu jika tidak ditangani dengan cermat dapat menimbulkan ketegangan sosial ICG, 2002: 26-27
Di Bali, sebagaimana kita tahu sama tahu, energi dan semua kemampuan masyarakat dimobilisasi untuk bersilat lidah dalam wacana pelestarian budaya. Didukung sponsor negara
dengan aparatus dan modalnya, wacana tentang pelestarian budaya menjadi peluang bagi para akademisi, budayawan, politisi hingga tokoh masyarakat mewacana pencanggihan
pelestarian budaya. Gula-gulanya adalah siasat manusia mencari akses ekonomi politik dibawah koor pelestarian budaya.
Penggalian-penggalian otentisitas keaslian budaya inilah yang ditangkap oleh kuasa kapital global bernama pariwisata. Didukung oleh gerakan-gerakan kelas menengah baru
dalam pencarian esensialisme, kebudayaan Bali menjadi komoditas kapitalisme kultural baru Santikarma, 2003; Nordholt, 2010 yang sangat menjanjikan sekaligus memprihatinkan.
Menjanjikan karena akan menjadi modal luar biasa dalam mengekspor otentisitas dalam promosi pariwisata Bali. Memprihatinkan saya kira karena menutup ruang wacana kritik
kebudayaan, yang melihat kebudayaan sebagai yang cair, dinamis, dan pewacanaan kebudayaan sebagai refleksi manusia Bali sendiri.
Negara dan modal berkolaborasi untuk menguasai ekonomi makro yang merangsek ekonomi rakyat. Ppemihakan terhadap perekonomian rakyat seakan hanya janji kosong para
birokrat dan politisi. Deru investasi masuk tanpa henti menghasilkan deretan ruko, hotel, apartemen, supermarket, bahkan menyulap tanah masyarakat lokal menjadi perkebunan
kelapa sawit hingga coklat. Pasar tradisional tempat mama-mama Papua berjualan minim sekali untuk terjamah anggaran dana otus atau APBD. “Pejabat dong mereka hanya pikir
perut sendiri saja. Tong kita hanya bisa lihat bagaimana dong baku tipu mereka saling tipu sampeeeee dana habis”, keluh mama-mama di pasar yang saya dengar.
Di tengah interkoneksi global yang menerjang masyarakat tempatan, menegakkan identitas diri menjadi sesuatu yang sulit sekaligus paradoks. Gerakan-gerakan sosial
kemasyarakatan kini praksis terjebak dalam lingkaran interkoneksi global ini. Masyarakat yang sedang bergerak ini terus mencari konstruksinya sendiri di tengah bentangan dunia
sebagai pasar global. Gerakan-gerakan sosial mewakili komunitas tempatan, adat, atau revitalisasi kebudayaan kadang tidak terlepas dari penetrasi kuasa global kapital ini.
Lantunan gerakan penguatan kebudayaan Ajeg Bali baca: pencarian otentisitas nilai budaya Bali tidak semurni untuk nindihin Bali membela Bali seperti apa yang sering dimuat di
media-media lokal, tapi penuh dengan tipu muslihat dan kisah-kisah interkoneksi yang aneh dengan kuasa kapital bernama pariwisata, industri media, dan romantisasi keagungan
kebudayaan Bali.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
126
Globalisasi dan Manusia di Garis Depan
Globalisasi seperti yang diungkapkan Ted C. Lewellen 2002: 7-8 dalam Laksono, 2011: 13-14 adalah peningkatan arus perdagangan, keuangan, kebudayaan, gagasan dan
manusia sebagai akibat dari tekonologi canggih di bidang komunikasi, perjalanan dan dari persebaran kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia, dan juga adaptasi lokal dan
regional serta perlawanan terhadap arus-arus itu. Suka tidak suka, kita menelan dunia dan kita pun ditelan dunia. Globalisasi juga mengobarkan perlawanan, dibenci tapi dirindukan
setengah mati.
Globalisasi seringkali dikaitkan dengan isu pasar bebas, liberalisasi ekonomi, westernisasi atau Amerikanisasi, revolusi internet dan integrasi global. Ini tentu saja tidak
salah karena globalisasi mula-mula pada tahun 1985 digunakan oleh Theodore Levitt untuk mengacu pada politik ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi
keuangan. Pandangan teoritikus sosial kemudian mengungkapkan globalisasi mengacu pada perubahan-perubahan mendasar dalam tekuk-tekuk ruang dan waktu dari keberadaan sosial.
Mengikuti perubahan ini, secara dramatik makna ruang atau teritori bergeser dalam akselerasinya pada struktur temporal bentuk-bentuk penting aktivitas manusia. Pada saat
bersamaan terjadi juga pengaburan batas-batas lokal bahkan nasional dalam banyak arena kegiatan manusia. Globalisasi dengan demikian mengacu pada bentuk-bentuk aktivitas sosial
non teritorial. Lebih dari itu, globalisasi terkait dengan pertumbuhan interkoneksi sosial melintasi batas-batas geografi dan politik atau deteriteorialisasi. Globalisasi itu juga terkait
dengan pertumbuhan interkoneksi sosial melintasi batas-batas geografi dan politik atau deteriteorialisasi. Tahap yang paling menentukan dalam globalisasi adalah ketika peristiwa-
peristiwa dan kekuatan-kekuatan yang jauh mempengaruhi prakarsa-prakarsa lokal dan regional.
Globalisasi juga mengacu pada kecepatan atau velositas aktivitas sosial. Deteriteorialisasi dan interkoneksi memang mula-mula seperti hanya soal keruangan semata.
Tetapi nyatanya perubahan spasial ini langsung berhubungan dengan bentuk-bentuk penting dari aktivitas sosial. Dengan demikian globalisasi merupakan proses yang panjang dan
bermuara banyak sebab deteriteorialisasi, interkoneksi dan akselerasi sosial itu bukan peristiwa kehidupan sosial yang tiba-tiba dan menerpa arena sosial ekonomi, politik dan
kebudayaan yang berbeda-beda. Laksono, 2011: 13-14
Penetrasi modal dalam bentuk investasi kuasa kapital global menjadi monumen bagaimana eksploitasi dalam mengeruk sumber daya alam di Tanah Papua. Penetrasi modal
menjadi ladang bertemunya banyak kepentingan untuk “memainkan sistem” dan memanfaatkan peluang untuk merebut keuntungan sebenar-besarnya. Wajah Freeport adalah
cermin dari: kuasa kapitalisme modal, pongah dan rakusnya rezim negara, wajah militeristik dan kekerasanan yang telah disogok oleh kuasa modal, dan agen-agen dari elit politik dan
kekuasaan lokal yang mencari celah peluang untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
127 Kompleksitas masyarakat tempatan hari ini diantaranya adalah posisi mereka di
tengah himpitan penetrasi modal yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Tangan-tangan eksploitasi tersebut dipraktikkan dengan sangat masif oleh
perusahaan transnasional dalam bentuk jejaring kuasa kapital global. Di tengah terjangan tersebut, kisah-kisah pelantunan identitas budaya masyarakat tempatan berada di garda
depan frontier. Pada ruang-ruang interkoneksi jejaring kuasa politik global dan budaya masyarakat tempatan ini akan terlihat fragmen-fragmen siasat manusia memanfaatkan
peluang ekonomi politik dan juga lantunan-lantunan kisah penegakan identitas budayanya.
Fragmen-fragmen penggalan kisah-kisah tak beraturan manusia di garis depan frontier inilah yang oleh Anna Lauwenhaupt Tsing 2005 disebut dengan friksi friction,
ruang “hampa makna” manusia di tengah interkoneksi global. Manusia-manusia bersiasat saling tikam, baku tipu memanfaatkan peluang-peluang yang dihadirkan oleh investasi dan
kuasa global kapital. Negara dan hukum absen bahkan menjadi salah satu pion dalam jejaring global ini. Yang ada hanyalah persaingan kekuatan modal dan gembar-gembor
kisah-kisah fantastis penciptaan komoditas. Pada ruang-ruang inilah, masyarakat tempatan berada di ruang hampa makna, ketika penegakan identitas tidak bisa serta merta mendaku
kepada tanahnya yang telah dikuasai kuasa modal global.
Dalam ruang friksi inilah seluruh gerak kekuatan masyarakat terinfeksi kuasa modal global. Identitas dan kebudayaan lokal direproduksi menjadi komoditas yang diceritakan,
“diomong kosongkan”, dilebih-lebihkan untuk kemudian diwariskan dan didramatisir menjadi komoditas bernama otentisitas. Pada momen inilah pelemahan-pelemahan gerakan
rakyat terus menerus tanpa henti. Rekognisi terhadap gerakan rakyat dan penegakan identitas budaya masyarakat tempatan tertelan kuasa global kapital. Rekognisi terhadap
pemberdayaan petani di Bali tertimbun wacana pelestarian budaya dan isu global pariwisata. Penetrasi modal menggerus tanah-tanah manusia Bali untuk infrastruktur pariwisata. Lahan
persawahan terhimpit gedung-gedung ruko atau jejeran vila-vila di pinggir tebing. Bahkan, pemandangan persawahan menjadi komoditas untuk pariwisata.
Jauh di kampung-kampung pegunungan Papua, pembangunan infrastruktur jalan menembus daerah-daerah terisolir. Alih fungsi lahan yang dimiliki masyarakat lokal disulap
menjadi perkebunan kelapa sawit ratusan hektar. Introduksi program transmigrasi menggerus tanah-tanah adat untuk pemukiman penduduk dan daerah pertanian. Dengan dana otonomi
khusus, pembangunan infrastruktur terus digenjot tanpa henti. Posisi masyarakat tempatan langsung bertemu dengan kekuatan ekonomi global. Berbagai perubahan sosial pun terjadi
begitu cepat. Relasi-relasi baku tipu ekonomi politik yang “mengalahkan” masyarakat tempatan menjadi cerita yang begitu biasa diungkapkan. Kisah-kisah keterbelakangan yang
bertemu dengan simbol modernitas bernama industri kapitalisme internasional bagai kisah ironis yang menyesakkan dada.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
128
Puncak-puncak kemewahan yang ditunjukkan perusahaan MNC berhadapan dengan kondisi masyarakat tempatan, yang sebenarnya mempunyai hak di atas tanah mereka.
Gedung-gedung bertingkat dengan fasilitas mewah berdampingan dengan rumah-rumah papan sederhana masyarakat lokal. Pada relasi-relasi itulah yang terjadi bukan hanya
penjajahan dalam bentuk penetrasi eknomi global, tapi lebih dalam kepada penjajahan secara produktif dalam cara berpikir yang dilakukan industri ekonomi global yang menggandeng
pemerintah daerah dalam melakukan intervensinya. Penjajahan itu dilakukan melalui serangkaian teori dan pendekatan politik budaya yang diskriminatif, dipraktikkan dengan
massif dalam kerangka “pembangunan masyarakat tertinggal”. Maka tak heran jika citra Papua yang lahir kemudian adalah tidak berbudaya, bodoh, terbelakang, terasing, barbar.
“Indonesia dorang” merancang secara sistematis yang menempatkan Bangsa Papua tidak punya kebudayaan. Kalaupun punya, derajatnya lebih rendah dari kebudayaan Indonesia dan
“terasing” tidak dinamis. Kesaksian seorang masyarakat di birokrasi menunjukkan hal ini. Meski tidak disebutkan dalam kata-kata, dalam modul-modul pelatihan aparat pemerintah,
perspektif berpikir diskriminatif ini terus-menerus terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
-----------------------------, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari ed. 2008. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Larasan, KITLV Jakarta dan Penerbit Obor.
-----------------------------, dan Gerry van Kliken ed. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Penerbit Obor dan KITLV Jakarta.
--------, I Gusti Ngurah, 1999, Keresahan dan Gejolak Sepuluh Tahun terakhir di Bali: Beberapa Catatan tentang Perubahan Sosial di Era “Globalisasi” dalam Henri
Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary ed, Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Jakarta, Ecole Francaise dExtreme-Orient, Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional dan Yayasan Obor Indonesia.
------------------------------. 2006. The Spell of Power, Sejarah Politik Bali 1650-1940. Denpasar: Pustaka Larasan.
Bagus, I Gusti Ngurah. 2004. Mengkritisi Peradaban Hegemonik. Denpasar: Kajian Budaya Universitas Udayana Books.
Garda Papua, 2009. “Sejarah Perkembangan Masyarakat Papua” Draft diajukan dalam Kongres I Garda Papua, Port Numbay 31 Oktober – 2 November 2009.
ICG. 2002. “Sumberdaya dan Konflik di Papua”, Update Briefing, Asia Briefing No. 39. JakartaBrussels, 13 September 2002.
ICG. 2006. “Bahaya yang Dapat Timbul Jika Menghentikan Dialog”, Update Briefing, Asia Briefing No. 47. JakartaBrussels, 23 Maret 2006.
Kompas, 23 Februari 2010 Laksono, P.M. 2009. “Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad Kedua Puluh Satu: Memahami
Invisibilitas Budaya di Era Globalisasi Kapital”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
129 Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 27 Oktober
2009. Laksono, P.M. 2010. “Kontekstualisasi Pendidikan Antropologi Indonesia”. Makalah
dalam Sarasehan AJASI Asosiasi Jurusan Antropologi Seluruh Indonesia di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Laksono, P.M. 2010b. “Mewacanakan Pemberdayaan Masyarakat dalam Antropologi”. Makalah dalam Kongres Asosiasi Antropologi Indonesia ke-3 dan Seminar
Antropologi Terapan di Cisarua 21-23 Juli 2010. Laksono, P.M. 2011.
“Ilmu-ilmu Humaniora, Globalisasi, dan Representasi Identitas”. Pidato yang disampaikan pada Peringatan Dies Natalis ke-65 Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 3 Maret 2011. Mantra, Ida Bagus. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Dharma Sastra.
Mudana, Gde, 2005, “Pembangunan Bali Nirwana Resort di Kawasan Tanah Lot: Hegemoni dan Perlawanan di Desa Beraban, Tabanan, Bali” disertasi Program Doktor, Program
Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Udayana Bali. Nordholt, Henk Schulte. 2002. Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Picard, Michel. 2006. Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Jakarta: KPG.
Pitana, I Gde. 1999. Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad. Denpasar: Bali Post.
Santikarma, Degung. 2002. “Budaya Siaga dan Siaga Budaya”. Kompas Minggu 6 November 2002.
Suryawan, I Ngurah, 2013. Kiri Bali, Sepilihan Esai Kajian Budaya. Yogyakarta: Kepel Press dan PUSBADAYA UNIPA.
Suryawan, I Ngurah. 2010. “Pemekaran Daerah dan Transformasi Identitas Budaya di
Kota Manokwari, Papua Barat” Makalah belum diterbitkan dalam Seminar Internasional Percik 2010 di Salatiga
Suryawan, I Ngurah. 2012. Jiwa yang Patah. Yogyakarta: Kepel Press dan PUSBADAYA UNIPA.
Tsing, Anna. Lowenhaupt. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection. Princeton and Oxford: Princeton University Press.
Vikers, Adrian. 1989. Bali: A Paradise Cretated. Victoria: Penguin. Widjojo dkk, Muridan. 2009. Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Past
and Widjojo, Muridan. 2001. “Diantara Kebutuhan Demokrasi dan Kemenangan Kekerasan:
Konflik Papua Pasca Orde Baru”, Paper dalam kerangka “Proyek Penelitian Transisi Demokrasi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh LP3ES dan disponsori oleh The
Ford Foundation pada tahun 2001.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
130
FUNGSI IZIN DALAM PENGENDALIAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH
Fatkhurohman
Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang E-mail: kusumo_uwgyahoo.co.id
ABSTRAK
Pengembangan ekowisata yang berbasis kepada pemanfaatan potensi sumberdaya alam, lingkungan, serta keunikan alam dan budaya. Pengembangan ekowisata dewasa ini
diakui memberikan dampak positif bagi dunia kepariwisataan di Indonesia. Namun hal tersebut memerlukan pengaturan yang baik agar kegiatan ekowisata bisa berjalan dengan
baik. Mekanisme kelembahaan dan hukum perijinan adalah salah satu instrumen untuk mengawal tercapainya tujuan pembangunan ekowisata.
Kata kunci
: Ekowisata, Pengendalian, Izin, Daerah
ABSTRACT
The development of ecotourism is based on the use of the cultural and natural uniqueness and nature recources potency. Currently, the development of ecotourism is
recognised to give possitive impact on the tourism activity in Indonesia. Tt requires a proper regulation that ecotourism activity can work well. Institutional mechanisms and legal
licensing is one of the instruments to keep the achievement of ecotourism development.
Keyword s: Ecotourism, Controlling, licensing, Local Gouvernment
PENDAHULUAN
Berkembangnya kegiatan ekowisata dewasa ini memberi arti sendiri bagi trend wisata di Indonesia yang belakang ini menjadi titik tumpu pemerintah untuk banyak menyedot para
wisatawan baik dalam negeri maupun mancanegara. Keberadaan pengembangan sektor ekowisata sebagai sebuah program pemerintah memang perlu dipresiasi karena tujuannya
sangat jelas dan menjanjikan.
5
Apalagi Pemerintah Indonesia berkeinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai ikon wisata dunia maka jelas bahwa hal ini pasti akan berhasil.
Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Prodi Magister Hukum Universitas Widyagama Malang
5
Pemerintah pada tahu 2013 ini menargetkan pendapatan negara dari sektor pariwisata sebesar 9,5 miliar dollar Amerika tahun ini melalui kunjungan sekitar delapan juta wisatawan. Angka tersebut naik dibanding
realisasi tahun lalu sebesar sembilan miliar dollar Amerika melalui kunjungan sekitar tujuh juta wisatawan, selanjutnya lihat dalam
http:www.voaindonesia.comcontentpemerintah-optimis-sektor-pariwisata-capai- target1534546.html
diunduh tgl 5 November 2013
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
131 Keanekaragaman flora dan fauna yang membentang dari Sabang sampai Merauke akan
menjadi modal dasar bagi pengembangan ekowisata baik ekowisata bahari, hutan, pegunungan dan karst.
6
Disamping itu kawasan konservasi sebagai obyek daya tarik wisata dapat berupa Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman
Wisata dan Taman Buru. Menurut Iwan Nugroho, di Indonesia, taman nasional merupakan kawaasan konservasi terpenting yang mengoperasikan kegiatan–kegiatan ekowisata.
7
Pengembangan ekowisata yang berbasis kepada pemanfaatan lingkungan hidup menjadikan alam lingkungan menjadi objek yang perlu diperhatikan dengan seksama.
Perhatian ini menyangkut masalah perlindungan konservasi lingkungan hidup dan aspek kemanfaatan bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan pengertian ekowisata itu sendiri
dimana menurut World Conservation Union WCU, adalah perjalanan wisata ke wilayah– wilayah yang lingkungan alamnya masih asli, dengan menghargai warisan budaya dan
alamnya, mendukung upaya-upaya konservasi, tidak menghasilkan dampak negatif, dan memberikan keuntungan sosial ekonomi serta menghargai partisipasi penduduk lokal.
8
Sedangkan menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, ekowisata merupakan konsep pengembangan pariwisata yang berkelanjutan yang bertujuan untuk
mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam dan budaya dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada
masyarakat dan pemerintah setempat.
9
Dari dua definisi tersebut maka unsur perlindungan hukumnya ada pada dukungan terhadap upaya konservasi dan upaya pelestarian lingkungan hidup. Produk hukum yang
akan menjadi payung regulasi terhadap upaya upaya tersebut adalah dengan memberlakukan izin sebagai upaya pengendalian program ekowisata ini. Sejauhmana keberadaan izin dalam
pengembangan ekowisata ini bisa berfungsi sebagai alat pengendalian adalah sesuatu yang menarik untuk diungkap.
Adapun masalah yang akan diungkap adalah pertama, tentang dasar kewenangan pemerintah daerah dalam pengembangan ekowisata, kedua,
fungsi izin dalam pengembangan ekowisata di daerah. Manfaat yang bisa diambil dalam penulisan ini adalah
untuk mengetahui secara utuh dasar kewenangan dan berfungsinya izin dalam pengembangan ekowisata di daerah.
Kewenangan Daerah dalam Pengembangan Ekowisata
6
Selanjutnya lihat Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Ekowisata Di Daerah.
7
Iwan Nugroho, 2011, Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta hlm. 25.
8
http:www.ekowisata.infodefinisi_ekowisata.html di unduh tgl 29 Oktober 2013
9
Sukawati Zalukhu, 2009, Buku Panduan Dasar Pelaksanaan Ekowisata Kabupaten Nias Selatan, hlm. 34
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
132
Berbicara kewenangan daerah sejatinya tidak lepas dari berlakunya asas desentralisasi . Joeniarto menyebutkan azas desentralisasi sebagai azas yang bermaksud memberikan
wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri.
10
Rumah besar dari berlakunya asas ini adalah Otonomi daerah, yakni hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
11
Karena dalih otonomi daerah inilah maka daerah diberi berbagai kewenangan untuk mengatur keperluan daerah secara mandiri. Terkait dengan pengembangan ekowisata ini
maka sumber kewenangan daerah baca: KotaKabupaten secara atributif
12
adalah UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14 ayat 1, yang menyatakan bahwa
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupatenkota merupakan urusan yang berskala kabupatenkota meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Melalui ketentuan huruf j mengenai pengendalian lingkungan hidup maka jelaslah
bahwa pemerintah kotakabupaten mempunyai kewenangan yang dilindungi dan diperintahkan oleh sebuah peraturan perundang-undangan. Penggunaan pengendalian
lingkungan hidup dalam persoalan pengembangan ekowisata adalah sangat tepat karena
10
Joeniarto, 1992. Perkembangan Pemerintahan Lokal, Jakarta: Bumi Aksara, hal. 15
11
Selanjutnya lihat Pasal 1 angka 5 Undang Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
12
Menurut Sjahran Basah, Atribusi terdapat apabila Undang-undang Dasar atau Undang- undang dalam arti formal memberikan kepada suatu badan dengan kekuasaan sendiri mandiri
wewenang untuk membuatmembentuk peraturan perundang-undangan.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
133 wisata alam jelas akan bersinggungan langsung dengan objek alam baik itu flora dan
faunanya. Kecenderungan dari aktivitas ini jelas suatu saat akan merusak lingkungan hidup itu sendiri apabila tidak ada yang mengendalikannya melalui sebuah regulasi. Hal ini
sekaligus juga memenuhi asas legalitas, dimana setiap perbuatan administrasi harus berdasarkan hukum
13
atau tidak ada suatu tindakan bisa diambil tanpa ada dasar aturan yang mengatur lebih dahulu.
Harmonisasi antar undang-undang
14
dalam masalah ini juga telah terjadi dimana masalah ekowisata ini juga diatur dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 12 ayat 3 huruf c yang menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan
oleh bupatiwalikota untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup kabupatenkota dan ekoregion di wilayah kabupatenkota.
Tanggung jawab pemerintah daerah juga ada tahap pengendalian, dimana hal ini seperti diatur pada Pasal 13 ayat 3 Pengendalian pencemaran danatau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha danatau kegiatan sesuai dengan
kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.
Hubungan Pasal 12 dan Pasal 13 UU No 32 Tahun 2009 dengan masalah ekowisata adalah terletak pada persoalan pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk
menetapkan dalam sebuah produk hukum mengenai daya dukung dan tampung lingkungan hidup. Ini sangat penting bagi dunia ekowisata karena akan berkait erat dengan persoalan itu.
Keeratannya terletak kepada sejauh mana pengembangan ekowisata bisa “mendukung” perlindungan lingkungan dan pengelolaan lingkungan hidup
15
yang bertujuan : a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran
danatau kerusakan b. lingkungan hidup;
c. menjamin menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; d. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
e. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
13
Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 54
14
Harmonisasi adalah keselarasan antar undang-undang mengenai subtansi terhadap suatu objek pengaturan agar tidak terjadi tumpang tindih antar undang-undang yang satu dengan undang-
undang yang lain.
15
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran danatau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.Selanjutnya lihat dalam Pasal 1 angka 2 UU No 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
134
f. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; g. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
h. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian
dari hak asasi manusia; i. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
j. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan k. mengantisipasi isu lingkungan global.
16
Selain itu titik harmoni regulasi tentang kewenangan daerah terhadap pengembangan ekowisata juga ada pada UU 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan khusunya Pasal 8 ayat
1, yakni Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional,
rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupatenkota. Selanjutnya secara gamblang disebutkan dalam Pasal 9 ayat
3 bahwa Rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupatenkota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 1 diatur dengan Peraturan Daerah kabupatenkota.
Dari dua pasal tersebut jelas memberikan gambaran bahwa pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten diberi tanggung jawab yang sangat besar dalam pembangunan sektor
kepariwisataan di daerah yang pengaturannya harus melalui Peraturan Daerah Perda. Titik tautnya dengan persoalan ekowisata adalah terletak pada kenyataan bahwa ekowisata bagian
dari sektor kepariwisataan. Maka dia harus tunduk kepada seluruh isi dan ketentuan pengaturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009.
Dengan demikian dari ketiga peraturan perundang-undangan ini ada alas hukum yang jelas dan tegas bahwa secara umum daerah mempunyai peranan yang sangat penting bagi
terwujudnya pengembangan ekowisata. Undang-Undang No 32 Tahun 2004 mewakili pengaturan kewenangan wajib, Undang-Undang No 32 tahun 2009 mengatur tentang
persoalan tehnis perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan Undang-undang No 10 Tahun 2009 memayungi persoalan pembangunan sektor ekowisata yang masuk pada
program kepariwisataan sampai dengan lahirnya produk hukum berupa perda sebagai alat aturnya.
Fungsi Izin dalam pengembangan ekowisata di daerah
Kekuasaan dan wewenang yang diberikan administratur Negara oleh undang-undang kemudian dijadikan bahan bakar untuk menggerakan roda pemerintahan, sehingga
menghasilkan sebuah perbuatan hukum. Fase ini melahirkan sifat perbuatan yang aktif dan dinamis dan mempunyai akibat hukum. Menurut Utrecht perbuatan hukum dibedakan
menjadi bersegi dua dan bersegi satu.
16
Pasal 3
UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
135 Perbuatan hukum yang bersegi satu dan langsung menimbulkan akibat hukum inilah
yang kemudian disebut dengan ketetapan beschikking.
17
Menurut Van der Pot dan Van Vollenhoven yang dimaksud ketetapan adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat sebelah
pihak, dalam lapangan Pemerintahan dilakukan oleh suatu badan Pemerintahan berdasarkan kekuasaannya yang istimewa.
18
Salah satu macam ketetapan inilah yang kemudian disebut dengan izin vergunning. Menurut W.F. Prins dan R.Kosim Adisapoetra izin adalah perbuatan pemerintah yang
memperkenankan suatu perbuatan yang tidak dilarang oleh peraturan yang bersifat umum
19
Kedudukan izin yang merupakan bagian dari ketetapan dalam tata hukum adalah sebagai sumber hukum positif. Sehingga izin daya lakunya seperti produk hukum yang
bersifat mengikat dan akan terbit sanksi bagi yang menentangnya. Sebagai sebuah produk hukum maka izin juga ada yang menerbitkan, yakni pemegang kekuasaan eksekutif
administratur Negarapemerintah.
Dalam kaitannya dengan pengembangan ekowisata di daerah maka pemerintah daerah baik kota maupun kabupaten yang berwenang mengeluarkanmenerbitkan izin. Perintah
secara yuridis normative terhadap persoalan ini adalah seperti diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat 6 yang berbunyi pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan dan tugas pembantuan. Hal ini dipertegas dalam UU no 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 25 yang
menyatakan, bahwa Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang :
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan b. yang ditetapkan bersama DPRD;
c. mengajukan rancangan Perda; d. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
e. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk
dibahas dan ditetapkan bersama; f.
mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; g. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk
h. kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan i.
melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka ada payung hukum yang dijadikan dasar bagi daerah untuk membentuk produk hukum di daerah. Terbitnya sebuah izin dalam tata
perundang-undangan di daerah adalah sebenarnya merupakan tindak lanjut dikeluarkannya
17
Bachsan Mustafa, Ibid. hlm. 83
18
Ibid hlm. 86
19
W.F. Prins dan R.Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Pradnya Paramita, Jakarta, 1978, hlm.72
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
136
peraturan daerah perda. Artinya ada hubungan yang sangat erat antara keluarnya Perda regeling dengan diterbitkannya ketetapanbeschikking izin.
Secara yuridis konstitusional hal ini diatur secara tegas pada UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat 1, yang menyebutkan
bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah KabupatenKota.
Letak izin sebagai bagian dari ketetapan memang tidak disebutkan secara eksplisit tetapi keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat 1dan ayat 2, yang berbunyi:
1 Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-
Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KabupatenKota, BupatiWalikota, Kepala Desa atau
yang setingkat.
2 Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Pasal tersebut di atas menunjukan bahwa izin tetap dianggap sebagai sebuah produk hukum karena berada dalam herarkhie peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena itu khusus mengenai fungsi izin yang terkait dengan pengembangan ekowisata yang keberadaannya diatur secara tehnis dalam sebuah
Permendagri No 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di daerah adalah sebagai sebuah produk hukum.
Di dalam Permendagri tersebut persoalan keberadaan izin ditempatkan dalam Bab III Pasal 4 dimana pemerintah daerah dalam mengembangkan ekowisata di daerah dilakukan
melalui perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian yang dilakukan secara terpadu oleh pelaku wisata. Perencanaan ekowisata dituangkan dalam RPJPD, RPJMD, dan RKPD yang
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
137 merupakan bagian dari perencanaan pariwisata daerah.
20
Perencanaan ekowisata yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah RKPD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat 1 Permendagri memuat antara lain: a. jenis ekowisata;
b. data dan informasi; c. potensi pangsa pasar;
d. hambatan; e. lokasi;
f.
luas; g. batas;
h. kebutuhan biaya; i.
target waktu pelaksanaan; dan j.
disain teknis. Sedangkan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b meliputi:
a. daya tarik dan keunikan alam; b. kondisi ekologislingkungan;
c. kondisi sosial, budaya, dan ekonomi; d. peruntukan kawasan;
e. sarana dan prasarana; dan f.
sumber pendanaan. Selanjutnya Perencanaan ekowisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a,
dilakukan melalui: a. merumuskan kebijakan pengembangan ekowisata Provinsi dengan memperhatikan
kebijakan ekowisata Nasional; b. mengoordinasikan penyusunan rencana pengembangan ekowisata sesuai dengan
kewenangan provinsi; c. memberikan masukan dalam merumuskan kebijakan pengembangan ekowisata
Provinsi dengan memperhatikan kebijakan ekowisata Nasional; d. mengintegrasikan dan memaduserasikan rencana pengembangan ekowisata provinsi
dengan rencana pengembangan ekowisata kabupatenkota, rencana pengembangan ekowisata nasional dan rencana pengembangan ekowisata provinsi yang berbatasan;
dan
e. memaduserasikan RPJMD dan RKPD yang dilakukan Pemerintah Provinsi, Pemerintah KabupatenKota masyarakat dan dunia usaha dengan rencana
pengembangan ekowisata;
20
Selanjutnya lihat Pasal 4 dan 5 Permendagri No 33 tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata Di Daerah.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
138
Pemanfaatan Ekowisata sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b, di dalam Pasal 8 Permendagri ini mencakup:
a. pengelolaan kawasan ekowisata; b. pemeliharaan kawasan ekowisata;
c. pengamanan kawasan ekowisata; dan d. penggalian potensi kawasan ekowisata baru.
Sedangkan menurut Pasal 9 ayat 1 Pemanfaatan ekowisata dapat dilakukan oleh perseorangan danatau badan hukum; atau pemerintah daerah. Pemanfaatan ekowisata yang
dilakukan oleh perseorangan danatau badan hukum lainnya harus dikerjasamakan dengan pemerintah daerah lainnya danatau pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan. Pemanfaatan ekowisata yang dilakukan oleh pemerintah daerah dapat dikerjasamakan dengan pemerintah daerah lainnya danatau pemerintah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerjasama ini diprioritaskan untuk memberikan kemudahan kepada perseorangan danatau badan hukum.
21
Bagian akhir dari tahap ini adalah pengaturan persoalan pengendalian seperti yang diatur pada Pasal 10 yang dilakukan antara lain terhadap :
a. fungsi kawasan; b. pemanfaatan ruang;
c. pembangunan sarana dan prasarana; d. kesesuaian spesifikasi konstruksi dengan desain teknis; dan
e. kelestarian kawasan ekowisata.
Di dalam Pasal 11 disebutkan bahwa Pengendalian ekowisata dilakukan melalui: a. pemberian izin pengembangan ekowisata;
b. pemantauan pengembangan ekowisata; c. penertiban atas penyalahgunaan izin pengembangan ekowisata; dan
d. penanganan dan penyelesaian masalah atau konflik yang timbul dalam
penyelenggaraan ekowisata.
Didalam Pasal 11 ini jelas dinyatakan bahwa fungsi izin dalam pengembangan ekowisata dilakukan dengan cara pemberian izin. Untuk terbitnya izin lazimnya harus
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Secara tehnis ketentuan penerbitan izin seharusnya ada dalam permendagri ini, tetapi sayangnya tidak mengatur secara eksplisit
syarat syarat bagi terbitnya izin. Hal ini yang kemudian dibelakang hari nanti menjadi permasalahan ketika izin dijadikan alat pengendali pengembangan ekowisata. Menurut
penulis bisa saja keberadaan izin ini dimasukan dalam rezim perizinan lingkungan hidup. Menurut UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
21
selajutnya periksa Pasal 9 ayat 2 3 dan 4 Permnedagri No 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di daerah.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
139 UU-PPLH terdapat 2 dua jenis izin, pertama izin lingkungan adalah izin yang diberikan
kepada setiap orang yang melakukan usaha danatau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat
untuk memperoleh izin usaha danatau kegiatan Pasal 1 angka 35. Kedua, izin usaha danatau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha
danatau kegiatan Pasal 1 angka 36.
22
Misalnya Izin Lokasi, Izin Mendirikan Bangunan IMB.
Dengan UU-PPLH sebagai hukum positif pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup dapat diterapkan dalam sistem perizinan lingkungan hidup di Indonesia, sehingga
tujuan perizinan sebagai instrument pengendalian bisa terwujud.
23
Hal yang menguatkan bahwa pemberian izin dalam pengembangan ekowisata masuk dalam perizinan lingkungan
adalah karena aktivitasnya sangat bersinggungan dengan kekayaan alam yang ada dalam wilayah lingkungan hidup. Hal ini diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 18 UU No 10
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang berbunyi,
Pemerintah danatau Pemerintah Daerah mengatur dan mengelola urusan kepariwisataan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Tahap berikutnya adalah ketika izin sudah diberikan tetapi ternyata pengusaha
pariwisata melakukan penyalahgunaan izin untuk kepentingan diluar diterbitkannya izin pengembangan ekowisata. Terhadap kejadian ini maka
menteri, gubernur, atau bupatiwalikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha danatau
kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Pasal 76 ayat 1 UU-PPLH 2009. Sanksi administrasi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat 2
berupa, teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau, pencabutan izin lingkungan. Berbagai sanksi ini tidak membebaskan penanggung jawab usaha danatau
kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.Pasal 78 UU-PPLH 2009.
Khusus Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat 2 huruf c dan huruf d UU-PPLH
2009 dilakukan apabila penanggung jawab usaha danatau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Sesuai dengan Pasal 80 ayat 1 Paksaan Pemerintah berupa :
a. penghentian sementara kegiatan produksi; b. pemindahan sarana produksi;
c. penutupan saluran pembuangan air d. limbah atau emisi;
e. pembongkaran; f.
penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; g. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
22
Helmi, 2012, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 80
23
Ibid hlm. 78
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
140
h. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 80 ayat 2 bahwa pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan
c. pencemaran danatau perusakannya; danatau d. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran danatau perusakannya. Terhadap ketidaktegasan pemerintah daerah yang secara sengaja tidak menerapkan
sanksi adminitrasi ini maka menteri dapat menerapkan sanksi administrasi terhadap penanggung jawab usaha danatau kegiatan Pasal 77 UU-PPLH 2009.
Kenyataan mengenai ketentuan sanksi administrasi di atas harus diperhatikan dengan seksama oleh pelaku usaha ekowisata, karena kalau diabaikan maka berujung dicabutnya
izin usaha pengembangan ekowisata. Akibatnya akan terjadi penutupan usaha dan jelas akan merugikan bagi pemilik usaha ekowisata.
KESIMPULAN
a. Bahwa Pemerintah Daerah baik Kota maupun Kabupaten mempunyai kewenangan
yang tegas mengenai pengembangan ekowisata di daerah, walaupun diatur dengan payung hukum yang berbeda-beda.
b. Keberadaan izin pengembangan ekowisata sudah diatur namun belum mengatur
secara tegas mengenai cara penerbitan izin sampai pemberian sanksi terhadap pelanggaran izin. Terhadap ini maka terjadi pencangkokan payung izin kedalam
rezim perizinan lingkungan hidup yang sudah ada dan berlaku dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung
Helmi, 2012, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta http:www.ekowisata.infodefinisi_ekowisata.html di unduh tgl 29 Oktober 2013
http:www.voaindonesia.comcontentpemerintah-optimis-sektor-pariwisata-capai target1534546.html diunduh tgl 5 November 2013
Iwan Nugroho, 2011, Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
141 Joeniarto, 1992. Perkembangan Pemerintahan Lokal, Jakarta: Bumi Aksara
Peraturan Mentri Dalam Negeri No. 33 tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah
Sjachran Basah, 1985. Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni
Sukawati Zalukhu, 2009, Buku Panduan Dasar Pelaksanaan Ekowisata Kabupaten Nias Selatan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Undang-Undang No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan
Hidup Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembanentukan Peraturan Perundang-
undangan W.F. Prins dan R.Kosim Adisapoetra,1978, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara,
Pradnya Paramita, Jakarta
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
142
PENERAPAN TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK MENUNJANG PARIWISATA Hidayat Bambang S
Fakultas Pertanian Universitas Jember E-mail: setyawan.bambanggmail.com
ABSTRAK
Pengembangan sektor pariwisata secara lebih luas juga akan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, sektor ekonomi riil yang ada di masyarakat seperti
wisata budaya, wisata alam, kerajinan, aneka makanan, penginapan, hotel dan sebagainya dapat berkembang, dengan bangkitnya sektor ekonomi riil akan mampu meningkatkan
derajat hidup masyarakat baik sandang, pangan, papan, pendidikan maupun kesehatan. Kemajuan teknologi informasi merupakan salah satu faktor yang digunakan untuk
mempromosikan pariwisata. Apabila seseorang memiliki kemampuan komunikasi yang kurang baik, maka secara otomatis praktek komunikasi bisnisnya tetap mengalami kendala,
apalagi sekarang telah didukung oleh penggunaan teknologi informasi dan komunikasi e- commerce, e-government, e-learning, e-business, e-commerce, e-ticket, google, google docs,
google scholar, webcams, google map semakin menjadi kebutuhan. Cara orang tersebut menyampaikan pesan kepada pihak lain itulah yang menjadi hal yang paling penting untuk
diperhatikan, termasuk menyampaikan obyek wisata ke dunia luar dengan teknologi informasi.
Kata kunci
: wisatawan, teknologi informasi, Google, webcams, Google docs, Google scholar
ABSTRACT
Development of the wider tourism sector will also have an impact on improving the welfare of society, economic sectors in the community such as cultural tourism , nature tourism ,
crafts, culinary, lodging, hotel and so on can be also developed. The rise of the real economy will be able to improve the peoples lives better in food, clothing, shelter, education and
health . Advances in information technology is one of the factors used to promote tourism . If a person has poor communication skills , it will automatically keep the business
communication practices having problems , further more inpresent use information and communication technologies e - commerce , e -government , e -learning , e -business , e -
commerce , e -tickets , Google , Google docs , Google scholar , webcams , Google map are necessary. The way people convey message to others is most important thing to be
considered, including of conveying of toursm information.
.
Keywords
: tourism , information technology, Google, webcams, Google docs, Google scholar
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
143
PENDAHULUAN
Dunia Pariwisata merupakan salah satu sektor penghasil devisa yang memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan. Apabila sektor pariwisata dikembangkan dan dikelola
dengan baik akan memberikan sumbangan yang besar terhadap keuangan negara. Pengembangan sektor pariwisata secara lebih luas juga akan berdampak terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat, sektor ekonomi riil yang ada di masyarakat seperti wisata budaya, wisata alam, kerajinan, aneka makanan, penginapan, hotel dan sebagainya
dapat berkembang. Bangkitnya sektor ekonomi riil akan mampu meningkatkan derajat hidup masyarakat baik sandang, pangan, papan, pendidikan maupun kesehatan.
Besarnya dukungan pemerintah terhadap pengembangan industri pariwisata dapat mempercepat akselerasi kemajuan dunia pariwisata di Indonesia. Melalui kerjasama antara
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Departemen Komunikasi dan Informasi, promosi potensi wisata Indonesia dapat disebarkan kepada masyarakat luas baik secara
nasional maupun internasional, oleh karena itu kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sangat memungkinkan untuk digunakan sebagai sarana promosi pariwisata
Indonesia ke seluruh dunia.
Pada saat ini media yang digunakan untuk mempromosikan pariwisata jauh lebih banyak dari periode sebelumnya. Kemajuan teknologi informasi merupakan salah satu faktor
pendorongnya. Teknologi ini sudah banyak diadopsi oleh kalangan pemerintahan, pendidikan, bisnis dan lainnya sebagai sarana promosi, diseminasi informasi dan transaksi,
oleh karena itu kemudian muncul istilah e-commerce, e-government, e-learning, e-business, e-commerce, e-ticket, google, google scholar, google docs, webcams, google map dan
sebagainya.
PERMASALAHAN
Masalah yang paling mendasar dalam praktek komunikasi bisnis baik dengan peran teknologi informasi dan komunikasi dan tanpa peran teknologi informasi tersebut, masalah
yang mendasar adalah kemampuan komunikasi dari individu itu sendiri. Apabila seseorang memiliki kemampuan komunikasi yang kurang baik, maka secara otomatis praktek
komunikasi bisnisnya juga mengalami kendala, walau telah didukung oleh peranan teknologi informasi dan komunikasi. Cara orang tersebut menyampaikan pesan kepada pihak lain
itulah yang menjadi hal yang paling penting untuk diperhatikan, termasuk menyampaikan pariwisata ke dunia luar. Karena itu pembelajaran e-commerce, e-government, e-learning, e-
business, e-commerce, e-ticket, google, google docs, google scholar, webcams, google map perlu dikedepankan untuk para penyelenggara dunia pariwisata dan wisatawan itu sendiri.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
144
PEMBAHASAN Mengenal Menggunakan Google Docs
Google Docs adalah aplikasi office dari Google yang berbasis internet atau dalam dunia Cloud Computing masuk dalam kategori SaaS Software as a Service. Dengan Google
Docs pengguna dapat membuat dokument seperti menggunakan aplikasi Microsoft Office, yaitu dapat membuat document seperti menggunakan MS Word, membuat spreadsheet
seperti menggunakan MS Excel, membuat presentation seperti menggunakan MS PowerPoint, dan sebagainya. Jika anda ingin mencobanya, silahkan mencoba demo Google
Docs di halaman ini
http:docs.google.comdemo .
Dengan Google Docs, memungkinkan untuk berbagi pakai file tersebut sehingga file dapat diedit oleh beberapa orang dengan fasilitas sharing, mungkin kemampuan untuk
sharing bukanlah hal yang baru karena dalam pengelolaan konvensional secara offline pun file bisa di-share agar dapat diakses oleh beberapa orang yang diberikan izin untuk
mengakses file tersebut, tapi bukan hanya itu yang dapat di lakukan dengan Google Docs, bahkan dapat melakukan real-time collaboration yaitu kolaborasi meng-edit file bersama
beberapa orang pada waktu yang sama.
Berikut ini langkah-langkah menggunakan Google Docs 1.
Buka halaman http:docs.google.com atau http:drive.google.com lalu masukkan akun google username password Note: pada masa yang akan datang Google
Drive akan menjadi homepage untuk layanan Google Docs karena Google Docs telah include bagi pengguna Google Drive
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
145 2. Setelah sign in, maka akan masuk ke halaman Google Drive yang merupakan
homepage untuk layanan Google Docs. Untuk membuat file baru, klik tombol Create pada menu sebelah kanan seperti ditunjuk oleh tanda panah pada gambar di bawah
ini, kemudian akan muncul dropdown menu untuk memilih jenis file yang ingin di buat.
3. Maka akan muncul tampilan file yang akan dibuat. Di bawah ini contoh tampilan jika memilih Document dan Spreadsheet.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
146
4. Secara default file baru akan bernama Untitled … , untuk merubah nama file klik File – Rename, masukkan nama file.
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
147 5. Untuk berbagi pakai share dengan orang lain, klik tombol Share berwarna biru di
pojok kanan atas, lalu pada kotak bagian bawah masukkan orang yang diberikan akses untuk melihat atau mengedit file tersebut. Ada tiga pilihan hak akses, yaitu Can View
yang hanya dapat melihat isi file, Can Comment yang dapat melihat isi file sekaligus bisa memberikan comentar, dan Can Edit yaitu bisa meng-editmerubah isi file. Orang
yang diberikan hak akses Can Edit bisa meng-edit pada saat yang bersamaan dengan orang lain yang juga diberikan hak akses Can Edit.
6.
Klik tombol Share save berwarna hijau. Selesai sudah proses sharing file Google Docs.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
148
2 . Google Scolar
Bagaimana cara kita untuk mendapatkan sumber informasi yang ilmiah di mesin pencari Google. Dengan mengikuti cara ini, kita akan dapat menghemat waktu dan tenaga
kita untuk tidak membuka link-link yang memberikan informasi yang tidak ilmiah, dan selain itu, kita juga akan mendapatkan file-file PDF dan DOC dengan mudah. Berikut
caranya:
1. Tentukan terlebih dahulu Kata Kunci pencarian kita. Kita harus bijak membuat kata kunci yang dapat menyaring informasi yang benar-benar ingin kita gunakan. Usahakan
membuat kata kunci yang melingkupi ke topik khusus dan meluas ke topik umum. Selain itu, usahakan untuk menggunakan kata kunci dengan bahasa Inggris sehingga
kita mendapatkan sumber yang jauh lebih ilmiah hampir di seluruh perguruan tinggi dan sekolah lebih mempercayai tulisan ilmiah yang berasal dari luar negeri.
Contohnya: saya ingin mencari jurnal penelitian mengenai persepsi perbedaan
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
149 mahasiswa mengenai matakuliah akuntansi keuangan berbasis IFRS di beberapa
Perguruan Tinggi
Kata kunci:
differences in
the perception
of financial
accounting Kata Kunci 2: differences in the perception
dan seterusnya, hingga kita mendapatkan informasi yang sesuai.
2. Kemudian yang terpenting disini, jangan sekali-sekali ingin mendapatkan tulisan ilmiah di google biasa, carilah di Google Scolar. Cari di
http:scholar.google.com
ini merupakan salah satu fasilitas yang diberikan oleh Google untuk mempermudah masyarakat umum mendapatkan tulisan ilmiah. Jika digunakan kata kunci di sini,
maka akan disuguhkan berbagai link yang merupakan hasil riset yang berupa jurnal, paper, dan berbagai tulisan ilmiah lainnya, yang sudah berbentuk PDF dan DOC, yang
sudah siap kita download.
Seperti yang kita tahu, Google atau pun Google search merupakan alat pencarian yang digunakan untuk mendapatkan informasi yang kita inginkan. Tetapi kebanyakan orang
melakukan Google dengan memasukkan istilah atau kata yang mereka cari tanpa menggunakan salah satu ciri-ciri yang dibina dalam Google.
Google sebagai web terbesar terkenal untuk mendapatkan hasil yang besar dan yang memberikan
hasil yang
lebih tepat
untuk istilah
pencarian dasar.
Power user Google mengetahui trik-trik, dan cara-cara pencarian yang tepat melalui ciri-ciri yang membantu kita menemukan apa yang kita inginkan.
Berikut merupakan 8 cara untuk power search Google kekuatan pencarian google yang boleh kita gunakan hari ini untuk meningkatkan dan mempercepatkan pencarian:
1. Jangan: menambah tanda minus - untuk menyempitkan pencarian, misalnya jika anda ingin mencari New York tetapi tidak City, maka akan memasukkan New York-
City.
Nopember 2013
I SBN: 978-602-14594-0-9 Seminar Nasional Ekowisata
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang
150
2. Perlu atau. Google mencari gabungan istilah, tetapi diperbolehkan memberitahu untuk mencari beberapa kata, misalnya Sukan Olimpik atau Gold. Keyword ringkas
adalah | Sukan Olimpik | Gold. 3. Pencarian dokumen khusus gunakan pengubah jenis file filetype: jika anda mencari
dokumen-dokumen atau gambar, untuk contoh blogging filetype: pdf memberikan dokumen-dokumen pdf yang merangkum kata blogging. Jenis file atau filetype adalah
seperti pdf- naskah dalam bentuk pdf, ppt naskah dalam bentuk power point, docx naskah dalam bentuk microsoft words.
4. Quotation marks komma 66,99: Saya menggunakan trik ini secara teratur. Jika kita akan mencari dialog atau ungkapan yang tepat, bukan masalah utama yang
dimasukkan, tetapi kita lakukan pencarian seperti ini aku cinta padamu. Secara automatik Mr. google akan lebih fokus untuk melakukan pencarian kepada ayat aku
cinta padamu.
5. Wildcard: Pengguna DOS lama akan melakukan pencarian direktori menggunakan tanda bintang sebagai wildcard, dan Google menyokong entri wildcard juga.
Contoh: blogging . com.au 6. Definisi: terjebak pada kata yang kita tidak faham? Di Google, cukup mudah untuk
membuat pendefinisian. Yang diperlukan adalah memasukkan kata define dalam carian kita: kata untuk memberikan kita senarai definisi.
7. Istilah serupasama maksud: ~ di depan kata yang memberitahu Google untuk mencari istilah yang sama maksud dengan kata itu, contohnya web blog ~ 2.0
8. Cache: Google menyimpan database cache yang menyeluruh dari banyak halaman, dan kita boleh mencari database ini dengan memulai pencarian kita dengan cache:
Terdapat banyak dari ciri-ciri dan banyak lagi, termasuk kemampuan untuk mendefinisikan kandungan tahap untuk kemarahan, boleh mengakses melalui link
carian lanjutan di sebelah butang carian Google.
Beberapa Cara Untuk Mempercepat Pencarian Cara 1: Gunakan Tanda Petik “ “ Saat Mencari Makalah
Penggunaan tanda petik ini sangat penting terutama apabila melibatkan penggunaan perkataan yang berangkai seperti “kecelakaan jalan raya”. Tanpa tanda petik, pencarian akan
mencari perkataan kecelakaan, jalan dan raya secara sendiri-sendiri. Coba perhatikan perbedaan apabila kita membuat pencarian dengan
menggunakan Tanda Petik “ “ dan tanpa menggunakan Tanda Petik “ “:
Seminar Nasional Ekowisata I SBN: 978-602-14594-0-9
Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Nopember
2013
151
2. Tanpa Menggunakan Tanda Petik “ “: