67
2
Satu dekade legislasi masyarakat adat: Trend legislasi nasional tentang keberadaan
dan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia 1999-2009
terbelah-belah dengan mengikuti pola sektoralisme negara. Sektoralisme menjadikan banyak instansi mengurusi masyarakat adat menggunakan
pendekatan yang berbeda-beda dan parsial dalam memandang keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Sampai saat ini belum ada kejelasan lembaga
yang paling kompeten terkait dengan pengakuan keberadaan dan hak- hak masyarakat adat. Departemen, badan dan kementerian negara tidak
terkoordinasi oleh satu kementerian koordinator. Melainkan menyebar diantara kementerian koordinator bidang ekonomi dan keuangan dan
kementerian koordinator kesejahteraan sosial.
Selain melihat koordinasi berdasarkan kementerian negara, persoalan lain terkait dengan pembagian urusan pemerintah, pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupatenkota dalam melaksanakan otononi daerah. Tidak semua kementerian yang ada di pusat memiliki perpanjangan
tangan di daerah. Misalkan tidak semua daerah memiliki dinas sosial yang mengupayakan pembukaan akses bagi komunitas adat terpencil.
Penelitian ini merekomendasikan perlu dilakukannya evaluasi bersama antara Instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah, masyarakat
adat dan aktivis yang selama ini bekerja untuk masyarakat adat untuk menentukan kerangka hukum, program dan kelembagaan terkait pengakuan
hukum terhadap masyarakat adat sehingga dapat dilaksanakan di lapangan dan mendatangkan keadilan bagi masyarakat. Hal ini diperlukan untuk
melakukan pengembangan kebijakan yang lebih jelas dan mudah diimplementasikan bagi perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat
adat atas sumber daya alam.
69
3
Kuasa dan Hukum: Realitas pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat atas
sumber daya alam
3
Kuasa dan hukum:
Realitas pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam
Herlambang Perdana Wiratraman, Yance Arizona, Susilaningtias, Nova Yusmira, Syahrun Latjupa, Marina Rona
3.1. Pengantar
Ketentuan pengakuan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia sangat terkait dengan ketentuan UUD 1945, khususnya Pasal 18B
ayat 2 dan Pasal 28I ayat 3. Pasal 18B ayat 2 menyatakan:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Sedangkan Pasal 28I ayat 3 menyebutkan:
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Meskipun secara normatif sudah ada pengakuan konstitusional terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam. Namun,
situasi lapangan sangatlah jauh berbeda dengan bunyi kedua pasal yang mengakui masyarakat adat dalam UUD 1945 tersebut. Bahkan, di wilayah yang
telah memiliki peraturan mengenai perlindungan masyarakat adat sekalipun, konlik sumber daya alam yang menyingkirkan hak-hak masyarakat adat
kerap terjadi. Artinya, negara melakukan pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat adat, bahkan terhadap identitas dan eksistensi masyarakat adat
itu sendiri. Dalam konteks ini, tidak jarang terlihat bahwa pendeinisian, pemaknaan dan tindakan yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat
adat justru merupakan pembatasan terhadap mereka.
70 ANTARA TEKS DAN KONTEKS: Dinamika pengakuan hukum terhadap hak masyarakat
adat atas sumber daya alam di Indonesia
Dalam sejarahnya, pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat tidak terlepas dari kontrol politik rezim sejak masa kolonial
di Hindia Belanda hingga kemudian melanggengkan penundukan tersebut dalam situasi hukum di masa sekarang. Dalam studi McCarthy, misalnya,
pemerintah kolonial sudah menerapkan strategi jitu untuk melakukan kontrol atas sumber daya alam di nusantara melalui penunjukan struktur-
struktur adat sebagai perwakilan administrasi kolonial McCarthy, 2001:96-7.
Penyingkiran eksistensi masyarakat adat sebagai keseluruhan, terutama hubungannya yang kompleks dengan tanah dan sumber daya
alam, diteruskan dalam konsep mendirikan negara-bangsa Indonesia Wignjosoebroto, 2006. Negara modern meruntuhkan komunitas tua
seperti masyarakat adat, yang selanjutnya dianggap melebur ke dalam negara state karena dibayangkan sebagai bangsa nation yang bersatu,
yang dipaksakan untuk menjadi imajinasi bersama, antara para pemikir dan politisi di Jakarta dengan komunitas yang bebas di pedalaman Papua,
Sulawesi, Kalimantan, Sumatera. Seterusnya, di atas bayangan itu wadah politik bersama terbentuk, yakni sebuah negara. Akibat dari situasi ini, maka
sebagaimana disimpulkan oleh Steni, diskursus dan kebijakan masyarakat adat sejak kolonial hingga pasca-kolonial menunjukkan pola relasi yang
timpang antara struktur kekuasaan yang dominan di satu sisi negara dan masyarakat modern dengan kelompok yang tertindas dan dikontrol di sisi
lain masyarakat tradisional-adat Steni, 2009:234.
Sementara di sisi lain, di tengah perubahan ketatapemerintahan Indonesia yang terdesentralisasi sejak 1999, semakin berkembang semangat
untuk membentuk kebijakan dan peraturan di tingkat lokal atau daerah yang menentukan pengakuan hukum hak masyarakat adat atas sumber daya
alam. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya produk hukum daerah, seperti Peraturan Daerah Perda dan Surat Keputusan SK Kepala Daerah yang
pada intinya mengakui keberadaan, kelembagaan, hukum adat dan hak- hak masyarakat adat lainnya. Beberapa peraturan dan kebijakan tersebut
diantaranya Perda Kabupaten Kampar No. 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat, Perda Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan
atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Perda Propinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari, Perda Propinsi Sumatera
Barat No. 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya SK Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit
Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin, SK Bupati Bungo No. 1249
Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Batu Kerbau, serta sejumlah Perda dan SK Kepala Daerah lainnya.
71
3
Kuasa dan Hukum: Realitas pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat atas
sumber daya alam
Meskipun sudah banyak peraturan perundang-undangan yang lahir dan sudah banyak eksperimen yang didorong oleh masyarakat adat dan organisasi
pendukungnya untuk melahirkan kebijakan pengakuan hukum terhadap masyarakat adat, sejumlah pertanyaan penting masih belum terjawab, seperti
apakah model ataupun konsep pengakuan dalam hubungan antara negara dengan masyarakat adat yang diakomodasi dalam kebijakan dan peraturan di
daerah telah memberikan dampak positif untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi manusia, khususnya bagi masyarakat adat.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tulisan ini mengambil fokus pada dinamika implementasi pengakuan hukum terhadap hak masyarakat
adat atas sumber daya alam yang secara lebih spesiik ditujukan untuk a memahami keterlibatan dan kepentingan masyarakat adat yang diakomodasi
dalam pengakuan hukum di daerah; b mengidentiikasi lembaga mana saja yang melakukan pengakuan hukum dan bagaimana implementasi
pengakuan hukum tersebut di lapangan; c mengupas
konigurasi politik di tingkat lokal yang mempengaruhi bentuk, proses dan implementasi
pengakuan hukum; dan d memberikan tawaran tentang bentuk, konsep, institusi dan proses pengakuan hukum hak masyarakat adat atas sumber
daya alam.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tulisan ini menggunakan pendekatan sosio-legal yang mengawinkan pendekatan studi
hukum dengan teori-teori sosial. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan mengkombinasikan pendekatan peraturan perundang-undangan
statutory analysis dan analisis konseptual conceptual analysis dengan teori-teori sosial yang merupakan karakter dari pendekatan sosio-legal.
Tamanaha menjelaskan bahwa label studi sosio-legal secara berangsur- angsur menjadi istilah umum yang menegaskan suatu kelompok disiplin
yang mengaplikasikan suatu perspektif keilmuan sosial untuk studi hukum, termasuk di dalamnya sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah hukum,
psikologi, ilmu politik, dan ilmu perbandingan hukum Tamanaha, 1999:2. Terdapat sayap kritis yang kuat dalam studi sosio-legal yang secara eksplisit
menegaskan orientasi politik, sebagai sebuah cabang dari teori kritis tentang hukum, yang kerapkali disebut sebagai studi hukum kritis Silbey and Sarat
1987; Unger 1976, 1986, 1996; Schlegel 1984.
Atas dasar inilah maka studi ini menguji konteks sosial, ekonomi dan politik atas hukum-hukum yang terkait dengan pengakuan hak masyarakat
adat atas sumber daya alam. Meskipun hak-hak masyarakat adat ‘diakui’ oleh UUD 1945, konsep perlindungan dalam konstitusi tersebut haruslah
ditinjau dari bagaimana eksistensi atau dampak hak-hak masyarakat adat tersebut di lapangan. Pengujian itu juga dilakukan dengan menganalisis