Mata Kuliah Semester I teks dan konteks
Tentang Bahasa
Apa sih bahasa? Bahasa sesungguhnya hanyalah simbol-simbol bunyi-bunyian yang empiris,
maksudnya terbukti dengan adanya kodefikasi berupa bentuk-bentuk, kita mengenalnya dengan huruf.
Di samping itu simbol-simbol itu juga mempunyai makna yang non-empiris, maksudnya bisa jadi
bunyi-bunyian tersebut di satu tempat mempunyai makna yang beda dengan di tempat lain, kita
mengenalnya dengan arbriter.
Lalu dari mana manusia bisa berbahasa? Banyak teori yang berusaha menjawab pertanyaan ini tapi
ada dua aliran mainstream pemikiran tentang itu. Bloomfield bilang an infant required language by
imitating surrounding. Kita tahu Bloomfield adalah pengikut pemikiran Ferdinand de Saussure sebagai
peletak Strukturalisme dalam Modern Linguistics, sementara de Saussure melahirkan teorinya setelah
mensintesis pemikiran-pemikiran Plato. Jadi kalau kita lacak dari tulisan Bloomfield sebenarnya hal itu
berakar dari pikiran Plato tentang mimeo atau mimetic (meniru). Dalam penemuannya itu, ia
menandaskan, kemampuan berbahasa manusia adalah bentukan dari alam (lingkungan keluarga dan
masyarakat), manusia itu dibesarkan. bagaikan kertas kosong, alam mengisi dan membentuk
kemampuan manusia itu. Kita mengenalnya sebagai Bloomfieldian behaviorism.
Yang kedua adalah pendapatnya Chomsky. Dia berpendapat manusia tidak mungkin begitu saja bisa
berbahasa tapi diberkahi LAC, Language Acquisition Device-sebuah perangkat buat mengakuisisi
bahasa- yang bisa ruled govern creativity atau kemampuan menciptakan bahasa sendiri. Hal ini berarti
membantah keras teori Bloomfield. Sebagai ahli Matematik dia berpikir matematis. Dalam prinsip
mimetic/meniru, seorang yang meniru pasti mempunyai kemampuan menyimpan dalam memori yang
lebih rendah dari yang ditiru. Maksudnya, kalau kita melihat permainan menirukan kalimat secara
berantai maka dari 20 anak yang menirukan kalimat maka anak ke 20 bisa jadi tidak mampu menirukan
kalimat secara utuh seperti anak kedua, apalagi jika sampai anak ke 100. Kita tidak bisa bayangkan
kalau teori Bloomfield diterapkan dengan asumsi bahwa Adam adalah generasi pertama manusia maka
harusnya kita masih bisa menguasai bahasa kaum Adam. Barangkali apa yang terjadi di Papua-sebagai
daerah yang dikenal terkaya dari aspek linguistic-bisa dijadikan pemikiran. Di sana terdapat ribuan
suku atau sub-suku dengan bahasanya sendiri-sendiri walaupun kadang jumlah satu suku hanya satu RT
di mana jika terjadi perang suku dan punah suatu suku maka punah juga bahasanya. Tapi jika ada satu
atau dua orang yang selamat maka dia mampu menciptakan bahasa sendiri yang kadang jauh berbeda
dengan bahasa asalnya. Kita semua tahu dahulu di Papua sering terjadi perang suku sehingga bahasa
bisa “datang dan pergi” kapan saja. Chomsky meyakini hal itu sebagai kemampuan naluriah yang
diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Suatu hal yang mustahil bila kemampuan itu semata-mata
dianggap sebagai hasil pembelajaran dari alam atau kedua orang tuanya. Penguasaan terhadap tata
bahasa sebuah bahasa bukanlah hal yang mudah, terlebih untuk tingkat kanak-kanak.
Chomsky juga melakukan penelitian pada perkembangan berbahasa seorang anak. Seorang anak
dapat menguasai bahasa ibunya dengan mudah dan cepat, bahkan pengetahuan itu juga diikuti oleh
sense of language dari bahasa itu, yang lebih mengarah pada keterampilan dalam tata bahasa. Mereka
dapat mengenal cita rasa bahasa itu sehingga mampu merangkai kalimat dengan tepat, meski mereka
tak mungkin bisa menjelaskannya.
Sebenarnya, dia tidak serta-merta menolak teori behaviourisme secara total, ia mengakui peran serta
alam dalam membentuk potensi bawaan ini. Bila bayi orang Jepang dibawa dan dibesarkan di
Indonesia, ia akan menguasai bahasa serta tata bahasa Indonesia, dan begitu juga dengan bayi-bayi
lainnya. Oleh karena itulah, Chomsky meyakini bahasa potensial, yang ada pada setiap manusia, itu
sebagai bahasa universal. Teori linguistik Chomsky itu terlihat lebih humanis daripada teori
behaviourisme. Aliran behaviourisme menganggap manusia sebagai patung yang diukir oleh sang
arsitek bernama lingkungan, atau bagaikan robot yang sudah diatur sedemikian rupa oleh ilmuwan
penciptanya.
Teks dan Konteks
Tidak diragukan lagi tujuan kita berbahasa adalah agar terjadi komunikasi. Masalahnya adalah
bagaimana bentuk komunikasi terjadi. Sampai di sini para ahli mempunyai pendapat yang beragam.
Mari kita lihat beberapa di antaranya. Menurut Pit Corder ada dua jenis komunikasi; Intentional
(disengaja) dan unintentional (tidak disengaja). Simak ilustrasi berikut. Jika kita melihat seorang
tetangga berjalan di sepanjang jalan depan rumah kita tanpa dia sadar kita memperhatikannya, sering
hal itu memancing kita membuat konklusi tentang kira-kira kepribadian dia seperti apa, tentang kirakira dia mau ke mana,-hanya dari cara dia berjalan. Dalam hal ini cara dia berjalan seakan-akan
“memberi tahu” kita sesuatu dan semua orang pun faham bahwa dia tidak bermaksud dengan sengaja
berkomunikasi dengan kita. Ini yang dimaksud Unintentional Communication; mengkomunikasikan
sesuatu tanpa sengaja. Menurut Marshall dalam Pit Corder tindak komunikasi di atas disebut
informative sedang jika tindak komunikasi dilakukan dengan sengaja disebut communicative. Tetapi
bisa juga cara orang berjalan, berbicara itu dibuat-buat sehingga orang terkecoh. Semua tingkah kita
memang bersifat informatif dan bisa digunakan untuk komunikasi. Tetapi ini bukan berarti bahwa si
penerima selalu bisa memahami apa yang dimaksud oleh si pengirim. Dia memerlukan pengetahuan
tentang itu. Perbedaaan antara komunikasi sengaja atau tidak tergantung pada si pengirim, sedang
informatif atau tidak tergantung pada si penerima.
Selanjutnya simak Halliday dan Hasan mengulas fungsi bahasa. Dia membagi empat fungsi
yang bermakna dalam komunikasi. Jika ada kalimat “Kau tinggalkan bekas luka di pelipisnya” atau
tindakan seseorang yang memukul muka maka Tindak Komunikasi (TK) tersebut dinamakan
Experiential meaning/ makna pengalaman karena ada unsur lingkungan (Circumstantial element) yang
dikenai proses tindakan. Seorang guru yang meminta muridnya melakukan sesuatu termasuk dalam
Interpersonal meaning / makna antar pelibat karena terjadi interaksi antara pembicara dan pendengar
ditandai dengan respon dari pendengar. Dan jika dalam TK terdapat konsekuensi atau tindakan yang
membuat adanya konsekuensi seperti “jika….maka….. maka hal ini terjadi logical meaning / makna
logis. Contohnya dalam cuplikan puisi yang dikutip Halliday dalam bukunya, “Drink to me only with
thine eyes And I will pledge with mine/ Minumlah untukku hanya dengan matamu dan aku akan
berjanji dengan milikku”, kalimat tersebut membawa konsekuensi tertentu atas tindakan tertentu.
Sedangkan tekstual meaning / makna tekstual berfungsi mengorganisasikan pengalaman-pengalaman,
makna-makna logis dan interpersonal ke dalam suatu koherensi text.
Yang terakhir adalah menurut Gillian Brown dan George Yule, yang menyatakan bahwa fungsi
bahasa yang mengungkapkan “isi”- yaitu perasaan, mood, sikap pembicara- disebut transaksional,
sedang fungsi bahasa yang terlibat dalam pengungkapan hubungan-hubungan sosial dan sikap pribadi
disebut interaksional. Pada intinya komunikasi transaksional artinya komunikasi untuk menyampaikan
informasi seperti dikatakan Lyons (dalam Brown dan Yule) bahwa ia terutama akan tertarik pada
‘penyampaian informasi factual atau proposional yang disengaja’. Demikian juga dengan Bennett
(dalam Brown dan Yule) bahwa komunikasi adalah usaha pembicara untuk memberitahukan sesuatu
kepada pendengar atau menyuruhnya melakukan sesuatu. Bahasa yang dipakai dalam situasi seperti itu
‘berorientasi pesan’. Jadi pastikan agar tidak terjadi salah komunikasi antar pemberi dan penerima
pesan. Kita tidak bisa bayangkan jika terjadi salah komunikasi antara polisi dan pengendara, pilot
dengan petugas ATC, dokter dengan pasien atau guru dengan murid. Bencana akan terjadi jika pesan
tidak diterima dengan semestinya oleh penerima, sehingga perincian informasi yang benar menjadi
mutlak.
Selanjutnya untuk memahami komunikasi interaksional perhatikan illustrasi sebagai berikut: Dua orang
yang tidak saling kenal berdiri di halte bus sambil menggigil kedinginan terkena angin musim salju dan
yang seorang berpaling kepada yang lain sambil berkata, ”Aduh dinginnya!”, maka tidak mungkin
maksud TK tersebut bermaksud memberi informasi tentang dinginnya udara. Rasanya jauh masuk akal
jika maksud pembicara adalah kesediaannya untuk bersahabat dan ngobrol. Apalagi di Inggris topik
udara/cuaca menjadi ice breaker yang paling umum.
Sejauh ini kita sudah bicara tentang bahasa dan fungsi-fungsinya, tapi ada satu yang belum kita
bahas yang merupakan bidang garap bahasa yaitu teks dan konteks, karena jalan menuju pemahaman
bahasa adalah kajian teks yang selalu disandingkan dengan konteks. Menurut Halliday dalam sebuah
TK muncul empat makna sekaligus dan bisa dikodifikasi menurut konteks situasi.
Ada banyak teks di sekitar kita apakah dilisankan, tertulis, atau kejadian-kejadian non-verbal lainnya.
Nah.. teks yang menyertai atau melingkupi teks disebut konteks. Itulah kenapa Halliday memulai
pembahasan hal ini dari konteks atau disebut konteks situasi dengan asumsi bahwa dalam kehidupan
sesungguhnya konteks mendahului teks.
Beragam jenis konteks dapat dilihat dari tingkatan pragmatisnya, kami berikan illustrasi-ilustrasi
sebagai berikut untuk menggambarkan pragmatisme konteks yang beragam:
Ada dua mobil yang terlibat tabrakan, kedua pengendara mobil tersebut keluar dari mobil dan saling
maki. Maka kalimat-kalimat yang diproduksi keduanya sangat pragmatis dan menjadi bagian dari
situasi yang berlangsung. Kalimat-kalimat tersebut adalah teks sementara kejadian tabrakan adalah
konteks. Kejadian tabrakan mendahului teks-teks yang dihasilkan.
Kegiatan ndongeng bagi sebagian kalangan masyarakat tradisional adalah hal umum. Seperti
kebanyakan dongeng ataupun hikayat, isi cerita tidak berhubungan langsung dengan situasi ketika
hikayat itu disampaikan, apakah disampaikan di malam hari ataupun pagi hari, di luar rumah ataupun di
balai-balai. Teks yang tercipta (dongeng/hikayat) amat sangat tidak pragmatis. Dalam arti ini konteks
diciptakan oleh cerita itu sendiri.
Tapi kadangkala hikayat/cerita tersebut mempunyai konteks pragmatis sendiri yang dapat
dihubungnkan secara tidak langsung. Sebagai misal dongeng yang disampaikan saat musim paceklik
dan ancaman kelaparan yang berisi tentang bencana kelaparan di masa lalu dan bagaimana
kebersamaan nenek moyang mereka mengatasi masalah. Maka, cerita itu nyata sekali berfungsi.
Dengan kata lain masih ada konteks situasi meski tidak bisa dipandangsebagai hubungan langsung.
Teks sendiri adalah bahasa yang berfungsi, dan karena bahasa adalah sesuatu yang bisa
mengkomunikasikan maka maksud berfungsi adalah sedang melaksanakan tugas tertentu dalam
konteks tertentu sehingga memunculkan makna dalam TK tersebut seperti ditegaskan Halliday
“mempunyai makna”. Jadi tulisan “Jalanan rusak, harap hati-hati” pun termasuk teks, bendera putih di
depan gang pun sebuah teks. Karena teks tersebut me-refer ke konteks situasi tertentu. Sementara jika
kita dapati tulisan “Anak Gaul” bukan termasuk teks karean tidak terdapat unsur –istilah Haliday-
Anaphorik (hubungan yang merujuk ke konteks) karena tidak kita dapati konteks situasi yang objektif.
Padahal unsur anaphoric didapat jika text merefer kepada konteks.
Semoga bermanfaat.
Sumber:
Gillian Brown and George Yule (1983) Discourse Analysis, Cambridge University
Press.
Kaelan (2001) Filsafat Bahasa, Paradigma Press. Yogyakarta.
M.A.K. Halliday and R. Hassan. (1976) Cohesion in English. Cabridge University
Press.
M.A.K. Halliday and R. Hassan. (1985) Context and Text: Aspects of language in a social-semiotics
perspective. Deakin University. Victoria, Australia.
Sri Haldoko (2002). The Relationship between Text and Illustration in Philips Advertisments in Asia
Week. Unpublished Thesis.
S. Pit Corder (1973). Introducing Applied Linguistics, Penguin Education, Victoria.
Tongkronganbudaya.Wordpress.Com
Apa sih bahasa? Bahasa sesungguhnya hanyalah simbol-simbol bunyi-bunyian yang empiris,
maksudnya terbukti dengan adanya kodefikasi berupa bentuk-bentuk, kita mengenalnya dengan huruf.
Di samping itu simbol-simbol itu juga mempunyai makna yang non-empiris, maksudnya bisa jadi
bunyi-bunyian tersebut di satu tempat mempunyai makna yang beda dengan di tempat lain, kita
mengenalnya dengan arbriter.
Lalu dari mana manusia bisa berbahasa? Banyak teori yang berusaha menjawab pertanyaan ini tapi
ada dua aliran mainstream pemikiran tentang itu. Bloomfield bilang an infant required language by
imitating surrounding. Kita tahu Bloomfield adalah pengikut pemikiran Ferdinand de Saussure sebagai
peletak Strukturalisme dalam Modern Linguistics, sementara de Saussure melahirkan teorinya setelah
mensintesis pemikiran-pemikiran Plato. Jadi kalau kita lacak dari tulisan Bloomfield sebenarnya hal itu
berakar dari pikiran Plato tentang mimeo atau mimetic (meniru). Dalam penemuannya itu, ia
menandaskan, kemampuan berbahasa manusia adalah bentukan dari alam (lingkungan keluarga dan
masyarakat), manusia itu dibesarkan. bagaikan kertas kosong, alam mengisi dan membentuk
kemampuan manusia itu. Kita mengenalnya sebagai Bloomfieldian behaviorism.
Yang kedua adalah pendapatnya Chomsky. Dia berpendapat manusia tidak mungkin begitu saja bisa
berbahasa tapi diberkahi LAC, Language Acquisition Device-sebuah perangkat buat mengakuisisi
bahasa- yang bisa ruled govern creativity atau kemampuan menciptakan bahasa sendiri. Hal ini berarti
membantah keras teori Bloomfield. Sebagai ahli Matematik dia berpikir matematis. Dalam prinsip
mimetic/meniru, seorang yang meniru pasti mempunyai kemampuan menyimpan dalam memori yang
lebih rendah dari yang ditiru. Maksudnya, kalau kita melihat permainan menirukan kalimat secara
berantai maka dari 20 anak yang menirukan kalimat maka anak ke 20 bisa jadi tidak mampu menirukan
kalimat secara utuh seperti anak kedua, apalagi jika sampai anak ke 100. Kita tidak bisa bayangkan
kalau teori Bloomfield diterapkan dengan asumsi bahwa Adam adalah generasi pertama manusia maka
harusnya kita masih bisa menguasai bahasa kaum Adam. Barangkali apa yang terjadi di Papua-sebagai
daerah yang dikenal terkaya dari aspek linguistic-bisa dijadikan pemikiran. Di sana terdapat ribuan
suku atau sub-suku dengan bahasanya sendiri-sendiri walaupun kadang jumlah satu suku hanya satu RT
di mana jika terjadi perang suku dan punah suatu suku maka punah juga bahasanya. Tapi jika ada satu
atau dua orang yang selamat maka dia mampu menciptakan bahasa sendiri yang kadang jauh berbeda
dengan bahasa asalnya. Kita semua tahu dahulu di Papua sering terjadi perang suku sehingga bahasa
bisa “datang dan pergi” kapan saja. Chomsky meyakini hal itu sebagai kemampuan naluriah yang
diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Suatu hal yang mustahil bila kemampuan itu semata-mata
dianggap sebagai hasil pembelajaran dari alam atau kedua orang tuanya. Penguasaan terhadap tata
bahasa sebuah bahasa bukanlah hal yang mudah, terlebih untuk tingkat kanak-kanak.
Chomsky juga melakukan penelitian pada perkembangan berbahasa seorang anak. Seorang anak
dapat menguasai bahasa ibunya dengan mudah dan cepat, bahkan pengetahuan itu juga diikuti oleh
sense of language dari bahasa itu, yang lebih mengarah pada keterampilan dalam tata bahasa. Mereka
dapat mengenal cita rasa bahasa itu sehingga mampu merangkai kalimat dengan tepat, meski mereka
tak mungkin bisa menjelaskannya.
Sebenarnya, dia tidak serta-merta menolak teori behaviourisme secara total, ia mengakui peran serta
alam dalam membentuk potensi bawaan ini. Bila bayi orang Jepang dibawa dan dibesarkan di
Indonesia, ia akan menguasai bahasa serta tata bahasa Indonesia, dan begitu juga dengan bayi-bayi
lainnya. Oleh karena itulah, Chomsky meyakini bahasa potensial, yang ada pada setiap manusia, itu
sebagai bahasa universal. Teori linguistik Chomsky itu terlihat lebih humanis daripada teori
behaviourisme. Aliran behaviourisme menganggap manusia sebagai patung yang diukir oleh sang
arsitek bernama lingkungan, atau bagaikan robot yang sudah diatur sedemikian rupa oleh ilmuwan
penciptanya.
Teks dan Konteks
Tidak diragukan lagi tujuan kita berbahasa adalah agar terjadi komunikasi. Masalahnya adalah
bagaimana bentuk komunikasi terjadi. Sampai di sini para ahli mempunyai pendapat yang beragam.
Mari kita lihat beberapa di antaranya. Menurut Pit Corder ada dua jenis komunikasi; Intentional
(disengaja) dan unintentional (tidak disengaja). Simak ilustrasi berikut. Jika kita melihat seorang
tetangga berjalan di sepanjang jalan depan rumah kita tanpa dia sadar kita memperhatikannya, sering
hal itu memancing kita membuat konklusi tentang kira-kira kepribadian dia seperti apa, tentang kirakira dia mau ke mana,-hanya dari cara dia berjalan. Dalam hal ini cara dia berjalan seakan-akan
“memberi tahu” kita sesuatu dan semua orang pun faham bahwa dia tidak bermaksud dengan sengaja
berkomunikasi dengan kita. Ini yang dimaksud Unintentional Communication; mengkomunikasikan
sesuatu tanpa sengaja. Menurut Marshall dalam Pit Corder tindak komunikasi di atas disebut
informative sedang jika tindak komunikasi dilakukan dengan sengaja disebut communicative. Tetapi
bisa juga cara orang berjalan, berbicara itu dibuat-buat sehingga orang terkecoh. Semua tingkah kita
memang bersifat informatif dan bisa digunakan untuk komunikasi. Tetapi ini bukan berarti bahwa si
penerima selalu bisa memahami apa yang dimaksud oleh si pengirim. Dia memerlukan pengetahuan
tentang itu. Perbedaaan antara komunikasi sengaja atau tidak tergantung pada si pengirim, sedang
informatif atau tidak tergantung pada si penerima.
Selanjutnya simak Halliday dan Hasan mengulas fungsi bahasa. Dia membagi empat fungsi
yang bermakna dalam komunikasi. Jika ada kalimat “Kau tinggalkan bekas luka di pelipisnya” atau
tindakan seseorang yang memukul muka maka Tindak Komunikasi (TK) tersebut dinamakan
Experiential meaning/ makna pengalaman karena ada unsur lingkungan (Circumstantial element) yang
dikenai proses tindakan. Seorang guru yang meminta muridnya melakukan sesuatu termasuk dalam
Interpersonal meaning / makna antar pelibat karena terjadi interaksi antara pembicara dan pendengar
ditandai dengan respon dari pendengar. Dan jika dalam TK terdapat konsekuensi atau tindakan yang
membuat adanya konsekuensi seperti “jika….maka….. maka hal ini terjadi logical meaning / makna
logis. Contohnya dalam cuplikan puisi yang dikutip Halliday dalam bukunya, “Drink to me only with
thine eyes And I will pledge with mine/ Minumlah untukku hanya dengan matamu dan aku akan
berjanji dengan milikku”, kalimat tersebut membawa konsekuensi tertentu atas tindakan tertentu.
Sedangkan tekstual meaning / makna tekstual berfungsi mengorganisasikan pengalaman-pengalaman,
makna-makna logis dan interpersonal ke dalam suatu koherensi text.
Yang terakhir adalah menurut Gillian Brown dan George Yule, yang menyatakan bahwa fungsi
bahasa yang mengungkapkan “isi”- yaitu perasaan, mood, sikap pembicara- disebut transaksional,
sedang fungsi bahasa yang terlibat dalam pengungkapan hubungan-hubungan sosial dan sikap pribadi
disebut interaksional. Pada intinya komunikasi transaksional artinya komunikasi untuk menyampaikan
informasi seperti dikatakan Lyons (dalam Brown dan Yule) bahwa ia terutama akan tertarik pada
‘penyampaian informasi factual atau proposional yang disengaja’. Demikian juga dengan Bennett
(dalam Brown dan Yule) bahwa komunikasi adalah usaha pembicara untuk memberitahukan sesuatu
kepada pendengar atau menyuruhnya melakukan sesuatu. Bahasa yang dipakai dalam situasi seperti itu
‘berorientasi pesan’. Jadi pastikan agar tidak terjadi salah komunikasi antar pemberi dan penerima
pesan. Kita tidak bisa bayangkan jika terjadi salah komunikasi antara polisi dan pengendara, pilot
dengan petugas ATC, dokter dengan pasien atau guru dengan murid. Bencana akan terjadi jika pesan
tidak diterima dengan semestinya oleh penerima, sehingga perincian informasi yang benar menjadi
mutlak.
Selanjutnya untuk memahami komunikasi interaksional perhatikan illustrasi sebagai berikut: Dua orang
yang tidak saling kenal berdiri di halte bus sambil menggigil kedinginan terkena angin musim salju dan
yang seorang berpaling kepada yang lain sambil berkata, ”Aduh dinginnya!”, maka tidak mungkin
maksud TK tersebut bermaksud memberi informasi tentang dinginnya udara. Rasanya jauh masuk akal
jika maksud pembicara adalah kesediaannya untuk bersahabat dan ngobrol. Apalagi di Inggris topik
udara/cuaca menjadi ice breaker yang paling umum.
Sejauh ini kita sudah bicara tentang bahasa dan fungsi-fungsinya, tapi ada satu yang belum kita
bahas yang merupakan bidang garap bahasa yaitu teks dan konteks, karena jalan menuju pemahaman
bahasa adalah kajian teks yang selalu disandingkan dengan konteks. Menurut Halliday dalam sebuah
TK muncul empat makna sekaligus dan bisa dikodifikasi menurut konteks situasi.
Ada banyak teks di sekitar kita apakah dilisankan, tertulis, atau kejadian-kejadian non-verbal lainnya.
Nah.. teks yang menyertai atau melingkupi teks disebut konteks. Itulah kenapa Halliday memulai
pembahasan hal ini dari konteks atau disebut konteks situasi dengan asumsi bahwa dalam kehidupan
sesungguhnya konteks mendahului teks.
Beragam jenis konteks dapat dilihat dari tingkatan pragmatisnya, kami berikan illustrasi-ilustrasi
sebagai berikut untuk menggambarkan pragmatisme konteks yang beragam:
Ada dua mobil yang terlibat tabrakan, kedua pengendara mobil tersebut keluar dari mobil dan saling
maki. Maka kalimat-kalimat yang diproduksi keduanya sangat pragmatis dan menjadi bagian dari
situasi yang berlangsung. Kalimat-kalimat tersebut adalah teks sementara kejadian tabrakan adalah
konteks. Kejadian tabrakan mendahului teks-teks yang dihasilkan.
Kegiatan ndongeng bagi sebagian kalangan masyarakat tradisional adalah hal umum. Seperti
kebanyakan dongeng ataupun hikayat, isi cerita tidak berhubungan langsung dengan situasi ketika
hikayat itu disampaikan, apakah disampaikan di malam hari ataupun pagi hari, di luar rumah ataupun di
balai-balai. Teks yang tercipta (dongeng/hikayat) amat sangat tidak pragmatis. Dalam arti ini konteks
diciptakan oleh cerita itu sendiri.
Tapi kadangkala hikayat/cerita tersebut mempunyai konteks pragmatis sendiri yang dapat
dihubungnkan secara tidak langsung. Sebagai misal dongeng yang disampaikan saat musim paceklik
dan ancaman kelaparan yang berisi tentang bencana kelaparan di masa lalu dan bagaimana
kebersamaan nenek moyang mereka mengatasi masalah. Maka, cerita itu nyata sekali berfungsi.
Dengan kata lain masih ada konteks situasi meski tidak bisa dipandangsebagai hubungan langsung.
Teks sendiri adalah bahasa yang berfungsi, dan karena bahasa adalah sesuatu yang bisa
mengkomunikasikan maka maksud berfungsi adalah sedang melaksanakan tugas tertentu dalam
konteks tertentu sehingga memunculkan makna dalam TK tersebut seperti ditegaskan Halliday
“mempunyai makna”. Jadi tulisan “Jalanan rusak, harap hati-hati” pun termasuk teks, bendera putih di
depan gang pun sebuah teks. Karena teks tersebut me-refer ke konteks situasi tertentu. Sementara jika
kita dapati tulisan “Anak Gaul” bukan termasuk teks karean tidak terdapat unsur –istilah Haliday-
Anaphorik (hubungan yang merujuk ke konteks) karena tidak kita dapati konteks situasi yang objektif.
Padahal unsur anaphoric didapat jika text merefer kepada konteks.
Semoga bermanfaat.
Sumber:
Gillian Brown and George Yule (1983) Discourse Analysis, Cambridge University
Press.
Kaelan (2001) Filsafat Bahasa, Paradigma Press. Yogyakarta.
M.A.K. Halliday and R. Hassan. (1976) Cohesion in English. Cabridge University
Press.
M.A.K. Halliday and R. Hassan. (1985) Context and Text: Aspects of language in a social-semiotics
perspective. Deakin University. Victoria, Australia.
Sri Haldoko (2002). The Relationship between Text and Illustration in Philips Advertisments in Asia
Week. Unpublished Thesis.
S. Pit Corder (1973). Introducing Applied Linguistics, Penguin Education, Victoria.
Tongkronganbudaya.Wordpress.Com