Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 ISBN: 978-602-96848-2-7
LAB-ANE FISIP Untirta
[77] menjadi ukuran evaluasi penyelenggaraan kinerja
pemerintah daerah di Indonesia, mulai dari perencanaan, pengendalian maupun evaluasinya
PP nomor 6 tahun 2008, Permendagri no. 73 tahun 2009, Permendagri no 54 tahun 2010
Gambar 1. Tujuan DesentralisasiOtonomi Daerah
1.2 Kreativitas Daerah
Kreativitas daerah
ternyata beragam
menanggapi peluang dan tantangan dari otonomi daerah,-
setelah lebih
dari satu
dasawarsa implementasinya. Eko 2007 mengidentifikasi
variasi peran pemerintah daerah dari sisi pembangunan ekonomi dan sosial dan konteks
politik lokal, yang menjadi fondasi struktural daerah dan mempunyai kontribusi terhadap kesejahteraan
rakyat,
antara lain
1 variasi
tatakelola pemerintahan daerah local governance, yakni
tatacara mengelola kebijakan, keuangan daerah, dan birokrasi;
2 variasi
peran negara,
yang direpresentasikan oleh pemimpin daerah dan unsur
birokrasi daerah; 3 variasi pendekatan tatakelola pembangunan dan sumber-sumber produksi lokal..
Eko 2007 juga menyajikan tipologi daerah berdasar kemampuan keuangan dan orientasi
kebijakannya dalam tipologi 1 tipe daerah lemah; 2 tipe daerah budiman; 3 tipe daerah pelit; 4
tipe daerah sejahtera, dan; 5 tipe daerah royal. Dalam konteks kreativitas daerah, tipologi daerah
budiman ini yang dinilai berhasil memainkan peran pemerintah daerah mencapai tujuan desentralisasi,
yaitu kemandirian daerah melayani warganya. Daerah budiman ditandai dengan pemerintah daerah
sanggup melakukan distribusi belanja sosial yang tinggi, meski pendapatan daerah rendah. Daerah-
daerah budiman mempunyai karakter negara yang aktif, pemimpin lokal yang kuat dan responsif
maupun reformasi birokrasi. Decentralization Support
Facility 2008 menemukan banyak
pemerintah daerah yang belum menyadari potensi kontribusi mereka dalam peningkatan iklim usaha di
daerahnya. Terkait pengembangan ekonomi lokal, Sandee 2009:191 dengan sampel penelitian
pengembangan UMKM di Jawa, menemukan bahwa banyak pemerintah daerah kekurangan kemampuan
meraup peluang dari kebijakan desentralisasi yang mempersyaratkan inovasi kreatif dalam pembuatan
kebijakan dan
kemampuan berpikir
melalui pertimbangan biaya dan manfaat melalui kebijakan
baru. Salah satu kelemahan yang ditemukan adalah kurang
mengembangkan kerjasama
kemitraan dengan swasta ataupun kelompok masyarakat- yang
disebut sebagai pembangunan partisipatoris. Menurut Grindle 2007:56 desentralisasi adalah
suatu proses yang dinamis, riskan mengalami kemunduran-namun
juga kemajuan,
riskan penyelewengan- namun juga perbaikan kinerja, dan
memerlukan perhatian khusus tentang respon daerah lokal pada tanggungjawab baru dan pengelolaan
sumber daya. Menurutnya ada empat faktor yang berpengaruh pada kinerja pemerintahan lokal, yaitu
1 pemilihan kepala derah yang kompetitif rasional-profesional;
2 kewirausahaan
entrepreneurship sektor
publik- tantangan
kesempatan baru kepemimpinan; 3 Modernisasi sektor publik-penerpan ide-ide baru, penggunaan
tehnologi informasi,untuk
pengembangan manajemen dan administrasi yang lebih kapabel; 4
pengembangan ruang-ruang keterlibatan partisipasi masyarakat sipil.
2. PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL
DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH
Konsep ekonomi kerakyatan dalam artikel ini mengacu pada konsep pengembangan kemampuan
ekonomi masyarakat
lokal –dalam hal ini
masyarakat Surakarta-, terutama kelompok usaha non perusahaan besar, meskipun tidak menafikan
keterkaitannya dengan struktur makro ekonomi kota secara keseluruhan. Pengembangan ekonomi
kerakyatan
merupakan bagian
integral dari
pengembangan ekonomi lokal. Mengembangkan ekonomi lokal berarti membangun economic
competitiveness daya saing ekonomi suatu kota
untuk meningkatkan ekonominya. Dalam konteks otonomi daerah, priroritasi ekonomi lokal pada
peningkatan daya saing ini adalah krusial, mengingat kelangsungan hidup komunitas ditentukan oleh
kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan yang cepat dan meningkatnya kompetisi pasar.
Daya saing diukur dari beberapa indikator Munir dan Fitanto, 2008:23, yaitu:
a.
Struktur ekonomi: komposisi ekonomi, produktivitas, output dan nilai tambah, serta
tingkat investasi asing dan domestik b.
Potensi wilayah yang non tradeable seperti lokasi, sumber daya alam, citra daerah, amenity
masyarakat, biaya hidup dan iklim bisnis c.
Sumber daya manusia: kualitas SDM yang mendukung kegiatan ekonomi
d. Kelembagaan: konsistensi kebijakan pemerintah
dan perilaku
masyarakat yang
pro
Desentralisasi otonomi Teknik Administrasi atau
Praktik Administrasi Proses interaksi politik
Demokrasi Lokal Pembagian kekuasaan Sharing of power
Pembagian pendapatan distribution of income Pemberdayaan administrasi regional empowering of
regional administrastion
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 ISBN: 978-602-96848-2-7
LAB-ANE FISIP Untirta
[78] pengembangan ekonomi lokal, dan budaya
produktivitas. Bercermin dari pengalaman kota Surakarta, keempat
indikator daya saing ini nampaknya menjadi kompas kebijakan
pengembangan ekonomi
kota, sebagaimana dipaparkan berikut.
3. PENGALAMAN KOTA SURAKARTA
Kota Surakarta termasuk salah satu kota yang sering mendapatkan penghargaan atas kreativitas
dan inovasi penyelenggaraan governance . Beberapa penghargaan tersebut antara lain: 1 Penghargaan
Social Entrepreneurship Achievement tahun 2010
dari Majalah Swa; 2 Penghargaan Daya Saing Daerah tingkat provinsi Jawa Tengah tahun 2010;
3 Penghargaan Bung Hata Anti Korupsi Award BHAKA tahun 2010 bidang reformasi dan
pelayanan publik; 4 peringkat kota bersih korupsi naik menjadi nomor 3 tahun 2011; 5 anugerah
kotamadya berkinerja terbaik 2011.
Dari hasil penelitian Wahyuningsih 2010, pengalaman
di Kota
Surakarta, menyajikan
bagaimana kreativitas manajemen Pemerintah Kota Surakarta mengelola potensi ekonomi lokal melalui
upaya pengembangan
jeajaringkemitraan membangun kaitan linkage antara pemerintah,
masyarakat, dan dunia usaha dalam jaringan aktor, serta merespon tantangan perubahan dalam konteks
lokalitas. Kondisi geografis kota Surakarta tidak mempunyai sumber daya alam yang besar, tetapi
sebagai kota yang dikelilingi daerah produsen hasil pertanian. Sebagai kota yang memiliki peninggalan
kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran, Kota Surakarta memiliki warisan budaya tradisonal cukup
banyak. Kota Surakarta juga pusat koordinasi karesidenan masa lampau, banyak berdiri fasilitas
pemerintahan dan layanan jasa. Oleh karena itu orientasi pengembangan kota Surakarta sebagai kota
jasa
dan perdagangan.
Dalam rangka
mengoptimalkan potensi dasar kota tersebut, Pemerintah kota Surakarta
–dibawah pemerintahan Walikota Joko Widodo mengembangkan manajemen
city branding. Manajemen City Branding adalah
upaya membuat kota Surakarta terkenal di dunia melalui pencitraan kota. Pencitraan kota didasarkan
pada tiga pola utama pencitraan, yaitu produk, keunikankekhasan brand, dan kepuasan pelanggan.
Manajemen pengembangan kota didasarkan atas manajemen,
yaitu: 1
manajemen product
: menghasilkan produk yang unggul, dan kompetitif;
2 manajemen brand: mengelola hasilproduk kota yang mencerminkan karakter kota; dan 3
manajemen customer: membuat orang ingin kembali ke kota Surakarta untuk membelanjakan uangnya.
Hal yang dibangun adalah bagaimana memberikan kenyamanan pada orang yang datang ke kota
Surakarta,
mulai dari
pelayanan publiknya,
transportasi, penginapan, kuliner, dan keramahan masyarakatnya. Manajamen ini dilakukan secara
sinergis antar sektor dan antar stakeholder. Konsep lokal yang diyakini untuk mengelola kota ini adalah
“saiyeg saekapraja”, yaitu bersama-sama mengelola Kota, bukan hanya dari walikota atau pemerintah,
tetapi kota ini adalah milik bersama rakyat Surakarta.
Manajemen City
Branding memerlukan
reformasi manajerial birokrat dan birokrasinya. Oleh
karena itu
Walikota Joko
Widodo mengeinternalisi 4 cara berpikir kepada jajaran
birokrasi, yaitu: 1
From top down to partnership participatory Prinsip ini berarti menekankan partisipasi
stakeholder dibandingkan
perintah dari
pemerintah saja. 2
From bureaucratic style to entrepreneurial mindset
Cara berpikir ini menekankan pola berpikir kreatif di antara para SKPD dan pro aktif
mengembangkan kerjasama dnegan pihak swasta dan masyarakat;
3 From procedural attitude to end-result oriented
Perubahan dari cara berpikir yang lambat dan berbelit, kepada pola pikir yang responsif
terhadap peluang dan berorientasi pada hasil dan kemanfaatan yang diterima masyarakat;
4 From partial handling to integrative solution
Perubahan dari cara berpikir yang sektoral, parsial, kepada pemikiran yang komprehensif,
sinergis. Terkait dengan pengembangan ekonomi lokal,
penerapan prinsip-prinsip tersebut terwujud dalam implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah kota
Surakarta dalam kurun 7 tahun terakhir, yang akan dicontohkan dengan beberapa kasus berikut.
Prioritas pengembangan pasar tradisional menunjukkan pilihan basis ekonomi komunitarian
aktif. Penataan
pedagang pasar
tradisional merupakan kebijakan yang pro ekonomi kerakyatan,
berpihak pada kaum lemah dan perempuan. Pemba- ngunan pasar tradisional akan mampu membangun
kota ke arah pemberdayaan perempuan sebagai kelompok usaha. Hasilnya, pendapatan asli daerah
PAD dari pasar yang semula Rp 7 miliar naik menjadi Rp 12 miliar. Agar pasar tradisional
unggul, selain menata fisik bangunan, Walikota berusaha mengubah pola pelayanan dan perilaku
pedagang: ”Kesan pasar kotor dan jorok harus diubah jadi bersih dan higienis”. Dalam lima tahun
2005-2010, 13 pasar tradisional berhasil dibangun. Pasar Tradisional di Solo juga merupakan sentra
ekonomi masyrakat terutama juga masyarakat miskin. Sejumlah area di kota itu bebas PKL, seperti
Stadion Manahan dan Jalan Slamet Riyadi. Bahkan, di Jalan Slamet Riyadi, pedagang makanan diberi
gerobak seragam untuk mendukung city walk kawasan khusus pejalan kaki. Membuat city walk
di Jalan Slamet Riyadi, kawasan Ngarsapura di
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 ISBN: 978-602-96848-2-7
LAB-ANE FISIP Untirta
[79] depan Pura Mangkunegaran, penataan taman-taman
kota dan
bantaran sungai
untuk memberi
kenyamanan pelancong,
kesegaran psikologis
warga, dan pada ujungnya mendongkrak skala ekonomi kota.
Dunia usaha juga mendapat perhatian baik dari Walikota Surakarta. Pemerintah Kota Surakarta
mengkondisikan supaya iklim kota kondusif bagi partisipasi dunia usaha untuk menggerakkan roda
perekonomia dan pembangunan kota. Hal ini ditun- jukkan dengan program reformasi dan revitalisasi
pelayanan perijinan, sehingga terbentuklah Kantor Pelayanan Ijin Terpadu, dengan penampilan budaya
organisasi yang didesain mirip pelayanan dunia bisnis, misalnya dalam hal seragamnya, alur proses-
nya, tata ruangnya. Reformasi ini dibuktikan dengan. Kinerja ini juga dibuktikan dengan
diperolehnya piala dan piagam Citra Bhakti Abdi Negara dari Presiden untuk kinerja kota dalam
penyediaan sarana pelayanan publik, kebijakan, deregulasi penegakan disiplin dan pengembangan
manajemen pelayanan 11 Pebruari 2009, dan Penghargaan Bung Hata Anti Korupsi Award tahun
2010 bidang reformasi dan pelayanan publik. Pada tahun 2010, peringkat kota bersih korupsi naik
menjadi nomor 3 diantara 50 kota besar yang disurvey.
Keterlibatan dunia usaha dalam program pemerintah kota yang bersifat langsung ke
masyarakat belum terlalu besar, tetapi sudah ada. Misalnya dalam bantuan permodalan industri kecil.
Mitra usaha yang sudah bekerjasama dengan melakukan CSR Corporate Social Responsibility
adalah Bank Indonesia, Telkom, PT. Pos, Garuda Indonesia, dan PLN. Dunia usaha ini langsung
menetapkan kriteria dan pemilihan kelompok sasaran penerima bantuan. Kemitraan dengan dunia
usaha ini merupakan salah satu kraeativitas untuk mengembangkan ekonomi lokal masyarakat kota
Surakarta.
Di bidang
sektor informal,
Walikota memberikan lokasi baru pada PKL yang direlokasi
dengan membayar biaya retribusi sebesar Rp 2.600,- perhari di tempat baru yang suasananya jauh lebih
baik dibandingkan tempat para PKL berdagang sebelumnya. Dengan retribusi sebesar itu, modal
pemerintah sebesar Rp 9,8 miliar untuk membangun lokasi baru itu diperkirakan dapat kembali pada
kurun 9 tahun. Salah satu aksi kebijakan kota yang sangat
menarik perhatian
nasioanal bahkan
internasional adalah keberhasilan pemerintah kota Surakarta menertibkan 5.817 pedagang kaki lima
PKL, tanpa
kekerasan. Dari
kronologis pelaksanaan penertiban PKL ini, dapat diidentifikasi
kunci sukses kebijakan sebagai berikut: a.
Kebijakan didasarkan atas pengenalan kondisi masa lalu dan kondisi eksisting, serta
data riil kemauan publik. Pasca pelantikan menjadi Walikota periode
2005-2010, Walikota membentuk sebuah tim kecil untuk mensurvey keinginan warga kota
Solo dimana mayoritas masyarakat Surakarta menginginkan daerah Banjarsari ditertibkan
karena dirasa banyaknya PKL pasca kerusuhaan Solo 1998 sudah sangat mengganggu pengguna
jalan dan pemandangan kota. Namun demikian Walikota tidak ingin memancing konflik dengan
para PKL, karena keinginan sebagian masyarakat Solo yang ingin para PKL dipindahkan dari
jalan-jalan
dan taman.
Dengan mempertimbangkan
pengalaman masa
lalu dimana Solo sudah dua kali dibakar, Joko
Widodo kemudian memutuskan bahwa para PKL itu harus direlokasi dengan cara yang strategik
dan hati-hati.
Dengan latar
belakang pengalamannya sebagai pengusaha, digunakan
strategi “lobi meja makan” untuk berdialog dan
mencari kesepahaman dengan para PKL.
Targetnya para PKL di daerah Banjarsari, kawasan elite di Solo. Di sana terdapat 989
pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban. Para koordinator paguyuban diundang dan diajak
makan di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota. Namun pada pertemuan pertama ini hingga
pertemuan yang ke 53 tidak ada pembicaraan mengenai relokasi, tetapi hanya makan bersama
dan bersilaturahmi kepada para PKL. Pada jamuan ke-54, dimana saat itu semua PKL yang
hendak
dipindahkan hadir,
Walikota mengutarakan niatnya untuk merelokasi mereka.
Ketika hal itu diungkapkan, tidak ada satu pedagang pun yang menolak. Mereka setuju
dengan kebijakan yang diambil Walikota, sepanjang mereka mendapatkan tempat yang
baru untuk berdagang. Walikota berjanji akan memberikan
lokasi baru.
Walikota juga
menjanjikan akan
mempromosikan tempat
berdagang baru itu selama empat bulan di media lokal. Infrastruktur penunjang juga disiapkan,
yaitu memperluas jalan menuju pasar dan membuat satu trayek angkutan kota baru.
Hasilnya, Pemerintah Kota Surakarta berhasil menata ulang pasar di antaranya Pasar Klitikan
Notoharjo, Pasar Nusukan, Pasar Kembalang, Pasar Sidodadi, Pasar Gading, pusat jajanan
malam Langen Bogan, serta pasar malam Ngarsapura
b. Digerakkan oleh visi