EKONOMI KERAKYATAN DALAM TATANAN EKONOMI

EKONOMI KERAKYATAN DALAM TATANAN EKONOMI INDONESIA:
PERAN KOPERASI & USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
Toto Sugiharto, PhD
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma, Jakarta
tsharto@staff.gunadarma.ac.id
Abstrak
Salah satu fungsi dan tujuan didirikannya sebuah negara adalah menciptakan
kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Oleh karena itu, keberfungsian
sebuah negara tergambar pada seberapa sejahtera dan makmur rakyatnya. Dalam
teori ekonomi pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran sebuah negara diukur
melalui sejumlah indikator. Dua di antaranya adalah produk domestik bruto (PDB)
per kapita dan indeks pembangunan manusia (IPM). Berdasarkan data tentang kedua
indikator tersebut, Indonesia hingga tahun 2010 masih berada jauh di bawah negara
maju di kawasan Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. Bahkan di Asia Tenggara,
dilihat dari IPMnya, Indonesia masih berada di bawah Singapura, Brunei
Darussalam, Malaysia, dan Filipina. Indonesia hanya berada lima tingkat di atas
Vietnam dan 12 tingkat di atas Timor Leste. Hal tersebut, ditambah dengan masih
lebarnya kesenjangan antara “si kaya” dan “si miskin,” mengindikasikan bahwa
negara dan bangsa kita masih harus bekerja keras dan—mungkin lebih tepat—
bekerja cerdas untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Kaitan antara tingkat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran dengan tatanan

ekonomi nasional, khususnya kedudukan ekonomi kerakyatan yang “diwakili” oleh
koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah akan menjadi fokus bahasan dari
makalah ini.
Kata kunci: pembangunan ekonomi; produk domestik bruto; indeks pembangunan
manusia; tatanan ekonomi; ekonomi kerakyatan; koperasi; usaha mikro,
kecil, dan menengah.
1. Pendahuluan

Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, Negara
Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tanah tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Pengejawantahan dari amanat Undang Undang Dasar 1945 tersebut, khususnya yang
berkaitan dengan frasa “memajukan kesejahteraan umum,” pada hakekatnya
merupakan tugas semua elemen bangsa, yakni rakyat di segala lapisan di bawah
arahan pemerintah. Tidak terlalu salah jika, mengacu pada definisi tujuan pendirian

1

negara yang mulia tersebut, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia harus

dicapai dengan menerapkan prinsip “dari, oleh, dan untuk rakyat.”
Konsep tersebut telah jauh-jauh hari dipikirkan oleh Bung Hatta—wakil presiden
pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau, bahkan jauh sebelum
Schumacher—yang terkenal dengan bukunya Small is Beautiful, dan Amartya Sen—
pemenang Nobel 1998 Bidang Ekonomi, berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan
merupakan bentuk perekenomian yang paling tepat bagi bangsa Indonesia (Nugroho,
1997). Orientasi utama dari ekonomi kerakyatan adalah rakyat banyak, bukan
sebagian atau sekelompok kecil orang. Pandangan tersebut lahir, menurut Baswir
(2006), jauh sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta melalui artikelnya yang
berjudul “Ekonomi Rakyat” yang diterbitkan dalam harian Daulat Rakyat (20
November 1933), mengekspresikan kegundahannya melihat kondisi ekonomi rakyat
Indonesia di bawah penindasan pemerintah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa
“kegundahan” hati Bung Hatta atas kondisi ekonomi rakyat Indonesia—yang waktu
itu masih berada di bawah penjajahan Belanda, merupakan cikal bakal dari lahirnya,
katakanlah demikian, konsep ekonomi kerakyatan.

Lebih jauh, pemikiran mengenai pentingnya perekonomian yang berpihak kepada
rakyat menjadi dasar bagi lahirnya Pasal 27 dan 33 Undang Undang Dasar 1945.
Kedua pasal tersebut kemudian menjadi dasar pertimbangan dilahirkannya Undang
Undang Perkoperasian (UU Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992) dan Undang

Undang Usaha Kecil dan Menengah (UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2008). Dengan demikian, tampak jelas adanya keterkaitan yang erat antara ekonomi
kerakyatan dengan koperasi dan usaha kecil dan menengah.

Bahasan tentang peran kedua sektor usaha tersebut (koperasi dan usaha kecil dan
menengah) dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan relatif jarang mengemuka.
Namun, berkaca pada keadaan ekonomi saat ini yang sepertinya baik—sebagaimana
diindikasikan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sebesar 6,10 persen—
tetapi dibarengi oleh kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin yang semakin
melebar—sebagaimana diindikasikan oleh fakta yang menunjukkan bahwa dua

2

persen penduduk terkaya menguasai asset nasional sebesar 46 persen dan 98 persen
penduduk menguasai 54 persen asset nasional (Suryohadadiprojo, 2011), bahasan
tentang ekonomi kerakyatan dan kaitannya keberadaan koperasi dan usaha kecil dan
menengah dalam tatanan ekonomi nasional menjadi relevan.
2. Ekonomi Kerakyatan: Definisi dan Hakekatnya

Ekonomi kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas


kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan
pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat (Mubyarto, 2002). Lebih jauh ia
menjelaskan bahwa berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial
membutuhkan syarat yang sudah tentu harus dipenuhi. Syarat dimaksud adalah
adanya (i) kedaulatan di bidang politik, (ii) kemandirian di bidang ekonomi, dan (iii)
kepribadian di bidang budaya.

Definisi dengan penjelasannya di atas, pada dasarnya sejalan dengan apa yang
diperjuangkan para founding fathers bangsa ini (Bung Hatta utamanya) berupa
dirumuskannya Pilar Sistem Ekonomi Indonesia yang sejalan dengan agenda
reformasi sosial dan kemudian dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Pilar
dimaksud meliputi tiga aspek berikut.
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Mubyarto,2002).

Dalam pasal tersebut, tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi

dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggotaanggota masyarakat. Dengan perkataan lain, dalam sistem ekonomi kerakyatan
kemakmuran masyarakat merupakan fokus utama, bukan kemakmuran individu.
Oleh karena itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan.

3

Untuk lebih mudah memahami konsep ekonomi kerakyatan, Baswir (2006)
menyarankan untuk memulainya dengan menguraikan makna penggalan kalimat
pertama yang terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945. Penggalan dimaksud
adalah sebagai berikut.
“…dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu, perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan
yang sesuai dengan itu ialah koperasi.”
Dengan pendekatan di atas, dengan mudah kita ketahui bahwa yang dimaksud
dengan ekonomi kerakyatan tidak lain adalah “demokrasi ekonomi” sebagaimana
dimaksudkan oleh penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut yang secara substansial,
menurut Baswir (2006), mencakup tiga hal berikut.

1. Adanya partisipasi penuh seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan
produksi nasional. Karena dengan cara seperti ini lah semua anggota masyarakat
mendapat bagian dari seluruh hasil produksi nasional.
2. Adanya partisipasi penuh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil
produksi nasional. Di bawah kondisi seperti ini tidak ada satu pun anggota
masyarakat—termasuk fakir miskin—yang tidak menikmati hasil produksi
nasional.
3. Pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional harus berada di
bawah pimpinan atau penilikan anggota masyarakat. Dalam sistem ekonomi
kerakyatan, kedaulatan ekonomi harus berada di tangan rakyat. Hal ini bertolak
belakang dengan sistem ekonomi pasar, khususnya neoliberal, di mana kedaulatan
ekonomi sepenenuhnya berada di tangan pemilik modal. Kegiatan pembentukan
produksi nasional boleh dilakukan oleh para pemodal asing, namun kegiatan
tersebut harus tetap berada di bawah pengawasan dan pengendalian masyarakat.
Berkaitan dengan definisi ekonomi kerakyatan yang secara tegas dinyatakan
memiliki karakteristik yang ideal yakni berkeadilan sosial, Mubyarto (2002)
mengemukakan bahwa moral pembangunan yang mendasari paradigm pembangunan
yang berkeadilan sosial mencakup 6 aspek berikut.

4


1.

Peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun perempuan
dengan otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab.

2.

Penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem
dan kebijakan ekonomi.

3.

Pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural.

4.

Pencegahan kecenderungan disintegrasi sosial.

5.


Penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat.

6.

Pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.

3. Tatanan Perekonomian Indonesia
Pada akhir tahun 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa
dalam empat hingga lima tahun ke depan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia
akan mencapai 9 ribu triliun rupiah atau dua ribu triliun rupiah lebih tinggi daripada
PDB tahun 2010. Lebih jauh dijelaskan oleh Menko Perekonomian bahwa pada
tahun 2025 PDB Indonesia akan berada pada kisaran antara 3,7 hingga 4,7 triliun
dolar AS dengan pendapatan per kapita antara 12 ribu hingga 16 ribu dolar AS yang
setara dengan lebih kurang 8,5 juta hingga 11 juta rupiah per kapita per bulan.
Capaian yang cukup spektakuler tersebut akan direalisasikan melalui penggunaan
“sistem ekonomi terbuka” yakni :sistem ekonomi yang mengutamakan peran pasar
meski peran pemerintah tetap besar” (Suryohadiprojo, 2011).
Jelas dari ungkapan presiden dan pembantunya di atas, tatanan ekonomi Indonesia,

diakui atau tidak, tidak lain adalah—atau paling tidak, sebagaimana dikemukakan
Suryohadiprojo (2011), lebih mengarah ke tatanan ekonomi

neoliberasme yang

didefinisikan oleh Martinez dan García (2001) sebagai “…. a modern politicoeconomic theory favoring free trade, privatization, minimal government intervention
in business, reduced public expenditure on social ser vices, etc.” Di dunia, lanjut

mereka, neoliberalisme diterapkan oleh lembaga keuangan dunia yang sangat kuat
yakni International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan the Inter-American
Development Bank. Ciri lain dari ekonomi neoliberalisme adalah fokusnya yang kuat

5

pada pertumbuhan ekonomi yang biasa direpresentasikan, antara lain, oleh produk
domestik bruto (PDB).

Dampak langsung dari diterapkannya sistem ekonomi neoliberalisme adalah
turunnya upah sebesar 40 hingga 50 persen dan meningkatnya biaya hidup hingga 80
persen pada tahun pertama pemberlakuan NAFTA ( North America Free Trade

Agreement) di Meksiko. Lebih dari 20 ribu unit usaha kecil dan menengah

mengalami kepailitan dan tidak kurang dari seribu unit badan usaha milik pemerintah
(semacam BUMN) diprivatisasi. Berdasarkan pada fenomena tersebut, ada pihak
yang mengatakan bahwa neolibelisme di Amerika Latin tidak lain adalah
neokolonialisme—bentuk penjajahan baru (Martinez dan Garcia, 2001).

Meskipun belum didukung oleh data empiris yang akurat, gejala seperti apa yang
dialami Meksiko, yakni banyaknya unit usaha kecil dan menengah yang mengalami
kepailitan dan adanya sejumlah unit badan usaha milik pemerintah yang diprivatisasi,
di Indonesia sudah mulai menampakkan wajahnya. Kondisi tersebut ditambah
dengan semakin melebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi dalam perekonomian
serta tingginya tingkat kerusakan ekologi akibat eksploitasi besar-besaran,
mengindikasikan bahwa sebenarnya tatanan perekonomian yang diterapkan di
Indonesia adalah neoliberalisme (Baswir, 2009).

Bahkan,

lebih tegas ia


mengemukakan bahwa setelah melaksanakan agenda ekonomi neoliberal secara
masif dalam 10 tahun belakangan ini, cengkeraman neokolonialisme terhadap
perekonomian Indonesia cenderung semakin dalam. Sebuah pernyataan yang sesuai
dengan pendapat Martinez dan Gracia (2001) bahwa neoliberalisme—kali ini di
Indonesia, bukan di Amerika Latin—tidak lain adalah neokolonialisme.

Dilihat dari definisi dan orientasinya, sistem ekonomi neoliberalisme jauh
bersebarangan dengan sistem ekonomi kerakyatan. Tiga dari sejumlah perbedaan
yang ada antara keduanya adalah bahwa neoliberalisme diarahkan untuk (i) mengatur
dan menjaga bekerjanya mekanisme pasar sambil mencegah monopoli, (ii)
mengembangkan sektor swasta dan melakukan privatisasi BUMN, dan (iii) memacu
laju pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan menciptakan lingkungan yang kondusif

6

bagi masuknya investasi (Baswir, 2009). Dengan demikian, perjuangan untuk
membumikan sistem ekonomi kerakyatan masih panjang dan berat, meski masih
menyimpan secercah harapan, dengan syarat, seperti dikemukakan Swasono (2002),
bangsa ini tidak “menobatkan” pasar bebas sebagai “berhala baru” di mana semua
pihak—dari mulai menteri ekonomi hingga presiden bahkan kabinet yang dibentuk
presiden, harus bersahabat dengan pasar. Sebaliknya, pasarlah yang harus bersahabat
dengan kita, rakyat Indonesia.
4. Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dalam Tatanan Ekonomi
Indonesia dan Era Globalisasi
Konstituen utama sistem ekonomi kerakyatan adalah kelompok masyarakat yang
termarjinalkan dalam sistem ekonomi kapitalis neoliberal. Mereka, secara garis
besar, adalah kelompok tani, kelompok buruh, kelompok nelayan, kelompok pegawai
negeri sipil golongan bawah, kelompok pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah
serta kelompok miskin di perkotaan (Baswir, 2006). Sementara itu, koperasi jelas
diungkapkan dalam penjelasan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 merupakan
bangun perusahaan yang sesuai untuk menjadi wadah perekonomian rakyat. Dengan
demikian, koperasi dan usaha kecil dan menengah merupakan bagian integral dari
sistem ekonomi kerakyatan.

Dilihat dari jumlah unit usaha dan penyerapan tenaga kerja, usaha mikro, kecil, dan
menengah menempati posisi penting dalam perekonomian Indonesia. Hal tersebut
ditunjukkan oleh data yang mengindikasikan bahwa jumlah usaha kecil di Indonesia
pada 2009 tercatat tidak kurang dari 52 juta orang (99,92%). Jumlah tenaga kerja
yang terlibat dalam usaha kecil tercatat lebih dari 93 juta orang (88,59%). Namun,
kontribusi usaha kecil terhadap kegiatan ekspor masih relatif kecil, yaitu sebesar
5,38% (Kemenkop dan UKM, 2010). Perbandingan kinerja antara usaha mikro dan
kecil, usaha menengah, dan usaha besar juga dapat dilihat dari nilai tambah yang
dihasilkan untuk setiap sektor industrinya (Tabel 1).
Relatif masih kecilnya sumbangan UKM, termasuk di dalamnya IKM, pada PBD
umumnya dan pada nilai ekspornya khususnya disebabkan oleh sejumlah kelemahan
yang dimiliki sektor usaha yang banyak menyerap tenaga kerja ini. Sebagaimana

7

dilaporkan OECD (2002), kelemahan utama industri kecil dan menengah (IKM) di

Indonesia mencakup aspek berikut: (i) orientasi pasar; (ii) kualitas sumberdaya
manusia; (iii) penguasaan teknologi; (iv) akses pasar; dan (v) permodalan.

Tabel 1. Nilai tambah industri kecil, menengah, dan besar per sektor
industri pada tahun 2000 (Deperindag, 2002)
Sektor Industri
ISIC

Sektor

31

Makanan, Minuman, dan
Tembakau
Tekstil, Brg. Kulit & Alas
kaki
Kayu & Hasil Hutan
Lainnya
Kertas dan Barang Cetakan

32
33
34
35

Pupuk, Kimia dan Karet
Semen & Galian bukan
logam
Logam dasar besi dan baja
Alat angkutan., mesin &
peralatannya
Barang lainnya

36
37
38
39
Total

Industri
Kecil

Nilai Tambah (Rp Jutaan)
Industri
Industri
Menengah
Besar

Total

5.129.667

4.026.061

45.749.745

54.905.473

2.695.285

2.860.968

35.189.938

40.746.191

5.875.276

1.008.653

14.776.579

21.660.508

211.224

513.901

14.483.604

15.208.730

201.210

3.708.794

31.899.960

35.809.964

2.936.175

485.767

7.602.810

11.024.752

38.670

1.830.835

6.022.024

7.891.529

937.205

2.981.479

61.828.756

65.747.440

885.703

158.093

1.730.259

2.774.055

18.910.415

17.574.551

219.283.676

255.768.642

Sumber: Deperindag (2002)

Koperasi, di sisi lain, peranannya dalam perekonomian Indonesia tidak kecil. Dilihat
dari jumlahnya yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, jumlah
anggota aktif, dan volume usahanya yang tidak kecil, seperti dapat dilihat pada Tabel
2, koperasi diyakini memainkan peran yang cukup signifikan dalam perekonomian
Indonesia.
Tabel 2. Perkembangan koperasi, jumlah anggota, dan
volume usahanya Tahun 2005-2010
Tahun

Koperasi Aktif
(Unit)

Anggota Aktif
(Orang)

Volume Usaha (Miliar Rp)

2005
2006
2007
2008

94,818.00
98,944.00
104,999.00
108,930.00

27,286,784.00
27,776,133.00
28,888,067.00
27,318,619.00

40,831,693.56
62,718,499.78
63,080,595.00
68,446,244.39

2009
2010

120,473.00
175,102.00

29,240,271.00
31,125,080.00

82,098,587.19
87,514,341.36

Sumber: Kemenkop & UKM (2011)

8

Seperti tampak pada tabel di atas, hingga Maret 2010 jumlah koperasi aktif di tanah
air tidak kurang dari 175 ribu unit. Di dalamnya terlibat lebih dari 31 juta orang
anggota serta memutarkan modal lebih dari 87 triliun rupiah. Meskipun tidak ada
informasi tentang sumbangannya pada PDB, berdasarkan pada data tersebut,
koperasi berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Paling tidak, dengan
menjadi anggota koperasi, penduduk Indonesia berkesempatan untuk secara mandiri
memperbaiki ekonomi diri dan keluarganya.

Hal tersebut sesuai dengan definisi koperasi berikut. Kartasasmita (2007), menyitasi
Hanel (1985), mendefinisikan koperasi sebagai organisasi swadaya (self-helf
organization) yang berbeda dari organisasi swadaya lainnya, karena memiliki

karakteristik yang berbeda. Dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, koperasi didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan
orang-seorang atau badan hukum dengan melandaskan kegiatannya pada prinsip
koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
kekeluargaan.

Soetrisno (2003) menyatakan bahwa koperasi merupakan salah satu pilihan bentuk
organisasi ekonomi dalam menghadapi era globalisasi. Alasannya adalah karena
koperasi sejak kelahirannya disadari sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri
secara bersama-sama yang didasari oleh prinsip “self help and cooperation.” Sejalan
dengan pernyataan di atas, koperasi dipandang memilik peranan strategis dalam
perekonomian Indonesia, antara lain, karena tiga bentuk eksistensi koperasi
(Krisnamurthi, 2002). Ketiga bentuk eksistensi dimaksud, menurut Krisnamurthi
(2002) menyitasi PSP-IPB (199), adalah: (i) koperasi dipandang sebagai lembaga
yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut
diperlukan oleh masyarakat; (ii) koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha
lain; dan (iii) koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya.

Tentang pentingnya peranan koperasi dalam perekonomian Indonesia, lebih jauh
Hariyono (2003) menegaskan bahwa koperasi di Indonesia, yang pendiriannya

9

dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, merupakan lembaga kehidupan rakyat
Indonesia

untuk menjamin hak hidupnya yakni memperoleh pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu masyarakat
adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27
ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara.
Dapat disimpulkan bahwa koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah
merupakan bentuk pengejawantahan ekonomi kerakyatan—sistem perekonomian
yang lebih mementingkat kesejahteraan dan kemakmuran orang banyak bukan orangper orang. Kedue bentuk organisasi ekonomi ini, selain merupakan konstituen sistem
ekonomi kerakyatan, juga merupakan bentuk organisasi ekonomi yang cocok bagi
karakteristik bangsa Indonesia yang, menurut Hariyono (2003), lebih bersifat “homo
societas” daripada “homo economicus” yakni lebih mengutamakan hubungan

antarmanusia daripada kepentingan ekonomi atau materi.

5. Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah: Beberapa Kelemahan dan
Hambatan

Baik koperasi maupun usaha mikro, kecil, dan menengah, dilihat dari definisi dan
ruang lingkup serta karakteristik anggotanya yakni kecil ruang lingkup usahanya dan
anggotanya adalah (umumnya) rakyat kecil dengan modal terbatas dan kemampuan
manajerial yang juga terbatas, memiliki sejumlah hambatan dalam upaya memainkan
perannya dalam “kancah” perekonomian nasional.
Kelemahan yang dimiliki oleh usaha mikro, kecil, dan menengah, erat kaitannya
dengan karakteristik yang dimilikinya. Menurut Afiah (2009), usaha mikro, kecil,
dan menengah secara umum memiliki karakteristik berikut: (i) manajemen berdiri
sendiri, dengan perkataan lain, tidak ada pemisahan yang tegas antara pemilik dan
pengelola perusahaan; (ii) pemilik biasanya juga berperan sebagai pengelola; (iii)
modal umumnya disediakan oleh seorang pemilik atau sekelompok kecil pemilik
modal; (iv) daerah operasinya umumnya lokal, walaupun adanya sejumlah kecil
UMKM yang memiliki orientasi lebih luas bahkan beroreintasi ekspor; (v) ukuran
perusahaan (firm size), baik dari segi total aset, jumlah karyawan maupun sarana

10

prasarana relatif kecil. Seiring dengan karakteristiknya yang spesifik tersebut, usaha
mikro, kecil, dan menengah memiliki beberapa kelemahan ( weaknesses).

Kelemahan dimaksud, menurut Afiah (2009) dan Kuncoro (2000) adalah: (i)
kekurangmampuan dalam menangkap peluang pasar yang ada dan dalam
memperluas pangsa pasar; (ii) kekurangmampuan dan keterbatasan dalam mengakses
sumber dana (modal) dan kelemahan dalam struktur permodalan; (iii) rendahnya
kemampuan dalam bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia; (iv)
keterbatasan jaringan usaha kerjasama antarpelaku usaha mikro, kecil, dan
menengah; (v) berkaitan dengan kelamahan butir (v) adalah terciptanya iklim usaha
yang kurang kondusif, karena cenderung berkembang kea rah persaingan yang saling
mematikan; (vi) program pembinaan yang dilakukan masih kurang terpadu; dan (vii)
kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha mikro, kecil,
dan menengah.

Baik Afiah (2009) maupun Kuncoro (2000) bersepakat bahwa kelemahan-kelemahan
yang bersifat struktural di atas dapat diatasi dan akan menjadi sumber kekuatan, jika
diadakan perbaikan-perbaikan dalam struktur organisasi. Mendukung pendapat
kedua peneliti tersebut, Dipta (2007) dan Kumorotomo (2008) menyatakan bahwa
pemerintah menyadari bahwa upaya pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil,
dan menengah (UMKM) merupakan bagian penting dari upaya mewujudkan bangsa
yang berdaya-saing serta menciptakan embangunan yang merata dan adil. Lebih jauh
Kumorotomo

(2008)

menjelaskan

bahwa

langkah

pertama

dalam

upaya

mengonversikan kelemahan menjadi kekuatan adalah dengan mengubah asumsi yang
memandang koperasi dan UMKM sebagai lembaga usaha yang berskala terlalu kecil
untuk diperhatikan, lemah, terbelakang, dan, dengan sendirinya, patut dikasihani.
Oleh karena itu, menurut Dipta (2008), program-program pemberdayaan tidak
dikemas seperti program charity, yang menganggap bahwa anggaran yang
dikeluarkan semata-mata merupakan alokasi dana sosial tanpa upaya untuk
meningkatkan kemandirian dan kedewasaan berpikir para pelaku usaha tersebut.

11

Tidak berbeda dengan usaha mikro, kecil, dan menengah, koperasi juga memiliki
sejumlah kelemahan. Tiga di antaranya yang paling menonjol, menurut Partomo
(2004), adalah: (i) modal anggota yang relatif sedikit dan lemah dalam
pengelolaannya; (ii) kualitas sumberdaya manusia yang mengelola koperasi yang
relatif rendah (kemampuan manajemen yang masih rendah); (iii) kurang terjalinnya
kerjasama, baik antar-pengurus, antar-anggota, antara pengurus dan pengawas
maupun antara pengurus dan anggota; dan (iv) proses pengambilan putusan yang
bersifat demokratis cenderung menghasilkan putusan yang kurang efisien. Berkaitan
dengan keempat kelemahan koperasi di atas, Widiyanto (1996), sebagaimana disitasi
oleh Tambunan (2008), menemukan bahwa pada umumnya koperasi di Indonesia
tidak memiliki daya saing dan dilihat dari posisi bisnisnya sebagian besar koperasi
berada pada posisi “bertahan” dan cenderung ke arah “lemah.” Secara lebih lengkap
karakteristik koperasi di Indonesia disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 3. Kekuatan dan Kelemahan Faktor Internal Koperasi di Indonesia
No.

Faktor

Kekuatan

X
1
Captive market
X
2
Loyalitas
3
Mentalitas
X
4
Legalitas
5
Personalia
6
Dominasi kekuasaan
7
Konflik misi
8
Rantai distribusi
9
Administrasi
Sumber: Widiyanto (1996) dalam Tambunan (2008)

Kelemahan

Netral

X
X
X
X
X

X
-

Seperti tampak dalam tabel di atas, koperasi dilihat dari faktor internalnya masih
memiliki sejumlah kelemahan yang sudah tentu harus diupayakan untuk
mengatasinya.

6. Beberapa Alternatif Langkah ke Depan

Bertolak dari sejumlah kelemahan yang dimiliki baik oleh koperasi maupun usaha
mikro, kecil, dan menengah, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya,
sejumlah alternatif langkah dapat ditawarkan untuk mengatasinya.

12

Secara garis besar, langkah yang perlu diambil untuk lebih memberdayakan koperasi
dan usaha mikro, kecil, dan menengah, menurut Suarja (2007) adalah: (i) revitalisasi
peran koperasi dan perkuatan posisi usaha mikro, kecil, dan menengah dalam sistem
perkonomian nasional; (ii) memperbaiki akses koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah terhadap permodalan, teknologi, informasi, dan pasar serta memperbaiki
iklim usaha; (iii) mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pembangunan; dan (iv)
mengembangkan potensi sumberdaya lokal. Secara lebih teknis, Dipta (2007)
menawarkan pendekatan 3C, yakni competition (persaingan—dalam bentuk sistem
informasi terbuka, sistem legal, model bisnis yang dinamis, dan penguatan kapasitas
pengurus/manajer), cooperation (kerjasama—dalam bentuk kerjasama selektif,
pendidikan dalam penyusunan/perubahan model bisnis, dan kemitraan dengan public
dan perguruan tinggi), dan concentration (konsentrasi—dalam bentuk spesialisasi
produk, penentuan target produk).

Kedua pendekatan di atas lebih bersifat institusional atau kelembagaan—dalam hal
lembaga pemerintah yang bertanggungjawab atas perkembangan dan pemberdayaan
koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah. Dari sisi praktis, langkah yang perlu
diambil dalam upaya memberdayakan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah, harus didasarkan pada kelemahan yang ada. Oleh karena itu, peningkatan
kualitas sumberdaya manusia merupakan hal yang pokok baik pada koperasi maupun
maupun usaha mikro, kecil, dan menengah. Program pelatihan dan pendampingan
koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah yang bersifat terpadu dan
berkesinambungan merupakan salah satu pilihan terbaik. Namun, perlu ditekankan di
sini bahwa aspek kemandirian harus lebih diutamakan. Artinya, inisiatif pengadaan
atau pelaksanaan program pelatihan dan pendampingan harus berasal dari pihak
pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau dari pihak pengurus dan anggota
koperasi.

Langkah yang dapat dilakukan atau disumbangkan oleh pihak perguruan tinggi untuk
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah bertolak dari fungsi
dan tugasnya yang tercakup dalam tri darma perguruan tinggi: pendidikan;
penelitian; dan pengabdian kepada masyarakat. Melalui ketiga kegiatan tersebut

13

perguruan tinggi dapat melakukan banyak hal, baik berupa pendidikan (pelatihan dan
pendampingan), penelitian (dalam upaya menganalisis pelbagai aspek tentang
koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah) maupun program pengabdian
kepada masyarakat, yang fokus utamanya adalah koperasi dan usaha mikro, kecil,
dan menengah dengan beragam aspek yang berkaitan dengannya. Dengan
pendekatan yang sistematis semua upaya yang dilakukan akan lebih efektif, efisien,
dan berkesinambungan.

7. Simpulan

Koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah merupakan bentuk organisasi
ekonomi yang selaras dengan sistem ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi.
Melalui pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, pertumbuhan
ekonomi yang berkeadilan—perumbuhan yang dibarengi dengan pemerataan—di
mana kesenjangan antara “si kaya” dan “si miskin” semakin sempit, akan dapat
diwujudkan. Upaya ke arah yang—saya yakini—dicita-citakan oleh sebagian besar
rakyat Indonesia tersebut merupakan tanggung jawab semua pihak atau semua
pemangku kepentingan (stakeholders) yakni rakyat di segala lapisan dan pemerintah.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia pelaku usaha dan pengelola/pengurus erta
anggota koperasi dalam arti luas merupakan kunci dari semua upaya pemberdayaan
koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah. Dengan demikian, produk domestik
bruto (PDB) per kapita yang tinggi dan indeks pembangunan manusia (IPM) yang
juga tinggi dibarengi dengan kecilnya kesenjangan antara “si kaya” dan “si miskin”
atau pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan sosial pada saatnya akan terwujud.
Insya Allah.

Referensi
Afiah, N. N. (2009). “Peran Kewirausahaan dalam Memperkuat UKM Indonesia
Menghadapi Krisis Finansial Global.” Makalah disajikan dalam Research Day.
Faculty of Economics. Padjadjaran University. October 2009.
Baswir, R. (2009) “Ekonomi Kerakyatan vs Neoliberalisms.” www.spi.or.id/wpcontent/uploads/PDF/001.pdf (diakses 2 April 2011)

14

(2006) “Ekonomi Kerakyatan” Makalah disajikan dalam Diskusi Bulanan
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 18 Mei
2006.
Dipta, W. I. (2007) “Strategi Membangun Keunggulan Daya Saing Usaha Mikro,
Kecil, Menengah dan Koperasi di Indonesia dalam Era Perekonomian Baru.”
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Sehari: “Revitalisasi Strategi
Pembinaan Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi oleh Pemerintah/BUMN
dalam Perekonomian Baru.” Jakarta.
(2008) “Revitalisasi dan Optimalisasi Pengembangan Sumberdaya
Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah di Era Global.” www.smecda.com/
deputi7/file.. ./reorientasi_sumberdaya.pdf (diakses 30 Maret 2011).
Hariyono. (2003). “Koperasi Sebagai Strategi Pengembangan Ekonomi Pancasila.”
Jurnal Ekonomi Rakyat. Tahun II. No. 4. Juli 2003.
Kartasasmita, G. (2007). “Mewujudkan Demokrasi Ekonomi dengan Koperasi.”
Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional ICMI “Mewujudkan Demokrasi
Ekonomi dengan Koperasi” Bappenas, Jakarta, 27 Desember 2007
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. (2010). “Statistik Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah.” http://www.depkop.go.id/ (Diakses 15 April
2011)
Krisnamurthi, B. (2002). “Membangun Koperasi Berbasis Anggota dalam Rangka
Pengembangan Ekonomi Rakyat.” Jurnal Ekonomi Rakyat. Tahun I. No. 4. Juni
2002.
Kumorotomo, W. (2008). “Perubahan Paradigma Peran Pemerintah dalam
Pemberdayaan Koperasi dan UMKM.” Makalah Background Study RPJMN
Tahun 2010-2014 Bidang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Bappenas,
September 2008.
Kuncoro, M. (2000). “Usaha Kecil di Indonesia: Profil, Masalah dan Strategi
Pemberdayaan.” Makalah disajikan dalam Studium Generale “Strategi
Pemberdayaan Usaha Kecil di Indonesia”, di STIE Kerja Sama, Yogyakarta, 18
Nopember 2000.
Martinez, E. and A. Garcia. (2001) “What is Neo-liberalsm? A Brief Definition”
www.irtfcleveland.org/economicjustice/.../WhatIsNeoLiberalism.pdf (diakses 22
April 2011).
Mubyarto. (2002). “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi.” Jurnal Ekonomi
Rakyat. Tahun I. No. 7. September 2002.
(2003). “Dengan Ekonomi Pancasila Menyiasati Globalisasi.” Jurnal
Ekonomi Rakyat. Tahun II. No. 1. Januari 2003.

15

Nugroho, Y. (1997). “Pembangunan Ekonomi bagi Rakyat.” Wacana No. 8/Mei-Juni
1997.
Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) (2004),
“Promoting Entrepreneurship and Innovative SMEs in A Global Economy:
Towards a More Responsible and Inclusive Globalization: ICT, E-Business and
SMEs,” Second OECD Conference of Ministers Responsible for Small and
Medium-Sized Enterprises (SMEs), Organization for Economic Co-Operation
and Development (OECD)
Partomo, T.S. (2004). “Usaha Kecil dan Menengah dan Koperasi.” Working Paper
Series No. 9. Juni 2004. Center For Industry And SMEs Studies. Faculty of
Economics. University of Trisakti.
Soetrisno, N. (2006). “Ekonomi Rakyat—Usaha Mikro dan UKM dalam
Perekonomian Indonesia: Suatu Pandangan Struktural Alternatif.” www.smecda.
com /.. ./Ekonomi%20Rakyat%20-%20Usaha%20Mikro%20dan%20UKM.Pdf
(diakses 10 April 2011).
(2003). “Koperasi Mewujudkan Kebersamaan dan Kesejahteraan:
Menjawab Tantangan Global dan Regionalisme Baru.” Jurnal Ekonomi Rakyat.
Tahun II. No. 5. Agustus 2003.
Suarja. I. W. (2007). “Kebijakan Pemberdayaan UKM dan Koperasi Guna
Menggerakkan Ekonomi Rakyat dan MenanggulangiKemiskinan.” Makalah
disajikan pada Bimbingan Teknis Pengembangan UMKM dalam rangka
Meningkatkan Perekonomian Daerah dan Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan yang diadakan oleh LPPM. IPB-Bogor,7 dan 8 Nopember 2007.
Suryohadiprojo, S. (2011). “Kesenjangan adalah Kerawanan.” Kompas. Sabtu 8
Januari 2011.
Swasono, S. (2002). “Prospek dan Perkembangan Perekonomian Rakyat:
Antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Pasar.” Harian Kedaulatan Rakyat.
Jumat 2 Agustus 2002.
Tambunan, T. (2008). Prospek Perkembangan Koperasi di Indonesia ke Depan:
Masih Relevankah Koperasi di dalam Era Modernisasi Ekonomi? Pusat Studi
Koperasi dan UKM. Universitas Trisakti. Jakarta.

16