Pengaruh Return on Asset, Karakter Eksekutif, dan Dimensi Tata Kelola Perusahaan yang Baik Terhadap Tax Avoidance
PENGARUH RETURN ON ASSET, KARAKTER EKSEKUTIF, DAN DIMENSI TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
TERHADAP TAX AVOIDANCE
Cahyaning Dewi Handayani1, Muhammad Abdul Aris2, dan Mujiyati3 Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Surakarta email: cahyaningdh@gmail.com; muhammad.aris@ums.ac.id; mujiyati@ums.ac.id
Abstract
This study aims (1) to examine differences of tax avoidance activity between before and after income tax rate decreasing in 2008, (2) to examine the effect of return on asset, executive character and good corporate governance to tax avoidance in manufacturing companies listed on the Indonesia Stock Exchange for the period of 2007-2013. Sample was determined by purposive sampling method. From this method, there was collected 105 observations from 15 companies for 7 years. Analysis used different test with paired samples t-test and multiple linear regression. The results of this study indicate that tax avoidance had no differences between before and after income tax rate decreasing in 2008. Return on asset had negative significantly effect to tax avoidance. Executive character had positive significantly effect to tax avoidance. Whereas, good corporate governance consist of institutional ownership, the proportion of board independent commissioner, audit quality, and audit committe had no significantly effect to tax avoidance. This results were consistent to previous studies of Budiman and Setiyono (2012); Meilinda and Cahyonowati (2013); and Prakosa (2014).
Keywords: return on asset, executive character, good corporate governance, tax avoidance.
A.PENDAHULUAN
Pertumbuhan penerimaan pajak rata-rata mencapai 15,30%, sedangkan pertumbuhan alamiahnya rata-rata mencapai 12,17% selama periode 2007 s.d 2013. Hal ini menunjukkan bahwa realisasi penerimaan pajak tidak hanya didukung oleh faktor ekonomi, namun juga faktor-faktor nonekonomi. Salah satu faktor-faktor nonekonomi yang sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak adalah kebijakan perpajakan yang diambil pemerintah, seperti kebijakan tarif pajak (http://www.kemenkeu.go.id, 26 Januari 2015). Penurunan tarif pajak memberikan keuntungan tersendiri terutama bagi perusahaan go public yang memenuhi syarat tertentu, karena memperoleh tarif sebesar 5% lebih rendah dari tarif umum (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 17 ayat 2 huruf b j.o Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 pasal 2 ayat 1). Perubahan tarif pajak yang semula tarif progresif menjadi tarif tunggal, yaitu (1) tarif maksimal 30% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2008; (2) tarif 28% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2009; dan (3) tarif 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
Pajak merupakan hal yang menjadi perhatian penting karena beban pajak akan mengurangi laba bersih dan sudah menjadi rahasia umum perusahaan menginginkan pembayaran pajak seminimal mungkin (Kurniasih & Sari, 2013; Prakosa, 2014). Fiskus menghendaki penerimaan pajak yang sebesar-sebesarnya, sementara manajemen perusahaan menghendaki laba perusahaan tinggi dengan beban pajak yang rendah (Prakosa, 2014). Oleh karena itu, perusahaan melakukan upaya efisiensi pembayaran pajak dengan meminimalkan beban pajak dalam batas yang tidak melanggar aturan melalui aktivitas penghindaran pajak (tax avoidance).
Penelitian ini menggabungkan penelitian sebelumnya yaitu Kurniasih dan Sari (2013) dan Dewi dan Jati (2014) dengan menambah pembahasan mengenai fenomena aktivitas tax avoidance
antara sebelum dan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008 (tarif pajak progresif 30% ke tarif pajak tunggal 28% dan 25%) dengan periode penelitian dari tahun 2007-2013. Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh perbedaan aktivitas tax avoidance antara sebelum dan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008 dan menguji pengaruh return on asset, karakter eksekutif,
(2)
pengaruh dimensi tata kelola perusahaan yang baik terhadap aktivitas tax avoidance pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2007-2013.
B. KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
1. Terdapat perbedaan tingkat aktivitas tax avoidance antara sebelum dan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008
Tax avoidance adalah strategi dan teknik penghindaran pajak yang dilakukan secara legal dan
aman bagi wajib pajak karena tidak bertentangan dengan ketentuan perpajakan (Pohan, 2013: 13). Metode dan teknik yang digunakan adalah dengan memanfaaatkan kelemahan (grey area) yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan perpajakan itu sendiri untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.
Sejak reformasi perpajakan (tax reform) tahun 1983 hingga tahun 2008, salah satu perubahan yang mencolok pada ketentuan pajak penghasilan yaitu perubahan tarif yang membedakan antara wajib pajak orang pribadi dengan wajib pajak badan dan perubahan lapisan penghasilan kena pajak. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 17 ayat 2 huruf b menyatakan bahwa wajib pajak yang berbentuk perseroan terbuka yang telah go public dan paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di BEI mendapat fasilitas penurunan tarif 5% lebih rendah dari tarif yang berlaku umum. Meilinda dan Cahyonowati (2013) menyatakan bahwa pemberian fasilitas ini jelas memberikan keuntungan tersendiri bagi perusahaan. Keuntungan yang diperoleh perusahaan akan memberikan insentif bagi manajer untuk meminimalkan beban pajak. Perubahan tarif pajak mempengaruhi aktivitas tax avoidance. Perubahan tarif pajak terjadi pada tahun 2009 menjadi 28% dan tahun 2010 menjadi 25% (Masri & Martani, 2012). Perubahan tarif pajak akan mendorong perusahaan untuk meminimalkan pajak, dengan menunda pengakuan laba atau mempercepat pengakuan biaya pada tahun 2008, sehingga akan menunda pengakuan laba tahun 2008.
Hasil pengujian yang dilakukan oleh Meilinda dan Cahyonowati (2013) menunjukkan bahwa beda tarif pajak berpengaruh negatif terhadap pembayaran pajak, dimana terdapat penurunan tarif pajak efektif sebesar 2%. Namun, perubahan tarif pajak tidak memiliki pengaruh terhadap manajemen pajak.
H1: Terdapat perbedaan tingkat aktivitas tax avoidance antara sebelum dan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008.
2. Pengaruh ROA terhadap aktivitas tax avoidance
Return on asset (ROA) merupakan satu indikator yang mencerminkan kinerja operasional
perusahaan dan ROA dapat dijadikan sebagai pengukur keuntungan bersih yang diperoleh dari penggunaan aset. Semakin tinggi nilai ROA, semakin tinggi produktivitas aset dan semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan. Chen et al, (2010) menyatakan perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas tinggi memiliki kesempatan untuk melakukan upaya efisiensi dalam kewajiban pembayaran pajak melalui aktivitas tax avoidance. Berbeda dengan Chen et al (2010), hasil penelitian yang dilakukan oleh Prakosa (2014) dan Meilinda dan Cahyonowati (2013) menunjukkan bahwa ROA berpengaruh negatif terhadap aktivitas tax avoidance. Prakosa (2014) menyatakan jika ROA mengalami peningkatan maka aktivitas tax avoidance akan mengalami penurunan, sedangkan Meilinda dan Cahyonowati (2013) menyatakan bahwa perusahaan yang beroperasi dengan efisien akan mendapatkan tax subsidy berupa tarif pajak efektif yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perusahaan yang beroperasi dengan efisiensi rendah.
H2: ROA berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance.
3. Pengaruh karakter eksekutif terhadap aktivitas tax avoidance
Karakter eksekutif dibedakan menjadi dua yaitu risk taker dan risk averse yang tercermin dari besar kecilnya risiko perusahaan. Eksekutif yang memiliki karakter risk taker adalah eksekutif yang lebih berani dalam mengambil keputusan bisnis dan biasanya memiliki dorongan kuat untuk
(3)
memiliki penghasilan, posisi, kesejahteraan, dan kewenangan yang lebih tinggi. Sedangkan eksekutif yang memiliki karakter risk averse adalah eksekutif yang cenderung tidak menyukai risiko sehingga kurang berani dalam mengambil keputusan bisnis. Eksekutif risk averse jika mendapatkan peluang maka dia akan memilih risiko yang lebih rendah. Maccrimon dan Wehrung (1990) menyatakan bahwa eksekutif dengan karakter risk averse biasanya sudah berusia lebih tua, sudah lama memegang jabatan, dan memiliki ketergantungan dengan perusahaan. Dibandingkan dengan risk taker, eksekutif risk averse lebih menitik beratkan pada keputusan-keputusan yang tidak mengakibatkan risiko yang lebih besar.
Hasil penelitian yang dilakukan Budiman dan Setiyono (2012); Dewi dan Jati (2014); Maharani dan Suardana (2014); dan Swingly dan Sukartha (2015) menunjukkan bahwa karakter eksekutif berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Semakin eksekutif bersifat risk taker
maka akan semakin tinggi aktivitas tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan. H3: Karakter eksekutif berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance.
4. Pengaruh kepemilikan institusional terhadap aktivitas tax avoidance
Sugiarto (2009:17) menyatakan sistem hukum Indonesia lemah dalam hal proteksi hak investor, sedangkan konsentrasi kepemilikian sangat tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspita dan Harto (2014) menunjukkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap aktivitas penghindaran pajak perusahaan. Mekanisme pemegang saham institusional dalam tata kelola perusahaan berfungsi sebagai penghambat keputusan penghindaran pajak. Hal ini disebabkan pemegang saham institusional cenderung kurang agresif dalam strategi perusahaan dan mengharapkan kontribusi perusahaan terhadap pembangunan dalam pembayaran pajak.
Hasil berbeda diungkapkan oleh Annisa dan Kurniasih (2012) dan Dewi dan Jati (2014), kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Keberadaan investor institusional mengindikasikan adanya tekanan dari pihak institusional kepada manajemen perusahaan untuk melakukan kebijakan pajak agresif dalam rangka memperoleh laba yang maksimal untuk investor institusional.
H4: Kepemilikan institusional berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance.
5. Pengaruh proporsi dewan komisaris independen terhadap aktivitas tax avoidance
Perusahaan-perusahaan Indonesia menganut hukum civil Belanda dan Eropa yang memiliki struktur manajemen dua strata (two tier), yang memisahkan antara fungsi dewan direksi sebagai eksekutif perusahaan dan fungsi dewan komisaris sebagai pengawas perusahaan (Sugiarto, 2009: 38). Komisaris independen didefinisikan sebagai seorang yang tidak terafiliasi dalam segala hal dengan pemegang saham pengendali (Annisa & Kurniasih, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prakosa (2014) menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap aktivitas penghindaran pajak, jika komisaris independen mengalami peningkatan maka aktivitas penghindaran pajak akan mengalami penurunan, peningkatan proporsi dewan komisaris independen dapat mencegah terjadinya aktivitas penghindaran pajak.
Hasil berbeda diungkapkan oleh Annisa dan Kurniasih (2012); Hanum dan Zulaikha (2013); Kurniasih dan Sari (2013); Meilinda dan Cahyonowati (2013); Dewi dan Jati (2014); dan Puspita dan Harto (2014) bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Keberadaan dewan komisaris independen tidak efektif dalam upaya pencegahan penghindaran pajak. Penambahan anggota dewan komisaris independen hanya untuk memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan, sementara pemegang saham mayoritas masih memegang peranan penting sehingga kinerja dewan komisaris tidak meningkat.
(4)
6. Pengaruh kualitas audit terhadap aktivitas tax avoidance
Kualitas audit dapat diartikan sebagai bagus tidaknya suatu pemeriksaan yang telah dilakukan oleh auditor. Transparansi merupakan salah satu prinsip penting dalam tata kelola perusahaan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melaporkan hal-hal terkait dengan perpajakan pada pasar modal dan RUPS. Annisa dan Kurniasih (2012), dan Dewi dan Jati (2014) menyatakan bahwa kualitas audit bisa diukur berdasarkan besar kecilnya ukuran KAP yang melakukan audit pada suatu perusahaan. Perusahaan yang diaudit oleh KAP The Big Four terbukti tidak melakukan praktik penghindaran pajak, karena auditor dari KAP The Big Four lebih kompeten dan profesional dibandingkan dengan auditor dari KAP nonThe Big Four.
H6: Kualitas Audit berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance.
7. Pengaruh komite audit terhadap aktivitas tax avoidance
Komite audit adalah komite yang bertanggung jawab mengawasi audit eksternal perusahaan dan merupakan kontak utama antara auditor dengan perusahaan (Dewi & Jati, 2014). Annisa dan Kurniasih (2012), dan Dewi dan Jati (2014) menyatakan bahwa keberadaan komite audit memiliki pengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Semakin tinggi keberadaan komite audit dalam perusahaan akan meningkatkan kualitas tata kelola perusahaan, sehingga akan memperkecil kemungkinan aktivitas tax avoidance yang dilakukan. Hasil berbeda diungkapkan oleh Kurniasih dan Sari (2013), Hanum dan Zulaikha (2013), dan Prakosa (2014), keberadaan komite audit tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan beban pajak yang terkait dengan aktivitas tax avoidance. Jumlah anggota komite audit pada perusahaan tidak memberikan jaminan bahwa perusahaan tidak melakukan aktivitas tax avoidance.
H7: Komite Audit berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance.
C.METODE PENELITIAN Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatory yang didesain untuk memperoleh kejelasan fenomena yang terjadi di dunia empiris dan berusaha menjelaskan hubungan kausal (Sugiyono, 2012: 56) antara return on asset, karakter eksekutif, dan dimensi tata kelola perusahaan yang baik terhadap aktivitas tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2007-2013.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2007-2013. Perusahaan manufaktur dipilih dengan kriteria karena mayoritas emiten di BEI adalah perusahaan manufaktur sehingga dimungkinkan untuk memperoleh variasi data (Dewi & Jati, 2014). Sampel penelitian ditentukan dengan teknik purposive sampling. Kriteria penentuan sampel terangkum dalam tabel berikut:
(5)
Tabel 1. Kriteria Penentuan Sampel
Kriteria Total
Perusahaan manufaktur yang terdaftar dan menerbitkan laporan keuangan auditan
berakhir pada tanggal 31 Desember berturut-turut selama periode 301 2007-2013
Dikurangi:
1. Laporan keuangan auditan tidak berakhir pada tanggal 31 Desember 7
2. Perusahaan dengan data tidak lengkap 133
3. Perusahaan yang menggunakan mata uang selain Rupiah 35
4. Perusahaan dengan nilai laba negatif 28
Sampel yang memenuhi kriteria 105
Dikurangi: Data outlier 9
Jumlah sampel setelah outlier 96
Sumber:www.idx.co.id Data dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari laporan tahunan (Annual Report) dan laporan keuangan perusahaan manufaktur yang diperoleh melalui situs www.idx.co.id dan situs masing-masing perusahaan sampel. Adapun daftar perusahaan manufaktur didapat dari ICMD (Indonesian
Capital Market Directory) tahun 2008-2013.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode studi pustaka atau literature melalui buku teks, jurnal ilmiah, artikel serta sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Definisi operasional dan pengukuran variabel dalam penelitian ini terangkum dalam tabel berikut:
Tabel 2. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
No Variabel Pengukuran
Dependen
1. Tax Avoidance Pembayaran Pajak
Laba Sebelum Pajak Independen
1. Return on Asset (ROA) Laba Bersih x 100%
Total Aset 2. Karakter Eksekutif (KAE)
3. Kepemilikan Institusional (KEI) Kepemilikan saham institusional Total saham beredar
4. Proporsi Dewan Komisaris Independen (DKI)
Jumlah Komisaris Independen Total Komisaris
5. Kualitas Audit (KUA) 1 jika diaudit oleh KAP The Big Four
0 jika diaudit oleh KAP nonThe Big Four
6. Komite Audit (KOA) 1 jika ada komite audit 0 jika tidak ada komite audit Sumber: Data sekunder diolah, 2015
(6)
Teknik Analisis Data 1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif berfungsi mendeskripsikan atau memberi gambaran tentang suatu data yang dilihat dari nilai minimum, maksimum, rata-rata (mean), dan standar deviasi yang dihasilkan dari masing-masing variabel penelitian (Ghozali, 2012:19).
2. Uji Beda T-Test dengan Sampel Berpasangan (Paired Samples T-Test)
Paired samples t-test bertujuan menguji beda rata-rata antara dua sampel yang berpasangan
(Sunjoyo et al., 2013: 94). Penelitian ini menguji perbedaan rata-rata aktivitas tax avoidance
antara sebelum dan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008. Rata-rata aktivitas tax
avoidance dikatakan terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah penurunan tarif PPh Badan
tahun 2008 jika thitung > ttabel dengan nilai signifikansi < 0,05 (Ghozali, 2012: 68). 3. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dilakukan agar model regresi tidak terdapat masalah multikolinieritas, heteroskedadastisitas, autokorelasi, dan data terdistribusi normal. Jika asumsi klasik terpenuhi maka akan menghasilkan estimator yang sesuai Best Linear Unbiased Estimator (BLUE), yang artinya model regresi dapat digunakan sebagai alat estimasi penelitian (Widarjono, 2010: 75). 4. Analisis Regresi Linear Berganda
Analisis regresi linear berganda digunakan untuk menguji pengaruh rasio return on asset, karakter eksekutif, dan dimensi tata kelola perusahaan yang baik terhadap aktivitas tax avoidance.
Model dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
TAV = α + β1ROA + β2KAE + β3KEI + β4DKI + β5KUA + β6KOA + ε dimana :
TAV = Tax avoidance
α = Konstanta ROA = Return on asset
KAE = Karakter eksekutif
KEI = Kepemilikan institusional
DKI = Proporsi dewan komisaris independen KUA = Kualitas audit
KOA = Komite audit
ε = error term
D.HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Statistik Deskriptif
Berikut adalah statistik deskriptif dari data penelitian:
Tabel 3. Statistik Deskriptif
Keterangan N Min Max Mean Std. Dev
TAV 96 0,12 0,47 0,2739 0,07330
ROA 96 0,01 0,41 0,1373 0,08473
KAE 96 0,06 0,59 0,2234 0,10872
KEI 96 0,03 0,96 0,3043 0,18470
DKI 96 0,25 1,00 0,4631 0,17960
KUA 96 0,00 1,00 0,7292 0,44672
KOA 96 0,00 1,00 0,9896 0,10206
(7)
Tax avoidance (TAV) memiliki nilai rata-rata sebesar 0,2739 yang berarti bahwa rata-rata pembayaran pajak dari perusahaan sampel sebesar 27% dari laba sebelum pajak. Return on asset
(ROA) memiliki nilai rata-rata sebesar 0,1373 yang berarti bahwa rata-rata kemampuan perusahaan sampel dalam menghasilkan laba sebesar 14% dari total aset yang digunakan. Karakter eksekutif (KAE) memiliki nilai rata-rata sebesar 0,2234 yang berarti bahwa rata-rata eksekutif pada perusahaan sampel memiliki kecenderungan risk taker, dimana nilai risiko lebih besar dibandingkan deviasi standar risiko (0,2234>0,1077). Kepemilikan institusional (KEI) memiliki nilai rata-rata sebesar 0,3043 yang berarti bahwa rata-rata kepemilikan institusional perusahaan sampel 30% dari total saham beredar. Proporsi dewan komisaris independen (DKI) memiliki nilai rata-rata sebesar 0,4631 yang berarti bahwa rata-rata proporsi dewan komisaris independen yang ada di perusahaan sampel sebesar 46% dari jumlah total komisaris. Kualitas audit (KUA) memiliki nilai rata-rata sebesar 0,7292 yang berarti bahwa rata-rata kualitas audit perusahaan sampel sebesar 73%. Komite audit KOA) memiliki nilai rata-rata sebesar 0,9896 yang berarti bahwa rata-rata perusahaan sampel telah meningkatkan kualitas tata kelola perusahaan yang baik dilihat dari sisi keberadaan komite audit yang ada di perusahaan sampel.
2. Uji Beda T-Test dengan Sampel Berpasangan (Paired Samples T-Test) Hasil uji paired samples t-test disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 4. Hasil Paired Samples T-Test
Uji Beda thitung ttabel Sig. Keterangan TAV08 – TAV09 -0,561 2,145 0,584 Tidak terdapat perbedaan TAV09 – TAV10 1,167 2,145 0,263 Tidak terdapat perbedaan
Sumber: Data sekunder diolah, 2015
Uji beda TAV08–TAV09 memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (-0,561 < 2,145) dengan nilai signifikansi lebih dari 0,05 (0,584 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata aktivitas tax avoidance antara sebelum penurunan tarif PPh Badan tahun 2008 (TAV08) dengan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008 (TAV09). Uji beda TAV09–TAV10 memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (1,167 < 2,145) dengan nilai signifikansi lebih dari 0,05 (0,263 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata aktivitas tax avoidance sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008 (TAV09 dan TAV10).
3. Uji Asumsi Klasik
Hasil uji asumsi klasik terangkum dalam tabel berikut:
Tabel 5. Hasil Uji Asumsi Klasik Keterangan
Uji Normalitas
Uji Multikolinieritas
Uji
Heteroskedastisitas Uji Autokorelasi
Z UU Tolerance VIF Sig.
Unstandardized Residual
0,768 0,595
ROA 0,118 8,488 ,701
KAE 0,120 8,343 ,933
KEI 0,812 1,231 ,913
DKI 0,671 1,490 ,424
KUA 0,739 1,353 ,147
KOA 0,964 1,037 ,148
Durbin Watson 1,858
(8)
Besarnya nilai statistik Kolmogorov Smirnov adalah 0,768 dengan nilai U sebesar 0,595.
Dengan tingkat signifikansi α= 5% atau 0,05 maka Ulebih besar dari α (0,595 > 0,05) yang berarti
data residual terdistribusi normal dan model regresi layak untuk dipakai dalam penelitian ini. Nilai
tolerance > 1 dan VIF < 10 yang berarti data tidak terdapat masalah multikolinearitas. Keenam variabel independen memiliki nilai signifikansi > 0,05 yang berarti model regresi tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Hasil uji Durbin-Watson menunjukkan bahwa nilai d berada diantara dU dan 4-dU (1,8023 < 1,858 < 2,1977) yang berarti model regresi tidak terdapat masalah autokorelasi.
4. Analisis Regresi Linear Berganda
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan persamaan regresi linear berganda, sebagai berikut:
Tabel 6. Hasil Pengujian Regresi
Uji Statistik t B thitung ttabel Sig. Keterangan
Konstanta -0,946 -3,167 0,002
ROA -0,394 -3,224 1,987 0,002 Berpengaruh
KAE 0,385 2,282 1,987 0,025 Berpengaruh
KEI -0,001 -0,019 1,987 0,985 Tidak berpengaruh
DKI 0,191 1,933 1,987 0,056 Tidak berpengaruh
KUA -0,016 -0,236 1,987 0,814 Tidak berpengaruh KOA -0,455 -1,715 1,987 0,090 Tidak berpengaruh Uji Statistik F
Nilai F 3,001
Sig. 0,010
Uji Koefisien Determinasi
R Square 0,168
Adjusted R Square 0,112
Sumber: Data sekunder diolah, 2015 5. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan
a. Terdapat perbedaan tingkat aktivitas tax avoidance antara sebelum dan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008
Berdasarkan hasil paired samples test yang disajikan dalam tabel 4 diketahui bahwa rata-rata nilai TAV08–TAV09 memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (-0,561 < 2,145) dengan nilai signifikansi lebih dari 0,05 (0,584 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata aktivitas tax avoidance antara sebelum penurunan tarif PPh Badan tahun 2008 (TAV08) dan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008 (TAV09). Perubahan tarif pajak progresif 30% di tahun 2008 menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 (turun 2%) tidak memicu manajemen untuk tidak melakukan aktivitas tax avoidance. Demikian juga dengan rata-rata nilai TAV09–TAV10 memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (1,167 < 2,145) dengan nilai signifikansi lebih dari 0,05 (0,263 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata aktivitas tax avoidance sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008 (TAV09-TAV10). Perubahan tarif pajak tunggal 28% di tahun 2009 menjadi 25% di tahun 2010 (turun 3%) tidak memicu manajemen untuk tidak melakukan aktivitas tax avoidance.
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang undang-undang yang merevisi tarif pajak di Indonesia dan berlaku efektif pada tahun 2009 dan 2010, menjadi pembahasan utama dalam penelitian ini, terutama untuk perubahan tarif pajak penghasilan badan. Adanya perubahan tarif pajak badan memberikan keuntungan tersendiri terutama bagi perseroan terbuka yang telah go
(9)
public karena mendapat fasilitas penurunan tarif 5% lebih rendah dari tarif yang berlaku umum (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 17 ayat 2 huruf b j.o Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 pasal 2 ayat 1). Keuntungan yang diperoleh perusahaan akan memberikan insentif bagi manajer untuk meminimalkan pajak melalui aktivitas tax avoidance (Meilinda & Cahyonowati, 2013).
Penelitian ini menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata aktivitas tax avoidance antara sebelum dan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Meilinda dan Cahyonowati (2013).
b. ROA berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance
Berdasarkan hasil pengujian regresi yang disajikan dalam tabel 6 diketahui bahwa return on asset (ROA) memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (-3,224 < 1,985) dengan nilai signifikansi kurang dari 0,05 (0,002 < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa return on asset
berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance namun dengan nilai koefisien negatif. Hal ini berarti apabila ROA mengalami peningkatan maka aktivitas tax avoidance mengalami penurunan. ROA merupakan indikator kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba sehingga ROA merupakan faktor penting dalam pengenaan pajak penghasilan bagi perusahaan. Demikian tingginya nilai ROA akan dilakukan perencanaan pajak yang matang sehingga menghasilkan pajak yang optimal sehingga kecenderungan melakukan aktivitas tax avoidance akan mengalami penurunan. Perusahaan yang beroperasi dengan efisiensi tinggi akan mendapatkan tax subsidy
berupa tarif pajak efektif yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang beroperasi dengan efisiensi rendah (Meilinda & Cahyonowati, 2013). Penelitian ini gagal menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa return on asset berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Meilinda dan Cahyonowati (2013) dan Prakosa (2014).
c. Karakter eksekutif berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance
Berdasarkan hasil pengujian regresi yang disajikan dalam tabel 6 diketahui bahwa karakter eksekutif (KAE) memiliki nilai thitung lebih besar dibanding ttabel (2,282 > 1,985) dengan nilai signifikansi kurang dari 0,05 (0,025 < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa karakter eksekutif berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance. Tinggi rendahnya nilai risiko perusahaan mengindikasikan kecenderungan karakter eksekutif. Tingkat risiko yang tinggi mengindikasikan bahwa eksekutif lebih bersifat risk taker yang lebih berani dalam mengambil risiko. Artinya apabila eksekutif semakin bersifat risk taker maka akan semakin tinggi aktivitas tax avoidance
yang dilakukan oleh perusahaan. Aktivitas tax avoidance merupakan sesuatu yang legal (lawful) namun juga merupakan sesuatu yang tidak menjadi selera pemerintah. Hanya pihak-pihak yang berani mengambil risiko yang mau melakukan hal tersebut, tentunya termasuk risiko yang tidak mendukung pembangunan nasional melalui pembayaran pajak (Budiman & Setiyono, 2012).
Penelitian ini gagal menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa karakter eksekutif berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Budiman dan Setiyono (2012); Dewi dan Jati (2014); Maharani dan Suardana (2014) dan Swingly dan Sukartha (2015).
d. Kepemilikan institusional berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance
Berdasarkan hasil pengujian regresi yang disajikan dalam tabel 6 diketahui bahwa kepemilikan institusional (KEI) memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (-0,019 < 1,985) dengan nilai signifikansi lebih dari 0,05 (0,985 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance. Keberadaan pemilik institusional ikut berperan aktif mengawasi efektivitas dan efisiensi pengelolaan perusahaan sehingga dapat menghalangi perilaku oportunis manajer (Sari et al, 2010). Keberadaan pemilik institusional
(10)
mengindikasikan adanya tekanan dari pihak institusional kepada manajemen perusahaan untuk melakukan kebijakan pajak agresif dalam rangka memperoleh laba yang maksimal untuk pemilik institusional. Pemilik institusional mengharapkan perusahaan memberikan kontribusi untuk pembangunan dalam bentuk pembayaran pajak. Keberadaan pemilik institusional dalam mekanisme tata kelola perusahaan berfungsi sebagai penghambat keputusan penghindaran pajak (Puspita & Harto, 2014).
Penelitian ini menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Annisa dan Kurniasih (2012); Dewi dan Jati (2014) dan Maharani dan Suardana (2014).
e. Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance Berdasarkan hasil pengujian regresi yang disajikan dalam tabel 6 diketahui bahwa proporsi dewan komisaris independen(DKI) memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (1,933 < 1,985) dengan nilai signifikansi lebih dari 0,05 (0,056 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel tax avoidance. Banyak sedikitnya jumlah dewan komisaris independen tidak mempengaruhi penurunan aktivitas
tax avoidance. Penambahan anggota dewan komisaris independen hanya untuk memenuhi
ketentuan yang ditetapkan, sementara pemegang saham mayoritas masih memegang peranan penting sehingga kinerja dewan komisaris tidak meningkat (Dewi & Jati, 2014). Ketentuan yang dimaksud adalah Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-305/BEJ/07-2004 bahwa jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari seluruh anggota komisaris. Tidak adanya pengaruh hubungan proporsi dewan komisaris independen dengan aktivitas tax avoidance
disebabkan peran dewan komisaris independen dalam mekanisme tata kelola perusahan tidak melakukan fungsi pengawasan yang cukup baik dalam pengambilan keputusan pajak di perusahaan (Hanum & Zulaikha, 2013).
Penelitian ini menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Annisa dan Kurniasih (2012); Hanum dan Zulaikha (2013); Kurniasih dan Sari (2013); Meilinda dan Cahyonowati (2013); Dewi dan Jati (2014); Puspita dan Harto (2014).
f. Kualitas audit berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance
Berdasarkan hasil pengujian regresi yang disajikan dalam tabel 6 diketahui bahwa kualitas audit (KUA) memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (-0,236 < 1,985) dengan nilai signifikansi lebih dari 0,05 (0,814 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas audit tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance.
Alasan kualitas audit tidak berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance yaitu (1) Perusahaan yang diaudit oleh KAP The Big Four memang lebih cenderung dipercayai oleh manajemen perusahaan sebagai KAP yang mempunyai integritas kerja tinggi dengan selalu menerapkan peraturan-peraturan yang ada serta berkualitas. Namun, apabila perusahaan bisa memberikan keuntungan dan kesejahteraan yang banyak dan lebih baik terhadap KAP tersebut, maka bisa saja KAP yang bereputasi baik melakukan tindakan kecurangan untuk memaksimalkan kesejahteraan mereka seperti kasus Enron tahun 2004. (2) Sebelum kasus Enron, pada umumnya laporan keuangan yang diaudit oleh KAP The Big Four dipercaya lebih berkualitas sehingga menampilkan nilai perusahaan yang sebenarnya sehingga memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah. Namun, tidak dengan keadaan saat ini dimana publik menilai KAP The Big Four maupun KAP
non The Big Four bisa saja melakukan tindakan kecurangan apabila perusahaan bisa
mensejahterakan KAP mereka karena kepercayaan publik berkurang pasca kasus Enron sehingga tidak mudah mengembalikan kepercayaan publik secara penuh terhadap KAP The Big Four
(11)
dibanding KAP non The Big Four. Jadi, walaupun perusahaan diaudit oleh KAP The Big Four
maupun KAP nonThe Big Four bisa terjadi kecurangan (Fadhilah, 2014).
Penelitian ini menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa kualitas audit berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fadhilah (2014).
g. Komite audit berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance
Berdasarkan hasil pengujian regresi yang disajikan dalam tabel 6 diketahui bahwa variabel komite audit (KOA) memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (-1,715 < 1,985) dengan nilai signifikansi lebih dari 0,05 (0,090 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance. Keberadaan komite audit dalam mekanisme tata kelola perusahaan kurang berperan aktif dalam penetapan kebijakan terkait besaran tarif pajak efektif perusahaan dan lebih cenderung untuk menjalankan tugasnya secara netral dan tepat berdasarkan regulasi yang telah ditetapkan (Hanum & Zulaikha, 2013).
Banyak sedikitnya jumlah anggota komite audit tidak memberikan jaminan dapat melakukan intervensi dalam peran penentuan kebijakan besaran tarif pajak efektif perusahaan. Penambahan anggota komite audit hanya untuk memenuhi Keputusan Ketua BAPEPAM dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-643/BL/2012 yang menetapkan komite audit terdiri dari paling kurang 3 (tiga) orang anggota yang berasal dari komisaris independen dan pihak dari luar perusahaan (Hanum & Zulaikha, 2013).
Penelitian ini menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa komite audit berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hanum dan Zulaikha (2013); Kurniasih dan Sari (2013) dan Swingly dan Sukartha (2015).
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tidak terdapat perbedaan antara rata-rata aktivitas tax avoidance antara sebelum dan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008. Perubahan tarif pajak progresif 30% di tahun 2008 menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 (turun 2%) tidak memicu manajemen untuk tidak melakukan aktivitas tax avoidance. Demikian juga, perubahan tarif pajak tunggal 28% di tahun 2009 menjadi 25% di tahun 2010 (turun 3%) tidak memicu manajemen untuk tidak melakukan aktivitas tax avoidance.
2. Return on asset, karakter eksekutif, kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris
independen, kualitas audit, dan komite audit berpengaruh secara simultan dalam memprediksi aktivitas tax avoidance.
3. Return on asset berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance namun dengan nilai
koefisien negatif. Demikian tingginya nilai ROA akan dilakukan perencanaan pajak yang matang sehingga menghasilkan pajak yang optimal sehingga kecenderungan melakukan aktivitas tax avoidance akan mengalami penurunan.
4. Karakter eksekutif berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko yang tinggi mengindikasikan bahwa eksekutif lebih bersifat
risk taker yang lebih berani dalam mengambil risiko. Artinya apabila eksekutif semakin bersifat
risk taker maka akan semakin tinggi aktivitas tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan. 5. Kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance.
Pemilik institusional mengharapkan perusahaan memberikan kontribusi untuk pembangunan dalam bentuk pembayaran pajak. Keberadaan pemilik institusional dalam mekanisme tata kelola perusahaan berfungsi sebagai penghambat keputusan penghindaran pajak.
6. Proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax
(12)
aktivitas tax avoidance disebabkan peran dewan komisaris independen dalam mekanisme tata kelola perusahan tidak melakukan fungsi pengawasan yang cukup baik dalam pengambilan keputusan pajak di perusahaan.
7. Kualitas audit tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance. Jadi, walaupun perusahaan diaudit oleh KAP The Big Four maupun KAP non The Big Four bisa terjadi tindakan kecurangan.
8. Komite audittidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance. Banyak sedikitnya jumlah anggota komite audit tidak memberikan jaminan dapat melakukan intervensi dalam peran penentuan kebijakan besaran tarif pajak efektif perusahaan.
Saran
Berdasarkan keterbatasan dan kelemahan dalam penelitian ini, dapat dikemukakan saran yang dapat dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya, yaitu:
1. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan menggunakan sektor industri lain, seperti industri keuangan, jasa atau perbankan.
2. Pengukuran dimensi tata kelola perusahaan menggunakan proksi lain, seperti Corporate
GovernanceIndex (CGI).
REFERENSI
Annisa, N.A. dan L. Kurniasih. 2012. Pengaruh Corporate Governance terhadap Tax Avoidance.
Jurnal Akuntansi & Auditing. 8 (2): 95-189.
Budiman, J, dan Setiyono. 2012. Pengaruh Karakter Eksekutif terhadap Penghindaran Pajak (Tax Avoidance). Proceeding Simposium Nasional Akuntansi XV. 25-28 September, Banjarmasin, Indonesia. Hal. 1-22.
Chen, S, X. Chen, Q. Cheng, dan T. Shevlin. 2010. Are Family Firms More Tax Avoidance Aggressive Than Non-Family Firms?. Journal of Financial Economics. 95: 41-61.
Dewi, K. dan I.K. Jati. 2014. Pengaruh Karakter Eksekutif, Karateristik Perusahaan, dan Corporate Governance pada Tax Avoidance di Bursa Efek Indonesia. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. 6 (2): 249-260.
Fadhilah, R. 2014. Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Tax Avoidance. Skripsi. Universitas Negeri Padang.
Ghozali, I. 2012. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 20. Edisi 6. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Hanum, H.R. dan Zulaikha. 2013. Pengaruh Karakteristik Corporate Governance terhadap Effective Tax Rate. Diponegoro Journal of Accounting. 2 (2): 1-10.
http://www.kemenkeu.go.id/Kajian/kajian-dampak-perubahan-kebijakan-perpajakan terhadap-potensi-penerimaan-perpajakan-sektoral. Diakses tanggal 26 Januari 2015.
Kurniasih, T. dan R. Sari. 2013. Pengaruh Return on Asset, Leverage, Corporate Governance, Ukuran Perusahaan dan Kompensasi Rugi Fiskal pada Tax Avoidance. Buletin Studi Ekonomi. 18 (1): 58-66.
MacCrimon, K. R, dan D.A. Wehrung. 1990. Characteristics of Risk Taking Executives.
Management Science. Hal: 422.
Maharani, I.G.A.C. dan K.A. Suardana. 2014. Pengaruh Corporate Governance, Profitabilitas, dan Karakteristik Eksekutif Tax Avoidance Perusahaan Manufaktur. E-Jurnal Akuntansi
Universitas Udayana. 9 (2): 525-539.
Masri, I. dan D. Martani. 2012. Pengaruh Tax Avoidance terhadap Cost of Debt. Proceeding
Simposium Nasional Akuntansi XV. 25-28 September, Banjarmasin, Indonesia. Hal. 1-23.
Meilinda, M. dan N. Cahyonowati. 2013. Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen Pajak. Diponegoro Journal of Accounting. 2 (3): 1-13.
Pohan, C.A. 2013. Manajemen Perpajakan: Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
(13)
Prakosa, K.B. 2014. Pengaruh Profitabilitas, Kepemilikan Keluarga, dan Corporate Governance terhadap Penghindaran Pajak di Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi XVII. 24-27 September 2014, Mataram, Indonesia. Hal. 1-27.
Puspita, S.R. dan P. Harto. 2014. Pengaruh Tata Kelola Perusahaan terhadap Penghindaran Pajak.
Diponegoro Journal of Accounting. 3 (2): 1-13.
Republik Indonesia, Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: KEP-305/BEJ/07/2004). Sekretariat Negara. Jakarta.
______________, Keputusan Ketua BAPEPAM dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-643/BL/2012 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit. Sekretariat Negara. Jakarta.
________________, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka. Sekretariat Negara. Jakarta.
________________, Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Sari, R.N, R. Anugerah, dan R. Dwiningsih. 2010. Pengaruh Struktur Kepemilikan, Kualitas Audit dan Ukuran Perusahaan terhadap Transparansi Informasi. Pekbis. 2 (3): 326-335.
Sartori, N. 2010. Effect of Strategic Tax Behaviours on Corporate Governance. www.ssrn.com. Diakses tanggal 23 Oktober 2014.
Sugiarto. 2009. Struktur Modal, Struktur Kepemilikan Perusahaan, Permasalahan Keagenan &
Informasi Asimetri. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Bisnis. Alfabeta. Bandung.
Sunjoyo., R.S., V. Carolina., N. Magdalena., dan A. Kurniawan. 2013. Aplikasi SPSS untuk
SMART Riset. Alfabeta. Bandung.
Swingly, C. dan I.M. Sukartha. 2015. Pengaruh Karakter Eksekutif, Komite Audit, dan Ukuran Perusahaan, Leverage dan Sales Growth pada Tax Avoidance. E-Jurnal Akuntansi
Universitas Udayana. 10 (1): 47-62.
Widarjono, A. 2010. Analisis Statistika Multivariat Terapan. UPP STIM YKPN. Yogyakarta. www.idx.co.id
(1)
Besarnya nilai statistik Kolmogorov Smirnov adalah 0,768 dengan nilai U sebesar 0,595. Dengan tingkat signifikansi α= 5% atau 0,05 maka U lebih besar dari α (0,595 > 0,05) yang berarti data residual terdistribusi normal dan model regresi layak untuk dipakai dalam penelitian ini. Nilai tolerance > 1 dan VIF < 10 yang berarti data tidak terdapat masalah multikolinearitas. Keenam variabel independen memiliki nilai signifikansi > 0,05 yang berarti model regresi tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Hasil uji Durbin-Watson menunjukkan bahwa nilai d berada diantara dU dan 4-dU (1,8023 < 1,858 < 2,1977) yang berarti model regresi tidak terdapat masalah autokorelasi.
4. Analisis Regresi Linear Berganda
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan persamaan regresi linear berganda, sebagai berikut:
Tabel 6. Hasil Pengujian Regresi
Uji Statistik t B thitung ttabel Sig. Keterangan
Konstanta -0,946 -3,167 0,002
ROA -0,394 -3,224 1,987 0,002 Berpengaruh
KAE 0,385 2,282 1,987 0,025 Berpengaruh
KEI -0,001 -0,019 1,987 0,985 Tidak berpengaruh
DKI 0,191 1,933 1,987 0,056 Tidak berpengaruh
KUA -0,016 -0,236 1,987 0,814 Tidak berpengaruh
KOA -0,455 -1,715 1,987 0,090 Tidak berpengaruh
Uji Statistik F
Nilai F 3,001
Sig. 0,010
Uji Koefisien Determinasi
R Square 0,168
Adjusted R Square 0,112
Sumber: Data sekunder diolah, 2015 5. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan
a. Terdapat perbedaan tingkat aktivitas tax avoidance antara sebelum dan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008
Berdasarkan hasil paired samples test yang disajikan dalam tabel 4 diketahui bahwa rata-rata nilai TAV08–TAV09 memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (-0,561 < 2,145) dengan nilai
signifikansi lebih dari 0,05 (0,584 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata aktivitas tax avoidance antara sebelum penurunan tarif PPh Badan tahun 2008 (TAV08) dan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008 (TAV09). Perubahan tarif pajak progresif 30% di tahun 2008 menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 (turun 2%) tidak memicu manajemen untuk tidak melakukan aktivitas tax avoidance. Demikian juga dengan rata-rata nilai TAV09–TAV10 memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (1,167 < 2,145) dengan
nilai signifikansi lebih dari 0,05 (0,263 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata aktivitas tax avoidance sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008 (TAV09-TAV10). Perubahan tarif pajak tunggal 28% di tahun 2009 menjadi 25% di tahun 2010 (turun 3%) tidak memicu manajemen untuk tidak melakukan aktivitas tax avoidance.
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang undang-undang yang merevisi tarif pajak di Indonesia dan berlaku efektif pada tahun 2009 dan 2010, menjadi pembahasan utama dalam penelitian ini, terutama untuk perubahan tarif pajak penghasilan badan. Adanya perubahan tarif pajak badan memberikan keuntungan tersendiri terutama bagi perseroan terbuka yang telah go
(2)
public karena mendapat fasilitas penurunan tarif 5% lebih rendah dari tarif yang berlaku umum (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 17 ayat 2 huruf b j.o Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 pasal 2 ayat 1). Keuntungan yang diperoleh perusahaan akan memberikan insentif bagi manajer untuk meminimalkan pajak melalui aktivitas tax avoidance (Meilinda & Cahyonowati, 2013).
Penelitian ini menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata aktivitas tax avoidance antara sebelum dan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Meilinda dan Cahyonowati (2013).
b. ROA berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance
Berdasarkan hasil pengujian regresi yang disajikan dalam tabel 6 diketahui bahwa return on asset (ROA) memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (-3,224 < 1,985) dengan nilai
signifikansi kurang dari 0,05 (0,002 < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa return on asset berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance namun dengan nilai koefisien negatif. Hal ini berarti apabila ROA mengalami peningkatan maka aktivitas tax avoidance mengalami penurunan. ROA merupakan indikator kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba sehingga ROA merupakan faktor penting dalam pengenaan pajak penghasilan bagi perusahaan. Demikian tingginya nilai ROA akan dilakukan perencanaan pajak yang matang sehingga menghasilkan pajak yang optimal sehingga kecenderungan melakukan aktivitas tax avoidance akan mengalami penurunan. Perusahaan yang beroperasi dengan efisiensi tinggi akan mendapatkan tax subsidy berupa tarif pajak efektif yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang beroperasi dengan efisiensi rendah (Meilinda & Cahyonowati, 2013). Penelitian ini gagal menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa return on asset berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Meilinda dan Cahyonowati (2013) dan Prakosa (2014).
c. Karakter eksekutif berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance
Berdasarkan hasil pengujian regresi yang disajikan dalam tabel 6 diketahui bahwa karakter eksekutif (KAE) memiliki nilai thitung lebih besar dibanding ttabel (2,282 > 1,985) dengan nilai
signifikansi kurang dari 0,05 (0,025 < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa karakter eksekutif berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance. Tinggi rendahnya nilai risiko perusahaan mengindikasikan kecenderungan karakter eksekutif. Tingkat risiko yang tinggi mengindikasikan bahwa eksekutif lebih bersifat risk taker yang lebih berani dalam mengambil risiko. Artinya apabila eksekutif semakin bersifat risk taker maka akan semakin tinggi aktivitas tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan. Aktivitas tax avoidance merupakan sesuatu yang legal (lawful) namun juga merupakan sesuatu yang tidak menjadi selera pemerintah. Hanya pihak-pihak yang berani mengambil risiko yang mau melakukan hal tersebut, tentunya termasuk risiko yang tidak mendukung pembangunan nasional melalui pembayaran pajak (Budiman & Setiyono, 2012).
Penelitian ini gagal menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa karakter eksekutif berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Budiman dan Setiyono (2012); Dewi dan Jati (2014); Maharani dan Suardana (2014) dan Swingly dan Sukartha (2015).
d. Kepemilikan institusional berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance
Berdasarkan hasil pengujian regresi yang disajikan dalam tabel 6 diketahui bahwa kepemilikan institusional (KEI) memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (-0,019 < 1,985) dengan nilai
signifikansi lebih dari 0,05 (0,985 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance. Keberadaan pemilik institusional ikut berperan aktif mengawasi efektivitas dan efisiensi pengelolaan perusahaan sehingga dapat menghalangi perilaku oportunis manajer (Sari et al, 2010). Keberadaan pemilik institusional
(3)
mengindikasikan adanya tekanan dari pihak institusional kepada manajemen perusahaan untuk melakukan kebijakan pajak agresif dalam rangka memperoleh laba yang maksimal untuk pemilik institusional. Pemilik institusional mengharapkan perusahaan memberikan kontribusi untuk pembangunan dalam bentuk pembayaran pajak. Keberadaan pemilik institusional dalam mekanisme tata kelola perusahaan berfungsi sebagai penghambat keputusan penghindaran pajak (Puspita & Harto, 2014).
Penelitian ini menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Annisa dan Kurniasih (2012); Dewi dan Jati (2014) dan Maharani dan Suardana (2014).
e. Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance Berdasarkan hasil pengujian regresi yang disajikan dalam tabel 6 diketahui bahwa proporsi dewan komisaris independen (DKI) memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (1,933 < 1,985)
dengan nilai signifikansi lebih dari 0,05 (0,056 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel tax avoidance. Banyak sedikitnya jumlah dewan komisaris independen tidak mempengaruhi penurunan aktivitas tax avoidance. Penambahan anggota dewan komisaris independen hanya untuk memenuhi ketentuan yang ditetapkan, sementara pemegang saham mayoritas masih memegang peranan penting sehingga kinerja dewan komisaris tidak meningkat (Dewi & Jati, 2014). Ketentuan yang dimaksud adalah Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-305/BEJ/07-2004 bahwa jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari seluruh anggota komisaris. Tidak adanya pengaruh hubungan proporsi dewan komisaris independen dengan aktivitas tax avoidance disebabkan peran dewan komisaris independen dalam mekanisme tata kelola perusahan tidak melakukan fungsi pengawasan yang cukup baik dalam pengambilan keputusan pajak di perusahaan (Hanum & Zulaikha, 2013).
Penelitian ini menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Annisa dan Kurniasih (2012); Hanum dan Zulaikha (2013); Kurniasih dan Sari (2013); Meilinda dan Cahyonowati (2013); Dewi dan Jati (2014); Puspita dan Harto (2014).
f. Kualitas audit berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance
Berdasarkan hasil pengujian regresi yang disajikan dalam tabel 6 diketahui bahwa kualitas audit (KUA) memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (-0,236 < 1,985) dengan nilai
signifikansi lebih dari 0,05 (0,814 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas audit tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance.
Alasan kualitas audit tidak berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance yaitu (1) Perusahaan yang diaudit oleh KAP The Big Four memang lebih cenderung dipercayai oleh manajemen perusahaan sebagai KAP yang mempunyai integritas kerja tinggi dengan selalu menerapkan peraturan-peraturan yang ada serta berkualitas. Namun, apabila perusahaan bisa memberikan keuntungan dan kesejahteraan yang banyak dan lebih baik terhadap KAP tersebut, maka bisa saja KAP yang bereputasi baik melakukan tindakan kecurangan untuk memaksimalkan kesejahteraan mereka seperti kasus Enron tahun 2004. (2) Sebelum kasus Enron, pada umumnya laporan keuangan yang diaudit oleh KAP The Big Four dipercaya lebih berkualitas sehingga menampilkan nilai perusahaan yang sebenarnya sehingga memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah. Namun, tidak dengan keadaan saat ini dimana publik menilai KAP The Big Four maupun KAP non The Big Four bisa saja melakukan tindakan kecurangan apabila perusahaan bisa mensejahterakan KAP mereka karena kepercayaan publik berkurang pasca kasus Enron sehingga tidak mudah mengembalikan kepercayaan publik secara penuh terhadap KAP The Big Four
(4)
dibanding KAP non The Big Four. Jadi, walaupun perusahaan diaudit oleh KAP The Big Four maupun KAP non The Big Four bisa terjadi kecurangan (Fadhilah, 2014).
Penelitian ini menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa kualitas audit berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fadhilah (2014).
g. Komite audit berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance
Berdasarkan hasil pengujian regresi yang disajikan dalam tabel 6 diketahui bahwa variabel komite audit (KOA) memiliki nilai thitung lebih kecil dibanding ttabel (-1,715 < 1,985) dengan nilai
signifikansi lebih dari 0,05 (0,090 > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance. Keberadaan komite audit dalam mekanisme tata kelola perusahaan kurang berperan aktif dalam penetapan kebijakan terkait besaran tarif pajak efektif perusahaan dan lebih cenderung untuk menjalankan tugasnya secara netral dan tepat berdasarkan regulasi yang telah ditetapkan (Hanum & Zulaikha, 2013).
Banyak sedikitnya jumlah anggota komite audit tidak memberikan jaminan dapat melakukan intervensi dalam peran penentuan kebijakan besaran tarif pajak efektif perusahaan. Penambahan anggota komite audit hanya untuk memenuhi Keputusan Ketua BAPEPAM dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-643/BL/2012 yang menetapkan komite audit terdiri dari paling kurang 3 (tiga) orang anggota yang berasal dari komisaris independen dan pihak dari luar perusahaan (Hanum & Zulaikha, 2013).
Penelitian ini menolak hipotesis yang telah dikembangkan bahwa komite audit berpengaruh terhadap aktivitas tax avoidance. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hanum dan Zulaikha (2013); Kurniasih dan Sari (2013) dan Swingly dan Sukartha (2015).
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tidak terdapat perbedaan antara rata-rata aktivitas tax avoidance antara sebelum dan sesudah penurunan tarif PPh Badan tahun 2008. Perubahan tarif pajak progresif 30% di tahun 2008 menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 (turun 2%) tidak memicu manajemen untuk tidak melakukan aktivitas tax avoidance. Demikian juga, perubahan tarif pajak tunggal 28% di tahun 2009 menjadi 25% di tahun 2010 (turun 3%) tidak memicu manajemen untuk tidak melakukan aktivitas tax avoidance.
2. Return on asset, karakter eksekutif, kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independen, kualitas audit, dan komite audit berpengaruh secara simultan dalam memprediksi aktivitas tax avoidance.
3. Return on asset berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance namun dengan nilai koefisien negatif. Demikian tingginya nilai ROA akan dilakukan perencanaan pajak yang matang sehingga menghasilkan pajak yang optimal sehingga kecenderungan melakukan aktivitas tax avoidance akan mengalami penurunan.
4. Karakter eksekutif berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko yang tinggi mengindikasikan bahwa eksekutif lebih bersifat risk taker yang lebih berani dalam mengambil risiko. Artinya apabila eksekutif semakin bersifat risk taker maka akan semakin tinggi aktivitas tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan. 5. Kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance.
Pemilik institusional mengharapkan perusahaan memberikan kontribusi untuk pembangunan dalam bentuk pembayaran pajak. Keberadaan pemilik institusional dalam mekanisme tata kelola perusahaan berfungsi sebagai penghambat keputusan penghindaran pajak.
6. Proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance. Tidak adanya pengaruh hubungan proporsi dewan komisaris independen dengan
(5)
aktivitas tax avoidance disebabkan peran dewan komisaris independen dalam mekanisme tata kelola perusahan tidak melakukan fungsi pengawasan yang cukup baik dalam pengambilan keputusan pajak di perusahaan.
7. Kualitas audit tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance. Jadi, walaupun perusahaan diaudit oleh KAP The Big Four maupun KAP non The Big Four bisa terjadi tindakan kecurangan.
8. Komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas tax avoidance. Banyak sedikitnya jumlah anggota komite audit tidak memberikan jaminan dapat melakukan intervensi dalam peran penentuan kebijakan besaran tarif pajak efektif perusahaan.
Saran
Berdasarkan keterbatasan dan kelemahan dalam penelitian ini, dapat dikemukakan saran yang dapat dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya, yaitu:
1. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan menggunakan sektor industri lain, seperti industri keuangan, jasa atau perbankan.
2. Pengukuran dimensi tata kelola perusahaan menggunakan proksi lain, seperti Corporate Governance Index (CGI).
REFERENSI
Annisa, N.A. dan L. Kurniasih. 2012. Pengaruh Corporate Governance terhadap Tax Avoidance. Jurnal Akuntansi & Auditing. 8 (2): 95-189.
Budiman, J, dan Setiyono. 2012. Pengaruh Karakter Eksekutif terhadap Penghindaran Pajak (Tax Avoidance). Proceeding Simposium Nasional Akuntansi XV. 25-28 September, Banjarmasin, Indonesia. Hal. 1-22.
Chen, S, X. Chen, Q. Cheng, dan T. Shevlin. 2010. Are Family Firms More Tax Avoidance Aggressive Than Non-Family Firms?. Journal of Financial Economics. 95: 41-61.
Dewi, K. dan I.K. Jati. 2014. Pengaruh Karakter Eksekutif, Karateristik Perusahaan, dan Corporate Governance pada Tax Avoidance di Bursa Efek Indonesia. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. 6 (2): 249-260.
Fadhilah, R. 2014. Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Tax Avoidance. Skripsi. Universitas Negeri Padang.
Ghozali, I. 2012. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 20. Edisi 6. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Hanum, H.R. dan Zulaikha. 2013. Pengaruh Karakteristik Corporate Governance terhadap Effective Tax Rate. Diponegoro Journal of Accounting. 2 (2): 1-10.
http://www.kemenkeu.go.id/Kajian/kajian-dampak-perubahan-kebijakan-perpajakan terhadap-potensi-penerimaan-perpajakan-sektoral. Diakses tanggal 26 Januari 2015.
Kurniasih, T. dan R. Sari. 2013. Pengaruh Return on Asset, Leverage, Corporate Governance, Ukuran Perusahaan dan Kompensasi Rugi Fiskal pada Tax Avoidance. Buletin Studi Ekonomi. 18 (1): 58-66.
MacCrimon, K. R, dan D.A. Wehrung. 1990. Characteristics of Risk Taking Executives. Management Science. Hal: 422.
Maharani, I.G.A.C. dan K.A. Suardana. 2014. Pengaruh Corporate Governance, Profitabilitas, dan Karakteristik Eksekutif Tax Avoidance Perusahaan Manufaktur. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. 9 (2): 525-539.
Masri, I. dan D. Martani. 2012. Pengaruh Tax Avoidance terhadap Cost of Debt. Proceeding Simposium Nasional Akuntansi XV. 25-28 September, Banjarmasin, Indonesia. Hal. 1-23. Meilinda, M. dan N. Cahyonowati. 2013. Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen
Pajak. Diponegoro Journal of Accounting. 2 (3): 1-13.
Pohan, C.A. 2013. Manajemen Perpajakan: Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
(6)
Prakosa, K.B. 2014. Pengaruh Profitabilitas, Kepemilikan Keluarga, dan Corporate Governance terhadap Penghindaran Pajak di Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi XVII. 24-27 September 2014, Mataram, Indonesia. Hal. 1-27.
Puspita, S.R. dan P. Harto. 2014. Pengaruh Tata Kelola Perusahaan terhadap Penghindaran Pajak. Diponegoro Journal of Accounting. 3 (2): 1-13.
Republik Indonesia, Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: KEP-305/BEJ/07/2004). Sekretariat Negara. Jakarta.
______________, Keputusan Ketua BAPEPAM dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-643/BL/2012 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit. Sekretariat Negara. Jakarta.
________________, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka. Sekretariat Negara. Jakarta.
________________, Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Sari, R.N, R. Anugerah, dan R. Dwiningsih. 2010. Pengaruh Struktur Kepemilikan, Kualitas Audit dan Ukuran Perusahaan terhadap Transparansi Informasi. Pekbis. 2 (3): 326-335.
Sartori, N. 2010. Effect of Strategic Tax Behaviours on Corporate Governance. www.ssrn.com. Diakses tanggal 23 Oktober 2014.
Sugiarto. 2009. Struktur Modal, Struktur Kepemilikan Perusahaan, Permasalahan Keagenan & Informasi Asimetri. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Bisnis. Alfabeta. Bandung.
Sunjoyo., R.S., V. Carolina., N. Magdalena., dan A. Kurniawan. 2013. Aplikasi SPSS untuk SMART Riset. Alfabeta. Bandung.
Swingly, C. dan I.M. Sukartha. 2015. Pengaruh Karakter Eksekutif, Komite Audit, dan Ukuran Perusahaan, Leverage dan Sales Growth pada Tax Avoidance. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. 10 (1): 47-62.
Widarjono, A. 2010. Analisis Statistika Multivariat Terapan. UPP STIM YKPN. Yogyakarta. www.idx.co.id