TINJAUAN PUSTAKA Konsep Penyakit Terminal

6 kesehatan terlatih, serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus Depkes, 1997 dan Owen SA 2009 Dalam penelitian ini, penyakit dengan kondisi terminal adalah penyakit jantung koroner yaitu infark miokard akut killip II, III dan sedang dirawat di ruang cardiac intensif care unit, yang telah mengalami perbaikan sehingga telah diperbolehkan pulang oleh dokter penanggung jawabnya.

2. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Penyakit Terminal

Konsep dari penyakit terminal ini akan di bahas dalam beberapa pokok bahasan yang terdiri dari pengertian penyakit terminal terminally ill , konsep infark miokard itu sendiri dan karakteristik klien dengan kondisi terminal dari berbagai dimensi. - Pengertian Penyakit Terminal Terminally Ill Terdapat beberapa definisi dari penyakit terminal diantaranya yaitu dari American Cancer Society yang menyatakan bahwa penyakit terminal merupakan penyakit yang aktif dan progresif yang tidak ada lagi obat untuk mengatasinya dengan prognosis yang fatal. Hal ini didefinisikan sebagai penyakit yang tidak dapat diubah, yang akan mengakibatkan kematian dalam waktu dekat atau keadaan tidak sadarkan diri permanen dimana untuk pemulihan dari penyakitnya tidak mungkin. Beberapa contoh, antara lain, penyakit terminal termasuk penyakit terminal stadium lanjut, beberapa jenis cedera kepala, dan sindrom kegagalan organ multiple. Panjang harapan hidup dapat bervariasi dari entitas ke entitas. Selain itu didapatkan pula definisi penyakit terminal yaitu penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau cukup dirawat dan yang dapat mengakibatkan kematian klien dalam waktu yang relatif singkat dan dengan demikian memerlukan perawatan Mc.Graw-Hill, 2002. Definisi penyakit terminal yang paling sesuai dalam penelitian ini adalah definisi tentang penyakit terminal dimana penyakit yang lebih sering digunakan untuk penyakit progresif seperti kanker atau penyakit jantung daripada untuk 7 trauma. Dalam definisi lain, itu menunjukkan penyakit yang akan mengakhiri hidup penderita. Penyakit jantung yang termasuk kategori yang dapat mengakibatkan kematian adalah penyakit jantung coroner Infark Miokard Akut, Cardiomyopathy karena dapat menyebabkan terjadinya arithmia dan sudden cardiac death , Heart failure Fried TR, Oleary J, Van Ness P, Fraenkel L 2007. - Konsep Infark Miokard Akut Konsep infark miokard akut ini akan dibahas mulai dari definisi, dan manifestasi klienis yang mungkin muncul. Pengertian Infark miokard akut adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu, umumnya hal ini disebabkan adanya atherosklerosis pembuluh darah koroner. Area nekrosis akan menjadi jaringan parut yang kaku sedangkan miokard yang sehat dapat mengalami hipertrofi dan pemburukan hemodinamik akan terjadi bila iskemia berkepanjangan atau infark meluas. Patofisiologi terjadinya infark pada otot jantung sangat ditentukan oleh suplay oksigen yang adekuat. Dikatakan bahwa otot jantung merupakan organ yang sangat tergantung pada oksigen untuk mendapatkan energi. Kekurangan oksigen sedikit saja dalam waktu yang relatif singkat sudah dapat menimbulkan kerusakan miokard. Menurut Soeparman 1993 akibat adanya kerusakan miokard akan mengakibatkan disritmia terutama pada menit-menit atau jam-jam pertama setelah serangan. Hal ini disebabkan oleh perubahan-perubahan masa refrakter, daya hantar rangsangan dan kepekaan rangsangan. Manifestasi klinis Tanda dan gejala dari infark miokard menurut Smeltzer, dkk 2004 adalah sebagai berikut: 1 Nyeri disebabkan oleh pengiriman oksigen yang tidak cukup ke miokardium. Lokasi nyeri bisa dirasakan di daerah substernal dan menjalar ke leher, radang, lengan kiri, atau ke punggung dan terjadi ketika klien 8 aktif atau istirahat. Nyeri dirasakan selama dua puluh menit atau lebih dan tidak hilang dengan istirahat atau pemberian terapi nitrat. Beberapa klien tidak mengalami nyeri tetapi mungkin merasa tidak nyaman, lemah, sesak napas. 2 Berkeringat dingin. Hal ini disebabkan karena stimulasi sistem syaraf simpatis dimana terjadi vasokontriksi vasoconstriction dari pembuluh darah. Pada pemerikasaan fisik, kulit klien pucat dan dingin. 3 Mual dan muntah. Diakibatkan dari stimulasi reflek dari pusat muntah akibat nyeri. Mual dan muntah ini dapat juga berasal dari reflek fasofagal yang berasal dari area miokardium infark. 4 Suhu meningkat dalam 24 jam pertama 38ºC dan terkadang 39ºC. Berakhir selama 1 minggu. Peningkatan suhu ini merupakan manifestasi klinis sistemik proses keadaan penyakit yang disebabkan oleh kematian sel miokardium infark. 5 Manifestasi kardiovaskuler. Tekanan darah dan denyut jantung mungkin meningkat pada awalnya. Kemudian tekanan darah karena cardiac out put berkurang, urine output dan mungkin terjadi oedema paru, keadaan ini berlangsung selama berjam-jam hingga beberapa hari. 6 Kecemasan dimana klien takut akan kematian. Klien sering ketakutan setelah mengalami serangan, dimana klien sering merasakan adanya nyeri dada yang hebat, khawatir penyakitnya tidak sembuh, dan mungkin juga ketakutan dengan seting ruang perawatan. Pada infark miokard, gangguan jantung telah dengan mudah dan bermanfaat diklasifikasikan oleh Killip dalam empat kelas, yaitu: I : Tidak ada kegagalan II : Kegagalan ringan sampai sedang III : Edema pulmonal akut IV : Syok Kardiogenik Pada awalnya, kegagalan ringan Killip kelas II dan kronik sering dicirikan dengan S3, peningkatan frekwensi jantung biasanya irama sinus, dan kemungkinan crackles halus pasca batuk rejan rale pada dasar paru. Selain itu, bukti kongesti vaskular pulmonal sering tanpa edema pulmonal 9 sering terlihat pada rontenogram dada, peninggian tekanan vena jugularis dan disritmia mungkin ada: kontraksi atrium prematur, fibrilasi atrium, flutter atrium, takikardi atrium paroksismal, dan irama pertemuan. Pasien mungkin merasa nyaman pada istirahat atau mengalami gejala curah jantung rendah atau kongesti vaskular pulmonal, gejala-gejala meningkat pada aktivitas. Edema pulmonal akut Killip kelas III adalah situasi yang mengancam hidup yang dicirikan oleh transudasi cairan dari kapilar pulmonal ke dalam area alveolar, dengan akibat dispneu ekstrem dan ansietas. Perawatan segera diperlukan untuk menyelamatkan hidup pasien. Syok Kardiogenik Killip kelas IV adalah sindroma kegagalan memompa yang paling mengancam dan dihubungkan dengan mortalitas paling tinggi, meskipun dengan perawatan yang agresif. Syok kardiogenik diketahui secara klinis melalui:  Tekanan sistolik darah kurang dari 80 mmHg sering tidak dapat diukur  Nadi lemah yang seringcepat  Kulit pucat, dingin dan berkeringat yang sering kali sianosis  Gelisah, kekacauan mental, dan apatis  Kemungkinan perubahan status mental  Penurunan atau tak adanya haluaran urin Manifestasi syok ini menunjukkan ketidakadekuatan jantung sebagai pompa dan biasanya menunjukkan kerusakan dalam jumlah besar dari otot jantung 40 atau lebih massa ventrikel kiri. Pada beberapa pasien dengan hipertensi arteri jangka panjang bermakna akan mempunyai manifestasi syok kardiogenik pada tekanan normal secara relatif. Orang ini memerlukan tekanan tinggi untuk perfusi organ vital dan mempertahankan viabilitas. Pengetahuan tentang riwayat tekanan darah sebelumnya adalah pengenalan yang sangat penting terhadap orang ini. Tidak semua situasi klinis syok kardiogenik dihubungkan dengan curah jantung tidak adekuat. Tergantung pada perubahan situasi, seperti demam, curah jantung kadang-kadang mungkin normal atau bahkan meningkat Hudak CM., Gallo BM, 1997a. 10 - Karakteristik Klien dengan Infark Miokard Akut dalam Kondisi Terminal Karakteristik klien infark miokard akut dilihat dari sisi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual 1 Fisik Karakteristik klien dengan akut miokard infark adalah adanya keluhan sakit dada yang terutama dirasakan di daerah sternum, bisa menjalar ke dada kiri dan kanan, rahang, bahu kiri dan kanan pada satu atau kedua lengan. Digambarkan sebagai rasa tertekan, terhimpit, diremas dan rasa berat atau panas, kadang-kadang penderita melukiskannya hanya sebagai rasa tidak enak di dada. Rasa sakit biasanya berlangsung lebih dari setengah jam, dan jarang ada hubungannya dengan aktifitas, serta tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat. Jarang ada infark yang betul-betul tanpa rasa sakit. Bila sakit dada sudah dapat dikontrol, klien dapat tanpa keluhan sama sekali sampai pemulihan, tetapi pada sejumlah penderita dapat timbul berbagai penyulit. Penyulit yang paling sering adalah disritmia, renjatan kardiogenik dan gagal jantung. Rasa nyeri ini selanjutnya menyebabkan kecemasan atau stres pada klien terlihat dari adanya ketegangan dan ketakutan, gelisah, wajah tegang, pucat, serta berkeringat dingin. Padahal kecemasan atau stres itu, dapat memperberat kondisi jantung. 2 Sosial Kecemasan yang dirasakan klien Akut Miokard Infark dapat mempengaruhi sosialisasi klien dengan keluarga atau orang terdekat untuk mendapatkan dukungan. Menurut Ahmad N, et all. 2006 bahwa gejala-gejala fisik dari klien dalam kondisi terminal berkaitan dengan peningkatan stres dan juga depresi dan kegelisahan. Distres pada gilirannya dipengaruhi oleh faktor- faktor psikososial dan kultural yang beragam. Pengkajian gejala distres dengan demikian merupakan aspek yang vital dalam perawatan klinis, Cohen dan Mc Kay 1984 dalam Neil Niven 1994 menampilkan suatu model kondisi dimana dukungan seseorang akan menurunkan atau mencegah stres. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan sosial memberikan efek 11 penyangga terhadap kejadian – kejadian yang penuh stres. Ada tiga tipe mekanisme dukungan yang dapat mengurangi perasaan stres. 1 Dukungan nyata. Dukungan nyata merupakan paling efektif jika dihargai oleh penerima dengan tepat. Namun pemberian dukungan nyata yang berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan berhutang akan benar – benar menambah stres individu. 2 Dukungan pengharapan. Kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi individu akan ancaman. Dukungan sosial penyangga orang – orang untuk melawan stres dengan membantu mereka mendefinisikan kembali situasi tersebut terhadap ancaman kecil. Arahkanlah pada orang yang sama yang telah mengalami situasi yang sama untuk mendapatkan nasehat dan bantuan. Dukungan sosial dapat juga membantu meningkatkan strategi koping individu dengan menyarankan strategi – strategi alternatif yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya dan mengajak orang – orang berfokus pada aspek yang lebih positif dari situasi tersebut. 3 Dukungan emosional. Jika stres mengurangi perasaan seseorang akan hal dimiliki dan dicintai, dukungan emosional dapat menghentikannya atau menguatkan perasaan – perasaan ini. Stres yang tidak terkontrol dapat berakibat pada hilangnya harga diri. Jika ini terjadi jaringan pendukung memainkan peran yang berarti dalam meningkatkan pendapat yang rendah terhadap diri sendiri. 3 Psikologis Reaksi psikologis yang dapat muncul dari klien dengan akut miokard infark sejak klien menerima informasi tentang keadaan penyakitnya respon pertama menurut Kubler Ross 1970 adalah mereka mengalami mekanisme berupa upaya untuk mengatasi keadaan tersebut. Klien hendak membela diri terhadap informasi yang diterimanya tersebut, klien bersikap mengingkarinya yang segera diikuti dengan sikap menutup diri terhadap semua komunikasi. Klien tidak mau berhubungan lagi dengan dokter maupun perawat, menutup dirinya terhadap keluarga dan orang-orang lain di sekelilingnya. Sikap tadi dilanjutkan dengan menyatakan kemarahan terhadap orang- orang yang ingin menemuinya. Akhirnya klien masuk ke fase tawar menawar, 12 klien menunjukkan keinginan untuk dapat sembuh kembali dan melanjutkan perannya dalam keluarga dan masyarakat. Tetapi keadaan penyakit yang dideritanya mendesaknya terus untuk memahami keparahan penyakitnya. Hal ini mengakibatkan akhirnya klien masuk ke fase depresi. Klien menjadi murung, cemas, dan ketakutan, tetapi pada akhirnya klien dapat menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan kembali. Klien telah memasuki proses yang tidak dapat dihindarinya menjelang akhir hayat. Kelima fase ini selalu disertai dengan adanya harapan tentang kesembuhan betapapun kecilnya. Menurut Glaser G 1972 setelah seseorang diberitahukan tentang penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan dan bahwa proses penyakitnya semakin parah, klien langsung jatuh ke fase depresi. Fase ini dapat berlangsung lama atau cepat tergantung dari faktor usia, pendidikan, agama, lingkungan sosial budaya, faktor ekonomi dan sebagainya. Setelah itu klien dapat menerima kondisinya atau justru mengingkarinya. Dengan menerima keadaan penyakitnya, klien masuk ke fase acceptance yang akan diikuti oleh perilaku pasif atau aktif mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan dialami. Namun perilaku seperti ini juga tergantung dari faktor-faktor tadi. Di samping itu ada klien yang telah memasuki fase acceptance tetapi masih tetap berusaha dan mengharapkan kesembuhan, upaya i ni dinamakan “perjuangan untuk hidup”. Klien melakukan segala sesuatu untuk memperpanjang usianya dan menganjurkan keluarganya untuk mencari pengobatan baru. Dalam situasi ini orang-orang yang dekat dengan klien seperti keluarga, rohaniwan, perawat dan dokter dapat dengan sangat efektif mempengaruhi klien. 4 Spiritual Klien akut miokard infark mengalami krisis yang berhubungan dengan perubahan patofisiologi, pengobatan yang diperlukan atau situasi yang mempengaruhi seseorang. Diagnosa penyakit umumnya akan menimbulkan pertanyaan tentang sistem kepercayaan seseorang. Apabila klien dihadapkan pada kematian, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk sembahyangberdoa lebih tinggi Hamid , A.Y.S, 2000. 13 Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang maha kuasa dan maha pencipta. Menurut Burkhardt 1993 dalam Hamid, A.Y.S 2000 spiritualitas meliputi aspek-aspek 1 berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan, 2 menemukan arti dan tujuan hidup, 3 menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri,4 mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan yang maha tinggi. Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika menghadapi stres emosional, penyakit fisik atau kematian. Kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia Kozier, Erb, Blais Wilkinsons, 1995; Murray Zentner, 1993. dalam Hawari D, 2004. Pentingnya agama dalam kesehatan dilihat dari batasan organisasi kesehatan dunia WHO, 1984 dalam Hawari D 2004 menyatakan bahwa aspek agama merupakan salah satu unsur dari pengertian sehat seutuhnya, yang dikenal dengan bio-psiko-sosial-spiritual. Dalam agama Islam ada doa dan dzikir, dari segi kesehatan jiwa doa dan dzikir mengandung unsur psikotherapeutik yang mendalam. Karena itu, psikoreligius tidak kalah pentingnya dibanding psikoterapi psikiatrik, karena ia mengandung kekuatan spiritual atau kerohanian yang membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme. Dua hal ini, yaitu rasa percaya diri dan optimisme merupakan hal yang amat esensial bagi penyembuhan suatu penyakit disamping obat – obatan dan tindakan medis lainnya Hawari D, 2004. Dalam stadium yang demikian, klien membutuhkan hal-hal yang bersifat spiritual. Pemenuhan spiritual dan juga dorongan moril dari pihak keluarga amat menambah memperkuat “ego - strength” dan ketenangan jiwa yang bermanfaat bagi kesehatan jantung. - Pasien Kritis Pasien kritis adalah pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk yang mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian Rab T, 2007. Pasien kritis memiliki angka kesakitan 14 morbiditas dan angka kematian mortalitas yang tinggi sehingga membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat serta peralatan teknologi yang tinggi canggih Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ, 2009 Pasien yang dirawat di ruang intensif digolongkan dalam golongan prioritas tinggi dan prioritas rendah. Golongan prioritas tinggi adalah pasien kritis, tidak stabil, penyakitnya masih reversible, memerlukan perawatan intensif seperti ventilator, obat inotropik dan hemodialisa segera. Golongan prioritas rendah adalah pasien dengan kemungkinan memerlukan perawatan intensif, dan pasien-pasien yang penyakitnya irreversible tetapi mengalami kegawatan bukan karena penyakit dasarnya. FK-UNHAS, Bagian Anesthesiologi - Ruang Intensif Keperawatan kritis adalah berkaitan dengan respon dan masalah yang mengancam keselamatan pasien seperti trauma, pembedahan yang besar atau komplikasi dari suatu penyakit Marino PI, 2007. Ruang perawatan intensif atau intensif care unit ICU adalah unit perawatan khusus yang dikelola untuk merawat pasien sakit berat dan kritis, cedera dengan penyulit yang mengancam nyawa dengan melibatkan tenaga kesehatan terlatih, serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus Depkes, 1997 dan Owen SA 2009 Ruang perawatan intensif memimiliki ciri yaitu tenaga yang terlatih sehingga mampu memberikan tindakan yang tepat dan cepat agresif, menggunakan peralatan dengan teknologi yang tinggi canggih, tindakan pemantauan invasif dan noninvasif serta penggunaan obat-obatan yang lebih banyak Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ, 2009. Perawatan intensif itu sendiri adalah bagian khusus dari sebuah rumah sakit yang memiliki peralatan, staf medis dan keperawatan, dan perlunya monitoring untuk memberikan perawatan intensif bagi pasien sakit kritis yang dilengkapi peralatan pendukung kehidupan bagi pasien-pasien dalam keadaan sakit parah dan bisa berakibat fatal termasuk termasuk sindrom gangguan pernapasan dewasa, gagal ginjal, kegagalan organ multiple, dan sepsis Britannica Concise Encyclopedia. 15 Perawat yang bekerja di unit perawatan intensif adalah perawat yang mendapat pendidikan khusus sehingga memiliki skill dan dedikasi serta motivasi yang tinggi. Perawat tersebut harus bisa melakukan interpretasi keadaan pasien, mendeteksi perubahan-perubahan fisiologis yang dapat mengancam jiwa, serta dapat bertindak mandiri untuk menangani kegawatan yang mengancam sebelum dokter datang Owen SA, 2009. Asuhan Keperawatan Intensif adalah kegiatan praktik keperawatan intensif yang diberikan pada pasien kritis dan keluarganya. Asuhan keperawatan kritis membutuhkan kemampuan dalam menyesuaikan situasi kritis dengan kecepatan dan ketepatan yang tidak selalu dibutuhkan pada situasi keperawatan lain. Hal ini membutuhkan keahlian dalam penyatuan informasi, membuat keputusan dan membuat prioritas yang tepat. Esensi asuhan keperatan kritis tidak berdasarkan pada lingkungan atau alat-alat khusus tetapi dalam proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada pemahaman yang sungguh-sungguh tentang fisiologi dan psikologi Hudak CM., Gallo BM, 1997b. - Penggunaan Layanan Keperawatan Kritis pada Klien dengan Kondisi Terminal Pada tahun 1999, Angus et al dalam Vincent JL 2010 melakukan penelitian berbasis populasi mengenai penggunaan perawatan intensif pada klien dengan kondisi terminal di Amerika SerikatUSA. 1 Penggunaan Perawatan Intensif di Akhir Kehidupan pada Klien Kondisi Terminal Angka kematian yang masih tinggi di unit intensif memberikan pandangan bahwa perawatan akhir kehidupan di unit intensif masih sangat diperlukan. Persepsi dokter terhadap keinginan pasien dan prediksi survival yang kecil di ICU dan kemungkinan fungsi kognitif yang rendah dari pasien adalah determinan yang paling kuat dari pencabutan ventilasi mekanik dari pasien kritis. Keputusan untuk melanjutkan pengobatan penopang kehidupan bervariasi diantara negara-negara Eropa, penelitian Ethicus dalam Vincent JL 2010 memperlihatkan bahwa keputusan untuk mencabut pengobatan tidak biasa di 16 negara- negara Eropa Selatan, dimana Cardio Pulmonal Resuscitation CPR lebih sering digunakan, lama tinggal di ICU lebih lama daripada di negara- negara Eropa Utara. Perbedaan ini disebabkan karena kasus-kasus yang berbeda, perbedaan budaya dan agama, perbedaan nilai-nilai yang dianut dokter dan praktek juga reliabilitas dalam praktek akhir kehidupan yang sedang berjalan. 2 Manajemen Perawatan Akhir Kehidupan End of Life di Intensif Care Unit ICU Manajemen perawatan end of life di ICU merupakan sebuah phenomena yang relatif baru. Penelitian di Amerika juga memperlihatkan bahwa diskusi mengenai akhir kehidupan tidak biasa diantara pasien yang berpenyakit serius. Sementara pengobatan penopang kehidupan yang tidak diinginkan dan perawatan paliatif yang tidak cukup banyak terjadi. Dalam sepuluh tahun terakhir masyarakat profesional Amerika dan Eropa, menyetujui bahwa, pada kondisi – kondisi tertentu ketika pengobatan tidak mencapai hasil, keputusan untuk meninggalkan therapi penopang kehidupan dan memulai perawatan paliatif adalah etis. Sekarang sebagian besar kematian yang terjadi di ICU diawali dengan keputusan untuk meninggalkan therapy penopang kehidupan Vincent JL, 2010. Diskusi akhir kehidupan seringkali dilakukan oleh dokter, dan ada keterkaitan antara diskusi akhir kehidupan dengan kualitas perawatan yang diberikan. Proses pengambilan keputusan akhir kehidupan dapat didiskusikan diantara penyedia perawatan, pasien dan keluarga pasien ketika pasien telah berada pada kondisi incapasity mengenai apakah pengobatan penopang kehidupan harus diteruskan atau dihentikan dan perawatan paliatif dimulai. Diskusi dapat dilakukan di wardruangan umum, departemen Emergency, atau ICU. Kurang dari 5 dari pasien di ICU dapat berpartisipasi di akhir kehidupan dan dengan demikian untuk memelihara otonomi pasien pedoman saat ini untuk profesional merekomendasikan pengambilan keputusan bersama dengan keluarga pasien atau teman dekat. Secara umum harapan ditentukan oleh budaya, otonomi, dan penentuan sendiri self determination. Data mengenai harapan dari pasien ICU yang 17 sadar mengenai akhir kehidupan sangat kurang, tetapi kemungkinan besar berkaitan dengan nilai-nilai budaya. Data dari pasien dengan penyakit serius konsisten dengan keinginan untuk otonomi. Sebagai contoh, sebagian besar dari mereka yang belum mendiskusikan keinginan akhir kehidupan dengan dokter berkeinginan untuk melakukannya. Juga sangat mungkin bahwa peran yang diinginkan dalam pengambilan keputusan adalah tidak konsensual. Dalam penelitian diantara pasien dengan penyakit kronis pada tahap akhir Heyland dkk dalam Vincent JL, 2010, menemukan bahwa 40 dari responden ingin membuat keputusan akhir, 32 ingin membagi tanggung jawab mengenai keputusan akhir dengan dokternya, 19 ingin dokter mengambil keputusan akhir dan 10 tidak punya opinipendapat. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa meskipun hanya 15 dari dokter tidak merasa mampu untuk mendefiniskan peran pasien yang diinginkan dalam pengambilan keputusan, mereka memutuskan dengan tepat keinginan pasien lebih sedikit dari 1 dalam 5 kasus. Sebagian besar anggota keluarga pasien yang dirawat di ICU ingin berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan tetapi tidak ada konsensus mengenai peran yang diinginkan. Dalam penelitian yang dilakukan di Kanada terhadap 256 pengambil keputusan pengganti untuk pasien ICU , 33 dari responden ingin membuat keputusan akhir peran aktif, 43 ingin membagi tanggungjawab mengenai keputusan akhir dengan dokter, dan 24 ingin dokter membuat keputusan akhir peran pasif. Sekitar 70 dari responden melaporkan bahwa peran mereka saat ini tidak sesuai dengan keinginan dan bahwa kepuasan terhadap perawatan akhir kehidupan itu tinggi. Penelitian di Amerika di mana 48 keluarga dari pasien ICU diwawancara, 58 menginginkan membagi tanggung jawab dengan dokter, 25 menginginkan peran aktif. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan referensi pengambilan keputusan: pendidikan tinggi berasosiasi dengan peran aktif atau berbagi, peneliti tidak menemukan hubungan antara usia, jenis kelamin, suku, agama atau hubungan dengan pasien dan preferensi pengambilan keputusan. White dkk, dalam Vincent JL 2010, meneliti sikap keluarga dalam 18 mengambil keputusan terhadap penerimaan rekomendasi dokter selama diskusi perawatan akhir hidup. Peneliti mewawancara 169 keluarga dan menemukan bahwa 56 ingin menerima rekomendasi, 42 tidak ingin menerima rekomendasi, dan 2 menerima keduanya. Alasan utama penolakan rekomendasi adalah bahwa responden percaya bahwa pemberian rekomendasi bukan merupakan peran dari dokter. Rekomendasi saat ini untuk perawatan akhir kehidupan di ICU dari ACCM American College Critical Care Medicine menganjurkan dokter bertanya kepada pasien dan keluarga mengenai peran mereka dalam proses pengambilan keputusan sebelum memberikan rekomendasi apapun. Dua penelitan observasi yang dilakukan sebelum publikasi dari pedoman tersebut memperlihatkan bahwa preferensi keluarga dalam proses pengambilan keputusan tidak pernah atau jarang didiskusikan. White dkk menemukan bahwa setengah dari dokter yang diminta oleh keluarga untuk memberikan rekomendasi menolak untuk melakukannya, membuktikan bahwa hal tersebut bukan menjadi bagian dari perannya. Data pengamatan ini memperlihatkan kesulitan dalam membakukan proses pengambilan keputusan akhir kehidupan. Peran yang diinginkan dari pasien atau keluarga di dalam proses pengambilan keputusan itu tidak konsensual, yang membuat setiap percakapan dokter-keluarga menjadi unik. Untuk mencapai kebutuhan keluarga, dokter boleh jadi perlu untuk beradaptasi dengan peran tertentu, suatu tindakan dimana dokter boleh jadi kurang memiliki keterampilan atau merasa tidak nyaman, terutama ketika nilai-nilai dokter berbeda dengan harapan pasien atau keluarga. Penelitian pada klien dengan kondisi terminal di Perancis pada awal abad 21 memperlihatkan bahwa 90 dari responden menginginkan keluarga untuk mewakili mereka dalam proses pengambilan keputusan jika mereka menjadi lumpuhcacattidak berdaya. Penelitian Perancis yang lain dilakukan pada waktu yang sama , mengevaluasi posisi dari profesional perawat kritis dan keluarga pasien ICU dalam proses pengambilan keputusan. Hasilnya menunjukan bahwa sebagian besar dari dokter dan petugas kesehatan yang lain percaya partisipasi keluarga harus dipertimbangkan dalam proses 19 pengambilan keputusan. Pada sisi lain kurang dari setengah keluarga menginginkan berbagi dalam proses pengambilan keputusan. Selama dekade terakhir peran keluarga, dan proses pengambilan keputusan apakah pasien tidak berdaya , telah dibuat menjadi hukum di beberapa negara Eropa Barat. Ada konsensus mengenai kapasitas pengambilan keputusan dari pasien ketika mampu namun tidak ada konsensus mengenai ketika pasien menjadi inkapasitas. Sekarang ada kecenderungan di Eropa untuk memberikan banyak otonomi kepada pasien dan atau keluarganya, tetapi tetap ada variasi di antara negara-negara terutama mengenai peran keluarga. Variasi-variasi ini dapat dijelaskan oleh tradisi paternalistik atau melindungi keluarga dari konsekwensi yang tidak diharapkan terkait pengambilan keputusan akhir hidup Vincent JL, 2010. Penelitian di Kanada memperlihatkan bahwa sebagian keluarga dari pasien ICU merasa puas dengan perawatan akhir hidup yang disediakan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa 15 dari responden merasa mereka tidak dapat mengendalikan peralatan yang disediakan kepada keluarga mereka, 11 percaya bahwa hidup diperpanjang secara tidak dibutuhkan, dan 9 melaporkan bahwa pasien tidak nyaman pada beberapa jam terakhir. Komunikasi yang cukup jumlah, kualitas, dan waktu kapan informasi disediakan dan peran dalam proses pengambilan keputusan dengan peran yang diinginkan merupakan prediktor dari kepuasan. Evaluasi kepuasan pada 26 ICU di Swis dan Jerman menunjukkan bahwa pertanyaan mengenai dukungan selama pengambilan keputusan memiliki tingkat kepuasan yang rendah. Konflik antara anggota keluarga dengan staf medis sangat umum terjadi dalam diskusi akhir kehidupan. Abbott dkk dalam Vincent JL 2010 melaporkan bahwa sebagian besar dari konflik disebabkan oleh kurangnya komunikasi atau ketidakprofesionalan, perilaku tidak hormat oleh dokter dan perawat. Azolay dkk dalam Vincent JL 2010 melaporkan sumber utama dari konflik antara tim dan keluarga terjadi ketika keluargakeinginan pasien diabaikan, ketika keputusan akhir kehidupan dibuat terlalu lambat atau terlalu awal, dan ketika komunikasi sangat buruk selama proses pengambilan keputusan. 20 Banyak penelitian memperlihatkan bahwa anggota keluarga dari pasien ICU menderita kegelisahan dan gejala depresi. Penelitian di Perancis memperlihatkan bahwa 3 bulan setelah pengalaman ICU sepertiga dari anggota keluarga menderita stres post trauma yang berkaitan dengan tingkat kegelisahan dan depresi yang tinggi dan penurunan kualitas hidup. Kejadian stres post trauma diantara keluarga pasien ICU lebih tinggi ketika kematian pasien terjadi setelah keputusan untuk menghentikan therapy penopang kehidupan atau ketika mereka berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan akhir kehidupan. Pada sisi lain penelitian di Amerika menunjukkan bahwa peran yang pasif dari keluarga dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan resiko yang lebih tinggi terhadap gejala kegelisahan dan depresi. Dalam penelitian mengenai stress dalam pekerjaan proses pengambilan keputusan akhir kehidupan yang banyak merupakan faktor resiko dari sindrom kejenuhan. Untuk saat ini praktek dalam pengambilan keputusan akhir kehidupan membawa stres dan ketegangan untuk semua yang terlibat. Proses ini memberikan stres tetapi ada kemungkinan untuk meningkatkan kualitas dari pengambilan keputusan, termasuk pelatihan yang lebih baik terhadap pekerja klinik untuk meningkatkan keterampilan komunikasi. Lauttre dkk dalam Vincent JL 2010, memperlihatkan bahwa komunikasi pro aktif dan brosur untuk keluarga dan pasien yang meninggal di ICU menurunkan beban dukakehilangan. Perubahan yang terjadi di Eropa dan Amerika mengenai rekomendasi perawatan akhir kehidupan merefleksikan keinginan masyarakat untuk mendistribusikan hak dan tugas antara pasien, keluarga, dan petugas kesehatan pada issue etika yang utama ini. Meningkatkan kualitas proses pengambilan keputusan akhir kehidupan sangat penting untuk meningkatkan kualitas perawatan akhir kehidupan dan untuk menurunkan konsekuensi yang tidak diharapkan ketidakpuasan, konflik, gejala, kegelisahan dan depresi, sindrom kejenuhan. Dengan demikian proses pengambilan keputusan akhir kehidupan bervariasi diantara negara-negara dalam bentuk harapan tetapi 21 juga dalam bentuk peran keputusan atau konsultasi dari dokter atau keluarga Vincent JL, 2010 Biaya perawatan kesehatan yang tidak seimbang terjadi pada akhir kehidupan. Sekitar satu pertiga dari biaya pada tahun terakhir kehidupan dihabiskan pada bulan terakhir, dan sebagian besar dari biaya ini untuk perawatan penopang kehidupan ventilasi mekanik , dan resusitasi. Pengobatan terminal mengambil 7,5 dari biaya semua pasien per tahun dan sebagian besar dari biaya ini adalah untuk pelayanan ICU Vincent, J.L., 2010. Peran Perawat di Unit Perawatan Kritis dalam Merawat Klien dengan Kondisi Terminal Tempat praktek keperawatan kritis bervariasi yang didalamnya terdapat pengelolaan untuk mengkoordinasikan perawatan klien yang membutuhkan penilaian yang mendalam, terapi intensitas tinggi dan intervensi, dan kewaspadaan keperawatan berkelanjutan. Perawat di unit perawatan kritis juga berfungsi dalam berbagai peran dan tingkat, yaitu sebagai staf perawatan, pendidik, dan perawat praktek lanjutan. Selain itu perawat di unit perawatan kritis dianggap sebagai advokat dari klien Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ,, 2009. - Peran Perawat di Unit Perawatan Kritis Sebagai Advokat : 1. Mendukung hak klien atau pengganti untuk otonomi klien, menginformasikan dalam pengambilan keputusan. 2. Intervensi yang dilakukan untuk mendukung kepentingan klien yang terbaik 3. Membantu klien untuk mendapatkan perawatan yang diperlukannya 4. Menghormati nilai-nilai, kepercayaan dan klien 5. Menyediakan pendidikan dan dukungan untuk membantu klien dalam membuat keputusan perawatan 6. Mendukung keputusan yang dibuat oleh klien. 7. Memfasilitasi klien yang tidak dapat berbicara sendiri. 8. Memonitor dan menjaga kualitas pelayanan 22 9. Bertindak sebagai penghubung antara klien, keluarga dan penyedia layanan kesehatan. - Kompetensi Perawat di Unit Perawatan Kritis 1. Memiliki penilaian, keterampilan dan penalaran klinis 2. Sebagai advokat dan moral agency ketika teridentifikasi ada masalah etik. 3. Perawatan yang diberikan dengan memperdulikan pada keunikan klien dan keluarga 4. Kolaborasi dengan klien, anggota keluarga dan anggota tim perawatan 5. Sistem berpikir yang sesuai dengan perawatan holistik 6. Berespon terhadap keanekaragaman 7. Perawatan klinik dan adanya inovasi untuk mendapatkan hasil terbaik bagi klien 8. Peran sebagai pendidik klien dan keluarga untuk memfasilitasi kebutuhan belajar Sole ,M.L, Klein, D.G, and Moseley, M.J., 2009. Manajemen Kasus Klien Kondisi Terminal Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, ikut menentukan mutu dari pelayanan kesehatan. Keperawatan memberikan konstribusi yang sangat besar terhadap bentuk pelayanan kesehatan sebagai satu kesatuan yang relatif, berkelanjutan, koordinatif dan advokatif. Keperawatan dalam menjalankan pelayanan sebagai “ nursing services ” dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk membantu orang sakit maupun sehat dari sejak lahir sampai meningal dunia. Keperawatan kritis merupakan salah satu spesialisasi dibidang keperawatan yang secara khusus menangani respon klien terhadap masalah yang mengancam kehidupan. Intensif care unit ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri instalansi tersendiri dibawah direktur pelayanan, dengan staf dan perlengkapan yang khusus, ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi klien-klien yang menderita penyakit, cidera, atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa. Saat ini pelayanan intesif ICU di Rumah Sakit tidak terbatas pada pelayanan klien-klien pasca 23 bedah, atau klien yang membutuhkan ventilasi mekanik saja. Pelayanan yang diberikan mencakup pemberian dukungan terhadap fungsi organ-organ vital tubuh. Seluruh kegiatan pelayanan terhadap klien-klien di ICU dilakukan oleh multidisiplin dan multi profesi, yaitu melibatkan profesi medic, perawat dan non medic. Untuk memberikan pelayanan tersebut diperlukan suatu pengorganisasian yang baik, dimana fungsi pengorganisasian merupakan proses mencapai tujuan dengan koordinasi kegiatan dan usaha, melalui penataan pola struktur, tugas, otoritas, tenaga kerja dan komunikasi. Salah satu metode pengorganisasian yang dapat digunakan di ruang intensif dengan kompleksitas kasus seperti pada klien dengan penyakit terminal adalah case management adalah pelayanan dengan mengintegrasikan layanan kesehatan untuk klien secara individu atau kelompok yang dilakukan oleh tim kesehatan secara interdisiplin untuk tanggung jawab secara kolaboratif dalam kajian kebutuhan klien , menetapkan rencana tindakan – implementasi – evaluasi, dari saat klien diterima, dirujuk dan atau dipulangkan Powell SK, 2000. Untuk mengelola kasus dalam case manajemen diperlukan, pertama seorang case manager untuk menjalankan fungsi koordinasi dan kolaborasi yang diperlukan. Kedua Criticalclinical pathway sebagai panduan alur penanganan klien secara terintegrasi dari mulai klien datang sampai dengan klien pulang. Dan ketiga tak kalah pentingnya adalah diperlukannya forum komunikasi-koordinasi yang melibatkan seluruh profesi kesehatan untuk membahas kasus klien yang ditangani. Pelaksanaan asuhan keperawatan yang menggunakan case management diperlukan kolabolasi interdisiplin, protocol terstruktur dalam perencanaan perawatan multidisipliner yang detail, langkah-langkah penting dalam perawatan klien dengan masalah klinis tertentu dan menggambarkan kemajuan yang diharapkan klien. Integrated Care PathwaysClinical Pathways adalah suatu outline atau rencana praktis klinis yang diantisipasi untuk sekelompok klien dengan diagnosis tertentu atau berdasarkan kumpulan gejala yang merupakan panduan multidisiplin dari rencana perawatan klien menuju tujuan yang diinginkan Powell, S.K; 2000, CMSA; 2010. 24 Manajer Kasus Case Manajer di rumah sakit adalah seorang perawat terdaftar Registered Nurse bertanggung jawab untuk mengawasi perawatan klien di rumah sakit. Case manager ini dilatih khusus dalam mengevaluasi dan merawat klien dengan penyakit kondisi terminal, dan keluarganya. Perawat Case Manajer apakar dalam mengenali dan mengevaluasi gejala dan bekerja sama dengan dokter, rumah sakit untuk mengobati gejala dan meningkatkan kenyamanan klien Seorang Case Manajer memberikan dukungan emosional dan praktis baik untuk klien dan keluarga, memberikan pendidikan kesehatan. Perawat manajer kasus harus memiliki komunikasi yang baik, keterampilan manajemen waktu, dan nyaman dalam merawat klien yang menjalani proses akhir hidup. Di sini mereka harus berbelas kasih dan sabar dan menghormati perbedaan unik dari klien, mengawasi perawatan kesehatan di rumah sakit atau di rumah dan mampu bekerja sama dengan tenaga sosial, pendeta, dan relawan untuk mengkoordinasikan perawatan fisik, emosional, dan spiritual klien dan keluarga Morrow, A. 2010.

3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian

Dokumen yang terkait

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. J DENGAN AKUT MIOKARD INFARK (AMI) Asuhan Keperawatan Pada Tn. J Dengan Akut Miokard Infark (AMI) Di Ruang Intensive Coronary Care Unit (ICCU) Rumah Sakit Umum Da

0 1 17

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KEGAWATDARURATAN AKUT MIOKARD INFARK Asuhan Keperawatan Dengan Kegawatdaruratan Akut Miokard Infark Di Ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah Kota Salatiga.

0 1 16

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. D DENGAN OLD MIOKARD Asuhan Keperawatan Kritis Pada Ny. D Dengan Old Miokard Infark (Omi) Di Ruang Intensive Care Unit – Intensive Coronary Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.

0 4 18

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.S DENGAN AKUT MIOKARD INFARK (AMI) ANTEROSEPTAL DI RUANG Asuhan Keperawatan Pada Tn.S Dengan Akut Miokard Infark (AMI) Anteroseptal Di Ruang Intensive Cardio Vascular Care Unit (Icvcu) RSUD. Dr. Moewardi Surakarta.

0 0 14

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.S DENGAN AKUT MIOKARD INFARK (AMI) ANTEROSEPTAL DI RUANG INTENSIVE CARDIO Asuhan Keperawatan Pada Tn.S Dengan Akut Miokard Infark (AMI) Anteroseptal Di Ruang Intensive Cardio Vascular Care Unit (Icvcu) RSUD. Dr. Moewardi Suraka

0 5 12

Eksplorasi Makna Spiritualitas pada Klien dengan Sindrom Koroner Akut yang Menjalani Perawatan di Ruang Intensif Jantung.

0 0 11

Pengalaman Pasien Sindrom Guillain-Barre(Sgb) Pada Saat Kondisi Kritis Di Ruang Intensive Care Unit (Icu) Rsup Dr. Hasan Sadikin Bandung.

0 1 2

Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Komplikasi Hematom Femoral Pada Pasien Setelah Menjalani Intervensi Koroner Perkutan Di Ruang Cicu Rshs Bandung.

0 1 2

Pengalaman Pasien Sindrom Guillain-Barre (SGB) pada saat Kondisi Kritis di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

0 0 15

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN INFARK MIOKARD AKUT (IMA) DENGAN MASALAH KEPERAWATAN NYERI AKUT DI RUANG ICU SENTRAL RSUD JOMBANG

0 0 6