1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meningkatnya jumlah kasus klien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit penyakit terminal,
penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis,
cystic fibrosis, stroke
, Parkinson, gagal jantung
heart failure
, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIVAIDS memerlukan perawatan dan pelayanan kesehatan yang
kompleks. Penyakit terminal
terminally Ill
merupakan istilah yang mulai dikenal pada abad ke-20. Penyakit ini untuk menjelaskan penyakit yang tidak bisa
disembuhkan yang dapat mengakibatkan kematian bagi seseorang yang mengidapnya dalam waktu yang relatif singkat Mc.Graw-Hill, 2002.
Menurut Albrecht 2006 penyebab kematian tertinggi di dunia disebabkan karena penyakit jantung, kedua kanker, ketiga penyakit serebrovaskular dan ke
empat adalah pneumoniainfluenza. Riskesdas 2007 menuturkan di Indonesia sendiri penyebab kematian terbesar disebabkan karena penyakit jantung,
strokecerebrovaskular, tuberkulosis, penyakit pernafasan, hipertensi, trauma, penyakit terminal, perinatal, diabetes melitus, dan diare. Dari beberapa penyebab
kematian tersebut diantaranya disebabkan karena penyakit terminal
terminally ill
. Penyakit terminal ini merupakan salah satu penyakit yang termasuk ke
dalam masalah kesehatan nasional karena jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Menurut Anthony, Dermot dan Stephen 2004 penyakit ini tidak
hanya merupakan ancaman terhadap masalah kesehatan, tetapi selalu menjadi pertimbangan terhadap pembangunan khususnya pembangunan di bidang
kesehatan. Adanya perubahan pola penyakit, tuntutan serta pengenalan teknologi di
bidang kesehatan mengakibatkan pemerintah di seluruh dunia saat ini sedang menghadapi biaya pelayanan kesehatan yang sangat tinggi. Penyakit terminal
merupakan salah satu penyakit yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang komplek, mulai dari penegakan diagnosa sampai dengan penanganan dan
2 perawatannya. Oleh karena itu perlu adanya pengukuran kebutuhan pelayanan
kesehatan, biaya yang dikeluarkan, dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat Bradshaw, 2010. Semua hal tersebut sangat penting karena akan sangat
bermanfaat untuk membuat perencanaan dan pengembangan kebijakan kesehatan Ketika seorang klien divonis menderita suatu penyakit yang tidak bisa
disembuhkan, seketika itu pula kematian sudah berada di pelupuk mata. Sebagai petugas kesehatan dalam hal ini sebagai perawat mempunyai tanggung jawab
terhadap segala hal yang menyangkut diri klien, tentu hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada daya dan upaya untuk mengangkat klien dari kegelapan dan
memberikan harapan walau hanya sementara. Harapan yang dimaksud disini bukanlah harapan untuk kesembuhan dari
penyakit yang diderita tetapi harapan untuk mendapatkan kenyamanan dan dukungan dari lingkungan kepada diri klien dalam menghadapi penyakitnya.
Dukungan bisa berupa pemberian semangat dari keluarga, petugas kesehatan, atau yang lainnya sehingga klien tidak merasa sendiri dalam menghadapi penyakitnya
yang dapat merenggut kehidupannya. Kebanyakan penelitian dilakukan di rumah sakit terhadap orang-orang yang
mengidap penyakit terminal. Studi etnografi yang dilakukan pada klien penyakit terminal ditemukan bahwa perawatan pada klien dengan penyakit terminal
kurang mendapat perhatian terhadap kebutuhan kultur, status kognitif dari karakteristik klien dengan penyakit terminal Jones, 2002.
Didapatkan pula jumlah staf perawatan yang kurang menyebabkan beban kerja yang sangat tinggi bagi staf perawatan dan adanya anggapan bahwa staf
perawatan kurang pengalaman dalam memberikan perawatan kepada klien-klien terminal yang sedang menghadapi akhir hidup, rumah sakit sering terlambat
membuat rujukan bahkan sama sekali tidak membuat rujukan untuk mencegah kejadian yang tidak diharapkan. Komunikasi yang tidak pantas, dan tidak cukup
antara staf perawatan dan keluarganya merupakan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pengalaman perawatan Wetle .et.all, 2005.
Penelitian lain yang dilakukan pada klien dengan penyakit terminal yang berusia di atas 65 tahun dilakukan oleh Hawkins, et.all 2005 didapatkan bahwa
sangat sedikit klien yang ingin menuliskan pilihan dan mandat perawatan medis
3 spesifik yang akan diikuti, tidak terkecuali ketika sudah mendekati kematian.
Menurut Travis, et. all 2005 kebanyakan klien dengan penyakit terminal
terlambat mendapatkan perawatan yang disebabkan karena lambatnya keputusan yang diambil oleh klien ataupun pengambil keputusan lainnya seperti keluarga.
Di lain pihak juga karena sistem perawatan, aturan-aturan yang berlaku di tempat perawatan memang tidak mendukung terlaksananya perawatan tersebut.
Dari faktor keagamananspiritual selama kehidupan didapatkan korelasi positif antara tingkat spiritualitas dengan kenyataan dalam menghadapi akhir
hidup
end of life
terhadap klien terminal. Hal ini tidak berpengaruh terhadap keadaan sakit klien saat ini. Klien yang mendapatkan dukungan sosial agama
selama hidup yang lebih tinggi menerima dukungan sosial yang lebih baik Hays et. all. 2005. Dari faktor hubungan sosial ternyata didapatkan bahwa survival
menjadi lebih panjang dengan memiliki pasangan dan ikatan yang dekat dengan teman-teman dan saudara kembar Rasulo, D et. all. 9.2005.
Menurut Kramer, et. all 2005 dari faktor ekonomi ternyata ada beberapa tantangan dalam menjalani perawatan akhir-hidup yaitu sifat dari penyakit kronis
lanjut. Hal ini menimbulkan perlunya biaya yang besar dalam pengobatan, ketidakmampuan dari sistem pendukung dimana asuransi kesehatan tidak
memenuhi semua kebutuhan klien dengan penyakit terminal. Penelitian yang dilakukan terhadap layanan kesehatan yang diberikan
kepada klien dengan penyakit terminal diantaranya yang dilakukan oleh Wetle
.et.all 2005 menyatakan bahwa staf perawatan kurang memperhatikan gejala,
kebutuhan dan kesakitan pada waktu dying proses
end of life
dari klien, perawatan yang diberikan tidak memadai, di sini termasuk oleh dokter dan
perawat. Staf profesional seperti dokter dan perawat tidak mengungkapkan tanda- tanda dari akhir kehidupan kepada keluarga.
Wetle .et.all 2005 juga mengungkapkan bahwa ada perlakuan yang tidak
pantas, terlambat dalam mengambil keputusan sehingga menimbukan penderitaan yang tidak perlu. Profesi dokter dilihat sebagai “missing in action”, tidak dan
kurang memberikan informasi tentang keadaan klien yang sebenarnya, dan juga bermasalah dalam hal komunikasi sehingga menimbulkan banyak konflik,
4 perbedaan persepsi yang akhirnya semakin menyulitkan keluarga dalam
pengambilan keputusan apa yang harus dilakukan terhadap anggota keluarganya. Penelitian-penelitian tentang klien dengan penyakit terminal banyak
dilakukan di negara-negara lain umumnya dilakukan di negara-negara Eropa dan USA. Hal ini tentu akan sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia sendiri
karena perbedaan kultur, etnisras, kepercayaan, cara pandang dari nilai-nilai yang dianut.
Di Indonesia sendiri penelitian terkait mengenai klien terminal belum pernah ada yang melakukan. Baru ada kajian pustaka yang ditulis oleh Benyamin
Lumenta 1997, yang menulis bahwa seorang dokter sangat sulit menentukan menyampaikan atau tidak mengenai kondisi penyakit klien yang tidak dapat
disembuhkan atau klien berada dalam kondisi menjelang akhir hayat. Para dokter berpendapat klien dengan penyakit terminal ini harus ditangani
secara kasuistik tetapi sulit dilakukan dikarenakan mereka tidak atau kurang mengenal setiap kliennya. Selain itu ada keterbatasan waktu untuk melakukan
semua kajian tersebut. Padahal ini terkait dengan bagaimana sebaiknya memberikan perawatan pada klien dengan penyakit terminal yang akan
menghadapi akhir hidupnya untuk memilih perawatan dan cara kematiannya secara terhormat dan bermartabat Lumenta, 1997.
Salah satu penyakit dengan kondisi terminal adalah akut miokard infark, penyakit yang disebabkan oleh adanya penyempitan pada lumen arteri koronoria
ini menimbulkan nyeri hebat dan dapat menimbulkan kematian secara cepat bila tidak ditangani dengan segera. Penyakit ini menimbulkan kematian 400.000
– 500.000 orangtahun di USA. Ketika klien telah melewati fase kritis dari
penyakitnya pada waktu serangan, akut miokard infark masih menimbulkan resiko kematian khususnya pada 6 bulan pertama setelah serangan pertama. Penanganan
dari penyakit ini adalah menangani nyeri dan penanganan terhadap sumbatan dari arteri koronaria, tetapi itu tidak mutlak menjadikan kondisi jantung klien menjadi
lebih baik. Saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia terhadap klien dengan penyakit
terminal sudah ada tetapi belum tertata dengan baik, dimana belum ada standar baku perawatan klien dengan penyakit terminal. Hal tersebut disebabkan karena
5 pemahaman dan pengetahuan, fasilitas dan ilmu yang terkait serta data-data
mengenai perawatan klien penyakit terminal yang terbatas. Kebutuhan klien penyakit terminal terutama pada stadium lanjut prioritas pelayanan tidak hanya
pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi klien dan keluarganya. Di sini pentingnya integrasi perawatan pada
klien dengan penyakit terminal, pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi agar masalah fisik, psikososial
dan spiritual dapat diatasi dengan baik, selain itu setiap klien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.
Dari uraian di atas , maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana pengalaman klien kondisi terminal; akut miokard infark
selama di rawat di ruang intensif, karena pengetahuan penulis tentang hal-hal yang terkait dengan penyakit ini di Indonesia belum ada, maka peneliti melakukan
penelitian kualitatif.
B. Perumusan Masalah