PERSAINGAN POLITIK CALON LEGISLATIF PEREMPUAN PADA PEMILIHAN UMUM 2014 DI LAMPUNG (Studi Terpilihnya Asmara Dewi, Eva Dwiyana, dan Dwie Aroem Hadiatie sebagai anggota legislatif)

(1)

PERSAINGAN POLITIK CALON LEGISLATIF PEREMPUAN PADA PEMILIHAN UMUM 2014 DI LAMPUNG

(Studi Terpilihnya Asmara Dewi, Eva Dwiyana, dan Dwie Aroem Hadiatie sebagai anggota legislatif)

Oleh

Gesit Yudha Puji Arsono

Perempuan menghadapi persaingan politik yang lebih ketat di tingkat internal partai, terutama PAN, PDIP, dan Golkar, dalam proses pencalonan anggota legislatif pada pemilu 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses persaingan, strategi pemenangan, serta peran keluarga dalam terpilihnya Asmara Dewi, Eva Dwiyana, dan Dwie Aroem Hadiatie sebagai anggota legislatif.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan teori transaksional dan SWOT. Adapun pengumpulan data menggunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi..

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perempuan menghadapi persaingan politik yang sangat kompetitif di internal partai, khususnya pada proses penentuan nomor urut dan daerah pemilihan yang strategis. Mekanisme internal partai PAN menunjukkan adanya politik transaksional dalam menentukan nomor urut


(2)

Golkar pada survei internal memberikan keberuntungan Dwie Aroem Hadiatie, sehingga memperoleh urutan teratas, hal itu berkaitan dengan adanya oligarkhi ayahnya, Alzier selaku ketua DPD Golkar Provinsi Lampung. Lain halnya dengan Eva Dwiyana popularitasnya dibutuhkan partai PDIP dalam meraih suara pada pemilu 2014, dan basis masa terstruktur berupa majelis taklim khususnya wilayah Bandar Lampung. Strategi pemenangannya dengan pendekatan langsung ke masyarakat berupa pengajian dan sosialisasi. Tingginya suara yang diperoleh Asmara Dewi dan Eva Dwiyana ini diketahui dari besarnya peran suami di mana keduanya adalah kepala daerah, Asmara Dewi sebagai istri Bupati Lampung Timur dan Eva Dwiyana istri Walikota Bandar Lampung. Dalam pemenangannya, kontribusi terbesar berasal dari jaringan birokrat dan dukungan suami sebagai kepala daerah.


(3)

THE POLITICAL COMPETITION OF FEMALE LEGISLATIVE CANDIDATE IN REGIONAL ELECTION 2014 IN LAMPUNG (A Study on Selected Winning Candidates of Asmara Dewi, Eva Dwiyana,

Dwie Aroem Hadiatie as Members of Legislative)

By

Gesit Yudha Puji Arsono

Women face tighter competition in internal environment of political parties, especially PAN, PDIP, and Golkar, in their process to be elected as members of legislative in election 2014. The objective of this research was to find out the competition processes, wining strategies, and family roles on selected winning candidates of Asmara Dewi, Eva Dwiyana, and Dwie Aroem Hadiatie as member of legislative.

This was a descriptive qualitative research with transactional and SWOT theories. Data were collected using observation, interview, and documentation methods.

The research results showed that women faced very tight political competitions in internal environment of political parties, especially in process of determining number of candidate election and strategic voter regions. PAN internal party mechanism showed transactional politic in determining number of legislative


(4)

party in internal survey benefited Dwie Aroem Hadiatie, so the she got top number for candidate election, and this was related to his father oligarchy, Alzhier, as the chairman of Golkar in Lampung regional branch. This was a different case with Eva Dwiayana, where her popularity was needed by PDIP in collecting voters in election 2014, and she had a structured mass basic in form of religious educative group, especially in Bandar Lampung. Her winning strategy was direct approach to public through religious education activities and socialization. High voter gains obtained by Asmara Dewi and Eva Dwiyana could be seen from big roles of their respective husbands as Lampung Timur regent and Bandar Lampung major. In their efforts of winning voters, biggest contributions came from bureaucrat networks and husbands’ supports as regional head authorities.


(5)

PERSAINGAN POLITIK CALON LEGISLATIF PEREMPUAN PADA PEMILIHAN UMUM 2014 DI LAMPUNG

(Studi Terpilihnya Asmara Dewi, Eva Dwiana, Dwie Aroem Hadiatie Sebagai Anggota Legislatif)

Oleh

Gesit Yudha Puji Arsono

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(6)

(7)

(8)

(9)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 31 Agustus 1990, sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari Bapak Warsono dan Ibu Puji Hartini.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Taman Siswa Bandar Lampung diselesaikan tahun 1996, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 2 Teladan Rawa Laut, Bandar Lampung pada tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 1 Bandar lampung pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Utama 2 Bandar Lampung pada tahun 2008.

Tahun 2008, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung melalui jalur SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi ketua umum Organisasi Himpunan Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat (HIMA AF), penulis juga aktif di Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung. Pada Tahun 2010, penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata di Way Kanan. Pada tahun 2012 penulis terpilih sebagai mahasiswa terbaik dan termuda di IAIN Raden Intan Lampung.


(10)

Terselesaiakanya tesis ini adalah berkat bantun material dan spiritual dari orang– orang yang berada di sekeliling penulis. Oleh sebab itu tesis ini penulis

persembahkan untuk :

1. Kedua orang tuaku, Bapak Warsono, Ibu Puji Hartini yang selalu memberikan semangat dan doanya.

2. Adik tercinta Indah Dwi Permata, Eka Puji Listiyani yang selalu memberikan semangat dan dorongan.

3. Adinda tersayang Anita Susanti, S.PdI yang telah membantu dan memberikan sumbangsih pemikiran.

4. Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung tempat penulis menimba ilmu dan berguru.

5. Organisasi HMI yang telah mendidik, proses dan membuat penulis mengabdikan diri menjadi Insan Cita.

6. Seluruh karyawan As-Syifa yang turut mendo’akan terselesaikannya tesis ini


(11)

MOTO

“ Berlian tidak akan menjadi indah bila tanpa proses, sesuatu yang berharga mengalami tempaan yang panjang, hasil tidak mengingkari proses dan proses


(12)

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan hidayah-Nya tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis dengan judul “Persaingan Politik Calon Legislatif Perempuan Pada Pemilihan Umum 2014 Di Lampung (Studi Terpilihnya Asmara Dewi, Eva Dwiana, Dwi Aroem Hadiatie Sebagai Anggota Legislatif)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Pemerintahan di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.s., selaku Direktur Pasca Sarjana Unila; 2. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si., selaku Dekan Fakultas FISIP Unila; 3. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A., selaku ketua prodi Magister Ilmu

Pemerintahan;

4. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A., selaku Pembimbing Utama atas ketersediannya untuk memberian bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian tesis ini;

5. Bapak Drs. Hertanto, M.Si, Ph.D., selaku Pembimbing Kedua atas ketersediannya untuk memberian bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian tesis ini;


(13)

terdahulu;

7. Bapak Drs. Yana Ekana PS., M.Si., selaku Pembimbing Akademik; 8. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Fisip Unila;

9. Seluruh rekan-rekan Ilmu Pemerintahan 2013, terimakasih atas kebersamaan kalian.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga tesis yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semia. Amiin.

Bandar Lampung, 02 Maret 2015 Penulis,


(14)

Halaman DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian... 15

D. Kegunaan Penelitian... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Persaingan Politik ... 18

1. Persaingan Politik Sebagai Kewajaran ... 21

2. Persaingan Politik Sebagai Pembelajaran... 22

B. Teori SWOT Dalam Pemenangan Caleg ... 25

1. Marketing Politik... 29

2. Transaksional... 36

C. Kontestasi Politik ... 42

D. Kerangka Pemikiran... 61

III. METODE A. Tipe Penelitian ... 64

B. Fokus Penelitian ... 67

C. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 69

D. Teknik Pengumpulan Data... 71

E. Metode Analisis Data ... 74

F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 77

G. Keabsahan Data... 82

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persaingan Politik Pada Proses Terpilihnya Asmara Dewi, Eva Dwiana, dan Dwie Aroem Hadiatie di Partainya Masing-Masing ... 86

1. Asmara Dewi ... 86

2. Eva Dwiana... 97

3. Dwie Aroem Hadiatie ... 106


(15)

1. Asmara Dewi... 120

2. Eva Dwiana ... 127

3. Dwie Aroem Hadiatie ... 132

4. Persamaan dan Perbedaan ... 139

5. Tabel Simpulan ... 141

C. Peranan Keluarga Asmara Dewi, Eva Dwiana, Dwie Aroem Hadiatie ... 142

1. Asmara Dewi... 142

2. Eva Dwiana ... 145

3. Dwie Aroem Hadiatie ... 148

4. Persamaan dan Perbedaan ... 150

5. Tabel Simpulan ... 151

D. Analisis Persamaan dan Perbedaan ... 152

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan... 158

B. Saran ... 161 DAFTAR PUSTAKA


(16)

Tabel Halaman 1. Periode waktu dan kursi DPR yang dimiliki perempuan ... 3 2. Jumlah anggota legislatif perempuan di DPR, DPD, dan

DPRD Povinsi Lampung... 4 3. Jumlah anggota legislatif perempuan di DPRD kabupaten/

kota di Lampung ... 4 4. Identifikasi persamaan dan perbedaan proses terpilihnya

anggota legislatif Asmara Dewi, Eva Dwiana, Dan Dwie Aroem

Hadiatie ... 118 5. Identifikasi Persamaan dan Perbedaan Strategi dan

Sosialisasi Kampanye Pencalonan Asmara Dewi, Eva Dwiana,

dan Dwie Aroem Hadiatie... 141 6. Identifikasi Perbedaan dan persamaan Peran Keluarga Pada

Proses Pemenangan Asmara Dewi, Eva Dwiana, dan Dwie


(17)

Gambar Halaman 1. Analisis model interaktif ... 76


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persaingan politik untuk perempuan merupakan hal yang sangat penting dalam proses demokrasi suatu bangsa. Menurut data statistik 2004, jumlah penduduk Indonesia mayoritas perempuan, yaitu lebih dari 100 juta. Walaupun penduduk perempuan lebih dari 100 juta, tetapi hingga saat ini kaum perempuan Indonesia belum mendapatkan tempat yang sejajar dengan kaum laki-laki, terutama dalam persaingan politik. Hal ini terjadi karena budaya patriarki yang menjadi dasar kehidupan manusia umumnya di dunia, dalam kontestasi politik acap kali perempuan kurang memiliki modal berargumen dengan kaum laki-laki.

Budaya patriarki adalah budaya yang mengutamakan peran laki-laki dalam mengatur kehidupan, hal ini merupakan salah satu faktor dasar yang meminggirkan perempuan, di antaranya dalam hal memperoleh kesempatan persaingan, khususnya persaingan politik. Secara ekstrim wacana yang berkembang menyatakan bahwa wilayah politik perempuan adalah di dapur.

Di lihat dari konteks kontemporer dewasa ini, maka sudah waktunya perempuan berperan serta lebih optimal di dunia politik, mengingat kemampuan mereka tidak kalah pentingnya dalam menduduki jabatan


(19)

publik tertentu. Dengan kata lain, masih dalam koridor kepentingan perempuan untuk memperjungkan nasib mereka melalui saluran politik pemerintah yang sangat strategis.

Dalam konteks di Nusa Tenggara Timur, keterwakilan perempuan di lembaga DPRD hasil pemilu 9 April 2014 lalu bertambah dari hasil pemilu lima tahun lalu. Dari 65 kursi yang diperebutkan, keterwakilan perempuan sebanyak enam orang, atau bertambah tiga orang dari pemilu sebelumnya yang hanya menempatkan tiga orang.

Pada hasil Pileg 2014 di Lhokseumawe. Dari alokasi 25 kursi DPRK, berdasarkan hasil rekapitulasi perolehan suara yang telah diplenokan KIP pada 19 April 2014, diprediksikan hanya dua calon legislatif perempuan yang terpilih menjadi anggota dewan Lhokseumawe.

Dua calon legislatif perempuan tersebut, Nurul Akbari yang diusung Partai Gerindra melalui Daerah pemilihan I (Kecamatan Banda Sakti), dan Roslina dari Partai Demokrat Daerah pemilihan III (Kecamatan Blang Mangat).

Asumsi bahwa anggota legislatif di Lampung hampir sama dengan di daerah Indonesia lainnya dimana kuota perempuan di parlemen tidak memenuhi afirmatif 30 % untuk mewakili keterwakilan perempuan.

Kuota 30 persen perempuan di DPRD Lampung idealnya terpenuhi. Dari 85 anggota DPRD Lampung, seharusnya ada 25 anggota legislatif perempuan. Jika kurang dari jumlah tersebut, artinya perempuan belum mendapat tempat dalam pilihan politik masyarakat Lampung. Hal ini disebabkan


(20)

beberapa hal. Misalnya, perempuan di Lampung masih dimarjinalkan dalam politik atau hanya sebatas pelengkap.

Setelah diimplementasi melalui dua kali pemilu, kebijakan afirmasi dalam bentuk kuota 30% perempuan menunjukkan hasilnya. Apabila Pemilu 2004 menelorkan perempuan 11% di DPR, 22 % di DPD, 12% di DPRD provinsi, dan 6% di DPRD kabupaten/kota, maka Pemilu 2009 menambah perempuan menjadi 18% di DPR, 27% di DPD, 16% di DPRD provinsi, dan 12% di DPRD kabupaten/kota. (sumber : rumahpemilu.org)

Fakta di lapangan menunjukkan perkembangan yang mendekati kata ideal. Meskipun sejarah keterlibatan perempuan Indonesia dalam politik sudah terjadi sejak ratusan tahun silam, angka partisipasi perempuan di parlemen ternyata masih terbilang rendah. Berikut adalah kursi DPR yang dimiliki perempuan dan periode waktu seperti dikutip dari laporan IPU (Inter-Parliamentary Union):

Tabel 1

Periode Waktu dan Kursi DPR Yang Dimiliki Perempuan

No. Tahun Jumlah Perempuan Persen (%)

1. Pemilu tahun 1955 5,9%

2. Pemilu tahun 1971 33 dari total 460 7,17% 3. Pemilu tahun 1977 34 dari total 460 7,39% 4. Pemilu tahun 1982 38 dari total 460 8,26% 5. Pemilu tahun 1987 57 dari total 500 11,4% 6. Pemilu tahun 1992 61 dari total 500 12,2% 7. Pemilu tahun 1997 57 dari total 500 11,4% 8. Pemilu tahun 1999 40 dari total 500 8% 9. Pemilu tahun 2004 62 dari total 550 11,2% 10. Pemilu tahun 2009 104 dari total 560 18,6% 11. Pemilu tahun 2014 79 dari total 410 14%


(21)

Akan tetapi peningkatan tersebut mendatangkan masalah baru. Hasil Pemilu 2009 menunjukkan, 25% adalah figur populer dan 41% adalah anggota dinasti politik. Dominasi dua latar belakang itu tentu tidak jadi masalah apabila mereka mampu mengemban baik fungsi-fungsi legislatif. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Pada titik inilah implementasi kebijakan afirmasi perlu dievaluasi.

Kehadiran 15 perempuan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kinerja DPRD Provinsi Lampung secara keseluruhan. Karena kinerja dewan bersifat kolektif, bersama-sama melalui fraksi partai, bukan individu. Meski demikian, 15 calon legislatif wanita terpilih ini nantinya bisa saja melakukan persaingan perempuan melalui legislatif ataupun partai politik.

Tabel 2

Jumlah anggota legislatif perempuan di DPR, DPD, dan DPRD Provinsi Lampung

No. Lembaga Legislatif Jumlah Perempuan Persentase (%)

1. DPR RI 79 orang 14 %

2. DPD 118 orang 12,47%

3. DPRD Provinsi Lampung 15 orang 17,64%

Sumber: web compas.com diakses pada Rabu, 23 Juli 2014

Tabel 3

Jumlah Anggota Legislatif Perempuan Di DPRD Kab/Kota Di Lampung

No. DPRD Kab/Kota Jumlah Persentase (%)

1. Dapil 1 (Bandar Lampung) 2 18,18 %

2. Dapil 2 (Lampung Selatan) 1 10 %

3. Dapil 3 (Metro, Pesawaran, Pringsewu) 4 36,36 %

4. Dapil 4 (Lampung Barat, Tanggamus) -

-5. Dapil 5 (Lampung Utara, Way Kanan) 2 18,18 % 6. Dapil 6 (Tulang Bawang, Tulang Bawang 2 20 %


(22)

Barat, Mesuji)

7. Dapil 7 (Lampung Tengah) 2 16,66 %

8. Dapil 8 (Lampung Timur) 2 20 %

Sumber: web saibumi.com diakses pada Kamis 24 Juli 2014

Ketidakmunculan perempuan secara terbuka juga diakibatkan oleh ketidaknyamanan kaum laki-laki terhadap aktivitas politik perempuan. Kehadiran perempuan cenderung mengganggu ‘status quo’ kaum laki-laki yang selama ini mendominasi banyak sektor dalam kehidupan, salah satunya sektor politik. Perempuan yang dianggap ‘pintar’ cenderung menjadi ancaman bagi realitas laki-laki. Ketidaknyamanan laki-laki atas kesempatan yang semakin luas dalam wilayah publik semakin menegaskan bahwa memang tidak mudah bagi kaum perempuan untuk berakivitas di politik tanpa dukungan hal-hal yang disebutkan di atas; terutama dukungan finansial dan partai politik. Kelebihan kaum perempuan seperti berpendidikan, pengaruh keluarga/keturunan yang dikenal masyarakat dan kecukupan finansial menjadi modal kuat untuk terjun ke wilayah publik seperti politik.

Aktivitas politik kaum perempuan walau sudah didukung oleh undang-undang partai politik dan undang-undang-undang-undang Pemilu yang menganjurkan keterwakilan perempuan didukung oleh partai politik berdasarkan kebijakan “affirmative action, kuota 30 persen”, akan tetapi kenyataannya persoalan berkaitan dengan aktivitas politik perempuan tetap kuat meliputi poitik praktis kaum perempuan. Kebijakan tersebut tetap tidak mudah dijalankan pada awalnya karena munculnya pro dan kontra baik dalam kehidupan


(23)

sosial budaya maupun politik. Tidak semua lapisan masyarakat menerima ketentuan tersebut. Dalam wilayah politik juga banyak yang kurang bahkan tidak sepakat dengan ketentuan kuota 30 persen.

Menariknya, finansial menjadi utama karena pembiayaan ikut menentukan banyak hal dalam proses politik. Seseorang dapat timbul kepercayaan dirinya jika perempuan tersebut mempunyai ‘uang yang cukup’membiayai aktifitas politik mereka. Bahkan uang yang ada mampu membuat partai politik mencalonkan perempuan tersebut. Walaupun kondisi serperti ini tidak diharapkan muncul dalam kasus perempuan.

Perempuan umumnya tidak menguasai ekonomi yang memadai dan hal itu menjadi alasan terbatasnya sumber daya perempuan. Hal itu dipersulit juga dengan ketidakpercayaan partai politik mengenai kemampuan perempuan untuk mendukung keuangan partai. Kekuatan finansial seringkali mampu mengalahkan kualitas seorang kandidat, karena partai politik mensyarakatkan seorang kader atau kandidat mampu membiayai kampanye dan proses politik masing-masing sekaligus mampu mendukung pembiayaan partai politik. Tidak dapat dinafikan bahwa kegiatan-kegiatan partai membutuhkan pembiayaan dalam realisasinya.

Uang atau kekuatan finansial menjadi krusial dalam proses politik. Mengingat pembiayaan politik semakin hari bertambah mahal bahkan hampir tidak bisa dilaksanakan proses politik tanpa dukungan finansial.


(24)

Pada dasarnya kemenangan anggota legislatif perlu adanya dukungan riil politik pada tingkat akar rumput masyarakat, adanya tim pemenangan dan strategi pemenangan dan motivasi yang kuat ada pada diri caleg untuk menjadi anggota legislatif.

Salah seorang calon legislatif perempuan daerah pemilihan Lampung Timur Asmara Dewi memperoleh suara 38.675 ini fenomenal sebab tidak ada calon legislatif yang bisa memperoleh batas maksimal BPP, strategi pemenangan kata kuncinya yakni menggerakkan seluruh elemen masyarakat untuk bersosialisasi.

Persaingan di partai PAN perlu dicermati dalam kontestasi antar calon legislatif dimana dalam penjaringan yang dilakukan partai sangat signifikan dimana tingginya kuota 30% dan melihat kursi yang ada calon legislatif daerah pemilihan Lampung Timur yakni jumlah wanita di Dapil ini ada 4 diantaranya ibu Asmara Dewi dan Yulia Hasimah, Yuniarsih Rahayu, Dewi fentriati, sehingga mereka bersaing dengan calon legislatif laki-laki yakni Saad Sobari, Herman Simono, Saiful Ahmad, Armin Hadi, Abung Sutrisno, Marzuki Yazid.

Melihat dari mekanisme yang sesuai AD/ART partai PAN sangat jauh dari idealis dan sistematik internal yang mengutamakan kader struktural menduduki nomor urut jadi dalam pencalagean ini terlihat dari nomor urut Bu Yulia Hasimah pada nomor 4 yang diketahui sangat konstributif untuk partai, yang terjadi kompromi (transaksional) di internal dalam partai.


(25)

Pada pemilihan umum 9 April 2014 persaingan terjadi antara Asmara Dewi nomor urut 2 memperoleh suara sebanyak 38.675 mengalahkan Saad Sobari 11.342 suara dan Yulia Hasimah sebanyak 1.484 suara. Dalam perolehan suara terbanyak di partai PAN sehingga terpilih Asmara Dewi sebagai anggota legislatif Provinsi Lampung periode 2014-2019.

Strategi sosialisasi yang dilakukan untuk mengumpulkan basis masa yakni dengan tidak memanfaatkan PNS. Hanya guru-guru PAUD dan non PNS dari kota hingga desa yang dipakai. Dengan alasan guru-guru PAUD masih dibawah sejahtera dengan dana insentif yang sedikit. Menghadiri undangan-undangan pengajian untuk menjadi narasumber.

Eva Dwiyana di partai PDIP bersaing dan meraih suara 19.818 yang mengalahkan perolehan suara calon legislatif PDIP nomor urut 1 Apriliati yang hanya meraih suara 7.005 dan Arianto Suparno sebanyak 6.053 suara. Namun Apriliati tetap dapat lolos ke DPRD Lampung mengingat PDI Perjuangan dapat meraih dua kursi dari Bandar Lampung ini. Di dalam daerah pemilihan 1 Bandar Lampung yakni jumlah wanita di Dapil ini ada 4 diantaranya ibu Apriliati dan Maisari Berti, Agustinawati, sehingga mereka bersaing dengan calon legislatif laki-laki di antaranya Igantius Agus Suardaya, Aprianto Suparno, Dahlan Anwar, Tahura Malagano, Hidayat, Haposan Hutagalung.

Pada kemenangannya ini diketahui Eva Dwiyana sebagai ketua pengajian Rakhmad Hidayat mampu memobilisasi massa untuk datang kepengajian serta pernah menjabat ketua partai Demokrat kota Bandar Lampung yang


(26)

akhirnya memutuskan mundur menyusul kepengurusan tak jua dikukuhkan dan akhirnya merapat ke partai PDIP yang memberikan ruang politik luas.

Basis massa suara dari kedua calon legislatif ini diketahui terdongkrak karena suara faktor dari suami dimana keduanya pimpinan kepala daerah, Asmara Dewi sebagai istri Bupati Lampung Timur Erwin, dan Eva Dwiana sosok istri dari Walikota Bandar Lampung. Keduanya selalu ada dikegiatan suami menjalankan tugas sehingga mampu menarik simpati masyarakat di dapilnya. Begitupun peran dari sosok suami dalam pemenangan dimana diketahui memberikan jaringan dan dorongan motivasi yang kuat.

Pada pemilihan umum 2014 lalu adanya tantangan-tantangan dalam dunia politik diantaranya hasil rekapitulasi panitia pemilihan kecamatan (PPK) yang dihimpun tim suara partai Golkar 5.889, suara Dwie Aroem Hadiatie 2.671, dan Reza Pahlevi 1.526. Tapi, setelah rekapitulasi tingkat kabupaten, suara partai Golkar turun menjadi 2.600, Aroem tetap 2.671, dan Reza naik drastis menjadi 9.663. Selisih inilah yang menjadi bahan laporan Aroem ke Bawaslu.

Sementara dari sampel penggelembungan suara penghitungan suara ulang semalam, di Kecamatan Batuketulis, suara Reza yang semula 21 menjadi 346.

Kemudian di Balik bukit, selain Reza, suara berubah adalah milik caleg nomor urut 4 Irsanudin Sagala yang berkurang. Dari seharusnya 69, suara Irsanudin hanya tersisa 4. Sementara suara Reza dari 69 menjadi 844. Di


(27)

Sukau, suara Reza dari 39 menjadi 530, Krui Selatan dari 6 menjadi 116, dan Pesisir Tengah dari 49 menjadi 281.

Penghitungan ulang yang dibacakan dalam rapat pleno ini pun menjadi perhatian peserta pleno. Suasana yang tadinya menghangat karena ada sejumlah saksi parpol menolak pembukaan kotak suara, langsung berubah. Saksi dan undangan pun antusias dan menyoraki komisioner KPU Lambar yang membacakan rekapitulasi ulang.

Sayangnya, pembetulan data ditunda karena Bawaslu tidak menemukan data pembanding untuk Kecamatan Sekincau. Sehingga, hingga berita ini diturunkan, belum diketahui secara pasti jumlah selisih suara yang diduga digelembungkan dan berpindah itu. Ketua KPU Lampung Nanang Trenggono memberikan kesempatan Bawaslu untuk mencari data itu.

Di ketahui keduanya merupakan anak dari tokoh politikus Lampung yakni Alzier Dianis Tabrani, ia mampu menarik simpati masyarakat dengan kampanye media sosial, dimana ia bersaing dengan adik tirinya yakni Reza Pahlevi yang di dukung penuh oleh Alzier selaku orang tua mereka. Tim mendirikan posko relawan sahabat Aroem, mengadakan road show di berbagai daerah, silahturahmi keluarga, tokoh adat, koordinator kecamatan tim relawan Aroem di desa Banjar Negeri, kecamatan Gunung Alip Tanggamus, sosialisasi dan pengajian akbar.

Ketiga anggota legislatif ini telah lolos dalam verifikasi data di KPU untuk menduduki kursi parlemen mewakili perempuan Lampung. Secara langsung


(28)

persaingan politik sudah dirasakan sebab melalui mekanisme partai politik diantaranya Asmara Dewi dari PAN, Eva Dwiana dari PDI Perjuangan, dan Dwie Aroem Hadiatie dari Golkar.

Penelitian yang sejenis Gender Dan Perilaku Memilih: Sebuah Kajian Psikologi Politik Rahmaturrizqi, Choirun Nisa, dan Fathul Lubabin Nuqul Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Ada perkembangan menarik dari psikologi politik, terutama dalam upaya perempuan untuk bersaing dalam arena politik. Sampai pertengahan tahun 2007, sedikitnya 82 perempuan tercatat mengikuti pemilihan di 232 daerah tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Dari data tersebut, 26 perempuan (30,76%) terdaftar sebagai calon pemimpin daerah dan 57 wanita (69.24%), terdaftar sebagai wakil pemimpin daerah, meskipun hanya delapan perempuan yang berhasil terpilih sebagai pemimpin daerah dan 11 terpilih sebagai wakil pemimpin daerah (Arifin, 2008). Pemilihan langsung seperti yang terjadi saat ini membuat calon harus mengikuti "kepentingan" pemilih.

Namun, upaya untuk memahami perilaku, perasaan dan pemikiran pemilih tidak selalu mudah. Cara-cara lama dengan memberikan sumbangan ekonomi dianggap tidak terlalu kuat lagi dalam mempengaruhi suara pemilih. Salah satu solusi yang mungkin adalah melakukan analisis kebutuhan pemilih. Untuk memenuhi kebutuhan pemilih tidak selalu mudah karena ada perbedaan karakter antara masyarakat, jenis kelamin dan


(29)

individu yang mempengaruhi perilaku memilih mereka. Penelitian ini melibatkan 90 mahasiswa (45 perempuan dan 45 laki-laki).

Data dikumpulkan dengan cara memberikan cerita skenario tentang pemilihan pemimpin daerah (bupati) di mana setiap subjek harus memilih pria atau wanita sebagai pemimpin, atau tidak memilih sama sekali. Setiap alternatif jawaban, subjek diminta untuk memberikan alasan. Analisis data menggunakan tematik dan tabulasi silang kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek yang memilih pria sebagai pemimpin sebanyak 68 orang atau 75,56%, dan yang memilih perempuan sebagai pemimpin hanya 12 orang atau 13,33%. Subjek yang abstain berjumlah 11 orang atau 11,11%. Hasil ini menunjukkan bahwa perilaku pemilih perempuan, lebih cenderung memilih pria sebagai pemimpin. Dari berbagai alasan yang diungkapkan oleh subjek dapat disimpulkan bahwa hal ini terjadi karena sebagian besar subjek, termasuk perempuan, percaya bahwa pria lebih berhak dan pantas untuk menjadi pemimpin dibanding perempuan.

Jurnal perempuan dalam pemilu 2009 : refleksi kritis oleh Arie Sujito. Pemilu legislatif yang digelar 9 April 2009 lalu, mencuatkan isu soal representasi perempuan dalam arena politik. Sebagian besar pihak menilai, kondisi budaya masyarakat dan kekuasaan yang masih patriarkhi mengharuskan agenda kesetaraan gender menjadi prioritas dalam penegakan demokrasi Indonesia.

Faktanya, tuntutan perhatian pada aspirasi dan hak-hak perempuan dalam dunia politik kian membuahkan hasil, meskipun dalam rentang yang belum


(30)

optimal. Kesepakatan politik yang berisi prasyarat bagi parpol untuk memasukkan keterwakilan perempuan sebesar 30% atas calon anggota legislatif (caleg) yang diajukan, menunjukkan terobosan menarik.

Desakan semacam ini, meskipun belum sepenuhnya ditaati oleh parpol secara keseluruhan, hendaknya dipahami sebagai bagian dari fase perjalanan advokasi atas kesetaraan gender dalam rute demokratisasi.

Mari kita mengupas kaitan perempuan dengan soal pemilu 2009 lalu. Mengapa perempuan perlu mendapat perhatian serius dalam pemilu 2009? Jika dikalkulasi secara demografis, perempuan berjumlah lebih dari 55% dari populasi jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu, dari segi jumlah pemilih yang berhak dalam pemilu, perempuan juga lebih besar dibandingkan laki-laki. Artinya, perempuan merupakan basis suara yang begitu besar, dan terlalu sayang jika tidak menjadi sasaran strategis untuk meraih dukungan. Hanya saja, kondisi saat ini memang masih ironis. Betapapun basis perempuan dalam pemilu demikian besar, nyatanya derajat keterwakilan perempuan secara formal dalam parpol sangat kecil dan terbatas. Berdasarkan informasi komisi pemilihan umum (pusat maupun daerah), bahwa parpol-parpol peserta pemilu sebagian besar tidak mentaati keharusan memenuhi kuota perempuan.

Alasan umum yang dilontarkan pengurus partai politik adalah, sulitnya mencari kader-kader perempuan untuk duduk menjadi calon legislatif. Padahal, jika struktur parpol lebih dibuka dan dikelola secara demokratis, partisipasi perempuan dalam legislatif semakin besar dan meningkat.


(31)

Sedikitnya ada 5 soal yang menjadi penyebab mengapa masalah keterwakilan perempuan terbatas dalam caleg; pertama, model kepengurusan parpol yang masih dikelola secaraoligarkhis, dimana mereka yang berposisi strategis cenderung memblokade kelompok-kelompok potensial (termasuk perempuan) dalam mobilitas vertikal; kedua, sistem kaderisasi yang buruk di tubuh parpol, dimana proyeksi kepemimpinan tidak memperlihatkan sistem yang terstruktur; ketiga, makin pragmatisme manajemen parpol diperlihatkan dalam bentuk kecenderungan mengambil keputusan politik berorganisasi hanya mendasarkan kemampuan uang (ekonomisasi politik), dengan akibat terpinggirkannya komitmen dalam rangka membesarkan partai politik dan ideologi; keempat, kultur yang masih bersemayam gaya politik patriakhi, dimana hal itu mempersulit kaum perempuan memasuki publik; kelima, masih terbatasnya daya dukung gerakan perempuan yang secara solid menjadikan perjuangan politik sebagai prioritas.

Di Indonesia persaingan politik perempuan dibuktikan dengan walikota Surabaya yang mampu memberikan kepercayaan ke masyarakat bahwa perempuan mampu duduk di eksekutif dalam memerintah pun bersifat mengayomi, selain itu ketua umum Megawati Soekarno Puteri menjalani beberapa periode memimpin partai besar dengan pesaingan dari lak-laki. Sebelum tersangkut kasus korupsi Ratu Atut Khoisiah merupakan gubernur perempuan pertama khususnya di Banten dengan segala motivasi kuat dan dukungan sosial mampu keluar sebagai kontestasi pemenang pemilu Banten dengan hampir dua periode.


(32)

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dituangkan dalam pertanyaan penelitian:

1. Bagaimana persaingan politik pada proses terpilihnya Asmara Dewi, Eva Dwiana, Dwie Aroem Hadiatie sebagai calon legislatif di partainya masing-masing?

2. Apa strategi sosialisasi dan kampanye yang digunakan Asmara Dewi, Eva Dwiana, Dwie Aroem Hadiatie?

3. Bagaimana peranan keluarga (ayah, suami, dll) dalam mencapai kemenangan Asmara Dewi, Eva Dwiana, Dwie Aroem Hadiatie?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah penelitian yang dirumuskan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini:

1. Untuk mengetahui persaingan politik pada proses terpilihnya Asmara Dewi, Eva Dwiana, Dwie Aroem Hadiatie sebagai calon legislatif di partainya masing-masing!

2. Untuk mengetahui strategi sosialisasi dan kampanye yang digunakan Asmara Dewi, Eva Dwiana, Dwie Aroem Hadiatie!

3. Untuk mengetahui peranan keluarga (ayah, suami, dll) dalam mencapai kemenangan Asmara Dewi, Eva Dwiana, Dwie Aroem Hadiatie!


(33)

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah: 1. Kegunaan teoritis

a. Secara teoritis penelitian ini nantinya diharapkan mampu memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan ilmu politik lokal dan otonomi daerah.

b. Secara akademis dapat menambah khasanah bacaan di lingkungan Magister Ilmu Pemerintahan (MIP) Universitas Lampung (UNILA) khususnya civitas akademia UNILA pada umumnya serta semua pihak-pihak yang berkepentingan. Tentunya penelitian ini menyumbangkan khazanah pengetahuan sebelumnya tentang persaingan politik di tingkat lokal khususnya perempuan.

2. Kegunaan Praktis

a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang politik khususnya tentang politik perempuan dan terealisasinya isu gender dan politik dalam masyarakat. Kaum perempuan, harus lebih bersatu dalam perjuangan politik yang dilakukan, mempunyai strategi yang jelas, dan konsisten dengan perjuangan yang dilakukan sehingga tujuan perjuangan yang sesungguhnya tercapai. Perjuangan bukan hanya untuk kepentingan pribadi-pribadi saja, melainkan untuk kepentingan perempuan dan masyarakat. Masyarakat, masyarakat khususnya perempuan lebih menggalang kebersamaan dan kepercayaan terhadap aktivitas politik


(34)

perempuan. Perempuan juga harus menawarkan pola pendekatan dan pelayanan yang berbeda dibandingkan laki-laki agar kehadiran kaum perempuan disukai dan dikehendaki sebagai pemimpin di tengah masyarakat.

b. Sebagai tambahan wacana politik untuk turut serta membangun perpolitikan nasional sebagai warga negara yang memiliki kesadaran politik. Partai politik, sebagai satu-satunya pintu masuknya kader partai yang mencalonkan diri , maka partai politik yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki seharusnya mendukung aktivitas politik perempuan secara maksimal agar perempuan mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki selama ini.

c. Diharapkan dari hasil penelitian ini daat memberikan kontribusi bagi pembangunan di bidang persaingan politik perempuan khususnya di provinsi Lampung.


(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Persaingan Politik

Salah satu perubahan yang cukup mendasar pasca reformasi adalah persaingan politik yang semakin tinggi di Indonesia. Dalam era keterbukaan dan demokratisasi, bahkan negara-negara yang tadinya totaliter, termasuk Indonesia pada masa orde baru, pun harus belajar menerapkan demokrasi sesungguhnya. Memang pemerintahan orde baru menggunakan demokrasi sebagai landasan pemerintahannya. Tapi, dalam pelaksanaannya masih terbatas pada demokrasi prosedural (prosedural democracy) dan bukan berdemokrasi dalam arti sesungguhnya (substantive democracy). Proses demokrasi dipelintir begitu rupa, sehingga dalam setiap Pemilu kita akan dapat dengan mudah memprediksi siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Tapi desakan dari dalam maupun luar membuat gerakan reformasi berkembang dan akhirnya Indonesia harus belajar lagi untuk menerapkan demokrasi dalam jalurnya yang benar.

Dalam demokrasi substantif, peralihan dan pergantian kekuasaan dilakukan melalui suatu mekanisme yang disebut sebagai pemilihan umum. Masing-masing peserta Pemilu memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan dipilih. Praktik-praktik represif dan manipulatif yang seringkali terjadi


(36)

suatu konsep yang sangat penting sekarang ini. Pemerintah Indonesia yang menganut sistem multipartai membuat satu partai atau calon legislatif bersaing dengan yang lain. Untuk dapat ke luar sebagai pemenang dalam Pemilu, partai ataupun calon legislatif dapat bersaing. Karena memang satu sama lainnya berusaha untuk mendapatkan suara terbanyak dan ke luar sebagai pemenang Pemilu.

Menurut Schattscheneider (1942:42) melihat bahwa demokrasi merupakan sistem yang berbasis persaingan antar partai politik dan pemilihlah yang menentukan, sebagai pihak yang berada di luar sistem dan orgaisasi partai.

Menurut Firmanzah (2010: 33) konsep persaingan politik merupakan dapat memenangkan kompetisi pemilu sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, dimana partai politik perlu memonitor dan mengevaluasi setiap strategi dan aktifitas yang dilakukan partai lain layaknya prinsip ‘zero sum’ setiap kemenangan dari satu pemain merupakan kekalahan dari pihak lain.

Yang paling penting dalam sistem demokrasi yang ideal adalah sejauh mana kontestan dapat ‘merebut hati’ rakyat melalui program kerja yang ditawarkan. Masyarakat berada dalam posisi yang akan menentukan siapa yang menang dan kalah. Dengan demikian, kemenangan kontestan merupakan fungsi dari kedekatan dan keberpihakan pada permasalahan bangsa dan negara. Masing-masing kontestan berusaha menjadi yang terbaik di mata rakyat. Kenyataan ini semakin meningkatkan udara persaingan yang ada di antara para kontestan yang terlibat dalam Pemilu. Dalam hal ini


(37)

harus dibahas di dalam internal partai politik. Strategi untuk memenangkan persaingan tentunya harus dikembangkan dan diimplementasikan sesuai dengan standar dan ketentuan perundangan-perundangan yang berlaku.

Dalam sistem demokrasi multipartai seperti di Indonesia, mau tidak mau, partai politik perlu meletakkan konteks’ persaingan politik’. Semakin trasparannya kegiatan politik dan keinginan masyarakat untuk berpolitik secara sehat terlepas dari semua manipulasi dan eksploitasi telah membawa sistem politik ke dalam persaingan. Sistem persaingan dilihat dalam konteks dinamis ( dynamic competition ). Dalam kompetisi dinamis, perlu disadari bahwa suatu partai politik tidak hadir sendirian, terdapat lawan-lawan politik yang juga memiliki tujuan sama untuk berkuasa. Ketidaksendirian dan kesamaan tujuan ini membuat setiap strategi suatu partai politik akan selalu di respon lawannya dam memperebutkan opini publik.

Dinamika persaingan politik muncul ketika aksi dan reaksi muncul dalam persaingan. Meskipun pada kenyataannya terdapat bentuk koalisi, dalam hal ini koalisi dilihat sebagai struktur yang tidak tetap dan sangat stabil. Artinya, ketika kepentingan dan tujuan politik sudah tidak sama lagi, koalisi tersebut biasanya pecah.


(38)

Dunia politik perlu melihat bahwa persaingan adalah segala sesuatu yang wajar dan alamiah. Baik institusi maupun aktor politik dituntut untuk menerima normalnya persaingan di dalam dunia politik. Dalam iklim demokrasi, persaingan tidak dapat dielakkan. Menghilangkan persaingan berarti menyeret sistem politiknya menjadi sistem otoriternya, absolut, dan meniadakan alternatif. Kalau sudah begitu, kepada masyarakat hanya disodorkan satu kebenaran tunggal yang tidak dapat diganggu gugat. Padahal kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat tidak dapat diselesaikan oleh satu perspektif, paradigma, ideologi, mazhab, atau prinsip hidup tertentu. masing-masing prinsip atau hal-hal di atas itu memiliki lain untuk memperbaikinya. Tidak adanya alternatif mengartikan telah ada kondisi ideal dan tidak perlu memperbaikinya lagi. Padahal, di sisi lain, adanya beragam alternatif akan semakin memperkaya dan meningkatkan kualitas dalam berpolitik.

Persaingan politik untuk tingkatkan tertentu, merupakan suatu keadaan yang sehat demi kemajuan, sejauh persaingan tersebut diatur oleh aturan main yang terlegitimasi. Artinya aturan main tersebut mendapatkan basis pengakuan yuridis dan kultural dari masyarakat yang bersangkutan. Mendapatkan pengakuan yurisdis berarti aturan main tersebut memiliki landasan hukum yang jelas dan kehadirannya diatur dalam suatu perangkat undang-undang atau peraturan


(39)

pengakuannnya dimanivestasikan dalam pemahaman sikap dan perilaku yang memperlakukan mekanisme persaingan politik sebagai sesuatu yang penting. Sesungguhnya kesadaran masyarakat tentang kebutuhan persaingan politik ini sudah tinggi.

2. Persaingan Politik sebagai Pembelajaran

Persaingan politik akan mendorong semua pihak yang terlibat terus menerus dalam proses pembelajaran politik. Dengan adanya persaingan masing-masing pihak akan saling berlomba untuk menjadi yang terbaik. Hal ini mendorong pihak yang berkompetisi untuk terus memutar otak supaya selalu up-to-date dengan kondisi dalam masyarakat. Kompleksitas kondisi masyarakat membuat cara pemecahan yang berhasil di masa lampau menjadi cepat usam. Selain itu, masyarakat pun tidak henti-hentinya memberikan ide dan gagasan mengenai permasalahan tertentu. ini membuat kontestan politik membuat harus selalu belajar dan mengamati setiap perubahan yang ada dalam masyarakat. Proses belajar tidak akan dapat dilakukan tanpa melalui mekanisme monitoring dan mencari solusi berlandaskan data dan informasi yang mereka peroleh. Informasi dalam hal ini penting sekali, mengingat kita tidak dapat mengambil suatu keputusan apapun tanpa ketersediaan informasi. Berdasarkan informasi yang di peroleh dari masyarakat, kemudiaan dilakukan penelusuran alternatif


(40)

pembelajaran.

Ada dua jenis proses pembelajaran ini. Jenis pertama adalah pembelajaran ini ditujukan untuk memperbaiki secara bertahap dan inkremental. Sementara jenis pembelajaran kedua bertujuan untuk mengubah hal-hal yang mendasar. Pembelajaran ini tidak akan berlangsung tanpa persaingan, untuk itulah persaingan merupakan sesuatu yang baik untuk mendorong siapapun agar bersedia terus menerus belajar dalam meningkatkan kemampuan, pengetahuan, skill, dan kompetensi dalam memecahkan permasalahan dalam masyarakat.

Konsep kelangkaan (scarcity) dalam ilmu ekonomi merupakan rasionalitas yang ada dibalik setiap adanya persaingan. Yang menjadi pemenang persangan hanyalah satu, tunggal dan mutlak. Meskipun terdapat beberapa pihak yang mencoba menghibur diri dengan pembentukan koalisi untuk membangun kekuatan bandingan, cara tersebut tidak menghilangkan esensi satu kemenangan pihak. Meskipun bagi beberapa ihak berhasilnya pembentukan koalisi dan cerminan kemeangan atas ide dan gagasan dalam berkoalisi, tetap saja memenangkan persaingan hanya satu pihak. Meskipun pihak tersebut terdiri dari beberapa unsur dan komponen, tetap saja pihak inilah yang menang hanya konteksnya adalah kolektifitas pihak yang menang. Langkanya pihak pemenang inilah yang mendorong adanya persaingan. Ketika masing-masing pihak sepakat untuk duduk bersama dan


(41)

akan terjadinya persaingan namun, dalam dunia nyata cara pemecahan macam ini, sulit sekali diwujudkan. Apalagi dalam dunia politik, dimana masing-masing pihak berusaha memaksimalkan kepentingan dan tujuan mereka sendiri.

Persaingan adalah sesuatu yang bersifat harfiah dan terjadi mana. Kalau Faucalt mengatakan bahwa “kekuasaan ada dimana-mana”, kita dapat mengatakan bahwa persaingan untuk berkuasa juga ada dimana-mana. Menurut Nietszche, sudah menjadi kodrat manusia harus mengusung kehendak untuk berkuasa dan merepresentasikan diri dalam pola-pola persaingan di setiap level kehidupan. Antara yang ingin berkuasa dan yang tidak rela di kuasai memberikan energi dan motivasi untuk saling bersaing. Pihak yang berkuasa memiliki hak dan otoritas yang lebih dibandingkan dengan yang tak berkuasa. Namun tentu saja, mereka memiliki kewajiban yang lebih tinggi dibandingkan dengan pihak yang tidak berkuasa.

Persaingan politik yang sehat, terbuka dan transparan sangat dibutuhkan bagi demokrasi karena beberapa hal. Pertama, melalui persangan, aktor dan institusi yang terlibat dapat mengevaluasi secara objektif apakah yang mereka lakukan sudah benar atau tidak. Benar atau tidaknya dilihat melalui perolehan suara sendiri jika dibandingkan dengan rival utama mereka. Apabila perolehan suara mereka lebih tinggi dibandingkan dengan pesaing utama mereka, berarti pemilih melihat


(42)

Kedua, persaingan dibutuhkan untuk terus memotivasi partai politik agar berusaha lebih bagus dan tidak mudah puas dengan apa yang telah diraih selama ini.

Persaingan selalu mengandung ancaman bagi partai politik maupun calon legislatif yang memenangkan pemilihan umum. Sementara itu, masyarakat juga bisa memberikan punishment kepada suatu partai politik maupun calon legislatif dengan tidak memilihnya lagi ketika mereka lakukan tidak sesuai dengan janji mereka. Ketiga, persaingan memberikan dinamisitas interaksi, karena partai-partai politik mencoba memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Jadi, secara agregat diharapkan bahwa masyarakat akan mendapatkan manfaat melalui kesadaran kolektif partai politik dalam berusaha memberikan yang terbaik bagi para pemilih dan masyarakat secara umum.

B. Teori SWOT Dalam Pemenangan Caleg

a. Pengertian SWOT

SWOT adalah akronim untuk kekuatan (Strenghts), kelemahan (Weakness), peluang (Opportunities), dan ancaman (Threats) dari lingkungan eksternal perusahaan. MenurutJogiyanto (2005:46),SWOT digunakan untuk menilai kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dari sumber-sumber daya yang dimiliki perusahaan dan kesempatan-kesempatan eksternal dan tantangan-tantangan yang dihadapi.


(43)

kekuatan dan kelemahan dalam area fungsional bisnis. Tidak ada perusahaan yang sama kuatnya atau lemahnya dalam semua area bisnis.

Kekuatan/kelemahan internal, digabungkan dengan peluang/ancaman dari eksternal dan pernyataan misi yang jelas, menjadi dasar untuk penetapan tujuan dan strategi.Tujuan dan strategi ditetapkan dengan maksud memanfaatkan kekuatan internal dan mengatasi kelemahan.

Berikut ini merupakan penjelasan dari SWOT (David,Fred R.,2005:47) yaitu :

a. Kekuatan (Strenghts)

Kekuatan adalah sumber daya, keterampilan, atau keungulan-keungulan lain yang berhubungan dengan para pesaing calon legislatif dan kebutuhan yang dapat dilayani oleh calon legislatif yang diharapkan dapat dilayani. Kekuatan adalah kompetisi khusus yang memberikan keunggulan kompetitif bagi calon legislatif di masyarakat.

b. Kelemahan (Weakness)

Kelemahan adalah keterbatasan atau kekurangan dalam sumber daya, keterampilan, dan kapabilitas yang secara efektif menghambat kinerja. Keterbatasan tersebut dapat berupa fasilitas, sumber daya keuangan, kemampuan manajemen dan keterampilan kampanye dapat merupakan sumber dari kelemahan calon legislatif.


(44)

Peluang adalah situasi penting yang mengguntungkan dalam pencalonan calon legislatif Kecenderungan–kecenderungan penting merupakan salah satu sumber peluang, seperti kuota perempuan dan besar peluang didaerah pilihan dan meningkatnya hubungan antara caleg dengan masyarakat atau partai politik merupakan gambaran peluang bagi calon legislatif.

d. Ancaman (Threats)

Ancaman adalah situasi penting yang tidak menguntungan dalam lingkungan caleg. Ancaman merupakan pengganggu utama bagi posisi sekarang atau yang diinginkan. Adanya persingan/ kontestasi dapat merupakan ancaman bagi kesuksesan masyarakat.

b. Fungsi SWOT

MenurutFerrel dan Harline(2005), fungsi dari Analisis SWOT adalah untuk mendapatkan informasi dari analisis situasi dan memisahkannya dalam pokok persoalan internal (kekuatan dan kelemahan) dan pokok persoalan eksternal (peluang dan ancaman).

Analisis SWOT tersebut akan menjelaskan apakah informasi tersebut berindikasi sesuatu yang akan membantu perusahaan mencapai tujuannya atau memberikan indikasi bahwa terdapat rintangan yang harus dihadapi atau diminimalkan untuk memenuhi pemasukan yang diinginkan. Analisis SWOT dapat digunakan dengan berbagai cara


(45)

yang sering digunakan adalah sebagai kerangka / panduan sistematis dalam diskusi untuk membahas kondisi altenatif dasar yang mungkin menjadi pertimbangan perusahaan.

1) Matriks SWOT

Menurut Rangkuti (2006), Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan altenatif strategis.

IFAS/EFAS Kekuatan (Stength) Kelemahan (Weakness) Peluang

(Opportunity)

STRATEGI SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

STRATEGI WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang yang ada Ancaman (Threats) STRATEGI ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi

ancaman

STRATEGI WT Ciptakan strategi yang meminimalkan

kelemahan dan

menghindari ancaman

Berikut ini adalah keterangan dari matriks SWOT diatas :

1. Strategi SO (Strength and Oppurtunity). Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran perusahaan, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar–besarnya.


(46)

menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk mengatasi ancaman.

3. Strategi WO (Weakness and Oppurtunity). Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.

4. Strategi WT (Weakness and Threats). Strategi ini berdasarkan kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

1. Marketing Politik

Marketing politik juga menyediakan perangkat teknik dan metodemarketing dalam dunia politik (Firmanzah, 2007). Menurut Firmanzah (2008:203), dalam proses Political Marketing, digunakan penerapan 4Ps bauran marketing, yaitu:

1. Produk (product) berarti partai, kandidat dan gagasan-gagasan partai yang akan disampaikan konstituen. Produk ini berisi konsep, identitas ideologi. Baik dimasa lalu maupun sekarang yang berkontribusi dalam pembentukan sebuah produk politik.

2. Promosi (promotion) adalah upaya periklanan, kehumasan dan promosi untuk sebuah partai yang di mix sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, pemilihan media perlu dipertimbangkan.


(47)

sampai citra nasional. Harga ekonomi mencakup semua biaya yang dikeluarkan partai selama periode kampanye. Harga psikologis mengacu pada harga persepsi psikologis misalnya, pemilih merasa nyaman, dengan latar belakang etnis, agama, pendidikan dan lain-lain. Sedangkan harga citra nasional berkaitan dengan apakah pemilih merasa kandidat tersebut dapat memberikan citra positif dan dapat menjadi kebanggaan negara.

4. Penempatan (place), berkaitan erat dengan cara hadir atau distribusi sebuah partai dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih. Ini berati sebuah partai harus dapat memetakan struktur serta karakteristik masyarakat baik itu geografis maupun demografis.

Didukung berkembangnya sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis seperti sekarang ini, maka fungsi dan peranan saluran media massa baik cetak maupun media elektronik, radio, internet dan ditambah dengan banyaknya saluran stasiun televisi yang bermunculan baik secara nasional atau TV lokal daerah ikut menggiatkan atau menyebarluaskan pesan-pesan, pemberitaan atau informasi melalui berbagai bentuk komunikasi pemasaran, dan pemasaran politik, program kampanye politik melalui saluran media publikasi, public relations, promosi, kontak personal dan kreativitas periklanan politik (political advertising) yang terpapar secara luas tanpa sekat atau bahkan melampaui batas-batas negeri atau borderless country kepada seluruh


(48)

penyebarluaskan arus informasi dalam era globalisasi tersebut terdapat mitos yang mampu menciptakan ketiadaan ruang, jarak dan waktu sebagai akibat kebebasan masyarakat memperoleh informasi secara bebas, langsung tanpa tekanan, tidak ada lagi batasan teritorial, tidak ada lagi sesuatu peristiwa atau kejadian tanpa kecuali yang dapat ditutup-ditutupi oleh setiap negara, lembaga lainnya dan termasuk upaya perorangan ingin menyembunyikan sesuatu informasi demi kepentingan sepihak. Pendekatan kampanye politik atau political campaign approach untuk mendukung penggiatan pemasaran politik ataupolitical marketing activitytersebut sebagai upaya selain bertujuan untuk:

1. Membentuk preferensi bagi pihak setiap pemilih dalam menentukan suaranya.

2. Ingin merangkul simpati pihak kelompok-kelompok atau the third influencer of person and groups seperti tokoh masyarakat, agama, adat, eksekutif dan artis atau selebritis terkenal lainnya.

3. Memiliki daya tarik bagi kalangan media massa baik cetak maupun elektronik, termasuk memanfaatkan penggunaan atribut kanpanye, poster, spanduk, iklan politik di media-massa, termasuk melalui situs atau blog internet untuk mempengaruhi pembentukan opini publik dan citra secara positif demi kepentingan membangun popularitas tinggi atau menebar pesona sang kandidat dan aktivitas


(49)

dalam setiap siklus pelaksanaan Pemilihan Umum.

Menurut Kotler and Neil (1999:3), bahwa konsep political marketing, atau pengertian Political Marketingadalah:

“Suatu penggiatan pemasaran untuk menyukseskan

kandidat atau partai politik dengan segala aktivitas politiknya melalui kampanye program pembangunan perekonomian atau kepedulian sosial, tema, isu-isu, gagasan, ideologi, dan pesan-pesan bertujuan program politik yang ditawarkan memiliki daya tarik tinggi dan sekaligus mampu mempengaruhi bagi setiap warga

negara dan lembaga/organisasi secara efektif.”

Khususnya pelaksanaan konsep political marketing tersebut yang pernah dimanfaatkan oleh salah satu pemimpin dunia yaitu, pasangan Bill Clinton dan Al Gore tahun 1990-1992 dalam persaingan antar kontestan menjadi kandidat atau calon Presiden dan Capres Amerika Serikat. Sebagai kampiun demokrasi dan sekaligus menjadi menjadi tonggak penting sejarah dalam penerapan konsep -konsep pemasaran politik secara efektif untuk berkompetisi dalam Pemilu secara bebas dan langsung meraih suara terbanyak, tahapan selanjutnya berhasil memenangkan pertarungan dan terpilih menjadi Prisiden AS ke-45, periode 1993–2001.

Menurut Baines (terjemahan dari Nursal 2004:8) bahwa :

“Perkembangan political marketing yaitu pelaksanaannya

dimulai dari negara-negara maju dengan sistem demokrasi seperti pemerintah Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan dan hingga negara berkembang seperti Indonesia”.


(50)

delapan komponen.

1. Kepemimpinan (leadership) yang mencakup kekuasaan, citra, karakter, dukungan, pendekatan, hubungan dengan anggota partai, dan hubungan dengan media.

2. Anggota parlemen (members of parliament) yang terdiri atas sifat kandidat, hubungan dengan konstituen.

3. Keanggotaan (membership) dengan komponen-komponen kekuasaan, rekrutmen, sifat (karakter ideologi, kegiatan, loyalitas, tingkah laku, dan hubungan dengan pemimpin.

4. Staf (staff), termasuk di dalamnya peneliti, para profesional, dan penasihat.

5. Simbol(symbol)yang mencakup nama, logo, lagu/ himne. 6. Konstitusi(constitution)berupa aturan resmi dan konvensi. 7. Kegiatan(activities), di antaranya konferensi, rapat partai.

8. Kebijakan (policies) berupa manifesto dan aturan yang berlaku dalam partai. Jika kita cermati dengan saksama, kedelapan produk tersebut tidak lain tidak bukan adalah ”isi perut” partai politik.

Seandainya kedelapan produk itu yang dipasarkan kepada konstituen, dengan sendirinya akan berlangsung proses pendidikan politik. Konstituen menjadi mengerti apa yang menjadi gagasan, karsa, dan karya serta orang-orang sebuah partai politik. Bilamana semua partai politik melakukan hal yang sama tentu khalayak dapat membandingkan isi perut antar partai politik, partai mana yang lebih menjanjikan


(51)

pemasaran politik bersifat resiprokal artinya politik mempengaruhi pemasaran yang pada akhirnya fungsi pemasaran akan mempengaruhi opini untuk membangun dukungan politik (Candif & Hilger 1982).

Menurut Firmanzah, paradigma dari konsep marketing politik adalah; Pertama, Marketing politik lebih dari sekedar komunikasi politik. Kedua, Marketing politik diaplikasikan dalam seluruh proses, tidak hanya terbatas pada kampanye politik, namun juga mencakup bagaimana memformulasikan produk politik melalui pembangunan simbol, image, platform dan program yang ditawarkan. Ketiga, Marketing politik menggunakan konsep marketing secara luas yang meliputi teknik marketing, strategi marketing, teknik publikasi, penawaran ide dan program, desain produk, serta pemrosesan informasi.Keempat, Marketing politik melibatkan banyak disiplin ilmu, terutama sosiologi dan psikologi. Kelima, Marketing politik dapat diterapkan mulai dari pemilu hinggalobbypolitik di parlemen.

Lees-Marshment menekankan bahwa marketing politik berkonsentrasi pada hubungan antara produk politik sebuah organisasi dengan permintaan pasar. Pasar, dengan demikian, menjadi faktor penting dalam sukses implementasi marketing politik.

Philip Kotler dan Neil Kotler (1999) menyatakan bahwa untuk dapat sukses, seorang kandidat perlu memahamimarketatau pasar, yakni para


(52)

yang ingin kandidat representasikan.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan marketing politik dalam penelitian ini adalah keseluruhan tujuan dan tindakan strategis dan taktis yang dilakukan oleh aktor politik untuk menawarkan dan menjual produk politik kepada kelompok-kelompok sasaran. Dalam prosesnya, marketing politik tidak terbatas pada kegiatan kampanye politik menjelang pemilihan, namun juga mencakup even-even politik yang lebih luas dan jika menyangkut politik pemerintahan- bersifat sustainabledalam rangka menawarkan atau menjual produk politik dan pembangunan simbol, citra, platform, dan program-program yang berhubungan dengan publik dan kebijakan politik.

Tujuan marketing dalam politik menurut Gunter Schweiger and Michaela Adami adalah; (1) Untuk menanggulangi rintangan aksesibilitas; (2) Memperluas pembagian pemilih; (3) Meraih kelompok sasaran baru; (4) Memperluas tingkat pengetahuan publik; (5) Memperluas preferensi program partai atau kandidat; (6) Memperluas kemauan dan maksud untuk memilih.

Marketing politik, menurut Patrick Bulter dan Neil Collins, memiliki dua karakter yang melekat dalam dirinya, yakni karakter struktural dan karakter proses. Karakter struktural mencakup produk, organisasi dan pasar. Sementara karakter proses mencakup pendefinisian nilai, pembangunan nilai dan penyampaian nilai.


(53)

Transaksional merupakan barang lama yang biasa digunakan seseorang untuk mempengaruhi pilihan orang tertentu. Politik uang atau politik transaksional di indonesia lebih dikenal sebagai istilah yang lebih di identikan dengan pemilu (legislatif / kepala daerah / presiden). Politik uang diartikan sebagai pemberian janji tertentu dalam rangka mempengaruhi pemilih. Namun, dari banyaknya definisi yang ada, Politik uang merupakan istilah orang indonesia untuk menerangkan semua jenis praktik dan perilaku korupsi dalam pemilu mulai dari korupsi politik hingga klientelisme dan dari membeli suara (vote buying) hinggaracketerring.

Menurut Bumke (1998: 28) politik transaksional atau politik uang diartikan dalam 3 (tiga) dimensi yaitu, vote buying, vote broker dan korupsi politik. Vote buying atau pembelian suara merupakan pertukaran barang, jasa, atau uang dengan suara dalam pemilihan umum, misalnya menurut Lynn T White penggunaan vote buying di negara-negara demokrasi bisa menggunakan beragam bentuk, beberapa diantaranya secara langsung memberikan uang, terutama di negara-negara yang income percapitanya rendah. Salah satu bentuk lainnya adalah iklan di media massa. Sedangkan pengertianvote broker adalah orang yang mewakili kandidat / partai untuk membeli suara. Menurut John Sidel (2004) bahwa pentingnya menekankan peran orang kuat (local strongman) sebagai aktor dalam mendistribusikan politik uang.


(54)

dan kecurangan pemilu dalam rangka memenangkan kandidat yang telah membayarnya.

Dari penjelasan diatas dapat kita temukan bahwa unsur-unsur politik transaksional atau politik uang terdiri dari: a)Vote buyingatau membeli suara, b) Vote broker atau orang / kelompok yang mewakili kandidat untuk membagikan uang / barang, c) Uang atau barang yang dipertukarkan dengan suara, d) Pemilih dan penyelenggara pemilihan yang menjadi sasaran politik uang. Sasaran politik uang dalam rekam jejak pemilu indonesia lebih dominan mengarah kepada para pejabat pemerintah dan biasanya dilakukan pada tahapan akhir kampanye. Pelakunya pun berubah-ubah, kadang kala pelaku politik uang dari kandidat / calon legislatif / tim sukses / partai dengan pemilih, akan tetapi juga dengan kandidat / tim sukses / partai dengan penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, PPK, PPS, Panwascam. Serta pada kaum pemilih yang berada pada kelompok miskin dan tidak terdidik.

Modus terjadinya politik transaksional atau politik uang berdasarkan waktunya dapat dilakukan dengan cara pra bayar dan pasca bayar. Cara Pra bayar ini dalam pemilu biasa dipraktikan sebelum pelaksanaan hari-H pemungutan suara: membagikan uang kepada massa kampanye, pemberian uang secara langsung ataupun tidak langsung kepada pemilih, sedangkan untuk pasca bayar dipraktikan setelah pemilih memilih pilihannya, biasanya pemilih menunjukan bukti foto atau video


(55)

berupa uang, pulsa, beras, baju koko, jilbab, sejadah dll). Modus baru politik uang dilakukan juga dengan beberapa cara lainnya: penggunaann fasilitas kredit dan pemutihan kredit, penggunaan proyek dana sosial pemerintah.

Dalam sejarah pemilu indonesia sejak tahun 1955, peranan politik transaksional atau politik uang lebih dominan dilakukan oleh partai politik dan/atau calon legislatif tertentu untuk mempengaruhi orang-orang yang mempunyai pengaruh untuk membuat atau mengubah suatu kebijakan. Namun, pada pemilu 2014 kali ini modus baru dalam praktik politik uang dan pelakunya akan lebih berkembang ketimbang pada pemilu yang lalu. Sasaran politik transaksional atau politik uang saat ini tidak hanya berkutat pada pejabat pemerintah ditingkat pusat ataupun provinsi dan kabupaten sebagai pengambil kebijakan (pilpres dan pemilukada) melainkan semakin melebar hingga ke desa atau dusun dan Rukun Tetangga (RT), dan juga menyentuh penyelenggara pemilu disetiap tingkatan. Praktik politik transaksional atau politik uang pun di era sekarang ini lebih canggih dan massif. Dimana, praktik tersebut semakin sulit untuk dideteksi dan pelakunya tidak hanya berasal dari parpol atau calon legislatif atau tim sukses melainkan juga dari pelaku-pelaku usaha. Jika dulu anggaran didalam tubuh partai politik tertentu bersumber dari para calon legislatif/kandidat ataupun menteri-menterinya, pemilu 2014 saat ini pun pelaku-pelaku usaha yang mempunyai kepentingan bisnis baik skala besar, menengah maupun


(56)

politik atau calon legislatif / kandidat peserta pemilu.

Menurut Firmanzah (2010:58) Berikut ini berbagai fenomena politik transaksional atau politik uang pemilu (legislatif) 2014, yang bagi menjadi 3 (tiga) fase: Fase pertamaadalah fase penyelenggara. Dalam penelitian ICW berkaitan dengan pemilukada terungkap bahwa beberapa kandidat mengaku membayar setidaknya tiga puluh persen penyelenggara pada tingkat TPS, kelurahan dan kecamatan dengan alasan utama kandidat/tim sukses melakukan politik uang kepada penyelenggara agar mereka tidak dicurangi. Namun terdapat beberapa calon legislatif/ kandidat/ tim sukses/ partai politik dan/atau pelaku-pelaku bisnis juga ikut andil dalam membantu orang seorang atau lebih untuk tampil sebagai penyelenggara pemilu diberbagai tingkatannya, hingga harus mengelontorkan anggaran yang lumayan besar. Hal ini berfungsi untuk menjaga dan mengamankan suara calon / kandidat dan/atau partai politik tertentu agar mendapat suara terbanyak dan menjaga keutuhan suara serta menjaga usungan tersebut agar tidak dicurangi atau dimanipulasi hasil perolehan suaranya.

Politik transaksional sangatlah berbahaya dan berpotensi melahirkan pemimpin dan politisi korup. Gaya politik transaksonal itu ibarat racun yang sangat mematikan bagi demokrasi Indonesia. Selain mematikan demokrasi, politik transaksional juga berpotensi melahirkan pemimpin dan politisi korup. Hal tersebut terlihat dari beberapa kasus-kasus


(57)

amanah rakyat tersebut. Politik transaksional dikatakan dapat melahirkan pemimpin dan politisi korup karena sifat dan gaya yang berpedoman pada nilai-nilai ekonomi dan transaksi yang berujung pada keuntungan pribadi. Realitas tersebutlah yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa dunia politik itu sarat dengan tukar-menukar jasa, atau dalam bahasa perniagaan (transaksional). Artinya, ada tukar-menukar jasa dan barang yang terjadi antara para politikus dengan konstituen yang diwakili maupun dengan partai politik. Dengan demikian, semakin banyaknya politikus yang terjerembab dalam skandal korupsi, menunjukkan kepada publik akan praktik politik transaksional tersebut.

Berdasarkan hasil pemikiran yang dilahirkan oleh para pemikir Frankfurt School yang notabene berasal dari kalangan Marxisme (2008), mengungkapkan teori menarik bahwa dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Bahwa puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya. Sedangkan teori ekonomi politik kekuasaan berparadigma kritis menyatakan bahwa puncak kekuasaan bukan untuk meraih kekuasaan dan mengakses sumber-sumber kemakmuran, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan bersama (publik).


(58)

memengaruhi jalannya kehidupan politik. Meski demikian, mewaspadai politik transaksional merupakan keharusan bagi seluruh warga negara Indonesia yang mempunyai otoritas hak suara dalam pesta demokrasi. Sehingga naluri dan kewaspadaan dalam memilih calon Presiden harus benar-benar dikuatkan dalam setian pribadi calon pemilih, untuk mencegah pemimpin-pemimpin yang korupsi.

Politik transaksional juga biasa disebut politik dagang sapi. Deskripsi sederhananya, berupa perjanjian politik antar beberapa pihak dalam usaha menerima serta memperalat kekuasaan. Politik transaksional cakupannya sangat luas, bisa menyentuh seluruh aktivitas politik. Bukan hanya pilpres, tapi juga pemilu, pilkada, saat pengambilan kebijakan penguasa dan lainnya. Dari namanya, maka ada transaksi untuk menjual dan membeli. Di sini tentu dibutuhkan alat pembayaran jual-beli tersebut, baik berupa jabatan, uang, ataupun lainnya. Jadi, dalam pembahasan, politik uang menjelang pemilu merupakan salah satu bagian dari politik transaksional.

Dalam konteks ini, aparat hukum perlu memidanakan pelaku politik uang tersebut dengan hukuman berat secara tegas dan konsisten. Sebab bila ini dibiarkan, tentu akan berdampak bahaya.

Menurut Mantan Menko Kesra 2004-2005 (Alwi Syihab), praktik politik ini mulai subur semenjak pemilu tahun 50-an. Dalam sistem presidensial, presiden terpilih akan menjatah menteri kepada anggota


(59)

pemimpin transaksional. Kepala negara model ini teramat doyan mengambil kebijakan-kebijakan berdasar transaksi-transaksi politik, baik dengan pemilik modal, kolega politik, maupun pihak-pihak lain. Alhasil implementasi kebijakan penguasa ini banyak tidak berpihak kepada rakyat. Contoh, kebijakan liberalisasi migas dan penjualan aset negara.

Politik transaksional akan menjadikan lemahnya penegakan hukum. Governance World Bank (GWB) tahun 2011 pernah membeberkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. GWB menyoroti kinerja pemerintah dari beberapa kasus, seperti penanganan Bank Century, cicak-buaya, mafia hukum seperti suap para hakim, dan lumpur Lapindo. Dalam kasus-kasus tersebut disinyalemen ada politik saling sandera. Ini merupakan efek politik transaksional.

C. Kontestasi Politik

Dalam kalimat sederhana, kontestasi merupakan pertaruhan berbagai macam kelompok, masing-masing memperjuangkan ideologi, nilai, solusi dsb. Wacana, atau diskursus akan selalu dibuka bermunculan pula berbagai perbandingan yang mengundang debat, maupun konflik. Menurut Fahrizal (2007:52) kontestasi politik sebagai bentuk yang diranah dikontestasi wacana. Sedangkan Syakir dan Fadmi Ridwan menilai kontestasi dari sudut


(60)

dalam kepentingan politis dan mengabaikan kepentingan teknokratis.

Pada prosesnya, pembentukan sebuah institusi yang bekerja dalam interaksi dan kontestasi politik ditinjau dari kepentingan antara aktor akan sangat berpotensi untuk berkonflik antar suku, ataupun beberapa aktor dengan aktor lainnya. Selain konflik, kerjasama pun seringkali berlangsung antar aktor. Apalagi pembentukan lembaga atau institusi akan menghasilkan kesepakatan dalam keputusan akhirnya. Disinilah memunculkan tanda tanya, apa yang melatarbelakangi kontestasi persaingan dan pertarungan diantara yang berpihak dan tidak berpihak.

Aktor-aktor yang terlibat dalam kontestasi sangat ditentukan dari kekuatan modal dimasing-masing aktor. Sejalan dengan pemikiran Bourdieuo, modal merupakan hubungan sosial, artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan dimana ia memproduksi dan mereproduksi ( Bourdieuo, 1979: 127). Lebih jauh lagi Bourdieuo membagi modal menjadi tiga modal sosial, budaya, dan simbolik.

1. Strategi Pemenangan Dalam Kontestasi Pemilu (Steinberg, Arnold, 1981)

1) Strategi Mobilisasi

a.) Pembangunan jaringan dan organ politik a. Design struktur tim sukses

b. Pembentukan tim sukses tingkat kecamatan dan desa c. Perluasan jaringan sosial


(61)

a. Pemahaman perilaku pemilih b. Organisasi tim sukses

c. Media kampanye d. Targeting

e. Penyusunan dan evaluasi program

c.) Penyusunan program pemenangan a. Design program kunjungan

b. Orasi politik (penyampaian visi dan misi) c. Aksi sosial

d. Peresmian kontrak politik e. Pawai, hiburan

f. Komunikasi tradisional

g. Komunikasi multi media dan alternatif

d.) Pemenuhan persyaratan pencalonan a. Dukungan partai politik

b. Persyaratan administrasi KPU

c. Pembentukan tim kampanye

d. Pembentukan tim saksi

e. Pembentukan tim mobilisator Tujuan:

1) Membangun organisasi pemenangan caleg yang efektif dan efisien


(62)

terukur

3) Menentukan target-target pemenangan dan jadwalnya

2) Strategi Pencitraan

Pembentukan media center 1. Mengorganisasi program

2. Membuat target dan evaluasi program pencitraan kandidat

3) Strategi Komunikasi Media Cetak dan Radio

Meliputi: design, contain, timming, volumedanbudgeting. Contoh: kalender, pamflet, leaflet, sticker, audiensi ke surat kabar dan radio

4) Strategi Komunikasi Media Outdor

Meliputi: design, isi, timming, volume, budgeting. Contoh: kaos, poster, spanduk, dan baleho, dll.

5) Strategi Komunikasi Sosial

Meliputi:design, isi,timming,volume,budgeting. Contoh: media di internet misalnya facebook dan twitter, memperbanyak jumlah kunjungan ke daerah pemilihan dan pengenalan pribadi serta penyampaian visi dan misi.

6) Strategi Komunikasi Tatap Muka a. Arisan


(63)

a. Mobilisasi masa melalui seni dan budaya b. Mengadakan lomba

c. Membentuk barisan, pasukan pemenangan Tujuan:

1. Membentuk citra diri kandidat sesuai dengan visi, misi, dan target pemilih

2. Menentukan media komunikasi politik yang efektif 3. Mendesain isi komukasi politik

4. Mempengaruhi isi liputan media masa Keterangan:

cara yang paling efekif adalah dari mulut ke mulut beriklan itu penting. Karena sama dengan berinvestasi. Beriklan politik tidak sama dengan cara kerja petani yang lama menanam padi lantas 3-4 bulan panen. Beriklan politik seperti menanam jati lama dan perlu dirawat.

2. Faktor Yang Mempengaruhi Pemenangan Calon legislatif dalam kontestasi

a. Faktor Eksternal

Didalam pemenangan seorang calon legislatif suatu partai terdapat beberapa hal yang mempengaruhi dan saling terkait erat dalam hal ini.yaitu :


(64)

Pertama, struktur organisasi partai politik. Ada beberapa indikasi semakin terpusat pertanggung jawaban struktur partai politik, semakin besar kesempatan bagi keterwakilan perempuan. Ketua partai dapat menjalankan aturan-aturan kelembagaan untuk menciptakan pembukaan kesempatan bagi perempuan, sebagai tanggapan atas tekanan publik.

Juga organisasi yang pertanggung jawabannya lebih terpusat, dapat lebih mudah dimintai pertanggung jawaban jika proporsi bagi kandidat perempuannya rendah. Namun demikian, ada indikasi lebih kuat bahwa pemilihan calon partai di tingkat daerah membantu pemilihan wakil perempuan. Wakil perempuan lebih mungkin dinominasikan dan dipilih ketika nominasi calon dilakukan oleh cabang-cabang partai atau panitia di daerah, dibandingkan oleh struktur pusat partai politik.

Kedua, kerangka kerja lembaga partai. Semakin melembaga sebuah partai politik yaitu diatur oleh seperangkat aturan yang transparan, non diskriminasi, dapat dipahami dan adil semakin terbuka bagi rakyat diluar struktur kekuasaan tradisional termasuk bagi perempuan untuk menjadi calon.

Sebaliknya, apabila partai didasarkan pada kekuasaan individual, tanpa struktur lembaga yang formal, akan sulit bagi perempuan untuk dinominasikan sebagai calon. Peraturan partai yang


(65)

pengaruh positif dalam proporsi perempuan yang terpilih dalam legislatif. Namun, mungkin diperlukan waktu dua pemilu atau lebih bagi adanya kemajuan yang signifikan dalam proporsi wakil perempuan, setelah adanya pengenalan peraturan-peraturan tersebut.

Ketiga, ideologi partai. Partai yang taat pada ideologi, progresif secara sosial lebih mendukung wakil perempuan karena pemikiran egaliterianisme dan dukungan mereka, scara umum, bagi mereka yang berada di luar struktur kekuasaan tradisional.

Keempat, aktivis partai politik perempuan. Semakin tinggi jumlah aktivis perempuan di antara anggota partai politik, dan khususnya bagi yang bekerja di dalam kantor eksekutif internal partai politik, semakin besar pula kesempatan bagi perempuan untuk terpilih dalam pencalonan kontes yang mungkin dimenangkan.

Peningkatan jumlah aktivis perempuan dalam partai politik dapat memaksa partai politik untuk melaksanakan peraturan yang medukung pencalonan perempuan. (IFES, tt: 7-16). Oleh Veni Clara Victoria (2009: 75-78) Pertimbangan Rekrutmen:

a) Sosial Background. Faktor ini berhubungan dengan pengaruh status sosial dan ekonomi keluarga dimana seseorang (calon) dibesarkan. Faktor ini berhubungan dengan pengaruh status sosial dan ekonomi keluarga dimana seseorang (calon) elit


(66)

keluarganya, mendukung untuk berkompetisi di dunia politik.

b) Political Socialization. Kurangnya kader perempuan dan pengurus partai dari perempuan juga tidak terlalu banyak yang aktif membuka kesempatan bagi masyarakat umum untuk menjadi calon anggota legislatif. Walaupun diakui belum memahami isu politik dan isu keperempuanan khususnya. Pertimbangan lain adalah calon anggota legislatif perempuan tersebut bisa belajar, seiring dengan perjalanan waktu mereka akan memahaminya.

c) Initial Political Activity. Beberapa partai juga belum mempertimbangkan faktor ini. Penyebabnya sama sebagaimana disebutkan pada poin b.

d) Tidak ada proses magang untuk menjadi anggota legislatif di partai.

e) Selection. Hasil seleksi ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Cabang partai. Seleksi yang dilakukan lebih mengarah kepada rekrutmen yang tertutup (ascriptive style). Aturan-aturan perekrutan sangat longgar. Dengan adanya konflik internal dalam Dewan Pimpinan Cabang Partai, akan semakin membuka lebar pintu untuk terjadinya KKN. Seleksi seperti


(67)

dalam Lawrence LeDucdkk, 1996: 204-206).

b) Kebijakan Parpol

Kebijakan internal Parpol agaknya turut sebagai salah satu dari sekian banyak faktor mereka terpilih atau tidak. Keterpilihan (elektabilitas) juga tak terlepas dari dukungan partainya. Diakui bahwa Partai Politik sebagai kendaraan yang memang memiliki kordinasi cukup bagus dan menganggap semua pihak terlibat dalam pemenangan pemilu. Para calon legislatif yang bernaung di bawah Partai politiknya mengakui bahwa kebijakan Partai politik cukup berperan strategis agar kadernya bisa duduk di parlemen. Partai politik bertanggung jawab dalam program membangkitkan kepercayan konstituen ke Calon legislatif, sebab suara Calon legislatif juga untuk Partai. Agenda Partai melibatkan Calon legislatif terpilih dalam tiap program ke masa konstituen. Bila peran partai politik lemah, maka Calon legislatif dalam Partai politik yang sama bisa jadi saling sikut-sikutan.

Hal ini tampak pada para Calon yang tak lagi terpilih, mereka berasal dari Partai yang menurut mereka terkesan kurang memiliki kekuatan untuk konsisten dengan aturan standar penentuan Calon legislatif, meski sudah ada aturan namun tak sepenuhnya dipatuhi, masih ada kepentingan politisi (laki-laki) untuk mendominasi.


(1)

Pada pemilihan umum 9 April 2014 Asmara Dewi nomor urut 2 memperoleh suara sebanyak 38.675 di partai PAN, Eva Dwiana nomor urut 10 memperoleh suara sebanyak 19.818 di partai PDI P, Dwie Aroem Hadiatie di partai Golkar nomor urut 1 memperoleh suara sebanyak 32.808. Dalam perolehan suara terbanyak di partai masing-masing sehingga terpilih Asmara Dewi, Eva Dwiyana sebagai anggota legislatif Provinsi Lampung periode 2014-2019, Dwie Aroem Hadiatie sebagai anggota legislatif DPR RI periode 2014-2019.

Dalam upaya strategi sosialisasi adanya Tim Sukses turut membantu, terjun langsung kemasyarakat mendengarkan langsung keluh kesah masalah dan pendekatan persuasif yang ada seperti Asmara Dewi yang menyempatkan diri dengan mendatangi panen raya, Eva Dwiyana mengunjungi korban bencana alam seperti banjir dan pohon tumbang, Dwie Aroem Hadiatie senantiasa door to door ke rumah warga di dapilnya.

Mobilisasi yang di lakukan Asmara Dewi dan Eva Dwiyana (citra suami sebagai pimpinan daerah) dalam strategi yang dilakukan untuk mengumpulkan basis masa yakni dengan memanfaatkan PNS (aparat lurah, camat). Hanya guru-guru PAUD dan non PNS dari kota hingga desa yang dipakai, menghadiri undangan-undangan pengajian, lain hal dengan Dwie Aroem Hadiatie upayanya adalah dengan terus melakukan sosialisasi dan meningkatkan elektabilitas bersama tim kampanyenya jauh dari penetapan daftar calon sementara (DCS), dalam karir politiknya jauh dari harapan sosok citra dari ayah kandung seorang politikus senior Lampung Alzier


(2)

Dianis Tabrani. Sosok ayah hanya sebagai pengenalan dunia politik pada dirinya.

Peran keluarga dalam terjun ke dunia politik Asmara Dewi dan Eva Dwiyana sangat besar, misalnya suami. Dukungan suami dalam mobilisasi. Suami memberikan jaringan tapi tetap sesuai dengan prosedur dan aturan yang ada. Dan suamipun tidak ikut dalam bersosialisasi, suami merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) .

Dukungan materi dari suami ada, yakni untuk transport dalam berkampanye. Tetapi itu semua tidak menggunakan fasilitas dari negara. Karena untuk menghindari isu-isu dan fitnah dari lawan politik. Ijin dan dukungan dari suami sangat besar setelah adanya kesempatan dan harapan besar dari masyarakat.

Keberhasilan calon legislatif menjadi anggota legislatif tidak lepas dari beberapa aspek diantaranya dukungan masyarakat, adanya dukungan dari partai serta modal ekonomi, sosial dan politik dan dukungan keluarga sangat menentukan kemenangan. Ketiga Faktor itulah yang saling berkaitan penunjang keberhasilan calon legislatif dalam pemilihan umum 2014.

B. SARAN

1. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan untuk menambah variabel lain yang dapat dijadikan indikator dalam penelitian. Hal ini karena masih adanya variabel-variabel yang belum ditentukan penulis yang masih


(3)

memiliki hubungan persaingan politik dan strategi pemenangan dari calon legislatif yang di teliti.

2. Anggota legislatif harus memperhatikan kemandirian secara utuh dalam berpolitik dengan cara membangun komunikasi kebanyak pihak dalam memobilisasi tim kampanye, mandiri secara membangun jaringan berpolitik, mandiri dalam modal ekonomi. Pada dasarnya kekuatan para calon ada di modal ekonomi, modal sosial, dan modal politik. Modal ekonomi untuk membiayai pencalegannya, modal sosial yang dimaksud adalah tingkat keterkenalan kita di mata publik dan kemampuan kita untuk mendapatkan dukungan pendanaan tanpa ikatan. Modal politik menempatkan partai sebagai bagian yang tak terpisahkan dari karier dan prosesnya dalam berpolitik. Dari ketiga modal ini sangat berkaitan dalam kontestasi pemilu.

Dengan demikian maka pencalegan memperhatikan secara seksama saran dan kritik yang diberikan oleh peneliti dengan harapan bahwa persaingan politik perempuan dalam menentukan strategi pemenangan secara mandiri dan itulah esensi yang diharapkan pencalonan perempuan dalam berpolitik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Abu Syuhada. 1997.Kebebasan Wanita.Jakarta: Gema Insani Pers. 316 hlm.

Abidin Hamid, Ninik Anisa. 2008.Menuju Kemandirian Perempuan.Yogyakarta. Piramedia. 165 hlm.

Agustini Endang, Syarwan Hamid, Membangun Dukungan Financial Bagi Kemajuan Politik Perempuan, Suara Karya, 21 Mei 2005.

Arikunto, Suharsimi. 1998, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan dan Praktek. Jakarta. Rineka Cipta. 130 hlm.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta. Bina Aksara Cet Ke III. 108 hlm

Arikunto, Suharsimi. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta. PT Rineka Cipta. 500 hlm.

Arivia, Gadis, 1999, " Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan" dalam Aspirasi Perempuan Anggota Parlemen Terhadap Pemberdayaan Politik Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan International Institute for Democracy and Electoral Assistnce.

Consoelo G. Sevilla LL. 2006. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta. UIP press. 315 hlm.

Darwin, Muhadjir.2005. Negara dan Perempuan Reorientasi Kebijakan Publik. Yogyakarta. Media Wacana. 313 hlm.

Djajanegara Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 67 hlm.

Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi.Yogyakarta. Pustaka Widyatama. 204 hlm.

Fakih, Mansour. 1997. Analisis Genderdan Transformasi Sosial. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 186 hlm.


(5)

hlm.

Hikmat, Harry. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung. Aditya Media. 300 hlm.

Horton Rosalind, Sally Simmons. 2009. Wanita-wanita Yang Mengubah Dunia. Yogyakarta. Erlangga. 232 hlm.

Hutahuruk Marulam. 1999. Garis Besar Ilmu Politik. Yogyakarta. Erlangga. 91 hlm.

Inpres No. 9 Tahun 2000. 2000. Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional,Jakarta.

International IDEA. 2002. Perempuan Di Parlemen Bukan Sekedar Jumlah, Jakarta. AMEEPRO. 232 hlm.

Izzat Rauf Hibbah. 1997. Wanita dan politik Pandangan Islam. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya Cet-I. 362 hlm.

Kartono Kartini. 2006. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung. Alumni Madar Maju, Cet. VIII.

Koenjaraningrat. 2005. Metode- metode Penelitian Masyarakat. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, Cet ke V. 420 hlm.

Mas’udi. 2000. Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqh Pemberdayaan.Bandung. Penerbit Mizan Cet ke -1. 105 hlm.

Meiyenti, Sri. 1999. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada. 210 hlm.

Miftah Thoha. 1995. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta. Humaniora. 142 hlm.

Muttaqin Farid, Agenda Politik Perempuan Pasca Pemilu, Artikel Diakses, 27 Juni 2014 dari htttp://www.kompas.co.id

Narbuko Cholid dan Ahmad Abu. 2007. Metodologi Penelitian. Jakarta. Bumi Aksara. 148 hlm.

Nazaruddin. 1995.Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta. Gramedia. 203 hlm. Pickles Dorothi. 1998.Pengantar Ilmu Politik.Jakarta. Rineka Cipta. 231 hlm.


(6)

266 hlm.

Sadly Hasan. 1984. Ensiklopedia Indonesia, Jilid v. Jakarta. Ikthiar Baru. 305 hlm.

Soetjipto Widiyani Ani, Politik Perempuan Bukan gerhana. Yogyakarta. Penerbit Gava Media,Cet-1. 2004. 332 hlm.

Sofia, Adib dan Sugihastuti. 2003.Feminisme dan Sastra.Bandung. Katarsis. 204 hlm.

Sugihastuti dan Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 350 hlm.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Administrasi. Bandung. Cv: ALFABETA. 217 hlm.

Suryabrata Sumardi. 2001.Metodologi Pengajaran. Jakarta. Rajawali. 180hlm. Suryabrata Sumardi.2003, Metode Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

Cet. IV.

Tim Penyusun. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1744 hlm.

Usman Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2004. Metode Penelitian Sosial. Jakarta. Bumi Aksara. 129 hlm.

Wahyurini Ernanti. 2004. Pastikan Partai Anda Jadi Pilihan, diterbitkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan. Jakarta. 135 hlm.

Widjaja Albert. 2000. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Bandung: Lembaga Penelitian. 309 hlm.


Dokumen yang terkait

Strategi Pemenangan Partai Golkar Pada Pemilu Legislatif 2009 Di Kabupaten Mandailing Natal (Studi Kasus: Masyarakat Kecamatan Lembah Sorik Marapi)

3 65 167

STRATEGI PENCITRAAN CALON LEGISLATIF PEREMPUAN DALAM PEMENANGAN PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2009 (Studi Deskriptif terhadap Nurul Arba’ati, S.Pt sebagai Anggota Legislatif Kota Malang Periode 2009 ­2014)

0 3 3

STRATEGI POLITIK CALON LEGISLATIF PEREMPUAN DALAM MEMENANGKAN PEMILIHAN LEGISLATIF 2009 (Studi Kasus di Kecamatan Natar Lampung Selatan)

0 3 14

STRATEGI POLITIK CALON LEGISLATIF PEREMPUAN DALAM MEMENANGKAN PEMILIHAN LEGISLATIF 2009 (Studi Kasus di Kecamatan Natar Lampung Selatan)

4 56 165

STRATEGI POLITIK CALON LEGISLATIF PEREMPUAN DALAM MEMENANGKAN PEMILIHAN LEGISLATIF 2009 (Studi Kasus di Kecamatan Natar Lampung Selatan) Oleh: HENDRA FAUZI

5 46 162

STRATEGI PARTAI POLITIK DALAM PEMENANGAN CALON ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2014 (Studi pada Partai PKS, PDI-P dan Partai NasDem Kota Bandar Lampung)

0 12 97

STRATEGI PEMBERDAYAAN CALON ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN DALAM KAMPANYE PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2014 OLEH DEWAN PIMPINAN DAERAH PARTAI DEMOKRAT PROVINSI LAMPUNG

0 31 98

STRATEGI POLITIK CALON LEGISLATIF PEREMPUAN PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009 (Kasus : Calon Legislatif Perempuan dari Partai Demokrat di Kabupaten Bungo).

0 0 19

PERBANDINGAN STRATEGI POLITIK CALON ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN DALAM PEMILU LEGISLATIF 2009 di KOTA PADANG.

0 0 6

PEMILIHAN UMUM ANGGOTA LEGISLATIF

0 0 22