Nama Dedi Rismanto Nim 113105088 Kelas H

Nama: Dedi Rismanto
Nim : 113105088
Kelas: HI A

Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya…
Just another Blog dosen dan staff UNS, tempat berbagi tulisan weblog


Home



About

Subscribe via Email

War on Terror dalam Perspektif HHI
Perang atau sengketa bersenjata atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa
yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan di muka bumi dalam sejarah umat
manusia (Arlina Permanasari, 1999: 12). Satu hal yang pasti bahwa perang merupakan sesuatu
yang harus diterima sebagai fakta yang mewarnai sejarah kehidupan manusia dan perang

merupakan hal yang sulit untuk dihindari maupun dihapuskan, dapat dikatakan bahwa perang itu
akan selalu ada. Bahkan dalam perkembangannya sekarang istilah perang ini mengalami
perubahan paradigma, istilah perang atau konflik bersenjata berubah secara perlahan dari bentuk
klasiknya yaitu state centered paradigm ke bentuk modern dengan munculnya beberapa non
state actors. Karl Von Clausewitz’s mengatakan bahwa “perang tidak lain hanyalah kelanjutan
dari hubungan politik (politic intercourse) dengan pencampuran cara-cara yang lain” (George

Abi Saab, 2006), hubungan politik yang dimaksud adalah hubungan antar negara. Sekarang
kenyataan ini dapat dibantah, bahwa hubungan politik tersebut tidak semata-mata hanya
hubungan antar negara tetapi juga antara Negara dengan non state actors, misalnya belligerent,
insurgent termasuk yang sekarang masih menjadi perdebatan adalah munculnya teroris.
Istilah war on terror (perang terhadap terorisme) muncul pertama kali ketika dua pesawat
menabrak menara kembar World Trade Center pada 11 September 2001 yang menewaskan
hampir 2.792 orang di New York (Marco Sasoli, 2006). Sejak saat itu war on terror
dideklarasikan oleh Amerika Serikat sebagai respon atas kejadian tersebut. Hal ini kemudian
menimbulkan perdebatan pada masyarakat internasional yang pada akhirnya mempertanyakan
apakah kegiatan terorisme ini dapat diklasifikasikan sebagai perang atau konflik bersenjata?
Apakah teroris ini termasuk dalam kelompok bersenjata? Kedua pertanyaan ini saling
berhubungan karena konflik bersenjata tidak akan ada tanpa dua atau lebih pihak yang bertikai
yang antara lain angkatan bersenjata suatu negara atau kelompok bersenjata.

War on terror telah memunculkan paradigma baru dalam hukum humaniter internasional.
Kriteria ataupun batasan tentang konflik bersenjata antar pihak yang bertikai jelas wilayahnya,
pihak-pihak-pihaknya dan pengaturannya, namun berkembangnya war on terror telah
mengaburkan hal tersebut.
Perbandingan paradigma konflik bersenjata tersebut diatas, jelas pada akhirnya akan semakin
mengaburkan posisi hukum dari terorisme tersebut, yang kemudian akan menimbulkan
perdebatan-perdebatan, hukum manakah yang akan diterapkan dalam war on terror. Dalam
tulisan ini akan mencoba mengambil permasalahan sebagai berikut: Apakah war on terror
termasuk dalam konflik bersenjata menurut hokum humaniter Internasional?; Apakah Hukum
humaniter internasional dapat dianggap gagal dalam mengakomodir perkembangan konflik yang
terjadi?; Perlukah peraturan Hukum Humaniter Internasional diubah/direvisi terkait dengan
munculnya non state actor tersebut?
PERANG TERHADAP TERORISME DALAM HHI
Perang Terhadap Terorisme
Terorisme yang sebelumnya merupakan masalah internal dalam suatu Negara dimana
pencegahan dan penanganannya lebih merupakan urusan Negara tertentu sekarang sudah
menjadi isu internasional, karena telah menyangkut perdamaian dan keamanan internasional.
Terorisme menjadi isu internasional setelah Presiden Amerika Serikat secara resmi
mendeklarasikan perang terhadap terorisme (war on terror) sebagai tindak lanjut tertabraknya
menara kembar World Trade Center di New York. Perang terhadap terorisme dilakukan sebagai

bentuk self-defence atas terror yang terjadi di pusat perdagangan Amerika Serikat tersebut.
Sampai sekarang definisi secara tegas tentang terorisme belum ada kesepakatan di masyarakat
internasional. Umumnya terorisme ini mengacu pada pembunuhan dengan sengaja dan gegabah
pada penduduk sipil atau melakukan pengrusakan dalam skala luas terhadap property tertentu,
dengan maksud untuk menyebarkan ketakutan ke seluruh penduduk dan menyampaikan pesan
politik kepada pihak ketiga, biasanya pemerintah (Joanna Macrae & Adele Harmer, 2003). Istilah

terorisme dapat digunakan dalam hubungannya dengan tindakan pemerintah dalam penegakan
terorisme. Lebih luas lagi terorisme dapat digunakan untuk menggambarkan tindak kekejaman
dan perang saudara atau perang yang lain atau bentuk terorisme yang lain dapat mengacu pada
tindakan kekejaman secara internasional, dari bagian Negara tertentu yang disebabkan oleh
muatan politis.
Ruang Lingkup Pelaksanaan HHI
Perang merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan oleh siapapun, karena pada akhirnya
perang akan menimbulkan kesengsaraan dan kerugian yang tidak ternilai harganya. Oleh karena
itu pengaturan dalam peperangan/konflik senjata diperlukan untuk meminimalisasi penderitaan
yang ditimbulkan akibat perang. Hal inilah yang kemudian disebut dengan hukum perang/hukum
konflik bersenjata atau hukum humaniter internasional. Menurut Mochtar Kusumahadmadja
yang dimaksud dengan hokum humaniter adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuanketentuan perlindungan korban perang dan segala sesuatu yang terkait dengan perang (Arlina
Permanasari, 1999: 9). Adanya hukum humaniter tersebut adalah untuk memanusiakan perang,

sehingga penderitaan manusia dapat terkurangi atau dibatasi.
Pada umumnya hukum humaniter dapat diterapkan ketika terjadi konflik bersenjata seperti yang
diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambatahannya tahun 1977. Konvensi Jenewa
dan protokol tambahan membedakan dua kategori konflik bersenjata.
Konflik bersenjata internasional
Pengaturan mengenai konflik bersenjata yang internasional terdapat di dalam keempat Konvensi
Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I tahun 1977. Lingkup pelaksanaan Hukum Humaniter
Internasional dalam ketentuan ini terdapat dalam Pasal 2 keempat konvensi, yaitu bahwa
Konvensi ini akan berlaku dalam hal perang yang dinyatakan atau konflik bersenjata lainnya
yang timbul diantara dua pihak peserta atau lebih sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh
salah satu pihak. Konvensi berlaku pada peristiwa pendudukan sekalipun tidak mengalami
perlawanan. Konvensi juga akan tetap berlaku sekalipun salah satu negara yang terlibat dalam
konflik bukan negara peserta konvensi.
Komentar ICRC lebih lanjut atas pasal 2 menjelaskan bahwa konflik yang timbul tersebut adalah
antar negara dengan melibatkan angkatan bersenjatanya. Negara yang terlibat konflik dengan
kelompok bersenjata transnasional tidak dianggap negara. Pihak yang terlibat dalam konflik
bersenjata internasional adalah antar Negara.
Konflik bersenjata non internasional
Menurut sejarah konflik bersenjata non internasional adalah konflik yang melibatkan Negara
(dalam hal pemerintah yang sah) dengan pihak pemberontak. Aturan mengenai penerapan

konflik bersenjata non internasional ini terdapat dalam Pasal 3 keempat Konvensi Jenewa 1949
dan Protokol Tambahan II tahun 1977. Komentar ICRC mengenai Pasal 3 Konvensi Jenewa
memberikan kriteria lingkup pelaksanaan pasal tersebut. Kriteria tersebut akan sangat berguna

untuk membedakan konflik bersenjata atau hanya tindak perampokan atau pemberontakan yang
tanpa terorganisir dan sementara.
Penerapan konflik bersenjata non internasional jika dikaitkan dengan war on terror, hal ini
mungkin akan tidak sesuai. Pasal 1.1 Protokol Tambahan II tahun 1977 mensyaratkan bahwa
ketentuan dalam protokol akan berlaku jika pertikaian berlangsung di wilayah peserta agung
antara angkatan bersenjatanya dengan angkatan perang pemberontak yang terorganisir di bawah
satu komando yang bertanggungjawab. Dengan demikian jelas bahwa Pasal 1.1 Protokol
Tambahan II tahun 1977 tersebut mensyaratkan adanya kontrol dari negara peserta, jika
kelompok bersenjata yang terorganisir tersebut tidak diwilayah dibawah kontrol negara peserta
maka Protokol Tambahan II tahun 1977 tidak dapat diterapkan.
Pasal 3 keempat Konvensi Jenewa dalam penerapannya tidak mensyaratkan dibawah
pengawasan/wilayah negara. Namun demikian, hukum humaniter tidak dapat diterapkan untuk
setiap peristiwa yang tidak memuat kriteria berikut.
a. Identifikasi dari para pihak (ratione personae)
Hukum humaniter internasional akan menjadi efektif apabila para pihak melaksanakan
aturan-aturan tersebut. Para pihak mempunyai hak dan tanggung jawab. Tidak ada

konflik dalam hukum humaniter tanpa pihak-pihak yang dapat diidentifikasi.
Dalam hukum humaniter internasional adalah jelas yang menjadi pihak dalam pertikaian
adalah angkatan bersenjata (armies) dan penduduk sipil. Hukum humaniter membedakan
dengan jelas pemebadaan antara keduanya yang dikenal dengan prinsip pembedaan
(distinction principle).
Terror atau terorisme tidak dapat menjadi pihak dalam konflik, sehingga war on terror
tidak dapat menjadi peristiwa dalam hokum humaniter internasional. Konsep pihak disini
menunjukkan tingkat minimum suatu organisasi yang disyaratkan untuk mampu
melaksanakan kewajiban internasional. Teroris dalam melakukan operasinya sering tidak
mematuhi kewajiban internasional sehingga sulit untuk mengklasifikasikan teroris
sebagai pihak dalam pertikaian. Kurang tegasnya definisi dari teroris juga akan
menyulitkan dalam mengkategorikan teroris sebagai pihak dalam konflik bersenjata.
Karena dalam konsep hukum humaniter tidak ada hak yang kewajiban yang muncul tanpa
mengidentifikasi para pihak.
b. Identifikasi atas wilayah (ratione loci)
Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 tidak mensyaratkan pihak yang bertikai dibawah
wilayah pihak peserta agung, konflik harus terjadi di wilayah pihak peserta agung.
Beberapa analisis menganalisa pensyaratan ini bahwa konflik harus dibatasi diwilayah
pihak peserta agung.
Teroris tidak lebih adalah sebuah jaringan yang ada diseluruh dunia, ia tidak mempunyai

tempat yang pasti.

c. Hubungan antara peristiwa dengan konflik (ratione materiae)
War on terror digunakan sebagai reaksi dan dalih self defence oleh Amerika Serikat
terkait dengan serangan 11 September 2001 di WTC pada waktu itu. Kata reaksi belum
dapat menjawab pertanyaan apakah respon tersebut merupakan bagian dari konflik
bersenjata, misalnya bahwa mereka mempunyai hubungan yang cukup untuk suatu
konflik bersenjata.
d. Identifikasi atas pemulaan dan pengakhiran konflik bersenjata (ratione temporis)
Hukum humaniter internasional mensyaratkan bahwa konflik bersenjata harus ada
permulaan dan pengakhirannya, dimana permulaan perang biasanya diawali dengan
pernyataan perang atau ultimatum dan diakhiri dengan pengakhiran perang.
Berdasarkan yurisprudensi dari International Criminal Tribunal for Yugloslavia and
Rwanda bahwa tindakan permusuhan harus diperpanjang agar situasi tersebut dapat
sebagai konflik bersenjata. Sebenarnya Yugoslavia Tribunak secara spesifik menyatakan
bahwa alasan pensyaratan tersebut untuk mengecualikan penerapan hukum humaniter
internasional atas tindakan terorisme.
Dilain pihak, Inter-America Commission on Human Rights menyatakan bahwa intensitas
kekejaman yang waktu yang singkatpun akan cukup untuk mengatakan itu konflik
bersenjata. Apapun yang terjadi konflik perlu diperpanjang, apapun yang terjadi kekuatan

dapat terjadi durasi, permulaan dan pengakhiran harus dapat diidentifikasi untuk
mengetahui hukum humaniter internasional berlaku dan ketika tidak diterapkan lagi.
Dengan melihat penjelasan di atas, maka baik Keempat Konvensi Jenewa 1949 maupun Protokol
Tambahan I dan II Tahun 1977 tidak dapat diterapkan untuk situasi war on terror.
PENERAPAN HHI DALAM PERANG TERHADAP TERORISME
Dalam uraian bab sebelumnya, ketentuan dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
Tahun 1977 yang merupakan sumber hukum utama Hukum Humaniter Internasional tidak dapat
diterapkan dalam kondisi war on terror. Dengan demikian apakah HHI dianggap gagal dalam
mengakomodir perkembangan paradigma konflik bersenjata yang terjadi sekarang? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut sebenarnya kita dapat mengacu pada sumber-sumber hukum
humaniter internasional yang lain, yaitu selain mendasarkan pada treaty dalam penerapannya,
hukum humaniter internasional dapat juga mengacu pada customary law (hukum kebiasaan) dan
fundamental principles (prinsip dasar) dari hukum humaniter internasional.
Agar dapat memahami lebih lanjut apakah HHI gagal dalam mengakomodir perkembangan
konsep perang yang sekarang, dapat merujuk pada penerapan kedua sumber hukum humaniter
internasional tersebut pada kondisi war on terror.
Customary Law

Sebagai reaksi atas beberapa pernyataan apakah HHI dapat diterapkan dalam war on terror atau
tidak, beberapa analis mengusulkan hokum kebiasaan internasional dalam hokum humaniter

internasional menjadi pengisi antar keduanya. Tetapi akan menjadi salah jika semata-mata
mengatakan bahwa hukum kebiasaan hokum humaniter internasional dapat mencukupi apa yang
tidak bias dilakukan oleh treaty. Hukum kebiasaan internasional tentu saja menambah isi
perjanjian biasanya memberikan dasar dan isi dalam perlindungan untuk orang-orang yang
diserang oleh angkatan bersenjata.
Fundamental Principles of International Humanitarian Law
Dalam HHI ada prinsip-prinsip HHI yang fundamental. Prinsip-prinsip fundamental ini
merupakan dasar dan Prinsip tersebut yaitu (Rina Rusman, 2005):
a. Humanity (Prinsip Kemanusiaan)
Prinsip-Prinsip kemanusiaan ditafsirkan sebagai pelarangan atas sarana dan metoda
berperang yang tidak penting bagi tercapainya suatu keuntungan militer yang nyata.
Mahkamah Internasional PBB menafsirkan prinsip kemanusian sebagai ketentuan untuk
memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada orang yang terluka di medan perang,
berupaya dengan kapasitas internasional dan nasional untuk mengurangi penderitaan
manusia dimanapun ditemukan. Prinsip ini bertujuan untuk melindungi dan menjamin
penghormatan terhadap manusia. Prinsip ini bermanfaat untuk meningkatkan saling
pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian yang berkelanjutan diantara semua
rakyat sehingga tidak menciptakan diskriminasi karena kebangsaan, ras, kepercayaan agama,
pendapat kelas atau politik. Prinsip ini dimaksudkan untuk melepaskan penderitaan,
memberikan prioritas kepada kasus-kasus-kasus keadaan susah yang paling mendesak

b. Necessity ( keterpaksaan)
Walaupun HHI telah menetapkan bahwa yang dapat dijadikan sasaran serangan dalam
pertempuran hanyalah sasaran militer atau obyek militer, terdapat pula ketentuan HHI yang
memungkinkan suatu obyek sipil menjadi sararan militer apabila memenuhi persyaratan
tertentu. Dengan demikian, prinsip keterpaksaan adalah ketentuan yang menetapkan bahwa
suatu obyek sipil hanya bisa dijadikan sasaran militer apabila telah memenuhi persyaratan
tertentu.
c. Proporsional (Proportionality)
Menurut prinsip proporsional, setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan
tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak akan menyebabkan korban ikutan
di pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa, luka-luka, ataupun kerusakan harta benda yang
berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang diharapkan langsung dari serangan
tersebut.
d. Distinction (pembedaan)

Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta
tempur (kombatan) dengan orang sipil. Oleh karena itu, setiap kombatan harus membedakan
dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang dan tidak boleh ikut serta
secara langsung dalam pertempuran. Tujuan dari prinsip pembedaan ini adalah untuk
melindungi orang sipil.

e. Prohibition of causing unnecessary suffering ( prinsip HHI tentang larangan menyebabkan
penderitaan yang tidak seharusnya).
Ketentuan HHI tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya, sering
disebut sebagai principle of limitation (prinsip pembatasan). Prinsip pembatasan ini
merupakan aturan dasar yang berkaitan dengan metode dan alat perang. Prinsip ini berkaitan
dengan ketentuan yang menetapkan bahwa metode perang yang benar adalah metode yang
dilaksanakan hanya untuk melemahkan kekuatan militer lawan.
f. Pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello.
Pemberlakuan HHI sebagai ius in bello (hukum yang berlaku untuk situasi sengketa
bersenjata) tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum (hukum tentang keabsahan tindakan
perang). Dengan kata lain, HHI mengikat para Pihak yang bersengketa tanpa melihat alasan
dari keputusan atau tindakan perang tersebut. Contoh tentang pemisahan ius ad bellum
dengan ius in bello dapat dilihat dalam Keputusan Prosecutor of the International Crime
tribunal for Yugoslavia (ICTY) tanggal 14 Mei 1999 berdasarkan Pasal 18 Statuta ICTY.
Keputusan tersebut adalah tentang pembentukan suatu komite yang diberi mandat untuk
memberikan advis kepada Prosecutor mengenai apakah ada dasar yang cukup untuk
melakukan investigasi atas dugaan adanya pelanggaran HHI dalam serangan udara yang
dilakukan NATO di Yugoslavia. Terlepas dari isi laporan komite tersebut, keputusan
Prosecutor tersebut menunjukkan pengakuan tentang prinsip pemisahan antara ius ad bellum
dengan ius in bello. Dalam hal ini terlihat bahwa walaupun penggunaan kekerasan oleh
NATO mungkin dibenarkan berdasarkan Bab VIII Piagam PBB, tetapi tidak berarti bahwa
HHI menjadi tidak berlaku.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah prinsip tersebut juga harus
diterapkan juga dalam situasi war on terror? Pada prinsipnya fundamental
principles tersebut harus dihormati dan dilaksanakan oleh para pihak apapun
keadaannya, karena fundamental principles tersebut merupakan
perlindungan dasar bagi manusia sebagai maklhuk hidup. Namun
kenyataannya, hal demikian sulit sekali untuk diterapkan bahkan tidak
mungkin, bias dikatakan hal ini hanya on the paper. Hal ini terjadi karena
teroris maupun angkatan bersenjata lainnya tidak mau untuk melaksanakan
ketentuan ini. Sedangkan konsep dasar dari HHI jelas, bahwa HHI tidak akan
terlaksana dengan efektif jika para pihak tidak mau untuk melaksanakannya
PENUTUP

War on terror merupakan fenomena baru dalam hukum internasional pada umumnya dan hukum
humaniter internasional pada khususnya. Hal demikian karena sulitnya untuk mengidentifikasi
hukum manakah yang dapat diterapkan dalam kondisi war on terror. Konvensi Jenewa 1949
maupun Protokol Tambahan Tahun 1977 tidak dapat diterapkan dalam war on terror, karena
treaty tersebut mensyaratkan kriteria-kriteria tertentu untuk dapat disebut konflik bersenjata
sehingga ketentuan dalam treaty tersebut dapat diterapkan. Sumber hukum humaniter
internasional lainnya seperti hukum kebiasaan internasional dalam Hukum humaniter
internasional dan fundamental principles sangat memungkinkan untuk mengakomodir kondisi
tersebut, namun dalam pelaksanaannya hal demikian sulit untuk dilaksanakan karena teroris
enggan untuk melaksanakannya.