ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan PN Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS)

ABSTRAK

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN
PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Studi Putusan PN Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS)

Oleh
Aisha Andiarina Pusparita Habsari Rizal

Kekerasan dalam Rumah Tangga sesuai dalam Undang-undang No.23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga. Hakim dalam mempertimbangkan vonis hukuman melihat
beberapa faktor yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut
yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimanakah pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan vonis pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga (studi putusan nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS) dan bagaimanakah

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga (studi putusan nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS).
Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data
primer dan data sekunder yang bersumber dari penelitian lapangan dan penelitian
kepustakaan. Data kemudian diolah dengan cara seleksi data, klasifikasi, dan
penyusunan data. Kemudian data disusun secara sistematis dan dianalisis secara
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, bahwa
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga pada perkara pidana nomor 195/Pid.B/2012/PN.GS dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya karena perbuatan terdakwa
tersebut terdapat kesalahan dan telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan. Hakim dalam memutus suatu perkara harus mempunyai alasan yang

Aisha Andiarina Pusparita Habsari Rizal
cukup kuat dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan teori-teori
yang berhubungan dengan kasus. Putusan hakim mempunyai posisi yang sentral
karena putusan tersebut mempunyai konsekuensi yang luas, baik bagi pelaku
maupun masyarakat.

Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan agar hukuman yang diberikan
kepada pelaku tepat dan dapat mencapai keadilan dan diharapkan dapat
mengurangi kejahatan yang ada. Hakim dalam memutus suatu perkara harus
senantiasa mempertimbangkan segala unsur yang ada. Putusan harus dibuat secara
adil baik bagi pelaku maupun korban, agar tidak ada kontroversi yang terjadi
dalam masyarakat. Menurut penulis, hakim harus mempertimbangkan sanksi
berupa tindakan dibandingkan sanksi pidana karena sanksi pidana dapat merusak
keutuhan rumah tangga mengingat terdakwa dan korban setelah adanya putusan
ini berdamai. Pemberian putusan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga harus mempertimbangkan masa depan kehidupan keluarga dari
terdakwa.
Kata kunci : Pertimbangan hakim, Pelaku, Kekerasan Dalam Rumah Tangga

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Studi Putusan Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS)

Oleh


Aisha Andiarina Pusparita Habsari Rizal

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN
PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Studi Putusan Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS)
(Skripsi)


Oleh
Aisha Andiarina Pusparita Habsari Rizal

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

DAFTAR ISI

Halaman
I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Pemasalahan dan Ruang Lingkup ........................................................ 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................... 9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ....................................................... 10
E. Sistematika Penulisan ........................................................................... 15


II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Pertimbangan Hakim ................................................................. 17
B. Pertanggungjawaban Pidana ………………………………………….25
C. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga ………...32

III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah .......................................................................... 42
B. Sumber dan Jenis Data ....................................................................... 43
C. Penentuan Narasumber ...................................................................... 45
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ................................... 45
E. Analisis Data ...................................................................................... 47

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Narasumber .................................................................... 48
B. Gambaran Umum Kasus ...................................................................... 49

C. Pertanggung jawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga ............................................ 52
D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga ..................................................................................... 60

V. PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 65
B. Saran ..................................................................................................... 67
DAFTAR PUSATAKA
LAMPIRAN

1

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang
No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.1 Menurut Kalyana Mitra, aktifis perempuan
dan anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah perubahan fisik ,
lingkungan dan kata-kata yang terjadi ditempat dimana seseorang seharusnya bisa
merasa aman yaitu rumah.2

Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan menjelaskan, hingga saat ini
Indonesia belum mempunyai statistika nasional untuk tindak pidana KDRT.
Pencatatan kasus KDRT dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya
terkait sebagaimana diatur dalam UU Penghapusan KDRT dan Peraturan

1

Redaksi Sinar Grafika. UU RI No. 23 TH 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Sinar Grafika. Jakarta. 2005.
2
Kalyana Mitra. Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Komunikasi dan
Informasi Perempuan. Jakarta Pusat. 1999.


2

Pemerintah No 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan
Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas
Perempuan, mencatat bahwa selalu terjadi peningkatan terhadap kasus KDRT,
dapat dilihat pada tabel berikut3 :

Tahun

Kasus

Presentasi

2001

3.164

43%


2002

5.163

61%

2003

7.787

66%

2004

14.020

56%

2005


20.391

69%

Latar belakang terjadinya KDRT ini akibat pengaruh sosial budaya dalam
masyarakat yang menempatkan perempuan dan anak berada dalam kondisi yang
marginal, dan ketidak berdayaan. Hal ini menyebabkan mereka rentan terhadap
hal tersebut termasuk kekerasan. Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi
berbagai bentuk secara fisik, ekonomi, psikis, termasuk perkosaan, pemukulan
terhadap istri dan penyiksaan anak-anak.

Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan fisik, psikis,
seksual dan penelantaran dalam rumah tangga pada kenyataannya sering terjadi
sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus
3

http://ikeherdiana-fpsi.web.unair.ac.id/artikel_detail-49848-Psikologi%20PerempuanGambaran%20Kasus%20Kekerasan%20Dalam%20Rumah%20Tangga%20di%20Indonesia.html
. Diakses tanggal 13 September 2013. Pukul 21:32


3

kekerasan dalam rumah tangga. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
ini bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan
sejahtera.

Pada tanggal 22 September 2004, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Undang-Undang ini disahkannya untuk memberikan perlindungan secara
menyeluruh, meliputi jaminan perlindungan hukum dan pemulihan korban.
Khusus untuk pemulihan korban, pada Pasal 43 UU PKDRT disebutkan tentang
kewajiban pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah yang mengatur
tentang pelayanan bagi pemulihan korban, maka kemudian pemerintah
mengeluarkan

Peraturan

Pemerintah

Nomor

04

tahun

2006

tentang

Penyelenggaraan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Berikut adalah tentang kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga4 :
1. Kekerasan Fisik Berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang,
memukul menyundut, melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan
dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan :
a. Cedera berat
b. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
c. Pingsan
4

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_dalam_rumah_tangga. Diakses tanggal 13 September
2013. Pukul 21:35

4

d. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau
yang menimbulkan bahaya mati
e. Kehilangan salah satu panca indera
f. Mendapat cacat
g. Menderita lumpuh
h. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
i. Gugur atau matinya kandungan seseorang perempuan
j. Kematian korban.

2. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan
perbuatan lainnya yang mengakibatkan :
a. Cedera ringan
b. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
c. Melakukan reptisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan kedalam jenis
kekerasan berat.

Salah satu contoh kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah yang terjadi
pada Tanggal 8 September 2012 hakim telah memutuskan, menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yaitu penjara
selama 7 bulan dan terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 2.000,- (dua
ribu rupiah). Terdakwa Bayu Samudra melakukan tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga pada hari Selasa tanggal 1 Mei 2012 pukul 13.30 di warung BU
GENDUT di Lampung Tengah. Bayu Samudra meludahi istrinya Wilisa Indriani,
lalu menjambak rambut dan meninju hidung istrinya sebanyak 2 kali. Akibatnya
hidung istri dari pelaku tersebut mengeluarkan darah. Akibat lain yang
ditimbulkan yaitu korban mengalami sakit kepala, mual dan susah bernafas.

5

Hakim dalam memutus suatu perkara mempunyai kewenangan penuh dalam
menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa. Keputusan yang diambil oleh hakim
disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan dan untuk mencapai keadilan
yang seadil-adilnya. Putusan Hakim berdasarkan putusan yuridis maupun hati
nurani dari hakim itu sendiri. Banyak masyarakat awam yang bingung dengan
putusan yang diberikan oleh hakim tersebut.

Dalam hal ini, perkara pidana no : 195/PID.B/2012/PN.GS., hakim menjatuhkan
pidana terhadap Terdakwa Bayu Samudra Bin Kusnaedi dengan pidana penjara
selama 7 (tujuh) bulan dan dikurangkan dengan masa tahanan yang telah
dijalankan dan membayar biaya perkara sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).
Tindakan ini sesuai dengan Pasal 44 Ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hal ini didakwakan dalam
dakwaan PRIMAIR.

Hukuman yang dijatuhkan kepada Terdakwa relatif ringan jika dibandingkan
dengan UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Pidana maksimal yang tercantum dalam UU No 23 Tahun 2004 adalah 5
tahun, sedangkan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa hanya 7 bulan dan
dikurangi dengan hukuman yang telah dijalani selama masa penyidikan.

Tugas Hakim sangatlah berat, karena tidak hanya mempertimbangkan
kepentingan hukum saja dalam putusan perkara yang dihadapi melainkan juga
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat agar terwujud adanya kepastian
hukum. Hakim memutuskan suatu perkara berdasarkan pada fakta yuridis dan non
yuridis.

6

Putusan hakim memang tetap dituntut oleh masyarakat untuk berlaku adil, namun
sebagai manusia juga hakim dalam putusannya tidaklah mungkin memuaskan
semua pihak, tetapi walaupun begitu hakim tetap diharapkan menghasilkan
putusan yang seadil-adilnya sesuai fakta-fakta hukum di dalam persidangan yang
didasari pada aturan dasar hukum yang jelas (azas legalitas) dan disertai dengan
hati nurani hakim.

Bahkan hakim juga disebut sebagai wakil Tuhan di dunia dalam arti harus
tercermin dalam putusan perkara yang sedang ditanganinya, maka sebagai seorang
hakim tidak perlu ragu, melainkan tetap tegak dalam garis kebenaran dan tidak
berpihak (imparsial), namun putusan hakim juga paling tidak dapat dilaksanakan
oleh pencari keadilan atau tidak hanya sekedar putusan yang tidak bisa
dilaksanakan.

Putusan hakim adalah merupakan hasil (output) dari kewenangan mengadili setiap
perkara yang ditangani dan didasari pada Surat Dakwaan dan fakta-fakta yang
terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan penerapan dasar hukum yang
jelas, termasuk didalamnya berat ringannya penerapan pidana penjara (pidana
perampasan kemerdekaan), hal ini sesuai azas hukum pidana yaitu azas legalitas
yang diatur pada pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu Hukum Pidana harus bersumber
pada Undang-Undang artinya pemidanaan haruslah berdasarkan Undang-Undang.
Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
Perundang-undangan pidana yang telah ada.

7

Berdasarkan hasil uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menulis
dalam bentuk skripi dengan judul “Analisis Putusan Hakim Dalam Tindak
Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Putusan PN Nomor :
195/PID.B/2012/PN.GS)”.

8

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka masalah yang akan dibahas adalah
sebagai berikut :
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
kekerasan

dalam

rumah

tangga

(studi

putusan

PN

nomor

:

195/PID.B/2012/PN.GS)?
b. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis pidana terhadap
pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (studi putusan PN nomor :
195/PID.B/2012/PN.GS)?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam permasalahan ini adalah ruang lingkup hukum pidana yang
dititikberatkan kepada penelusuran dasar pertimbangan hakim nomor :
195/PID.B/2012/PN.GS dalam menjatuhkan vonis pidana terhadap pelaku tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga dan pertanggungjawaban pidana dalam
putusan nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS terhadap pelaku tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga dengan lokasi penelitian di wilayah hukum Pengadilan
Negeri Gunung Sugih.

9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian :

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga pada Putusan Pengadilan
Negeri Gunung Sugih Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS.
b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
kekerasan

dalam

rumah

tangga

(studi

putusan

PN

nomor

:

195/PID.B/2012/PN.GS).

2. Kegunaan Penelitian :

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum pidana khususnya dalam
penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis teori ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para aparat penegak
hukum dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga, bagi
pemerintah sebagai sumbangan pemikiran pada pembaharuan hukum pidana,
sebagai sumber informasi yang dibutuhkan bagi peneliti di masa yang akan
datang, dan membantu adanya transparansi tentang proses peradilan dan
penegakan hukum.

10

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan,
asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan,
dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.5

Sebagai dasar untuk membahas permasalahan pertama dalam skripsi ini,
digunakan teori penjatuhan putusan hakim. Suatu perkara tindak pidana yang
telah masuk ke Pengadilan akan diputus oleh hakim. Dalam memutus putusan,
ada beberapa teori yang digunakan oleh hakim tersebut. Menurut Mackenzie, ada
beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam
mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai
berikut:6

1. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihakpihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Pejatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan
dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau
dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara,
5
6

Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandar Lampung. 2004. Hal 73.
Ahmad Rifai. Penemuan Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2010. Hal 102.

11

yaitu penggugat dan tergugat, dalam perkara perdata, pihak terdakwa atau
Penuntut Umum dalam perkara pidana. Penjatuhan putusan, hakim
mempergunakan pendekatan seni, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi
daripada pengetahuan dari hakim.

3. Teori Pendekatan Keilmuwan
Titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana
harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam
kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin
konsistensi dari putusan hakim.

4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari.

5. Teori Ratio Decindendi
Teori

ini

didasarkan

pada

landasan

filsafat

yang

mendasar

yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam
penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi
yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak
yang berperkara.

12

6. Teori Kebijaksanaan
Aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan
orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik dan
melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi
keluarga, masyarakat dan bangsanya.

Dalam memutus suatu perkara pidana, seorang hakim harus memutus dengan
seadil-adilnya dan harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut

Van

Apeldoorn, hakim haruslah:7
1. Menyesuaikan undang-undang dengan faktor-faktor konkrit, kejadian-kejadian
konkrit dalam masyarakat
2. Menambah Undang-Undang apabila perlu.

Suatu perbuatan dapat dikatakan tindak pidana apabila telah memenuhi unsurunsur menurut undang-undang. Menurut Pasal 1 Ayat (1) KUHP, “suatu
perbuatan tidak boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan hukuman dalam
undang-undang yang diadakan lebih dahulu daripada perbuatan itu”.
Untuk menjawab permasalahan kedua dalam penulisan skripsi ini, berkaitan
dengan teori pertanggungjawaban pidana sebagaimana dikatakan bahwa orang
yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatannya
tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai
kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi masyarakat

7

E. Utrecht an Moch Saleh Djindang. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Sinar Harapan Jakarta.
1983. Hal 204.

13

menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan oleh
orang tersebut8.

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas),
artinya seseorang yang melakukan kesalahan harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya didepan hukum9. Pertanggungjawaban pidana ini menuntut adanya
kemampuan bertanggung jawab pelaku. Kemampuan bertanggung jawab adalah
suatu keadaan normal dan kematangan psikis seseorang yang membawa tiga
macam kemampuan yaitu untuk memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri,
menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang masyarakat, dan
menentukan kemampuan atau kecakapan terhadap perbuatan tersebut.

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan seseorang dapat tidaknya ia dipidana
harus memenuhi rumusan sebagai berikut10 :
1. Adanya perbuatan yang disengaja
2. Pelaku harus mampu bertanggung jawab
3. Bahwa pelaku insaf atas perbuatan yang dilakukan
4. Tidak ada alasan pemaaf

Chairul Huda. “Dari ‘Tindak Pidana Tanpa Kesalahan’ menuju kepada ‘Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’; Tinjauan Krisis Terhadap Teori Pemisahan
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Pranada Media. Jakarta. 2006. Hal 74.
9
Barda Nawawi Arif. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.
2003. Hal 35
10
Suharto RM. Hukum Pidana Materiil : Unsur-Unsur Objektif Sebagai Dasar Dakwaan. Sinar
Grafika. Jakarta. 1996. Hal 108
8

14

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang ingin atau akan diteliti.11

Definisi yang berkaitan dengan judul penulisan ini dapat diartikan sebagai berikut,
diantaranya adalah :

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan,
dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.12

b. Dasar Pertimbangan Hakim adalah bukti formil serta suatu keyakinan hakim
yang menjadi dasar dalam pengambilan sebuah keputusan pengadilan.13
c. Putusan Pidana adalah perwujudan pidana dalam bentuk konkrit.14

d. Pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan pelaku
utama dalam perubahan situasi tertentu.15 Pelaku dapat diartikan mereka yang
melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.16

e. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
11

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. 1986. Hal 132.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1997. Hal 50
13
Masruchin Ruba’i. Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. IKIP Malang. Malang. 1994.
Hal 63
14
Ibid. Hal 64
15
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
1996. Hal 594.
16
Pasal 55 KUHP.
12

15

ancaman

untuk

melakukan

perbuatan,

pemaksaan,

atau

perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

f. Pertanggungjawaban pidana adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang
terhadap kesalahan seseorang telah melakukan atau tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan
oleh masyarakat17.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan
tujuan mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan.
Sistematikanya sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN
Merupakan bab yang menguraikan latar belakang, masalah dan ruang lingkup
tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika
penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian
umum dari pokok bahasan yang memuat tinjauan mengenai dasar pertimbangan
hakim, tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, sanksi pidana dalam
kekerasan dalam rumah tangga dan teori pemidanaan dalam kekerasan dalam
rumah tangga.

17

Tri Andrisman. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Bandar Lampung. 2006. Hal 103

16

III. METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang membahas tentang metode yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur
pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data yang di dapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merupakan penjelasan dan pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian
mengenai beberapa penerapan hukum terhadap tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga, faktor-faktor yang mempengaruhi seorang hakim dalam memutus
perkara kekerasan dalam rumah tangga, serta bagaimana pertanggungjawaban
pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan salam rumah tangga putusan PN
Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS tentang kekerasan dalam rumah tangga.

V. PENUTUP
Merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah
dilakukan dan kemudian memberikan beberapa saran yang dapat membantu
pihak-pihak yang membutuhkan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Pertimbangan Hakim

Putusan hakim merupakan puncak klimaks dari suatu perkara yang sedang
diperiksa dan diadili oleh seorang hakim. Hakim memberikan keputusannya
mengenai hal-hal sebagai berikut :1
1. Keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan
yang dituduhkan kepadanya.
2. Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa
itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat
dipidana.
3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Peraturan perundang-undangan Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 8 Ayat (1) menyebutkan : “setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan,
wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan dan menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

1

Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung. 1986. Hal 74

18

Pasal 1 butir 11 KUHAP menyebutkan bahwa, putusan pengadilan adalah
pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum.2 Syarat sah nya suatu
putusan hakim mencakup dua hal yaitu memuat hal-hal yang diwajibkan dan
diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum. Hal itu harus dipenuhi oleh hakim
dalam setiap proses pengambilan keputusan. Putusan pemidanaan diatur dalam
Pasal 193 ayat 1 KUHAP yang menentukan “jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka
pengadilan menjatuhkan pidana. Seorang hakim haruslah independen, tidak
memihak kepada siapapun juga, dalam persidangan semuanya diperlakukan sama.

UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tugas Hakim untuk
mengadili perkara berdimensi menegakkan keadilan dan menegakkan hukum.
Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh terpengaruh
atau memihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga diatur dalam berbagai
peraturan, yaitu dalam Pasal 24 UUD Negara RI Tahun 1945, yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2

Pasal 195 KUHAP

19

Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, dan sempurna
hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan 4 kriteria dasar pertanyaan (the
four way test) berupa3 :
1. Benarkah putusanku ini?
2. Jujurkah aku dalam mengambil keputusan?
3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan?
4. Bermanfaatkah putusanku ini?

Pedoman pemberian pidana (strafftoemeting-leidraad) akan memudahkan hakim
dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa tertuduh telah
melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Dalam daftar tersebut dimuat
hal-hal bersifat subjektif yang menyangkut hal-hal yang diluar pembuat. Dengan
memperhatikan

butir-butir

tersebut

diharapkan

penjatuhan

pidana

lebih

proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan itu.4

Kebebasan hakim menjatuhkan putusan dalam proses peradilan pidana terdapat
dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Asas
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan :
Ayat (1) : Dalam menjatuhkan tugas dan fungsinya, hakim konstitusi wajib
menjaga kemandirian peradilan.
Ayat (2) : Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam UUD Kesatuan RI Tahun 1945.

3
4

Lilik Mulyadi. Kekuasaan Kehakiman. Bina Ilmu. Surabaya. 2007. Hal 136
Muladi dan Barda Nawawi Arif. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung. 1998. Hal
67

20

Isi pasal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009
tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : “Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Segala keputusan pengadilan selain harus memuat pasal-pasal tertentu dari
peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan
dasar untuk menggali, kaedah hukum yang hidup dan berkembang didalam
masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab hakim dalam
melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang
diajukan kepadanya dimana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya dijatuhkan
kepada hukum, dirinya sendiri ataupun masyarakat luas, tetapi yang lebih penting
lagi itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana,
menurut Moeljatno, dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu 5

1. Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana
Pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana
atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan
tersebut sebagai dalam rumusan suatu aturan pidana.

5

Ahmad Rifai. Penemuan hukum. Sinar grafika. Jakarta. 2010. Hal 96

21

2. Tahap Menganalisis Tanggungjawab Pidana
Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana
melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat
dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya.

3. Tahap Penentuan Pemidanaan
Hakim akan menjatuhkan pidana bila unsur-unsur telah terpenuhi dengan
melihat pasal Undang-Undang yang dilanggar oleh Pelaku. Dengan
dijatuhkannya pidana, Pelaku sudah jelas sebagai Terdakwa.

Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam
persidangan dapat melihat alat bukti yang sah, yaitu :
1. Surat
2. Petunjuk
3. Keterangan terdakwa
4. Keterangan Saksi
5. Keterangan Ahli
Putusan hakim juga berpedoman pada 3 (tiga) hal6 yaitu :
1. Unsur Yuridis, yang merupakan unsur pertama dan utama,
2. Unsur Filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan,
3. Unsur Sosiologis, yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.

6

http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/534/jbptunikompp-gdl-arirochman-26694-8-unikom_a-v.pdf.
Diakses pada 12 Juli 2013. Pukul 19:47

22

Hakim dalam menjatuhkan putusan mempertimbangkan hal-hal berikut :
a. Faktor Yuridis, yaitu Undang-Undang dan Teori-teori yang berkaitan dengan
kasus atau perkara.
b. Faktor Non Yuridis, yaitu melihat dari lingkungan dan berdasarkan hati nurani
dari hakim itu sendiri.

Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih rendah dari batas minimal
dan juga hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih tinggi dari batas
maksimal hukuman yang telah ditentukan Undang-Undang.7 Dalam memutus
putusan, ada beberapa teori yang digunakan oleh hakim tersebut. Menurut
Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh
hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu
sebagai berikut:8

1. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihakpihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Pejatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan
dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau
dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara,
yaitu penggugat dan tergugat, dalam perkara perdata, pihak terdakwa atau
7
8

Ibid. Diakses Pada 12 Juli 2013. Pukul 20.00
Ahmad Rifai. Penemuan Hukum. Sinar Grafika.Jakarta. 2010. Hal 102.

23

Penuntut Umum dalam perkara pidana. Penjatuhan putusan, hakim
mempergunakan pendekatan seni, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi
daripada pengetahuan dari hakim.

3. Teori Pendekatan Keilmuwan
Titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana
harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam
kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin
konsistensi dari putusan hakim.

4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari.

5. Teori Ratio Decindendi
Teori

ini

didasarkan

pada

landasan

filsafat

yang

mendasar

yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam
penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi
yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak
yang berperkara.

6. Teori Kebijaksanaan
Aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan
orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik dan

24

melindungi terdakwa, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi
keluarga, masyarakat dan bangsanya.

Dalam memutus suatu perkara pidana, seorang hakim harus memutus dengan
seadil-adilnya dan harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut

Van

Apeldoorn, hakim haruslah:9
1. Menyesuaikan undang-undang dengan faktor-faktor konkrit, kejadian-kejadian
konkrit dalam masyarakat
2. Menambah Undang-Undang apabila perlu.

Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan
hakim dalam mengambil keputusan. Menurut Soedarto, hakim memberikan
keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :
1. Keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa telah melakukan
perbuatan yang dituduhkan kepadanya,
2. Keputusan mengenai hukumnya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan
terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan
dapat dipidana,
3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa dapat dipidana.

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara
yang diajukan kepadanya, dimana dalam perkara pidana hal itu tidak terlepas dari
sistem pembuktian negatif (negative wetterlijke), yang pada prinsipnya
menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah

9

E. Utrecht an Moch Saleh Djindang. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Sinar Harapan.
Jakarta. 1983. Hal 204.

25

terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga
ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.

B. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang
terhadap kesalahan seseorang telah melakukan atau tidak melakukan perbuatanperbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan oleh
masyarakat10. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa
adalah mampu bertanggung jawab, dan syarat seorang terdakwa mampu
bertanggung jawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu
dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan
yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya
dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan yang tidak11.

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan hukum pidana negara-negara yang
menganut “common law system”, pada prinsipnya tidak memliki perbedaan yang
fundamental dengan “civil law system”. Hukum pidana Inggris mensyaratkan
bahwa “pada prinsipnya setiap orang yang melakukan kejahatan dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, kecuali ada sebab-sebab yang
meniadakan penghapusan pertanggungjawaban yang bersangkutan (exemptions
from liability)”12.

10

Tri Andrisman. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Bandar Lampung. 2006. Hal 103
11
Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Askara Baru. Jakarta.
1999. Hal 84
12
Romli Atmasasmita. Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer. Fikahati Aneska. Jakarta.
2009. Hal 93

26

Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara
pidana terhadap seseorang yang melakukan pidana atau tindak pidana13.
Pertanggungjawaban
teorekenbaardheid

pidana
atau

dalam

criminal

istilah

asing

responsibility

tersebut
yang

juga

dengan

menjurus

kepada

pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak14.

Bentuk-bentuk kesalahan dalam ajaran hukum pidana adalah sebagai berikut :
a. Kesengajaan (dolus)
KUHP tidak memberikan definisi tentang arti kesengajan. Menurut Andi
Hamzah15, sebagai kebiasaan dalam mencari arti sesuatu istilah hukum orang
menengok ke penafsiran otentik atau penafsiran pada waktu UU yang
bersangkutan disusun, dalam hal ini (Memory van Toelichting). Dengan
sendirinya memorie penjelasan MvT Belanda tahun 1886 yang juga
mempunyai arti bagi KUHP Indonesia, karena yang tersebut terakhir
bersumber pada yang tersebut pertama. Menurut penjelasan tersebut, “sengaja”
(opzet) berarti ‘de (bewuste) richting van den wil op een bepaald misdriff
(kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu).
Menurut penjelasan tersebut “sengaja” sama dengan willens en watens
(dikehendaki dan diketahui).

13

Roeslan Saleh. Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.
1983. Hal 75
14
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html. diakses pada
tanggal 12 November 2013. Pukul 20.08
15
Andi Hamzah. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Hal 105-106

27

b. Kelalaian (culpa)
Selain sikap batin yang berupa kesengajaan ada pula sikap batin yang berupa
kelalaian (culpa). Seperti halnya kesengajaan, KUHP juga tidak mendefinisikan
secara pasti tentang pengertian kelalaian. Jadi dapat dikatakan kelalaian timnul
karena seseorang itu alfa, sembrono, teledor, berbuat kurang hati-hati atau kurang
menduga16. Memorie penjelasan (Memorie van Toelicting) mengatakan, bahwa
kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun culpa itu
dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja. Oleh karena itu HazewinkelSuringa mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelicht)
sehingga diadakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antara sengaja
dan kebetulan dikenal pula di negara-negara Anglo-saxon yang disebut per
infortuninum the killing occurated accidently. Dalam memory Jawaban
pemerintah (MvA) mengatakan bahwa siapa yang melakukan kejahatan dengan
sengaja berarti mempergunakan salah kemampuannya sedangkan siapa karena
salahnya

(culpa)

melakukan

kejahatan

berarti

tidak

mempergunakan

kemampuannya yang ia harus mempergunakan17.

Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana tidak
bisa dilepaskan dari tindak pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan
untuk dipidana, apabila telah melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban
pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum

16
17

Soedarto. 1986. Hukum Dan Hukum Pidana. Cet 4 alumni. Andung. Hal 123
Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 2008. Hal 125

28

pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu
perbuatan tertentu.

Pertanggungjawaban termasuk unsur kesalahan (schuld) karena untuk dapat
dipidana perlu adanya kesalahan, hal tersebut sesuai dengan asas dalam hukum
pidana yaitu tidak dapat dipidana jika tidak ada kesalahan, sedangkan kesalahan
bukanlah sudut pengertian normatif. Perbuatan pidana yaitu kelakuan dan akibat,
yang lazim disebut dengan actus reus, sedangkan unsur pertanggungjawaban
pidana adalah bentuk-bentuk kesalahan yang terdiri dari kesengajaan (dolus) dan
kealpaan (culpa) serta tidak adanya alasan pemaaf18

Tidaklah

ada

gunanya

untuk

mempertanggungjawabkan

terdakwa

atas

perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum,
maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian
tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan
harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk
adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa
haruslah19 :
1. Melakukan perbuatan pidana
2. Mampu bertanggung jawab
3. Dengan kesengajaan atau kealpaan
4. Tidak adanya alasan pemaaf

18

19

Moeljatno. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Bina Aksara.
Jakarta. 1983. Hal 189
Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar
Dalam Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta. 1983. Hal 13

29

Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3 (tiga)
syarat20, yaitu :
1. Dapat menginsyafi makna dari perbuatannya
2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam
pergaulan masyarakat
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan

Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum, dan dapat dikenakan sanksi
pidana maka harus dipenuhi dua unsur yakni adanya unsur perbuatan pidana
(actus reus) dan keadaan sifat batin pembuat (mens rea). Kesalahan (schuld)
merupakan unsur pembuat delik, jadi termasuk unsur pertanggungjawaban pidana
yang mana terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya.
Dalam hal kesalahan tidak terbukti, berarti bahwa perbuatan pidana (actus reus)
sebenarnya telah terbukti, karena tidak mungkin hakim akan membuktikan adanya
kesalahan jika ia telah mengetahui lebih dahulu bahwa perbuatan pidana tidak ada
atau tidak terbukti diwujudkan oleh terdakwa21.

Teori pertanggungjawaban pidana sebagaimana dikatakan bahwa orang yang
melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatannya
tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai
kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi masyarakat

20
21

Roeslan Saleh. Ibid. Hal 80
Andi Zainal Abidin. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni. Bandung. 1987. Hal
72

30

menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan oleh
orang tersebut22.

Dipidananya seseorang tidak cukup jika seseorang telah memenuhi unsur tindak
pidana saja. Meskipun telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materiil), serta tidak ada
alasan pembenar, hal tersebut belum memenuhi syarat bahwa orang yang
melakukan tindak pidana harus mempunyai kesalahan23.

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas),
artinya seseorang yang melakukan kesalahan harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya didepan hukum24. Pertanggungjawaban pidana ini menuntut adanya
kemampuan bertanggung jawab pelaku. Kemampuan bertanggung jawab adalah
suatu keadaan normal dan kematangan psikis seseorang yang membawa tiga
macam kemampuan yaitu untuk memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri,
menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang masyarakat, dan
menentukan kemampuan atau kecakapan terhadap perbuatan tersebut.

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan seseorang dapat tidaknya ia dipidana
harus memenuhi rumusan sebagai berikut25 :
1. Adanya perbuatan yang disengaja
2. Pelaku harus mampu bertanggung jawab
Chairul Huda. “Dari ‘Tindak Pidana Tanpa Kesalahan’ menuju kepada ‘Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’; Tinjauan Krisis Terhadap Teori Pemisahan
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Pranada Media. Jakarta. 2006. Hal 74.
23
Chairul Huda. Ibid. Hal 75
24
Barda Nawawi Arif. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.
2003. Hal 35
25
Suharto RM. Hukum Pidana Materiil : Unsur-Unsur Objektif Sebagai Dasar Dakwaan. Sinar
Grafika. Jakarta. 1996. Hal 108

22

31

3. Bahwa pelaku insaf atas perbuatan yang dilakukan
4. Tidak ada alasan pemaaf

Unsur-unsur pidana sebagai dasar pertanggungjawaban merupakan kesalahan
yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungan dengan kelakuannya yang dapat
dipidana dan berdasarkan kejiwaannya pelaku dapat dicela karena kelakuannya.
Dengan kata lain, hanya dengan perbuatan yang dilarang tersebut dapat
dipertanggungjawabkan si Pelaku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat 1
KUHP

yaitu:

“Barang

siapa

melakukan

perbuatan

yang

tidak

dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.
Tanggung jawab pidana dapat diartikan sebagai akibat lebih lanjut yang harus
ditanggung oleh orang yang telah bersikap tindak, baik bersikap tindak yang
selaras dengan hukum maupun yang bertentangan dengan hukum. Untuk dapat
dipidana, maka perbuatannya harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana, maka
kepada yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara
yuridis.

32

C. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga26. Kekerasan dalam rumah
tangga secara keseluruhan diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga bukan hanya urusan rumah tangga atau urusan
domestik saja namun hal ini diatur oleh suatu Undang-Undang karena pada
dasarnya keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram
dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Ketika terjadi
hal-hal yang tidak diinginan dalam rumah tangga, misalnya terjadi kekerasan
maka perlu ada yang melindungi korban atau mencegahnya dan menindak
pelakunya. Karena itu negara harus ikut campur dalam masalah ini, karena negara
berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah
tangga adalah pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi.

Adapun batasan dari kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri didalam
keluarga adalah jika perlakuan salah yang dilakukan oleh suami atau tindak
kekerasan yang dilakukan oleh suami telah diluar batas norma atau nilai yang
telah ditentukan atau yang berlaku didalam keluarga yang sesungguhnya. Dengan
26

Pasal 1 UU no 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

33

demikian, kekerasan dapat diartikan sebagai pengguna kekerasan fisik untuk
melukai manusia atau untuk menghilangkan nyawa orang lain.

Kekerasaan dalam rumah tangga sering terjadi karena adanya suatu anggapan
bahwa kekerasan tersebut merupakan cara suami mendidik istri. Kemudian ada
juga anggapan bahwa istri adalah milik suami sehingga suami dapat
memperlakukan istri dengan sekehendak hati. Dengan anggapan demikian sikap
suami terhadap istri cenderung menjadikan istri sebagai objek bukan sebagai
subjek atau individu yang mempunyai hak asasi yang patut di hormati.

Dalam pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan :
1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam tata cara
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

Menurut Pasal 2 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan :
a. Lingkup rumah tangga meliputi :
1) Suami, istri, anak
2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang di
maksud pada huruf a karna hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap pada rumah tangga
3) Orang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut

34

b. Orang yang bekerja di pandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu
selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, menurut Pasal 5 UU Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, meliputi :

a. Kekerasan fisik maksudnya perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat,

b. Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya
atau penderitaan psikis berat pada seseorang,

c. Kekerasan Seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang

Dokumen yang terkait

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA INCEST (Studi Putusan No.24/Pid.B/2012/PN.KLD)

3 21 44

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan PN Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS)

0 7 61

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA WARGA NEGARA ASING (Studi Putusan MA Nomor:1599 K/Pid.Sus/2012)

1 28 64

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK

0 4 60

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK)

0 0 12

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT (STUDI KASUS PUTUSAN NO.30/PID/2013/PT.TK)

0 2 11

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KELALAIAN YANG MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA (Studi Putusan Nomor: 144/Pid.Sus/2013/PN.M)

0 0 13

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA PERCOBAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERZINAHAN (Studi Kasus Putusan No: 300/Pid.B/2017/PN.Tjk)

0 0 13

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)

0 1 15

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PROYEK PELEBARAN JALAN (Studi Perkara Nomor 15Pid.Sus.TPK2015PN.Tjk.) (Jurnal Skripsi)

0 2 14