ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK)

  

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM

DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU

PENCABULAN TERHADAP ANAK

(Studi Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK)

Oleh

  

Rachmad Afandi Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung. Email: rachmad.afandi @rocketmail.com. Erna Dewi,

Dona Raisa Monica. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lampung Jalan Soemantri Brojonegoro Nomor 1 Bandar Lampung 35145.

  

Abstrak

  Hakim dalam menjatuhkan putusan harus memiliki dasar pertimbangan yang di dasarkan pada keyakinan serta didukung oleh adanya alat-alat bukti yang sah sehingga putusan yang dijatuhkan hakim benar-benar memenuhi rasa keadilan masyarakat. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pencabulan terhadap anak dalam Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK? (2) Apakah pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku pencabulan terhadap anak dalam Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK sudah sesuai dengan rasa keadilan? Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan pada anak dalam Putusan Nomor 66/Pid/2013/PT.TK terdiri pertimbangan yuridis dan non yuridis. Secara yuridis putusan dijatuhkan dengan dasar terpenuhinya alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 183 dan 184 KUHAP, serta terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Sementara itu pertimbangan non yuridis terdiri dari hal yang memberatkan dan meringkankan. Hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa mengakibatkan korban kehilangan kesucian. Hal-hal yang meringankan, yaitu terdakwa mengakui perbuatannya, telah melakukan perdamaian dengan korban dan keluarganya dan sopan dalam persidangan. Hakim menggunakan teori keseimbangan, yaitu mempertimbangkan adanya keseimbangan antara perbuatan terdakwa dengan aspek- aspek lain yang berkaitan dengan terjadinya pencabulan tersebut, seperti perbuatan dilakukan dengan dasar suka sama suka, adanya upaya perdamaian yang telah ditempuh pelaku dengan korban dan keluarga korban, serta status pelaku dan korban yang sudah suami istri. (2) Pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku pencabulan terhadap anak pada Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK telah memenuhi unsur keadilan substantif, sebab hakim dalam menjatuhkan pidana tidak hanya berpedoman pada perundang-undangan, tetapi jug mempertimbangkan unsur-unsur

  

ANALYSIS OF BASIC LEGAL CONSIDERATIONS JUDGE

DROPPING IN CRIMINAL ACTORS ON MOLESTATION

FOR CHILDREN

(Study of Decision Number: 66/Pid/2013/PT.TK)

Abstract

  The judge in the verdict should have a basic consideration is based on the belief and supported by the evidence that is valid so that the judge handed down the verdict really satisfy the justice community. The problem of this research are: (1) What is the basic consideration of judges in imposing criminal law against perpetrators of sexual abuse against children in Decision No. 66 / Pid / 2013 / PT.TK? (2) Is the sentence imposed on the perpetrators of sexual abuse against children in Decision No. 66 / Pid / 2013 / PT.TK are in accordance with the sense of justice? The results showed: (1) Basic considerations judges in imposing criminal offense to decency in children in Decision No. 66 / Pid / 2013 / PT.TK comprising juridical and non- juridical considerations. Legally the verdict on the basis of fulfillment of the evidence as provided for in Article 183 and 184 Criminal Procedure Code, as well as the fulfillment of the elements of the offenses referred to in the Penal Code and the Law on Child Protection. Meanwhile non-judicial consideration consists of aggravating and meringkankan. The burden is defendant resulted in the victim losing chastity. Things are easing, the defendant admitted his actions, has made peace with the victims and their families and courteous in the trial. Judge using equilibrium theory, which considers the balance between the actions of the defendant with other aspects related to the occurrence of abuse, such as deeds done by consensual, peace efforts that have been made perpetrators with victims and their families, as well as the status of the offender and victims who are already married. (2) The penalties imposed against the perpetrators of sexual abuse against children in Decision No. 66 / Pid / 2013 / PT.TK has met the elements of substantive justice, because judges in criminal dropping not only guided by the provisions of the legislation, but the jug into account the elements such as has been the case for peace and the defendant is willing to marry his victim. Keywords: Analysis, Legal Considerations, obscene, Children

I. Pendahuluan

  Setiap anak sejak lahir memiliki hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak yang menjadi korban kekerasan dalam kehidupan sehari-hari, menunjukkan posisi lemahnya anak ketika mengalami kekerasan terhadap dirinya. Anak sangat rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya, di ruang-ruang publik, bahkan dirumahnya sendiri. Kekerasan terhadap anak dominan terjadi di dalam rumah tangga yang sebenarnya diharapkan dapat memberikan rasa aman, dan yang sangat disesalkan adalah kasus-kasus kekerasan terhadap anak selama ini dianggap sebagai masalah yang wajar dan tidak dianggap sebagai tindak pidana kejahatan, dan yang sering terjadi tindak kekerasan pada anak disertai dengan tindak pidana pencabulan pada anak.

  suatu pelanggaran hak-hak asasi manusia yang paling hakiki dan tidak ada suatu alasan yang dapat membenarkan tindak pidana tersebut, baik dari segi moral, susila dan agama, terutama tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh seorang pelaku terhadap anak yang masih di bawah umur. Oleh karena perbuatan pelaku tersebut dapat menimbulkan trauma fisik dan psikis terhadap korban terutama yang berusia anak-anak sehingga bisa berpengaruh pada perkembangan diri korban ketika dewasa nanti.

  Upaya perlindungan hukum kepada Anak pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 287 KUHP: (1) Barangsiapa bersetubuh dengan sorang wanita yang bukan istrinya, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umur wanita itu belum lima belas tahun, atau kalau umumya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

  (2) Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali bila umur wanita itu belum sampai dua belas tahun atau bila ada salah satu hal seperti tersebut dalam Pasal 291 dan Pasal 294.

  Perkembangan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana kesusilaan selanjutnya diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor

1 Tindak pidana pencabulan merupakan

  23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Latar belakang pemberlakuan Undang-Undang Nomor

  23 Tahun 2002 adalah masih sering terjadinya berbagai bentuk perilaku orang dewasa yang melanggar hak-hak anak di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu Nomor 23 Tahun 2002 diberlakukan dalam rangka pemenuhan hak-hak anak dalam bentuk perlindungan hukum yang meliputi hak atas kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak atas perlindungan dan hak untuk berpartisipasi dalam korban tindak pidana kesusilaan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum secara pasti sesuai dengan Hak Asasi Manusia.

  Perlindungan kepada anak-anak yang menjadi korban tindak pidana kesusilaan dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem dan mekanisme perlindungan hukum dan sosial bagi bagi anak yang beresiko atau menjadi korban tindak pidana kesusilaan. Selain itu sangat penting pula dilakukan upaya pemulihan dan reintregasi anak korban tindak pidana kesusilaan.

  Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum. Dalam menjatuhkan putusan hakim harus memiliki dasar pertimbangan yang di dasarkan pada keyakinan serta didukung oleh adanya alat-alat bukti yang sah sehingga putusan yang dijatuhkan hakim benar-benar memenuhi rasa keadilan masyarakat. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat. Sebagai contoh perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh lelaki dewasa adalah Perkara Nomor: 66/Pid/2013/ PT.TK. Terdakwa bernama Maesa Andika Setiawan (29 tahun) terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak dalam Pasal 81 Ayat (1) dan (2) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: 1) Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). 2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

  Permasalahan penelitian adalah:

  a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pencabulan terhadap anak dalam Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK?

  b. Apakah pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku pencabulan terhadap anak dalam Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK sudah sesuai dengan rasa keadilan?

  Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pencabulan terhadap anak dalam Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK

  b. Untuk mengetahui pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku pencabulan terhadap anak dalam Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber penelitian adalah Hakim Pengadilan Negeri Kelas

  IA Tanjung Karang. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. LSM Lembaga Advokasi Anak (Lada) Bandar Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

II. Pembahasan

A. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Pencabulan Terhadap Anak dalam Putusan Nomor: 66/Pid /2013/ PT.TK

  Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa secara yuridis, tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184) Uraian mengenai alat-alat bukti dalam perkara Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor: 66/Pid./2013/PT.TK adalah sebagai berikut:

  Kurniadi menjelaskan bahwa setelah pulang mancing dari Pantai Puri terdakwa kembali ke rumah saksi Agum Kurniadi di Jl. Abdul Mutolib Gg. Jeruk No. 17 Kel. Segala Mider Kec. Tanjung Karang Barat Bandar Lampung untuk istirahat dan pada malam harinya terdakwa dan saksi korban tidur bersama di kamarnya miliknya, sedangkan saksi Agum Kurniadi tidur di kamar lainnya bersama teman temannya.

  2. Keterangan Ahli: Keterangan Ahli dari Dokter Rumah Sakit Bumi Waras selaku menerangkan bahwa berdasarkan hasil visum et repertum terhadap korban Chairunnisa als Chacha als Enca, ditemukan terjadinya robek pada selaput dara korban akibat benda tumpul, selain itu ditemukan sedikit luka pada kemaluan korban.

  3. Surat: Surat hasil visum et repertum dari Dokter Rumah Sakit Bumi Waras Bandar Lampung Nomor: 113/visum/RSBW-BDL/2013 menyatakan bahwa telah terjadi robek pada selaput dara korban akibat benda tumpul, selain itu ditemukan sedikit luka pada kemaluan korban Chairunnisa als Chacha als Enca.

  4. Petunjuk: Petunjuk dalam perkara ini adalah 1 (Satu) lembar baju warna hitam tanpa lengan, 1 (Satu) lembar celana panjang jean warna biru, dikembalikan kepada saksi korban dalam hal ini saksi: Chairunnisa als Chacha als Enca

  5. Keterangan Terdakwa: Terdakwa menerangkan bahwa ia dan saksi korban tidak jadi membeli ikan melainkan pergi ke pantai Mutun bersama 9 (Sembilan) orang teman lainnya untuk memancing hingga keesokan harinya. Pada hari Senin 10

1. Keterangan Saksi: Saksi Agum

  pulang dari Pantai Mutun dan kemudian menuju rumah saksi Agum Kurniadi di Jl. Abdul Mutolib Gg. Jeruk No. 17 Kel. Segala Mider Kec. Tanjung Karang Barat Bandar Lampung dan di rumah itulah terjadi persetubuhan antara pelaku dengan korban. Sesuai dengan alat-alat bukti yang terungkap di dalam persidangan tersebut maka majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa berupa pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan denda sebesar Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan.

  Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian dapat dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya.

  kehakiman mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.

  3 Berdasarkan hasil wawancara dengan

  Mardison, menyatakan bahwa kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

  4 Dasar pertimbangan hakim secara non

  yuridis dalam menjatuhkan pidana pada Maesa Andika Setiawan alias Dika Bin Suprapto pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak di bawah umur dalam Perkara Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK, terdiri dari hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan, yaitu sebagai berikut:

2 Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan

  1. Hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa mengakibatkan korban kehilangan kesucian

  2. Hal-hal yang meringankan, yaitu:

  a) Terdakwa mengakui perbuatannya 3 Ibid, hlm.121. 4 Hasil wawancara dengan Mardison. Hakim b) Terdakwa telah melakukan perdamaian dengan korban dan keluarganya c) Terdakwa sopan dalam persidangan

  Berdasarkan hal di atas, dapat penulis analisis bahwa hal yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan tersebut mengakibatkan korban kehilangan kesucian, sehingga masa depan korban yang masih masuk dalam kategori anak menjadi suram. Menurut pendapat penulis, seharusnya korban tidak diperlakukan sebagai objek pemuasan seksual oleh pelaku, namun pada sisi lain pelaku dan korban mengakui bahwa perbuatan tersebut didasarkan pada perasaan suka sama suka di antara keduanya, sehingga terjadilah peristiwa pencabulan itu. Hakim dalam konteks yang demikian mempertimbangkan banyak faktor, bukan hanya pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan tetapi juga psikologis dan kejiwaan pelaku dan korban yang melakukan perbuatan atas dasar suka sama suka. Selanjutnya menurut penulis hal-hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui perbuatannya, telah melakukan perdamaian dengan korban dan keluarganya dan bersikap sopan dalam persidangan. Menurut pendapat penulis faktor-faktor ini sepatutnya dijadikan sebagai dasar yang meringankan putusan, sebab Terdakwa menunjukkan adanya rasa bersalah dan rasa penyesalan atas perbuatannya. Terdakwa memberikan penjelasan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya, hal di atas juga sepatutnya menjadi pertimbangan bagi hakim untuk pidana pencabulan terhadap anak berlaku sopan dan mau bertanggungjawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur, karena akan mempermudah jalannya persidangan.

  5 Berdasarkan hasil wawancara dengan

  Mardison, menyatakan bahwa diketahui bahwa penuntut umum memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, maka penuntut umum menentukan apakah berkas perkara tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke Pengadilan.

  6 Secara lebih khusus mengenai tindak

  pidana pencabulan kepada anak, seorang tersangka pelaku dapat dikenakan dakwaan berlapis, yaitu Ayat (2) Pasal 290 KUHP: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang pada diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin: Ayat (3) menyebutkan: barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak 5 Ibid, hlm.123. 6 Hasil wawancara dengan Mardison. Hakim jelas yang bersangkutan atau yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain. Setelah berkas perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dilimpahkan oleh penuntut umum ke pengadilan maka, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan maka dilaksanakanlah proses pengadilan terhadap terdakwa pelaku pencabulan terhadap anak.

  Mardison, menyatakan bahwa pada dasarnya Pengadilan Negeri berupaya semaksimal mungkin menegakkan keadilan melalui proses pengadilan, di mana berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan, hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa tindak pidana pencabulan terhadap anak sesuai dengan amanat KUHP dan Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

  pada dasarnya hukum merupakan pedoman atau pegangan bagi manusia yang digunakan sebagai pembatas sikap, tindak atau perilaku dalam melangsungkan antar hubungan dan antar kegiatan dengan sesama manusia lainnya dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

  Berdasarkan hasil wawancara dengan Tri Andrisman, menyatakan melalui putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana, 7 Primautama Dyah Savitri. Op.Cit. hlm.12. 8 Hasil wawancara dengan Mardison. Hakim maka selesailah sudah tugas hukum pidana di dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman pelaku tindak pidana. Sejauh mana tanggung jawab negara ini memberikan perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak pidana perkosaan dipenuhi secara baik dalam sistem hukum yang berlaku di negara saat ini.

  Kekuasaan kehakiman sebagai suatu badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan- putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum.

7 Berdasarkan hasil wawancara dengan

  9 B. Keadilan dalam Pidana yang Dijatuhkan Terhadap Pelaku Pencabulan Terhadap Anak pada Putusan Nomor: 66/ Pid/ 2013/ PT.TK

8 Hal ini sesuai dengan konsep bahwa

  Keadilan secara umum merupakan perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa

  yang menjadi haknya, jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.

10 Berdasarkan hasil wawancara dengan

  Mardison, menyatakan bahwa pemaknaan keadilan pada praktiknya dalam penanganan masalah hukum ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.

11 Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil.

  Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil. Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara formal- prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. 10 Sudikno Mertokusumo. Op.Cit. hlm.107. 11 Hasil wawancara dengan Mardison. Hakim

  Putusan hakim dalam Perkara nomor 66/Pid/2013/PT.TK telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat (inkracht van gewijsde). Hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap berkaitan perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang menyatakan bahwa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah: (1) Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Hukum Acara Pidana; (2) Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau (3) Putusan kasasi.

  Sesuai dengan ketentuan di atas, maka suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah: pertama, Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 Ayat (2) jo. Pasal 234 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van

  rechts vervolging), dan putusan

  pemeriksaan acara cepat karena putusan- putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP).

  Kedua, putusan pengadilan tingkat

  banding yang tidak diajukan kasasi kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 Ayat (1) jo. Pasal 246 Ayat (1) KUHAP). Ketiga Putusan kasasi.

  Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.

12 Berdasarkan hasil wawancara dengan

  Turraihan Aldi, menyatakan bahwa yang dilakukan oleh pelaku dengan korban dan keluarganya sesuai dengan konsep keadilan restoratif merupakan paradigma baru dalam penegakan hukum pidana, meski sebenarnya konsep ini sudah lama berkembang dan dipraktikkan dalam penyelesaian perkara pidana.

  yang teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi yang bersifat parsial ternyata sifat publik dari hukum pidana bergeser sifatnya karena relatif juga memasuki ranah privat dengan dikenal dan dipraktekan mediasi penal sebagai sebuah bentuk penyelesaian perkara di luar peradilan. Sistem peradilan pidana Indonesia dalam menangani tindak kejahatan hampir seluruhnya selalu berakhir di penjara. Padahal penjara 12 Satjipto Rahardjo, Op.Cit. hlm. 31-32 bukanlah solusi terbaik dalam menyelesaikan tindak kejahatan, khususnya tindak kejahatan dengan “kerusakan” yang ditimbulkannya masih bisa direstorasi, sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan ke keadaan semula. Restorasi tersebut memungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku. Paradigma penghukuman dikenal sebagai keadilan restoratif (restorative justice), yaitu penyelesaian perkara di luar peradilan, di mana salah satu upayanya adalah pelaku memperbaiki kerugian bagi korban, keluarganya dan masyarakat.

  Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalsis bahwa perdamaian ditempuh sebagai upaya untuk menyelesaikan perkara di luar peradilan. Hal ini dikarenakan pemidanaan yang diwujudkan dalam proses pengadilan bertujuan untuk prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum yaitu dengan dipidananya pelaku kejahatan maka ia diharapkan akan mengurungkan niatnya untuk berbuat jahat, sedangkan prevensi khusus yaitu dengan telah diselesainya menjalani pidana maka ia diharapkan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Persyaratan pidana pada umumnya meliputi persyaratan- persyaratan yang menyangkut segi perbuatan dan segi orang. Kedua segi tersebut terdapat dua asas yang saling berpasangan yaitu asas legalitas yang menyangkut segi perbuatan dan asas culpabilitas atas asas kesalahan yang menyangkut segi orang. Asas legalitas menghendaki adanya ketentuan yang pasti lebih dahulu, sedangkan asas kesalahan menghendaki agar hanya orang yang benar-benar bersalah saja

13 Perubahan dan dinamika masyarakat

  Berdasarkan uraian diketahui tugas hakim sangatlah berat, karena tidak hanya mempertimbangkan kepentingan hukum saja dalam putusan perkara yang dihadapi melainkan juga mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat agar terwujud adanya kepastian hukum. Putusan hakim memang tetap dituntut oleh masyarakat untuk berlaku adil, namun sebagai manusia juga hakim dalam putusannya tidaklah mungkin memuaskan semua pihak, tetapi walaupun begitu hakim tetap diharapkan menghasilkan putusan yang seadil-adilnya sesuai fakta-fakta hukum di dalam persidangan yang didasari pada aturan dasar hukum yang jelas (azas legalitas) dan disertai dengan hati nurani hakim. Bahkan hakim juga disebut sebagai wakil Tuhan di dunia dalam arti harus tercermin dalam putusan perkara yang sedang ditanganinya, maka sebagai seorang hakim tidak perlu ragu, melainkan tetap tegak dalam garis kebenaran dan tidak berpihak (imparsial), namun putusan hakim juga paling tidak dapat dilaksanakan oleh pencari keadilan atau tidak hanya sekedar putusan yang tidak bisa dilaksanakan.

  kewenangan mengadili setiap perkara yang ditangani dan didasari pada Surat Dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan dihubungkan dengan penerapan dasar hukum yang jelas, termasuk di dalamnya berat ringannya penerapan pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan), hal ini sesuai asas hukum pidana yaitu asas legalitas yang diatur pada Pasal 1 Ayat (1) KUHP yaitu Hukum Pidana harus bersumber pada undang - undang, artinya pemidanaan haruslah berdasarkan Undang-Undang. Terkait hakim yang menjatuhkan pidana minimal terhadap terdakwa, menurut penulis hal tersebut tidak selamanya dapat diterapkan karena berpotensi menjadi yurisprudensi di masa-masa yang akan datang, namun demikian Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa putusan hakim bersifat independen dan harus bebas dari intervensi dari pihak manapun, dalam kondisi yang demikian semua putusan hakim harus memenuhi kepentingan korban atas keadilan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

  15 Menurut pendapat penulis, pidana yang

  dijatuhkan terhadap pelaku pencabulan terhadap anak pada Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK telah memenuhi unsur keadilan, sebab hakim dalam menjatuhkan pidana tidak hanya berpedoman ketentuan peraturan perundang-undangan, tetapi juga mempertimbangkan unsur-unsur lainnya seperti telah terjadi perdamaian dan terdakwa bersedia menikahi korbannya. Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan melalui putusannya yang didasarkan pada keyakinan, integritas moral yang baik serta mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa keadilan hakim dalam proses peradilan tidak hanya mengacu pada ketentuan hukum secara formal, tetapi juga mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan kepentingan pelaku, korban, keluarga dan masyarakat pada umumnya.

14 Putusan hakim merupakan hasil dari

DAFTAR PUSTAKA

III. Simpulan

  Grafika. Savitri, Primautama Dyah. 2006. Benang

  Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 168/Pid.B/ 2013/ PN.TK

  Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

  Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah

  Jakarta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-

  Merah Tindak Pidana Pelecehan Seksual. Penerbit Yayasan Obor.

  1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan pada anak dalam Putusan Nomor 66/Pid/2013/PT.TK terdiri pertimbangan yuridis dan non yuridis. Secara yuridis putusan dijatuhkan dengan dasar terpenuhinya alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 183 dan 184 KUHAP, serta terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Sementara itu pertimbangan non yuridis terdiri dari hal yang memberatkan dan meringkankan. Hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa mengakibatkan korban kehilangan kesucian. Hal-hal yang meringankan, yaitu terdakwa mengakui perbuatannya, telah melakukan perdamaian dengan korban dan keluarganya dan sopan dalam persidangan.

  2. Pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku pencabulan terhadap anak pada Putusan Nomor: 66/Pid/ 2013/ PT.TK telah memenuhi rasa keadilan, sebab hakim dalam menjatuhkan pidana tidak hanya berpedoman ketentuan peraturan perundang- undangan, tetapi juga mempertimbangkan unsur-unsur lainnya seperti telah terjadi perdamaian dan terdakwa bersedia menikahi korbannya. Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan melalui putusannya yang didasarkan pada keyakinan, integritas moral yang baik

  Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum

  Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

  Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam

  Jakarta. Rahardjo, Satjipto. 1996. Hukum dalam

  Eksploitasi Kekerasan Seksual pada Anak. Ford Foundation.

  Arivia, Gadis. 2005. Potret Buram

  oleh Hakim dalam Persfektif HukumProgresif, Jakarta: Sinar