41 1975 menekankan transformasi struktural dari segi adanya pergeseran tenaga kerja
dan investasi yang bersifat permanen dari sektor pertanian ke sektor industri yang akhirnya ke sektor jasa.
Menurut Widodo 1997, transform asi struktur produksi ditandai dengan terjadinya penurunan pangsa relatif sektor pertanian terhadap produk domestik
bruto, hal ini juga menunjukkan relatif lambatnya peningkatan laju pertumbuhan produksi dan nilai tambah bruto sektor pertanian terhadap sektor non pertanian.
Dengan makin tingginya pendapatan suatu negara, maka pangsa sektor pertanian semakin kecil ini disebabkan karena meningkatnya suatu pendapatan akan
berdampak terhadap meningkatnya daya beli masyarakat terhadap barang-barang industri dan jasa. Sedangkan menurut Sukirno 1982, penurunan pangsa relatif
sektor pertanian disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: 1 semakin lambatnya permintaan barang-barang pertanian dibandingkan dengan sektor non pertanian dan
2 adanya kemajuan teknologi produksi di sektor pertanian yang begitu cepat. Di Indonesia peranan sektor pertanian selama proses pertumbuhannya hanya
menjadi pasar bagi produk-produk industri penghasil devisa dari ekspor. Peranannya adalah sebagai penyedia bahan baku, modal dan tenaga kerja bagi suatu industri. Hal
ini disebabkan kurang keterkaitan pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor industri. Kurangnya keterkaitan ini, baik dari segi produksi maupun penyerapan
tenaga kerja namun hal ini dapat mempengaruhi proses transformasi struktural itu sendiri.
3.4. Kualitas Sumberdaya Manusia Sektor Pertanian di Indonesia
Faktor pendidikan bagi penduduk suatu negara biasanya berkaitan dengan masalah kualitas sumberdaya manusia, baik sebagai manusia individu maupun
42 sebagai kelompok sosial. Menyimak pengalaman pembangunan bangsa di negara-
negara maju, faktor pendidikan merupakan variabel sangat penting dalam rangka memacu kemandirian bangsa dan manggapai kemajuan. Menurut Widodo 1997,
pendidikan merupakan variabel masukan input yang memiliki determinasi kuat terhadap kualitas manusia individu dan penduduk sosial. Masukan dari kualitas
akan menghasilkan output yang berupa produktivitas, kreativitas, etos kerja dan kemandirian baik di sektor ekonomi maupun di sektor non ekonomi.
Secara umum peningkatan kualitas sumberdaya manusia dapat dicapai melalui pendidikan maupun berdasarkan pengalaman. Akan tetapi peningkatan
sumberdaya manusia melalui pengalaman membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan dengan melalui pendidikan, sehin gga salah satu indikator yang
lebih representatif untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia adalah melalui tingkat pendidikan yang pernah dicapai Tambunan, 1996. Berpedoman pada
indikator tersebut, maka dapat dilihat perkembangan kualitas sumberdaya pen duduk Indonesia selama periode 1961 – 2001 pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Tingkat Pendidikan, Tahun
1961 – 2001
Tingkat Pendidikan 1961
1971 1980
1990 2001
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD
Tamat SD Pendidikan Menengah
pertama dan atas Pendidikan lanjutan
akademi dan universitas 68.1
16.7 11.8
3.1 0.3
45.2 -3.1
25.1 4.6
21.6 7.6
7.7 13.5
0.4 3.0
31.9 -2.9
33.0 3.2
22.1 0.2
12.4 6.1
0.6 5.0
18.9 -3.7
24.6 -2.3
30.1 3.3
24.8 9.1
1.6 15.2
8.0 -4.8
15.0 -3.3
34.9 1.3
38.2 4.5
3.9 12.0
Total 100
100 100
100 100
Sumber : Hill, 1996 1961-1990 dan BPS, 2001 Keterangan :
Angka dalam kurung menunjukkan tingkat pertumbuhan th pada masing-masing per iode yaitu 1961-1971; 1971-1980; 1980-1990;
1990-2001
43 Berdasarkan Tabel 2 maka dapat dijelaskan bahwa pada periode 1961 – 1980
kondisi kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih sangat rendah, hal itu terbukti lebih dari 50 persen penduduk Indonesia dengan rata-rata tingkat pendidikan tidak
tamat sekolah dasar ke bawah, dan bahkan selama periode tersebut sekitar 31.9 – 68.1 persen tidak pernah sekolah. Penduduk yang berpendidikan setingkat sekolah
dasar baru 11.8 – 22.1 persen, dan yang berpendidikan menengah sekitar 3.1 – 12.4 persen, dan bahkan yang berpendidikan lanjutan ke atas baru 0.3 – 0.6 persen.
Mulai tahun 1990, kualitas sumberdaya manusia Indonesia didominasi oleh kualitas setara sekolah dasar, dimana pada tahun tersebut proporsi penduduk
Indonesia yang berpendidikan sekolah dasar sekitar 30.1 persen dan pada tahun 2001 meningkat menjadi 34.9 persen. Peningkatan jumlah penduduk yang
berpendidikan setingkat menengah dan lanjutan juga mulai mengalami peningkatan yang cukup berarti. Bahkan pada tahun 2001, komposisi penduduk yang
berpendidikan setingkat pendidikan menengah sudah mulai mendominasi yaitu sebesar 38.2 persen dengan peningkatan sekitar 4.5 persen per tahun selama periode
1990 – 2001. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan sumberdaya manusia di Indonesia, terbukti adanya peningkatan komposisi jumlah penduduk
yang berpendidikan sekolah dasar, setingkat pendidikan menengah dan seterusnya. Namun masalah yang timbul adalah apakah penduduk atau sumberdaya manusia
yang telah mengalami perbaikan di tingkat pendidikan akan otomatis bisa terserap oleh sektor yang mereka harapkan, atau sektor industri dan jasa. Lebih jauh
distribusi tenaga kerja menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 maka dapat dijelaskan bahwa selama periode 1976 –
2001 sumberdaya manusia Indonesia baik yang bekerja di sektor pertanian maupun
44 sektor non pertanian didominasi oleh sumberdaya manusia dengan kualifikasi
pendidikan tamat sekolah dasar ke bawah. Untuk sektor pertanian, selama periode 1976 - 1986, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada tenaga kerja dengan
kualifikasi tamat perguruan tinggi yang bekerja pada sektor ini karena jumlahnya relatif sangat kecil sekali, akan tetapi pada tahun 2001 sudah mulai
meningkat dan menjadi sebesar 0.17 persen. Tabel 3. Distribusi Tenaga Kerja Menurut Tingkat Pendidikan, Tahun 1976,
1986 dan 2001
Sektor Pertanian Sektor non Pertanian
Tingkat Pendidikan 1976
1986 2001
1976 1986
2001 Tdk.pernah sekolah
Tdk.Tamat SD Tamat SD
Tamat SLTP Tamat SLTA
Tamat P T 34.7
37.9 25.3
1.7 0.4
- 24.2
36.3 34.0
4.3 1.2
- 11.83
23.92 45.61
13.10
5.37 0.17
22.0 30.1
28.5 9.1
8.9 1.4
12.5 23.4
33.1 12.3
15.9
2.8 7.56
16.91 38.09
16.96 17.80
2.68 Total persen
100 100
100 100
100 100
Angkatankerja.000 29 695
37 645 39 744
18 620 30 694
90 807 Sumber : Suryana, 1989; BPS 2001
Keterangan : tanda - menunjukkan persentasenya sangat keci
Sementara itu, selama periode 1976 - 2001 jumlah tenaga kerja dengan kualifikasi tamat perguruan tinggi yang bekerja di sektor non pertanian berkisar 1.4
– 2.7 persen terutama terserap pada sektor tersier jasa keuangan dan perdagangan. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pada aspek pendidikan telah terjadi
perbaikan kualitas sumberdaya manusia, namun perbaikan kualitas sumberdaya manusia tersebut belum mampu diimbangi adanya peningkatan daya serap atau
penciptaan lapangan kerja yang sesuai dengan kualitas dan kualifikasi pendidikan sehingga akhirnya dapat dapat bersaing menghadapi era globalisasi Bali Post,
2005. Hal ini sangat menarik bila dikaitkan dengan masih banyaknya sumberdaya manusia yang berkualifikasi sarjana menganggur. Sebenarnya,
45 lambannya pembangunan ekonomi bukan merupakan penyebab utama tetapi karena
kualitas sumberdaya manusia bila dilihat dari sisi tingkat pendidikan terbukti masih rendah.
46
IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS
4.1.
Kerangka Model
Model merupakan suatu penjelasan dari fenomena aktual sebagai suatu sistem atau proses yang sistematis Koutsoyiannis, 1977. Model ekonometrika
adalah suatu pola khusus dari suatu model aljabar, yaitu suatu unsur yang sifatnya stochastic yang mencakup satu atau lebih variabel pengganggu
Intriligator, 1978. Unsur stokastik ini memperhitungkan unsur-unsur yang sifatnya random,
yang merupakan kekhususan dari model ekonometrika. Selanjutnya dalam hubungan teori atau model ekonomi matematika yang umumnya adalah menggunakan
hubungan yang bersifat eksak atau deterministic, kerandoman ini biasanya diabaikan. Disamping itu, menurut Koutsoyiannis 1977 suatu model dikatakan
baik apabila memenuhi berberapa kriteria diantaranya ekonomi, statistik dan ekonometrika. Sedangkan menurut Eriyatno 1989 dalam Kagami 2000, model
adalah merupakan suatu abstraksi realitas, maka wujudnya kurang komplek dibandingkan dengan realitas itu sendiri, dimana model dikatakan lengkap bila dapat
mewakili berbagai aspek penting dan realitas yang dikaji. Berpijak pada kerangka pemikiran yang tertuang di atas, maka dapatlah
dirumuskan suatu model ekonometrika yang diharapkan dapat menangkap permasalahan-permasalahan dan tujuan dari penelitian ini. Kemudian untuk
menjelaskan lebih lanjut tentang model persamaan simultan dari model ekonomi kesempatan kerja dan transformasi tenaga kerja sektor pertanian dan sektor non
pertanian di Indonesia dapat dilihat interdependesi antar variabel seperti pada Gambar 2.
47
Gambar 2. Diagram Model Kesempatan Kerja dan Transformasi Tenaga Kerja di Indonesia
48
4.2. Perumusan Model