Uji Patogenisitas Pembuatan Preparat Histopatologi Pemeriksaan Preparat Histopatologi Analisis Data Pembahasan

3 ginjal yang telah dihancurkan pada permukaan agar dalam cawan dengan menggunakan ose steril. Setelah itu, bakteri diinkubasi pada suhu kamar selama 24-48 jam. Identifikasi bakteri dilakukan dengan tahap awal berupa pemisahan jenis koloni yang tumbuh berdasarkan warna, bentuk, tepian, dan elevasinya. Setiap jenis koloni yang berbeda selanjutnya diuji dengan menggunakan uji gram, Sulfide Indol Motil SIM, Oksidase, Katalase, dan uji OksidatifFermentatif OF. Selanjutnya, berdasarkan hasil uji bakteri tersebut, dilakukan identifikasi genus bakteri dengan mengunakan tabel Cowan 1974. Tahapan uji yang dilakukan dapat dilihat pada lampiran.

2.3. Uji Patogenisitas

Uji Patogenisitas dilakukan untuk menguji ketahanan ikan setelah dilakukan injeksi isolat bakteri dari hasil isolasi sebelumnya. Tahap yang dilakukan antara lain pengulturan bakteri. Bakteri yang telah diperoleh dikultur kembali untuk mendapatkan bakteri yang lebih muda dan virulen. Tahap pengenceran bakteri dilakukan sampai mencapai kepadatan bakteri 10 7 cfuml. Proses penyuntikan bakteri dilakukan secara intramuskular pada tubuh ikan. Dosis yang disuntikkan pada masing-masing ikan sebanyak 10 7 cfuekor. Peliharaan ikan dilakukan selama 10 hari untuk mengetahui kelangsungan hidup ikan tersebut. Kemudian dilakukan reisolasi bakteri yang terdapat dalam ginjal ikan yang telah diinfeksi.

2.4. Pembuatan Preparat Histopatologi

Pembuatan preparat histopatologi terdiri dari tiga tahapan besar yaitu fiksasi jaringan dan parafinasi, pemotongan jaringan serta pewarnaan jaringan Angka et.al. 1990.. Tahapan fiksasi dapat dilihat pada lampiran.

2.5. Pemeriksaan Preparat Histopatologi

Preparat histopatologi berupa organ ginjal diamati dengan menggunakan mikroskop perbesaran 40x hingga 1000x sesuai dengan kejelasan objek. Kemudian hasil yang diperoleh didokumentasikan dengan menggunakan kamera dan hasil tersebut dibandingkan dengan literatur yang ada. 4

2.6. Analisis Data

Data yang diperoleh diidentifikasi secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara kualitatif berdasarkan pada bentuk morfologi bakteri serta melihat preparat histopatologi dengan bantuan mikroskop. Analisis data secara kuantitatif didasarkan dari jumlah bakteri. 5 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Identifikasi Bakteri Dari pemeriksaaan bakteri pada organ ginjal diperoleh hasil adanya bakteri berupa Vibrio sp. Penggolongan dan jumlah total bakteri yang terdapat pada organ ginjal ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah total bakteri Vibrio pada organ ginjal Tanggal Kode lokasi Jumlah total Vibrio cfuml 2642010 A 2,03 x10 6 B 0,29 x10 6 C 1,30 x10 6 552010 A 0,45 x10 6 B 0,33 x10 6 C 0,29 x10 6 1452010 A 0,03 x10 6 B 0,01 x10 6 C 0,05 x10 6 2252010 A 0,23 x10 6 B 0,03 x10 6 C 0,04 x10 6 Jumlah total bakteri Vibrio yang terdapat pada organ ginjal mempunyai hasil yang berbeda-beda Tabel 1. Jumlah total bakteri Vibrio yang terbanyak ditemukan pada kode lokasi A dengan jumlah sebesar 2,03 x10 6 cfuml , kode lokasi B menunjukkan jumlah total bakteri sebanyak 0,33 x10 6 cfuml, dan jumlah total bakteri yang diperoleh pada kode lokasi C sebesar 1,30 x10 6 cfuml. Identifikasi untuk mengetahui bakteri yang menyerang ikan kerapu bebek dilakukan dengan menggunakan uji pewarnaan gram, uji fisiologis, serta uji biokimia. Hasil yang diperoleh dalam uji tersebut ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil uji pewarnaan gram, uji fisiologis, dan uji biokimia Jenis uji Hasil Vibrio sp. 1 Vibrio sp. 2 Vibrio sp. 3 Pewarnaan gram Negatif, batang Negatif, batang Negatif, batang OF Fermentatif Fermentatif Fermentatif Oksidase - - - Katalase + + - SIM + + + Warna koloni Kuning Hijau Kuning 6 a b c Gambar 1. Vibrio sp. 1 a, Vibrio sp. 2 b, Vibrio sp. 3 c bar = 20µm. Tabel 2 menunjukkan hasil uji pewarnaan gram, uji fisiologis dan uji biokimia pada isolat bakteri yang kemudian dapat digolongkan dalam berbagai jenis. Penggolongan tersebut diantaranya Vibrio sp. 1, Vibrio sp. 2, Vibrio sp. 3. Ciri dari Vibrio sp.1 yaitu berbentuk batang, warna koloni kuning, berupa gram negatif, fermentatif, oksidase negatif, katalase positif, dan SIM positif. Untuk Vibrio sp. 2 mempunyai ciri sebagai berikut: berbentuk batang, warna koloni hijau, berupa gram negatif, fermentatif, oksidase negatif, katalase positif, dan SIM positif. Sedangkan Vibrio sp. 3 mempunyai ciri yaitu yakni berbentuk batang, warna koloni kuning, berupa gram negatif, fermentatif, oksidase negatif, katalase negatif, dan SIM positif.

3.1.2. Uji Patogenitas

Penyuntikan isolat bakteri Vibrio ke dalam tubuh ikan dilakukan untuk mengetahui patogenitas bakteri yang ditemukan. Pengamatan ikan dilakukan 10 hari setelah penyuntikan dengan isolat bakteri Vibrio dengan kepadatan 10 7 cfuekor dapat dilihat pada Tabel 3. 7 Tabel 3. Gejala klinis ikan setelah proses penyuntikan Hari ke- Pascainfeksi Perlakuan Vibrio sp. 1 Vibrio sp. 2 Vibrio sp. 3 1 - - - 2 - - - 3 - - - 4 - - - 5 - - - 6 - - - 7 + - ++ 8 ++ ++ +++ 9 +++ +++ ++ 10 + ++ +++ Keterangan: - = tidak ada gejala klinis + = adanya pendarahan operkulum ++ = adanya pembengkakan anus +++ = adanya pengeroposan sirip Ikan yang telah diinfeksi dengan menggunakan isolat Vibrio menunjukkan adanya tanda gejala klinis Tabel 3. Gejala klinis tersebut terlihat pada hari ke-7 untuk ikan yang telah diinfeksi dengan menggunakan Vibrio sp.1 dan Vibrio sp.3. Sedangkan untuk Vibrio sp.2 gejala klinis yang terlihat pada hari ke-8 pasca penyuntikan. Gejala klinis yang terlihat yakni adanya pendarahan pada operkulum, pembengkakan pada anus, serta penggeroposan sirip. Ikan yang menunjukkan gejala klinis yang terinfeksi oleh bakteri Vibrio terlihat pada Gambar 2. a b c Gambar 2. Gejala klinis pasca injeksi, a pendarahan pada operkulum, b pembengkakan anus, c penggeroposan sirip Pengamatan ikan pasca penyuntikan dengan isolat bakteri Vibrio dengan kepadatan 10 7 cfuekor menghasilkan mortalitas seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. 8 Tabel 4. Mortalitas ikan kerapu pasca infeksi bakteri Vibrio Perlakuan infeksi Ikan sampel Jumlah ikan mati Vibrio sp. 1 8 8 Vibrio sp. 2 8 8 Vibrio sp. 3 8 8 Hasil yang diperoleh setelah ikan diinjeksi dengan menggunakan isolat Vibrio menunjukkan tingkat kematian di akhir pemeliharaan pada hari ke-10 mortalitas ikan yang diperoleh mencapai 100.

3.1.3. Hasil Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan pra infeksi sel dan jaringan organ ginjal ikan kerapu bebek normal yang disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Ginjal ikan kerapu bebek pra infeksi dalam kondisi normal. Pemeriksaan pasca infeksi Vibrio sel dan jaringan organ ginjal memperlihatkan adanya kelainan. Kelainan yang terlihat ditunjukkan oleh Gambar 4. Gambar 4. Histopatologi ginjal yang terserang Vibrio sp. 1: nekrosis, hipertropi, hemoragi, degenerasi bar = 20µm. 9 Gambar 5. Histopatologi ginjal yang terserang Vibrio sp. 2 : nekrosis, hipertropi, hemoragi, degenerasi bar = 20µm. Gambar 6. Histopatologi ginjal yang terserang Vibrio sp. 3 : nekrosis, hipertropi, hemoragi, degenerasi bar = 20µm. Hasil histopatologi menunjukkan bahwa ginjal ikan kerapu yang diinfeksi dengan bakteri Vibrio memperlihatkan adanya kelainan. Kelainan yang terlihat pada hasil histologi menunjukkan hasil yang sama pada jenis bakteri yang berbeda. Kelainan berupa nekrosis, hipertropi, hemoragi, dan degenerasi didapatkan pada hasil histopatologi untuk organ yang diinfeksi dengan menggunakan isolat Vibrio sp. 1, Vibrio sp. 2, dan Vibrio sp. 3.

3.1.4. Kualitas air

Pengambilan sampel air dilakukan sebanyak empat kali dalam sehari. Hasil yang diperoleh ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Kisaran kualitas air Parameter kualitas air Nilai Kualitas air optimal untuk kerapu bebek Referensi Suhu C 28-29 27-32 Ghufran dan Tancung 2005 Salinitas ppt 31-34 33-35 Ghufran dan Tancung 2005 DO mgl 6,10-8,12 5 Ghufran dan Tancung 2005 Amoniak mgl 0,005-0,012 0,5 Boyd 1982 10 Kualitas air yang terdapat pada Tabel 5 menunjukkan bahwa media pemeliharaan untuk ikan kerapu bebek berada pada kisaran yang ideal bagi pertumbuhan ikan.

3.2. Pembahasan

Ditemukannya bakteri Vibrio pada benih ikan kerapu bebek yang terdapat di Pulau Payung Kepulauan Seribu merupakan indikasi lemahnya ketahanan tubuh ikan kerapu bebek tersebut. Bakteri yang menginfeksi benih ikan kerapu bebek dapat digolongkan menjadi tiga jenis berdasarkan warna koloninya, antara lain Vibrio sp.1 dengan warna koloni kuning, Vibrio sp.2 dengan warna hijau, dan Vibrio sp.3 dengan warna kuning. Adanya bakteri yang ditemukan pada benih tersebut berpengaruh pada ketahanan tubuh ikan. Ikan yang dijadikan sampel penelitian merupakan ikan yang masih mempunyai panjang 8,8-11 cm. Ukuran benih tersebut merupakan titik rawan untuk terjadinya infeksi vibriosis. Vibrio sp. merupakan salah satu bakteri patogen yang tergolong dalam divisi Bacteria, klas Schizomicetes, ordo Eubacteriales, Famili Vibrionaceae. Bakteri ini bersifat gram negatif, fakultatif anaerobik, fermentatif, bentuk sel batang dengan ukuran panjang antara 2-3 µm, menghasilkan katalase dan oksidase dan bergerak dengan satu flagella pada ujung sel Austin 1993. Vibrio merupakan patogen oportunistik yang dalam keadaan normal ada dalam lingkungan pemeliharaan, kemudian berkembang dari sifat yang saprofitik menjadi patogenik jika kondisi lingkungannya memungkinkan. Bakteri Vibrio yang patogen dapat hidup di bagian tubuh organisme lain baik di luar tubuh dengan jalan menempel, maupun pada organ tubuh bagian dalam seperti hati, usus, ginjal, dan sebagainya. Hasil yang diperoleh dari Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah total bakteri Vibrio yang terdapat pada organ ginjal mempunyai hasil yang berbeda-beda. Jumlah total bakteri yang terbanyak ditemukan pada sampling pertama dengan kode ikan A yang mempunyai koloni sebanyak 2,03 x10 6 cfuml. Kode lokasi B mempunyai jumlah total bakteri sebanyak 0,33 x10 6 cfuml, sedangkan kode lokasi C mempunyai jumlah total bakteri yang ditemukan sebanyak 1,30 x10 6 cfuml. 11 Ikan yang telah diinfeksi dengan menggunakan isolat Vibrio menunjukkan adanya gejala klinis. Gejala klinis tersebut terlihat pada hari ke-7 untuk ikan yang telah diinfeksi dengan menggunakan Vibrio sp. 1 dan Vibrio sp. 3, sedangkan untuk Vibrio sp. 2 gejala klinis yang terlihat pada hari ke-8 pasca penyuntikan. Gejala klinis yang terlihat yakni adanya pendarahan pada operkulum, pembengkakan pada anus, serta penggeroposan sirip. Infeksi V. alginoluticus, V. parahaemolyticua, V. anguilarum dan V. harveyi dengan cara infeksi secara injeksi intramuscular dan juga secara perendaman menunjukkan bahwa kepadatan bakteri hingga 10 8-10 CFUml pada ikan kerapu pasca infeksi terjadi kematian ikan pada jam ke- 8, dengan gejala terjadinya luka borok terbuka, perubahan perilaku, pergerakan lamban, keseimbangan terganggu, yaitu berputar-putar whirling dan nafsu makan berkurang, akan tetapi ikan pada perlakuan perendaman ikan bertahan hingga 24 jam-96 jam dengan injeksi bakteri V. alginolyticus 10 10 CFUml menunjukkan kematian hingga 5 jam pertama pasca injeksi dengan perubahan warna morfologi ikan menjadi lebih gelap, inflamasi, sampai abses pada bekas injeksi, timbul bercak merah pada pangkal sirip, timbul perdarahan pada insang dan mulut, perut menggelembung hingga terjadi kematian Yanuhar 2008. Mortalitas ikan kerapu yang telah ditunjukkan oleh Tabel 4 mencapai 100 pada akhir pengamatan. Penginfeksian ikan kerapu dengan menggunakan isolat Vibrio dengan kepadatan 10 7 cfuml dilakukan untuk menguji tingkat daya tahan tubuh ikan kerapu dalam menanggulangi serangan penyakit yang masuk ke dalam tubuh. Kematian yang terjadi merupakan akibat dari banyaknya jumlah bakteri Vibrio yang telah menyerang tubuh ikan kerapu. Patogenitas dari penyakit Vibriosis masih belum sepenuhnya diketahui. Tetapi faktor-faktor yang mungkin dihubungkan dengan adanya endotoksin, sifat adhesi yang membantu melekatkan bakteri ke dinding sel inang sehingga kerusakan jaringan akan terjadi Utari 1998. Protease, phospolipase, haemolisin atau exotoxin mungkin merupakan patogenitas penting untuk V. Harveyi Zhang dan Austin 2000. Hasil histopatologi menunjukkan bahwa ginjal ikan kerapu yang diinfeksi dengan bakteri Vibrio memperlihatkan adanya kelainan. Kelainan yang terlihat pada hasil histologi menunjukkan hasil yang sama pada jenis bakteri yang 12 berbeda. Kelainan berupa nekrosis, hipertropi, hemoragi, dan degenerasi didapatkan pada hasil histopatologi untuk organ yang diinfeksi dengan menggunakan isolat Vibrio sp. 1, Vibrio sp. 2, dan Vibrio sp. 3. Nekrosis merupakan jenis kematian sel ireversibel yang terjadi ketika terdapat luka berat atau lama hingga suatu saat sel tidak dapat beradaptasi atau memperbaiki dirinya sendiri. Umumnya perubahan-perubahan lisis yang terjadi dalam jaringan nekrosis dapat melibatkan sitoplasma sel, perubahan-perubahan paling jelas bermanifestasi pada inti. Inti sel yang nekrosis akan menyusut, memiliki batas yang tidak teratur dan berwarna gelap. Proses ini dinamakan piknosis. Kemungkinan lain inti dapat hancur dan membentuk fragmen-fragmen materi kromatin yang tersebar di dalam sel, proses ini disebut sebagai karioreksis. Pada beberapa keadaan, inti sel tidak dapat diwarnai lagi dan benar-benar hilang, proses ini disebut sebagai kariolisis Prince Wilson 2004. Pengaruh nekrosis mengakibatkan hilangnya fungsi pada daerah yang nekrosis. Pada beberapa keadaan daerah nekrosis dapat menjadi fokus infeksi yang merupakan medium pembiakan yang sangat baik. Bagi pertumbuhan organisme tertentu yang kemudian dapat menyebar ke tempat lain di dalam tubuh, bahkan tanpa infeksi pun adanya jaringan nekrosis di dalam tubuh dapat memicu perubahan sistemik tertentu misalnya peningkatan jumlah leukosit di dalam sirkulasi. Jaringan yang mengalami nekrosis dapat menginduksi respon peradangan dari jaringan yang berdekatan. Jaringan yang nekrosis akan hancur dan hilang memberi jalan bagi perbaikan yang mengganti daerah nekrosis dengan sel-sel yang beregenarasi, pada beberapa keadaan dengan terbentuknya jaringan luka Prince Wilson 2004. Degenerasi dapat disebabkan oleh kekurangan material esensial misalnya oksigen atau nutrisi yang vital, kekurangan sumber energi yang mengganggu metabolisme, pemanasan mekanik atau dapat disebabkan oleh luka akibat akumulasi substansi yang abnormal di dalam sel-sel yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau patogen-patogen lain seperti parasit dan toksin yang dihasilkan atau oleh bahan kimia beracun, ketidakseimbangan nutrisi dan zat-zat irritasi yang ringan Pazra 2008. Degenerasi hialin merupakan perubahan yang mengikuti cloudy swelling dan dapat disebut juga nekrosis koagulasi. Nukleus kromatin 13 berkondensasi dan menyebabkan lurik pada serabut otot menghilang. Serabut memperlihatkan satu penampilan homogen dan efektif terhadap pewarna eosin. Serabut-serabut otot terhialinasi menjadi lebih rapuh dibandingkan serabut- serabut yang tetap utuh. Degenerasi hialin yang hanya terjadi pada sebagian dari serabut otot menyebabkan nukleus dekat dengan batas bagian terhialinasi dan bagian yang tetap utuh sering kali mengalami hiperplasia Takashima Hibiya 1995. Hipertropi merupakan proses bertambahnya ukuran atau volume dari suatu bagian tubuh karena suatu peningkatan ukuran dari sel-sel individu. Hipertropi biasanya disebabkan oleh peningkatan permintaan terhadap fungsi tetapi dapat juga diiniasiasikan oleh agen infeksi Pazra 2008. Hemoragi merupakan keluarnya darah dari pembuluh darah dan banyak terdapat di kulit, membran mukosa, di dalam rongga-rongga yang mengandung serous dan di antara sel-sel, jaringan, atau organ. Darah keluar dari pembuluh darah karena adanya lubang pada dinding atau darah menerobos dinding yang utuh karena peningkatan porositas dari pembuluh darah tersebut. Kebocoran dinding dapat terjadi melalui kerobekan per reksis dan perenggangan jarak antara sel-sel dinding vaskula per dipedisis. Hemoragi dapat disebabkan oleh trauma yaitu kerusakan dalam bentuk fisik yang merusak sistem vaskula jaringan di daerah benturankontak, infeksi agen infeksius terutama menyebabkan septisemia, bahan toksik yang merusak endotel kapiler dan faktor lain yang menyebabkan dinding vaskula lemah sehingga pembuluh darah rentan untuk bocor Pazra 2008. Kualitas air media budidaya yang diperoleh selama pengambilan sampel menunjukkan kisaran kualitas air yang ideal untuk pertumbuhan kerapu. Tabel 4 menunjukkan bahwa suhu, salinitas, kelarutan oksigen, dan amoniak berada pada kisaran yang ideal. Suhu yang diperoleh dalam pengambilan sampel menunjukkan kisaran 28-29. Ghufran dan Tancung 2005 menyatakan bahwa suhu ideal untuk pemeliharaan ikan kerapu bebek yakni antara 28-29 o C. Perubahan air secara drastis mampu untuk mempengaruhi mekanisme pertahanan dan antibody serta dapat menjadi stressor untuk ikan. Suhu air secara langsung dapat mempengaruhi respon fisiologis, reproduksi, dan pertumbuhan Effendi 2003. 14 Salinitas yang diukur menunjukkan bahwa media air yang digunakan dalam pemeliharaan menunjukkan kisaran antara 31-34 ppt. Menurut Ghufran dan Tancung 2005, kisaran ideal salinitas buat ikan kerapu bebek berkisar antara 33- 35 ppt. Tingkat salinitas yang terlampau tinggi dapat mengakibatkan respon stres dari akut hingga kronis pada ikan budidaya Noga 2000. Perubahan salinitas yang signifikan dapat mempengaruhi sistem osmoregulasi ikan. Kelarutan oksigen yang diukur menunjukkan kisaran antara 6,10-8,12 mgl. Kisaran oksigen terlarut yang ideal untuk budidaya kerapu bebek berkisar antara 5 mgl Ghufran dan Tancung 2005. Rendahnya kadar oksigen di suatu perairan dapat menyebabkan ikan menjadi stres sehingga sistem imun menjadi menurun. Pada saat itu, serangan penyakit akan mudah masuk ke dalam tubuh ikan, baik berupa bakteri ataupun parasit. Amoniak yang diperoleh pada pengambilan sampel menunjukkan kisaran 0,005-0,012 mgl. Menurut Boyd 1982, kadar amoniak yang terdapat dalam budidaya ikan kerapu bebek yang ideal yakni 0,5 mgl. Kadar amoniak yang meningkat di perairan menyebabkan ekskresi amoniak oleh ikan menurun dan kadar amoniak dalam darah dan jaringan meningkat. Amoniak juga dapat menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak insang dan mengurangi kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Selain itu, terjadi perubahan histologi pada ginjal, empedu ddan jaringan tiroid serta darah ikan yang terkena sublethal amoniak. 15 IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan