Hemoglobin: dengan The effect of micronutrient supplementation on the iron status and physical fitness of the woman workers at reproductive age

45 Pengacakan subyek dilakukan dua kali, pertama untuk menempatkan setiap pekerja wanita pada grupnya, dan kedua untuk mengacak grup perlakuannya. Dengan demikian penempatan subyek dan perlakuan terjadi secara bebas. Pengacakan subyek dan perlakuan hanya diketahui oleh petugas khusus yang tidak terlibat secara langsung dengan subyek dalam pemberian kapsul, yaitu apoteker dan dokter yang mendampingi peneliti. Adapun peneliti sendiri baru mengetahui hasil pengacakan ini setelah suplementasi, pengambilan data akhir dan analisis darah selesai dilakukan. Pembagian unit percobaan dan tahapan operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5. Pelaksanaan Penelitian Perekrutan Subyek Penelitian Proses perekrutan pekerja WUS yang menjadi subyek penelitian ini secara lengkap adalah sebagai berikut. 1 Mengumpulkan daftar nama pekerja wanita di perusahaan pengalengan buah yang berusia 18-45 tahun, sudah menikah namun tidak sedang hamil dan terdeteksi memiliki Hb marginal pada studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Juni-Juli 2010. 2 Mengirimkan surat undangan untuk bersedia menjadi peserta berdasarkan daftar nama pada poin 1. 3 Melakukan skrining ulang untuk menguji kadar Hb sebelum memulai penelitian eksperimental pada bulan September 2010. 4 Mengadakan pertemuan dengan calon subyek yaitu pekerja WUS yang terdeteksi memiliki kadar Hb marginal pada poin 3 untuk menjelaskan proses penelitian. 5 Mengumpulkan surat persetujuan yang telah ditandatangani pekerja WUS . 6 Melakukan pengacakan terhadap peserta ke dalam tiga grup perlakuan. Pengacakan dilakukan secara buta ganda double blind, dimana baik peneliti, asisten peneliti maupun peserta tidak mengetahui seseorang peserta termasuk ke dalam grup yang mana. 46 POPULASI PEKERJA WUS 18-45 TH N=2861 Sampel Studi Pendahuluan Pekerja WUS 18-45 tahun n=338 Sampel WUS 18-45 tahun, kadar Hb marginal Hb120 gl dan Hb 120-125 gl Inklusi Eksklusi Pekerja WUS 18 —45 tahun dengan kadar Hb marginal n=39 Pemeriksaan awal: - Pemerisaan darah lengkap dan laju endap darah - Status besi Hb, Ht, SF, STfR - Status gizi antropometri IMT, RPP, LILA, - Kebugaran fisik LB AB, laju denyut jantung,VO 2 maks BF n=13 MVM n=13 Plasebo n=13 Pemeriksaan akhir: - Pemerisaan darah lengkap dan laju endap darah - Status besi Hb, Ht, SF, STfR - Status gizi antropometri IMT, RPP, LILA, - Kebugaran fisik LB AB, laju denyut jantung,VO 2 maks A N A L I S I S Gambar 5 Skema tahapan operasional penelitian Keterangan: BF= besi + asam folat; MVM= multi vitamin dan mineral terdiri dari 15 macam vitamin dan mineral Sampling acak stratifikasi ganda 47 Pemberian Zat Gizi Mikro Pemberian zat gizi mikro sebagai perlakuan yang dicobakan dalam penelitian ini ada tiga jenis yaitu BF zat besi 60 mg dan asam folat 400µg, MVM multi vitamin dan mineral yang terdiri dari 15 macam vitamin dan mineral serta plasebo yang berfungsi sebagai kontrol. Ketiga jenis perlakuan tersebut masing-masing dikemas dalam kapsul dengan ukuran dan warna yang sama, selanjutnya disebut sebagai kapsul suplemen. Suplemen besi folat BF yang mengandung 60 mg zat besi elemental dan 400 µg folat merupakan dosis yang disarankan oleh INACG 2003 untuk para WUS sebagai usaha preventif untuk mencegah mengalami kesulitan melahirkan andaikan dia nanti hamil. Ditambahkannya asam folat dikarenakan vitamin ini merupakan salah satu penyebab anemia sesudah kekurangan besi. Adapun multi vitamin dan mineral MVM yang mengandung 15 macam vitamin dan mineral merupakan saran UNICEFWHOUNU 1999, untuk memperbaiki status gizi WUS dengan pertimbangan bahwa mereka tidak cukup hanya dengan suplementasi zat besi saja, namun diperlukan suplementasi berbagai mineral mikro yaitu 15 macam vitamin dan mineral. Penggunaan 15 macam vitamin dan mineral termasuk zat besi yang ada dalam kapsul MVM diharapkan dapat memenuhi kekurangan zat gizi mikro lain yang juga dapat menyebabkan anemia, serta memelihara homeostasis zat besi dalam darah. Dosis dan bahan pembuatan kapsul suplemen yang digunakan dalam penelitian ini sengaja dipilih dari yang sudah teruji dalam penelitian sebelumnya dan tersedia secara komersial di pasaran. Hal ini untuk memudahkan pemahaman dan penerapan hasil penelitian ini nantinya oleh pengguna. Sebelum dimulai suplementasi, lebih dahulu dilakukan pemberian obat cacing 250 pyrantel pamoate untuk menghilangkan pengaruh infestasi cacing. Dalam penelitian ini suplemen diberikan tiga kali per minggu karena menurut Ahmed et al. 2005 frekuensi pemberian BF atau MVM dua kali per minggu belum begitu efektif dalam meningkatkan dan menjaga kadar hemoglobin darah meskipun lebih baik dibandingkan dengan pemberian seminggu sekali. Jika dihitung maka setiap bulan subyek penelitian ini diberi 12 kapsul, jumlah ini hampir sama dengan yang dianjurkan yaitu sekali per minggu dan setiap hari selama menstruasi. Pemberian kapsul tiga kali per minggu tersebut diberikan 48 selama 2.5 bulan 10 minggu. Hal ini sesuai dengan saran WHO 2005, yakni untuk dapat melihat efek suatu intervensi yang menggunakan suplemen sekurang- kurangnya dilakukan selama dua bulan 8 minggu, karena metabolisme zat gizi dalam darah baru mulai menunjukkan adaptasi normal setelah pemberian suplemen selama dua bulan. Pada Tabel 5 dapat dilihat ketiga grup perlakuan, dosis dan komposisi kapsul suplemen yang diberikan kepada pekerja WUS. Pembuatan kapsul BF dan MVM dari kaplet suplemen dilakukan oleh seorang apoteker di bawah pengawasan seorang dokter yang memegang kode sampel pada setiap awal minggu. Kapsul kemudian dimasukkan ke dalam tabung obat yang telah diberi label nama masing-masing sampel. Setiap pekerja WUS dibuatkan tiga kapsul yang dimasukkan ke dalam tiga tabung obat untuk tiga kali minum setiap hari Selasa, Rabu dan Jum’at di balai pengobatan yang terletak di dekat pabrik, di bawah pengawasan peneliti secara langsung dan atau asisten peneliti yang telah dilatih sebelumnya. Tabel 5 Komposisi zat gizi kapsul menurut kelompok perlakuan Perlakuan Jenis Kapsul Dosis dan komposisi zat gizi mikro BF Besi Folat INACG 2003 ferrous sulfat 200 mg yang setara dengan zat besi elemental 60 mg dan asam folat 400 μg MVM Multivitamin dan mineral UNICEF WHOUNU 1999 vitamin A 800 μg, vitamin D 200 IU, vitamin E 10 mg, vitamin C 70 mg, thiamin 1.4 mg, riboflavin 1.4 mg, niasin 18 mg, vitamin B-6 1.9 mg, vitamin B-12 1.9 μg, asam folat 400 μg, besi 30 mg, seng 15 mg, tembaga 2 mg, selenium 65 μg, iodium 150 μg Kontrol Plasebo Amilum 49 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Peubah Respon Percobaan Peubah respon adalah penanda marker peubah status besi dan kebugaran fisik pada WUS yang dihipotesiskan dipengaruhi oleh pemberian kapsul suplemen yang dilakukan selama 10 minggu. Terdapat empat peubah respon untuk status besi dan dua peubah respon untuk kebugaran fisik dalam penelitian ini sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6. Selama percobaan setiap peubah respon diukur sebanyak dua kali, yaitu sebelum dan sesudah pemberian kapsul suplemen. Tabel 6 Peubah respon dan metode pengukurannya dalam penelitian Peubah Peubah respon Metode dan frekuensi pengukuran 1. Status besi - Hemoglobin Hb Ditetapkan secara otomatis menggunakan alat hematology analyzer Sysmex, dua kali - Hematokrit Ht - serum ferritin SF ELISA Enzym-linked immunoassays mengunakan alat Labsystem, dua kali - serum transferin reseptor STfR 2. Kebugaran fisik - VO 2 max mlkgmenit Uji naik turun bangku menggunakan protocol Astrand- Ryhming Step Test dan Pengukuran laju denyut jantung denyut15 detik, dua kali Peubah Pengganggu Covariate Variables Dalam penelitian ini semua peubah yang diperkirakan mempengaruhi respon perlu diidentifikasi. Peubah yang diidentifikasi sebagai covariate yaitu status gizi IMT sebelum perlakuan, komposisi tubuh persentase berat air dan lemak tubuh sesudah perlakuan, serta asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, dan fosfor dan aktivitas fisik selama perlakuan. Asupan vitamin dan mineral lainnya tidak diukur karena alasan ketiadaan informasinya dalam Daftar Komposisi Bahan Makanan DKBM. Pada Tabel 7 dapat dilihat indikator serta metode pengukuran untuk setiap peubah pengganggu dalam penelitian ini. Untuk mengetahui gambaran status gizi dan kesehatan WUS sebelum menerima perlakuan, selain dilakukan pengukuran peubah-peubah pengganggu di atas, maka ditanyakan pula kebiasaan makan dan riwayat kesehatan WUS 50 menggunakan kuesioner dan diverifikasi oleh seorang dokter. Kebiasaan makan ditanyakan dengan menggunakan kuesioner food recall dan frekuensi makan Food Frequency Questionnaires -FFQ. Kuesioner food recall meliputi jenis dan jumlah makanan yang dimakan selama 24 jam yang lalu dalam ukuran rumah tangga-URT yang kemudian dikonversikan ke berat dalam gram, tempat membeli dan harga makanan. Kuesioner frekuensi makan terdiri dari frekuensi makan kali per hariminggubulan dan asal pangan Lampiran 4. Tabel 7 Peubah pengganggu dan metode pengukurannya dalam penelitian Jenis Peubah Peubah pengganggu Metode pengukuran 1. Status Gizi IMT sebelum perlakuan Penimbangan badan kg dan Pengukuran tinggi cm Pengukuran lingkar pinggang dan lingkar pinggul cm 2. Asupan Zat Gizi dari selain suplemen Asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, Fe, Ca dan P selama perlakuan Food Recall 24 jam yang lalu 3. Komposisi tubuh Persentase berat lemak badan LB dan berat air badan AB sesudah perlakuan Pengukuran persentase lemak dan air badan menggunakan Body fathydration monitor 4. Aktivitas fisik Pengeluaran energi per hari kkal selama perlakuan Pengisian mandiri menggunakan log book aktivitas fisik dan wawancara Pengukuran Status Gizi , Status Besi dan Jumlah Besi dalam Tubuh Status gizi antropometri WUS ditentukan dengan mengukur indeks massa tubuh IMT dan rasio lingkar pinggang-pinggul – RPP waist-hip ratio – WHR, lingkar lengan atas – LILA mid upper arm circumference – MUAC. Berat badan pekerja WUS ditimbang menggunakan alat timbang dengan ketelitian 0.1 kg dan tinggi badan diukur menggunakan mikrotoise dengan ketelitian 0.1 cm. Adapun lingkar pinggang dan lingkar pinggul diukur menggunakan meteran kain, sedangkan lingkar lengan atas diukur menggunakan alat ukur LILA masing- masing dengan ketelitian 0.1 cm. 51 Status besi di dalam tubuh diukur dengan menggunakan indikator tingkat hemoglobin, hematokrit, serum ferritin, dan transferin reseptor dalam darah. Untuk mengetahui kemungkinan adanya infeksi yang dapat mempengaruhi kadar serum feritin pada pekerja WUS dilakukan pula pengukuran laju endap darah. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan darah lengkap yang berguna untuk memberikan informasi tentang sel-sel darah dan mendeteksi penyebab anemia pada pekerja WUS. Pengambilan contoh darah sebanyak 3 ml dari vena cubiti dilakukan oleh petugas medis. Darah yang diperoleh dibagi menjadi dua tabung. Sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung pertama yang telah diberi EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap, hemoglobin dan hematokrit dan laju endap darah dijaga jangan sampai beku, ditaruh dalam cool box. Tabung lainnya tanpa EDTA diisi 2.0 ml darah untuk pemeriksaan kadar serum ferritin dan transferin reseptor, darah di dalam tabung dijaga agar tetap beku, dimasukkan ke dalam freeze box. Kadar hemoglobin, hematokrit, pemeriksaan darah lengkap, laju endap darah dan pemisahan serum dalam penelitian ini dianalisis di dalam Laboratorium Duta Medika yang bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung di Bandar Lampung. Adapun analisis serum feritin dan transferrin reseptor dilakukan di Laboratorium South East Asean Ministers of Education SEAMEO Tropical Medicine and Public Health TROPMED Regional Center for Community Nutrition RCCN. Sebelum dibawa ke Jakarta serum disimpan di dalam alat pendingin bersuhu -20 C. Jumlah zat besi dalam tubuh juga dihitung berdasarkan rasio STfR dan SF yang diperkirakan dengan menggunakan formula Cook et al. 2003 yaitu: Fe = -[logSTfR:SF-2.8229] 0.1207 di mana: Fe = jumlah zat besi di dalam tubuh dalam mgkg berat badan Log = logaritma 10 STfR = serum transferin reseptor dalam mglx10 3 SF = serum feritin dalam ugl Apabila jumlah zat besi dalam tubuh mgkg nilainya negatif menunjukkan kekurangan defisit zat besi di dalam jaringan dan sebaliknya jika nilainya positif berarti terjadi surplus dalam simpanan di jaringan. 52 Komposisi Tubuh, Aktivitas Fisik dan Kebugaran Fisik WUS Komposisi tubuh ditentukan dengan mengukur persentase berat lemak dan air tubuh dengan menggunakan alat Body fathydration monitor. Aktivitas fisik diukur guna menghitung total pengeluaran energi total energy expenditure-TEE per hari menggunakan logbook aktivitas fisik yang dilakukan dalam 24 jam yang diisi secara mandiri oleh sampel kemudian dikonfirmasi melalui wawancara. Cara perhitungan total pengeluaran energi dilakukan menurut FAOWHOUNU 2001. Kebugaran fisik pekerja WUS diukur dengan cara menghitung VO 2 maks. Kebugaran fisik merupakan fungsi kerja jantung, pembuluh darah, paru-paru, dan otot pada efisiensi optimum. Kebugaran fisik didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang menggunakan otot secara memuaskan pada kondisi khusus Marley 1982. Satuan ukuran VO 2 maks adalah mililiter oksigen dalam satu menit untuk setiap kilogram berat badan mlkgmin. Pengukuran secara umum dijadikan indikator kebugaran kardiovaskular dan daya tahan aerobik seseorang yang terbaik. VO 2 maks pekerja WUS dihitung dengan cara melakukan uji bangku A-R Astrand-Ryhming Step Test dengan mengadopsi protokol Astrand-Ryhming Step Test Norms For College Students Marley Linnerud 1976. Uji bangku A- R merupakan modifikasi dari Uji bangku Harvard. Uji ini dirancang untuk mengukur daya tahan kardiovaskular. Daya tahan kardiovaskular atau daya tahan aerobik adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas pada kategori sedang secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Ini merefleksikan bagaimana kerjasama antara jantung dan paru-paru untuk mensuplai oksigen ke tubuh selama melakukan pekerjaan berat dan latihan. Penilaian VO 2 maks untuk wanita sesudah uji bangku A-R dihitung dengan menggunakan Tabel Astrand-Ryhming Step Test Norms Tabel 8. Adapun ukuran normatif VO 2 maks dapat dilihat pada Tabel 9. 53 Tabel 8 Astrand-Ryhming Step Test Norms A-R test norms untuk menaksir nilai VO 2 maks dengan menghitung denyut jantung setelah uji naik-turun bangku A-R Pulse . n Max V02 T-Score Sigma Standard Percentile Z Percentile Count ml 02kgmin Scale Score bps15 Estimated 18.0 3 87 112 3.75 99.71 99.99 19.0 3 85 109 3.54 99.57 99.98 19.5 1 84 107 3.43 99.50 99.97 20.0 4 83 105 3.33 99.21 99.96 20.5 4 82 104 3.22 98.93 99.94 21.0 1 81 102 3.12 98.86 99.91 21.5 3 80 100 3.01 98.64 99.87 22.0 6 72.5 79 98 2.91 98.22 99.82 22.5 1 70.5 78 97 2.80 98.14 99.75 23.0 3 68.6 77 95 2.70 97.93 99.65 23.5 1 66.8 76 93 2.59 97.86 99.52 24.0 6 65.0 75 91 2.49 97.43 99.35 24.5 5 63.4 74 90 2.38 97.07 99.13 25.0 6 61.9 73 88 2.27 96.65 98.85 25.5 4 60.4 72 86 2.17 96.36 98.50 26.0 6 59.0 71 84 2.06 95.93 98.05 26.5 6 57.6 70 83 1.96 95.50 97.49 27.0 6 56.3 69 81 1.85 95.07 96.80 27.5 7 55.1 67 79 1.75 94.58 95.97 28.0 11 53.9 66 77 1.64 93.79 94.97 28.5 9 52.8 65 76 1.54 93.15 93.78 29.0 24 51.7 64 74 1.43 91.43 92.38 29.5 10 50.7 63 72 1.33 90.72 90.75 30.0 28 49.7 62 70 1.22 88.72 88.88 30.5 29 48.7 61 69 1.11 86.65 86.75 31.0 33 47.8 60 67 1.01 84.30 84.36 31.5 15 46.9 59 65 0.90 83.23 81.70 32.0 35 46.1 58 63 0.80 80.73 78.77 32.5 26 45.3 57 62 0.69 78.87 75.59 33.0 63 44.5 56 60 0.59 74.38 72.17 33.5 33 43.7 55 58 0.48 72.02 68.52 34.0 60 42.9 54 56 0.38 67.74 64.69 34.5 35 42.2 53 55 0.27 65.24 60.70 35.0 93 41.5 52 53 0.17 58.60 56.60 35.5 42 40.9 51 51 0.06 55.60 52.42 36.0 86 40.2 50 49 -0.04 49.46 48.22 36.5 43 39.6 48 47 -0.15 46.40 44.04 37.0 93 39.0 47 46 -0.26 39.76 39.92 37.5 43 38.4 46 44 -0.36 36.69 35.91 38.0 79 37.8 45 42 -0.47 31.05 32.05 38.5 36 37.3 44 40 -0.57 28.48 28.38 39.0 82 36.7 43 39 -0.68 22.63 24.92 39.5 31 36.2 42 37 -0.78 20.41 21.70 40.0 85 35.7 41 35 -0.89 14.35 18.73 40.5 33 35.2 40 33 -0.99 11.99 16.03 41.0 39 34.7 39 32 -1.10 9.21 13.59 41.5 19 34.2 38 30 -1.20 7.85 11.43 42.0 36 33.8 37 28 -1.31 5.28 9.52 42.5 13 33.3 36 26 -1.41 4.35 7.85 43.0 17 32.9 35 25 -1.52 3.14 6.42 43.5 6 32.4 34 23 -1.63 2.71 5.20 44.0 16 32.1 33 21 -1.73 1.57 4.17 44.5 5 31.7 32 19 -1.84 1.21 3.31 45.0 4 31.3 31 18 -1.94 .93 2.61 45.5 4 30 16 -2.05 .64 2.03 46.0 6 28 14 -2.15 .21 1.57 46.5 1 27 12 -2.26 .14 1.20 47.0 1 26 11 -2.36 .07 .90 48.5 1 2 5 -2.68 .00 .37 Sumber: Marley Linnerud 1976 54 Tabel 9 Ukuran normatif VO 2 maks untuk wanita dalam mlkgmenit Umur Sangat buruk Buruk Sedang Baik Sangat baik Superior 13-19 25.0 25.0 – 30.9 31.0 – 34.9 35.0 – 38.9 39.0 – 41.9 41.9 20-29 23.6 23.6 – 28.9 29.0 – 32.9 33.0 – 36.9 37.0 – 41.0 41.0 30-39 22.8 22.8 – 26.9 27.0 – 31.4 31.5 – 35.6 35.7 – 40.0 40.0 40-49 21.0 21.0 – 24.4 24.5 – 28.9 29.0 – 32.8 32.9 – 36.9 36.9 50-59 20.2 20.2 – 22.7 22.8 – 26.9 27.0 – 31.4 31.5 – 35.7 35.7 60+ 17.5 17.5 – 20.1 20.2 – 24.4 24.5 – 30.2 30.3 – 31.4 31.4 Sumber: RHSFNS 2008 Pengendalian, Pengolahan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan semuanya merupakan data primer yang diambil menggunakan daftar pertanyaan kuesioner, observasi dan pengukuran serta analisis biokimiawi darah secara langsung, meliputi peubah-peubah: status gizi, status besi, kebugaran fisik, komposisi tubuh serta aktivitas fisik, konsumsi makan dan tingkat kecukupan gizi AKG pekerja WUS. Untuk mengendalikan kualitas data, wawancara dilakukan langsung oleh peneliti dibantu asisten peneliti bergelar sarjana gizi yang sudah berpengalaman dalam beberapa penelitian sebelumnya serta diberi pelatihan sebelum melakukan wawancara dalam penelitian ini. Pengumpulan contoh darah dan laju denyut jantung dilakukan oleh paramedis di bawah supervisi seorang dokter. Pengolahan data mencakup pengeditan kuesioner, pengkodean, penyusunan file, pemasukan data, pengeditan file, penyusunan variabel, pengombinasian dan pemisahan file. Pengolahan data dan analisis menggunakan program komputer Microsoft Excel serta SPSS version 17 for Windows. Data jumlah pangan yang dikonsumsi dikonversikan ke dalam energi dan zat gizi meliputi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, dan fosfor dengan menggunakan template microsoft Excel yang berbasiskan database DKBM Depkes RI 1970, 1995, 2001, 2005. Penghitungan tingkat kecukupan gizi AKG dilakukan dengan membandingkan kandungan zat gizi semua makanan yang dimakan oleh pekerja WUS selama 24 jam dengan AKG 2004 LIPI, 2004 dalam persen. Selain energi, zat gizi lain yang dihitung tingkat kecukupannya adalah protein, vitamin A, vitamin C, fosfor, kalsium, dan zat besi. Kategori 55 tingkat kecukupan gizi AKG untuk energi dan protein adalah 70 defisit berat, 70-80 defisit ringan, 80-90 cukup, 90-110 normal, 110 kelebihan. Untuk vitamin dan mineral menggunakan batas 23 70 AKG. IMT merupakan rasio antara berat badan kg dengan tinggi badan yang dikuadratkan m 2 . Kategori untuk IMT adalah kurus 18.5 kgm 2 , normal 18.5-22.9 kgm 2 , beresiko 23-24.9 kgm 2 , gemuk I 25-29.9 kgm 2 dan gemuk II ≥30 kgm 2 . Rasio lingkar pinggang-pinggul menggambarkan simpanan lemak di bagian pinggang dan pinggul. Adapun rasio lingkar pinggang-pinggul yang ideal untuk wanita adalah ≤0.8. LILA menggambarkan simpanan lemak di lengan. Cut off point untuk LILA 23.5 cm digunakan untuk mengidentifikasi adanya kekurangan energi kronik KEK. Kategori untuk persentase berat lemak dan air tubuh adalah kurus sekali ≤ 20 dan ≥ 55, kurus 20.1-25 dan 54.9- 51.6. normal 25.1-30.0 dan 48.0-44.7. tinggi 30.1-35 dan 48.0-44.7. serta tinggi 35.1-45.0 dan 44.6-37.8. Ukuran tingkat bawah cut-off hemoglobin dan hematokrit untuk mendeteksi anemia pada wanita usia subur yang tidak sedang hamil adalah 120 gl dan 36 WHO 2001. Kategori anemia yang digunakan adalah anemia berat kadar Hb80 gl, anemia sedang kadar Hb 80-99 gl, dan anemia ringan kadar Hb100-119 gl. Berdasarkan konsentrasi SF, ukuran relatif simpanan zat besi dalam tubuh termasuk kurang jika 15 ugl dan kelebihan berisiko berat jika 150 ugl WHO 2007. Adapun standar konsentrasi STfR belum ada yang baku karena tergantung kepada prosedur yang digunakan. Prosedur pengukuran STfR dalam penelitian ini mengacu kepada Erhardt 2004 yang mengemukakan bahwa nilai cut-off STfR yang dapat digunakan berdasarkan penelitiannya adalah 8.3 mgl. Penghitungan nilai duga rataan, simpangan baku, nilai minimum dan maksimum dilakukan untuk semua variabel kuantitatif. Nilai duga proporsi dilakukan untuk semua variabel kualitatif dan kuantitatif. Uji t berpasangan digunakan untuk menganalisis perbedaan rataan antara sebelum dan sesudah perlakuan dalam grup perlakuan yang sama. Selisih delta antara sesudah dengan sebelum perlakuan yang merupakan manfaat perlakuan terhadap peubah respon status besi peningkatan kadar Hb dan SF serta penurunan STfR dan kebugaran 56 fisik peningkatan VO 2 maks diuji statistik secara bertahap. Uji ANOVA dengan uji lanjut Duncan dilakukan untuk menguji perbedaan rataan antar perlakuan baik sebelum dan sesudah perlakuan maupun selisih antara sesudah dan sebelum perlakuan. Analisis covarian ANCOVA dengan uji lanjut LSD least signficant difference menggunakan general linear model GLM univariate dilakukan setelah pada uji ANOVA terhadap rataan selisih antara sesudah dengan sebelum perlakuan antar perlakuan tidak terbukti nyata. Hal ini diduga karena kemungkinan adanya peubah-peubah pengganggu pada perlakuan tersebut. Uji ANCOVA dilakukan untuk mengoreksi adjusted peubah yang diduga potensial menjadi pengganggu confounder, yaitu konsentrasi biomarker hemoglobin, serum ferritin dan transferin reseptor, VO 2 maks dan IMT sebelum perlakuan; berat air badan AB dan berat lemak badan LB sesudah perlakuan; serta pengeluaran energi dan asupan zat gizi selama perlakuan. Semua pengujian di atas dilakukan pada taraf nyata  = 0.05. Pada kondisi khusus pengujian dapat dilakukan hingga taraf =0.15 untuk melihat kecenderungannya. Transformasi data dinilai perlu dilakukan hanya jika dalam analisis ANOVA dan ANCOVA tidak nyata, yang mungkin dikarenakan ada salah satu atau lebih peubah yang tidak memenuhi asumsi-asumsi model. Model Matematika Model matematika untuk peubah-peubah respon status besi dan kebugaran fisik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Model matematika untuk menghitung peubah respon status besi dan kebugaran fisik sebelum dan sesudah perlakuan serta selisihnya dengan analysis of varian ANOVA adalah sebagai berikut: Y ij =  +  j +  ij Keterangan : Y ij = Nilai peubah respon HbHtSFSTfRpada pada pekerja WUS ke i yang mendapat perlakuan ke j  = Parameter rataan umum Y ij  j = Pengaruh dari perlakuan ke-j  ij = Pengaruh galat pada pekerja WUS ke-i yang mendapat perlakuan ke-j i = 1 menunjukkan pekerja WUS ke-1 dan seterusnya sampai dengan ke 13 57 2. Model matematika untuk menghitung selisih peubah respon status besi sesudah perlakuan dengan analysis of covarian ANCOVA adalah sebagai berikut: Y ij =  + l l l X   13 1  +  j +  ij Keterangan: Y ij = Selisih peubah respon status besi HbSFSTfR  = parameter rataan umum Y ij X 1 = Nilai Hb sebelum perlakuan gl X 2 = Nilai SF sebelum perlakuan ugl X 3 = Nilai STfR sebelum perlakuan mgl X 4 = Lama bekerja tahun X 5 = Indeks Massa Tubuh sebelum perlakuan kgm 2 X 6 = Asupan Energi selama perlakuan kkal X 7 = Asupan Protein selama perlakuan g X 8 = Asupan vitamin A yang berasal dari makanan selama perlakuan RE X 9 = Asupan vitamin C yang berasal dari makanan selama perlakuan mg X 10 = Asupan zat besi yang berasal dari makanan selama perlakuan mg X 11 = Asupan kalsium yang berasal dari makanan selama perlakuan mg X 12 = Asupan fosfor yang berasal dari makanan selama perlakuan mg X 13 = Pengeluaran energi per hari selama perlakuan kkal  i = parameter koefisien dari peubah covariate X i , i=1,2,..13 “ j = 1diberi zat besi dan asam folat BF; 2 diberi multi vitamin dan mineral MVM; 3 diberi plasebo;  j = Pegaruh perlakuan ke-j  ij = Pengaruh galat pekerja WUS ke-i yang mendapat perlakuan ke-j “ i = 1 menunjukkan pekerja WUS ke-1 dan seterusnya sampai dengan ke 13 3. Model matematika untuk menghitung selisih peubah respon kebugaran fisik sesudah perlakuan dengan analysis of covarian ANCOVA adalah sebagai berikut: Y ij =  + l l l X   16 1  +  j +  ij Keterangan: Y jk = Selisih peubah respon VO2maks mlkgmenit sesudah perlakuan  = Parameter rataan umum Y ij X 1 = VO 2 maks mlkgmenit sebelum perlakuan X 2 = Lama kerja tahun X 3 = Nilai Hb sebelum perlakuan gl 58 X 4 = Nilai SF sebelum perlakuan ugl X 5 = Nilai STfR sebelum perlakuan mgl X 6 = Indeks Massa Tubuh sebelum perlakuan kgm 2 X 7 = Berat air badan sesudah perlakuan X 8 = Berat lemak badan sesudah perlakuan X 9 = Pengeluaran energi selama perlakuan kkal X 10 = Asupan Energi selama perlakuan kkal X 11 = Asupan Protein selama perlakuan g X 12 = Asupan vitamin A yang berasal dari makanan selama perlakuan RE X 13 = Asupan vitamin C yang berasal dari makanan selama perlakuan mg X 14 = Asupan zat besi yang berasal dari makanan selama perlakuan mg X 15 = Asupan kalsium yang berasal dari makanan selama perlakuan mg X 16 = Asupan fosfor yang berasal dari makanan selama perlakuan mg  i = Parameter koefisien dari peubah covariate X i , i=1,2,..16 “ j = 1 diberi zat besi dan asam folat BF; 2 diberi multi vitamin dan mineral MVM; 3 diberi plasebo  j = Pengaruh perlakuan ke-j  ij = Pengaruh galat pekerja WUS ke-i yang mendapat perlakuan ke-j “ i = 1 menunjukkan pekerja WUS ke-1 dan seterusnya sampai dengan ke 13 Keterbatasan Data Data asupan gizi dan aktivitas fisik diperoleh dengan cara melakukan wawancara untuk mengingat kembali recall apa yang telah dimakan dan kegiatan fisik selama 24 jam yang lalu selama dua hari. Salah satu keterbatasan metoda ini adalah kemampuan sampel dalam mengingat. Oleh karena itu, food recall 1X24 jam dan kebiasaan makanan juga diperoleh dengan menggunakan daftar pertanyaan frekuensi makanan Food Frequensi Quesionaire - FFQ. Ini dikelola dalam rangka untuk mengecek silang berbagai makanan yang dikonsumsi WUS. Dengan begitu, dua metoda pengumpulan data konsumsi ini diharapkan dapat saling melengkapi satu sama lain untuk mengkan konsumsi makan peserta. Recall makanan diambil dua kali, sebelum dan selama perlakuan, sedangkan aktivitas fisik diambil hanya pada selama perlakuan masih berlangsung. Definisi Operasional Zat Gizi mikro: Zat gizi yang dibutuhkan dan terdapat dalam jumlah yang sangat kecil di dalam tubuh namun memiliki peranan yang penting untuk kehidupan. Di antara keenam macam zat gizi, beberapa mineral dan semua jenis vitamin digolongkan ke dalam zat gizi mikro. Termasuk ke dalam 59 golongan mineral mikro tubuh yang telah ditetapkan angka kecukupannya di Indonesia adalah besi Fe, seng Zn, selenium Se, yodium I, Fluor F dan mangan Mn Status Gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, pencernaan, dan pemanfaatan makanan, dalam penelitian ini dinilai melalui pengukuran indikator status gizi yaitu indeks massa tubuh IMT, rasio pinggang pinggul RPP, dan lingkar lengan atas LILA Status anemia: suatu keadaan kadar hemoglobin di darah lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan nilai normal untuk jenis kelamin dan usianya. Untuk WUS, dinyatakan anemia jika Hb 120 gl dan normal jika Hb ≥ 120 gl. Kadar hemoglobin termasuk marginal jika rentang Hb antara 80-125 gl. Status besi adalah keadaan atau an kecukupan zat besi di dalam tubuh yang dapat dinilai dari biomarker meliputi kadar hemoglobin Hb, serum ferritin SF dan serum transferin reseptor TSfR. Defisiensi zat besi adalah keadaan tubuh yang mengalami defisit kekurangan besi tahap pertama depleted iron maupun tahap ke dua iron deficiency erythropoiesis , yang dapat terjadi karena anemia maupun tidak anemia. Anemia gizi besi AGB atau iron deficiency anemia IDA adalah keadaan tubuh kekurangan zat besi pada tahap ke tiga, dimana zat besi tubuh tidak cukup baik dalam simpanan maupun untuk sintesa hemoglobin. Indikator keadaan ini adalah kadar hemoglobin di bawah normal 120 gl dan serum feritin rendah 15ugl. Suplementasi adalah pemberian zat gizi dalam bentuk kapsultabletinjeksi jika efek yang dikehendaki lebih cepat yang dilakukan secara teratur kepada kelompok yang membutuhkan atau orang-orang yang berisiko kekurangan zat gizi Besi folat BF adalah kapsul suplemen yang berisi campuran antara ferrous sulfat 200 mg yang setara dengan zat besi elemental 60 mg dan asam folat 400 μg Multivitamin dan mineral MVM dalam penelitian ini adalah kapsul suplemen yang berisi campuran 15 macam vitamin dan mineral yaitu vitamin A 800 μg, vitamin D 200 IU, vitamin E 10 mg, vitamin C 70 mg, tiamin 1.4 mg, riboflavin 1.4 mg, niasin 18 mg, vitamin B 6 1.9 mg, vitamin B 12 1.9 μg, 60 asam folat 400 μg, zat besi elemental 30 mg, seng 15 mg, copper 2 mg, selenium 65 μg, iodium 150 μg Komposisi tubuh body composition adalah proporsi lemak dalam tubuh dibandingkan dengan tulang dan otot, ini tidak ada hubungannya dengan berat badan atau penampilan seseorang. Komposisi tubuh juga dikan sebagai berat badan tanpa lemak dan berat lemak. Kebugaran fisik: kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggang dinilai dengan mengukur VO 2 maks melalui uji naik turun bangku Astrand- Rhyming. VO 2 maks : merupakan satu ukuran seberapa bugar fit seseorang, dengan menyatakan volume oksigen yang dikonsumsi tubuh per menit sehingga sering ditulis satuannya adalah mlkgmenit Marley 1982; Sharkey 1991; Quinn 2008. Uji bangku Astrand-Rhyming : naik-turun bangku untuk wanita setinggi 33 cm selama 5 menit dengan sebanyak 22.5 kali per menit dijaga stabil dengan mengikuti irama dari metronome yang diset pada 90 stepmenit. Naik turun bangku dimulai dengan naik menggunakan satu kaki, diikuti dengan kaki yang lain dan kemudian turun dengan satu kaki dan diikuti kaki yang lain. Pada akhir menit ke lima, berhenti dengan tetap berdiri dan denyut jantungnya segera dicek selama 15 detik sejak 15 detik pemulihan. Pengukuran denyut jantung dilakukan secara palpasi pada leher carotid artery kemudian dikonversikan ke VO 2 maks mengunakan tabel Astrand- Rhyming. Indeks massa tubuh IMT merupakan perbandingan antara berat badan kg dengan tinggi badan dikuadratkan m 2 Rasio pinggang pinggul RPP adalah perbandingan antara lingkar pinggang cm dengan lingkar pinggul cm Lingkar lengan atas LILA adalah besarnya lingkar lengan atas yang diukur pada pertengahan jarak antara bahu dengan siku lengan sebelah kiri cm. 61 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di PT Great Giant Pineapple GGP, yang terletak di Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. PT GGP berjarak kurang lebih 90 km dari Bandar Lampung, ibukota Provinsi Lampung. Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan agrobisnis terbesar di Provinsi Lampung yang memproduksi buah nanas dalam kaleng yang memiliki kebun nanas terbesar ke tiga di dunia yakni seluas kurang lebih 30.000 hektar. PT GGP dibangun 32 tahun yang lalu dan merupakan perusahaan modal asing yang semua produknya ditujukan hanya untuk ekspor ke 33 negara. Perusahaan ini telah mendapatkan berbagai sertifikasi antara lain ISO SA 8000 Social Accountability tahun 2001. Selain itu, juga sudah mendapatkan OHSAS 18001 Occupational Health and Safety Management System for Requirement pada tahun 1999 dari Sucofindo International Certification Services, serta Sertifikat Audit untuk Sistem Management, Kesehatan dan Keselamatan Kerja tahun 2007 dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Pada tahun 2008, PT GGP mendapatkan sertifikat Grade A untuk Global Standar for Food Safety . Jumlah pekerja di dalam pabrik nanas di PT GGP berfluktuasi mengikuti musim panen nanas dan sebagian besar adalah wanita usia subur WUS yang berasal dari keluarga berekonomi menengah ke bawah. Pada kondisi biasa jumlah pekerja wanita kurang lebih 2 860 orang yang terdiri dari pekerja harian tetap dan kontrak; sedangkan selama musim panen raya nanas jumlah pekerja WUS dapat mencapai 3 500 orang karena jumlah pekerja kontraknya ditambah. Para pekerja tersebut berasal dari daerah di sekitar pabrikperkebunan yaitu Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Utara, dan Tulang Bawang. Perusahaan ini menyediakan asrama camp yang dapat menampung lebih dari 1 500 orang pekerja wanita, dikhususkan bagi yang belum menikah dan yang tempat tinggalnya agak jauh. Namun demikian, dalam prakteknya yang sudah menikah dan punya rumah tidak jauh dari lokasi kerja banyak yang tidak mau melepaskan 62 kamarnya dengan alasan diperlukan untuk tidur-tiduran pada saat jam istirahat kerja atau jika tidak berani pulang dini hari pada saat masuk kerja malam. Pekerja wanita di dalam pabrik terbagi menjadi dua shift kerja, yaitu pagi dan malam, sebagian besar merupakan pekerja di divisi cannary. Waktu kerja masuk pagi dimulai pukul 07.00 hingga 16.00 dan untuk yang malam mulai pukul 19.00 hingga 04.00 esok harinya. Bagi yang masuk malam, mereka diberi makanan ekstra extra fooding berupa nasi bungkus berisi nasi dan lauk-pauk pada waktu istirahat tengah malam. Adapun mereka yang masuk siang, jika kelebihan jam kerjanya melebihi 3 jam, maka kepada mereka juga dibagikan extra fooding dalam bentuk kupon makanan seharga Rp2 500.00. Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari di perusahaan terdapat food court yang terdiri dari 23 kantin. Adapun untuk pelayanan kesehatan, terdapat tiga balai pengobatan BP yang berlokasi di dekat pabrik, di perkebunan dan di pusat administrasi. Semua pekerja PT GGP memperoleh perlindungan kesehatan dan sosial dari Jaminan Sosial Tenaga Kerja Jamsostek. Pada Tabel 10 dan 11 dapat dilihat sebaran karyawan tetap dan tenaga kerja harian berdasarkan pendataan pada bulan Mei 2010. Tabel 10 Sebaran karyawan tetap PT GGP menurut jenis kelamin dan departemen tahun 2010 Departemen Pria P Wanita W Total P W Adm Pelaksana ∑ P Adm Pelaksana ∑ W Mesin kaleng 14 76 90 7 7 97 Pengalengan buah 24 247 271 5 118 123 394 Jus konsentrat 12 61 73 73 Label Kemasan 9 66 75 7 7 82 Perlengkapan pabrik 11 67 78 3 8 11 89 Pejabat pabrik 22 74 96 6 6 102 Pengawasan Mutu 6 52 58 1 63 64 122 Jumlah 98 643 741 9 209 218 959 Sumber: HRD PT GGP Mei 2010, tidak dipublikasikan 63 Tabel 11 Sebaran tenaga kerja harian PT GGP menurut jenis kelamin dan departemen tahun 2010 Departemen Pria P Wanita W Total P W Tetap Kontrak ∑ P Tetap Kontrak ∑ W Mesin kaleng 82 5 87 38 4 42 129 Pengalengan buah 113 1 114 1 798 1 174 2 972 3 086 Jus konsentrat 41 4 45 8 1 9 54 Label pengepakan 111 4 115 130 117 247 362 Perlengkapan pabrik 49 4 53 8 8 61 Pejabat pabrik 46 46 8 8 54 Pengawasan mutu 47 5 52 67 2 69 121 Jumlah 489 23 512 2 057 1 298 3 355 3 867 Sumber: HRD PT GGP Mei 2010, dipublikasikan Total tenaga kerja PT GGP sebanyak 4 826 orang terdiri dari pria 1 253 orang 26 dan wanita 3 573 orang 74. Sebagian besar tenaga kerja pria 60 sudah menjadi karyawan tetap, sedangkan sebagian besar tenaga kerja wanita 73 adalah tenaga kerja harian tetap maupun kontrak. Pada jajaran kantor administrasi perusahaan, berbagai jabatan yang ada mulai dari kepala seksi hingga manajer dan direktur didominasi 92 oleh pria. Studi Pendahuluan Studi pendahuluan ini merupakan penelitian awal atau tahap satu dari penelitian payung yang mengambil data dasar melalui survai. Beberapa data pada studi pendahuluan yang terkait dengan penelitian eksperimental dilaporkan di bawah ini. Adapun hasil studi pendahuluan secara lengkap dilaporkan dalam Indriani et al. 2011. Karakteristik Sosial dan Ekonomi Pekerja Wanita Pekerja wanita yang menjadi responden dalam penelitian pendahuluan berjumlah 338 orang yang berasal dari populasi yang berjumlah 2861. Mereka terbagi menjadi dua shift kerja yakni masuk pagi atau malam secara bergantian setiap minggu. Persentase pekerja wanita yang berasal dari shift A lebih banyak yaitu sebesar 56.8 bila dibandingkan dengan shift B sebesar 43.2. Dalam melakukan pekerjaannya mereka mempunyai posisi kerja yang berbeda-beda. 64 Posisi kerja mereka ditentukan oleh baris line tempat mereka bekerja dan pembagian kerjanya. Berdasarkan posisi kerjanya mereka dibagi menjadi tiga yaitu pekerja dengan posisi kerja yang 1 lebih banyak duduk, 2 lebih banyak berdiri, serta 3 selalu berdiri-berjalan. Paling banyak pekerja wanita berasal dari yang posisi kerjanya banyak duduk yakni 178 orang 52.7, diikuti oleh yang berdiri-berjalan 113 orang 33.4 dan paling sedikit adalah yang posisi kerjanya banyak berdiri yaitu 47 orang 13.9. Sebagian besar pekerja wanita 98.2 beragama Islam dan berasal dari suku Jawa sebanyak 51.2, suku Lampung sebanyak 38.5; sisanya tersebar pada suku Palembang, Batak, Bali, Sunda, dan Minang. Nilai rataan usia mereka 31.4±5.0 tahun dan memiliki masa kerja di perusahaan 9.9±4.9 tahun minimal 3 bulan dan maksimal 22 tahun 10 bulan. Nilai rataan pendidikan pekerja wanita 9.9±2.1 tahun, 46.4 lulus SLTP dan 41.1 lulus SLTA. Rumah tangga mereka tergolong kecil, dengan rataan anggota rumah tangga sebanyak 4.3±1.8 jiwa. Lebih dari separuh 53.8 suami pekerja wanita bekerja sebagai buruh nontani dan hanya 14.8 suami pekerja wanita yang bekerja sebagai petani, sedangkan sisanya bekerja sebagai pedagang, buruh tani, PNSABRI, bekerja di bidang jasa, dan lain-lain. Dilihat dari jenis pekerjaan kepala rumah tangga pekerja wanita ini, dapat dikatakan bahwa meskipun mereka tinggal di perdesaan namun tidak bekerja di sektor pertanian sebagaimana kebanyakan rumah tangga perdesaan. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran mata pencaharian rumah tangga perdesaan dari rumah tangga agraria ke non-agraria, ini membuktikan bahwa sektor pertanian mulai kurang diminati oleh rumah tangga muda. Rumah tangga pekerja wanita termasuk sejahtera, dapat diihat dari pendapatannya. Nilai rataan pendapatan pekerja wanita adalah Rp1 377 147.00 dan rataan pendapatan rumah tangga sebesar Rp2 716 790.00. Adapun rataan kontribusi pendapatan pekerja wanita terhadap total pendapatan rumah tangga adalah 50.6. dengan kisaran antara 13-100. Hal ini menggambarkan bahwa pekerja wanita tersebut memiliki peranan yang cukup tinggi sebagai pencari nafkah dalam rumah tangganya. Nilai rataan pendapatan per kapita rumah tangga pekerja wanita tergolong baik yaitu Rp707 663kapitabulan, rataan pendapatan ini sudah di atas US 2 per hari setara dengan Rp600 000kapitabulan. 65 Dilihat dari sisi proporsi pengeluaran pangan, rumah tangga pekerja wanita sudah tergolong sejahtera. Proporsi pengeluaran pangan sebesar 47 dan proporsi pengeluaran non pangan sebesar 53 . Hal ini menunjukkan bahwa para pekerja sudah mampu memenuhi kebutuhan pangannya dan sudah beralih perhatiannya kepada pemenuhan kebutuhan non pangan. Pengeluaran non pangan terbesar adalah untuk bahan bakar sebesar 10, diikuti pengeluaran untuk kredit sebesar 8, rokok sebesar 5, dan sosial sebesar 5. Pada Tabel 12 dapat dilihat pendapatan dan pengeluaran rumah tangga pekerja wanita. Tabel 12 Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga pekerja wanita menurut posisi kerja Rp Pendapatan Duduk n=147 Berdiri n=47 Berdiri dan Berjalan n=113 Rumah tangga 2 746 070±1 196 743 2 891 694±1 318 730 2 185 394±711 023 Pekerja wanita 1 395 967±449 265 1 420 623±508 910 1 201 343±283 430 Kontribusi pekerja wanita 56.3±18.9 54.2±18.2 58.5±16.9 Pendapatankapita 725 735 ± 391 371 633 972 ± 397 874 709 846 ± 399 686 Pengeluarankapita Pangan 242 726 ± 110 299 230 958 ± 139 799 250 339 ± 127 081 Non-pangan 309 248 ± 201 186 313 784 ± 256 643 295 391 ± 217 746 Kesejahteraan rumah tangga pekerja wanita dapat dilihat dari kepemilikan aset, semua responden memiliki perabotan rumah tangga yang lengkap dan 50 sudah tinggal di rumahnya sendiri, 29.0 tinggal dengan orang tua dan 21.0 tinggal baik di rumah saudara, rumah milik perusahaan, dan lain-lain. Sebagian besar rumah mereka memiliki dapur 93, memiliki sumber mata air dari sumur 89.3 dan memiliki WC 95.6 meskipun sebagian besar 53.9 WC mereka berada di luar rumah. Selain perabotan rumah tangga, berbagai barang elektronik dan telepon seluler handphone-HP dimiliki oleh rumah tangga pekerja wanita. Selain sudah menjadi kebutuhan utama di dalam rumah tangganya, kepemilikan barang-barang ini di dalam masyarakat juga dapat menjadi salah satu simbol gaya hidup rumah tangga yang mulai mapan. Hampir semua rumah tangga pekerja wanita memiliki HP, hanya ada 6.5 yang menyatakan tidak memilikinya; namun hanya 6.5 rumah tangga yang memiliki telepon rumah, hal ini dikarenakan fungsi telepon rumah sudah digantikan dengan HP. 66 Kebiasaan Makan Pekerja Wanita Hampir semua pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga pekerja wanita diperoleh dengan cara membeli. Pada Tabel 13 dapat dilihat beberapa kebiasan makan mereka. Adapun pada Tabel 14 dapat dilihat frekuensi makan berbagai bahan makanan. Tabel 13 Persentase pekerja wanita menurut beberapa item kebiasaan makan No. Perilaku Gizi Posisi Kerja Total n=338 Duduk n=178 Berdiri n=47 Berdiri dan Berjalan n=113 . n n n n 1. Mengonsumsi makanan beraneka- ragam setiap hari 78 43.8 0 0.0 47 41.6 125 37.0 2. Menggunakan garam beryodium ketika memasak 164 92.1 43 91.5 107 94.7 314 92.9 3. Biasa sarapan pagi 129 72.5 34 72.3 76 67.3 239 70.7 4. Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan 118 66.3 34 72.3 72 63.7 224 66.3 5. Melakukan olahraga secara teratur 13 7.3 1 2.1 3 2.7 17 5.0 6. Mencuci dan merebus sayuran sebelum dimakan 145 81.5 37 78.7 90 79.7 272 80.5 7. Membaca label gizi dan tanggal kadaluarsa pada makanan kemasan 144 80.9 40 85.1 79 70.0 263 77.8 8. Makan 3 kali per hari 0.0 0.0 77 68.1 77 22.8 9. Setiap hari makan sumber karbohidrat nasi, mie, umbi- umbian, roti 173 97.2 46 97.9 113 100.0 332 98.2 10. Setiap hari makan sumber protein hewani 115 64.6 13 27.7 81 71.7 209 61.8 11. Setiap hari makan sumber protein nabati 157 88.2 41 87.2 102 90.3 300 88.8 12. Setiap hari makan sayuran 159 89.3 41 87.2 96 85.0 296 87.6 13. Setiap hari makan buah-buahan 56 31.5 13 27.7 43 38.1 112 33.1 67 Tabel 14 Frekuensi konsumsi makanan kaliminggu pekerja wanita menurut posisi kerja Jenis Makanan Posisi Kerja Total n=338 Duduk n=178 Berdiri n=47 Berdiri dan Berjalan n=113 sumber karbohidrat Beras 19.4 ± 3.4 19.6 ± 2.8 19.3 ± 3.4 19.4 ± 3.3 Kerupuk 19.4 ± 3.4 19.6 ± 2.8 19.3 ± 3.4 19.4 ± 3.3 Gula Pasir 8.9 ± 8.0 8.7 ± 7.6 9.6 ± 8.0 9.1 ± 7.9 Terigu 5.2 ± 4.7 5.7 ± 4.9 6.0 ± 5.4 5.5 ± 5.0 Tahu 5.8 ± 5.0 6.0 ± 5.0 6.1 ± 5.7 6.0 ± 5.2 Sumber protein Tempe 7.3 ± 5.9 7.7 ± 6.0 7.9 ± 6.4 7.6 ± 6.1 Telur 6.4 ± 5.7 6.0 ± 4.8 6.3 ± 5.1 6.3 ± 5.4 Ikan asin 3.0 ± 3.2 3.0 ± 3.7 3.4 ± 4.2 3.1 ± 3.7 Ikan tawar segar 3.3 ± 4.2 2.8 ± 3.2 2.8 ± 3.1 3.1 ± 3.8 Ikan laut 1.8 ± 2.9 1.6 ± 1.9 1.9 ± 2.5 1.8 ± 2.6 Ayam 1.4 ± 2.2 1.3 ± 1.6 1.3 ± 1.5 1.4 ± 1.9 Daging sapi 0.3 ± 0.9 0.3 ± 0.8 0.3 ± 0.7 0.3 ± 0.8 Kacang 2 an 1.4 ± 2.1 1.9 ± 2.8 1.3 ± 2.4 1.5 ± 2.3 Sumber vitamin dan mineral Tomat kecil 10.3 ± 7.8 9.6 ± 7.7 10.1 ± 8.0 10.1 ± 7.8 D singkong 3.3 ± 4.3 3.2 ± 3.3 3.3 ± 4.1 3.3 ± 4.1 Kc panjang 3.4 ± 3.0 3.8 ± 3.8 3.4 ± 3.2 3.4 ± 3.2 Wortel 3.0 ± 3.3 3.3 ± 3.3 3.0 ± 3.3 3.0 ± 3.3 Terung 2.5 ± 3.0 2.6 ± 2.4 2.5 ± 3.6 2.5 ± 3.2 Bayam 2.5 ± 2.7 2.1 ± 1.9 2.6 ± 3.4 2.5 ± 2.9 kubiskol 2.1 ± 2.7 2.8 ± 3.0 2.6 ± 3.0 2.4 ± 2.9 Buncis 2.2 ± 3.4 2.5 ± 2.5 2.2 ± 3.0 2.3 ± 3.1 Kangkung 2.5 ± 2.5 1.8 ± 1.7 1.9 ± 2.7 2.2 ± 2.5 Nanas 3.2 ± 5.2 4.1 ± 6.0 3.2 ± 5.7 3.4 ± 5.5 Pisang 2.5 ± 3.3 1.7 ± 2.1 3.3 ± 4.5 2.7 ± 3.6 Jeruk 1.6 ± 2.2 1.6 ± 2.1 1.8 ± 2.5 1.7 ± 2.3 Jambu 1.1 ± 2.5 1.0 ± 1.8 1.1 ± 2.4 1.1 ± 2.4 Lain-lain Tehkopi 5.0 ± 5.1 5.4 ± 5.1 5.9 ± 6.0 5.4 ± 5.4 Saos 1.2 ± 2.1 1.1 ± 1.4 1.0 ± 1.7 1.1 ± 1.9 VetsinMSG 18.1 ± 5.4 18.9 ± 4.8 16.9 ± 7.1 17.8 ± 5.9 Garam beryodium 18.4 ± 5.2 18.3 ± 5.8 19.1 ± 4.2 18.6 ± 5.0 Pada pada Tabel 13 di atas dapat dilihat hanya 37.0 yang memiliki kebiasaan mengonsumsi makanan beranekaragam nasi, lauk pauk, sayur, dan buah-buahan setiap hari. Kebiasaan makan 3 kali sehari hanya dilakukan oleh 22.8 dari seluruh pekerja wanita, selebihnya hanya makan dua kali sehari. Frekuensi makan 2 kali sehari ini sudah merupakan kebiasaan penduduk 68 perdesaan karena mereka jarang sarapan. Frekuensi makan yang hanya 2 kali sehari ini dapat mengurangi peluang seseorang untuk tercukupi kebutuhan gizinya. Nilai rataan porsi konsumsi nasi, sumber karbohidrat, per hari adalah 2.6 piring. Beras, gula, kerupuk dan terigu adalah makanan yang paling sering dikonsumsi, yaitu masing-masing sekitar 19, 9, 8 dan 5 kali per minggu. Nilai rataan porsi konsumsi pangan hewani masih rendah yaitu hanya 1.3 potong per hari sebaliknya porsi pangan nabati hampir mencapai 2 kali lipatnya yaitu 2.5 potong per hari. Hal tersebut dapat dimaklumi karena harga bahan pangan nabati lebih murah dibandingkan sumber pangan hewani. Tempe, telur, dan tahu sebagai sumber protein adalah makanan yang paling sering dikonsumsi, yaitu masing- masing sekitar 7, 6, dan 5 kali per minggu. Ikan asin dan ikan air tawar juga sering dikonsumsi yaitu sekitar 3 kali per minggu, sedangkan ikan laut, ayam dan kacang-kacangan kurang sering dikonsumsi yaitu hanya sekitar 1 kali per minggu. Daging sapi sangat jarang dikonsumsi yaitu hanya 0.33 kali per minggu. Porsi konsumsi sayuran dan buah masih sangat rendah dari yang dianjurkan yaitu hanya 1.4 mangkuk dan 0.6 porsi per hari, padahal kebutuhan sayur adalah 3 porsi dan buah 2 porsi per hari Soekirman dan Atmawikarta 2004 Sebagian besar pekerja wanita telah mengonsumsi sayur setiap hari 87.6 namun masih dalam jumlah yang sangat rendah. Buah dibandingkan sayuran harganya lebih mahal sehingga wajar bila sebagian besar pekerja wanita di perusahaan ini tidak mengonsumsi buah setiap hari 68.0, hanya sepertiga 32.0 dari mereka yang mampu mengonsumsi buah setiap hari. Tomat adalah sayur yang paling sering dikonsumsi yaitu 10 kali per minggu. Makanan lain yang merupakan sumber vitamin dan mineral yang relatif sering dikonsumsi yaitu daun singkong, kangkung, kacang panjang, bayam, wortel, buncis dan terung dengan frekuensi konsumsi sebanyak 2 atau 3 kali per minggu. Jenis buah- buahan yang biasa dikonsumsi oleh para pekerja ada sebanyak 10 jenis yaitu jeruk, pisang, pepaya, bengkoang, semangka, mangga, nangka, nenas, durian dan jambu batu. Nanas dan pisang adalah buah yang paling sering dikonsumsi yaitu sekitar 3 kali per minggu. Jeruk dan jambu batu menempati urutan kedua yaitu dikonsumsi 1.6 dan sekitar 1 kali per minggu. Buah-buahan lainnya tergolong 69 jarang dikonsumsi karena frekuensi konsumsinya kurang dari 1 kali per minggu. Konsumsi air per hari pekerja wanita masih kurang dari yang dianjurkan, yaitu hanya 6.6 gelas per hari. Kebutuhan air minum yang dianjurkan adalah ± 2 liter sehari atau setara dengan delapan gelas air sehari, Air minum harus bersih dan aman bebas dari kuman. Tercukupinya air minum dapat mencegah terjadinya dehidrasi dan menurunkan risiko batu ginjal. Asupan dan Tingkat Kecukupan Gizi Pekerja Wanita Nilai rataan asupan energi dan zat gizi yang diukur pada pekerja wanita untuk protein, vitamin A, vitamin C, kalsium dan zat besi dapat dilihat pada Tabel 15. Asupan energi, vitamin C dan zat besi tersebut lebih rendah; sedangkan asupan vitamin A, kalsium dan fosfor lebih tinggi dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk ketujuh macam zat gizi tersebut reratanya adalah energi 2 016 kkal, protein 44.0 g, vitamin A 500 RE, vitamin C 60 mg, kalsium 500 mg, fosfor 450 mg, dan zat besi 26 mg. Berdasarkan hasil Riskesdas 2007 BPPK Depkes RI 2008, jika dibandingkan dengan rataan asupan energi dan protein untuk Provinsi Lampung sebesar 1 376 kkal dan 47.7 gram, rataan asupan energi pekerja wanita tersebut sudah lebih tinggi; sedangkan asupan proteinnya sedikit lebih rendah. Namun demikian asupan energi dan protein tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rataan asupan energi dan protein untuk nasional yang mencapai 1 736 kkal dan 55.5 g. Tabel 15 Asupan zat gizi dan tingkat kecukupan gizi AKG pekerja wanita n=338 Deskripsi Energi kka Protein g Vit.A RE Vit.C mg Kalsium mg Fosfor mg Besi mg Asupan Rataan 1680 47.1 1330 44 543 1423 15 SD 541 21.1 1130 80 959 3171 10 AKG Rataan 84 107 266 73 109 316 59 SD 27 48 226 134 192 705 37 Persentase perbandingan antara asupan zat gizi dengan angka kecukupan zat gizi AKG yang dianjurkan menghasilkan tingkat kecukupan gizi atau 70 AKG. Hasil perhitungan AKG makro pada pekerja wanita untuk energi dan protein sebesar 83.6 dan 107.5 termasuk kategori cukup dan normal. Adapun AKG mikronya, untuk vitamin A 266.1 atau melebihi normal, sedangkan vitamin C yaitu 73.0 meskipun ini termasuk dalam kategori tidak defisit namun relatif rendah. Pada kelompok mineral, AKG kalsium 108.6 normal, fosfor 316.2 melebihi normal dan zat besi 59.2 defisit. Dari ketujuh macam AKG di atas dapat dilihat bahwa yang tidak mencapai kategori normal atau lebih adalah energi, vitamin C dan zat besi. Ada keterkaitan antara vitamin C dengan zat besi di dalam tubuh. Vitamin C selain merupakan vitamin anti skorbut, pencegah dan penyembuh skurvi, juga sebagai koenzim maupun kofaktor dan diperlukan untuk membantu mereduksi besi dari bentuk feri menjadi fero di dalam sel usus untuk memudahkan penyerapan dan pengangkutan besi dari plasma transferin ke feritin di hati Almatsier, 2002. Terjadinya anemia gizi besi, selain disebabkan oleh kekurangan asupan zat besi bisa jadi juga akibat kurang mencukupinya asupan vitamin C. Hal ini terjadi karena sebagian besar pekerja WUS jarang mengonsumsi buah-buahan sebagai sumber vitamin C dan meskipun sering mengonsumsi pangan hewani dan sayuran sebagai sumber Fe namun masih dalam jumlah yang sedikit Tabel 13 dan 14. Status Gizi Antropometri Status gizi antropometri pekerja wanita yang diukur adalah berat badan, tinggi badan, IMT, lingkar lengan atas dan rasio pinggang pinggul. Pada Tabel 16 dapat dilihat hasl pengukuran tersebut. Tabel 16 Karakteristik antropometri pekerja wanita menurut posisi kerja Diskripsi Posisi Kerja Total n=338 Duduk n=178 Berdiri n=47 Berdiri dan Berjalan n=113 Usia tahun 31.4 ± 4.4 32.3 ± 6.2 30.9 ± 5.4 31.4 ± 5.0 Berat Badan kg 52.7 ± 8.7 51.4 ± 8.9 52.4 ± 9.0 52.4 ± 8.8 Tinggi badan cm 150.9 ± 5.0 148.9 ± 4.6 151.2 ± 5.5 150.7 ± 5.2 Indeks Massa Tubuh kgm 2 23.2 ± 3.9 23.2 ± 4.3 22.9 ± 3.7 23.1 ± 3.9 Lingkar Pinggang cm 74.3 ± 8.9 73.9 ± 8.9 73.8 ± 8.5 74.1 ± 8.9 Lingkar Pinggul cm 91.2 ± 8.3 90.1 ± 8.6 90.6 ± 9.1 90.8 ± 8.6 Lingkar lengan atas LILA cm 27.6 ± 8.8 27.0 ± 3.4 27.0 ± 3.3 27.3 ± 6.8 71 Nilai rataan berat badan pekerja wanita adalah 52.4 kg, dengan berat badan terendah 31 kg dan tertinggi 78 kg. Nilai rataan tinggi badan pekerja wanita adalah 150.7 cm, dengan tinggi badan terendah 140.8 cm dan tertinggi 170.0 cm. Nilai rataan indeks massa tubuh IMT adalah 23.1 kgm 2 , dengan IMT terendah 14.7 kgm 2 dan tertinggi 36.2 kgm 2 . Nilai rataan lingkar pinggang waist pekerja wanita adalah 75.6 cm, dengan lingkar pinggang terendah 55.0 cm dan tertinggi 102.3 cm. Nilai rataan lingkar pinggul hip adalah 90.8 cm, dengan lingkar pinggul terendah 55.0 cm dan tertinggi 114.7 cm. Ukuran rasio lingkar pinggang pinggul RPP merupakan indikator status gizi penduduk usia dewasa untuk mengetahui adanya obesitas abdomen. Ukuran RPP memberikan pendugaan akumulasi lemak abdomin, karena peningkatan RPP dapat memprediksi peningkatan resiko penyakit jantung, diabetes dan penyakit kronis lainnya yang berkaitan dengan obesitas Lau et al. 2007. Ukuran RPP yang ideal untuk wanita adalah di bawah 0.80. Berdasarkan analisis didapatkan prevalensi RPP di atas 0.8 tidak ideal pada pekerja wanita adalah 57. Nilai rataan RPP pekerja wanita sebesar 0.82, dengan selang terendah 0.66 dan tertinggi 1.40. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil Survai Kesehatan Nasional SURKESNAS 2001 yang mendapatkan bahwa RPP wanita usia subur yang anemia sebesar 0.83±0.07 tidak berbeda nyata dengan yang nonanemia sebesar 0.82±0.07 Briawan Hardinsyah 2010. Nilai rataan lingkar lengan atas LILA adalah 27.0 cm, dengan LILA terendah 19.5 cm dan tertinggi 38.0 cm. Sebanyak 9 pekerja wanita diduga mengalami malnutrisi thinness dengan IMT18.5 kgm 2 , 44 normal IMT 18.5-22.9 kgm 2 , 21 beresiko gemuk IMT 23-24.9 kgm 2 dan 26 mengalami kegemukan IMT 25-29.9 kgm 2 atau overweight obes IMT ≥30 kgm 2 . Prevalensi thinnes tersebut lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi thinnes pada orang dewasa laki-laki dan perempuan hasil riskesdas 2007 di Provinsi Lampung yang besarnya, yaitu 14.7. Berdasarkan klasifikasi masalah kesehatan masyarakat public health problem dari IMT rendah thinness pada wanita dewasa maka prevalensi sembilan persen tersebut tergolong prevalensi rendah low prevalence yang merupakan isyarat waspada warning sign yang perlu selalu dimonitor WHO, 1995. Prevalensi kegemukan tersebut jauh lebih tinggi 72 daripada prevalensi kegemukan pada wanita dewasa 15 tahun ke atas hasil Riskesdas tahun 2007, yang hanya 20.3. Banyak penelitian menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat antara kegemukan dengan morbiditas dan mortalitas WHO 1995; Eckel 2010. Penelitian Riskesdas di Lampung menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan maka semakin tinggi juga prevalensi kegemukan. Masalah kegemukan pada wanita pekerja ini dikhawatirkan akan meningkatkan risiko masalah kesehatan, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi kapasitas dan produktivitas kerjanya. Berdasarkan analisis statistik, usia pekerja wanita nyata berhubungan positif dengan IMT dan LILA p=0.00. Hal ini berarti semakin bertambah usia, pekerja wanita semakin gemuk dan memiliki LILA yang semakin besar. Status Anemia dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita Nilai rataan kadar hemoglobin Hb pekerja wanita 129±12.0 gl atau tergolong normal. Prevalensi anemia HB120 gl ditemukan sebesar 16.9, dan yang ambang batas anemia Hb 120-125 gl sebesar 16.0. Kadar Hematokrit Ht pekerja wanita reratanya juga tergolong normal, sekitar tiga kali kadar Hb. Prevalensi pekerja wanita dengan kadar hematokrit kurang dari 36 tergolong rendah yaitu hanya 7.4, selebihnya 92.6 memiliki kadar hematokrit normal ≥36. Pada Tabel 17 dapat dilihat prevalensi anemia pekerja wanita. Tidak ada perbedaan yang nyata antara kadar Hb dan Ht pekerja wanita menurut posisi kerjanya. Artinya dalam melaksanakan kerja fisik, kadar Hb dan Ht pekerja wanita tidak menjadi pembatas. Berdasarkan analisis statistik, kadar hemoglobin nyata berhubungan positif dengan IMT r=0.153, p= 0.005 dan sekaligus juga nyata berhubungan dengan LILA r=0.191, p=0.000. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar Riskedas 2007, rataan Hb dan prevalensi anemia khusus untuk wanita dewasa di Provinsi Lampung adalah 128.2 gl dan 25.9; sedangkan rataan nasional adalah 130 gl dan 19.7 BPPK Depkes 2008. Hal ini berarti rataan Hb pekerja wanita sedikit lebih tinggi dan prevalensi anemianya lebih rendah dibandingkan dengan rataan untuk Provinsi Lampung. Jika dibandingkan dengan angka nasional rataan Hb pekerja wanita hampir sama dan prevalensi anemianya lebih rendah dari rataan nasional. Hal ini mengkan bahwa pekerja wanita yang kesejahteraan rumah tangganya sudah baik 73 memiliki status anemia yang lebih baik dibandingkan dengan rataan Provinsi maupun nasional. Tabel 17 Prevalensi anemia pekerja wanita menurut kadar Hb dan posisi kerja Kategori anemia Kadar Hb gl Posisi Kerja Total n=338 Duduk n=178 Berdiri n=47 Berdiri dan Berjalan n=113 n n . n n Normal Tidak ≥125 115 64.6 26 55.3 86 76.2 227 67.1 Anemia 120-125 31 17.4 19 40.4 4 3.5 54 16.0 Anemia Ringan 100-119 28 15.7 0.0 21 18.6 49 14.5 Sedang 80-99 4 2.2 1 2.1 2 1.8 7 2.1 Berat ≤ 80 0.0 1 2.1 1 0.3 Kebugaran fisik sebagian besar pekerja wanita tergolong baik, ini ditandai dengan rataan denyut jantung pasca pemulihan setelah uji bangku selama lima menit sebanyak 36.8 kali per 15 detik 22.0-55.0x15. Nilai rataan VO 2 maks mereka sebesar 40.3 mlkgmenit dengan selang VO 2 maks terendah 28.0 mlkgmenit dan tertinggi 72.5 Tabel 18. Nilai rataan VO 2 max pada pekerja wania dengan posisi duduk cenderung lebih rendah dibandingkan VO 2 max pada posisi lainnya. Rendahnya VO 2 max tersebut mungkin terkait dengan pola aktivitasnya yang cenderung lebih ringan pada posisi duduk. Tabel 18 Kebugaran fisik pekerja wanita berdasarkan denyut jantung dan VO 2 maks menurut posisi kerja Deskripsi Posisi Kerja Total n=338 Duduk n=178 Berdiri n=47 Berdiri dan Berjalan n=113 Denyut jantung15 detik 37.3 ± 5.2 36.0 ± 4.7 36.4 ± 4.8 36.8 ± 5.0 VO 2 maks mlkgmenit 39.7 ± 6.4 41.1 ± 6.0 40.8 ± 7.6 40.3 ± 6.8 Nilai rataan VO 2 maks di atas tergolong sangat baik. Berdasarkan RHSFNS 2008 distribusi pekerja wanita menurut kategori VO 2 maks adalah sebagai berikut: 46.4 superior, 28.1 sangat baik, 15.1 baik, 10.1 sedang, dan 0.3 buruk. Nilai rataan VO 2 maks yang baik pada pekerja wanita ini membuktikan bahwa aktivitas sedang sampai aktif yang mereka lakukan secara rutin pada kondisi ruangan yang cukup panas dan bising dapat menjadikan 74 jantung-paru menjadi terlatih sehingga bekerja semakin efisien. Kalau dibandingkan sebaran antar ketiga posisi kerja, maka wanita pada posisi kerja duduk memiliki proporsi yang paling rendah pada kategori superior dan memiliki proporsi yang paling tinggi pada kategori sedang. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kebugaran fisik wanita pada posisi kerja duduk cenderung lebih rendah dibandingkan posisi lainnya. Hal ini juga membuktikan bahwa aktivitas fisik yang lebih aktif berdiri dan atau berjalan menghasilkan kerja jantung-paru yang lebih efisien dibandingkan dengan aktivitas fisik yang ringan duduk. Penelitian Eksperimental Karakteristik Pekerja WUS Pekerja WUS dengan kadar Hb marjinal yang berhasil mengikuti suplementasi dan memenuhi syarat inklusi selama 10 minggu berjumlah 34 orang. Terdapat 5 orang 13 pekerja WUS yang gugur dikarenakan 3 orang hamil, dan 2 orang sakit. Mereka berasal dari grup BF dan MVM masing-masing dua orang, dan seorang dari grup P. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam karakteristik fisik dan hematologik sebelum suplementasi antara 39 orang dengan 34 orang yang memiliki data lengkap p = 0.45-0.97. Pada Tabel 19 dapat dilihat hasil uji beda beberapa karakteristik awal antara seluruh subyek n=39 dengan subyek yang memiliki data lengkap hingga akhir penelitian n=34. Tabel 19 Nilai rataan beberapa karakteristik fisik dan hematologik sebelum suplementasi Karakteristik Seluruh subyek n=39 Subyek dengan data lengkap n=34 p- value 1 Fisik Berat badan kg 50.3±8.0 48.7±6.8 0.972 Tinggi badan cm 150.8±5.9 150.5±5.5 0.794 Indeks Massa Tubuh kgm 2 22.2±3.7 21.6±3.2 0.462 Rasio pinggang pinggul 0.78±0.05 0.77±0.05 0.608 Lingkar lengan atas cm 24.6±3.3 24.0±2.8 0.466 VO 2 maks mlkgmenit 40.45±5.8 40.5±6.1 0.964 Hematologik Hemoglobin gl 110.3±9.3 110.5±9.8 0.933 Hematokrit 35.1±2.3 35.0±2.4 0.889 Serum Feritin ugl 28.4±35.2 23.1±21.5 0.446 Serum transferin reseptor mgl 6.2±2.4 6.1±2.5 0.873 1 p-value, hasil uji t 75 Subyek penelitian ini, pekerja WUS dengan Hb marginal , selanjutnya disebut sebagai pekerja WUS, yang dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini berjumlah 34 orang. Mereka dibagi menjadi tiga grup perlakuan yaitu BF n=11, MVM n=11 dan Plasebo n=12. Tidak ada perbedaan yang nyata antar grup perlakuan dalam beberapa karakteristik sosial ekonomi yang diukur p0.05. Pada Tabel 20 disajikan data beberapa karakteristik sosial ekonomi pekerja WUS. Tabel 20 Beberapa karakteristik sosial ekonomi pekerja WUS n=34 Deskripsi Rataan SD Umur tahun 30.9 4.6 Masa kerja di perusahaan tahun 10.6 4.3 Pendapatan Pekerja WUS Rpbulan 1 932 559 320 803 Pendapatan Rumah Tangga Rpkapbulan 1 071 564 403 864 Pengeluaran Rumah Tangga Rpkapbulan 647 200 284 855 Pangan 298 567 127 544 Nonpangan 348 634 205 658 Rokok 38 980 71 905 Bahanbakar 67 319 37 425 Kesehatan 4 578 6 710 Kebersihan 17 890 11 287 Kosmetik 10 618 10 253 Pendidikan 11 101 21 872 Bajusepatu 21 553 20 424 Sosial 37 416 55 625 Tabungan 39 755 57 102 Transport 28 098 45 716 Komunikasi 16 858 14 339 Cicilan 34 222 75 734 Pembantu 15 343 42 746 Perbaikan rumah 4 902 28 583 Kontribusi Pekerja WUS ke pendapatan RT 68.7 14.7 Persentase pengeluaran Rumah Tangga Nonpangan 52.00 12.41 Pangan 48.00 12.41 SD = standard deviation simpangan baku Pekerja WUS sebagian besar berumur antara 21-30 tahun 47, diikuti oleh umur 31-35 35, 36-40 tahun 15 dan di atas 40 tahun 3. Sebagian besar memiliki seorang anak 62, selebihnya 23 belum memiliki anak, 12 memiliki dua orang anak, serta hanya ada satu orang 3 yang memiliki lebih dari dua anak, Sebagian besar berpendidikan lulus SMP 44 dan SMA 41, selebihnya hanya lulus SD 15. Masa kerja mereka di perusahaan sebagian 76 besar pada selang 10-15 tahun 41, diikuti 5-10 tahun 33, di atas 15 tahun 15, dan di bawah 5 tahun 12. Nilai rataan pendapatan pekerja WUS sebagaimana dapat dilihat dalam tabel di atas hampir dua setengah kali lipat dari upah minimum kabupaten UMK Kabupaten Lampung Tengah tahun 2010 sebesar Rp776.000 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor G001III.05HK2010. Pendapatan mereka yang relatif tinggi tersebut dikarenakan setiap minggu mereka mendapatkan giliran kerja piket yakni datang lebih awal dari yang lain untuk bersih-bersih yang dihitung sebagai lembur. Setiap kelebihan bekerja selama minimal 30 menit dari 40 jam per minggu dihitung sebagai lembur yang upahnya dua kali lipat. Antara bulan November hingga Maret biasanya terjadi panen raya buah nanas dan karenanya mereka bisa bekerja hingga 10 jam per hari. Penelitian ini dilakukan pada saat panen raya nanas, karena itu pendapatan mereka jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rataan pendapatannya pada saat studi pendahuluan di bulan Juni sebesar Rp1 377 147.00. Pendapatan rumah tangga mereka hampir 70 disumbang oleh hasil kerja mereka. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa mereka merupakan pencari nafkah utama dalam rumah tangganya. Rumah tangga pekerja WUS sudah termasuk sejahtera, hal ini terlihat dari total pengeluaran rumah tangga mereka yang lebih kecil dari total pendapatan dan sudah tidak lagi didominasi oleh pengeluaran pangan. Pada tabel di atas terlihat ada perbedaan yang cukup tinggi antara pendapatan dengan pengeluaran, hal ini dikarenakan waktu pengambilan data pendapatan di atas adalah selama panen raya sedangkan pengambilan data pengeluaran pada saat panen biasa. Adanya surplus pendapatan dari pengeluaran pada rumah tangga mereka di musim panen raya tersebut sulit digali peruntukannya. Persentase pengeluaran pangan rumah tangga lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran nonpangan. Hal ini menunjukkan pertanda baik karena mereka telah mampu memenuhi pengeluarannya dan dapat menabung pendapatannya. Persentase pengeluaran nonpangan yang tertinggi adalah untuk bahan bakar 10.5, diikuti oleh rokok 6.1, tabungan 5.67, sosial 5.4, cicilan 5.3 dan transportasi 4.71. Selanjutnya pengeluaran untuk baju dan sepatu, kebersihan, komunikasi, pendidikan serta pembantu rumah tangga masing-masing berkisar 2-4 persen. Adapun pengeluaran untuk kosmetik, 77 perbaikan rumah dan kesehatan menempati posisi terakhir yakni masing-masing di bawah dua persen. Dapat dilihat bahwa mereka juga sudah memiliki kemauan untuk menabung dan mengeluarkan uang untuk kebutuhan sosial. Namun demikian rumah tangga mereka mengeluarkan uang cukup banyak untuk rokok dan membayar kredit. Pengeluaran untuk rokok, yang bisa dipastikan hanya dilakukan oleh suaminya, masih relatif tinggi yaitu sebesar 6.1 dari total pengeluaran mereka sebesar Rp647 200.00 per kapita per bulan. Pemberian Zat Gizi Mikro Pelaksanaan perlakuan yaitu pemberian zat gizi mikro atau suplementasi dilakukan di depan peneliti atau asisten peneliti setiap hari Selasa, Rabu dan Jum’at di balai pengobatan yang terletak di dekat pabrik. Hampir semua pekerja WUS memiliki telepon seluler, sehingga memudahkan peneliti dalam berkomunikasi dengan mereka. Sehari sebelum jadual minum kapsul, mereka selalu diingatkan melalui pesan singkat ke telepon masing-masing. Selama suplementasi berlangsung, baik peneliti, asisten peneliti maupun pekerja WUS tidak mengetahui jenis yang diberikan karena semua suplemen dikemas dalam kapsul dengan warna dan ukuran yang sama. Waktu minum kapsul adalah sesudah makan siang, bagi yang kerja pagi, atau sesudah makan malam bagi yang kerja malam. Jika pada saat hari suplementasi ada yang tidak masuk kerja maka akan diganti pada hari lain setelah dia masuk. Dengan demikian kepatuhan minum kapsul suplemen semuanya 100. Manfaat minum kapsul yang dirasakan pekerja WUS cukup bervariasi, paling banyak adalah merasa badan lebih enak dan bertenaga diikuti oleh nafsu makan bertambah. Berbagai manfaat minum kapsul yang dirasakan pekerja WUS sejak minggu ke-2 hingga ke-10 dapat dilihat pada Tabel 21. Manfaat minum kapsul yang dirasakan tersebut selain merupakan pengaruh dari perlakuan yang diberikan juga berasal dari adanya sugesti yang terbentuk selama suplementasi yaitu mereka mendapatkan vitamin yang berguna untuk meningkatkan kesehatan. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 21 bahwa selama minum kapsul nafsu makan bertambah, lebih banyak dilaporkan oleh grup P yang merasakan tubuhnya menjadi lebih sehat. Ini menunjukkan bahwa terbentuknya sugesti di awal saja dapat berpengaruh positif terhadap grup plasebo plasebo 78 effect , bahkan pekerja WUS yang paling banyak melaporkan tidur jadi lebih nyenyak juga berasal dari grup P. Tabel 21 Sebaran pekerja WUS menurut manfaat minum kapsul yang dirasakannya selama sepuluh minggu Perlakuan Biasa saja Badan lebih segar dan kuat Nafsu makan bertambah Tidak mudah mengantuk Rasa lelah berkurang Tidur lebih nyenyak BF 4 6 5 4 3 2 MVM 3 9 3 3 2 P 2 6 8 2 3 4 Status Gizi Antropometri Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan makanan. Indek masa tubuh IMT merupakan ukuran antropometri yang baik digunakan pada orang dewasa yang memberikan gambaran mengenai asupan gizi seseorang pada masa lampau. Lingkar lengan atas LILA mencerminkan simpanan energi berupa lemak di bawah kulit. Adapun rasio lingkar pinggang pinggul RPP menggambarkan simpanan lemak di bagian pinggang dan pinggul pada wanita dewasa. Pada Tabel 22 dapat dilihat status gizi antropometri pekerja WUS sebelum dan sesudah suplementasi. Secara umum tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan pada beberapa peubah status gizi antropometri sebelum perlakuan p0.05. Sebelum perlakuan, 12 pekerja WUS termasuk kurus IMT18.5 kgm 2 , 70 normal, dan 18 gemuk IMT25 kgm 2 . Sesudah perlakuan, angka-angka tersebut menjadi 6, 73, dan 21. Sesudah perlakuan, BB dan IMT pada ketiga perlakuan meningkat secara nyata p0.00-0.035, namun peningkatannya tidak berbeda nyata antar perlakuan p0.05. Terjadinya peningkatan ini sesuai dengan pernyataan pekerja WUS di atas bahwa selama perlakuan nafsu makan bertambah, sehingga IMT mereka naik. Peningkatan yang terjadi pada ketiga peubah tersebut dapat menjelaskan bahwa perlakuan yang dilakukan kepada pekerja WUS dapat diterima. 79 Tabel 22 Karakteristik antropometri pekerja WUS menurut perlakuan 1 p-value , hasil analisis ragam uji ANOVA pada baris yang sama 2,3 Berbeda nyata dari sebelum suplementasi uji-t: 2 p 0.01, 3 p 0.05 Asupan Zat Gizi dan Tingkat Kecukupan Gizi AKG Asupan semua jenis zat gizi pekerja WUS sebelum dan selama perlakuan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Pada Tabel 23 disajikan asupan zat gizi mereka. Dapat dilihat pada tabel tersebut bahwa asupan gizi selama perlakuan kecuali vitamin C dari total ketiga grup lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan respon di atas yang menyatakan nafsu makannya bertambah sehingga selama perlakuan asupan gizinya meningkat. Meskipun asupan zat gizi kecuali vitamin C selama perlakuan meningkat, namun perbedaan yang nyata untuk asupan energi, protein, vitamin A dan kalsium selama perlakuan dibandingkan dengan sebelum perlakuan hanya ditunjukkan oleh grup P. Hal ini membuktikan adanya efek plasebo. Sebaliknya asupan Fe selama perlakuan pada grup BF dan MVM berbeda nyata, sedangkan pada P tidak berbeda nyata dibandingkan dengan sebelum perlakuan. Dengan demikian grup P yang tidak menerima suplemen Fe dapat diperkirakan status besinya sesudah perlakuan menurun, sebaliknya grup BF dan MVM meningkat. Secara keseluruhan rataan AKG untuk energi sebelum perlakuan termasuk normal menjadi berlebih selama perlakuan, sedangkan untuk protein dari cukup menjadi normal. Pada Tabel 24 dapat dilihat tingkat kecukupan gizi pekerja WUS. Karakteristik antropometri BF n=11 MVM n=11 P n=12 p-value 1 BB kg Sebelum 47.4±6.7 50.1±7.5 48.0±7.2 0.410 Sesudah 48.5 2 ±6.7 51.7 3 ±6.9 48.8 3 ±6.6 0.487 Δ BB 1.1±1.3 0.7±0.8 0.9±1.1 0.620 TB cm Sebelum 151.8±4.5 150.7±7.4 149.0±4.8 0.475 Sesudah 152.0±4.6 150.5±7.4 149.0±4.3 0.426 Δ TB 0.2±0.2 -0.3±0.2 -0.03±0.2 0.085 IMT kgm2 Sebelum 20.6±2.8 22.5±3.4 21.6±3.2 0.361 Sesudah 21.0 2 ±2.8 22.9 3 ±3.5 22.1 3 ±3.3 0.400 Δ IMT 0.5±0.6 0.4±0.5 0.4±0.5 0.952 RPP Sebelum 0.76±0.05 0.76±0.04 0.78±0.05 0.356 Sesudah 0.73 2 ±0.03 0.75±0.04 0.76±0.03 0.136 Δ RPP -0.03±0.04 0.01±0.05 -0.02±0.05 0.542 LILA cm Sebelum 23.1±2.7 24.9±3.0 24.1±2.4 0.340 Sesudah 23.6±2.5 24.6±2.7 24.3±2.6 0.643 Δ LILA 0.4±0.05 -0.3±1.2 0.2±0.9 0.187 80 Tabel 23 Nilai rataan asupan zat gizi sebelum dan selama perlakuan Zat Gizi BF n=11 MVM n=11 P n=12 TOTAL n=34 p- value 1 Energi kkal Sebelum 1709±722 1596±560 1454±531 1582±599 0.606 Selama 1692±345 1819±280 1813 2 ±335 1776 3 ±317 0.582 Δ Energi -23.4±661.3 214.1±577.6 358.7±406.0 194.0±561.6 0.277 Protein g Sebelum 47.0±21.0 45.2±18.9 36.1±13.0 42.56±18.0 0.300 Selama 46.9±21.0 48.5±6.6 47.9 3 ±12.3 47.8±10.3 0.935 Δ Protein -0.6±23.0 2.8±19.1 11.8±15.5 5.2±19.5 0.320 Vitamin A RE Sebelum 823±1106 997±1310 728±486 846±991 0.815 Selama 1815±1586 1639±834 1390 2 ±607 1608 2 ±1062 0.599 Δ Vit A 711±2200 296±1866 438±785 762±1498 0.835 Vitamin C mg Sebelum 45.9±72.9 43.6±55.0 61.5±91.2 50.7±73.3 0.937 Selama 45.7±49.3 32.4±35.4 56.1±92.1 45.0±63.7 0.823 Δ Vit C -0.12± 78.9 -11.32 ± 72.2 -5.42 ± 58.7 -5.6±68.1 0.932 Fe mg Sebelum 13.9±6.4 13.9±7.2 12.8±8.9 13.5±7.4 0.929 Selama 14.2 2 ±6.5 14.3 2 ±3.1 14.7±5.2 14.4±5.0 0.970 Δ Fe 0.5±8.7 0.5±7.1 1.8±10.3 0.8±8.7 0.896 Ca mg Sebelum 357.5±297.9 311.0±169.6 246.7±143.4 303.4±211.3 0.601 Selama 450.2±495.3 1276.5±1603.2 865.2 3 ±964.7 863.9 2 ±1130.1 0.235 Δ Ca 96.3±622.7 968.9±1634.3 488.6±934.2 560.6±1163.2 0.212 P mg Sebelum 535.4±300.3 597±304 1077.9±2327.5 747.3±1386.8 0.601 Selama 1250.6 3 ±1024 826±610 1059.4±1247 1045.8±989.6 0.537 Δ P 715.1±996.8 541.7±1344.9 788.1±2750.7 298.6±1110.8 0.286 1 p-value , hasil analisis ragam antar tiga grup perlakuan pada baris yang sama 2,3 Berbeda nyata dari sebelum perlakuan uji-t: 2 p 0.01, 3 p 0.05 Meskipun rataan AKG energi pekerja WUS sebelum perlakuan mencapai kategori normal, namun jika ditinjau lebih lanjut sebagian besar yakni 47 belum mencapai kategori ini. Bahkan 26.5 diantaranya pada kategori mengalami defisit berat. Hal ini diperkirakan karena kebiasaan mengonsumsi makanan sumber karbohidrat masih kurang yakni hanya 2.6 piring, sebagaimana dijelaskan di depan. Pada kelompok zat gizi mikro, baik sebelum maupun selama perlakuan untuk vitamin A dan fosfor termasuk berlebih. Sebaliknya untuk vitamin C dan Fe baik sebelum maupun selama perlakuan termasuk defisit berat AKG70, sedangkan Ca dari defisit menjadi normal. Nilai rataan AKG tersebut di atas belum dapat menggambarkan AKG yang sesungguhnya pada masing-masing individu. 81 Tabel 24 Tingkat kecukupan gizi AKG pekerja WUS sebelum dan selama perlakuan menurut grup perlakuan Zat Gizi BF n=11 MVM n=11 P n=12 TOTAL n=44 p- value 1 Energi Sebelum 104.2±43.8 96.8±41.1 92.0±40.1 97.5±40.7 0.780 Selama 102.8±24.2 105.5±18.5 111.3±29.7 106.7±24.3 0.707 Δ energi -1.4±39.6 8.7±35.1 19.3±28.0 9.2±34.4 0.365 Protein Sebelum 94.8±39.2 90.2±42.7 76.9±33.9 87.0±38.3 0.517 Selama 95.3±24.7 93.7±16.8 98.0±29.5 95.7±23.7 0.916 Δ protein 0.6±45.6 3.5±40.1 21.1±32.5 8.8±39.4 0.410 Vitamin A Sebelum 198.4±423.9 199.5±262.0 145.6±97.3 169.2±198.3 0.815 Selama 164.6±221.3 327.9±166.8 278.0±121.5 321.6±212.4 0.642 Δ Vit A 363.0±317.3 128.4±301.8 132.4±142.2 152.4±299.7 0.835 Vitamin C Sebelum 61.1±97.2 58.2±73.4 82.0±121.6 67.5±97.7 0.823 Selama 61.0±66.0 43.1±47.2 74.8±122.9 60.1 2 ±84.9 0.683 Δ Vit C -0.1±105.2 -15.1±96.3 -7.2±78.3 -7.5±90.8 0.932 Fe Sebelum 53.4±24.5 53.6±27.9 49.5±34.4 52.1±28.6 0.929 Selama 54.5±24.9 54.9±11.9 56.4±19.8 55.3±19.1 0.969 Δ Fe 1.1±32.9 1.2±28.9 6.9±39.5 3.2±33.3 0.896 Ca Sebelum 44.7±37.2 38.9±21.2 30.9±17.9 37.9±26.4 0.462 Selama 56.3±61.9 159.5±200.4 108.1±120.6 108.0±141.3 0.236 Δ Ca 11.6±78.0 120.7±204.7 77.3±117.3 70.1±145.4 0.212 P Sebelum 119.1±66.8 132.8±67.7 239.5±517.2 166.1±308.2 0.601 Selama 277.9±227.8 183.6±135.7 235.4±277.0 232.4 2 ±219.9 0.616 Δ P 158.8±221.3 50.8±162.7 -4.1±316.2 66.3±246.8 0.286 1 p-value , hasil analisis ragam antar tiga grup perlakuan pada baris yang sama 2,3 Berbeda nyata dari sebelum perlakuan uji-t: 2 p 0.01, 3 p 0.05 Pada Gambar 6 dapat dilihat distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan energi sebelum dan selama menerima perlakuan. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebelum perlakuan cukup banyak yang AKG untuk energi berada dalam kategori defisit berat, sedangkan yang sudah mencapai normal hingga berlebih hanya berkisar 50. Selama perlakuan, hampir tidak ada lagi yang defisit berat energi. Selama perlakuan sebagian besar 73.5 tingkat kecukupan energinya meningkat hingga pada kategori normal sampai berlebih. 82 Pada grup BF tidak ada lagi yang mengalami defisit energi. Hal ini sesuai dengan pernyataan mereka bahwa nafsu makannya bertambah selama perlakuan. 18 18 9 27 27 27 18 36 18 33 17 25 25 10 20 30 40 50 60 70 70-79 80-89 90-110 110 BF MVM P a Sebelum Perlakuan 9 9 9 45 27 36 18 45 8 17 33 42 10 20 30 40 50 60 70 70-79 80-89 90-110 110 BF MVM P b Selama Perlakuan Gambar 6 Distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi AKG energi sebelum dan selama perlakuan Demikian pula untuk protein, yang memiliki tingkat kecukupan normal hingga berlebih meningkat dari semula 47 menjadi 62 selama perlakuan, ditunjukkan pada Gambar 7. Peningkatan asupan energi dan protein di atas meskipun secara statistik tidak nyata, namun dilihat dari kategori AKG menunjukkan ada perbaikan. Pada grup MVM tidak ada lagi yang mengalami defisit energi dan tidak ada lagi yang defisit berat protein. 83 18 18 18 27 18 45 36 18 50 17 8 25 10 20 30 40 50 60 70 70-79 80-89 90-110 110 BF MVM P a Sebelum perlakuan 27 27 45 18 27 27 27 17 25 33 25 10 20 30 40 50 60 70 70-79 80-89 90-110 110 BF MVM P b Selama Perlakuan Gambar 7 Distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi AKG protein sebelum dan selama perlakuan Untuk zat gizi mikro, asupan vitamin C, Ca dan zat besi sebagian besar pekerja baik sebelum maupun selama perlakuan berada dalam kategori defisit AKG70. Sebelum dan selama perlakuan sebagian besar 60 pekerja WUS mengalami defisit untuk vitamin C, Ca dan Fe. Bahkan untuk tingkat kecukupann Fe, jika semula 18 berada pada kategori normal atau berlebih, maka pada selama perlakuan turun tinggal menjadi 6. Kemungkinan ini salah satu penyebab mereka mengalami anemia. Vitamin C berperan membantu penyerapan zat besi non-heme dengan merubah bentuk ferri menjadi bentuk ferro dan merupakan salah satu senyawa yang paling dikenal sebagai enhancher, yang mempengaruhi ketersediaan mineral besi usus. Pada Tabel 25 dapat dilihat distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi mikro. 84 Tabel 25 Distribusi persentase pekerja WUS menurut tingkat kecukupan vitamin dan mineral Kategori Vitamin A Vitamin C Kalsium Fosfor BF MVM P BF MVM P BF MVM P BF MVM P Defisit 70 Sebelum 55 36 33 82 82 67 18 91 92 82 64 25 Selama 73 82 75 73 82 75 91 73 67 8 Tidak defisit ≥70 Sebelum 45 64 67 18 18 33 82 9 8 18 36 75 Selama 27 18 25 27 18 25 8 27 33 100 100 92 Pada Tabel 25 dapat dilihat bahwa sebelum dan selama perlakuan pekerja WUS tidak memiliki asupan yang baik untuk zat gizi mikro. Jika dibandingkan dengan gizi makro yang asupannya meningkat selama perlakuan, maka tidak demikian halnya untuk asupan zat gizi mikro. Hal ini membuktikan bahwa konsumsi makanan pada kalangan mereka masih lebih diperuntukkan untuk menghilangkan rasa lapar saja, belum untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini tercermin dari jenis bahan makanan dan frekuensi makan mereka yang belum sesuai dengan pedoman umum gizi seimbang sebagaimana disajikan pada Tabel 14 dan 15. Asupan vitamin A dan C yang rendah dapat berpengaruh terhadap metabolisme Fe. Vitamin A merupakan salah satu vitamin yang diperlukan untuk produksi sel darah merah secara normal, sementara vitamin C merupakan antioksidan yang berfungsi untuk melindungi sel darah merah matang dari kerusakan dini oleh oksidasi radikal bebas. Vitamin A dan vitamin C dapat mencegah anemia dengan meningkatkan penyerapan besi dari usus atau dengan membantu memobilisasi besi dari simpanan tubuh Fishman et al. 2000. Sebagaimana dengan asupan vitamin A dan C, dapat dilihat bahwa sebagian besar pekerja anemia mengalami defisit zat besi baik pada waktu sebelum maupun selama perlakuan Gambar 8. Hal ini mungkin termasuk faktor utama terjadinya anemia pada diri mereka. Rendahnya asupan vitamin A dan zat besi yang berasal dari makanan ini termasuk salah satu masalah nasional Atmarita 2005. Dengan kebiasaan makan yang ada dan kegiatan fisik yang dimiliki pekerja WUS, sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan gizi mikro dari makanan. Oleh karena itu, untuk menangani anemi yang mereka alami perlu dilakukan suplementasi. Pada Gambar 8 dapat dilihat tingkat kecukupan gizi AKG untuk besi mereka. 85 73 27 73 27 64 36 82 18 67 33 75 25 10 20 30 40 50 60 70 80 90 BF MVM P BF MVM P Sebelum Selama Sebelum Selama Sebelum Selama Gambar 8 Distribusi pekerja WUS menurut tingkat kecukupan gizi AKG zat besi sebelum dan selama perlakuan Alokasi Waktu, Aktivitas Fisik dan Pengeluaran Energi Berbagai jenis dan lamanya aktivitas fisik yang dilakukan pekerja WUS dalam satu hari dapat digunakan untuk menghitung berapa banyak energi yang mereka keluarkan untuk beraktivitas. Alokasi waktu per hari mereka dapat dilihat pada Tabel 26. Pada Tabel 26 dapat dilihat jenis aktivitas pekerja WUS yang dapat digolongkan menjadi lima yaitu tidur, aktivitas pribadi, kerja rumah tangga, persiapan kerja dan bekerja. Kesemua jenis aktivitas tersebut reratanya antar perlakuan tidak ada yang berbeda nyata p0.05. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya dalam satu hari untuk bekerja yakni selama 9.65 jam. Kecapaian dalam bekerja mereka imbangi dengan menghabiskan waktu terbanyak berikutnya untuk tidur dan melakukan kegiatan-kegiatan pribadi yakni selama 6.36 jam dan 5.15 jam. Pada akhirnya mereka tidak mengalokasikan banyak waktu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Nilai rataan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga sebesar 1.69 jam, terutama dilakukan pada pagi hari. Selebihnya 1.19 jam per hari mereka manfaatkan untuk persiapan bekerja. Selanjutnya pada Gambar 9 dapat dilihat perbandingan alokasi waktu pekerja WUS per hari berdasarkan perlakuan 70 ≥70 86 Tabel 26 Nilai rataan alokasi waktu untuk berbagai aktivitas yang dilakukan oleh pekerja WUS selama satu hari jam No Aktivitas BF n=11 MVM n=11 P n=12 Total n=34 . p- value 1 1 Tidur 6.55±1.04 6.45±0.95 6.10±0.74 6.36±0.91 0.475 2 Aktivitas pribadi Tidur-tiduran 0.59±0.27 0.56±0.53 0.58±0.74 0.58±0.54 0.993 Mandi, shalat, berpakaian 1.38±0.33 1.27±0.58 1.53±0.40 1.40±0.45 0.414 Makan 0.86±0.55 0.51±0.21 0.78±0.33 0.72±0.41 0.099 Duduk santai 2.17±0.99 2.55±0.59 2.63±0.80 2.46±0.81 0.372 3 Pekerjaan rumah tangga Menyapu, masak 0.64±0.52 0.53±0.31 0.76±0.55 0.64±0.47 0.514 Mengepel 0.02±0.04 0.01±0.03 0.00±0.00 0.01±0.03 0.328 Menyetrika 0.25±0.40 0.15±0.26 0.11±0.24 0.16±0.30 0.546 Lainnya 0.74±0.53 0.98±0.69 0.89±0.49 0.87±0.56 0.599 5 Persiapan kerja Naik motor 0.00±0.00 0.05±0.18 0.00±0.00 0.02±0.10 0.363 Jalan 0.99±0.35 0.92±0.31 0.84±0.33 0.91±0.33 0.565 Berdiri tegak 0.05±0.08 0.01±0.03 0.03±0.09 0.03±0.07 0.495 Berdiri santai 0.03±0.05 0.16±0.25 0.10±0.13 0.10±0.17 0.164 aktivitas lain: Ringan 0.24±0.47 0.01±0.03 0.00±0.00 0.08±0.28 0.079 Sedang 0.00±0.00 0.16±0.54 0.01±0.03 0.06±0.31 0.382 6 Bekerja: sambil duduk 4.73±1.01 4.91±2.15 5.37±1.59 5.01±1.62 0.633 sambil berdiri 4.48±0.94 3.95±2.08 4.11±1.80 4.18±1.64 0.746 sambil berjalan 0.35±0.63 0.85±1.80 0.20±0.51 0.46±1.13 0.362 1 p-value , hasil analisis ragam antar tiga grup perlakuan pada baris yang sama 6.6 5.0 1.6 1.3 9.5 6.5 4.9 1.7 1.3 9.7 6.1 5.5 1.8 1.0 9.7 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 Tidur Pribadi Rumah tangga Persiapan kerja Bekerja Jenis Aktivitas ja m BF n=11 MVM n=11 P n=12 Gambar 9 Alokasi waktu pekerja WUS per hari pada berbagai aktivitas 87 Berdasarkan jenis dan lamanya aktivitas yang dilakukan oleh pekerja WUS dapat dihitung pengeluaran energi mereka per hari. Perhitungan pengeluaran energi mereka selama perlakuan yakni pada minggu ke sembilan suplementasi dapat dilihat pada Tabel 27. Nilai rataan pengeluaran energi selama perlakuan yang merupakan kebutuhan energi pekerja WUS yang sesungguhnya lebih tinggi dibandingkan dengan asupan energinya meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Ini menunjukkan bahwa meskipun asupan selama perlakuan lebih tinggi dibandingkan sebelumnya, tetapi tetap belum bisa memenuhi kebutuhan rielnya. Pada Gambar 10 dapat dilihat perbandingan antara asupan dan pengeluaran energi per hari pada pekerja WUS. Gambar 10 Perbandingan antara asupan dengan pengeluaran energi pekerja WUS pada saat perlakuan Jika dibandingkan dengan kebutuhan rielnya pada pekerja WUS maka kekurangan asupan energi untuk grup BF sebesar 457 kkal, MVM 464 kkal dan P 346 kkal. Sebagai pekerja yang aktif, kebutuhan energi pekerja WUS selama bekerja seharusnya terpenuhi karena akan mempengaruhi produktivitas kerjanya. Kebutuhan energi pekerja WUS selama bekerja kurang lebih selama sembilan jam adalah 35-40 dari kebutuhan per hari atau kurang lebih 750-950 kkal. Kekurangan energi seyogyanya dapat diatasi dengan menambah porsi makan makanan yang padat energi pada saat istirahat makan siang atau makan extra fooding di malam hari. Penambahan porsi makanan padat energi juga harus diikuti dengan makanan sumber zat besi dan vitamin C yang masih defisit pada 1693 2150 1819 2283 1813 2159 500 1000 1500 2000 2500 BF MVM P Asupan Pengeluaran 88 sebagian besar pekerja WUS. Namun demikian berdasarkan keterangan lisan yang diperoleh, sebagian besar meraka bahkan malas makan pada saat istirahat makan karena merasa sangat capai dan inginnya segera istirahat dengan tidur- tiduran di camp. Untuk itu diperlukan pula suatu usaha lain yang dapat meningkatkan perilaku makan makanan seimbang pada para pekerja WUS, antara lain melalui penyuluhan sadar gizi. Pada Tabel 27 dapat dilihat bahwa total pengeluaran energi antar perlakuan tidak berbeda nyata. Hal ini bisa dimengerti karena semua pekerja WUS menghabiskan waktu terbanyak untuk bekerja pada rentang waktu dan intensitas kerja yang hampir sama. Aktivitas yang mereka lakukan dalam rumah tangganya baik sebelum kerja maupun setelah pulang kerja juga tidak berbeda nyata. Kelelahan dalam bekerja di pabrik membuat mereka rata-rata tidak banyak melakukan pekerjaan rumah tangga Tabel 26. Pemeriksaan Darah Pemeriksaan laju endap darah LED dan hitung darah lengkap complete blood count dilakukan untuk memberikan informasi kemungkinan adanya gangguan kesehatan serta jumlah sel-sel darah sebagai petunjuk untuk mengetahui tipe anemia. Pada Tabel 28 dapat dilihat hasil analisis LED dan hitung sel darah. Pemeriksaan LED bermanfaat untuk mengikuti perjalanan penyakit, jika dilakukan secara berulang dapat digunakan untuk memonitor keberhasilan terapi atau pengobatan. Hasil analisis untuk laju endap darah LED 1 jam dan 2 jam sebelum perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan. Nilai rataan LED 1 jam dan 2 jam sebelum perlakuan cukup tinggi yakni 26.2 mljam dan 49.6 mljam, ini merupakan indikasi adanya gangguan kesehatan infeksi dalam tubuh pekerja WUS. Hal ini dapat mempengaruhi pengukuran feritin, dimana pada sampel yang mengalami infeksi kadar feritin cenderung tinggi sehingga tidak menggambarkan simpanan besi tubuh secara tepat WHO 2005. Namun demikian berdasarkan analisis statistik, korelasi antara LED dengan kadar feritin tidak nyata r=-0.118 dan p=0.506, sehingga kadar feritin yang tinggi pada beberapa pekerja WUS bukan hanya disebabkan oleh LED yang tinggi. 89 Tabel 27 Pengeluaran energi pekerja WUS selama perlakuan Deskripsi BF n=11 MVM n=11 P n=12 Total n=34 p-value 1 Total energi aktivitas kkalkg BB 15.2±1.2 15.57±1.77 14.9±1.4 15.21±147 0.581 Berat badan kg 48.5±6.7 51.7±6.9 48.8±6.6 48.8±6.6 0.487 Total pengeluaran energi aktivitas kkalhari 731.6±79.5 804.2±141.2 727.7±116.0 753.7±117.1 0.225 BMR kkalhari 1 223±91 1 271±67 1 235±86 1 243±82 0.370 SDA kkalhari 195.5±15.8 207.5±19.7 196.3±18.4 199.7±18.4 0.228 Total Pengeluaran Energi kkalhari 2 150±174 2 283±217 2 159±202 2 196±202 0.227 1 p-value , hasil analisis ragam antar tiga grup perlakuan pada baris yang sama BMR = basal metabolism rate rataan energi metabolisme basal SDA = specific dynamic action energi yang digunakan khusus untuk proses pencernaan 89 90 Pada penderita anemia LED cenderung tinggi seiring dengan rendahnya Hb. Sesudah perlakuan, LED pekerja WUS pada semua perlakuan turun p0.05, namun perbedaan penurunan LED antar perlakuan tidak berbeda nyata. Nilai rataan LED 1 jam dan 2 jam menjadi 12.4 mljam dan 25.1 mljam. Ini mendekati standar normal 10-20 mljam dan berarti menunjukkan terjadi perbaikan kesehatan melalui pemberian zat gizi mikro. Tabel 28 Hasil analisis laju endap darah LED dan darah lengkap sebelum dan sesudah perlakuan Deskripsi BF MVM P p-value 1 LED 1 jam mljam Sebelum 27.27±17.67 27.18±19.75 24.33±10.94 0.887 Sesudah 12.45 3 ±8.87 12.64 3 ±5.08 12.25 2 ±8.06 0.992 Δ LED1 -14.82±18.73 -14.55±21.01 -12.08±13.42 0.921 LED 2 jam mljam Sebelum 51.09±26.83 49.27±29.64 48.67±20.07 0.973 Sesudah 26.64 3 ±17.07 25.55 3 ±9.53 23.42 2 ±10.75 0.829 Δ LED2 -24.45±29.15 -23.73±31.65 -25.25±22.34 0.991 Leukosit x10 3 ul Sebelum 6.45±0.97 7.15±1.58 6.75±1.74 0.544 Sesudah 7.00±1.15 6.85±1.46 8.10 3 ±2.04 0.143 Δ leukosit 0.55 ab ±1.24 -0.29 a ±1.50 1.35 b ±1.64 0.041 Trombosit x10 3 ul Sebelum 279.09±71.73 250.91±35.13 283.92±65.26 0.39 Sesudah 272.9 a ±64.5 262.5 a ±37.67 331.7 3b ±55.97 0.009 Δ trombosit -6.18 a ±77.68 11.55 ab ±26.05 47.83 b ±70.42 0.124 Eritrosit x10 6 ul Sebelum 4.47±0.47 4.32±0.48 4.26±0.38 0.523 Sesudah 4.83 3 ±0.46 4.75 2 ±0.45 4.56 2 ±0.30 0.299 Δ eritrosit 0.36±0.52 0.43±0.20 0.31±0.20 0.682 MCV fl Sebelum 76.80±8.87 82.78±8.15 83.59±7.32 0.112 Sesudah 80.05±7.32 84.60±7.00 83.49±6.71 0.296 Δ MCV 3.25±8.09 1.82±3.93 -0.10±1.13 0.306 MCH pg Sebelum 24.36±3.98 26.19±3.13 26.42±3.22 0.318 Sesudah 26.02±3.26 27.22±2.61 26.74±3.06 0.643 Δ MCH 1.65±3.75 1.03±1.61 0.33±0.59 0.407 MCHC Sebelum 31.56±1.75 31.59±1.28 31.51±1.51 0.991 Sesudah 32.38±1.29 32.13±0.80 31.93±1.60 2 0.707 Δ MCHC 0.82±1.63 0.54±1.12 0.43±0.45 0.708 1 p-value , hasil analisis ragam antar tiga grup perlakuan pada baris yang sama 2,3 Berbeda nyata dari sebelum perlakuan uji-t: 2 p 0.01, 3 p 0.05 a,b Huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan uji ANOVA, p0.05 91 Standar normal jumlah sel darah yang ditetapkan untuk wanita oleh BPPK Depkes 2008 adalah eritrosit 4.0 –5.2 jutaμl, leukosit 5.7–10.1 ribuμl, trombosit 193.5 –354.5 ribuμl, MCV 96-108 fl, MCHC 33-36. Pada Tabel 28 dapat dilihat jumlah leukosit, trombosit dan eritrosit sebelum dan sesudah perlakuan pada semua grup termasuk normal, meskipun hanya grup P yang mengalami peningkatan leukosit dan trombosit secara nyata. Untuk eritrosit, sesudah perlakuan semua grup mengalami kenaikan secara nyata, namun peningkatannya tidak berbeda antar perlakuan. Adapun jika dilihat dari nilai MCV, MCH, dan MCHC sebelum perlakuan, maka dapat dinyatakan bahwa pekerja WUS sebelum dan sesudah perlakuan termasuk mengalami anemia mikrositik hipokromik ukuran dan warna sel darah merah di bawah normal. Nilai MCV dan MCHC yang di bawah nilai normal mikrositik dan hipokronik sebelum dan sesudah perlakuan terjadi pada ketiga grup menunjukkan bahwa anemia mereka memang disebabkan oleh kekurangan zat besi, ini memperkuat alasan perlunya dilakukan pemberian zat besi. Tipe anemia yang dialami oleh pekerja WUS tersebut sama dengan hasil Riskesdas 2007 BPPK Depkes 2008 yang menemukan bahwa tipe anemia yang paling banyak dijumpai adalah mikrositik hipokromik yakni pada wanita dewasa sebesar 59.9 dan pada wanita hamil 59. Tipe anemia ini terbanyak ditemui pada anak-anak yaitu hingga 70. Sesudah perlakuan nilai MCV, MHC, dan MCHC beranjak naik kecuali MCV pada grup P, hal ini mencerminkan bahwa perlakuan yang diberikan dapat diterima atau tidak ada penolakan di dalam tubuh pekerja WUS. Namun demikian kenaikan tersebut belum mampu sepenuhnya memperbaiki kesehatan darah mereka karena masih tetap di bawah standar normal. Status Besi Zat besi dalam saluran cerna tubuh diangkut oleh transferin mukosa dan dalam aliran darah diangkut oleh transferin reseptor. Banyaknya serum transferin reseptor STfR mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan besi seluler dan pasokan besi. Bentuk simpanan besi dalam tubuh adalah feritin atau hemosiderin dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Feritin yang bersirkulasi dalam darah mencerminkan simpanan besi di dalam tubuh. Pengukuran feritin di serum SF merupakan indikator penting untuk menilai status besi IOM-FNB 2001. 92 Sebagian simpanan besi akan dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan hemoglobin. Hemoglobin merupakan bagian sel darah merah yang berfungsi mengangkut oksigen melalui aliran darah dari paru-paru ke jaringan tubuh yang lain dan merupakan indikator utama untuk menunjukkan tingkat kekurangan zat besi. Adapun hematokrit adalah perbandingan sel darah merah terhadap volume darah total Gibson 2005. Hemoglobin dan Hematokrit Nilai rataan kadar hemoglobin Hb dan hematokrit Ht pekerja WUS sebelum perlakuan adalah 110 gl dan 35.0. Ini lebih rendah dibandingkan dengan selama studi pendahuluan sebesar 112 gl p=0.12 dan 35.9 p=0.005 Lampiran 5. Ini mengindikasikan bahwa dalam kurun waktu empat 4 bulan status anemia mereka tidak berubah oleh karena itu memang mereka perlu diberi suplemen Fe. Sesudah suplementasi rataan Hb dan Ht menjadi 125 gl dan 38.8 Kategori status anemia sebelum perlakuan adalah anemia sedang 18, ringan 64, dan sisanya di ambang batas normal 18. Sesudah perlakuan menjadi anemia sedang 3, anemia ringan 18, ambang batas normal 26, dan normal Hb125 gl 53. Kadar Hb dan Ht sebelum dan sesudah perlakuan antar ketiga perlakuan tidak berbeda nyata. Namun demikian sesudah perlakuan semua pekerja WUS mengalami peningkatan Hb dan Ht secara nyata dibandingkan sebelumnya. Pada Tabel 29 dapat dilihat hasil analisis kadar Hb dan Ht sebelum dan sesudah perlakuan. Tabel 29 Kadar hemoglobin Hb dan hematokrit Ht menurut grup perlakuan Peubah Respon BF n=11 MVM n=11 P n=12 . p-value 1 Hb gl Sebelum 107.5±11.3 112.0±7.4 111.7±10.5 0.499 Sesudah 125.7 2 ±4.5 128.6 2 ±8.7 121.3 2 ±10.1 0.114 Δ Hb 18.2 a ±11.6 16.4 a ±7.3 9.6 b ±4.0 0.039 Ht Sebelum 33.9±2.1 35.6±2.6 35.4±2.3 0.188 Sesudah 38.4 2 ±1.5 39.9 2 ±2.8 38.1 2 ±2.0 0.117 Δ Ht 4.5±3.1 4.3±2.4 2.7±1.6 0.166 1 p-value , hasil analisis ragam uji ANOVA pada baris yang sama 2,3 Berbeda nyata dari sebelum perlakuan uji-t: 2 p 0.01, 3 p 0.05 a,b Huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan uji ANOVA, p0.05 93 Implikasi dari hasil analisis ini adalah bahwa pekerja WUS cenderung berada pada kondisi yang sama, dimana pada awalnya sebelum diberi perlakuan Hb mereka tidak berbeda nyata dan sesudah perlakuan pun tetap tidak berbeda nyata. Perbedaan hanya pada selisih peningkatan Hb di mana selisih antar perlakuan untuk Hb berbeda nyata p0.05, namun untuk Ht tidak nyata p0.05 Lampiran 6. Kadar Hb berkisar 3.57 3.03-4.33 kalinya Ht dan korelasi antar keduanya sangat tinggi r=0.847, p=0.00; maka untuk analisis lebih lanjut deskriptif hanya dilakukan pada Hb. Meskipun Hb meningkat, pada grup MVM dan P masih ada yang tetap anemia masing-masing sebanyak 27 dan 33, sedangkan pada BF tidak ada lagi yang anemia. Secara total, pekerja WUS yang anemia tinggal 21. Persentase peningkatan Hb dan Ht tertinggi pada BF yaitu 17 dan 13, diikuti MVM 15 dan 12 serta P 9 dan 8. Berdasarkan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan didapatkan hasil bahwa selisih Hb pada BF dan MVM berbeda nyata dengan selisih Hb pada P, namun antar keduanya tidak berbeda nyata. Meskipun peningkatan Hb pada MVM lebih rendah dibandingkan BF namun perbedaannya tidak nyata sehingga dapat dikatakan bahwa BF dan MVM sama baiknya dalam meningkatkan Hb. Peningkatan Hb pada BF dan MVM di atas lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian dengan subyek remaja putri yang dilakukan oleh Ahmed et al. 2005 sebesar 6.2 gl dan 6.3 gl. Demikian pula jika dibandingkan Briawan 2008, dengan memberikan BF dan B-MV besi + multivitamin dapat meningkatkan Hb remaja wanita late adolescent sebesar 11.2 gl dan 10.5 gl. Peningkatan kadar Hb yang terjadi pada plasebo mungkin karena selama perlakuan terjadi peningkatan asupan energi 358 kkal, protein 11.8 g, dan zat besi 1.9 mg. Peningkatan tersebut lebih tinggi dibandingkan pada BF berturut-turut sebesar -23.4 kkal, -0.6 g dan 0.4 mg; serta pada MVM sebesar 214 kkal, 2.7 g, 0.5 mg. Selain itu, dengan minum kapsul muncul sugesti yang membuat tubuh secara alami mampu meningkatkan kadar Hb plasebo effect. Meskipun meningkat, secara statistik peningkatan Hb pada P tersebut lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan pada BF p0.05 dan MVM p0.10. Selisih bersih Hb pada BF dan MVM jika dikoreksi dengan P adalah 8.6 gl 8 dan 6.8 94 gl 6. Ini lebih tinggi dibandingkan dengan selisih bersih BF dan B-MV berkisar 2 —3 gl dalam Briawan 2008. Pada Gambar 11 dapat dilihat kenaikan Hb dan Ht sesudah perlakuan. 17 15 9 14 12 8 4 8 12 16 20 BF MVM P P e rs e nt a s e K e na ik a n Selisih Hb Selisih Ht Gambar 11 Peningkatan Hb dan Ht sesudah perlakuan Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa persentase peningkatan Hb yang lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan Ht terjadi pada semua grup dan kenaikan yang tertinggi terjadi pada grup BF. Ini mengindikasikan bahwa dengan kadar zat besi dua kali lipat dibandingkan MVM kadar asam folat yang sama, BF dapat diprioritaskan kepada penderita anemia agar kadar Hb-nya lebih cepat naik. Selain itu juga membuktikan bahwa bahwa penggunaan zat besi pada MVM, meskipun dosisnya hanya separo BF, namun lebih efektif karena dilengkapi dengan beberapa vitamin dan mineral lainnya yang membantu metabolisme besi dalam tubuh. Namun demikian keberadaan beberapa jenis mineral juga dapat mengganggu metabolisme zat besi tubuh sehingga kurang dapat meningkatkan Hb. Hal ini seperti yang dilaporkan dalam penelitian yang dilakukan Craige et al. 2004, membuktikan bahwa suplementasi Fe 60 mg Ferous sulfat secara tunggal enam kali per minggu terhadap wanita usia subur yang anemia berumur 28.6±7.8 tahun, nyata lebih efektif dalam meningkatkan Hb dibandingkan dengan suplemen Fe yang ditambah dengan multivitamin dan mineral MVM. Diduga hal ini karena selain besi, zat gizi lain yang ada dalam suplemen MVM yaitu kalsium, magnesium dan seng dapat mengganggu penyerapan zat besi. Dalam penelitian ini MVM juga mengandung 95 mengandung seng namun dosisnya yang tidak melebihi yang dianjurkan. Hal yang sama telah dilakukan oleh Ahmed 2005 membuktikan bahwa suplementasi dengan BF dua kali per minggu selama 12 minggu dapat lebih nyata meningkatkan status hematologi remaja putri yang mengalami anemia dibandingkan dengan MVM. Faktor lain yang mungkin berperanan dalam pembentukan hemoglobin namun tidak diukur dalam penelitian ini antara lain adalah pada proses metabolisme yang terdiri dari lima tahap yaitu penyerapan, transportasi, pemanfaatanpengawetan, penyimpanan dan ekskresi. Serum Ferritin, Transferin Reseptor dan Simpanan Besi Sebelum perlakuan kadar SF, STfR dan simpanan besi pekerja WUS tidak berbeda nyata, sedangkan sesudah perlakuan semua menjadi berbeda nyata antar perlakuan Lampiran 8. Meskipun semua grup mengalami perubahan, sesudah perlakuan hanya kadar SF pada grup BF saja yang berbeda nyata dengan sebelum perlakuan p0.05. Pada Tabel 30 dapat dilihat kadar SF, STfR dan jumlah zat besi dalam tubuh pekerja WUS. Tabel 30 Kadar SF, STfR dan jumlah Fe dalam tubuh menurut grup perlakuan Peubah Respon BF n=11 MVM n=11 P n=12 . p-value 1 SF ugl Sebelum 23.9±20.2 28.7±26.6 17.0±17.4 0.405 Sesudah 34.03 3a ±22.1 31.2 a ±15.7 16.6 b ±13.9 0.031 Δ SF 10.1±16.8 2.4±23.4 -0.5±23.9 0.511 STfRmgl Sebelum 6.0±1.7 5.8±2.3 6.3±3.3 0.902 Sesudah 7.4 a ±2.2 5.7 b ±1.5 8.0 a ±2.2 0.028 Δ STfR 1.4±3.1 -0.2±1.9 1.0±2.7 0.237 Fe dalam tubuh mgkg Sebelum 2.2 ± 3.1 3.2 ± 4.0 1.3 ± 3.5 0.449 Sesudah 3.2 a ± 3.8 4.2 a ± 2.4 0.4 b ± 3.0 0.019 Δ simpanan Fe 1.0 ± 3.0 1.0 ± 2.6 -0.8 ± 3.8 0.298 1 p-value , hasil analisis ragam uji ANOVA pada baris yang sama 2,3 Berbeda nyata dari sebelum perlakuan uji-t: 2 p 0.01, 3 p 0.05 a,b Huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan uji ANOVA, p0.05 Perubahan kadar SF terbesar sesudah perlakuan terjadi pada BF yakni naik sebesar 42 p0.05. Pada MVM, kenaikan SF hanya sebesar 8.4, berarti 96 dosis MVM dapat digunakan untuk menaikkan Hb dan Ht secara nyata namun tidak untuk menaikkan SF secara nyata. Hal ini dikarenakan sebagian besar asupan zat besi digunakan terutama untuk pembentukan hemoglobin di mana antara 60 sampai 80 persen besi dalam tubuh manusia terdapat pada Hb. Setelah kebutuhan untuk Hb terpenuhi maka asupan Fe baru akan digunakan untuk pembentukan ferritin sebagai bentuk simpanan zat besi dalam tubuh. Adapun pada P terjadi penurunan kadar SF setelah perlakuan, namun secara statistik penurunan tersebut tidak nyata. Penurunan SF pada grup P -2.8, terjadi pada sebagian besar 60 pekerja WUS anemia. Apabila dikoreksi dengan P maka BF dapat meningkatkan SF 45; sedangkan MVM dapat meningkatkan SF 12 pada pekerja WUS yang semula berkadar Hb marginal. Secara statistik nilai SF sesudah perlakuan berbeda nyata antar perlakuan namun rataan selisih SF antar perlakuan tidak berbeda nyata. Oleh karena itu analisis selisih SF dilanjutkan dengan ANCOVA. Pekerja WUS yang mengalami kekurangan zat besi dapat diidentifikasi dari yang memiliki kadar SF15 ugl. Sebelum perlakuan cukup banyak pekerja WUS dapat digolongkan telah mengalami kekurangan zat besi, yaitu pada BF 45, MVM 36 dan P 75. Sesudah perlakuan jumlah ini menurun pada semua grup, namun demikian pada P penurunannya relatif kecil, sehingga sebagian besar masih tetap mengalami kekurangan zat besi. Persentase penurunan jumlah pekerja WUS yang semula mengalami kekurangan zat besi berturut-turut pada BF, MVM dan P adalah sebesar 40, 50 dan 22. Pada Gambar 12 dapat dilihat hasil analisis kadar SF sebelum dan sesudah perlakuan. Pengujian selisih kadar SF sesudah perlakuan selanjutnya dilakukan menggunakan ANCOVA dengan memasukkan peubah pengganggu yang diduga mempengaruhi selisih SF sesudah perlakuan. Peubah tersebut adalah kadar Hb, SF dan STfR awal, lama kerja, IMT awal, pengeluaran energi, serta asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, fosfor dan zat besi. Berdasarkan uji ANCOVA menunjukkan bahwa selisih kadar SF sesudah perlakuan dipengaruhi oleh perlakuan p=0.032, kadar SF sebelum perlakuan p=000, kadar STfR sebelum perlakuan p=0.043, serta asupan zat besi selama perlakuan p=0.001. Adapun peubah lainnya tidak berpengaruh nyata terhadap selisih SF. Selisih SF 97 sesudah perlakuan adjusted yang diestimasi dengan menggunakan seluruh peubah pengganggu di atas pada BF, MVM dan P masing-masing menjadi 10.5 ugl, 6.7 ugl dan -4.7 ugl. Koreksi terhadap nilai SF sesudah perlakuan tersebut 45.5 18.2 36.4 36.4 36.4 27.3 75.0 16.7 8.3 10 20 30 40 50 60 70 80 15 ugl 15-30 ugl 30 ugl a Kadar SF sebelum perlakuan n BF MVM P 27.3 9.1 63.6 18.2 36.4 45.5 58.3 25.0 16.7 10 20 30 40 50 60 70 15 ugl 15-30 ugl 30 ugl b Kadar SF sesudah perlakuan n BF MVM P Gambar 12 Distribusi pekerja WUS menurut kadar SF sebelum a dan sesudah perlakuan b menghasilkan perbedaan yang nyata antar perlakuan p=0.032 dengan nilai R 2 =0.666 R 2 adjusted=0.606. Ini berarti selisih kadar SF 61 dipengaruhi oleh perlakuan, kadar SF dan STfR sebelum perlakuan, serta asupan Fe selama perlakuan. Pada uji lanjut dengan LSD dapat dilihat bahwa selisih SF antara grup BF dengan P nyata, sedangkan antara grup BF dengan MVM serta antara grup MVM dengan P tidak nyata dapat dilihat pada Lampiran 9. Kadar SF sebelum perlakuan dan asupan zat besi dari makanan berkorelasi negatif terhadap selisih kadar SF, hal ini berarti bahwa peningkatan kadar SF lebih 98 tinggi pada pekerja WUS yang sebelum perlakuan kadar SF dan asupan besinya lebih rendah dibandingkan dengan yang kadar SF dan asupan besinya lebih tinggi. Selain itu, pada pekerja WUS yang asupan besinya rendah maka ternayata penyerapan zat besi yang berasal dari suplemen jadi lebih efisien. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Angeles-Agdeppa et al. 1997 yang menyatakan bahwa peningkatan SF pada remaja putri yang mendapatkan suplemen besi selama delapan minggu pertama lebih tinggi dibandingkan pada empat minggu berikutnya. Peningkatan kadar SF yang tinggi dapat menjadi nol pada saat konsentrasi SF sudah mencapai 40-60 ugl, meskipun dosis pemberian SF ditambah. Adapun kadar STfR sebelum perlakuan berkorelasi positif dengan selisih SF, hal ini mengindikasikan bahwa STfR sebelum perlakuan yang sudah tinggi ikut membantu proses metabolisme besi yang berasal dari suplemen dalam pembentukan SF. Pada penelitian Briawan 2008, selisih kadar SF remaja putri yang mendapatkan suplemen besi hanya dipengaruhi oleh kadar SF sebelum perlakuan. Berbeda dengan kadar SF, perubahan kadar STfR terbaik terjadi pada MVM dimana sesudah perlakuan kadar STfR pada MVM turun dan berbeda nyata dengan BF dan P. Ini menunjukkan adanya perbaikan transportasi besi dalam jaringan tubuh MVM dan sebaliknya kurang terjadi pada BF dan Plasebo. Hal ini dimungkinkan karena MVM dilengkapi dengan beberapa vitamin dan mineral yang berperan dalam metabolisme zat besi dan interaksi antar zat tersebut memungkinkan adanya perbaikan transportasi zat besi dalam tubuh. Namun demikian, selisih kadar STfR tidak berbeda nyata antar perlakuan. Pengujian selisih kadar STfR selanjutnya dilakukan menggunakan ANCOVA dengan memasukkan peubah pengganggu yang mungkin mempengaruhi selisih kadar STfR sebagaimana pada uji ANCOVA untuk selisih kadar SF di atas. Berdasarkan uji ANCOVA didapatkan bahwa selisih kadar STfR secara nyata dipengaruhi oleh perlakuan p=0.020, kadar Hb sebelum perlakuan p=0.008 serta kadar STfR sebelum perlakuan p=0.000. Selisih kadar STfR adjusted yang diestimasi dengan menggunakan seluruh peubah pengganggu tersebut pada BF, MVM dan P masing-masing menjadi 1.056 mgl, -0.204 mgl dan 1.964 mgl. Dengan selisih nilai tersebut menghasilkan kadar 99 STfR sesudah perlakuan yang semuanya masih dalam standar normal menurut Enhart et al. 2004. Koreksi terhadap selisih kadar STfR tersebut menghasilkan perbedaan yang nyata antar perlakuan p=0.020 dengan R 2 =0.647 R 2 adjusted =0.504. Hal ini berarti bahwa 50 selisih kadar STfR dipengaruhi oleh perlakuan serta kadar Hb dan kadar STfR sebelum perlakuan; sedangkan yang 50 lainnya dipengaruhi oleh peubah lain. Pada uji lanjut dengan LSD didapatkan bahwa perbedaan selisih kadar STfR berbeda nyata antara grup MVM dengan P, namun perbedaannya tidak nyata antara grup BF dengan MVM serta antara grup BF dengan P Lampiran 10. Selisih kadar STfR pada BF dan P positif, hal ini berarti telah terjadi peningkatan transportasi dan mobilisasi zat besi pada kedua grup. Sebaliknya selisih kadar STfR pada grup MVM negatif yang berarti terjadi penurunan transportasi dan mobilisasi zat besi tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa metabolisme besi pada pekerja WUS yang menerima MVM mengalami perbaikan, kemungkinan karena MVM dilengkapi dengan vitamin dan mineral yang berfungsi dalam metabolismen besi. Hal yang sama dihasilkan oleh Briawan 2008, bahwa remaja putri yang menerima suplemen besi dan multi vitamin mengalami penurunan STfR yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang hanya menerima besi dan asam folat. Selain itu, kadar STfR setelah perlakuan dipengaruhi oleh Hb dan STfR sebelum perlakuan sama dengan yang ditemukan dalam penelitian ini. Kadar Hb dan STfR sebelum perlakuan dalam penelitian ini berkorelasi negatif dengan selisih kadar STfR. Ini berarti bahwa semakin rendah Hb dan STfR sebelum perlakuan semakin tinggi STfR sesudah perlakuan, yang berarti semakin banyak simpanan zat besi yang ditransportasikan ke jaringan tubuh. Adapun peubah lainnya tidak berpengaruh nyata terhadap Hb sesudah perlakuan. Berdasarkan kadar SF dan STfR dapat dihitung kemudian jumlah besi dalam tubuh dengan menggunakan formula Cook et al. 2003. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa jumlah besi tubuh sebelum perlakuan tidak berbeda nyata, namun sesudah perlakuan berbeda nyata antar perlakuan. Jumlah besi dalam tubuh pada BF dan MVM mengalami peningkatan sebesar 43 dan 32, sedangkan pada P mengalami penurunan hingga 67. Meskipun demikian selisih antara sebelum dan sesudah perlakuan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Jika 100 dilihat dari jumlah besi tubuh sesudah perlakuan, maka pada BF dan MVM jumlah besinya mendekati rataan jumlah besi dari 409 wanita berusia 20 sampai dengan 45 tahun di Amerika sebesar 4.87±4.14 mgkg Cook 2003. Adapun pada grup P menunjukkan adanya defisit besi pada jaringan tubuh, meskipun belum sampai di bawah 0 mgkg. Namun, jika dilihat dari jumlahnya yang mengalami penurunan sesudah perlakuan, maka besi tubuhnya cenderung semakin berkurang dan menjauhi standar normal. Meningkatnya jumlah besi dalam tubuh grup BF dan MVM di atas menandakan bahwa dengan BF dan MVM selain dapat meningkatkan kadar Hb dan SF juga dapat meningkatkan jumlah besi tubuh. Adapun jika tanpa suplementasi pekerja WUS semakin mengalami kekurangan zat besi, meskipun kadar Hb mereka terlihat naik sebagaimana penjelasan di atas, namun kenaikan tersebut mungkin berasal dari penggunaan simpanan besi dalam tubuh. Ini terlihat dari turunnya kadar SF pada sebagian besar pekerja WUS di grup P 60 dan meningkatnya STfR yang menandai bahwa terjadi peningkatan transportasi besi di dalam jaringan tubuhnya. Sebaliknya pada grup BF dan MVM, mereka berhasil meningkatkan Hb dan SF serta menurunkan STfR hanya pada MVM tanpa mengurangimengganggu simpanan besi tubuh, bahkan dapat menambah simpanan besi tubuh. Kebugaran Fisik Kebugaran fisik adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggang serta untuk keperluan mendadak. Untuk mendeteksi kebugaran fisik pekerja WUS secara cepat dilakukan dengan pengukuran berat lemak dan air tubuh. Menurut Marley 1982 dan Quinn 2008, lemak badan LB yang berlebihan akan mengurangi komponen kebugaran lain, mengurangi kinerja, menganggu penampilan, dan akan berpengaruh negatif terhadap kesehatan secara umum. Berdasarkan pengukuran, LB pekerja WUSsebelum perlakuan dan setelah perlakuan tidak berbeda nyata antar perlakuan, dapat dilihat pada Tabel 31. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa LB masing-masing perlakuan naik, sedangkan AB kecuali pada grup P turun secara nyata. 101 Secara total rataan LB awal adalah 24.1 dengan selang 14.3-40.1 naik 25.9 dengan selang menjadi 16.8-41.8. Nilai rataan LB ini lebih rendah dibandingkan dengan Li et al. 1994 yang mendapatkan LB pekerja WUS yang bekerja di pabrik katun sebesar 27. Meskipun setelah perlakuan LB semua grup naik, namun selisih LB antar perlakuan tidak berbeda nyata p0.05. Ini berarti perubahan LB yang terjadi bukan dipengaruhi oleh perlakuan secara langsung, namun karena memang ada peningkatan asupan energi dan protein selama perlakuan. Pekerja WUS yang memiliki LB di bawah 20 kurus, di awal sebanyak 35 turun menjadi 20 setelah perlakuan. Namun, yang memiliki LB berlebih tidak berubah, yakni tetap 26. Tabel 31 Persentase berat lemak badan LB dan air badan AB menurut perlakuan Peubah Respon BF n=11 MVM n=11 P n=12 . p-value 1 LB Sebelum 21.99 ± 6.61 27.02 ± 7.89 23.47 ± 7.29 0.264 Sesudah 23.47 3 ± 6.08 28.31 2 ± 8.40 25.77 3 ± 6.30 0.282 Δ LB 1.48 ± 1.708 1.29 ± 1.321 2.30 ± 3.321 0.564 AB Sebelum 53.67 ± 4.53 50.13 ± 5.41 52.20 ± 5.07 0.265 Sesudah 52.57 3 ± 4.19 49.21 2 ± 5.85 51.23 ± 4.01 0.260 Δ AB -1.10 ± 1.211 -0.92 ± 0.902 -0.98 ± 2.625 0.970 1 p-value , hasil analisis ragam uji ANOVA pada baris yang sama 2,3 Berbeda nyata dari sebelum perlakuan uji-t: 2 p 0.01, 3 p 0.05 Kebugaran fisik berdasarkan daya tahan jantung-paru cardiorespiratory endurance dalam penelitian ini dinilai dengan mengukur VO 2 maksimal VO 2 maks melalui uji bangku. Nilai VO 2 maks merupakan suatu ukuran seberapa bugar fit seseorang, dengan menyatakan volume oksigen yang dikonsumsi tubuh per menit sehingga satuannya adalah mlkgmenit Marley 1982; Sharkey 1991; Quinn 2008. Nilai rataan nilai VO 2 maks pekerja WUS sebelum perlakuan 41.15 mlkgmenit tidak berbeda nyata dengan pada saat studi pendahuluan 40.53 mlkgmenit yang dilakukan empat bulan sebelumnya. Ini membuktikan bahwa kebugaran fisik pekerja WUS relatif stabil. Pada Tabel 32 dapat dilihat bahwa kebugaran fisik BF dan MVM mengalami kenaikan sedangkan pada P menurun. Pada BF dan MVM denyut 102 jantung pasca uji bangku turun sehingga VO 2 maks naik, ini menandakan kerja jantung paru bertambah efisien. Meskipun demikian, selisih Δ kebugaran fisik antar perlakuan setelah perlakuan hanya nyata pada nilai p=0.160. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan Hb yang terjadi di atas belum dapat menaikkan kebugaran fisik pekerja WUS secara nyata. Tabel 32 Kebugaran fisik berdasarkan denyut jantung dan VO 2 maks menurut perlakuan Peubah respon kebugaran fisik BF n=11 MVM n=11 P n=12 , p- value 1 Denyut jantung kali15 detik: Sebelum 37.2±4.4 35.9±4.6 36.6±5.9 0.842 Sesudah 33.7±4.4 33.3±5.1 36.9±4.2 0.130 Δ Denyut jantung -3.5±7.1 -2.6±4.9 0.3±5.5 0.282 VO 2 maks mlkgmenit: Sebelum 39.5±4.6 41.1±6.0 40.9±7.5 0.787 Sesudah 44.3±7.2 45.5±9.4 39.8±5.9 0.175 Δ VO 2 maks 4.8±9.8 4.4±8.4 -1.2±6.2 0.160 1 p-value , hasil analisis ragam uji ANOVA pada baris yang sama Secara umum kebugaran fisik semua pekerja WUS sudah tergolong baik hingga superior, mungkin dikarenakan mereka terbiasa bekerja keras. Rutinitas aktivitas fisik yang dilakukan oleh pekerja WUS termasuk sedang hingga berat. Para pekerja WUS terbiasa bekerja dalam rentang waktu yang cukup panjang 8- 10 jam dan istirahat pada rentang waktu yang cukup singkat 1 jam. Dengan demikian jantung dan paru-paru mereka sudah terlatih bekerja pada kondisi bekerja sedang sampai berat dan dapat memanfaatkan waktu istirahat dengan baik. Hal ini sesuai dengan Sharkey 1991 dan Lee et al. 2008, yang menyatakan bahwa denyut jantung istirahat pada orang yang terlatih lebih rendah lebih cepat turun setelah melakukan aktivitas berat dibandingkan dengan yang tidak terlatih. Seseorang yang memiliki kapasitas aerobik tinggi memiliki denyut jantung pasca kerja pemulihan yang lebih rendah, karena denyut jantung mereka tidak naik terlalu tinggi pada saat melakukan pekerjaan fisik. Pada analisis lanjut yang dilakukan khusus pada pekerja WUS yang anemia Hb120 gl; n=28, rataan penurunan laju denyut jantung yang terjadi pada BF, 103 MVM dan P berubah menjadi -2.2, -2.5 dan 1.6 kali p=0.098, sedangkan peningkatan VO 2 maks menjadi 3.32, 3.47, dan -2.42 mlkgmenit p=0.087. Ini berarti ada kecenderungan kebugaran fisik pada BF dan MVM naik sebesar 9 dan 10 sedangkan pada P turun sebesar 4. Selain itu, perbedaan Δ laju denyut jantung dan VO 2 maks antara BF dan MVM dengan P meningkat p=0.057. Kebugaran fisik pekerja WUS yang anemia pada BF dan MVM jika dikoreksi dengan P adalah cenderung naik sebesar 13 dan 14. Kebugaran fisik pekerja WUS cenderung turun bila tidak mengonsumsi suplemen. Pengujian pengaruh perlakuan terhadap selisih VO 2 maks selanjutnya dilakukan menggunakan ANCOVA dengan memasukkan peubah pengganggu yang mungkin mempengaruhi hasil tersebut yaitu lama kerja, VO 2 maks atau denyut jantung, Hb, SF, STfR dan IMT sebelum perlakuan, LB dan AB sesudah perlakuan, serta asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, Ca, Fosfor, Fe, dan pengeluaran energi selama perlakuan. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa pada taraf nyata=0.05, perlakuan yang diberikan tetap tidak berpengaruh nyata terhadap selisih VO 2 maks, meskipun sudah dikoreksi dengan beberapa peubah pengganggu. Peubah tersebut adalah VO 2 maks, kadar SF dan STfR sebelum perlakuan serta asupan Fe selama perlakuan yang ternyata hanya cenderung berpengaruh nyata terhadap selisih VO2maks pekerja WUS pada p =0.126 sebagaimana disajikan pada Lampiran 11. Analisis ANCOVA yang sama dilanjutkan untuk selisih VO 2 maks berikutnya yang dilakukan dengan hanya melibatkan 28 subyek pekerja WUS yang anemia Hb120 gl. Hasilnya adalah selisih VO 2 maks dipengaruhi oleh perlakuan p=0.032, VO 2 maks sebelum perlakuan p=0.001 dan asupan Fe selama perlakuan. Nilai selisih VO 2 maks adjusted yang diestimasi dengan menggunakan peubah pengganggu tersebut pada BF, MVM dan P masing-masing menjadi 2.90, 3.54 dan -2.11 mlkgmenit. Koreksi terhadap nilai selisih VO 2 maks tersebut menghasilkan perbedaan antar perlakuan yang nyata pada p =0.032 dengan R 2 =0.568 R 2 adjusted=0.493 Lampiran 12. Dalam hal ini peningkatan kebugaran fisik pekerja WUS yang anemia sebesar 49 dipengaruhi oleh perlakuan, VO 2 maks sebelum perlakuan dan asupan Fe selama perlakuan, sedangkan yang 51 lainnya dipengaruhi oleh peubah lain. Dengan demikian 104 dapat dikatakan bahwa pemberian BF atau MVM khusus bagi pekerja WUS yang anemia secara nyata dapat meningkatkan kebugaran fisiknya Gambar 13. Tanpa pemberian suplemen VO 2 maks grup P mengalami penurunan. Berarti dalam tempo 10 minggu selama perlakuan, kebugaran fisik P menurun. Hasil penelitian ini mirip dengan penelitian Li et al. 1994 yang memberikan suplemen tablet ferro sulfat yang berisi 60 mg Fe per hari kepada 40 orang pekerja anemia

39.47 42.4

41.15 44.7

40.96 38.9

30 34 38 42 46 BF n=9 MVM n=9 P n=10 Sebelum Sesudah Gambar 13 Nilai rataan kebugaran fisik VO 2 maks pekerja WUS anemia Hb120 gl sebelum dan sesudah perlakuan adjusted dan plasebo pada 40 orang pekerja anemia lainnya. Setelah pemberian suplemen Fe selama 12 minggu, maka pada grup perlakuan memiliki kadar hemoglobin Hb dan serum ferritin SF yang nyata meningkat p0.05, dan Heart Rate at work HRW dan Energy Expenditure at Work EEW turun secara nyata p0.01 yang berarti kerja jantung semakin efisien. Selain itu, perbedaan nilai HRW dan EEW sebelum dan sesudah perlakuan juga nyata antar grup p0.01. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa suplementasi gizi besi pada pekerja WUS selain dapat memperbaiki status besi juga memungkinkannya untuk bekerja dengan menggunakan energi yang lebih rendah atau lebih hemat energi. Demikian pula jika dibandingkan dengan penelitian Baharudin 2004 yang juga memberikan suplementasi Pil Besi kepada mahasiswi yang anemik. Didapatkan bahwa pemberian pil besi 60 mg ditambah dengan vitamin C 50 mg sebanyak Perlakuan 105 2 dua kali seminggu selama 2 dua bulan selain dapat berpengaruh secara nyata p=0,000 terhadap peningkatan kadar Hb naik sebesar 3.28gdl dan peningkatan kebugaran fisik mahasiswi dengan menggunakan tes Ergocycle Sepeda Monar. Pada penelitian ini, kapsul MVM mengandung vitamin C 70 mg, lebih tinggi dibandingkan dengan yang digunakan peneliti di atas namun dengan dosis zat besi lebih rendah yaitu 30 mg. Dari ketiga perlakuan, maka peningkatan VO 2 maks yang diperoleh grup MVM cenderung paling tinggi. Berdasarkan perhitungan, didapatkan kenaikan VO 2 maks pada BF dan MVM sebesar 7.42 dan 8.03 sedangkan pada P turun sebesar 5.03 Gambar 14.

7.42 8.63

-5.03 -8 -4 4 8 12 P e rub a ha n V O 2 m a k s BF n=9 MVM n=9 P n=10 BF n=9 MVM n=9 P n=10 Gambar 14 Persentase perubahan VO 2 maks sesudah perlakuan pada pekerja WUS anemia dengan kadar Hb120 g l Kebugaran fisik pekerja WUS yang anemia pada BF dan MVM jika dikoreksi dengan P cenderung naik sebesar 12.5 dan 13.7. Kebugaran fisik pekerja WUS cenderung turun bila tidak mengonsumsi suplemen. Hal ini mengisyaratkan bahwa meskipun kebugaran fisiknya tetap baik, pekerja WUS yang anemia harus benar-benar diberi suplemen yang berisi minimal zat besi dan asam folat. Pekerja WUS yang menjadi kontrol dalam penelitian ini meskipun Hbnya naik sesudah 10 minggu masa perlakuan, namun mereka telah mengalami Perlakuan