Symbolic Interaction-
Symbolic Interaction-
ism merupakan sosiologi yang meyakini bahwa realitas sosial tidak berada di luar kesadaran individual manusia sebagaima- na diyakini oleh sosiologi func- tionalism, namun justeru ter- bentuk (constructed) melalui in- teraksi yang terjadi antar indivi- du dalam masyarakat. Dengan kata lain sosiologi ini adalah sosiologi yang bersifat construc- tivist. Oleh sebab itu, dalam pandangan sosiologi ini manu- sia adalah entitas atau pribadi yang aktif dan memiliki kesada- ran (consciousness) serta kem- auan bebas (free will), bahkan melalui interaksinya dengan pi- hak lain memiliki kemampuan
untuk mewarnai karakteristik dan mengubah struktur yang ada, bukan mahluk terkung- kung yang selalu mengikuti dan ditentukan kemauannya oleh struktur yang melingkupinya. Untuk diketahui, meskipun masing-masing pendekatan so- siologis lainnya dalam rumpun sosiologi interpretif memiliki perbedaan dengan symbolic in- teractionism, namun di samp- ing karakteristik umum pemak- naan dalam interpretive sociol- ogy seluruhnya berlaku bagi masing-masing
pendekatan tersebut, perbedaan yang ada juga relatif tidak signiikan dan terutama hanya berkait dengan aspek-aspek teknis metodolo- gis (dramaturgi), serta masalah ada tidaknya keterkaitan den- gan soal budaya (ethno graphy dan ethno methodology).
Dramaturgi. Dalam sosiolo- gi Dramaturgy selalu dikaitkan dengan tokoh sosiologi Erving Goffman (Appelrouth dan Edles, 2007). Bagi mereka yang masih awal mempelajari sosiologi, bo- leh jadi istilah dramaturgi lebih membingungkan
ketimbang memberi kejelasan mengenai apa yang ingin disampaikan melalui istilah tersebut, sebab utamanya bisa diduga, ma- suknya kata drama dalam dra- maturgy. Erving Goffman sen- gaja menggunakan istilah dra- maturgi dalam sosiologi yang dikembangkannya untuk mem- berikaan tekanan bahwa inter- aksi sosial pada dasarnya dapat dianalisis menggunakan analo- gi theatrical suatu pertunjukan, yakni sebuah drama. Gagasan yang diilhami banyak oleh ilsa- fat bahasanya Kenneth Burke (1897-1993) yang meyakini bahwa bahasa pada dasarnya ungkapan simbolik suatu dra- ma (Appelrouth & Edles, 2007) oleh Goffman dipakai untuk memahami interaksi sosial di
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 147-185
Djamhuri,
(sensitivity) yang lebih baik se- Ilmu
masyarakat, terutama dalam
hingga mampu menangkap Pengetahuan
mencari makna yang ada, mis-
peristiwa sosial berupa peng- Sosial Dan
alnya motif tindakan yang se-
gunaan secara retorik konsep- Berbagai
cara simbolik ditampakkan ke
konsep keilmuan akuntansi Paradigma
luar oleh para pelakunya na-
oleh para politisi maupun bi- Dalam Kajian
mun tersembunyi karena di-
rokrat saat mereka mencoba Akuntansi
bungkus dalam bahasa yang
acapkali bersifat retorik (seperti
meyakinkan publik (masyara-
sebuah drama). Oleh sebab itu,
kat) yang perlu mereka ya-
bagi Goffman upaya untuk me-
kinkan, misalnya untuk kasus
mahami makna interaksi sosial
privatisasi BUMN, untuk kasus
harus menggunakan analogi
BLBI, kasus Bank Century dan
sebuah drama, misalnya kita
sebagainya. Bukankah dalam
harus memperhatikan hal-hal
kasus-kasus itu, yang digunak-
seperti panggung belakangnya
an untuk menjustiikasi tinda-
(backstage), tempat para pemain
kan politik pemerintah adalah
drama mempersiapkan diri se-
konsep akuntansi seperti laba
hingga bisa diketahui hal-hal
atau rugi, cost (recovery cost)
apa saja yang sebenarnya me-
dan sebagainya?. Tidak jarang
latarbelakangi peristiwa sosial
penggunaan akuntansi secara
yang tengah kita amati. Selain,
retorik juga dilakukan oleh para
backstage, seting sosial atau
akuntan sendiri untuk meny-
kontek dimana peristiwa sosial
elamatkan profesinya. Pikirkan-
terjadi juga merupakan hal lain
lah misalnya, seberapa besar
yang menurut Goffman harus
sebenarnya tambahan manfaat
diperhatikan, disamping fak-
yang akan diterima masyarakat
tor-faktor seperti karakter para
banyak dengan menerapkan
pemain, dan – jangan lupa – au-
konsep fair value dan bukan
dience. Bagi Goffman, apa yang
lagi historical cost. Atau sebera-
bisa disaksikan oleh audience
pa besar akrualisasi akuntansi
dari sebuah drama hanyalah
penganggaran dan akuntansi
latar depannya (Goffman men-
pemerintahan di Indonesia yang
gistilahkan sebagai “front” ), pa-
harus dilaksanakan dalam wak-
dahal latar depan yang tampak
tu yang begitu singkat?. Tentu
ini (sebagaimana juga suatu
kita tetap menyadari bahwa be-
permainan drama) hampir se-
saran manfaat (atau sebaliknya
lalu telah merupakan produk
mudarat) yang akan diterima
suatu proses pelembagaan (in-
oleh para pengambil keputu-
stitutionalization) sehingga cen-
san ekonomi akan sangat ter-
derung sama karena telah men-
gantung kepada seberapa kom-
galami standarisasi dan telah
plekss situasi ekonomi yang di-
diterima sebagai suatu institusi
hadapi, serta seberapa canggih
(bisa jadi malah bagian dari bu-
(sophisticated) model pengam-
daya). Oleh karena itu, tugas
bilan keputusan yang dipakai
sosiolog, menurutnya, adalah
untuk mengatasi permasalahan
memaknai tindakan atau peris-
ekonomi yang dihadapi oleh
tiwa sosial yang tampil retorik
masing-masing decision maker,
tersebut.
artinya sangat relatif terhadap
Sekadar untuk tidak terlam-
kontek (ruang dan waktu). Jika
pau jauh dari masalah utama
dalam kenyataan kita menjump-
kita, yakni akuntansi, adalah
ai ada penyeragaman mengenai
sangat perlu bagi kita, para
penerapan fair value, misalnya,
akuntan dan akademisi akun-
maka bukankah secara sosiolo-
tansi, untuk memiliki kepekaan
gis kita perlu menelaahnya den-
Jurnal Akuntansi Multiparadigma,
Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 1-185
gan menempatkan hal tersebut sebagai suatu drama. Pertan- yaan relevannya, boleh jadi, siapakah pemain-pemainnya?; bagaimana karakter mereka?; dalam bentuk apa latar (pang- gung) depannya?; dan bagaima- na konteknya?. Dengan mema- hami itu semua, paling tidak menurut Goffman, kita akan bisa menjawab sebenarnya apa motivasi dasar yang melatarbe- lakangi penciptaan “pertunjuk- kan” atau “lakon” tersebut dan kemana tujuan serta arah yang ingin dituju oleh para pencipta pertunjukan serta para ak- tornya.
Phenomenology.
Phenom-
enology memiliki akar kata phenomena
atau
malahan
noumena. Menurut Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/ Noumenon), kata noumena be- rasal dari bahasa latin yang be- rarti suatu obyek atau kejadian yang hanya bisa ditangkap atau dipahami oleh pikiran manu- sia dan sama sekali bukan oleh atau melalui panca indera, se- dangkan phenomenon (bentuk tunggalnya phenomena) menun- juk kepada hasil penampakan dari noumena. Dengan kata lain phenomenon adalah hasil tang- kapan obyek tersebut melalui panca indera manusia, Sebagai suatu cabang ilsafat sekaligus suatu pendekatan penelitian dalam rumpun perspektif inter- pretive, phenomenologi adalah cabang ilsafat dan pendekatan penelitian yang mencoba meng- gali makna atau anggapan-ang- gapan yang tersembunyi dan terkandung dalam phenom- ena tindakan sosial yang ada, Pendekatan ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh tokoh utamanya, Redmund Hussserl, bertumpu pada keyakinan- keyakinan tertentu sebagai beri- kut: (1) bahwa pada dasarnya di dunia ini tidak ada subyek yang
sepenuhnya subyektif seb- agaimana juga tidak ada obyek yang sepenuhnya obyektif, (2) obyek-obyek sosial yang diama- ti tidak memiliki ketampakan (penampilan) yang independen atau terlepas sama sekali dari subyek (orang) yang memper- sepsikannya (Appelrouth dan Edles,
2007), Implikasinya mengarah kepada kesimpulan bahwa pengalaman manusia pada hakikatnya merupakan suatu dunia yang dipenuhi oleh obyek-obyek yang pada dirinya terdapat makna dan hubungan yang obyektif. Melalui pengara- han kesadaran kita yang tepat dan bersengaja, akan memung- kinkan seseorang atau phe- nomenolog mampu merekon- struksi atau – istilahnya Hus- serl “bracketing” (Appelrouth dan Edles, 2007) – pandangan dasar yang dimiliki orang yang bersangkutan tentang dirinya, maupun tentang obyek-obyek dunia luarnya sehingga seka- ligus mampu mengeksplorasi saling keterkaitan yang ada. Untuk memahami fenomena sosial, kata kuncinya, masih menurut Husserl, “thinking as usual” dalam kehidupan sehari- hari.
Pelanjut
Husserl,
Alfred Schutz memberikan tekanan lebih lanjut dari apa yang dike- mukakan oleh Husserl. Menu- rutnya manusia pada dasarnya tidak mungkin mencerna pen- galamannya sebagai suatu re- alitas yang obyektif, sebaliknya mereka malahan mencerna pen- galaman atas dunianya sebagai suatu yang subyektif, yaitu sebagai rangkaian obyek yang saling terhubung dan mampu memberi makna (Appelrouth dan Edles, 2007). Oleh sebab itu, untuk bisa menjelaskan tentang suatu realitas, seseorang perlu memerhatikan struktur makna yang dipakainya dalam mem-
Djamhuri,
Ilmu Pengetahuan Sosial Dan Berbagai Paradigma Dalam Kajian Akuntansi
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 147-185
persepsikan realitas tersebut. Karena manusia adalah mahluk sosial, maka menurut Husserl, terdapat struktur makna yang telah terbentuk melalui proses sosialisasi, yakni struktur mak- na yang telah terorganisir den- gan baik. Struktur makna ini- lah yang dipakai oleh manusia dalam memaknai tindakan-tin- dakan dan peristiwa sosial yang ada di sekelilingnya. Struktur makna yang terorganisasi ini- lah yang sebenarnya mewujud sebagai “kebiasaan”. Tugas, kita sebagai peneliti fenomenologi, dengan demikian, adalah mem- buka makna sosiologis dari hal-hal yang masih terselubung dan tertutupi oleh kebiasaan- kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Hal seperti ini hanya bisa kita lakukan, jika kita mampu menempatkan diri kita pada posisi pelaku tinda- kan sosial yang kita amati dan terus-menerus mencoba mengi- dentiikasi hubungan yang ada antara pengalaman kita dengan pengalaman para pelaku tinda- kan sosial itu sendiri. Di titik inilah sebenarnya para tokoh sosiologi fenomenologi seperti Husserl dan Schutz memiliki kesamaan pandangan atau prinsip yang selalu mereka ter- apkan dalam melihat realitas sosial, yakni “intersubjectivity”. Dengan menerapkan konsep intersubjecitivity ini, mereka berusaha
menginterpretasi-
kan pengalaman kita dan pen- galaman para pelaku tindakan atau peristiwa sosial yang dia- mati melalui simbol-simbol dan skema penafsiran (interpretive schemes) yang telah dimiliki bersama antara kita dan pelaku tindakan sosial.
Tradisi fenomenologis ini kemudian juga
dilanjutkan
oleh sosiolog-sosiolog lain sep- erti Peter Berger dan Thomas Luckmann (Appelrouth dan
Edles, 2007). Berger dan Luck- man, misalnya, berpendapat bahwa “masyarakat (society) pada hakikatnya suatu ben- tukan manusia; masyarakat juga adalah suatu realitas so- sial yang obyektif; dan manu- sia merupakan produk sosial” (Appelrouth dan Edles, 2007). Gagasan Berger dan Luckmann ini memperkuat apa yang sebe- lumnya dipahami sebagai gaga- san interactionism, yakni antara seorang manusia dengan ma- syarakat yang melingkupinya. Dengan pemahaman seperti ini, Berger dan Luckmann leb- ih lanjut mengatakan bahwa masyarakat, termasuk suatu organisasi, pada hakikatnya merupakan suatu kondisi stabil dari suatu proses saling memen- garuhi antara manusia dengan lingkungan yang melingkupin- ya yang diikat oleh pemahaman (cara pandang) dan nilai-nilai yang sama. Proses pembiasaan, menurut istilah yang mereka ke- mukakan “habitualization” telah memungkinkan terjadinya sta- bilitas secara temporer pema- haman dan nilai-nilai yang ber- asal dari individu-individu yang membentuk masyarakat. Den- gan memberi ruang yang lebih luas, yakni kepada masyarakat yang di dalamnya terdapat leb- ih banyak variasi pemahaman dan tata nilai yang diyakini oleh para anggotanya, konsep ha- bitualization diterapkan untuk menggambarkan
bagaimana masyarakat mengalami proses stabilisasinya. Proses ini mer- eka namakan sebagai institu- tionalization (Appelrouth dan Edles, 2007). Oleh karena itu, institusionalisasi
melibatkan lebih banyak pihak yang memi- liki lebih banyak corak pemaha- man dan tata nilai, sehingga di dalamnya juga melibatkan lebih banyak proses seperti penge- lompokkan ( typiication), peny-
Jurnal Akuntansi Multiparadigma,
Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 1-185
eragaman, tarik-ulur kepentin- gan dan sebagainya.
Jika sosiologi ini, coba diter- apkan dalam melihat fenom- ena akuntansi, maka seorang peneliti fenomenologi misalnya, dapat mulai penelitiannya, den- gan memandang bahwa akun- tansi dalam organisasi adalah sebuah produk dari proses in- stitusionalisasi. Sebagai produk institusionalisasi,
akuntansi
dalam organisasi
(misalnya
sistem informasi akuntansi dengan segala struktur, prose- dur dan perangkatnya) pada taraf tertentu akan berpotensi dan mampu menciptakan kes- tabilan organisasi. Pertanyaan penelitian yang bisa dimuncul- kan misalnya adalah bagaima- na proses stabilisasi tersebut berlangsung? Siapa saja yang berperan serta dalam proses menuju kestabilan tersebut? Siapa diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Alasan-alasan apa yang melatarbelakangi si- kap dan tindakan masing-mas- ing pihak yang terlibat?. Secara ilmiah, untuk menganalisis dan memberi jawaban atas pertan- yaan-pertanyaan tersebut, be- berapa teori sosiologi tertentu seperti teori Sosiologi Kelem- bagaan Baru (New Institutional Sociology) dan Teori Struktur- asi (Structuration Theory) meru- pakan teori-teori yang cukup relevan untuk dipertimbangkan penggunaannya. Bagi mereka yang menekuni aspek manage- rial dan organisasi dari akun- tansi, pertanyaan-pertanyaan tersebut masih mungkin un- tuk sekaligus dikaitkan dengan tema yang lebih besar seperti tema perubahan organisasi (or- ganizational change).
Ethnomethodology. Meru- juk kepada buku karya Karam- jit S. Gill (1996) yang berjudul Human machine symbiosis, ka- mus Wikipedia mendeinisikan
ethnomethodology dengan cara sebagai berikut:
“Ethnomethodology is a
method for understanding the social orders people use to make sense of the world through analyzing their ac- counts and descriptions of their day-to-day activities”.
Sederhananya, etnomet- odologi merupakan cara kajian secara sosiologis yang berusaha mendapatkan pemahaman ten- tang bagaimana suatu kelom- pok masyarakat atau anggota suatu budaya tertentu meng- gunakan atau menerapkan un- sur-unsur budayanya dalam kehidupan sehari-sehari mer- eka. Dengan pengertian seperti ini, etnometodologi meletakkan tekanan pertanyaan utamanya bukan kepada mengapa suatu kelompok masyarakat berlaku atau menjalankan perilaku so- sialnya dengan cara tertentu sebagaimana
yang menjadi pusat perhatian ethnography, melainkan kepada bagaimana kelompok masyarakat yang se- dang kita teliti melakukan atau mempraktikkan unsur-unsur budaya yang secara bersama- sama mereka miliki. Dengan kata lain, ilmuwan yang memil- ih pendekatan penelitian eth- nography lebih tertarik untuk mengetahui, misalnya, apakah semua unsur budaya yang di- miliki oleh suatu kelompok masyarakat diterapkan dengan cara yang sama secara otomatis, atau – sebaliknya – unsur-un- sur itu sebenarnya diterapkan melalui proses negosiasi yang bersifat kontekstual sesuai den- gan situasi yang dihadapi.
Dalam literatur ilmu sosiologi, pendekatan Ethno- methodology selalu dikaitkan dengan tokoh yang memperke- nalkannya, yaitu Harold Gar-
Djamhuri,
Ilmu Pengetahuan Sosial Dan Berbagai Paradigma Dalam Kajian Akuntansi
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 147-185
inkel (Appelrouth dan Edles, 2007). Dalam upaya menjawab pertanyaan tentang bagaimana masyarakat
mempraktikkan
unsur budaya yang mereka mi- liki, Garinkel bahkan dikenal
melalui caranya yang – boleh jadi bagi kebanyakana orang – tidak lazim, yaitu melakukan percobaan dengan sengaja me- langgar apa yang telah lazim diklaim sebagai kebiasaan atau tata aturan yang normal (rule breaching), misalnya saat be- rada di dalam lift mengarah- kan wajah langsung ke wajah pengguna lift lain atau membe- lakangi pintu lift. Dia berkeya- kinan bahwa dengan memer- hatikan bagaimana reaksi yang muncul dari para pengguna lift, seoarang ethnomethodolog akan bisa menjawab pertan- yaan utama yang ingin dijawab melalui pendekatan ethnometh- odology ini, misalnya melalui penelusuran tentang alasan yang mendasari mengapa mer- eka (para pengguna lift lainnya) bereaksi seperti itu. Langkah selanjutnya yang juga sangat critical adalah saat peneliti harus mengamati tentang de- rajat penerimaan (atau juga sebaliknya, derajat penolakan) para anggota budaya tersebut terhadap perilaku menyimpang yang dipertontonkan oleh orang yang melanggar aturan terse- but. Derajat penolakan atau penerimaannya akan bisa diu- kur dari cara yang ditunjukkan oleh para pengguna lift lainnya dalam mereaksi pelanggaran ke- biasaan mereka, misalnya tidak peduli, lemah (diam saja tapi menggerutu),
mengingatkan
dengan sopan, mengingatkan dengan ketus, memberontak secara spontan, atau bahkan menindak lanjuti dengan tinda- kan lain yang mengekpresikan ketidaksetujuan (protes kepada pihak lain yang punya otoritas
untuk mengatur penggunaan lift, misalnya) selepas peristiwa sosial tersebut terjadi. Tipologi reaksi tersebut pada dasarnya mampu memberikan petunjuk (clues) yang bermanfaat bagi seorang peneliti etnometodologi di dalam menakar ruang nego- siasi yang disediakan oleh ma- syarakat anggota kelompok bu- daya tersebut di dalam meng- hadapi hal-hal yang bersifat ke- luar dari normalitas keseharian mereka. Pada saat yanag sama, peneliti tersebut bisa memak- nainya sebagai ruang negosiasi atas hal-hal yang bisa diteri- ma oleh kebiasaan sehari-hari atau budaya mereka. Dengan demikian, kita kemudian bisa menjawab pertanyaan apakah sebenarnya sesuatu yang telah kita anggap sebagai karakteris- tik kita (secara budaya atau se- cara sosial karena hal tersebut telah terlembagakan melalui so- sialisasi, misalnya training atau proses pendidikan atau proses pembudayaan lainnya dalam masyarakat) akan secara oto- matis berlaku di setiap situasi, atau sebenarnya akan diterap- kan secara kontekstual.
Dalam kajian sosiologi, pendekatan etnometodologi se- dikit menempati posisi yang unik, terutama dalam kaitan- nya dengan kadar keinterpreti- van pendekatannya. Pertama, meskipun gagasan ethnometh- odology dikembangkan oleh Garinkel didasari, untuk seba- giannya, dengan fenomenologi Schutz dan gagasan Verstehen yang dikemukakan oleh Max Weber sehingga tetapmasuk dalam rumpun sosiologi in- terpretive, namun – boleh jadi – karena anggapan terhadap manusia yang dipakai sebagai dasar pendekatannya, yaitu sepenuhnya rasional, serta metode eksperimen rule breach- ing yang dilakukannya untuk
Jurnal Akuntansi Multiparadigma,
Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 1-185
mendapatkan jawaban atas pertanyaan utama pendekatan ini, menjadikan pendekatan ini dipandang sebagai memi- liki kadar kedekatan dengan sosiologi functionalism yang relatif sangat tinggi. Dalam is- tilah lain, etnometodologi yang dikembangkan oleh Garinkel melihat masyarakat dengan pola “ scientiic” yang cenderung positivistic. Dalam salah satu kritiknya terhadap karya-karya etnometodologinya
Garinkel
dan Lynch, Atkinson (1988), misalnya, mengatakan bahwa Garinkel dan kawan-kawannya sebenarnya berusaha memban- gun model analisa sosiologisnya dengan sebisa mungkin men- jauhi dari model constructivist, oleh karenanya meskipun mer- eka mengklaim “constructivist”, konstruktivisme yang diban- gun adalah konstruktivisme yang terlalu disederhanakan sekadar untuk mengesankan, bahwa modelnya layak masuk ke dalam kategori aliran ilsa- fat, padahal sebenarnya masih tidak beranjak jauh dari upaya mempertahankan
prosedur-
prosedur penelitian yang scien- tiic. Komentar lengkapnya bisa
dibaca dalam kutipaan berikut ini:
“Lynch, Garinkel, and their colleagues seek to distance themselves from the con- structivist view of scien- tiic knowledge. They erect an oversimpliied model of the constructivist position, claiming that it represents
a “philosophy that remains endlessly
embedded
in
academic arguments about science with no attention being paid to the endog- enously produced variants and argument that consti- tute the technical develop- ment of ordinary scientiic inquiry””(Atkinson, 1988, p. 445)
Tentu saja kritik Atkinson (1988) ini, bukan untuk men- gatakan bahwa karya-karya il- miah sosiologi dengan pendeka- tan etnometodologi tidak berarti atau tidak menyumbangkan kontribusi keilmuan yang ber- manfaat bagi masyarakat. Kritik tersebut hanya ingin memberi- kan tekanan bahwa masih ban- yak orang yang salah melihat bahwa etnometodologi seperti- nya sepenuhnya sosiologi inter- pretive, yang terjadi sebenarnya, ethnomethodology merupakan sosiologi interpretive yang lebih dekat ke functionalist.
Radical Humanist, Radical Structuralist, Critical Theory dan Postmodernism
Paradigma
keilmuan radical humanist memiliki ciri utama yang khas seperti komit- mennya terhadap subyektiv- itas, constructivist, dan keya- kinannya bahwa ilmu penge- tahuan seharusnya berfungsi sebagai alat untuk menaikkan harkat kemanusiaan mereka yang tertindas oleh sistem yang ada sekarang ini (emancipatory). Pada sisi lain, paradigma radi- cal structuralist juga berkeingi- nan untuk melakukan emansi- pasi melalui aktivitas keilmuan, namun paradigma ini tidak memiliki komitmen subyektif dan konstruktivis. Menariknya, critical theory yang menjadi pi- jakan dasar paradigma kritis memanfaatkan keduanya untuk melakukan semacam upaya re- visi atas paradigma-paradigma lainnya, terutama paradigma positivist yang masih meme- gangi dengan erat apa yang kita kenal dengan grand theory atau meta narasi. Jika dalam seksi ini, kedua paradigma sosiologis keilmuan tersebut digabung- kan pembahasannya, hal ini semata-mata karena alasan ke- praktisan dan karena keduanya secara kebetulan diikat oleh
Djamhuri,
Ilmu Pengetahuan Sosial Dan Berbagai Paradigma Dalam Kajian Akuntansi
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 147-185
model teori yang sama, yakni critical theory. Dalam perkem- bangannya, aliran ilsafat post- modernism bahkan ikut juga meramaikan diskursus ilmiah tentang masyarakat dan tin- dakan atau peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi, sehingga jika dibuatkan konigurasinya, di sekitar paradigma radical hu- manist dan radical structuralist, selain terdapat paradigma kritis dengan critical theory sebagai pijakan dasarnya, juga terdapat paradigma
postmodernisme
yang mengusung gagasan anti establishment dan deconstrust- ivism.
Melihat
konigur-
asi paradigmatik yang sep- erti ini, wajar jika kemudian kita mendapatkan kenyataan bahwa gagasan ilosois utama yang melandasi perkembangan keempat paradigma yang dibi- carakan dalam seksi ini adalah marxism. Karakteristik marxist paradigma-paradigma ini san- gat terlihat menonjol, terutama dalam orientasi yang kuat ter- hadap materialism, anti estab- lishment dan emancpatory atau constructivism (kecuali untuk radical structuralist, tentu saja). Di antara keempat paradigma yang dibahas dalam seksi ini, jika boleh dikatakan dengan sederhana, yang paling men- arik untuk diberikan komentar khusus – barang kali – adalah postmodernism. Alasan seder- hananya adalah karena kara- kteristik eclective dan lexible yang muncul dari relativitas penuh sebagai implikasi komit- men paradigma ini terhadap ni- hilisme (Kilduff & Mehra, 1997) menjadikan paradigma ini su- lit dikonigurasikan menggu- nakan konigurasi paradigma ilmu sosial model Burrell dan Morgan, bahkan jika terpaksa harus dikonigurasikan, para- digma ini seperti “tidak terletak
di mana pun, namun sekaligus juga terletak di mana pun”. Im- plikasinya, paradigma ini tidak terikat dengan konsep para- digm incommensurability, suatu gagasan yang mengatakaan bahwa antara satu paradig- ma dengan paradigma lainnya pada dasarnya tidak bisa di- gandengkan (dikawinkan) teru- tama karena perbedaan asumsi dasar, orientasi dan cara-cara yang ditempuh dalam mem- peroleh pengetahuan (aspek on- tologis maupun epistemologis). Namun demikian, setidaknya jika dilihat secara bersama- sama dengan paradigma kritis, maka keduanya sering tampil hampir serupa dengan mengu- sung hal yang sama, yakni per- lunya dekonstruksi (Kilduff & Mehra, 1997) dan rekonstruksi masalah-masalah sosial. Pem- baca tak perlu heran, bahwa dalam mendekonstruksi dan akhirnya mengkonstruksikan kembali suatu masalah sos- ial, para pendukung postmod- ernisme sering memanfaatkan teori kriitis (critical theory), atau bahkan pendekatan penafsiran hermeneutics serta semiotics yang orang mengatakan ked- uanya berada di ranah interpre- tive sociology. Beberapa tokoh pendukung yang berada di ali- ran pemikiran ini bisa disebut- kan seperti Liyotard, Nietzsche, Derrida, Foucault, Habermas, Baudrillard, Barthes, Deleuze, Kristeva, Lacan, Levinas dan sebagainya (O’Donnell, 2009).
Kajian kritis dalam akuntansi lazimnya berangkat dari keinginan yang kuat untuk melakukan emansipasi atau peningkatan derajat mereka yang tertindas dan dirugikan (setidaknya tidak diuntungkan) oleh proses sosial yang meng- hasilkan atau melibatkan peng- gunaan informasi akuntansi, baik dalam ranah publik atau-
Jurnal Akuntansi Multiparadigma,
Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 1-185
pun dalam ranah orhanisa- si secara individual. Artikel Lehman (2005) yang berjudul
A critical perspective on the har- monisation of accounting in a globalising world bisa menjadi contoh. Melalui artikel terse- but dia mencoba memaparkan, betapa kantor-kantor akuntan besar dunia telah menggunak- an auditing sebagai alat pen- gendalian, dan melalui agenda harmonisasi standar akuntansi dan auditing yang dijalankan kelompok-kelompok lobi inter- nasional memaksakan kepent- ingannya untuk meratakan ja- lan bagi perluasan dan intensi- tas kekuasaan mereka. Dalam kondisi yang amat disayangkan di mana lembaga-lembaga pem- buat standar umumnya sekadar mengikuti apa yang didiktekan secara internasional, proses harmonisasi atau bahkaan kini “standarisasi” secara internasi- onal telah menimbulkan kepin- cangan kekuatan (power imbal- ances) yang makin besar antara negara-negara Eropa-Amerika di satu sisi dengan negara- negara dunia ketiga di sisi lain. Setelah mengkritisi proses yang menghasilkan standar akun- tansi internasional yang diklaim sebagai telah “harmoni” terse- but, artikel Lehman kemudian mencoba menwarkan solusi alternatif yang dianggap lebih memerhatikan aspek yang dilu- pakan oleh proses harmonisasi standar akuntansi internasi- onal tersebut, yakni harmon- isasi yang tetap memerhatikan pentingnya komitmen atas nilai “kebaikan bersama”, citizenship dan juga demokrasi sehingga masyarakat internasional tidak malahan terhegemoni oleh ke- pentingan multinational corpo- ration (MNC) yang makin meng- gurita menguasai hajat hidup orang banyak. Artikel Lehman ini melihat bahwa harmon-
isasi standar akuntansi adalah sebuah proses sosial. Proses sosial tersebut telah mengun- tungkan
kelompok-kelompok tertentu dengan merugikan ke- lompok lain yang lebih besar. Oleh sebab itu terdapat alasan untuk mempertanyakan men- gapa demikian, dan mengapa tidak melakukan atau mengam- bil pendekatan lain yang lebih berkeadilan bagi semua. Artikel Lehman ini bisa dikategorikan ke dalam karya penelitian kri- tis tetapi sekaligus juga post- modern.
Harus diakui, paling tidak jika diletakkkan dalam ranah perbandingan dengan paradig- ma keilmuan lainnya, paradig- ma postmodern mungkin para- digma yang paling sering dipa- hami secara negatif. Bagaimana tidak, wajah yang selalu diton- jolkan ke permukaan dari post- modern paradigm ini adalah wajah atau karakteristik yang memberi tekanan kepada anti keteraturan atas hal-hal yang sudah dianggap mapan (nor- mal dan lumrah terjadi) yang dihasilkan oleh modernisme. Perhatikan kutipan pendek berikut yang menggambarkan bagaimana posmodernisme ini secara esensial memang me- miliki visi ingin membebaskan masyarakat atau manusia dari belenggu hal-hal yang teratur (terstandar, termasuk norma, teori, religi dan sebagainya):
“Within the social sciences in general, the specter of postmodernism has aroused widespread anxiety. Post- modernism has been viewed as an enterprise that calls for the death of all scientiic inquiry, the end of all new knowledge;
the
dissolu-
tion of any standards that may be used to judge one theory against another; a banishment into utter rela-
Djamhuri,
Ilmu Pengetahuan Sosial Dan Berbagai Paradigma Dalam Kajian Akuntansi
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 147-185
tivism wherein a clamor of fragmented and contentious voices reigns (see Pauline
review of these cocerns recent discussion of mis-
understanding of postmod- ernism).” (Kilduff & Mehra,
1997, p. 454) Sebenarnya jika keha-
diran postmodern dilihat dalam kontek sebagai suatu hal yang memberi ruang lebih luas dalam pengembangan keilmuan, maka tidak ada alasan ketakutan ter- hadap penerapannya, termasuk dalam kajian akuntansi sekali- pun. Postmodernism, misalnya, akan memberi peluang kepada para peneliti untuk melakukan studi yang bersifat lintas disip- lin (cross disciplinary studies) sehingga bisa dihasilkan ilmu pengetahuan tipe baru (new genre) yang selama ini, tentu dengan menggunakan pema- haman konvensional, tampak tidak mungkin dihasilkan. Hi- bridisasi keilmuan ini terasa semakin penting justru di saat fenomena sosial semakin kom- pleks dan makin tidak bisa diselesaikan oleh ilmu pengeta- huan yang dikembangkan den- gan kecenderungan “puristik” di jalurnya masing-masing.
Sekadar sebagai contoh sederhana bagaimana posmo- dernisme ini bisa diterapkan untuk mengkaji akuntansi, per- hatikanlah misalnya masalah akuntansi yang sampai saat ini, bahkan oleh yang berpandan- gan konvensional sekalipun, diberi pengertian sebagai baha- sa bisnis. Istilah dekonstruksi yang ada pada Postmodernism adalah produk pengaruh il- safat bahasanya de Saussure (1857-1913), seorang profesor lingustik dari Swiss (O’Donnell, 2009) yang membawa revolusi dalam studi bahasa. Menu-
rutnya, bahasa pada dasarnya merupakan suatu sistem tet- anda (signs atau symbol), yakni tetanda hasil suatu proses kon- struksi sosial. Bahasa bukan merupakan ide lepas yang tan- pa batas waktu yang abstrak. Jika dibandingkan dengan kata (word), bahasa merepresenta- sikan seluruh sistem dengan struktur dan peraturan yang menjadi landasannya, sedan- gkan kata hanyalah tetanda di mana setiap tetanda selalu ter- bentuk dari kombinasi antara obyek dan nama. Saussure ber- pendapat bahwa representasi obyek oleh nama (atau bunyi) berlangsung secara arbitrer (se- wenang-wenang), artinya setiap penanda bisa dipakai secara berbeda di setiap kebuday- aan (secara sosial), meskipun peraturan yang melandasinya sama (O’Donnell, 2009). Kare- na kata adalah konstruksi so- sial, maka ia memiliki makna sosialnya yang sesuai dengan kontek di mana kata tersebut diproduksi. Dengan demikian, dekonstruksi bukanlah suatu metode tertentu atau suatu program yang sistematis, teta- pi lebih sebagai cara membaca teks yang mampu menemukan kembali detail-detail kecil yang terlampaui atau hilang (sebagai akibat konstruksi sosial terten- tu saat kata atau tanda terse- but terbentuk) sehingga bisa memberi ruang bagi berlakunya pandangan atau tafsiran lain.
Jika demikian, akun- tansi yang merepresentasikan suatu bahasa, yakni bahasa bisnis, yang juga penuh den- gan tetanda dan aturan akan sangat mungkin menjadi obyek dekonstruksi. Petama, sebagai bahasa yang penuh dengan tet- anda (symbols), konsep-konsep akuntansi tentu telah mengala- mi dan merupakan hasil suatu proses konstruksi sosial, tidak Jika demikian, akun- tansi yang merepresentasikan suatu bahasa, yakni bahasa bisnis, yang juga penuh den- gan tetanda dan aturan akan sangat mungkin menjadi obyek dekonstruksi. Petama, sebagai bahasa yang penuh dengan tet- anda (symbols), konsep-konsep akuntansi tentu telah mengala- mi dan merupakan hasil suatu proses konstruksi sosial, tidak
nyebab satu aspek dipandang
tu saja. Kedua, adalah sangat
kurang penting dibanding yang
mungkin bahwa proses sosial
lain.
yang berlangsung dalam mana konsep atau standar dan aturan
Penutup
lain dalam akuntansi megalami
Sebagai suatu kesim-
proses pembentukannya (kon-
pulan, dapat dikatakan di sini
struksinya) telah menghilang-
bahwa, pertama, akuntansi
kan atau menutupi detail-detail
adalah disiplin yang multipara-
kecil tertentu yang sebenarnya
digmatik. Kedua, kajian tentang
penting sehingga apa yang ter-
akuntansi saat ini tengah men-
bentuk tidak lagi suatu konsep
galami transisi. Soal apakah
yang utuh. Dekonstruksi, me-
transisi ini tergolong pada tran-
lalui pembacaan kembali teks,
sisi paradigmatik seperti yang
dalam hal ini konsep-konsep
digambarkan oleh Kuhn (1962)
yang ada dalam akuntansi,
atau sekadar transisi metodolo-
mencoba menghadirkan kem-
gis, setiap orang bisa saja ber-
bali detail-detail kecil yang ter-
beda pendapat tentang hal ini.
hilangkan tersebut, sehingga
Namun tanda-tanda bahwa ka-
bisa dihasilkan konsep yang
jian akuntansi mengalami situ-
memberi makna lebih lengkap
asi yang transisional tampak
atau lebih utuh. Beberapa ka-
jelas bisa kita saksikan. Mun-
jian yang telah dilakukan di
culnya ke permukaan akuntansi
Jurusan Akuntansi seperti ten-
syariah, suatu genre akuntansi
tang konsep Laba Humanis bisa
yang disandarkan pada tata ni-
masuk dalam kategori kajian
lai agama (baca: sesuatu yang
postmodernism. Sangat mung-
dalam ranah positif dipandang
kin kajian akuntansi dengan
metaisika dan tak memenuhi
warna postmodernist ini tidak
persyaratan ilmu pengetahuan)
berhenti sebatas mempersoal-
merupakan satu bukti yang
kan masalah konsep laba, lebih
nyata. Sementara itu, kini bah-
dari itu, kita bisa melakukan
kan komunitas internasional
dekonstruksi tentang konsep
tengah mendorong kalangan
fair value, misalnya. Konsep Fair
akuntansi untuk memberi per-
Value dilihat dari sisi postmod-
hatian yang lebih besar tentang
ernism pastilah telah terbentuk
lingkungan dan keadilan an-
melalui proses sosial, sehingga
tar generasi yang terbungkus
muncul atribut “fair” terhadap
dalam apa yang dikenal den-
“value” yang dipakai. Untuk ini
gan aspek sustainability. Dalam
kita bisa mengajukan pertan-
masa yang tidak terlampau
yaan “fair for whom?” , “Who
lama bisa diperkirakan bah-
should determine fairness?” .
wa laporan keuangan, bahkan
Dalam ranah ilmu sosial, hilan-
yang sudah disusun berdasar-
gnya suatu detail atau aspek
kan konsep fair value, akan ti-
tertentu dalam pembentukan
dak lagi dipandang mencukupi
kata atau tetanda tidak harus
jika belum melaporkan aspek
dimaknai sebagai sesuatu yang
sustaianability. Ketiga, perspe-
negatif. Pertama, proses sosial
ktif-perspektif dalam ilmu pen-
lazimnya memang berlangsung
getahuan sosial, terutama sosi-
sebagai suatu arena negosiasi
ologi, mampu membuka ruang
Jurnal Akuntansi
yang melibatkan power atau
yang lebih luas bagi para penel-
Multiparadigma,
kekuatan mereka yang terlibat.
Volume 2, Nomor 1, Kedua, orientasi dan latar be-
iti atau calon peneliti akuntansi
April 2011, lakang budaya bisa menjadi pe-
untuk mengkaji masalah atau
problema dalam ilmu akuntansi
hlm. 1-185
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 147-185
Covaleski, M.A., and Aiken, M. Ilmu
Djamhuri,
dari sisi-sisi lain yang selama
1986. Accounting and Pengetahuan
ini tidak terperhatikan.
Theories of Organiza- Sosial Dan
Sejauh mana keberlanju-
tions: Some Preliminary Berbagai
tan dan keberhasilan upaya-
Considerations Account- Paradigma
upaya terobosan yang telah
ing Organizations and Dalam Kajian
dicoba lakukan oleh beberapa
kalangan di lingkungan aka-
Akuntansi
demisi akuntansi, bahkan di
Indonesia, untuk melakukan
Covaleski, M.A., Evans, J.H.,
kajian-kajian akuntansi alter-
Luft, J.L., and Shields,
natif akan sangat tergantung
M.D. 2003. Budgeting
dari iklim akademis yang diha-
Research: Three Theo-
dapi. Manakala iklim akademis
retical Perspectives and
yang dihadapi cukup kondusif,
Criteria for Selective
misalnya ditandai dengan sikap
Integration. Journal of
keterbukaan dalam diskursus
Management Accounting
keilmuan, minat yang relatif tinggi pada kajian-kajian ilmu
Dillard, J.F., and Becker, D.A.A.
sosial dan ilsafat di perguruan-
1997. Organizational
perguruan tinggi, maka sangat
Sociology and Account-
bisa diharapkan bahwa kehadi-
ing Research Or Under-
ran kajian akuntansi alternatif
standing Accounting in
justeru akan disambut dengan
Organizatons Using So-
gembira. Semoga bermanfaat
ciology. In V. Arnold & S. G. sutton (Eds.), Be-
DaFtar rUJUkan
havioral Accounting Re-
Appelrouth, S., and Edles, L.D.
search Foundation and
2007. Sociological Theo-
Frontiers (pp. 247-274).
ry in the Contemporary
Sarasota, Florida: Amer-
Era: text and Readings.
ican Accounting Asso-
Thousand Oaks, Califor-
ciation.
nia: Pine Forge Press.
Farazmand, A. 1999. Globaliza-
Atkinson, P. 1988. Ethnometh-
tion and public admin-
odology: A Critical re-
istration. Public Admin-
view. Annual Review of
istration Review, 59(6), 509-522.
Belkaoui, A. R. 1992. Accounting
Gioia, D.A., and Pitre, E. 1990.
Theory (Third ed.). Lon-
Multiparadigm Perspec-
don: Academic Press.
tives on Theory Building.
Burrell, G., and Morgan, G.
Academy of Management
1979. Sociological Para- digms and Organization-
Hopper, T., and Powell, A. 1985.
al Analysis: Elements
Making Sense of Re-
of the Sociology of Cor-
search into the Orga-
porate Life. Aldershot,
nizational and Social
England: Ashgate Pub-
Aspects of Management
lishing Limited.
Accounting: A Review of
Chua, W.F. 1988. Interpretive
Its Underlying Assump-
Sociology and Manage-
tions. Journal of Man-
ment Accounting Re-
agement Studies 22(5),
search - A Critical Re-
429-465.
view. Accounting, Au-
Hopwood, A. 1976. Accounting
diting & Accountability
and Human Behaviour (First American ed.). New
Jersey: Prentice-Hall.
doxy and Heterodoxy in
Hopwood, A.G. 2007. Whither
Analyzing Institutions:
Accounting
Research?
Original and New Insti-
The Accounting Review,
tutional Economics Re- examined. International
Jensen, M. C. 1983. Organiza-
Journal of Social Eco-
tion Theory and Meth-
nomics, 30(7), 798-826.
odology. The Accounting Review, LVIII(2), 319- 339.
Kilduff, M., and Mehra, A. 1997. Postmodernism and Or- ganizational Research. Academy of management Review, 22(2), 453-481.
Kuhn, T.S. 1962. The Structure of Scientiic Revolutions
(Second enlarged) ed. Vol. 1 & 2). Chicago: University of Chicago Press.
Lee, T. 1997. The editorial gate- keepers of the account- ing academy. Account- ing, Auditing & Account-
11-30. Lehman, G. 2005. A critical per- spective on the harmoni- sation of accounting in a globalising world. Criti- cal Perspectives on Ac-
O’Donnell, K. 2009. Postmodern- isme (J. Riberu, Trans.). Yogyakarta: Kanisius.
Perks, R.W. 1993. Accounting and Society (First ed.). London: Chapman & Hall.
Rosenbloom, D., and Yaroni, A. 1992. The Transferabil- ity of New Public Man- agement Reforms: Ca- veat from Israel. Public Policy in Israel, 81-99.
Roslender, R. 1992. Sociological Perspectives on Modern Accountancy London: Routledge.
Jurnal Akuntansi
Smith, M. J. 1998. Social Sci-
Multiparadigma,
ence in Question. Lon- Volume 2, Nomor 1, don: SAGE Publications.
April 2011, Zairovski, M. 2003. Ortho-
hlm. 1-185