Ilmu Pengetahuan Sosial dan Berbagai Par

Djamhuri,

Ilmu Pengetahuan Sosial Dan Berbagai Paradigma Dalam Kajian Akuntansi

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 147-185

ya sedikit ilmuwan yang be- rani dan mau melakukannya, biasanya hanya mereka yang memiliki spirit of discovery yang tinggi yang mampu menyadari bahwa di balik setiap yang berisiko tinggi justeru ada pelu- ang memperoleh manfaat yang tinggi pula.

Gagasan utama yang ingin disampaikan melalui tulisan ini adalah pernyataan bahwa klaim ilmiah atas suatu konsep ilmu, proses keilmuan, atau hasil penelitian ilmiah pada dasarnya merupakan klaim yang bersifat relatif. Ia tergantung dari sudut pandang atau perspektif keil- muan (ada yang menyebut per- spektif teoretik atau paradigma) mana yang dipakai untuk men- gukurnya. Setiap penelitian, termasuk dalam bidang akun- tansi, memiliki asumsi-asumsi ilosois serta fondasi teoritisnya sendiri. Oleh sebab itu, adalah penting untuk mengenali dan menilai dengan tepat setiap asumsi ilosois dan dasar teori- tik yang melandasi setiap jenis penelitian ilmiah untuk men- jamin bahwa baik asumsi i- losois maupun dasar teoritik yang dipakai dalam penelitian ilmiah tersebut konsisten den- gan keyakinan atau paradigma keilmuan yang dianut oleh si penelitinya.

Untuk mencapai tujuan pen- ulisannya, sistematika tulisan ini disusun sebagai berikut. Bagian pertama akan mencoba mengulas masalah pemaha- man konvensional atas akun- tansi, yaitu pemahaman atas akuntansi yang sekarang ini dominan karena dianut oleh se- bagian besar akuntan maupun akademisi akuntansi. Di bagian kedua, uraian bagian pertama tersebut dicoba dikaitkan den- gan functionalism dan perspe- ktif positivist, yaitu perspektif sosiologi atau paradigma keil-

Sebuah artikel di jurnal Academy of Management Review Volume 15 No. 4 Tahun 1990 yang ditulis oleh Gioia dan Pitre (1990) benar-benar telah me- nyita perhatian saya lebih ban- yak dari bahan-bahan bacaan lainnya. Artikel yang berjudul Multiparadigm Perspectives on Theory Building tersebut diawali dengan kutipan dari George Sar- ton (1929) yang terdapat dalam buku The Civilization of the Re- naissance (1959). Sarton (1929) mengatakan: “The most difi- cult thing in science, as in other ields, is to shake off accepted views” (Gioia dan Pitre, 1990). Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan secara khusus untuk membahas orang-orang yang berada di dunia ilmiah, yang menurut Sarton sangat sulit melepaskan cara pandang keilmuan yang selama ini dia- nutnya. Namun tidak bisa di- sangkal, karena tujuan tulisan ini ingin mengekplorasi ten- tang kaitan antara ilmu sosial dengan paradigma akuntansi, sesuatu yang umumnya masih dianggap baru, bahkan hetero- dox (Zairovski, 2003), artinya menyimpang atau keluar dari normalitas atau kebiasaan yang dianut oleh sebagian besar il- muwan, maka sangat mungkin beberapa hal mengenai mereka akan tidak bisa dihindari sedikit terungkap melalui tulisan ini.

Harus dimaklumi, perkena- lan seorang ilmuwan dengan suatu perspektif keilmuan ter- tentu dapat berlangsung den- gan mudah, tetapi tidak jarang juga berlangsung penuh kesuli- tan. Sesekali bahkan hal itu ha- rus dibayar oleh yang bersang- kutan dengan pelepasan keya- kinan ilmiah yang selama ini sudah dianutnya. Analoginya, boleh jadi seperti “kemurtadan” dalam ranah keilmuan. Oleh karena itu wajar saja jika han-

Jurnal Akuntansi Multiparadigma,

Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 1-185

muan dan landasan ilosois yang relevan mendasari pema- haman konvensional dalam me- mahami akuntansi. Bagian ke- tiga, mencoba mendiskusikan status dan implikasi akuntansi yang menurut Ahmed Belkaoui (1992), merupakan suatu mul- tiparadigms discipline. Uraian historik tentang perkembangan multiparadigm atau multiple perspectives on accounting (ada juga yang menamakan sebagai interdisciplinaary studies on ac- counting), juga dibahas di bagian ini untuk memberikan tekanan bahwa gagasan interdisciplinary studies on accounting bukan barang aneh yang harus “di- bonsai” perkembangannya. Ba- gian keempat tulisan ini, akan berusaha mengekplorasi perbe- daan beberapa perspektif sosi- ologis yang berkembang dalam mempelajari atau melakukan studi atas akuntansi sebagai dampak langsung adanya per- bedaan perspektif sosiologis dari organisasi. Karena mas- ing-masingnya bisa dikarakter- istikkan dengan begitu banyak dasar pembedaan, maka ula- san ekploratif dalam bagian ini dicoba disajikan secara lebih singkat. Bagian terakhir, yaitu penutup, akan dipakai untuk menyimpulkan beberapa poin penting yang bisa menjadi pe- lajaran berharga (valuable les- son) bagi kita, terutama dalam menghadapi

perkembangan akuntansi yang semakin cepat, sebagai dampak langsung cepat- nya perkembangan berbagai hal yang melingkupinya.

Pandangan konvensional atas akuntansi

Memandang sesuatu secara konvensional, boleh jadi cara termudah untuk mendapatkan pemahaman atas sesuatu terse- but. Untuk diketahui saja, pal- ing tidak untuk saat ini, cara

pandang ini mewakili cara pan- dang yang paling lazim. Kare- nanya, tak mengherankan jika ia mampu menutupi mata dan pikiran kita dari upaya men- cari kemungkinan adanya cara pandang alternatif. Dalam ra- nah ilmu akuntansi, juga ber- laku hal yang sama. Kita men- genal adanya pandangan atau pemahaman yang bersifat kon- vensional. Pada seksi atau ba- gian ini akan secara khusus dikupas cara pandang terse- but. Pertama, karena pemaha- man konvensional atas akun- tansi dianut oleh sebagian be- sar kita yang berada di dunia akuntansi. Dampaknya, ma- syarakat memiliki miskonsepsi seolah-olah cara pemahaman konvensional ini merupakan satu-satunya cara pemahaman atas akuntansi. Meskipun se- dikit mengherankan, terbukti miskonsepsi serupa juga tidak sedikit ditemukan di kalangan akademisi di bidang akuntansi, sehingga mereka pun bersikap monolithic dalam perilaku il- miahnya, yaitu dalam melihat dacenderung hanya memakai satu cara pandang dalam me- nyikapi obyek-obyek kajian keilmuannya. Kedua, karena pemahaman konvensional ter- lanjur telah dianggap sebagi sesuatu yang taken for granted, maka inovasi-inovasi ilmiah di bidang akuntansi yang semesti- nya bisa berlangsung di dunia akademik, khususnya pergu- ruan tinggi, kurang mendapat- kan respon yang memadai. Di saat disiplin-disiplin ilmu sosial lain mengalami perkembangan akibat dari keberanian para il- muwannya mengadopsi cara pandang keilmuan yang lebih pluralistik, sikap ilmiah yang monolithic tersebut jelas kurang selaras dengan modus zaman maupun keinginan untuk se- cara terus-menerus mengem-

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 147-185

Djamhuri,

mentara derajat kenalarannya Ilmu

bangkan disiplin akuntansi.

(reasonableness) untuk seba- Pengetahuan

Ringkasnya, ada semacam re-

gian besarnya hanya disandar- Sosial Dan

sistance to change dari sebagian

kan kepada ukuran rasionalitas Berbagai

kalangan yang tidak terbiasa

(baca “kepentingan”) para pe- Paradigma

dengan cara berpikir yang mul-

megang saham dan para kredi- Dalam Kajian

tiple perspectives.

tur semata. Akibat lanjutannya Akuntansi

Dalam pemahaman kon-

vensional ini, akuntansi seb-

akan tampak pada, misalnya,

agaimana dideinisikan oleh

penggunaan proit (keuntungan

American Accounting Associa-

ekonomis) sebagai representasi

tion dalam A Statement of Basic

utama keberhasilan dari hubun-

Accounting Theory (ASOBAT) tak

gan akuntabilitas di suatu or-

lebih hanya sebagai:

ganisasi dalam mana akntansi mendapatkan peran terpent-

“proses mengidentiikasi,

ingnya, yaitu perusahaan. Ke-

mengukur dan mengomu-

nyataan yang demikian bukan

nikasikan informasi ekono-

tidak bermanfaat, namun patut

mi untuk memungkinkan

disadari halitu telah mengabai-

dihasilkannya pertimban- gan dan keputusan yang

kan adanya ukuran-ukuran

tepat dan rasional oleh

keberhasilan lain yang sangat

para pengguna informasi

boleh jadi memiliki aspek pent-

ekonomi tersebut” (Belka-

ing bagi kelompok masyarakat

oui, 1992, p. 22; Roslender,

lainnya. Kritik seperti ini telah

1992, p. 2).

terbukti benar, misalnya den- gan makin kuatnya keinginan

Akuntansi ditempatkan leb-

masyarakat internasional un-

ih pada tataran praktis, yakni

tuk menekaan kalangan bisnis

semata-mata sebagai alat ban-

dan akuntansi agar memerhati-

tu pengambilan keputusan.

kan aspek kelestarian lingkun-

Pendeinisian akuntansi seperti

gan sehingga organisasi bisnis

ini tidak berarti salah atau ke-

akan tumbuh dengan apa yang

liru, karena rerangka konsep-

kini dikenal dengan modus per-

sual (conceptual framework) dari

tumbuhan sustainable growth.

mana

pengertian-pengertian

Sekedar untuk diketahui, jika

akuntansi dan standar akun-

misalnya mengikuti secara kon-

tansi mendapatkan rujukannya,

sisten pemikiran ekonomi Mil-

memang menekankan perlunya

ton Friedman, seorang tokoh

akuntansi diletakkan pada ra-

pemikiran ekonomi positif, tu-

nah praktis ini, yaitu dengan

gas dan fngsi satu-satunya pe-

memasukkan decision useful-

rusahaan adalah mencari un-

ness sebagai kriteria terpent-

tung sebanyak-banyaknya dan

ing di dalam menyeleksi prinsip

memberikannya sebagai kontri-

atau konsep yang bakal dipakai

busi nilai tambah kepada para

sebagai acuan dalam pengem-

pemiliknya, nggak ada sama

bangan standar akuntansi.

sekali kaitannya dengan keha-

Namun jarang kita menyadari,

rusan memelihara kelestarian

bahwa penekanaan yang agak

lingkungan. Mengapa demiki-

berlebihan pada aspek praktis

an, karena upaya yang terakhir

tersebut berimplikasi akuntansi

tersebut berlawanan dengan

menjadi terkungkung dan se-

azas perolehan keuntungan dan

mata-mata ditempatkan dalam

kebebasan sebagai pilar utama

kerangkeng besi (iron cage) tu-

kapitalisme.

juan pengambilan keputusan

Dengan demikian, pemaha-

yang nalar (reasonable), se-

man konvensional secara im-

Jurnal Akuntansi Multiparadigma,

Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 1-185

plisit berasumsi bahwa organ- isasi yang memerlukan akun- tansi sebagai alat penyampaian informasi

akuntabilitasnya adalah organisasi swasta (pri- vate), lebih khusus lagi, organ- isasi swasta yang menerapkan pemisahan antara mereka yang memiliki kekayaan (pemegang saham) dengan yang berperan sebagai pengelola kekayaan, yaitu para manajer, sehingga di dalamnya ditemukan adanya hubungan keagenan (agency relationship). Dalam konteks ini, bahkan diasumsikan hanya terdapat dua kelompok utama yang terlibat dalam hubungan keagenan, yang masing-mas- ing memiliki kepentingan ber- beda namun sama-sama seb- agai mahluk ekonomi murni (pure economic creature) yang sepenuhnya rational dan op- portunistic, yakni principal dan agent. Asumsi-asumsi implisit tersebut jarang kita ekplorasi, padahal asumsi tersebut just- eru menjadi asumsi dasar, atau – dalam istilahnya Smith (Smith, 1998) disebut sebagai bedrock assumptions yang di atasnya dibangun seluruh ban- gunan teoritik ilmu akuntansi. Bagi mereka yang menekuni il- safat ilmu pengetahuan dengan baik, selalu ada kekhawatiran atas setiap bedrock assump- tions yang dimiliki oleh suatu disiplin

ilmu pengetahuan, yaitu jika bedrock assumption yang ada tersebut terbukti ti- dak memiliki atau terlampau jauh keterkaitannya dengan hakikat atau kondisi alamiah (natural) obyek yang disumsi- kan tersebut. Jika terjadi hal seperti ini, maka bangunan il- miah yang berada di atasnya sangat rentan runtuh oleh ar- gumen lain atau ilmu penge- tahuan yang dibangun akan mudah menghasilkan anomali keilmuan (keanehan atau keti-

dak terjawaban sesuatu secara ilmiah). Sekadar contoh seder- hana tentang sahih tidaknya bedrock assumption tersebut, misalnya kita bertanya “apa benar manusia sepenuhnya ra- tional dan sepenuhnya pula me- wakili mahluk ekonomi”?. Saat kemudian kita mendapatkan bukti, bahwa bahkan di dunia ilmiah sekalipun terdapat isti- lah homo homini lupus, homo socius, homo religious, homo sapien, homo logicum, dan ber- bagai istilah serupa lainnya, maka terbukti bahwa para il- muwan – pada hakikatnya – sampai hari ini belum memiliki deinisi atau pengertian tung- gal yang tepat mengenai siapa manusia itu sendiri. Kenyataan seperti ini, akan berimplikasi luas terutama terhadap ilmu pengetahuan mengenai manu- sia (human sciences), misalnya secara ilosois kita bisa men- gajukan pertanyaan seperti ini: “Jika secara ilmiah deinisi manusia sendiri belum pasti, apakah secara ilmiah motivasi, keinginan, kepentingan, atau perilaku manusia juga bisa di- prediksikan dengan pasti?”.

Jika

konteksnya

adalah suatu organisasi yang terdapat hubungan keagenan, memang secara logis akan memunculkan kebutuhan terhadap akuntansi sebagai sarana penyedia infor- masi akuntabilitas, tepatnya sebagai salah satu monitoring tool agar dapat terhindar dari ketidak-simetrisan

informasi antara principal dan agent. Se- lama sifat organisasinya adalah proit seeking dan hanya memi- liki dua pihak yang berkepentin- gan, yakni principal dan agent, serta memisahkan secara tegas peran antara prinsipal dengan agen, maka akuntansi akan memberi manfaat yang opti- mum, karena fenomena empirik memang akan mendukung atau

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 147-185

Djamhuri,

Sebagian besar akuntan Ilmu

sesuai dengan seluruh asumsi

praktisi, karena mereka memang Pengetahuan

yang dijadikan dasar pijakan-

cenderung pragmatis, tampak Sosial Dan

nya. Namun, jika situasi organ-

tidak mempedulikan apakah Berbagai

isasinya tidak seperti itu, misal-

ada perbedaan yang sangat sig- Paradigma

nya organisasi di sektor publik

niikan antara berbagai model Dalam Kajian

atau organisasi non-pemerintah

akuntabilitas yang mempen- Akuntansi

(NGO) yang kepentingan prinsi-

palnya (publik atau masyarakat)

garuhi pula model-model pe-

jelas tidak semata-mata aspek

menuhannya. Mereka bahkan

ekonomi atau keuangan (bah-

sangat menikmati kondisi ini.

kan sangat bervariasi), maka

Yang cukup aneh adalah para

bisa dipastikan pengggunaan

akuntan akademisi yang juga

laporan keuangan konvensional

ikut terjebak pada keyakinan

sebagai laporan akuntabilitas

buta (blindly belief) yang hanya

utama akan menimbulkan dis-

mengedepankan aspek pent-

torsi informasi, suatu keadaan

ingnya akuntabilitas sehingga

di mana informasi akuntansi

perlu diterapkan di semua je-

tidak sepenuhnya mampu me-

nis organisasi tanpa mencoba

menuhi apa yang diharapkan

berpikir apakah konsep akunt-

oleh para penggunanya. Salah

abilitas sebenarnya suatu kon-

satu penyebabnya adalah haki-

sep yang bersifat tunggal atau

kat atau esensi akuntabilitas

plural?. Jika demikian, apakah

yang berbeda antara yang ada

akuntabilitas, sebut saja tipe A,

di perusahaan dengan yang ada

akan cocok diterapkan untuk

di lingkungan organisasi sektor

organisasi jenis B?. Jika tidak

publik. Oleh sebab itu, upaya

sepenuhnya, pada aspek mana

menyamakan keduanya yang

semestinya penyesuaian dilaku-

saat ini gencar dilakukan oleh

kan?. Bagi kita yang berada di

lembaga-lembaga donor inter-

dunia akademik, pertanyaan it-

nasional melalui program-pro-

ulah yang seharusnya kita aju-

gram New Public Managment

kan sebelum secara apriori me-

seperti penerapan accrual ac-

nyuarakan dukungan atas per-

counting, misalnya, sama artin-

lunya akuntabilitas ditegakkan

ya dengan penyeragaman model

di sembarang tipe organisasi.

of accountability dalam organ-

Fenomena ketidakpedulian sep-

isasi sektor publik toward a

erti inilah yang agaknya sem-

private or accountant’s model of

pat dikhawatirkan oleh Perks

accountability. Dampak jangka

(1993). Menurutnya, kita cen-

panjangnya jelas bukan seka-

derung menyeragamkan makna

dar dampak teknis prosedural,

istilah akuntabilitas padahal

namun juga dampak perilaku

setiap penggunaan istilah terse-

dan sosial yang sangat luas

but semestinya terkait dengan

(Rosenbloom dan Yaroni, 1992;

identiikasi siapa yang seharus-

Farazmand, 1999), karena ia

nya akuntabel?, kepada siapa

terkait dengan ilosoi “privati-

akuntabilitas harus diberi-

zation of everything”. Pada titik

kan?, dengan cara bagaimana

ini, kita sudah bisa menduga

akuntabilitas tersebut harus

siapa pihak yang bakal diun-

ditunaikan, dan untuk tujuan

tungkan dan siapa pula pihak

apa akuntabiltas tersebut di-

yang bakal dirugikan baik se-

berikan? (Perks, 1993, p. 24).

cara nasional maupun inter-

Tentu saja jawaban atas rang-

nasional. Yang pasti, keduanya

kaian pertanyaan tersebut bisa

terkait dengan masalah pemi-

sangat berbeda untuk setiap

likan modal.

tipe organisasi. Oleh karena itu,

Jurnal Akuntansi Multiparadigma,

Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 1-185

salah satu kelemahan pemaha- man konvensional atas akun- tansi adalah kecenderungannya untuk menyederhanakan dan menyeragamkan sesuatu yang sebenarnya tidak sederhana dan tidak seragam. Akan tetapi harus disadari bahwa dari sisi falsafah ilmu, ternyata pemaha- man yang konvensional seperti ini pun bukan tidak memiliki landasan ilosois atau perspe- ktif sosiologisnya. Oleh karena itu, bagian selanjutnya dari tu- lisan ini akan mencoba mencari hubungan antara cara pandang konvensional dengan salah satu mazhab pemikiran keilmuan yang telah secara intensif mem- pengaruhi atau membentuknya, yakni positivisme.

Sosiologi hanyalah salah satu cabang ilmu sosial. Terdapat ilmu sosial lain seperti ilmu ekonomi, psikologi, antropologi, dan sebagainya. Jika diamati dengan lebih seksama, sosiologi atau antropologi boleh jadi dua cabang ilmu sosial yang dari awalnya telah mampu menga- komodasi banyak perspektif atau sudut pandang, sehingga suatu masalah yang sama me- mungkinkan memperoleh tin- jauan secara berbeda, tergan- tung dari perspektif apa ilmu- wan yang bersangkutan meli- hatnya. Dibandingkan di ranah ilmu ekonomi, apalagi akun- tansi, diskursus atau pewaca- naan tentang mazhab-mazhab pemikiran

keilmuan

dalam sosiologi tampak lebih mu- dah dijumpai. Sekadar contoh sederhana, tentang bagaimana perspektif yang berbeda bisa menghasilkan simpulan yang berbeda, lihatlah misalnya ma- salah akuntabilitas yang kita perbincangkan tersebut. Menu- rut Perks (1993), jika maslah akuntabilitas dilihat dari sudut pandang sosiologis, maka posi- si seseorang atau suatu pihak,

terutama kaitannya dengan de- rajat kekuasaan yang dimiliki dalam hubungan akuntabilitas yang dilakukan, akan memen- garuhi tingkat akuntabilitas yang harus diberikan atau dim- intakan dari pihak lainnya. Jika kita menempati posisi sebagai pihak yang lebih berkuasa atas pihak yang lain, misalnya se- bagai principal, maka kita akan cenderung meminta akuntabili- tas lebih banyak dari pada yang dikehendaki atau bersedia di- berikan oleh pihak yang sedang berposisi kurang kuasa (less powerful), misalnya agent. Ini berarti bahwa perspektif posisi sebagai principal akan menjadi penyebab perbedaan dalam me- lihat bagaimana akuntabilitas dibutuhkan. Seorang sosiolog akan mengatakan bahwa de- rajat serta ragam akuntabilitas yang disepakati untuk diminta atau disampaikan dalam suatu hubungan keagenan (hubun- gan akuntabilitas) sangat diten- tukan oleh power relation yang terbentuk dalam organisasi. Akibatnya, jika akuntansi di- inginkan lebih mampu melay- ani pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan akuntabilitas, mereka yang akan menerapkan- nya semestinya harus memer- hatikan faktor kekuasaan, khu- susnya pola hubungannya. Im- plikasi selanjutnya adalah bah- wa jika hubungan keagenannya diperluas sehingga mencakup kondisi di mana pihak yang menjadi prinsipal atau agen tidak hanya satu kelompok orang yang memiliki kepent- ingan yang sepenuhnya sama atas entitas yang menjadi obyek hubungan akuntabilitas, maka bentuk dan isi laporan keuan- gan sebagai laporan akunt- abilitas standar bisa dipastikan tidak akan memadai lagi seb- agai alat memenuhi kebutuhan akuntabilitas pihak-pihak yang

Djamhuri,

Ilmu Pengetahuan Sosial Dan Berbagai Paradigma Dalam Kajian Akuntansi

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 147-185

berkepentingan. Salah satu se- babnya adalah, karena pola distribusi kekuasaannya tidak sepenuhnya sama dengan apa yang berlaku di perusahaan dari mana model akuntabilitas versi akuntan pada mulanya dikembangan.

Positivisme dan Pandangan konvensional Dalam kajian akuntansi

Secara kebahasaan, is- tilah konvensional selain be- rarti sesuatu yang berasal dari kesepakatan, juga berarti ses- uatu yang berjalan sebagaima- na kebiasaannya. Karena itu, yang konvensional sering me- nimbulkan sikap salah kaprah seakan ia sebagai satu-satunya yang benar. Dalam kontek ini- lah conventionalism dalam ra- nah teologi maupun keilmuan acapkali melahirkan apa yang kemudian kita kenal sebagai orthodoxy dan heterodoxy (Zaf- irovski, 2003) atau mainstream dan non-mainstream. Yang ses- uai denga konvensi disebut orthodox atau mengikuti arus besar (mainstream) pemikiran atau keyakinan, sementara yang tidak sesuai disebut den- gan heterodox atau mengikuti pemikiran atau keyakinan yang menyimpang.

Sebagaimana

dalam ranah teologi, dalam du- nia keilmuan terbukti juga dike- nal orthodoxy dan heterodoxy. Yang lebih menarik, seperti juga sejarah masyarakat yang lebih sering ditulis oleh mereka yang sedang berkuasa (in reign) sehingga deinisi-deinisi yang dikembangkannya cenderung lebih menguntungkan mereka yang menulisnya, sejarah ilmu pengetahuan juga tidak lepas dari situasi seperti ini. Melalui deinisi-deinisi yang berte- baran dalam banyak teorinya, ilmu-ilmu pengetahuan yang sedang berstatus sebagai nor-

mal science (Kuhn, 1962), beru- saha memberikan pengertian atas sesuatu yang cenderung tunggal (monolithic), sehingga kurang memberi ruang dialek- tika untuk memungkinkan ter- jadinya suatu diskursus yang terbuka mengenai kemung- kinan terdapatnya alternatif pengertian lainnya. Situasinya bisa menjadi lebih parah jika dalam ruang-ruang kuliah, cara pengajaran yang dilangsungkan juga sama-sama monolitiknya. Salah satu contoh deinisi yang cenderung monolitik adalah deinisi tentang “ílmiah” atau scientiic.

Cara pandang sebagian besar kita mengenai akuntansi ter- bukti juga sangat konvensional, artinya kita menempatkan diri pada posisi di dalam suatu kon- tek yang seakan-akan hanya ada satu cara pandang yang benar dan tidak ada lagi kemungki- nan lain sebagai alternatifnya. Kita cenderung menempatkan diri pada posisi inside the box. Pemosisian diri inside the box ini telah dan akan terus berim- plikasi pada upaya melihat ses- uatu sebagai taken for granted, menerima saja sebagaimana adanya. Pada taraf selanjut- nya, pemosisian diri seperti ini bahkan akan menyulitkan kita untuk melihat adanya kesala- han (anomali, kekeliruan) atau setidaknya adanya alternatif lain selain yang sudah ada saat ini. Mengacu kepada pendapat Kuhn (1962), perkembangan ilmu pengetahuan dapat mem- berikan

kemungkinan

ter- jadinya fenomena “konvension- alisasi” dalam cara pandang ilmiah, terutama melalui apa yang dikenal sebagai normal sci- ence, yaitu suatu ilmu pengeta- huan (bisa juga berlaku untuk paradigma) yang sedang be- rada di kekuasaannya (sedang dominan atau menjadi main-

Jurnal Akuntansi Multiparadigma,

Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 1-185

stream). Keberadaan suatu ca- bang ilmu pengetahuan dalam posisi sebagai normal science diakui akan memudahkan bagi para ilmuwan yang bekerja di dalamnya untuk secara kon- sisten melakukan pengemban- gan lebih lanjut konsep-kosep keilmuannya. Namun pada sisi lain posisi sebagai normal sci- ence juga menimbulkan keti- dak beranian para ilmuwan di dalamnya untuk mencoba men- empatkan diri pada posisi out- side the box, bahkan saat mer- eka sebenarnya mampu meli- hat adanya anomali-anomali dari cabang ilmu pengetahuan yang mereka tekuni selama ini. Alasan yang paling umum ter- jadi adalah ketakutan mereka untuk menghadapi risiko tidak diterimanya mereka oleh ka- langan terbesar ilmuwan yang saat ini diuntungkan melalui berbagai

saluran distribusi produk-produk keilmuannya, salah satunya adalah jurnal il- miah. Dalam situasi di mana produktivitas karya keilmuan berpengaruh langsung atau pun tidak pada remunerasi dan karir ilmiah seseorang, maka seringkali mereka yang saat ini diuntungkan (elite) memagari kepentingan dirinya melalui politik penjagaan pintu gerbang (gatekeeping policy) dalam pub- likasi jurnal ilmiah ataupun seminar-seminar ilmiah. Den- gan mengambil contoh Ameri- canAccounting Association (AAA) dan The Accounting Review yang diterbitkannya sebagai kasus, Tom Lee (1997) menulis mengenai masalah ini dengan sangat baik di Accounting, Au- diting and Accountability Jour- nal. Dari Tulisan Lee tersebut, kita menjadi paham mengapa sejarah ilmu pengetahuan, se- bagaimana dikemukakan Kuhn (1962) bukanlah sejarah evolusi yang penuh kedamaian, namun

sejarah revolusi yang penuh konlik antar mazhab pemiki-

ran yang di dalamnya melahir- kan pemikiran-pemikiran baru sebagai reaksi atas berbagai anomali yang melekat pada model-model pemikiran yang telah ortodok.

Kajian kontemporer (saat ini) tentang akuntansi (con- temporary accounting studies), khususnya di Indonesia, ha- rus diakui masih didominasi oleh pemahaman atau sudut pandang positivism. Dengan demikian positivism juga telah menjadi “ruh” dari konven- sionalisme kajian akuntansi di Indonesia saat ini. Sebagai ruhnya konvensionalisme ka- jian akuntansi saat ini di Indo- nesia, pengaruh positivism ini sangat kuat, sehingga sampai tidak banyak di antara kita se- bagai akuntan atau akademisi akuntansi yang menyadari bah- wa positivism, dalam sejarah perkembangan keilmuan atau juga ilsafat keilmuan (philoso- phy of science) pada dasarnya hanya salah satu dan bukan satu-satunya mazhab pemiki- ran keilmuan ( scientiic perspec- tive atau scientiic paradigm). Positivisme telah mendapatkan ortodoksinya sendiri di dunia ilmiah akuntansi di Indonesia. Oleh karenanya, ia juga dijaga dengan sangat ketat oleh para pengikutnya. Tidak mengher- ankan jika dalam situasi sep- erti timbul situasi di mana para pekerja keilmuan secara tidak sadar berlaku seperti seorang tukang jahit yang bekerja men- gandalkan hanya dengan satu pola dan ukuran. Hasil akhir dari proses produksi seperti ini boleh jadi akan serupa dengan baju dengan satu ukuran (one size) yang diharapkan tetap mampu its for all. Penerapan cara kerja keilmuan seperti itu dalam ranah ilmu pengetahuan

Djamhuri,

Ilmu Pengetahuan Sosial Dan Berbagai Paradigma Dalam Kajian Akuntansi

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 147-185

kealaman boleh jadi tak akan menimbulkan masalah (prob- lematical), namun jika hal itu diterapkan dalam ranah ilmu pengetahuan sosial (social scien studies), implikasi dan risik- onya sangatlah besar. Sebab utamanya, karena perilaku manusia yang menjadi obyek kajian ilmu pengetahuan sosial secara hakekat berbeda dengan karakteristik obyek kajian ilmu pengetahuan kealaman.

Jika dilakukan penyelidi- kan dengan lebih mendalam, kuatnya pengaruh positivism pada kajian-kajian akuntansi saat ini tidak terlepas dari pen- garuh yang dibawa oleh ilmu ekonomi yang sampai saat ini merupakan ilmu sosial paling dominan yang mempengaruhi ilmu akuntansi. Oleh sebab itu, kajian akuntansi – setidaknya sampai saat ini – sebagian besar dilakukan dengan memanfaat- kan alat bantu ilmu ekonomi, dan sampai batas tertentu ilmu psikologi (terutama untuk bi- dang kajian akuntansi manaje- men). Hal ini berdampak pada pengadopsian yang sangat in- tensif oleh akuntansi atas kon- sep-konsep yang berasal dari kedua cabang ilmu sosial terse- but. Pada kontek berikutnya, tidak saja konsep-konsep teo- retiknya, tetapi juga cara pan- dang (perspective), pendekatan (approaches), metoodologi dan bahkan metoda penelitiannya. Pada saat ilmu ekonomi, dan juga psikologi, bersifat san- gat positivistik, maka disiplin akuntansi terpengaruh menjadi sangat positivistik juga. Hal itu tampak dari perilaku sebagian besar akademisi akuntansi dan, tentu saja para akuntan prakti- si, yang secara apriori memper- tahankan prinsip-prinsip keil- muan yang positivistik, seperti misalnya atomism, objectivism, nominalism, naturalism, phe-

nomenalism, scientiic laws, dan value free (Smith, 1998, p. 76).

Secara sederhana, prin- sip atomism menyatakan bah- wa ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan sosial harus memandang bahwa obyek ka- jiannya bersifat descret, yaitu sesuatu yang selain unik dan berbeda, juga sudah tidak bisa dipecah menjadi bagian yang lebih kecil lagi. Bagian terkecil inilah yang akan selalu men- jadi titik sentral analisis dalam semua kajian yang dilaku- kan. Dengan logika seperti ini, obyek-obyek kajian ilmu sosial yang bersifat kolektif seperti masyarakat, perusahaan atau organisasi akan dipandang ti- dak lebih sebagai agregasi atau penjumlahan dari unsur-unsur yang membentuknya. Prinsip inilah yang kemudian menjadi fondasi bagi berkembangnya studi-studi keperilakuan (be- havioralism) dalam akuntansi, khususnya akuntansi manaje- men, auditing dan sistem infor- masi. Pada ranah ilsafat ilmu pengetahuan, perilaku yang atomistik tersebut melahir- kan apa yang dikenal dengan methodological

individualism. Prinsip objectivism muncul se- bagai dampak keyakinan para ilmuwan positivist bahwa se- cara ontologis realitas sosial itu ada dan berwujud (tangible) serta terpisah (detaached). Im- plikasinya mereka didorong untuk melakukan kuantiikasi atas segala sesuatu yang ingin ditelitinya.

Sementara itu prinsip nomi- nalism berargumen bahwa kon- sep-konsep keilmuan tidak me- miliki kegunaan kecuali seka- dar sebagai suatu nama yang berfungsi

merepresentasikan sesuatu, Yang terpenting dari prinsip ini adalah keyakinan- nya bahwa ilmu pengathuan tidak mengandung atau terkait

Jurnal Akuntansi Multiparadigma,

Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 1-185

sedikit pun dengan pengaruh nilai atau budaya dari mana atau oleh kelompok masyarakat mana konsep-konsep ilmiah tersebut dikembangkan. Ini art- inya ilmu diklaim sepenuhnya mampu berfungsi sebagai rep- resentasi dari fenomena yang menjadi obyek kajiannya, sama saja apakah fenomena alam atau fenomena sosial. Implika- si langsung prinsip ini terlihat pada penerapan paham empiri- sism dalam penelitian-pene- litian ekonomi, psikologi dan – tentu – juga akuntansi. Den- gan empiricism maka obyek ka- jian keilmuan, termasuk ilmu pengetahuan sosial, hanyalah hal-hal yang bisa dialami (ex- perienced) melalui panca indera (sense), alias yang memilki di- mensi isik (physical). Absennya dimensi isik dari suatu obyek akan memasukkan obyek terse- but ke dalam kategori metaf- isika (metaphysical) yang sekal- igus menempatkan obyek terse- but sebagai hal yang tidak layak sebagai suatu obyek kajian keil- muan. Dalam penelitian ilmu sosial yang ada saat ini, dampak nyata yang ditimbulkan nomi- nalisme dan empirisme ini juga terlihat pada semangat yang sangat tinggi dari para positiv- ists untuk mencari hal-hal lain yang dianggap mampu mewaki- li sesuatu (proxy) yang pada dasarnya tidak bisa ditangkap melalui panca indera, sebutlah misalnya masalah kebahagiaan (happiness), kepatuhan (adher- ence), kesejahteraan (welfare), dan bahkan kapitalisme. Pada ranah praktis, karena tuntu- tan variability atau keharusan adanya perubahan nilai pada hal-hal yang diproksikan, maka ujungnya adalah penggunaan pendekatan kuantitatif sebagai analisis yang dominan atas hampir semua kasus sosial (ter- masuk yang sebenarnya kurang

empiris karena tak bisa ditang- kap oleh panca indera).

Prinsip yang lain dari ilmu pengetahuan yang berper- spektif positivist adalah natu- ralism. Prinsip ini menekankan pada keyakinan bahwa asum- si-asumsi serta metoda yang lazim diterapkan dalam ilmu pengetahuan alam sepenuhnya bisa diterapkan dalam mengkaji fenomena sosial. Ringkasnya, seorang peneliti akan meng- kaji (meneliti) perilaku manu- sia, masyarakat atau institusi dengan cara yang sama persis dengan apa yang dilakukan se- andainya dia melakukan kajian atas reaksi kimia, atau batuan, atau - mungkin - struktur bumi dan sebagainya.Yang barang- kaali lebih serius dampak lang- sungnya adalah pengadopsian konsep closed system yang ber- asal dari natural science sebagai model analisis yang diterapkan dalam ilmu sosial. Berbeda den- gan situasi yang dihadapi oleh para ilmuwan alam, yang me- mang relatif mampu melakukan pengendalian atas faktor-fak- tor yang berada di luar sistem (lingkungan), ilmuwan sosial, terutama para ekonom tampak- nya lebih suka memasang ang- gapan untuk memagari model yang

dibangunnya

dengan mengajukan apa yang dikenal dengan konsep ceteris paribus. Para ilmuwan yang relatif kritis sangat sulit menerima upaya penyederhanaan yang berasal dari sikap reductionism seperti itu. Karena faktanya membuk- tikan hal yang berbalikan den- gan asumsi yang dipakai seb- agai pagar pelindungnya. Yang lebih menonjol disini adalah si- kap pragmatism dan utilitarian- ism ketimbang upaya mencari yang lebih sahih. Dalam kon- tek penggunaan konsep sistem antara konsep sistem tertutup dengan konsep sistem terbu-

Djamhuri,

Ilmu Pengetahuan Sosial Dan Berbagai Paradigma Dalam Kajian Akuntansi

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 147-185

ka, boleh jadi konsep sistem yang sebenarnya lebih mampu menggambarkan fenomena so- sial adalah konsep sistem ter- buka (opened system), bukan sebaliknya model sistem tertu- tup (closed systems). Penerapan konsep sistem tertutup, secara logika, tentu akan mengurangi daya prediksi yang dihasilkan dari model yang dibangun oleh ilmuwan yang bersangkutan. Inilah kenapa sebagian besar model analisis yang dikembang- kan dalam ilmu sosial, terma- suk ekonomi, adalah model sta- tis (static model); bahkan jika pun model dinamis yang dicoba dikembangkan (dibangun), un- sur dinamika lazimnya sebatas ditunjukkan dengan menye- diakan data yang mengikuti un- sur waktu secara beruntun (time series) di dalam model tersebut, bukan suatu ekplorasi pros- esual yang mencoba menjawab pertanyaan how dan why.

Dua prinsip lainnya yang menjadi karakteristik ilmu pen- getahuan yang berperspektif positivism adalah pertama, ori- entasinya untuk menghasilkan hukum-hukum keilmuan dari setiap kajian atau penelitian keilmuan yang dilakukan, ser- ta, yang kedua, sikap dan pan- dangan ilmu pengetahuan yang menempatkan fakta sebagai satu-satunya dasar dari semua pernyataan ilmiah seperti teori atau hukum-hukum keilmuan. Prinsip pertama lazim dikenal dengan prinsip nomothetical atau nomotetik (Smith, 1998). Dengan prinsip ini universalitas keberlakuan hukum keilmuan akan bisa dijaga, sesuatu yang tentu saja sangat bermanfaat terutama bagi ilmu pengetahuan kealaman (natural sciences). Tanpa keberlakuan prinsip ini, bisa kita bayangkan betapa su- litnya teknologi bisa mengalami perkembangan. Dampak akh-

irnya adalah taraf hidup manu- sia yang juga ikut sulit mengal- ami perkembangan, khususnya dalam upaya pemenuhan kebu- tuhan-kebutuhan isiknya yang umumnya sangat tergantung kepada keberadaan teknologi yang makin canggih. Sementara itu prinsip kedua menekankan arti pentingnya bahwa seluruh pernyataan dalam ilmu pen- getahuan seharusnya hanya didasarkan pada fakta-fakta yang ada, bukan atas dasar ni- lai (values). Prinsip kedua ini sekaligus memperkuat keber- lakuan prinsip nominalism. Im- plikasi kedua prinsip ini adalah bahwa, pertama, ilmu penge- tahuan akan berupaya secara terus-menerus untuk melaku- kan generalisasi (generalization) atas temuan penelitian serupa yang dihasilkan. Dari sini kita lalu mudah memahami men- gapa tujuan ilmu pengetahuan bagi para positivist adalah un- tuk mendeskripsikan (descrip- tion), meramalkan (prediction), dan mengendalikan (control) atas fenomena alam atau sosial. Penerapan prinsip ini pada ra- nah ilmu pengathuan kealaman (natural sciences) tidak saja se- cara logika lebih tepat, namun secara operasional juga lebih bermanfaat. Hal yang perlu diin- gat adalah fakta bahwa bahkan dalam ranah ilmu kealaman, universalitas mutlak (absolute universality), tidak bisa diban- gun melalui teori-teori ilmiahn- ya. Sebagai contoh, banyak il- muwan isika yang berpendapat bahwa temuan teori relativitas Einstein pada hakikatnya telah memberikan bukti yang kuat bahwa beberapa hukum isika Newton (gravitasi) hanya ber- laku khusus di bumi, di luar angkasa ternyata teori tersebut tidak berlaku. Penggunaan kon- sep statistika yang probabilistik sebagai alternatif dari matema- irnya adalah taraf hidup manu- sia yang juga ikut sulit mengal- ami perkembangan, khususnya dalam upaya pemenuhan kebu- tuhan-kebutuhan isiknya yang umumnya sangat tergantung kepada keberadaan teknologi yang makin canggih. Sementara itu prinsip kedua menekankan arti pentingnya bahwa seluruh pernyataan dalam ilmu pen- getahuan seharusnya hanya didasarkan pada fakta-fakta yang ada, bukan atas dasar ni- lai (values). Prinsip kedua ini sekaligus memperkuat keber- lakuan prinsip nominalism. Im- plikasi kedua prinsip ini adalah bahwa, pertama, ilmu penge- tahuan akan berupaya secara terus-menerus untuk melaku- kan generalisasi (generalization) atas temuan penelitian serupa yang dihasilkan. Dari sini kita lalu mudah memahami men- gapa tujuan ilmu pengetahuan bagi para positivist adalah un- tuk mendeskripsikan (descrip- tion), meramalkan (prediction), dan mengendalikan (control) atas fenomena alam atau sosial. Penerapan prinsip ini pada ra- nah ilmu pengathuan kealaman (natural sciences) tidak saja se- cara logika lebih tepat, namun secara operasional juga lebih bermanfaat. Hal yang perlu diin- gat adalah fakta bahwa bahkan dalam ranah ilmu kealaman, universalitas mutlak (absolute universality), tidak bisa diban- gun melalui teori-teori ilmiahn- ya. Sebagai contoh, banyak il- muwan isika yang berpendapat bahwa temuan teori relativitas Einstein pada hakikatnya telah memberikan bukti yang kuat bahwa beberapa hukum isika Newton (gravitasi) hanya ber- laku khusus di bumi, di luar angkasa ternyata teori tersebut tidak berlaku. Penggunaan kon- sep statistika yang probabilistik sebagai alternatif dari matema-

haman konvensional yang po-

penelitiaan keilmuan kealaman,

siitivistik seperti ini. Komitmen

sebenarnya juga telah memberi

ilmu pengetahuan positivistik

suatu petunjuk, bahwa univer-

atas landasan fakta, dan bu-

salitas mutlak memang sulit ke-

kan nilai, sebagai satu-satunya

mungkinannya untuk bisa dica-

dasar dari semua pernyataan

pai melalui penelitian ilmiah.

keilmuan, pada satu sisi, juga

Jika klaim universalitas

akan memperkuat apa yang

dalam domain ilmu pengeta-

diusung oleh prinsip scientiic

huan kealaman yang obyeknya

laws atau nomothetic di atas.

memang tidak terpengaruh oleh

Secara logika, memang mudah

nilai (values) saja tidak mut-

diterima argumen bahwa jika

lak, maka bagaimana mungkin

sesuatu bisa berlaku umum,

tingkat kemutlakan (atau keti-

maka atas sesuatu itu tidak

dakmutlakan) yang sama dapat

akan berlaku hukum-hukum

diterapkan melalui hukum-hu-

khusus setempat (lokal) yang

kum (teori) ilmu sosial yang beri-

bisa dipastikan akan memi-

si penjelasan mengenai perilaku

liki preferensi nilai (normatif).

manusia yang sangat terpenga-

Pada tingkat yang lebih mikro,

ruh oleh ruang dan waktu. Im-

ketegangan akibat tarik men-

plikasi ini langsung berkaitan

arik antara relatiitas (lokalitas)

dengan implikasi lainnya dari

dengan universalitas ini juga

ilmu pengetahuan yang bersifat

menimbulkan perbedaan dalam

positivistik, yaitu bersifat ahis-

jawaban yang diberikan terha-

tory, artinya menolak relativi-

dap pertanyaan apakah kon-

tas yang timbul sebagai akibat

sep-konsep ilmu pengetahuan

pengaruh ruang (tempat, lokasi

sosial bersifat obyektif (mengi-

geograis) dan pengaruh waktu

kuti universalitas) atau sub-

(zaman atau epoch sejarah).

yektif (mengikuti relativitas).

Singkatnya, ilmu pengetahuan

Namun demikian, pengaruh

sosial pun dipaksa untuk tidak

yang paling utama dari komit-

contextual. Dengan prinsip ini,

men terhadap fakta sebagai

ilmu pengetahuan sosial yang

dasar segala pernyataan keil-

positivistik akan menolak kon-

muan adalah bahwa ilmu pen-

sep ilmiah dari mereka yang

getahuan, termasuk ilmu pen-

mengatakan bahwa ilmu pen-

getahuan sosial, bersifat bebas

getahuan adalah situated atau

nilai (value free). Dengan sifat

contextual. Hal lain yang bisa

ilmu pengetahuan seperti ini,

dipahami dari prinsip tersebut,

maka kajian mengenai hal-hal

adalah meskipun pendekatan

yang normatif, seperti agama

induktif tidak sepenuhnya diter-

atau juga etika – menurut alur

apkan dalam model hypothetico

pemikiran yang positivistik – se-

deductive yang sedang menjadi

jauh terkait dengan benar-salah

bagian dari ortodoksi masa kini,

atau baik-buruk pada dasarnya

pendekatan ini terbukti sangat

tidak ilmiah. Jika prinsip ini

berpengaruh dalam menghasil-

diikuti dengan konsisten dan

kan hukum-hukum keilmuan

murni, kajian masalah agama

yang positivistik.

atau etika hanya akan tergolong

Desakan atas penerapan

sebagai kajian ilmiah, manakala

IFRS sebagai satu-satunya

kajian yang dilakukan sebatas

Jurnal Akuntansi

standar akuntansi yang berlaku

pada perilaku beragama (dalam

Multiparadigma,

secara umum di seluruh dunia,

Volume 2, Nomor 1, sebagai contoh, sangat mudah

artian relatif) atau perilaku

April 2011, diduga berasal dari pola pema-

beretika (dalam artian relatif)

masyarakat yang tampak dan

hlm. 1-185

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 147-185

maupun yang baru (NIE) serta Ilmu

Djamhuri,

dapat diamati tanpa mengkait-

– tak ketinggalan - kebangkitan Pengetahuan

kan dengan apakah perilaku

ekonomi neoliberal melalui pub- Sosial Dan

masyarakat tersebut termasuk

lic choice dan transaction cost Berbagai

benar atau salah (etis atau ti-

economics, namun tidak bisa Paradigma

dak etis).

disangkal bahwa dibandingkan Dalam Kajian

dalam ranah ilmu sosiologi, Akuntansi

Multiparadigmatic Science

perbedaan cara pandang atau

Bagian ini akan mendiskusi-

mazhab pemikiran dalam ilmu

kan tentang bagaimana akun-

ekonomi tergolong tidak begitu

tansi pada dasarnya memiliki

intensif dan ekstrim diband-

status sebagai suatu disiplin

ingkan dalam ilmu sosiologi.

ilmu pengetahuan yang dari

Paling tidak kita masih bisa

awalnya bersifat multiparadi-

berkesimpulan bahwa seba-

matic. Agak mengagetkan, me-

gian besar mazhab pemikiran

mang, istilah akuntansi sebagai

ekonomi tersebut masih berada

suatu multiparadigmatic science

dalam wilayah pengaruh pers-

justeru berasal dari buku teo-

pektif keilmuan positivist. Eko-

ri akuntansi yang ditulis oleh

nomi kelembagaan (institutional

Ahmed Belkaoui (1992), sebuah

economics) meskipun lebih tol-

buku yang jika diukur meng-

eran terhadap penggunaan alat

gunakan ukuran perkemban-

analisis non kuantitatif, dan

gan pemikiran alternatif dalam

untuk sebagiannya juga toleran

akuntansi yang terjadi pada

terhadap institusi lokal, namun

hari ini, bahkan di Indonesia,

karakteristik dasarnya yang ra-

merupakan sebuah buku yang

sional (dengan sedikit penye-

masih kental semangat posi-

suaian ke arah model bounded

tivismenya. Dibandingkan den-

rationality), tetap tampil lebih

gan tulisan Dillard dan Becker

sebagai representasi ilmu sosial

(1997) yang berjudul Organiza-

yang positivistik. Ringkasnya,

tional Sociology and Accounting

perbedaan mazhab pemikiran

Research Or Understanding Ac-

dalam ranah ilmu sosiologi leb-

counting in Organizatons Using

ih signiikan dan fundamental,

Sociology, misalnya, tulisan

yaitu perbedaan yang melibat-

Belkaoui (1992) tetap menge-

kan sampai ke tingkat ilosoi

sankan lebih positivistik. Na-

dasarnya. Oleh sebab itu jika di-

mun di taraf apapun kadar ke-

kaitkan dengan derajat intensi-

positivannya, kita mesti sepakat

tas pengaruh ilmu ekonomi ke-

setidaknya dua tulisan tersebut

pada ilmu akuntansi yang san-

telah berkontribusi besar men-

gat dalam, tidak mengherankan

genalkan cara pandang lain

apabila Belkaoui (1992), setelah

mengenai akuntansi di suatu

memperkenalkan konsep para-

komunitas ilmiah yang didomi-

digma dalam kajian teori akun-

nasi oleh perspektif keilmuan

tansi, kemudian memberikan

yang positivistik.

sebagian besar contoh paradig-

Sebagaimana dijelaskan di

manya yang masih serumpun,

muka, meskipun tidak berarti

yakni functionalism (Burrell &

dalam wilayah ilmu ekonomi ti-

Morgan, 1979), sebab – seperti

dak terdapat perbedaan mazhab

dijelaskan di muka – dalam ilmu

pemikiran, lihatlah misalnya

ekonomi pengaruh positivisme

keberadaan mazhab pemikiran

masih dominan. Selain itu, be-

monetaris, keynesian, neokla-

tapa pun mungkin saat ini pen-

sik, atau juga ekonomi kelem-

garuh paham positivisme pada

bagaan baik yang lama (OIE)

Jurnal Akuntansi Multiparadigma,

Volume 2, Nomor 1, April 2011, hlm. 1-185

Belkaoui sudah menipis 1 , pal-

ing tidak saat bukunya ditulis (1992), dia masih menampilkan kesan sebagai positivist. Jika demikian, lalu mengapa Belka- oui (1992) berani mengajukan klaim bahwa akuntansi pada dasarnya ilmu pengetahuan yang berkarakteristik multipa- radigma ?.

Michael C. Jensen (1983) seorang ilmuwan yang sangat terkenal dari Harvard Business School, yang juga salah seorang tokoh dalam pengembangan theory of the irm, menulis den- gan sangat menarik di jurnal The Accounting Review, volume LVIII, issue ke 2, tahun 1983 dengan judul Organization The- ory and Methodology. Dalam tu- lisannya, dia meyakini bahwa karena akuntansi merupakan bagian integral dari suatu or- ganisasi, maka dengan perkem- bangan yang begitu pesat dalam teori organisasi, sangat tidak tepat jika para akuntan mem- biarkan begitu saja hiruk pikuk perkembangan teori organisasi tersebut. Menurut argumen- nya:

“Accounting is an integral part of the structure of ev- ery organization, and a fun- damental understanding of why accounting practices evolve as they do and how to improve them requires

a deeper understanding about organizations than now exists in the social sci- ences” (Jensen, 1983).

Pentingnya para akuntan atau akademisi akuntansi mem-

gan penulis saat Belkaoui berkesempatan mengisi satu Seminar Akuntansi yang diselenggarakan oleh Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawi- jaya yang dibiayai Tim Koordinasi Pengembangan Akuntansi (TKPA) di

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2