Kedudukan dan Hak Anak dari Pernikahan yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama

2. Hak waris

Terkait dengan hak waris, anak yang terlahir dari pernikahan di bawah tangan. Jika kita cermati, di Indonesia belum menganut unifikasi hukum 52 .

Oleh sebab itu yang berlaku dalam bidang waris adalah KUH Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam khususnya bagi umat Islam. 53

49 Undang-Undang No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana dan Perdagangan Orang ( TPPO) Pasal 1 dan 2

50 KPAI adalah lembaga independen Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. Keputusan Presiden Nomor 36/1990, 77/2003 dan 95/M/2004 merupakan dasar hukum pembentukan lembaga ini.Anggota KPAI pusat terdiri dari 9 orang, berupa 1 orang ketua, 2 wakil ketua, 1 sekretaris, dan 5 orang anggota.

51 http://www.kpai.go.id/berita/cegah-kekerasan-anak-kpai-optimalkan-peran- agamawan diakses pada 28 Juli 2016 52 Unifikasi hukum adalah suatu langkah penyeragaman hukum atau penyatuan suatu hukum untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa disuatu wilayah negara tertentu sebagai hukum nasional di negara tersebut. Lawan kata dari Unifikasi hukum adalah deferensiasi hukum.

53 H.M. Anshari, Kedudukan Anak Dalam Persepektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, h.84

Berdasarkan KUH Perdata, seorang ahli waris harus memenuhi syarat- syarat sebagaimana disebutkan dalam pasal 832 yaitu: 54

“Menurut Undang-Undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami istri yang hidup terlama, menurut peraturan- peraturan berikut ini. Bila keluarga sedarah dan suami istri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang- utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan itu

mencukupi untuk itu.” Sedangkan Pasal 836 KUH Perdata menyebutkan:

“ Agar dapat bertindak sebagai ahli waris, seseorang harus sudah ada pada saat warisan itu dibuka dengan mengindahkan ketentuan Pasal 2 Undang-

undang ini”. Artinya pasal 836 ini menyalip ketentuan Pasal 2 KUHP yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai

telah dilahirkan, bilamana si anak menghendakinya. 55 Kompilasi Hukum Islam didalam Pasal 171 huruf a menyebutkan,” Yang

dimaksud dengan Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah 56 ) pewaris, menentukan

siapa-siap yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing- masing”. 57

Pasal ini mengatur tentang peralihan hak secara otomatis, dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Pasal ini menegaskan pula yang berhak menerima peralihan hak adalah para ahli waris yang berhak. Dalam Pasal 171c Kompilasi Hukum Islam disebutkan ,”Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena

hukum untuk menjadi ahli waris”. 58 Ketentuan pasal tersebut menjelaskan bahwa hak saling mewarisi itu

hanya dapat terjadi jika antara ahli waris dan pewaris mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan. Hubungan darah biasa disebut dengan hubungan keturunan atau hubungan nasab, yaitu garis keturunan ke atas- bawah dan menyamping. Garis keturunan ke atas terdiri dari ayah, ibu dan

54 KUH Perdata Pasal 832 Bagian I Tentang Ketentuan-Ketentuan Umum Waris 55 H.M. Anshari, Kedudukan Anak Dalam Persepektif Hukum Islam dan Hukum Nasional,

h.84 56 Tirkah adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meniggal dunia yang dibenarkan

oleh syariat untuk dipusakai oleh ahli waris. 57 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 a

58 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 c 58 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 c

Undang-Undang perkawinan menyebutkan, perkawinan sah dan legal bila memenuhi norma agama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan memenuhi norma hukum seperti disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Jika keduanya tidak terpenuhi maka perkawinan dianggap batal demi hukum begitu juga hukum warisnya. Al Qur‟an menyebutkan:

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian) warisan untuk anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki

sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” 59 (QS. An Nisâ [4]:11).

Untuk itu, dalam konteks negara kita, keberadaan sebuah perkawinan yang memenuhi norma agama dan norma hukumlah yang menyebabkan hukum waris itu bisa dilaksanan. Maka putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17 Februari 2012 meski dipandang rancu dan memperkeruh kedudukan anak yang terlahir di bawah tangan, dari kacamata hukum Islam.

Karena dalam hukum Islam anak luar kawin lebih dikenal dengan anak zina. Oleh karena itulah anak luar kawin tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya. meski dengan dilakukan tes DNA sekalipun. Menurut H.M Anshari, untuk menyikapi isi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut korelasinya dengan masalah waris, hakim dapat menggunakan asas

contralegem 60 , asalkan disertai argumentasi dan dilandasi dengan ketentuan hukum. 61

59 Bagian laki-laki dua kali bagian anak perempuan adalah karena kewajiban laki- laki lebih berat dari perempuan dan tanggung jawab laki-laki pun demikian, seperti kewajiban membayar mahar saat hendak menikah atau kewajiban memberikan nafakah bagi keluarganya.

60 Pada dasarnya hakim menerapkan hukum sesuai dengan aturan yang ada.Salah satu asas hukum acara ialah hakim dilarang menolak perkara, namun persoalan yang muncul

bila suatu perkara hukum tidak memiliki aturan hukum.Disinilah hakim dituntut untuk mampu menciptakan hukum dengan cara menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Putusan hakim yang mengesampingkan peraturan yang ada inilah yang disebut contra legem. Penjabaran Contra legem merupakan pelaksanaan nilai hukum progresif yang menghendaki hukum yang berkeadilan yang tidak hanya terpaku pada legalistik aturan hukum

Namun demikian, meskipun anak yang terlahir di bawah tangan, tidak saling mewarisi dengan bapak biologisnya, tetapi dimungkinkan mendapat bagian dari harta warisan bapak biologisnya dengan jalan wasiat

wajibah. 62 Berdasarkan KUHPerdata, anak luar kawin yang mendapat warisan adalah anak luar kawin yang telah diakui dan disahkan. Namun sejak adanya

Putusan MK tersebut maka anak luar kawin diakui sebagai anak yang sah dan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya. Kedudukan anak luar kawin terhadap warisan ayah biologisnya juga semakin kuat. Pasca putusan MK ini, anak luar kawin merasa berhak atas warisan ayahnya. Di ke depannya tentu akan timbul banyak gugatan ke pengadilan agama (Islam) dan pengadilan negeri (non-Islam) dari anak luar kawin. Putusan MK tersebut, UU No.8/2011 tentang Perubahan Atas UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (1) huruf a menegaskan bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sekalipun pasal 1917 BW jo. Pasal 21 AB menegaskan bahwa putusan pengadilan hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan tidak mengikat hakim lain yang akan memutus perkara yang serupa, namun ketentuan ini tidak dapat diberlakukan bagi putusan Mahkamah Konstitusi sebab substansi putusan MK tersebut bersifat umum yakni berupa pengujian suatu UU terhadap UUD, karena itu putusan MK tentang anak luar kawin (Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010) tersebut pada dasarnya mengikat semua warga negara. Namun karena Negara juga menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, maka putusan MK dimaksud harus dibaca spiritnya sebagai “Payung Hukum Untuk Perlindungan Terhadap Anak Dan Tidak Menyangkal Lembaga Perkawinan Yang Sah ” sebagaimana diatur dalam UU N0. 1 Tahun 1974 jo. PP 9/1975 jo. INPRES No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Karena itu perlindungan terhadap anak diluar perkawinan harus

dilaksanakan secara proporsional Hak Nafkah. 63

61 H.M. Anshari, Kedudukan Anak Dalam Persepektif Hukum Islam dan Hukum Nasional , h.84 62 Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli warisatau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara‟, besarnya tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah harta warisan.

63 http://irmadevita.com/2013/pengertian-anak-luar-kawin-dalam-putusan-mk/ diakses pada 29 Juli 2013

3. Hak Perwalian

Hukum nasional berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan tidak mengatur secara mendetail tenteng wali nikah: Dalam pasal 2 ayat (1) disebutkan”

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu”. 64

Dari pasal diatas tersirat bahwa Undang-Undang menyerahkan sepenuhnya kepada agama yang dianut oleh pihak-pihak terkait. Juga apa yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

sepenuhnya menyerahkan kepada ketentuan agama orang tersebut 65 , yang menyebutkan:

Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. 66

Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan tentag wali dalam sebuah pernikahan seperti tertera dalam pasal: Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi

calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. 67 Juga disebutkan dalam Pasal 20: 68

Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim, dalam Pasal 23 menyebutkan: 69

Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau enggan. Berdasarkan pasal-pasal diatas dapat kita pahami bahwa wali nikah merupakan rukun nikah, yang jika tidak ada maka hukum nikahnya tidak sah. Dalam pasal 21 Kompilasi Hukum Islam

disebutkan tentang urutan-urutan wali nikah yaitu: 70 Pasal 21

1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

64 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1979 Tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) 65 H.M. Anshari, Kedudukan Anak Dalam Persepektif Hukum Islam dan Hukum Nasional , h.81 66 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 10 ayat (2) 67 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 19 68 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 20 ayat (2) 69 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 23 ayat (1)

70 Kompilasi Hukum Islam Pasal 21

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayahdan seterusnya. Kedua , kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki- laki seayah, danketurunan laki-laki ereka. Ketiga , kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayahdan keturunan laki-laki mereka. Keempat , kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunanlaki-laki mereka.

2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

3) Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.

4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama- sama derajat kandung

atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Kemudian terkait dengan siapa yang berhak untuk menjadi wali dalam

kondisi keterbatasna fisik disebutkan dalam pasal 22: “Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atauoleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi walibergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya ”.

Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa silsilah keturunan (nasab) anak yang lahir di luar nikah (bawah tangan) hanya dihubungkan dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibu tersebut. Dan walinya adalah wali hakim. Adapun yang dimaksud dengan wali menurut Muhammad Ibrahim At Tuwaijri adalah:

“Wali adalah orang yang berkuasa menikahkan perempuan, yang paling berhak menikahkan anak perempuan adalah ayahnya, lalu

71 Muhammad bin Ibrâhîm At Tuwaijri, Mausu‟ah Al Fikh Al Islâmî,Jilid IV) T.tp: Bait Afkâr Ad Dauliyah, 1430) h. 25 71 Muhammad bin Ibrâhîm At Tuwaijri, Mausu‟ah Al Fikh Al Islâmî,Jilid IV) T.tp: Bait Afkâr Ad Dauliyah, 1430) h. 25

senasab yang terdekat, lalu hakim”.

Keterangan diatas menyebutkan hakim merupakan wali yang terakhir dalam urutan wali, saat tidak dijumpai lagi wali dari pihak keluarga wanita. Dan jika pernikahan tersebut dilakukan tanpa ada wali maka pernikahan

tersebut tidak sah (fasid) 72 . Begitu juga disebutkan oleh Syamsuddîn Muhammad „Abdul Khâliq Al Manhâji, seraya menukil pendapatnya Imam

Mâlik tentang seorang wanita yang menikah tanpa wali, kemudian beliau berkata:

“Tidak sah nikahnya tanpa wali”. Berdasarkan pasal 23 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:

“Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat

tinggalnya atau ghaib atau adlal 74 atau enggan.” Dengan demikian jelaslah bahwa anak perempuan yang lahir di luar

kawin, bapak biologisnya tetap tidak boleh menjadi wali saat anaknya menikah. Dalam kasus seperti itu maka harus menggunakan wali hakim. 75

Adapun yang dimaksud dengan wali hakim dalam peraturan Menteri Agama Nomor 30 tahun 2005 Pasal 1 ayat (2) jo Peraturan Menteri Agama Nomor 11/2007 pasal 18 ayat (4) disebutkan:

“Wali hakim adalah kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai w anita yang tidak mempunyai wali”.

4. Hak Nafkah

Terkait dengan masalah nafkah anak, ada beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan Indonesia, yaitu: 76

Pasal 45 ayat (1): “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya”

72 Muhammad bin Ibrâhîm At Tuwaijri, Mausu‟ah Al Fikh Al Islâmî, h. 27

73 Syamsuddîn Muhammad Bin Ahmad bin Ali bin Abdul Khâliq, Al Manhâji Al Qâhiri, Jauhar Al Uqûd Wa Muin Al Qudhât Wal Muqîin Wa As Syuhûd, Jilid II, ( Libanon: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1417 H) h. 12

74 Adlal adalah seorang yang tidak diketahui keberadaannya 75 H.M. Anshari, Kedudukan Anak Dalam Persepektif Hukum Islam dan Hukum Nasional , h.83 76 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 45 ayat 1 dan 2

Pasal 45 Ayat (2): “Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai

anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”.

Dalam pasal 41 huruf b UU Perkawinan disebutkan: “ Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”. Ketentuan di atas pada dasarnya berlandaskan pada Pasal 2 UU Perkawinan, yaitu yang dimaksudkan adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Baik secara agama maupun secara hukum, artinya nafkah anak yang lahir di luar perkawinan tidak diatur dalam UU tersebut. Namun dalam bunyi pasal 43 ayat (1) secara implicit dapat dimengerti bahwa oleh karena anak itu hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya, maka segala biaya hidup anak sampai ia dewasa adalah kewajiban ibunya. Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pun tidak mengatur masalah ini.

Putusan MK bersifat final, maka otomatis anak yang terlahir dari pernikahan di bawah tanganpun menjadi tanggung jawab bapak biologisnya.

Dan hakim pun harus memutuskan sesuai dengan putusan tersebut. 77