UUD NRI Th. 1945 UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan Pasal 28 B ayat 1

BAB IV IMPLIKASI YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Tinjauan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono mantan Menteri Sekretaris Negara di era Soeharto memicu konflik keluarga antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam perkara tersebut pemohon mengajukan uji materil terhadap :

UU No 1 Th 1974 tentang UUD NRI Th. 1945 Perkawinan

Pasal 28 B ayat 1 Pasal 2 ayat 2

“ Setiap orang berhak membentuk “Tiap-tiap perkawinan dicatat keluarga dan melanjutkan keturunan menurut peraturan perundang-

melalui perkawinan yang sah “ undangan yang berlaku “

Pasal 28 B ayat 2 Pasal 43 ayat 1

“ Setiap anak berhak atas “Anak yang dilahirkan di luar kelangsungan hidup, tumbuh, dan perkawinan hanya mempunyai berkembang serta berhak atas hubungan perdata dengan ibunya perlindungan dari kekerasan dan dan keluarga ibunya “ diskriminasi “

Pasal 28 D ayat 1

“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “

Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi. Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal- usul anak dalam pasal 55 Undang-Undang perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien

bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti. 1 Terkait hal tersebut, Kompilasi Hukum IslamK juga memberikan pendekatan pengertian “anak diluar nikah” diuraikan pendekatan berdasarkan terminology yang tertera didalam kitab fiqh, yang dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam Pasal- Pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan seksual antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan. Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus didalamnya. Hal tersebut bertujuan agar “anak” sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk menunjukan identitas islam tidak mengenal adanya

dosa warisan. 2 Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian, Pasal 44

1 http://fhukum.unpatti.ac.id/htn-han/379-konsekuensi-putusan-mahkamah-konstitusi- tentang-status-anak-di-luar-perkawinan diakses 17 November 2016

2 http://kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anak-di-luar-nikah-dalam-kompilasi- hukum-islam/ diakses 31 Juli 2016 2 http://kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anak-di-luar-nikah-dalam-kompilasi- hukum-islam/ diakses 31 Juli 2016

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya” .Semakna dengan ketentuan tersebut, Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan : “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”

Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan “anak zina” dalam pembahasan ini adalah anak

yang janin/pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan diluar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina.Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam Hukum Perdata umum, sebab dalam perdata umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah seorang atau keduanya terikat tali perkawinan dengan orang lain. Karena itu anak diluar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata umum adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina. Perbedaan anak zina dengan anak luar kawin menurut Hukum Perdata adalah :

1. Apabila orang tua anak tersebut salah satu atau keduanya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut adalah anak zina.

2. Apabila orang tua anak tersebut tidak terikat perkawinan lain (jejaka,perawan,duda,janda) mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut adalah anak luar kawin. Dengan demikian sejalan dengan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan Pasal 100 KHI, adalah: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”

Yang termasuk anak yang lahir di luar perkawinan adalah :

1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya.

2. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat korban perkosaan oleh satu orang pria atau lebih.

3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang di li‟an (diingkari) oleh suaminya.

4. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka) disangka suaminya ternyata bukan.

5. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau sepersusuan.

Terkait dengan pemeliharaan anak, Kompilasi Hukum Islam menyebutkan pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 98 Ayat (1) “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau

belum pernah melangsungkan perkawinan 3 ”. Dalam pasal diatas batas seorang anak dikatakan dewasa adalah sudah

berusia 21 tahun, yaitu anak yang normal dan tidak memiliki cacat fisik maupun mental. Artinya seorang ayah berkewajiban memberikan nafkah dan perlindungan hingga batas usia tersebut diatas. Ayat (2 ),”Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di

luar Pengadilan”.Ayat (3),” Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.”

Adapun terkait dengan perkawinan yang dilakukan di bawah tangan dihadapan tokoh agama. Meski secara agama perkawinan tersebut sah, namun menurut hukum Indonesia perkawinan tersebut tidak sah karena tidak dicatatkan. Akibatnya, anak-anak yang dilahirkan dari hasil nikah siri status hukumnya sama dengan anak luar kawin yakni hanya punya hubungan hukum dengan ibunya. Jadi, anak yang lahir dari kawin siri secara hukum negara tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Hal tersebut

antara lain akan terlihat dari akta kelahiran si anak. 4 Dalam akta kelahiran anak yang lahir dari perkawinan siri tercantum

bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak, seperti disebutkan dalam

Pasal 55: 5 Ayat (1):

“ Catatan peristiwa penting merupakan data pribadi penduduk”.

3 Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (1) 4 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4576/mendapatkan-akta-kelahiran-

tanpa-surat-kawin diakses tanggal 31 Juli 2016 5 Peraturan pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 55 Ayat (1) dan (2)

Ayat (2): “Catatan peristiwa penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Anak lahir di luar kawin, yang dicatat adalah mengenai nama anak, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu; dan

b. Pengangkatan anak, yang dicatat adalah mengenai nama ibu dan bapak kandung.

Persyaratan untuk membuat akta kelahiran untuk anak luar kawin adalah sebagai berikut: 6

1. Surat kelahiran dari Dokter/Bidan/Penolong Kelahiran;

2. Nama dan Identitas saksi kelahiran;

3. Kartu Tanda Penduduk Ibu;

4. Kartu Keluarga Ibu Tata cara memperoleh (kutipan) akta kelahiran untuk anak luar kawin adalah sama saja dengan cara memperoleh akta kelahiran pada umumnya. Di dalam akta kelahiran akan tercantum nama ibu saja, tidak tercantum nama ayah dari anak luar kawin tersebut.

Tata caranya, apabila pencatatan hendak dilakukan di tempat domisili Anda, Anda harus mengisi Formulir Surat Keterangan Kelahiran dengan menunjukkan persyaratan-persyaratan sebagaimana diuraikan di atas kepada Petugas Registrasi di kantor Desa atau Kelurahan. Formulir tersebut ditandatangani oleh Anda dan diketahui oleh Kepala Desa atau Lurah. Kepala Desa atau Lurah yang akan melanjutkan formulir tersebut ke Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Instansi Pelaksana untuk diterbitkan Kutipan Akta

Kelahiran 7 . Apabila pencatatan hendak dilakukan di luar tempat domisili Anda,

Anda mengisi Formulir Surat Keterangan Kelahiran dengan menyerahkan surat kelahiran dari dokter, bidan atau penolong kelahiran dan menunjukkan KTP Anda kepada Instansi Pelaksana. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi pelaksana mencatat dalam Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan

Akta Kelahiran 8 Instansi Pelaksana biasanya adalah Suku Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil Kabupaten atau Kotamadya setempat 9 .

6 Perpres No. 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Pasal 52 ayat [1] 7 Perpres

No. 25 Tahun 2008 Tentang Tentang Persyaratan dan Tata Cara

Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Pasal 53. 8 Perpres No. 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran dan Pencatatan Sipil, pasal 54

9 . UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran dan Pencatatan Sipil, Pasal 1 ayat [7]

KHI dengan jelas memaparkan bahwa status anak disebutkan dalam Pasal 99:

Anak yang sah adalah : 10

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

b. Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Oleh karea itu anak yang sah adalah anak yang terlahir dan diakui dalam pernikahan yang sah bak secara agama maupun secara hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: “ Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”.

Pasal ini mengisyaratkan bahwa pernikahan yang sah harus memiliki akta nikah yang dibuat oleh petugas pencatat nikah, artinya bukti sebuah pernikaha yang diakui adalah adanya akta nikah. Kemudian dalam Pasal 100 KUH Perdata menyebutkan: “Adanya suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain daripada dengan akta pelaksanaan perkawinan itu yang didaftarkan dalam daftar- daftar Catatan Sipil, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal berikut”, adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Bahkan ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Dengan perkataan lain, perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta Nikah atau Buku Nikah merupakan unsur konstitutif.

Kompilasi Hukum Islam memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah dan ketentuan untuk tertibnya perkawinan. Pasal 4 Kompilasi Hukum

Islam menyebutkan: 11 “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai

dengan pasal 2 ayat 1 UU no 1 tahun1974 tentang perkawinan. Sedangkan Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bebrapa rumusan

diantaranya: 12

1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat;

2. Pencatatanperkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954. Hal ini Selanjutnya dipertegas dengan Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam

yang berbunyi:

10 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 99 ayat (1) dan (2) 11 Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 12 Kompilasi Hukum Islam Pasal 5

1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah;

2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum. 13

Dalam Pasal 7 menyebutkan bahwa:

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama;

3. Itsbat (penguatan) nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian

b. Hilangnya Akta Nikah

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974

4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Itsbat nikah yang dilaksanak oleh Pengadilan Agama karena pertimbangan mashlahah bagi umat Islam.

Itsbat nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami istri. Dalam hubungannya dengan hal di atas, dewasa ini permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama dengan berbagai alasan, pada umumnya perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengadilan Agama selama ini menerima, memeriksa dan memberikan penetapan permohonan itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 kecuali untuk kepentingan mengurus perceraian, karena akta nikah hilang, dan sebagainya menyimpang dari ketentuan perundang-

undangan 14 . Namun oleh karena itsbat nikah sangat dibutuhkan oleh

13 http://www.nu.or.id/post/read/38146/kepastian-hukum-quotitsbat-nikahquot-terhadap- status-perkawinan-anak-dan-harta-perkawinan di akses 03 Agustus 2016

14 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Pasal 49 Ayat (2) Jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama dan Penjelasannya.

masyarakat, maka hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan menyimpangi tersebut, kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah

berdasarkan ketentuan Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: 15

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;

b. Hilangnya Akta Nikah;

c. Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;

d. Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang- undang No.1 Tahun 1974

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974

4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Apabila perkawinan yang dimohonkan untuk diitsbatkan itu tidak ada

halangan perkawinan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Pengadilan Agama akan mengabulkan permohonan itsbat nikah meskipun perkawinan itu dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Padahal, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama tersebut, tidak lebih hanya sebagai kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur tentang itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian terkait pemeliharaan anak ( hadhanah ) menjadi kewajiban orang tua (terutama ibu) dan menjadi pilihan

anak-anak. 16 Hal terkait dengan status anak adalah perlindungan menurut Wahbah Az

Zuhaili menyebutkan tentang pengertian hadhahan, menurut beliau hadhahan adalah berasal dari kata al Hidn atau Al Janb, artinya di samping. Secara istilah:

15 Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 Ayat (3) huruf e 16 Amiur Nuruddin dan Azhari Tarigan, Hukum Perdata Islam, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI , h.293

“Yaitu pendidikan anak bagi yang memiliki hak pengasuhan atau pendidikan dan penjagaan”.

Terkait pemilihan wilayah pengasuhan, diberikan kewenangan bagi pemerintah (sulthan). Akan tetapi kaum wanita memiliki kasih sayang yang lebih kepada anak kecil, lebih sabar dalam proses pendidikan, serta lebih cenderung dekat dengan anak-anak. Ketika sudah baligh, maka kewenangan pengasuhan, anak diberikan kebebasan untuk memilih, namun ayah lebih diutamakan karena lebih memiliki kemampuan perlindungan dari pada kaum

wanita. 18 Dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam perihal pemeliharaan anak

disebutkan dalam pasal-pasal diantaranya: Pasal 98:

1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak bercacat secara fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.

3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Jika terjadi perceraian dalam pernikahan tersebut maka, sedangkan anak masih kecil, secara jelas Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan: 19

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayah. Kemudian terkait harta yan dimiliki oleh anak yang belum dewasa, maka

pihak yang memelihara anak tersebut berkewajiban: 20

1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampunan dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau sesuatu kenyataan yang tidak dapat dihindari lagi.

17 Wahbah Az Zuhaili, Al Fikhul Islami Wa Adillatuhu, Jilid X h. 7295 18 Wahbah Az Zuhaili, Al Fikhul Islami Wa Adillatuhu, Jilid X h. 7296 19 Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 20 Kompilasi Hukum Islam Pasal 106 Ayat (1) dan (2)

2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).

Pasal-pasal tersebut diatas sangat jelas, bahwa Kompilasi Hukum Islam menegaskan kewajiban untuk pengasuhan adalah kewajiban material dan non material. Karena dua hal tersebut tak dapat dipisahkan, berikutnya pasal tersebut menunjukkan pembagian tugas antara ayah dan ibu, kendatipun

mereka sudah bercerai. 21 Sedangkan dalam perkara perwalian KHI mengatur dalam pasal berikut: 22

1. Perwalian hanya terhadap anak yang belum mecapai usia 21 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan.

2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.

3. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan perwalian, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.

4. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, jujur dan berkelakuan baik atau badan hukum.

B. Tinjauan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa terkait dengan anak zina, yang sebelumnya dikenal dengan anak luar kawin. Adapun dengan istilah nikah di bawah tangan, Majelis Ulama Indonesia memberikan

rekomendasi dalam fatwanya: 23 Pertama : Ketentuan Umum

Nikah Di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fikih, namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan”. Kedua : Ketentuan Hukum

1. Pernikahan Di bawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharrat.

2. Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak mudharat. Terkait dengan anak zina, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwanya Nomor 11 Tahun 2012, secara umum dengan beberapa

pertimbangan diantaranya: 24

21 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Study Kritis Perkembangan Hukum Islam dari fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI , h. 303

22 Kompilasi Hukum Islam Pasal 107 23 Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. X Tahun 2012 24 Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. XI Tahun 2012 22 Kompilasi Hukum Islam Pasal 107 23 Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. X Tahun 2012 24 Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. XI Tahun 2012

b. Bahwa dalam realitas di masyarakat, anak hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yang menyebabkan kelahirannya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, serta seringkali anak dianggap sebagai anak haram dan terdiskriminasi karena dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan kepada ibu.

c. Bahwa terhadap masalah tersebut, Mahkamah Konsitusi dengan pertimbangan memberikan perlindungan kepada anak dan memberikan hukuman atas laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk bertanggung jawab, menetapkan putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya

d. Bahwa terhadap putusan tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, dan wali nikah dari anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya menurut hukum Islam. Didalam Al Qur‟an Allah menegaskan tentang pelarangan zina, seperti disebutkan dalam ayat:

“Dan janganlah kamu mendekati zina, karena zina itu suatu perbuatan keji, dan jalan yang buruk”. ( QS. Al Isrâ [17]: 32)

Imam At Thabari menafsirkan mengapa zina sebagai seburuk-buruknya jalan dalma tafsirnya:

“(Jalan yang buruk): yaitu zina adalah jalan yang paling buruk, karena ia adalah jalan pelaku maksiat kepada Allah, dan menentang perintah- Nya, ia juga jalan terburuk menuju neraka jahannam”

Makna zina secara bahasa adalah seperti yang disebutkan oleh Ibnu Manzur adalah:

25 Imam At Thabarî, Jami‟ul Bayan Fi Tawil Ayi Al Qur‟an, jilid 17, h. 438

ِ ِِز ِِن : ِِر . ِِزِ - ِِن - ِ: َِن ِ َِ يِْز َِن َز َِدِْرِ ِْص َِم ِْص َِقل َِوِِب َنَء َِ يِْز َِزَِن َِدِْر ِْص َِم

Asal kata dari zana-yazni-zina, dan dengan bentuk pendek, asal kata dari zana-yazni zina.Artinya sempit.

Sedangkan secara istilah, menurut Ibnu Nujaim, zina adalah hubungan badan, sebelum resmi menjadi milik atau subhat. 27

Sedangkan menurut kalangan Syafiiyah, yang dinamakan zina adalah:

“Zina adalah masuknya kemaluan atau sebagiannya langsung asli jelas, tidak menyebar dengan kemaluan wanita yang haram bukan pula syubhat dan dilakukan dengan nafsu yang wajib mendapatkan hukuman pidana (had).

Hukum anak zina dan anak karena li‟an memiliki kesamaan dalam beberapa sisi diantaranya yaitu: 29

1. Anak zina nasabnya ke ibu secara mutlak bukan ke ayahnya. begitupula anak li‟an, tidak tetap nasab anak ke ayahnya.

2. Hak waris anak zina dan anak lian terputus karena nasab mereka terputus juga. 30

Namun demikian, selain memiliki persamaan, ternyata anak zina dan anak lian memiliki perbedaan dalam beberapa hal berikut yaitu:

1. Anak lian terputus nasabnya oleh ayah sang pelaku lian yang tidak mengakui keberadaanya, sedangkan anak zina terputus nasabnya sejak ia dilahirkan karena anak zina.

2. Jika ada yang menuduh anak li‟an sebagai anak zina, dan tuduhan itu salah, maka si penuduh mendapat hukuman seperti hukuman pelaku

qazaf. 31

26 Ibnu Manzûr, Lisân Al Arab, Jilid IV ( Beirût: Dâr As Shâdir, tt) h. 359-350 27 Ibnu Nujaim, Al Bahru Ar Râ‟iq Syarh Kanzu Daqâiq, Jilid III, ( Beirut: Dar

Ma‟rifah, tt) h. 106 28 Syamsuddin As Syarbini, Mughni Muhtaj

Ila Ma‟rifat Al faz Minhaj, Jilid IV, (Libanon: Dar Ma‟rifah, 1418) h. 186 29 Ahmad Muhammad Majid dalam Jurnal Ahkam Walad Az Zina Fi Al Fikh Al Islami , Universitas Najâh Al Islami, Palestina, No. 3 Maret Tahun 2008 h. 29 30 Ibnu Qudâmah, Al Mughi, Jilid IX (Kairo: Maktabah Al Qâhirah,1388) h.122 31 Qazaf adalah menuduh wanita baik-baik berbuat zina, padahal tuduhan tersebut salah, dan qazaf termasuk kedalam kategori dosa-dosa besar yang membinasakan

Terkait dengan nasab anak yang terlahir karena zina, anak tersebut nasabnya kepada ibu dan bukan kepada bapaknya, diantara ulama yang berpendapat demikian adalah:

1. Ibnu Nujaim mengatakan bahwa anak yang terlahir dari zina, seperti disebutkan dalam pendapatnya:

“Anak zina nasabnya mengikuti ibunya, karena yakin dari pihaknya oleh karena itulah nasabnya tetap sebagai anak zina”.

2. Menurut Abdul Barr, ia menyatakan:

“Ibu tersebut tidak boleh menolak pengakuan anak selamnaya, dan anak tersebut di nasabkan kepadanya dalam segala hal sebagai

anak yang dilahirkan dari suaminya”.

3. Imam Nawawi juga berpendapat sebagai berikut:

“Anak dengan segala kondisinya tidak boleh diingkari oleh ibunya, akan tetapi diingkari dari ayahnya, dan walinya dinasabkan kepada

ibunya”. 34

4. Ibnu Hazm Al Andalusi juga berpendapat anak zina dinasabkan kepada ibunya:

ِ ِِوِب ِِلُجَّرلِب ُِقَحْلُ ي َلََو ِْتَلََحََو ُِد ُِقَحْلُ ي ولَِل َِوِْاَِ “Anak dinasabkan kepada wanita, jika ia berzina dan hamil, dan tidak ِْتَنَزاَذِإِةَأْرَلِب

di nasabkan kepada laki-laki (yangmenzinainya)”

Senada dengan hal tersebut diatas, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa terkait anak zina seperti yang sebutkan: “Anak hasil zina tidak memiliki hubungan nasab, wali nikah, waris dan nafaqah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya, selain itu anak

32 Ibnu Nujaim, Al Bahr Ar Râ‟iq Syarh Kanz Daqâiq, Jilid IV ( tt.p: Dâr Al Kutub Al Islâmiyah, tt) h. 251 33 Ibnu „Abdul Barr, Al Istidzkâr, Jilid 17, (Beirut: Dâr Al Kutub Al Ilmiyah,1421) h. 231 34 Imam An Nawawi, Al Majmu‟ Syarh Al Muhazab, Jilid 19, ( tt.p: Dâr Al Fikr, tt) h.199 35 Ibnu Hazm, Al Muhallâ Bi Al Atsar, Jilid X, (Beirût: Dar Al Fikr, tt) h. 323 32 Ibnu Nujaim, Al Bahr Ar Râ‟iq Syarh Kanz Daqâiq, Jilid IV ( tt.p: Dâr Al Kutub Al Islâmiyah, tt) h. 251 33 Ibnu „Abdul Barr, Al Istidzkâr, Jilid 17, (Beirut: Dâr Al Kutub Al Ilmiyah,1421) h. 231 34 Imam An Nawawi, Al Majmu‟ Syarh Al Muhazab, Jilid 19, ( tt.p: Dâr Al Fikr, tt) h.199 35 Ibnu Hazm, Al Muhallâ Bi Al Atsar, Jilid X, (Beirût: Dar Al Fikr, tt) h. 323

Berdasarkan fatwa MUI No 11 Tahun 2012 tersebutmenyebutkan antara lain bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Namun

terkait dengan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tentang status anak luar nikah ( nikah di bawah tangan) Majelis Ulama Indonesia,melalui KH. Maruf Amin menyebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki konsekuensi yang sangat luas termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil zina

dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. 37 Dimana, hal demikian tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. “Akibat nyata putusan Mahkamah

Konstitusi , kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak waris, jelaslah Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadikan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan apalagi sekedar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah tersebut .”

Selanjutnya beliau juga menyebutkan : “Anak dari hasil zina, itu dari segi nasabnya tidak bisa dinisbahkan pada orang

tuanya.Fatwa MUI ini justru meneguhkan perlindungan terhadap anak. Salah satunya, dengan mewajibkan lelaki yang mengakibatkan kelahiran anak untuk memenuhi kebutuhan anak. Selain itu, fatwa juga melindungi anak dari kerancuan nasab yaitu anak dari hasil zina tidak punya hubungan nasab, wali nikah dan waris,.”

Kesimpulan itu sebagai tanggapan MUI terhadap putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang diucapkan pada 17 Februari 2012. Pasal 433 ayat (1)

UU No. 1/1974 menjadi dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.Dikatakan Ma‟ruf, putusan MK tersebut memiliki konsekuensi yang sangat luas termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah.

Akibat nyata putusan MK, kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak waris,” katanya.

36 Fatwa MUI No 1 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya. Hal 1 37 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f632f5e9f2fa/ini-dia-fatwa-mui-

tentang-anak-hasil-zina diakses 8 Agustus 2016

Ma‟ruf menambahkan, jelaslah putusan MK tersebut telah menjadikan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan apalagi sekadar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil

perkawinan yang sah tersebut. “Hal ini kami nilai sangat menurunkan derajat kesucian dan keluhuran lembaga perkawinan. Bahkan, pada tingkat ekstrem dapat muncul pendapat tidak dibutuhkan lagi lembaga perkawinan, karena orang tidak perlu harus menikah secara sah apabila dikaitkan dengan

perlindungan hukum anak,” tuturnya. Dikatakan, MUI sepakat bahwa anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan, tetapi belum dicatatkan pada KUA maupun Kantor Catatan Sipil (seperti perkawinan di bawah tangan) harus dipersamakan dengan anak dalam ikatan perkawinan yang telah dicatat. Seiring dengan itu, MUI mendorong agar DPR bersama pemerintah segera dapat melakukan pembahasan terhadap RUU Hukum Material Perkawinan

yang saat ini telah berada di DPR. “MUI meyakini, apabila RUU ini dapat disetujui dengan berbagai penyempurnaan, insya Allah perlindungan hukum, kedudukan hukum, dan hak anak akan jauh lebih baik,” katanya.

Sementara itu, dalam salah satu poin pendapat MUI, Ma‟ruf menuturkan, putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 sepanjang memaknai pengertian “hubungan perdata” antara anak hasil zina dengan laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya dan keluarganya adalah juga hubungan nasab, waris, wali, dan nafaqah, maka putusan MK itu bertentangan dengan ajaran Islam. Ma‟ruf mengatakan, untuk melindungi hak-hak anak hasil zina tidak dilakukan dengan memberikan “hubungan perdata” kepada laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya. “Melainkan dengan menjatuhkan „ta‟zir‟ kepada laki-laki tersebut berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut atau memberikan harta setelah ia meninggal melalui „wasiat wajibah” 38

Hal tersebut juga seperti disebutkan oleh Abu Daud dalam mengomentari anak yang terlahir dari zina:

38 http://www.pikiran-rakyat.com/serial-konten/soal-anak-di-luar-perkawinan diakses pada 8 Agustus 2016

“Telah menceritaka kepada kami, Ya‟qub bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Mu‟tamir, dari Salim yaitu Ibnu Abi Ziyâd, Telah menceritakan kepada kami sebagian sahabat kami, dari Said bin Zubair dari ibnu Abbâs, ia berkata, Telah bersabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,” Tidak ada mengambil upah zina dalam Islam, barangsiapa berzina pada masa jahiliyah, maka islam tidak mengakui nasabnya, barangsiapa yang mengaku anak tanpa pengetahuannya( dari hasil di luar nikah yang sah) maka dia tidak mewarisi anak biologis dan tidak mendapatkan warisan darinya”.(HR. Abu Daud)

Dalam kajian fikih, anak yang terlahir dari zina dinamakan Al Walad Al

Firasy (

. Pengertian dari firasy beberapa ulama berbeda

pendapat diantaranya adalah:

1. Menurut Ibnu Manzur, Al Firasy dikenal dengan ungkapan untuk hubungan suami istri, juga untuk anak yang terlahir dari seorang

perempuan dan laki-laki. 40

2. Menurut Ibnu Manzur, Al Firâsy bermakna wanita, diibaratkan wanita sebagai tempat tidur bagi laki-laki. 41

3. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalâni

Al Firasy menurut orang Arab ungkapan tentang suami atau istri َ

akan tetapi ungkapan tersebut diperuntukkan bagi istri.

Berdasarkan pengertian diatas mayoritas ulama menyebutkan tentang pengertian firasy adalah untuk wanita, artinya secara kalimat asal sudah menunjukkan bahwa anak zina nasabnya adalah kepada ibunya, bukan bapaknya. Hal ini juga diperkuat dengan hadits Nabi Muhammad tersebut

39 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Jilid II (Beirut: Maktabah Ashriah, tt) h. 279 No. 2264 40 Al Jurjâni,

41 At Ta‟rifat, (Beirut: Dar al Kutub Al Ilmiyah, 1403) h. 172 Ibnu Manzur, Lisan Al Arab, Jilid VI (Beirut: Lisan Al Arab, 1414 H) h. 327

42 Ibnu Hajar Al Atsqalani, Fath Al Bari, jilid 12 h. 36 42 Ibnu Hajar Al Atsqalani, Fath Al Bari, jilid 12 h. 36

“Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu

dan bapak atau ibunya”. 43 Sedangkan Pasal 272 menyebutkan:

“Anak di luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari bapak dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan.

C. Kedudukan dan Hak Anak dari Pernikahan yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama

Anak yang terlahir dari pernikahan yang tidak tercatat di KUA, memiliki hak-hak dasar sebagai manusia.

1. Hak perlindungan

Menurut Endang Kusuma Astuti, pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak disebutkan bahwa: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ”.

Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindunganlangsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non- yuridis.Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antara-upaya perlindungan secaralangsung di antaranya meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dandiselamatkan dari sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatuyang dapat merugikan atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadapgangguan dari dalam dirinya atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik,sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan informal, pengasuhan (asah, asih,asuh), pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi:pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatuperaturan perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenaimanusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak dankeluarga, pengadaan sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisikdan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaanperlindungan anak, penindakan mereka yang

43 KUH Perdata Pasal 280 43 KUH Perdata Pasal 280

manusia terlahir sama. Oleh karena itu di dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 disebutkan:

1. Bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh penciptaNya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;

2. Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;

3. Bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

4. Bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima

oleh negara Republik Indonesia. 45 Sedangkan pasal yang khusus menyatakan tentang perlindungan anak secara

khusus disebutkan, dalam Undang-Undang tersebut: 46 Pasal 52

(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Pasal 53 (1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.

44 Endang Kusuma Astuti, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, dalam Jurnal Ilmiah

Inkoma, Volume 25, Nomor 1, Juni 2014

45 Undang-Undang RI No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 46 Undang-Undang RI No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 52 -66

Pasal 54 Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 55 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali. Pasal 56 (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.(2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 57 (1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya. Pasal 58 (1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut (2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi..Pasal 59 (1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.(2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang. Pasal 60

(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Pasal 61 Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya. Pasal 62 Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya. Pasal 63 Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 64 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya. Pasal 65 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Undang-Undang diatas merupakan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan pasal tentang anak, nampaknya dibutuhkan Undang-Undang Perlindungan Anak secara khusus, yang kemudian dikeluarkan oleh pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Meskipun sudah ada produk hukum yang menyebutkan tentang perlindungan anak, namun dalam tataran pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan

perlindungan pada anak. 47 Kemudian terkait dengan penyelenggara perlindungan anak, UU No. 23

tahun 2002, menyebutkan dalam hak-hak yang dilindungi oleh Undang- Undang adalah: 48

a. Agama

47 Muhammad Taufik Makarao, Weny Bukamo dan Syaiful Azri, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014) h. 105

48 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Hukum Pasal 42 dan 43

Pasal 42 (1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut

agamanya. (2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk

anak mengikuti agama orang tuanya. Pasal 43 (1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan

lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya.

(2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.

b. Kesehatan Terkait dengan kesehatan, disebutkan dalam Pasal 44 hingga 47 yang mencakup tentang kesehatan, dan dukungan semua pihak terkait.

c. Pendidikan Terkait dengan pendidikan disebutkan dalam pasal 48 hingga 50 yang mencakup tentang penyelenggara pendidikan, hak-hak sebagai anak didik dan perlindungan terhadap kekerasan di lembaga pendidikan.

d. Sosial Terkait dengan hak-hak sosial anak, disebutkan dalam Pasal 55 hingga

58 yang mencakup tentang hak-hak anak untuk bersosialisai dan berinteraksi dengan pihak lain, dan hak-hak mendapatkan perlindungan sosial.

e. Perlindungan khusus Terkait dengan perlindungan khusus, disebutkan dalam Pasal 59 hingga 71, mencakup tentang perlindungan khusus disebutkan secara umum dalam pasal tersebut, salah satunya Pasal 59: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Anak juga mendapat perlindungan dari eksploitasi dan perdagangan, seperti disebutkan di dalam Undang-Undang No 21 tahun 2007 tentang