NURBAYA LA RI KE J AKA RTA

XI. NURBAYA LA RI KE J AKA RTA

Walaupun har i hamp ir pukul tujuh pagi, tetapi d i pelabuhan Teluk Bayur, belum terang benar. Di tempat-tem pat yang tersem bunyi, di bawah-bawah pohon kayu, masih gelap. Beberapa pekerja yang berjalan kaki menuju ke pelabuhan untuk mencari nafkahnya, kelihatan masih berselubung kain sarung, supaya jangan dit impa angin pagi yang sejuk. Dari jauh, dari sebelah t imur, kedengaran buny i lotong dan ungka, sebagai orang yang bertempik sorak, bersuka raya, menyam but kedatangan cahaya matahari, yang mulai menerangi hutan, tempat kediam annya.

Sesungguhnya, di sebelah timur kelihatan beberapa sinar yang merah, memancar dari balik gunung, yang memagar pelabuhan T eluk Bayur, sebagai hendak menembus awan yang tebal. Di laut, kelihatan embun, seperti asap, tergantung di atas air, berarak perlahan-lahan arah ke barat. Dari dalam kabut ini, t imbullah beberapa perahu kail, yang datang dari laut, berlayar perlahan-lahan menuju ke darat, membawa ikan yang dapat dikailnya pada malam hari. Angin teduh, laut pun tenang. Di sebelah barat m asih kelihatan bulan sebelah, t inggi di atas langit, sedang cahayanya, kian lam a kian pudar, sebagai perak belum disepuh.

Sungguhpun hari m asih pagi, tetapi d i T eluk Bayur ramailah sudah oleh orang yang hendak berlayar, meninggalkan kota Padang atau mengantarkan mereka, yang hendak merantau ke neger i lain; karena pada hari itulah ada sebuah kapal yang hendak bertolak ke tanah Jawa, pukul delapan pagi. Pekerjapekerja, ribut memuat dan membongkar barang- barang; anak kapal ribut bersiap dan beker ja, sedang penumpang, berlar i-lar i turun-naik, sebagai takut ketinggalan.

Pada sebuah kedai, yang ada di T eluk Bayur, kelihatan seorang laki-laki tua, sebentar-sebentar menjenguk ke luar lalu mengint ip ke sana-sini, sebagai takut memperlihatkan dirinya. Setelah masuklah ia kembali ke dalam kedai itu, lalu Pada sebuah kedai, yang ada di T eluk Bayur, kelihatan seorang laki-laki tua, sebentar-sebentar menjenguk ke luar lalu mengint ip ke sana-sini, sebagai takut memperlihatkan dirinya. Setelah masuklah ia kembali ke dalam kedai itu, lalu

perjalanan kita ini, karena sekarang, belum ada kelihatan seorang pun yang hamba kenal."

"Untunglah," jawab perem puan muda itu, "tetapi baik juga dilihat di luar. Siapa tahu, barangkali perjalanan kita ini diint ip orang juga."

Laki-laki tua tadi, pergilah ke luar kedai, lalu berjalan ke sana kemari, pura-pura melihat ini dan itu, tetapi matanya

mengint ip ke segenap tempat dan memperhatikan sekalian orang yang dilihatnya.

Setelah berbuny ilah seruling kapal yang pertama, keluarlah kedua mereka dari kedai itu, berjalan lekas- lekas menuju kapal, lalu naik ke atas geladak, mencari tempat yang tersem bunyi dan berdiam diri di sana. Dengan tiada diketahui mereka, adalah dua orang laki-laki, yang mengint ip segala kelakuan m ereka dari balik sebuah gudang.

Setelah nyatalah oleh kedua laki-laki ini, bahwa yang lar i naik ke kapal it u, ialah kurbannya, berkatalah seorang daripada m ereka kepada temannya, "Sekarang baiklah engkau pulang, Pendekar T iga! Kabarkanlah penglihatanmu ini kepada Engku Datuk Meringgih, dan katakanlah kepada beliau, aku akan mengikut mereka dengan kapal ini ke Jakarta, untuk menjalankan perintahnya dan akan menuntut beberapa ilmu, yang berguna untuk sasaran kita di sini. Lagi pula, aku di sana, akao m encari beberapa kenalan dan murid-murid, yang suka masuk perkumpulan kita."

"Baiklah, Kak Pendekar Lima," jawab Pendekar T iga, "tetapi adakah Kakak berbelanja?"

"Ada, untuk sem entara," kata Pendekar Lima pula. "Jika kurang, nanti akan kuminta dari Jakarta."

Kernudian daripada itu, bercerailah kedua mereka ini. Pendekar T iga pulang kembali ke kota Padang dan Pendekar

Lima berjalan perlahan-lahan ke pangkalan. Setelah berbuny ilah seruling yang kedua dan jambatan

hampir akan diangkat, barulah ia melompat naik kapal, lalu bersem bunyi di bawah geladak. T iada beberapa lam anya kemudian daripada itu, d iangkat lah sauh dan berlayar lah kapal ini, meninggalkan T eluk Bayur.

Setelah keluar lah kapal ini dari pelabuhan T eluk Bayur, barulah perem puan yang melar ikan d iri tad i, berani keluar dar i tempat ia bersem bunyi; lalu melihat ke sana kemari, mencari tempat yang baik. Akhirnya dapatlah olehnya suatu tempat, dekat kamar kapitan. Laki-laki yang bersam a dengan dia, lalu membentangkan tikarnya dan membuka sebuah kursi malas kain, yang dibawanya untuk perempuan itu.

"Sekarang barulah senang hatiku sedikit, Pak Ali," kata perem puan ini, setelah duduk di atas tikar itu. "Tetapi sungguhpun demikian, was- wasku belum hilang; sebagai aku ini m asih diikut i oleh bala. Oleh sebab itu, baiklah Pak Ali coba juga nant i berjalan ke mana-mana pura-pura mencari apa-apa dan dilihat lah benar-benar, t iadakah diketahui orang perjalanan kita ini dan t iadakah diikut i o rang kita."

"Baiklah, orang kaya Nurbaya. Nanti hamba pergi periksa, walaupun pada sangka hamba, tak ada orang yang tahu perjalanan kita ini dan tak ada orang pula orang yang mengikut i kita," jawab Ali.

Setelah duduk sejurus, berkatalah Nurbaya, "Pak Ali, sudahkah dikirim surat kawat untuk Samsu, supaya disam butnya kita di T anjung Periuk?"

"Sudah, Orang Kaya, kemarin. T etapi walaupun tak ada ia di T anjung Periuk, tak mengapa, karena hamba telah biasa ke Jakarta dahulu, tatkala menjadi opas, mem bawa pesakitan," sahut Ali.

"Betul, tetapi baik juga diketahuinya kedatangan kita ini, supaya disediakannya tempat untuk kita," kata Nurbaya pula.

"Benar," jawab Ali. "T etapi tiadakah Orang Kaya berasa lapar? Barang kali belum makan apa-apa tadi!"

"Sesungguhnya perutku mulai berbuny i-bunyi, minta nasi," kata Nurbaya dengan tersenyum. Hatinya makin lam a makin riang, karena dapat meninggalkan kota Padang dengan t iada diketahui orang dan karena mengingat pertemuan dengan

kekasihnya Sam sulbahri. "T unggulah sebentar, hamba minta telur dan kopi," kata

kusir Ali, lalu pergi. T iada berapa lam a kemudian, kembali pula ia dengan membawa beberapa butir telur dan dua mangkuk kopi. Sementara itu, Nurbaya telah mengeluarkan beberapa ketupat dan makan-makanan yang lain dari dalam rantangnya, lalu m akanlah kedua mereka itu.

Kira-kira sejam setelah itu, datanglah seorang mualim kapal, meminta surat pelayaran. T atkala sam pai ia ke dekat Nurbaya dan terlihat olehnya kecantikan perem puan ini, berbisik-bisiklah ia dengan keraninya, dalam bahasa Belanda, "Bagaimana pikiranmu tentang perem puan ini, Ludi?"

"I ni sesungguhnya bunga ros dari Padang," jawab Ludi. "Sanggup engkau membujuknya? Selusin bir upahnya,"

kata mualim itu pula. "Coba-coba; tetapi r upanya ia o rang baik-baik; tentu susah

didekat i. Tambahan pula, ada yang menjaganya," jawab Ludi. "Jika tak cukup se lusin, nant i aku tam bah setengah lusin

lagi," kata mualim itupula, seraya mengerling kepada Nurbaya, "Pipinya yang cekung bila ia berkata-kata dan tahi lalat yang ada pada pipinya, m enam bahkan asyik hati."

"Nantilah kucoba," jawab Ludi.

Segala percakapan ini didengar dan dimaklumi oleh Nurbaya dan sangatlah benci hat inya melihat kedua mereka.

Tetapi ditahannya marahnya, supaya ia jangan dianiaya pula oleh mereka.

Setelah sam pai Ludi dan Mualim itu kepada Nurbaya, lalu bertanya kerani ini, "Hendak ke m ana ini?"

"Ke Jakarta," jawab Nurbaya dengan pendek. "Ada teket?" tanya Ludi pula.

"I ni," jawab Nurbaya, seraya memberikan surat kapalnya. Setelah dikoyak Ludi surat ini, lalu ia berkata, sam bil

memulangkan cab ikan teket itu, "Mengapa tinggal di sini? Di bawah, ada tempat yang lebih baik. Kalau suka, nanti kupilihkan."

"T erima kasih! Biar lah kami di sini, karena di sini dekat kapitan kalau ada apa-apa, boleh lekas m enghadap dia."

Mendengar jawaban ini terpikirlah Ludi sejurus; tetapi lekas ia berkata pula, "Bila kelak ada hujan atau gelombang, tentulah basah di sini."

"T ak mengapa, kami bukan garam , hancur kena air. Jika benar ada gelombang besar kelak, kami carilah tempat yang baik pada pikiran kami," jawab Nurbaya, sam bil melihat ke tempat lain.

Setelah melihat Nurbaya menoleh itu, pergilah kedua pegawai kapal ini, memeriksa surat-surat penumpang yang lain.

"Apa kataku? kata Ludi. "Memang dari jauh telah nyata padaku, perempuan yang sedem ikian sebagai burung m erpati: rupanya jinak, tetapi susah ditangkap."

"T ak peduli, Ludi; j ika tak dapat dengan baik, dengan keras. Carilah akal! Hilang sem angatku melihat matanya dan "T ak peduli, Ludi; j ika tak dapat dengan baik, dengan keras. Carilah akal! Hilang sem angatku melihat matanya dan

"Baiklah, nant i kucoba juga; tetapi kalau tak dapat, jangan marah," jawab Ludi.

Sepeninggal kedua pegawai ini pergi, dikatakanlah oleh Nurbaya kepada kusir Ali segala percakapan mereka.

"Jangan takut " kata kusir Ali, "nant i hamba berjaga benarbenar. Jika berani juga ia mengganggu kita adukan saja

kepada kapitan kapal." Tatkala it u angin teduh, laut pun tenang. Muka air, adalah

sebagai kaca besar yang berkilat -kilat dit impa cahaya matahari. Dari ujung langit selatan sam pai ke ujung langit utara, tiadalah lain yang kelihatan, melainkan dataran yang am at luas, yang biru warnanya. Hanyalah pada buritan kapal, air sebagai mendidih dikacau roda kapal yang berpusing. Kapal pun berlayar seolaholah me luncur di atas dataran yang rata, sebagai ditar ik tali ajaib, meninggalkan jejaknya yang berbaris-baris put ih dan m akin lam a makin besar memecah. Di sebelah utara dan di sebelah barat, kelihatan beberapa pulau kecil yang berjejer jejer letaknya. Cuaca terang, langit pun jernih pada segenap tem pat. Tiada berapa jauhnya dari kapal, kelihatan ikan berlompat- lompatan, sebagai bermain-main berkejar-kejaran. Ada yang melompat sebagai bermain-main jauhnya karena terkejut dilanggar kapal. Dari jauh kelihatan ikan lumba-lumba, berenang beriringiringan, sebentar timbul, sebentar hilang. Burung cam ar yang putih warna bulunya, beterbangan kian kemari. Ada yang mengintai ikan- ikan yang lengah, mengapungkan dirinya ke muka air laut; ada yang tiada bergerak dari tempatnya sebagai tergantung di udara, tetapi t iba-t iba menunjam ke bawah, sam pai ke atas air dengan deras terbangnya, seolah-olah anak panah yang dilepaskan

terbang pula ia membumbung,

dari busumya.

Tatkala

digonggongnyalah seekor ikan dalam digonggongnyalah seekor ikan dalam

T iada berapa lam anya berlayar itu, luput lah daratan di sebelah timur dari mata, hilang di balik ujung langit yang hampir t iada berwatas dengan lautan.

Ke mana mata memandang, tiada lain yang kelihatan lagi melainkan air sem ata-mata, disungkup oleh langit yang melengkung. Ketika itu terasa benar oleh Nurbaya kecil dirinya, karena sedangkan kapal yang besar itu, seolah-olah sebutir pasir di padang sahara rupanya. Kebesaran dan kekuasaan Allah yang menjadikan semesta alam ini, makin bertam bah-tambah terasa olehnya dan kecutlah rasa hatinya bila diingatnya halnya, tak dapat lari ke mana-mana, lain daripada di atas kapal itu, j ika terjadi apa-apa di laut ini; karena lepas dari tempat yang kecil ini, mautlah yang menunggunya. Nyata benar olehnya, bahwa tempat nyawanya bergantung, tiada seberapa besamya. Di kapal itulah saja kehidupan, tetapi di luar itu, kematian. "Adakah akan sam pai kembali aku ke darat?" pikimya dalam hatinya. "Di darat itulah yang tiada berbahaya."

Rupanya ia lupa bahwa orang itu lebih banyak mati di daratan daripada di lautan.

Setelah malam lah hari, terang benderanglah di kapal it u disinar i cahaya lam pu listr ik. Angin bert iup dari se latan, menyegarkan segala kelasi kapal, yang te lah bekerja ber belah payah sehari itu. Setelah selesa i makan, naiklah beberapa kerani dan pegawai kapal, dari kelas dua, ke atas geladak; masingmasing membawa permainan musiknya. Ada yang menggesek biola, ada yang memetik gitar. mendolin, keroncong dan ada pula yang meniup seruling, sedang yang baik suaranya, menyanyikan lagu keroncong dan setambul, serta berpantun berbalas-balasan, sebagai di bawah ini:

"Dari mana hendak ke mana, dari Jepun ke bandar Cina. Jangan marah saya bertanya, bunga yang kembang siapa

punya?" "Siapa yang punya, " berteriak Ludi, menyahuti temannya

yang bernyanyi it u. Orang yang kedua menyela pantun itu, "Buah cempedak buah nangka, apa obatnya hati yang luka?"

Kem udian berpantun pula seorang lagi: "Bajang-bajang tertali sutera, tulang d ibakar baunya sangit.

Dilihat gampang dipegang susah, sebagai bulan di atas langit." "I tukah dia!" ter iak Ludi pula. Rupanya ia hanya pandai

bersorak-sorak saja. "T arik, Yakub! Jangan malu-ma lu!" Pantun itu dibalas oleh seorang lagi:

"Dari mana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali Dari mana datangnya cinta, dari m ata jatuh ke hati."

Pantun ini dise la demikian, "Oleleh Kota Raja; jika boleh dibawa saja. " "Ei.. . ei jangan!" kata Ludi pula, "Jangan merampas orang punya!" Kemudian berpantun pula orang yang pertama:

"Laju-laju perahu laj u, kapal berlayar ke Surabaya. Biar lupa kain dan baju, jangan lupa kepada saya.

"Siapa itu?" kedengaran seorang bertanya. "Adik saya," jawab Ludi. Sesungguhnya lagu keroncong dan Setambul ini, bila

dima inkan dengan bunyi-buny i yang sedemikian, dalam terang bulan, di tempat yang sunyi, sebagai di atas kapal wakt u itu, sangatlah merdu buny inya, memberi asy ik segala yang mendengarnya. I tulah lagu yang selalu menarik hat i anak mudamuda yang suka bermain musik dan t iada jemu mereka menyanyikannya. Akan tetapi, sebab yang memainkan lagu ini acap kali o rang yang kurang baik, di tem pat yang sunyi-sunyi, pada jauh malam , terkadang-kadang dengan maksud yang dima inkan dengan bunyi-buny i yang sedemikian, dalam terang bulan, di tempat yang sunyi, sebagai di atas kapal wakt u itu, sangatlah merdu buny inya, memberi asy ik segala yang mendengarnya. I tulah lagu yang selalu menarik hat i anak mudamuda yang suka bermain musik dan t iada jemu mereka menyanyikannya. Akan tetapi, sebab yang memainkan lagu ini acap kali o rang yang kurang baik, di tem pat yang sunyi-sunyi, pada jauh malam , terkadang-kadang dengan maksud yang

mendengar bunyi-bunyian dan pantun m ereka, lalu ia berbuat pura-pura t idur, seraya menutup muka dan telinganya, supaya jangan terdengar olehnya sekalian nyanyian itu.

Tatkala jauhlah sudah malam dan sunyilah di atas kapal, datanglah Ludi berjalan perlahan-lahan, pura-pura hendak memeriksa apa-apa. Setelah sam pai ia ke tempat Nurbaya, lalu dibangunkannya perem puan ini, sam bil berkata, "Marilah ikut aku, nanti kuber i tempat yang baik dan j ika suka engkau menurut kemauanku, kelak kuber i uang berapa sukam u."

Nurbaya lalu berdiri dan menolakkan Ludi, sam bil berkata dalam bahasa Belanda, "Jika berani engkau mengganggu aku sekali lagi, kuadukanlah kelakuanmu yang tiada senonoh ini kepada kapitan kapal. Akan menyusahkan penumpanglah kerjamu di sini? Atau kausangka aku ini seorang perem puan jahat? Buka matamu, lihat terang-terang; jangan sam akan saja orang baik-baik dengan orang jahat! Nyah engkau dari,s ini!"

Kusir Ali sem entara itu telah berdiri, me lindungi Nurbaya; tetapi Ludi rupanya tiada barani berbuat apa-apa lagi, lebih- lebih karena mendengar Nurbaya berkata-kata dalam bahasa Belanda, lalu pergi dar i situ.

Walaupun sejak waktu itu Ludi tak kembali lagi, tetap i semalam -malam an itu t iadalah berani mereka memicingkan matanya, barang sekejap pun, takut kalau-kalau diganggu pula oleh kerani itu.

Malam itu juga masuklah kapal ini ke pelabuhan Bengkulu, akan tetapi t iadalah dapat memunggah atau mem uat barangbarang, sebab gelombang amat besar jadi dit unggulah sam pai keesokan harinya. Walaupun kapal ini berlabuh, tetapi Nurbaya berasa badannya kurang enak, karena kapal itu sangat oleng dipermainkan gelombang Ketaun. Oleh sebab tiada dapat berdiri, t idurlah saja ia d i atas bangkunya, sampai Malam itu juga masuklah kapal ini ke pelabuhan Bengkulu, akan tetapi t iadalah dapat memunggah atau mem uat barangbarang, sebab gelombang amat besar jadi dit unggulah sam pai keesokan harinya. Walaupun kapal ini berlabuh, tetapi Nurbaya berasa badannya kurang enak, karena kapal itu sangat oleng dipermainkan gelombang Ketaun. Oleh sebab tiada dapat berdiri, t idurlah saja ia d i atas bangkunya, sampai

berdiri dan berjalan jalan. Hari baik pula dan pelayaran pun adalah selam at. Akan tetapi pada malam nya, kira-kira pukul sepuluh, cuaca

yang terang itu, sekonyong-konyong bertukar menjadi gelap gulita. Bintang-bintang yang gemerlapan cahayanya, tiada kelihatan lagi, sebab ditut up awan yang tebal, yang mengandung hujan. Angin teduh, lautan tenang, dan walaupun waktu itu malam hari, tetapi udara rasanya panas.

T iba-tiba kelihatan kilat di langit sebelah selatan, disertai bunyi halilintar yang amat kerasnya. T iada berapa lam a kemudian daripada itu, turunlah hujan yang am at lebat, sebagai dicurahkan dari langit, disertai angin topan yang berem bus dari segenap pihak, bergant i-gant i. Gelombang yang besar pun datanglah, menggulung setinggi gunung; kadang-kadang bertumbuk sam a sendirinya, memecah di tengah lautan. Kapal yang besar itu terbant ing ke sana kemari dipermainkan gelombang sebagai sekerat kayu yang tiada berharga.

Maka olenglah kapal itu ke k iri ke kanan, serta mengangguk ke muka ke belakang. Air taut menyimbah dari segala pihak masuk ke geladak, terkadang-kadang menghanyutkan peti- peti atau barang-barang yang ringan, menyusahkan sangat kepada segala penumpang; yang telah basah kuyup kena air dari atas dan dari bawah: Oleh sebab itu, sangatlah ribut mereka, masingmasing mencari tempat akan melindungkan diri serta barangbarangnya. Bertambah-tam bah kesukaran mereka, karena kapal sangat oleng, sehingga banyaklah penumpang yang mabuk taut.

Dalam hal yang sedemikian, tiba-t iba kelihatan seorang lakilaki, yang berpakaian serba hitam , datang dengan cepat mendekati Nurbaya, yang sedang duduk di kursinya, tak dapat berdiri, karena pusing. Dengan segera orang itu memegang Dalam hal yang sedemikian, tiba-t iba kelihatan seorang lakilaki, yang berpakaian serba hitam , datang dengan cepat mendekati Nurbaya, yang sedang duduk di kursinya, tak dapat berdiri, karena pusing. Dengan segera orang itu memegang

oleh Nurbaya orang itu yait u Pendekar Lima, yang d ikenalnya, hendak menikam Samsulbahri dahulu, berter iaklah ia minta tolong serta berkuat, hendak melepaskan dirinya dari tangan penjahat ini.

Kusir Ali, terperanjat, lalu berdiri mengejar Pendekar Lima hendak menolong Nurbaya, sehingga berkelahilah mereka itu

bergumul, hendak em pas mengempaskan. Oleh karena itu terlepaslah Nurbaya dari tangan penjahat ini. T etapi malang, tatkala Pak Ali hendak mendekati Pendekar Lima pula, kenalah ia disepak penjahat itu, lalu jatuh tergelimpang. Orang gempar,

Pendekar Lima lar i menyem bunyikan dirinya, lalu hilang pada suatu tempat y ang gelap, di buritan kapal.

dan karena

takut,

Tatkala datang kapitan kapal ke tempat perkelahian itu, dicer itakanlah oleh kusir Ali segala hal yang telah terjadi. Kapitan yang berhat i santun dan iba kasihan, segera m em beri perintah kepada anak buahnya, menyuruh bawa Nurbaya ke kamar sakit, karena pada ketika itu ia, entah sebab sangat terkejut, entah sebab diem paskan oleh Pendekar Lima, jatuh pingsan, terhantar di sisi kapal, t iada khabarkan dirinya lagi. Dan pada ketika itu juga d isuruhnya pula car i si penjahat itu di segenap kapal. tetapi tiada ketemu.

Keesokan harinya, kelihatan seorang anak muda, berjalan pulang balik di pelabuhan T anjung Periuk; rupanya ada yang dinant inya di sana. Setelah berlabuhlah kapal yang d itumpangi Nurbaya. naiklah anak m uda itu ke kapal itu, sdinbil m elihat ke sana kemari, tetapi rupanya tiada tam pak yang dicarinya. Oleh sebab itu bertanyalah ia kepada beberapa penumpang, kalaukalau ada seorang perem puan muda bernama Nurbaya, menumpang bersama-sama. Setelah didengarnya dari m ereka, sekalian yang terjadi di atas diri Nurbaya, segeralah ia masuk ke kamar sakit itu dan sesungguhnya di sana dilihatnya

Nurbaya terbaring di atas sebuah tempat tidur. Maka tiadalah tertahan hatinya lagi, lalu ia ber lar i mendapatkan Nurbaya dan

dipeluk serta diciumnya perem puan ini, sambil menangis, "Aduh Nurbaya, adikku yang tercinta! Rupanya hampir t iada dapat kita bertemu lagi."

Mendengar perkataan ini, terbangunlah Nurbaya. dan tatkala dilihatnya yang memeluknya itu Samsulbahr i, menangislah

seraya memeluk kekasihnya ini.

"Sungguh celaka benar, untungku ini," katanya. "tiada putusputusnya dirundung m ara bahaya. Bilakah habisnya azab sengsaraku? Jika t iada Pak Ali yang menolong aku, tentulah aku sekarang telah berkubur di dalam laut."

"Sudahlah adikku, jangan menangis lagi! Barangkali sekarang inilah datang waktunya, kita akan mendapat kesenangan, karena telah jauh daripada segala setan dan iblis. Sabarlah, nant i aku

ikht iarkan, supaya kita beroleh kesenangan itu. Dapatkah engkau berjalan, supaya boleh kita turun dar i kapal

"Dapat," jawab Nurbaya, "hanya aku masih let ih dan pening sedikit."

"T ak mengapa," jawab kusir Ali, yang mengikut Samsu, masuk kamar sakit, tetapi belum tam pak oleh anak muda ini, "nanti hamba dukung!"

Mendengar perkataan ini, menolehlah Samsu ke belakang lalu segera menjabat tangan kusir Ali, m inta ter ima kasih atas pertolongan dan setianya.

Tengah mereka berkata, masuklah kapitan kapal dengan seorang schout polisi, ke kamar sakit itu, lalu berkata. "lniluh dia!"

Melihat hal Nurbaya sedem ikian, terdiam lah schout ini sejurus, kemudian diajaknya Samsu ke luar. Setelah sam pai ke

luar kamar itu, berkatalah schout ini, "Engkau ini siapa?" "Hamba seorang murid Sekolah Dokter Jawa, nama ham ba

Samsulbahri," sahut Samsu. "Perem puan ini apam u," tanya polisi ini p ula. "Walaupun bukan saudara hamba sejati, tetapi lebih baik

daripada adik kandung hamba, " jawab Samsu pula. "Siapa namanya?''

"Sit i Nu rbaya." "Dan orang yang bersama-sama dia?" "Ali, kusir ayah hamba, yang berpangkat Penghulu di

Padang." "Datang dari Padangkah kedua mereka itu?" "Memang: yang perem puan itu, anak seorang saudagar di

sana." "Jika demikian, benarlah dia ini," kata schout itu pula. "Apakah sebabnya maka T uan bertanya demikian?" tanya

Samsu. "Bacalah telegram

ini," jawab schout itu, sam bil mengunjukkan sehelai surat kawat.

Setelah Samsu membaca kabar kawat ini, pucatlah mukanya dan gemetarlah bibirnya. Tangannya dikepalkannya dan giginya digertakkannya; lalu berkata, "Bilakah puas hati jahanam itu menggoda Nurbaya ini?"

Kem udian berkata pula ia kepada schout itu. "Pengaduan ini takkan t iada bohong belaka; maksudnya semata-mata hendak menganiaya perem puan ini. Sebagai nyata pada akhirnya yang hendak dilakukan orang atas dirinya malam Kem udian berkata pula ia kepada schout itu. "Pengaduan ini takkan t iada bohong belaka; maksudnya semata-mata hendak menganiaya perem puan ini. Sebagai nyata pada akhirnya yang hendak dilakukan orang atas dirinya malam

dibuangkan ke laut, tentulah pekerjaan jahanam itu juga, karena penjahat yang membuangkan Nurbaya,

ialah orangnya. " Kem udian dicet itakanlah oleh Samsu hal-ihwal Nurbaya dengan pendek, dari awal sam pai kepada akhirnya.

"Aku percaya akan perkataanmu," kata schout, "tetapi aku tiada dapat berbuat apa-apa, lain daripada menurut perintah

yang kuterima ini." "T entu," jawab Samsu. Setelah termenung sejurus, berkata pula ia, "Sekarang

apakah maksud T uan." "Hendak kuperiksa segala barangnya," jawab pegawai

polisi. "Baiklah, nant i hamba am bil bawa-bawaannya," lalu

masuklah Samsu ke kamar Nurbaya dan sebentar lagi keluar pula ia, membawa barang-barang adiknya ini. Setelah diperiksa, oleh Schout nyatalah t iada kedapatan apa-apa, lain daripada uang kira-kira lima puluh rupiah dan pakaian perem puan. Kem udian diperiksanya pula peti kusir Ali. I tu pun tiada juga kedapatan apa-apa, lain daripada beberapa helai pakaian.

"Uang ini siapa punya?" tanya Schout, "Uang Nurbaya," jawab Ali. "Kam u tahu, dari m ana diperolehnya uang ini?" "T ahu, yaitu uang gadaian gelangnya, yang harganya

kirakira dua ratus

Hamba sendiri Yang menggadaikannya, delapan puluh rupiah tatkala kam i akan berangkat kemari. I ni suratnya. Yang tiga puluh rupiah kami pakai untuk biaya kapal, tinggal lagi lima puluh rupiah itu.

rupiah.

"T ahu benarkah. engkau, bahwa gelang itu kepunyaannya sendiri dan bukan harta suam inya?"

"T ahu: gelang itu pusaka dari em aknya yang telah meninggal dunia; diberikan kepadanya sebelum ia kawin dengan Datuk Meringgih."

"Memang," menyela Sam su, "hamba pun tahu hal itu." "Baiklah," kata Schout pula, sam bil menuliskan segala

perkataan mereka. "T etapi aku harus juga memeriksa perem puan ini."

"T iada ada alangannya; hanya hamba minta, supaya perkara ini jangan dikabarkan dahulu kepadanya, sebab ia masih sakit; kalau-kalau bertam bah penyakitnya, mendengar kabar yang tak baik ini. Dan sesudah itu, tentulah ia harus dibawa ke rumah sakit, berobat di sana dahulu," kata Samsu pula.

"Memang," kata dokter kapal, yang ada juga di sana." la masih sakit belum boleh dibawa pulang."

"Apabila tuan suka memberi suatu surat keterangan tentang halnya, tentulah dapat ditunggu sem buhnya dahulu," jawab Schout.

"Nanti aku beri surat itu," kata dokter kapal, lalu pergi. Samsu dan schout masuk ke dalam kamar Nurbaya, lalu

Samsu berkata kepadanya, "I ni tuan schout hendak memeriksa badanmu, kalau-kalau ada bekas kecelakaan tadi malam ; karena penganiayaan itu akan diperkarakan."

Samsu pura-pura berkata demikian, supaya jangan diketahui Nurbaya, maksud kedatangan pegawai polisi ini. Setelah diperiksa, berkata pula schout, "Marilah, berangkat sekarang! Nanti kutunj ukkan rumah sakit tem pat berobat.'

"Baiklah," jawab Samsu.

Setelah siap, berangkat lah mereka sekalian. Nurbaya berjalan perlahan-lahan, dipimp in oleh Samsu, menuju

setasiun. Di sana naiklah mereka ke kereta api yang menuju ke kota Jakarta. Dalam kereta api, berkata Samsu kepada Nurbaya, "Engkau di Jakarta berobat dahulu ke rumah sak it supaya baik benar. Bila telah sem buh nanti, boleh kita musyawaratkan, yang baik diperbuat."

"Bagaimana yang baik padamu sajalah," jawab Nurbaya, "aku m enurut."

Setelah sam pai ke kota Jakarta, dimasukkanlah Nurbaya ke rumah sakit; setiap hari d ilihat i o leh Samsu dan kusir Ali. T iada beberapa lam anya Nurbaya dalam rumah sakit ini sem buhlah ia dari penyakit nya, lalu keluar dari rumah sak it t inggal menumpang di rumah seorang kepala kampung, kenalan Samsu, sementara menanti kapal yang akan membawanya pulang kembali ke Padang.

"Nurbaya!" kata Samsu pada suatu ketika yang baik, kepada adiknya ini. "Ada suatu kabar penting yang hendak kucer itakan kepadamu, yang sampai kepada waktu ini kurahasiakan; sebab aku khawat ir penyakitmu, karena mendengarnya, akan menjadi bertam bah. Tetapi sekarang badanmu telah sehat kembali, mogamoga dapat kausabarkan hatimu."

"Kabar apa itu?' tanya Nurbaya dengan terkejut, sam bil melihat kepada Samsu.

"Jangan khawat ir," jawab Samsu, tatkala dilihatnya muka Nurbaya

tersenyum, hendak menghilangkan khawat ir kekasihnya ini. "Barangkali engkau masih ingat kedatangan schout, ke kapal yang kautumpangi dahulu tatkala kapal itu baru berlabuh dan ingat pula bahwa schout itu memeriksa pet i pet imu dan pet i Pak Ali. Dan tentulah engkau belum lupa pula, engkau dari kapal terus dimasukkan ke rumah sakit. Barangkali hal yang keniudian ini

berubah.

Dicobanya Dicobanya

Walau ada sekalipun p ikiranmu yang sedernikian, tak boleh aku marah, sebab memang demikianlah rupanya kelakuanku pada waktu itu. Seakan-akan kurang mengindahkan engkau. Akan tetapi sebenarnyalah hanya Allah yang mengetahui betapa besarnya hatiku, tatkala mendapat kabar dan melihat engkau datang dan T uhanlah yang mengetalrui betapa sedihnya hatiku melihat kedatanganmu dengan hal yang serupa itu: karena baru saja kita bertemu sekarang sudah harus bercerai pula. Ah ..."

"Apa kataniu?' tanya Nurbaya dengan terkejut, "sekarang ini kita harus bercerai pula? Apa sebabnya?'

Maka dicer itakanlah oleh Samsu, bahwa ada suatu dakwaan datang dari Datuk Meringgih, mengatakan Nurbaya dan kusir Ali m elar ikan barang-barang dan uang Datuk itu dan meminta, supaya mereka ditahan dan dikirimkan kembali ke Padang selekas-lekasnya.

"Sesungguhnyalah Datuk Meringgih it u manusia yang sebengis-bengisnya. Sebelum mati aku belum lah puas hatinya, " kata Nurbaya dengan sangat marahnya. "Percayakah engkau akan sekalian dakwaannya itu?"

"Masakan aku percaya Nur; masakan engkau dapat berbuat sedemikian," jawab Samsu. Sekalian orang yang mendengar cerita ini, tak seorang pun percaya akan dakwa itu. T etapi apa hendak dikata? Kita sekarang berlawan dengan polisi; t iada dapat berbuat apa-apa, harus menurut. Jika kita berlawan dengan Datuk celaka it u, sebelum melayang nyawaku, tiadalah engkau akan kembali ke Padang."

Nurbaya tidak menjawab, agaknya sebab sesak dadanya, sam pai didengarnya Samsu bertanya "Bagaimana pikiranmu, Nur? Mengapa engkau berdiam diri?"

"Sebab perkara ini sangat sulit. Kehendak hat iku, sebolehbolehnya janganlah aku sam pai kembali pula ke

Padang. Tak dapat kukatakan bagaimana susahnya aku sam pai kemar i, tak dapat kucer itakan bagaunana aku akan dihinakan orang Padang, karena aku, sebagai seorang perem puan yang bersuami, telah meninggalkan suaminya lar i kepada laki-laki lain. Kalau aku kembali ke Padang, niscaya akan kulihat lah sekalian mu lut yang niengejekkan aku dan akan kudengarlah pula segala perkataan yang menghinakan aku. Akan tetapi . .. ya adakah jalan lain yang dapat diturut?'

Setelah berdiam sejurus berkata pula Samsu perlahan- lahan, "Bagaimana pikiranmu, kalau kita lar i dari sini supaya terlepas dari tangan polisi?"

"Pada sangkaku akan sia-sia juga pekerjaan kita itu," jawab Nurbaya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. "karena akhirnya tentulah kita akan jatuh juga ke dalam tangan polisi. Di mana hendak menyem bunyikan diri? Seluruh tanah Jawa ada polisi. Lagi pula kalau kita berbuat dem ikian, sebagai benarlah aku bersalah. Bukankah aku takut karena salah dan berani karena benar? Lari art inya takut, oleh karena itu, tentulah sekalian orang akan bersangka, aku ini benar bersalah. Pada pikiranku, tak dapat aku menyatakan kebenaranku, kalau t iada melawan dakwa itu. Oleh sebab itu biar lah aku kembali dahulu. T ak susah bagiku akan menyatakan kebenaranku dan perkara ini niscaya lekas putus. Bila te lah putus, lekaslah pula aku kembali kemari.

"Ah ya. Tetapi sesungguhnyakah tak ada jalan lain yang dapat melepaskan engkau dari jahanam it u?" kata Samsu, sam bil mengepal tangannya, serta mem ukul meja, sebagai hendak melepaskan panas hatinya. "Keinginan hat iku hendaknya sekarang, setelah kita bercam pur ini, janganlah bercerai pula; karena kinilah kita dapat bersama-sama. Bila telah pulang engkau ke Padang, harus kita bertemu pula dahulu, baru dapat bercampur kembali. Padang Jakarta bukan "Ah ya. Tetapi sesungguhnyakah tak ada jalan lain yang dapat melepaskan engkau dari jahanam it u?" kata Samsu, sam bil mengepal tangannya, serta mem ukul meja, sebagai hendak melepaskan panas hatinya. "Keinginan hat iku hendaknya sekarang, setelah kita bercam pur ini, janganlah bercerai pula; karena kinilah kita dapat bersama-sama. Bila telah pulang engkau ke Padang, harus kita bertemu pula dahulu, baru dapat bercampur kembali. Padang Jakarta bukan

terjadi, apalagi dalam perceraian yang tak tentu lam anya ini." "Perkataanmu itu memang benar, Sam. T etapi apa daya

kita dalam hal ini, lain daripada menurut kehendak polisi? Bukan bagimu saja berat perceraian ini, tetapi ter lebih-lebih bagiku, yang sebagai burung telah lepas dari penjara dan sekarang harus menyerahkan diri pula, masuk ke dalam

sangkarnya kembali, bertemu dengan algujunya. "Ya Allah!' keluh Nurbaya. "Kepada siapakah hamba-Mu

akan m eminta pertulungan lagi, lain daripada-Mu . .. ?" Samsu tiada dapat mengeluarkan suaranya, karena sedih

melihat adiknya ini. "Sungguhpun hat iku rasakan hancur akan meninggalkan

engkau pula, tetapi t iadalah akan senang hat iku, bila perkara ini belum selesai. Biar dikatakan perem puan yang tiada setia kepada suaminya, sebab memang Datuk jahanam itu bukan suamiku, melainkan algojoku, yang telah dilindungi surat kawin, tetap i aku t iadalah sekali-kali suka dikatakan pencuri, sebab memang aku bukan pencuri. Oleh sebab itu kebenaranku dalam hal ini, harus dinyatakan. Hanya suatu yang terpikir dalam hatiku, t idakkah buleh perkara ini d iper iksa di Jakarta ini saja? Jika sekiranya boleh bcrapakah baiknya!"

"Ya, memang itu suatu akal," kata Samsu tiba-t iba, lalu berdiri dan memakai topinya.

Hendak ke mana engkau?" tanya Nurbaya, yang belum mengerti m aksud Samsu ini.

"Hendak pergi ke kantor Asisten Residen, menanyakan, bolehkah perkara ini d iper iksa di sini saja,"

"Ya, baik. Cobalah!" kata Nurbaya. "Mudah-mudahan disam paikan Allah juga m aksudmu itu."

Seketika itu juga berangkat lah Samsu dan kira-kira pukul dua, barulah ia kembali. T etapi dari jauh telah kelihatan oleh

Nurbaya pada mukanya, bahwa maksudnya tiada berhasil, karena Samsu datang dengan berdukacita.

"Bagaimana?" tanya Nurbaya dari jauh. pulang." "Ah, tak boleh. Engkau harus juga pulang." "Memang telah kusangka," kata Nurbaya. "Apa boleh buat!" "Ya, memang; malang itu tak dapat ditolak. Sungguhpun

demikian baik juga engkau berhati-hat i. Siapa tahu algojomu itu ada lagi akalnya, untuk membinasakan engkau; sebab ia rupanya tak takut dan tak nger i berbuat segala kejahatan. Sementara itu, akan kucar ilah pekerjaan di sini, supaya ada penghidupan kita, bila engkau telah kembali dan hidup bersama-sama dengan aku kelak. Jika aku teruskan pelajaranku, tentulah susah kita hidup di sini. Bagiku, biar tak menjadi dokter, asal h idup bersam a-sama dengan engkau."

"Benar sekali perkataanmu it u, Sam. I tulah jalan yang sebaikbaiknya diturut, supaya selam at kita. Dan walaupun kusay angkan benar, engkau meninggalkan sekolahmu, tetapi harus juga kubenarkan maksudmu ini. Oleh sebab itu berjanjilah aku kepadam u, bila kita te lah bersam a-sama kelak, akan kubalas jasam u itu dengan penjagaan dan bantuan yang sebaik-baiknyadalam kehidupanmu."

"Ah, perkara sekolahku janganlah kaupikirkan. I ngatlah akan janjiku

kepada ayahmu! T idak pun demikian, seharusnyalah juga aku membela engkau," kata Samsu, "lagi pula, m emang aku tak dapat m eneruskan pelajaranku, karena kurang belanja. Engkau tahu sendiri, ayahku tak hendak membantu lagi."

"Oleh sebab itu, pada pikiranku, bila kita telah bersam a- sama kelak, akan kusuruh juallah rumah dan tanahku serta sekalian barang-barangku yang masih ada di Padang, supaya uang itu dapat kita pakai pembeli rumah di sini, atau untuk "Oleh sebab itu, pada pikiranku, bila kita telah bersam a- sama kelak, akan kusuruh juallah rumah dan tanahku serta sekalian barang-barangku yang masih ada di Padang, supaya uang itu dapat kita pakai pembeli rumah di sini, atau untuk

tiada lain daripada kesusahan dan kesengsaraaq yang kuperoleh. Barangkali di neger i orang dapat aku beroleh kesenangan," kata Nurbaya.

"Ya, benar; sesungguhnyalah itu. Pikiranku pun deniikian juga. Padaku, apa lagi yang akan menarik hat iku ke Padang? Engkau telah ada di sini dan ibuku akan kusuruh datang kemari, tinggal bersam a-sama dengan kita," jawab Samsu.

"Wahai, alangkah senang hat iku, bila ibumu pun telah bersama-sama pula dengan kita! T entulah hilang segala sengsara yang telah kurasai it u; tentulah t inggal kesenangan dan kesukaan lagi; tentulah... Ah, sesungguhnya cita-cita itu sangat elok rasanya, " kata Nurbaya setelah termenung sejurus, sedang keriangan hat inya yang mulai t imbul, hilang kembali, bertukar dengan sedih, sehingga mendatangkan khawat ir pula, dalani hat inya, takut kalau-kalau t iada disam paikan T uhan.

"Masih ingatkah engkau akan segala cita-cita pada malam , tatkala engkau akan berangkat kemar i, Sam? Apakah jadinya sekarang?"

"Jangan berpikir sedemikian!" jawab Samsu. "Jangan putus asa! Engkau m asih muda dan aku pun begitu pula. Siapa tahu, tidak sekarang, barangkali kelak kita beroleh kesenangan. Masakan hujan saja dari pagi sam pai petang. Panas sesudah hujan, menimbulkan kesegaran badan dan kesenangan hati."

"Kuharap demikian jugalah hendaknya! Akan tetapi, karena segala kecelakaan dan kedukaan telah datalig bertubi-tubi menimpa diriku, tak beranilah aku berharap lagi; ist imewa pula sebab aku sekarang harus pulang ke Padang.

Sesungguhnya sangat berat hatiku hendak meninggalkan engkau dan Jakarta ini, karena aku di sini sungguh berasa senang; pertama sebab ada dalam tanganmu. kedua sebab Sesungguhnya sangat berat hatiku hendak meninggalkan engkau dan Jakarta ini, karena aku di sini sungguh berasa senang; pertama sebab ada dalam tanganmu. kedua sebab

telah menunggu pula sesuatu kecelakaan yang mengancam diriku."

"Hilangkanlah pikiran yang seperti itu! I ngatlah akan nasihat orang tuamu!" kata Samsu dengan perlahan-lahan, membujuk kekasihnya, walaupun hat inya sendiri berasa khawat ir pula.

"Apalagi karena dalatn perkara ini, kita tak boleh mengatakan tidak; harus menurut. Sebab itu nienyerahlah engkau dan berhat ihat ilah menjaga diri! Selam a- lam anya engkau sebulan di sana; sudah itu tentulah kita bertemu pula.

Aku sesungguhnya ingun benar hendak mengantarkan engkau; tetapi waktu ini t iada dapat aku berangkat, karena ada sesuatu pekerjaan yang hendak kuminta. Kalau aku pergi dari sini, tentulah lepas pekerjaan itu dari tanganku. Keinginan hatiku, bila engkau telah kembali pula kemari, aku telah mempunyai pekerjaan.

Lagi pula, engkau kembali ke Padang diantarkan oleh seorang opas yang kukenal. Nant i kupesankan kepadanya, supaya engkau dijaganya baik-baik. Jika engkau kelak hendak kembali kemar i dan tak ada teman, kirim lah kabar kepadaku! Tentu aku datang menjemput. Dengan demikian, tak lam a aku di Padang. Bila aku menumpang dengan kapal Jakarta yang bertemu di Padang dengan kapal dar i Aceh, barangkali hari itu juga dapat aku kembali, sehingga tak perlu bermalam di Padang.

Seboleh-bolehnya jangan aku bertemu pula dengan ayahku. Bagaimana pikiranmu Nur? Baikkah begitu?"

"Baiklah, kalau engkau suka dem ikian," jawab Nurbaya, sam bil m em andang muka Samsu dengan tersenyum.

"Memang engkau baik hat i, segala menurut," kata Samsu pula, seraya mencium adiknya ini.

"Sekarang kenakanlah pakaianmu, supaya dapat kita berjalan-jalan, melihat-lihat kota Jakarta ini, sebab besok

kapal berangkat ke Padang." "Besokkah aku harus berangkat dan bercerai pula denga

engkau?" tanya Nurbaya. "Untuk sementara," jawab Samsu. Setelah selesai memakai, berjalanlah kedua mereka,

berpegang-pegangan tangan, melihat tam asya kota Jakarta pada malam hari. Oleh Samsu dibawalah Nurbaya berjalan ke

sana kemari, naik bendi dan kereta, sekeliling kota Jakarta. T idaklah dapat dikatakan senang hati Nurbaya melihat keindahan kota ini.

"Sesungguhnya kota Jakarta ini sangat besar dan sangat ramai; penuh dengan toko dan rumah yang besar-besar dan bagus-bagus. Harus jadi ibu negeri I ndonesia," kata Nurbaya.

Setelah puas bersiar-siar, masuklah kedua mereka ke dalam sebuah rumah makan, karena perutnya berasa lapar. Bila kenyanglah sudah makan. lalu dibawa oleh Samsu Nurbaya melihat komedi kuda, yang kebetulan sedang bermain di sana. Kemudian barulah mereka pulang kembali, sam bil berjalan perlahan-lahan.Semalam itu lupalah Nurbaya akan hal ihwal yang telah di-tanggungnya, dan dirasainyalah kesenangan seorang perempuan yang bebas, yang berdekatan dengan kekasihnya. Malam itulah malam yang ketiga kali. Nurbaya merasa untungnya mujur.

"T ak banyak permintaanku tak banyak keinginan hat iku, biar lah tak kaya atau tak berpangkat tinggi, asal mendapat kcsenangan sebagai waktu ini," katanya. "I nilah surga dunia, yang baru kukenal, Sam. Adakah akan dapat selam a-lam anya kita seperti ini?"

"Mengapa tidak? Kalau engkau telah ada pula di sini nant i, apakah yang akan menjadi alangan lagi atas diri kita untuk selalu bersam a-sama?"

Dengan bercakap-cakap sedemikian, sam pailah mereka ke rumah tempat Nurbaya menumpang, lalu duduk di seram bi

muka bertutur-turut, sebagai hendak memuas-muaskan hatinya.

"Sam!" kata Nurbaya tiba-t iba, "aku mendengar suatu pantun yang demikian buny inya:

"Dari jauh kapalmu datang, pasang bendera atas kemudi. Dari jauh ad ikmu datang,

melihat Kakanda yang baik budi." "Jawabnya begini," kata Samsu, sambil tersenyum: "Selasih di kampung Batak, perawan luka tentang kaki.

Terima kasih banyak-banyak, sudi datang melihat i." "Suatu lagi," kata Nurbaya: "Sultan I skandar raja Sikilang, raja Barus pegang

tongkatnya, T idak disesal badanku hilang, sudah harus pada tempatnya."

"Jawabnya," kata Samsu: "Sukar membilang buah kelapa, burung pipit ter bang

sekawan. Biar hilang t idak mengapa, asal bersama dengan T uan."

Demikianlah kedua mereka itu bercakap-cakap dan berpantun-pantun serta bersenda gurau.

(Oo-dwkz~ http: / / kangzusi.com/ O) Pada keesokan harinya, berlayarlah Nurbaya pulang ke

Padang, bersama-sama kusir Ali, diantarkan o leh seorang opas polisi. Dengan tolong Allah, adalah selam at perjalanan itu tiada kurang suatu apa.

Setelah sam pai ke Padang diperiksalah perkara itu, dan nyatalah bahwa Nurbaya tiada bersa lah apa-apa, dalam Setelah sam pai ke Padang diperiksalah perkara itu, dan nyatalah bahwa Nurbaya tiada bersa lah apa-apa, dalam

supaya istr inya ini d ikirimkan kembali ke Padang. Katanya mula-mula, tak tahu di mana barang-barang dan

uang itu disimpan Nurbaya, dan sebab ia lar i; disangkanya uang dan barang itu dibawanya. T etapi setelah ditunjukkan Nurbaya tempat barang-barang dan uang itu disimpan, nyatalah istr inya tiada bersalah apa-apa.

Walaupun dimaklum i orang, Datuk Meringgih dengan sengaja berbuat demikian tetapi t iadalah ia beroleh hukuman apa-apa sebab ia seorang saudagar yang amat kaya di Padang.

Tatkala kapal telah berangkat, termenunglah Samsu sejurus di pelabuhan T anjung Periuk, karena sebagai didengarnya suara yang timbul dalam hat inya mengatakan: Nurbaya tiada akan kembali lagi dan it ulah pertemuan m ereka yang penghabisan di atas dunia ini. Walaupun sangat khawat ir dan kabur pikirannya tetapi disabarkannya juga hatinya, dan meminta pertolongan T uhan yang pengasih penyayang.