Pengaturan CEDAW Dalam Hukum Positif
5.1 Pengaturan CEDAW Dalam Hukum Positif
Undang-Undang Dasar kita yang dirumuskan pada Tahun 1945 sejak semula telah mencantumkan dalam Pasal 27 ayat (1), bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi sejak Tahun 1945 di negara kita prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan di depan hukum telah diakui. Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 31 ayat (1) memuat kalimat-kalimat yang mengatakan, bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di masyarakat. Kemudian ada lagi pasal dalam Undang-Undang Perkawinan itu yang mengemukakan, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 ayat (1)), dan mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1)).
Ketentuan-ketentuan tersebut mengandung makna, bahwa terhadap isteri harus diberi penghargaan yang setara dengan suami. Ketentuan dalam GBHN 1993-1998 juga mengemukakan prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan seperti yang dapat dibaca berikut ini: “perempuan, baik sebagai warga negara maupun sebagai sumber daya insani pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan laki-
laki dalam pembangunan di segala bidang”. 14
Di bidang hukum yang mengatur tentang hak-hak tenaga kerja, negara kita telah meratifikasi Konvensi ILO No. 100, yaitu mengenai pengupahan yang sama untuk laki-laki dan perempuan pekerja untuk pekerjaan yang sama nilai, sehingga kita terikat untuk mengintegrasikannya ke dalam perundang-undangan kita. Semua ketentuan undang-undang serta ketentuan dalam GBHN yang telah dikutip tadi menjadi bukti yang nyata, bahwa pembuat undang-undang di negara kita memang menyetujui prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Kemudian ketentuan harus dijamin, bahwa perempuan menikmati perlindungan hak-hak asasinya seperti halnya laki-laki, yang berarti bahwa diskriminasi terhadap perempuan dilarang, menjadi hukum positif di negara kita dengan ratifikasi terhadap Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (disingkat dengan Konvensi Perempuan) melalui UndangUndang Nomor 7 Tahun 1984. Di kalangan PBB konvensi ini telah diterima pada Sidang Umum
14 Lapian, L.M. Gandhi, Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012, hlm 77.
tahun 1979, dan pembuatan konvensi ini dilatar-belakangi oleh fakta, bahwa resolusi-resolusi serta deklarasi-deklarasi, seperti Deklarasi Universal mengenai Hak-hak Asasi Manusia atau Deklarasi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, sebagai instrumen tidak mampu menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Hak-hak asasi perempuan tetap dilanggar secara meluas.
Maka itu konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan dianggap perlu dibuat dan diharapkan dapat bekerja sebagai instrumen yang lebih efektif dalam mencegah dan menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Harapan ini didasarkan pada konsekuensinya, antara lain adalah negara penandatangan mengikat diri untuk mengeluarkan berbagai peraturan, dan mengadakan berbagai kebijaksanaan maupun langkah-langkah lainnya wilayah negaranya untuk menjamin terhapusnya diskriminasi terhadap perempuan, hukum, gender, dan diskriminasi.
Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa :
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Dalam peraturan yang disebutkan diatas telihat bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hal yang mendasar, dan Negara, Pemerintah juga mendukung tidak melakukan diskriminasi yang akan berujung pada perbedaan gender, dengan adanya Hukum akan melindungi, menghormati, dan menjunjung tinggi setiap hak yang dimiliki oleh warga Negara.
Pengertian dari Pasal 1 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan pengertian diskriminasi sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
No CEDAW