Pengaruh Pemanasan Bumbu Rendang Terhadap Aktivitas Anitimikroba Pada Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus
P e d i c h d to :
ores w b never 3iop lovinq ad prainq me
and Away5 qive me 'chicken m p for the mi'
( mma, pqa. my sister, Kathdim atd ail of my mojlem brothers ad sisters)
Verily, I love them b becase of
Allah
PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTIVITAS
ANTlMlKROBA PADA Sfaphylococcus aureus DAN Bacillus cereus
Oleh
ASlH KATRINA
F02495018
2000
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Asih Katrina.
F02495018.
PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG
TERHADAP AKTIVITAS ANTlMlKROBA PADA Sfaphylococcus aureus DAN
Bacillus cereus. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu. MS.
..
..
RINGKASAN
Rendang merupakan makanan tradisional yang berasal dari daerah Sumatra
Barat (Minangkabau). Makanan ini tidak hanya digemari di daerah asalnya, namun
juga telah dikenal dan digemari oleh sebagian masyarakat Indonesia karena
kekhasan rasa dan keawetannya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Edy (1998) dihasilkan bahwa bumbu
rendang yang memiliki efek penghambatan optimal adalah yang mengandung 60%
cabe merah. Namun belum diketahui apakah bumbu tersebut masih efektif bila telah
dipanaskan. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh
pemanasan, yaitu penurnisan (80°C selama 15 menit), perebusan bumbu tumis
(100°C) selama 10 dan 20 menit serta sterilisasi menggunakan otoklaf (121°C
selama 15 menit) terhadap aktivitas antimikroba bumbu pada bakteri penyebab
keracunan S. aureus dan B. cereus.
Penelitian ini menggunakan bumbu rendang yang dibuat sendiri menurut
formulasi Edy (1998), dengan konsentrasi cabe merah sebesar 60%. Bumbu
rendang dicampurkan dengan sistem pangan yang terdiri dari ekstrak daging dan
santan kelapa (l:lv/v) sebanyak 18% (bk). Campuran ini dikontakkan dengan
S. aureus dan B. cereus yang diuji ketahanannya terhadap bumbu. Pengamatan
dilakukan setiap 0, 3, 6 dan 24 jam waktu kontak, dengan cara menumbuhkannya
pada cawan dengan menggunakan media Plate Count Agar, Vogel Johnson Agar
dan Mannitol Egg Yolk Polymixin. Laju pertumbuhan bakteri dihitung dengan rumus
log Nulog No (Ntjumlah bakteri pada waktu t; No=jumlah bakteri pada waktu 0).
Analisis lain yang dilakukan adalah pengukuran pH, kadar air dan kondisi
mikrobiologi awal bumbu rendang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan yang berbeda
pada bumbu rendang memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap
antimikroba bumbu dan mikroba yang dapat dihambat. Dibandingkan dengan
bumbu rendang mentah, bumbu yang sudah ditumis memiliki daya antimikroba yang
lebih bagus terhadap pertumbuhan 8. cereus, namun tidak terhadap pertumbuhan
total mikroba maupun S. aureus. Nilai log Ntllog No laju pertumbuhan B. cereus
dalam bumbu rendang tumis pada 24 jam waktu kontak adalah 0,87, sedangkan
untuk total mikroba dan S. aureus adalah 1,14.
Aktivitas antimikroba bumbu rendang tumis yang mengalami pemanasan
lanjut menjadi lebih baik dalam menghambat pertumbuhan total mikroba dan
S. aureus dengan nilai log Ntllog No yang berkisar antara 0,66-1.00, sedangkan
antimikroba ini hanya bersifat bakteristatik terhadap pertumbuhan B. cereus, dengan
nilai log Ntllog No antara 0,97-1,05.
PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTIVITAS
ANTIMIKROBA PADA Staphylococcus aureus DAN Bacillus cereus
SKRlPSl
Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi
Fakuitas Teknologi Pertanian
lnstitut Pertanian Bogor
Oleh
ASlH KATRINA
F02495018
2000
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTlVlTAS
ANTIMlKROBA PADA Staphylococcus aureus DAN Bacillus cereus
SKRlPSl
Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi
Fakultas Teknologi Pertanian
lnstitut Pertanian Bogor
Oleh
ASlH KATRINA
Dilahirkan di Semarang, pada tanggal 25 September 1976
Tanggal lulus : 27 Desember 1999
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah melimpahkan
karunia, kasih sayang dan pertolongan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, lnstitut
Pertanian Bogor.
Skripsi ini berjudul Pengaruh Pemanasan Bumbu Rendang Terhadap Aktivitas
Antimikroba Pada Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus, yang ditulis
berdasarkan penelitian penulis yang berlangsung sepanjang bulan Maret sampai
Oktober 1999.
Selama penelitian, penulisan skripsi maupun selama studi, penulis banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak . Untuk itu penulis menyampaikan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS sebagai dosen pembimbing atas
bimbingan, saran dan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan
penelitian maupun penulisan skripsi
2. Ibu Alm. Prof. Dr. Ir. Srikandi Fardiaz, MSc. atas masukan dan saran
kepada penulis, khususnya pada awal penelitian
3. Ibu Dra. Suliantari, MS dan lr. Nanan Nurjannah sebagai dosen penguji
yang banyak memberi masukan kepada penulis
4. My beloved Ma, Pa dan dik Betty atas dukungan, kasih sayang dan doa
yang selalu tercurah kepada penulis
5. Pak Yayat, Ibu Rahman, Ibu Roikhan, Ibu Aan C. dan lbu Dharma atas
bantuan dan doa yang diberikan
6. Sista, Nanik, Mbak Husni dan Slamet yang tergabung dalam Tim Bumbu
Plus atas persaudaraan yang indah selama penelitian
7. Rekan-rekan seperjuangan di Lab. Mikrobiologi PAU, Tifah, Nani, Ical,
Icung, Fajar. Dini, Trisna, M' Dewi, Nawi, Boim, Pak Rizal, Bu iin, Bu Lilik
dan lain-lain atas kebersamaan yang sangat mengesankan
8. M' Ari, Bi Omah, M' Mar, T' Epa, Pak Taufik dan Pak Moel atas bantuan
yang tulus kepadti penulis
9. Seluruh rekan TPG 32, terutama Rida, Rina, Usan, Rida N, Wiga, Yan Ika,
Meity dan Golongan A atas persahabatan dan kekompakan dalam meniti
langkah selama studi
10. Seluruh penghuni Wisma Nabila, terutama M' Dyah, M' Nieng, M' Adha,
Uun dan lndul atas persaudaraan yang manis selama ini
11. Putri, Nadhira, Kintari, Fikar, Igfar, Irma, Mayang, Arin, Ega, Randha dan
Dara yang memberikan hiburan tersendiri bagi penulis
12. Teman kecilku, Lilis dan Rohani
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu
rnemberikan sernangat dan perhatian kepada penulis
Sernoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dan para pembacanya.
Bogor, 15 Desember 1999
penulis
DAFTAR IS1
Halaman
KATA PENGANTAR .....................................................................................
I
DAFTAR IS1.................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL
..........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
V
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
v
I.
PENDAHULUAN .................................................................................
1
II.
TINJAUANPUSTAKA .......................................................................
3
Ill.
A.
AKTlViTAS ANTIMIKROBA DAN MEKANISMENYA ..................
3
B.
AKTlVlTAS ANTIMIKROBA BUMBU RENDANG .......................
4
C.
PEMANASAN.............................................................................
5
D.
KARAKTERISTIK Staphylococcus aureus ..................................
6
E.
KARAKTERISTIK Bacillus cereus ..............................................
7
F.
SANTAN KELAPA DAN DAGING...............................................
9
METODOLOGI PENELlTlAN ..............................................................
11
A.
BAHAN....................................................................................... 11
B.
ALAT .......................................................................................... 12
C.
METODE................................................................................
13
1.
Persiapan Bumbu Rendang dan Sistem Pangan...............
13
2.
Analisis Data Dasar Bumbu.............................................
14
3.
Penentuan Aktivitas Antirnikroba Bumbu Rendang
dengan Metode Kontak ...................................................
16
IV.
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................
A.
KONDlSl AWAL BUMBU RENDANG .........................................
B.
PENGARUH PEMANASAN TERHADAP AKTlVlTAS
ANTlMlKROBA BUMBU RENDANG ..........................................
1.
Pengaruh pada Laju Perturnbuhan Total Mikroba .............
2.
Pengaruh pada Laju Perturnbuhan S. aureus ....................
3.
Pengaruh pada Laju Perturnbuhan B . cereus ...................
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................
A.
KESIMPULAN .............................................................................
B.
SARAN.......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.
Komposisi bumbu dasar untuk membuat bumbu rendang ..........
13
Tabel 2.
Komposisi rempah-rempah dalam pembuatan bumbu rendang..
13
Tabel 3.
Kadar air dan nilai pH bumbu rendang .......................................
18
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kondisi mikrobiologi awal bumbu rendang..................................
19
Gambar 2. Laju Pertumbuhan total mikroba.................................................
21
Gambar 3. Laju Pertumbuhan S. aureus ................................................... 25
Gambar 4. Laju Pertumbuhan 6.cereus
. ..........
27
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Larnpiran 1. Perhitungan konsentrasi bumbu rendang.................................
35
Lampiran 2. Nilai pH bumbu rendang dengan berbagai perlakuan ..............
36
Lampiran 3. Data awal kualitas mikrobiologi bumbu rendang mentah
dan tumis ................................................................................
36
Lampiran 4. Pertumbuhan total mikroba pada bumbu rendang mentah
dan bumbu rendang dengan pemanasan ................................ 37
Lampiran 5. Pertumbuhan S. aureus pada bumbu rendang mentah
dan burnbu rendang dengan pemanasan ................................ 38
Lampiran 6. Pertumbuhan 5 . cereus mikroba pada bumbu rendang mentah
dan bumbu rendang dengan pemanasan ................................
39
1.
PENDAHULUAN
Rendang merupakan makanan tradisional yang berasal dari daerah Sumatra
Barat (Minangkabau). Makanan ini tidak hanya digemari di daerah asalnya, namun
juga telah dikenal dan digemari oleh sebagian besar rnasyarakat Indonesia karena
kekhasan rasa dan keawetannya. Pada umumnya rendang dibuat dari bahan utama
daging sapi yang dimasak. bersamaan dengan campuran bumbu rempah-rempah
tertentu seperti cabe merah, bawang merah, bawang putih, lengkuas dan bumbu
lainnya. Berdasarkan lama pemasakan, produk rendang dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu rendang dengan lama pemasakan relatif lebih lama (lebih kering) dan
kalio dengan lama pemasakan lebih singkat sehingga kadar air kalio lebih tinggi
dibandingkan rendang. Hasil penelitian Mainofri (1990) terhadap produk rendang
daging sapi menunjukkan nilai kadar air sebesar 40,50-42,50%, kadar lemak
sebesar 23,90-24,17% (bk) dan nilai pH sebesar 5,59-5,63.
Bumbu
rendang
memiliki aktivitas
antimikroba
Konsentrasi cabai merah sebesar 20% (blv, bk)
yang
cukup
besar.
dalam bumbu rendang efektif
menghambat pertumbuhan flora mikroba maupun B. cereus dalam sistem pangan
selama 6 jam.
Perpanjangan waktu kontak hingga 24 jam menyebabkan
peningkatan jumlah mikroba dan hanya konsentrasi cabai merah sebesar 60% (blv.
bk) yang masih efektif menghambat (Edy, 1998). Bumbu
rendang
dengan
konsentrasi 20% (blv, bk) dapat menghambat pertumbuhan B. cereus selama
30 jam waktu kontak, sedangkan konsentrasi 10% (blv, bk)
hanya mampu
menghambat pertumbuhan B. cereus selama 9 jam (Harjono,1992).
Sejauh ini belum diketahui stabilitas daya antimikroba bumbu rendang dalam
sistem pangan terhadap pemanasan. Bahan pangan yang sudah dimasak atau
diolah dengan pernanasan apabila tercemar kembali akan mudah rusak. Seringkali
organisme turnbuh lebih baik pada bahan pangan yang telah dimasak dibandingkan
pada bahan pangan mentah karena zat-zat gizi tersedia lebih baik dan tekanan
persaingan dari rnikroorganisrne lain telah dikurangi (Buckle et a]., 7978).
Penelitian ini bertujuan untuk rnempelajari pengaruh pernanasan, yaitu
penurnisan (80°C selama 15 rnenit), perebusan (100°C) selarna 10 dan 20 menit
serta sterilisasi menggunakan otoklaf (121°C selarna 15 rnenit) pada burnbu rendang
terhadap aktivitas antimikroba burnbu pada bakteri penyebab keracunan B. cereus
dan S. aureus.
r1. TINJAUAN PUSTAKA
A. AKTlVlTAS ANTlMlKROBA DAN MEKANISMENYA
Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat
rnenghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Pelczar dan Reid, 1979).
Fardiaz (1985) rnenyatakan bahwa zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal
(mernbunuh bakteri), bakteristatik (rnenghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal
(rnembunuh kapang), fungistatik (mengharnbat pertumbuhan kapang) ataupun
germisidal (rnenghambat germinasi spora bakteri).
Berbagai jenis rempah diketahui rnempunyai sifat antirnikroba terhadap
berbagai jenis mikroba dengan efek penghambatan yang bersifat khas. Minyak
atsiri mustard sangat efektif dalarn menghambat perturnbuhan Saccharomyces
cereviseae, namun tidak efektif dalam rnenghambat sebagian besar bakteri.
Kayu manis dan cengkeh yang rnengandung sinarnaldehida dan eugenol
biasanya lebih bersifat bakteriostatik daripada rempah lainnya (Frazier dan
Westhoff, 1988). Beberapa senyawa kimia yang bersifat antimikroba rnenurut
Pelczar dan Reid (1979), antara lain fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen,
logam berat dan senyawanya, zat warna, senyawa amonium kuartener, asam,
basa, deterjen dan gas desinfektan seperti etilenoksida.
Daya antirnikroba rernpah-rempah tergantung pada satu atau beberapa
senyawa yang rnerupakan kornponen rninyak atsiri. Mungkin senyawa tersebut
umum terdapat pada beberapa rempah, atau hanya khas pada rempah tertentu.
Eugenol dari cengkeh, anetol dari adas dan timol dari thyme bersifat fungistatik
terhadap A. flavus dan A. versicolor (Hitokoto et al., 1980). Dilaporkan pula
bahwa eugenol, isoeugenol, ginger01 dan zingeron yang terdapat pada cengkeh
dan jahe bersifat sporostatik terhadap spora 8. subfilis (A1 Khayat dan Blank,
1985).
Senyawa fenol menyebabkan lisis pada sel
mikroba, sehingga
menyebabkan racun dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan kebocoran
metabolit esensial yang dibutuhkan oleh mikroba, kemudian setelah berada di
dalam sel, fenol akan merusak sistem kerja sel. Sedangkan senyawa fenolik
yang mempunyai berat molekul tinggi dapat menyebabkan inaktivasi enzim
esensial dalam sel (Prindle dan Wright, 1971)
Sedangkan menurut Pelczar dan Reid (1979) mekanisme penghambatan
pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikroba dapat berupa perusakan
dinding sel yang dapat rnengakibatkan lisis, atau penghambatan sintesis
komponennya, perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi
kebocoran zat nutrisi dari dalam sel, denaturasi protein sel dan perusakan sistem
metabolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler.
B. AKTlVlTAS ANTlMlKROBA BUMBU RENDANG
Bumbu rendang memiliki aktivitas antimikroba terhadap flora mikroba
yang terdapat pada ekstrak daging, santan serta campuran ekstrak daging dan
santan. Pengaruh bumbu rendang terhadap B. cereus lebih besar dibandingkan
dengan flora mikroba yang terdapat di dalam sistem pangan (Edy, 1998)
Hasil penelitian Harjono (1992) juga menunjukkan bahwa bumbu rendang
bersifat bakterisidal terhadap E. coli, S. typhimufium dan V. colerae pada
konsentrasi masing-masing 10, 5 dan 1%. Sifat bakteriostatik diperoleh pada
konsentrasi 5% untuk E. coli.
Pada burnbu yang telah disterilisasi (121°C
selarna 15 rnenit), daya antirnikrobanya telah hilang dan rnenyebabkan stirnulasi
pertumbuhan bakteri. Dernikian juga halnya jika burnbu dipanaskan. Bila burnbu
akan disirnpan dalarn refrigerator, rnaka hanya efektif bila penyirnpanan kurang
dari serninggu.
Burnbu rendang segar hasil olahan industri dengan konsentrasi 5% (blv,
bk) bersifat bakterisidal terhadap S. typhimurium, S. aureus, E. coli, 6. cereus
dan P. aeruginosa. Efek pengharnbatan burnbu rendang terhadap beberapa
bakteri yang diujikan diduga karena adanya aktivitas antirnikroba rernpahrernpah penyusun burnbu terutarna cabe rnerah yang rnerupakan komponen
terbesar dari burnbu rendang yaitu sekitar 75% (Triana, 1998)
Hasil penelitian Pulwaningsih (1998) menunjukkan bahwa burnbu opor,
ayarn goreng dan rendang dalarn bentuk burnbu sangrai instan dapat
rnengharnbat perturnbuhan 8. cereus pada setiap periode waktu kontak. Ketiga
burnbu tersebut dengan konsentrasi 10% (blv, bk) dapat bersifat bakterisidal
sarnpai waktu kontak 30 jam.
B. PEMANASAN
Kernarnpuan tahan panas rnikroorganisrne rnernpunyai peranan penting
dalarn rnenentukan tipe rnikroorganisrne rnana yang akhirnya banyak terdapat
setelah perlakuan pernanasan.
Suatu perlakuan pasteurisasi dengan panas
\
ringan (76°C selarna 30 rnenit) rnasih mernungkinkan jenis rnikroorganisme
terrnodurik seperti Micrococcus dan Streptococcus, juga pernbentuk spora dari
jenis Bacillus dan Clostridium tetap hidup, sedang pemanasan yang sedikit lebih
tinggi (80°C selama 1 menit) umumnya hanya rnernungkinkan mikroorganisme
pembentuk spora yang tinggal hidup. Bahan pangan yang sudah dimasak atau
diolah dengan pemanasan apabila tercernar kembali akan rnudah rusak.
-
Seringkali organisme tumbuh lebih baik pada bahan pangan yang telah dimasak
dibandingkan pada bahan pangan mentah karena zat-zat gizi tersedia lebih baik
dan tekanan persaingan dari mikroorganisme lain telah dikurangi (Buckle et al.,
1978)
Pendidihan atau kondensasi uap bertekanan rnempunyai kapasitas
transfer panas yang tinggi sehingga permukaan suhu pangan mencapai suhu air
dengan sangat cepat. Temperatur
makanan tidak pernah mencapai
suhu
pendidihan air. Proses pemanasan bertekanan berlangsung lebih cepat dan
kehilangan air lebih rendah daripada pendidihan biasa (Muller dan Tobin,1980).
D. KARAKTERISTIK Staphylococcus aureus
S. aureus merupakan bakteri berbentuk bulat yang terdapat dalam
bentuk tunggal, berpasangan, tetrad atau berkelompok seperti buah anggur.
Nama bakteri ini berasal dari bahasa latin "sfaphele" yang berarti anggur.
Bakteri ini mernbutuhkan nitrogen organik (asam amino) untuk pertumbuhannya
dan bersifat anaerobik fakultatif. Kebanyakan galur S. aureus bersifat patogen
dan dapat memproduksi enam jenis enterotoksin (A, 8, C1, C2, D dan E) yang
masing-masing memiliki tingkat toksisitas yang berbeda. Sebagian besar kasus
keracunan makanan disebabkan oleh enterotoksin tipe A (Frazier dan Westhoff,
1988).
S. aureus bersifat anaerobik fakultatif tetapi pertumbuhannya pada
keadaan anaerobik sangat lambat.
Suhu optimum untuk pertumbuhan
S aureus adalah 35-37°C dengan suhu minimum 6-7'C dan suhu maksimal
45,5"C.Bakteri ini dapat tumbuh pada pH 4,O-9,8dengan pH optimum 7,O-7,5,
sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran
usus.
S. aureus dapat menyebabkan intoksikasi dan infeksi seperti bisul,
pneumonia, mastitis paha hewan dan manusia (Fardiaz, 1983)
Secara umum, organisme ini tidak kuat bersaing dengan lainnya dan
akibatnya bakteri ini tidak mempunyai peran yang berarti pada bahan-bahan
panyan yang tidak dimasak.
Akan tetapi, dalam bahan pangan yang telah
dimasak atau diasin, dimana organisme-organisme yang ada telah rusak oleh
pemanasan atau pertumbuhannya terhambat oleh konsentrasi garam, sel-sel
S. aureus dapat terus berkembang mencapai tingkat yang membahayakan.
Keracunan karena bahan pangan yang tercemar Staphylococcus kebanyakan
berhubungan dengan produk bahan pangan yang telah dimasak terutama yang
dikelola oleh manusia seperti daging dan ayam yang dimasak (Buckle et al.,
1978).
E. KARAKTERISTIK Bacillus cereus
8. cereus adalah bakteri gram positif berbentuk batang, bergerak, dapat
membentuk spora, bersifat fakultatif anaerob dan tersebar secara luas dalam
tanah dan air.
Sampai-sampai akhir-akhir ini organisme tersebut tidak
digolongkan sebagai patogenik, akan tetapi sejumlah keracunan karena bahan
pangan yang berhubunyan dengan daginy dan nasi goreng ditemukan tercemar
oleh sel-sel B. cereus.
Kemampuan membentuk spora memungkinkan
mikroorganisme ini tetap hidup pada operasi pengolahan dengan pemanasan
(Buckle gt &., 1978).
B. cereus tumbuh pada suhu 10-48'C dan pH 4,9-9,3. Suhu optimum
yang diperlukan untuk pertumbuhannya berkisar antara 28-35°C dan pH
optimum 7,O-73. Bakteri ini memproduksi spora tahan panas dan radiasi, dan
tetap aktif setelah pemanasan selama 4 jam pada suhu 135°C (~ardiaz,1983).
Sebanyak 80% strain 6. cereus dapat memproduksi enterotoksin yang
disekresikan ke substrat selama pertumbuhan logaritmiknya.
Menurut Eley
(1992) ada dua jenis enterotoksin yang berkaitan dengan dua macam keracunan
yang berbeda, yaitu toksin emetik dan toksin diare. Toksin emetik adalah protein
tahan panas yang diproduksi selama pembentukan spora dan tahan pemanasan
pada suhu 121°C selama 90 menit. Gejala keracunan terjadi 1-6 jam setelah
mengkonsumsi makanan yang mengandung sel dan spora B. cereus dalam
jumlah besar, yaitu berupa mual, muntah dan kurang enak badan.
Bahan
pangan yang terkontaminasi toksin emetik ini adalah sereal, terutama nasi,
pasta, puding susu dan krim yang dipasteurisasi. Toksin diare diproduksi saat
germinasi spora pada saluran gastrointestinal manusia. Periode inkubasi adalah
8-16 jam, diikuti gejala sakit perut, kram dan diare encer, muntah-muntah,
kadang-kadang disertai demam. Bahan pangan yang mungkin terkena adalah
daging, sayur, sop, saus, sosis dan hidangan penutup (desert).
Giffel et al. (1996) melaporkan bahwa dari hasil penelitian pada berbagai
produk makanan di Belanda, seperti susu, tepung, produk fermentasi, produk
pasta, makanan Cina, cokelat, produk bakery, bahan penyegar dan rempahrempah, ditemukan bahwa dari 229 sampel,
109 (48%) di antaranya
terkontaminasi oleh 5. cereus dengan tingkat kontaminasi mencapai 10'-10~
CFUIml.
F. SANTAN KELAPA DAN DAGING
Santan kelapa merupakan emulsi minyak dalarn air yang berwarna putih,
diperoleh dengan cara memeras daging kelapa segar yang diparut atau
dihancurkan (Hagenmeier, 1973), atau dengan mengepres daging kelapa segar
(Djarkasi, 1995) dengan atau tanpa penambahan air.
Hasil ekstraksi santan
dipengaruhi oleh car pemerasannya. Dengan cara pemerasan tangan dapat
diekstrak santan sebanyak 52,9% (Dachlan, 1984 di dalam Mulia, 1995).
Santan merupakan produk pangan yang mengandung kadar air dan
lemak cukup tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroorganisme pembusuk
dan santan menjadi mudah rusak. Sementara itu upaya pembuatan santan awet
dilakukan dengan proses pemanasan suhu sterilisasi, yang dapat menimbulkan
beberapa kerusakan produk. Kerusakan tersebut antara lain pecahnya emulsi
santan, timbulnya aroma tengik dan perubahan warna menjadi lebih gelap
(Muiia, 1995).
Daging merupakan bahan pangan hewani yang kaya akan protein dan
mengandung susunan asam amino yang lengkap. Tingginya kandungan nutrisi
pada daging merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan mikroba.
Menurut Jenie (1990), daging sapi mengandung karbohidrat yang rendah dan
protein tinggi sehingga mikroflora yang rnenyerang daging sapi bersifat
proteolitik. Mikroorganisme yang merusak daging dapat berasal dari infeksi dan
ternak hidup dan kontaminasi daging postmortem (Soeparno,l992).
Mikroba
yang sering rnengkontarninasi daging dan produknya adalah Salmonella,
S. aureus, Closfridium perfringens, C. botulinum, Yersinia enferolitica, E. coli,
L. monocyfogenes dan B. cereus (Fardiaz, 1996)
Ill.
METODOLOGI PENELlTlAN
A. BAHAN
Rempah-rernpah yang digunakan terdiri dari bawang merah, bawang
putih, lengkuas, jahe, kemiri, cabe merah, keturnbar, kunyit, daun kunyit,
daun jeruk, serai d i n asarn kandis. Keseluruhan rempah-rempah tersebut
diperoleh dari Pasar Bogor dalam keadaan segar.
2. Kultur rnikroba
Kultur mikroba yang digunakan adalah S. aureus ATCC 007 dan
B. cereus ATTC 2186 yang diperoleh dari Labomtorium Mikrobiologi Pangan
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB. Bogor dalam bentuk agar miring.
3. Media
Media yang digunakan meliputi Plate Count Agar (PCA), Mannitol Egg
Yolk Polymixin Agar (MEYP), Nutrient Broth (NB) dan Nutrient Agar (NA)
yang berrnerk Oxoid, Vogel Johnson Agar (VJA) merk DlFCO dan kalium
telurit merk Merck.
PCA digunakan untuk menghitung total mikroba,
VJA + kalium telurit untuk S. aureus dan MEYP untuk B.
cereus. NB
digunakan untuk rnenyegarkan kultur, sedangkan NA untuk membuat kultur
stok dalam bentuk agar miring.
4. Sistem pangan
Sistem pangan terdiri dari campuran ekstrak daging dengan santan
kelapa. Daging yang digunakan adalah daging giling yang diperoleh dari
Supermarket. Bogor. Kelapa diperoleh dari pasar di Darmaga.
5. Bahan kimia
Bahan kimia yang digunakan adalah toluena, NaCl dan alkohol teknis.
Toluena digunakan untuk analisis kadar air, sedangkan NaCl untuk membuat
larutan pengencer.
6. Bahan lain
Bahan tambahan lain yaitu minyak nabati untuk menumis dan
aquades untuk membuat larutan.
B. ALAT
Alat yang dibutuhkan selama penelitian adalah hofplate, defrost plate,
penggiling bumbu, pipet volumetrik, erlenmeyer, gelas piala, shaker, pengaduk,
cawan petri, jarum ose, kompor, penggorengan, gelas ukur, inkubator, tabung
reaksi, timbangan, penangas air, labu Bidwell-Sterling, pemanas spirtus dan
termometer. Semua peralatan terdapat di PAU Pangan dan Gizi, IPB.
C. METODE
1. Persiapan Bumbu Rendang dan Sistem Pangan
a.
Bumbu rendang
Pembuatan bumbu rendang dilakukan dengan mempersiapkan
formula bumbu. Formula bumbu rendang ditentukan berdasarkan hasil
penelitian Edy (1998) yaitu formulasi optimum dalam menghambat
aktivitas mikroba, seperti disajikan pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Komposisi bumbu dasar untuk membuat bumbu rendang
Tabel 2. Komposisi rempah-rempah dalam pembuatan bumbu
rendang
-turnbar
Kunyit
Daun kunyit
Daun jeruk
Serai
Asam
Total
1.4
0.9
1.O
0.5
2.6
2.7
100
Dalam pembuatan bumbu rendang, pertama kali dilakukan
penggilingan rempah-rempah dengan rnenggunakan blender. Setelah
masing-masing rempah menjadi halus, dilakukan pencampuran sampai
homogen.
Bumbu tersebut dibagi menjadi dua.
Setengah bagian
ditumis (80°C selama 15 menit) dengan menggunakan minyak goreng
sebanyak 15% (blb) dan sebagian yang lain disimpan dalam keadaan
mentah. Penyimpanan dilakukan dengan mengemas bumbu rendang
tersebut dalam
plastik-plastik klip ukuran kecil, dengan isi masing-
masing 25 gram bumbu kernudian dimasukkan ke dalam freezer
(-30°C)
b.
Sistem pangan
Sistem pangan yang digunakan yaitu campuran ekstrak daging
dan santan dengan perbandingan 1:l (vh).
Ekstrak daging dibuat
dengan cara mencampur daging giling dengan air dengan perbandingan
1:10 (blv), sedangkan santan diekstrak dari kelapa parut yang dicampur
dengan air dengan perbandingan 1:2 (blv).
Selanjutnya carnpuran
ekstrak daging dan santan tadi disterilisasi pada suhu 121°C selama
15 menit untuk membunuh semua rnikroba yang ada dalam sistem
pangan.
Untuk setiap analisis sampel digunakan sistem pangan
sebanyak 50 ml yang dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml.
2. Analisis Data Dasar Bumbu Rendang
a. Analisis kadar air dengan metode distilasi (Apriyantono et al., 1989)
Analisis kadar air dengan metode distilasi biasa dilakukan untuk
sampel yang banyak mengandung bahan volatil, seperti rempah-rempah.
Dengan metode ini, air didistilasi dengan pelarut yang mempunyai berat
c. Penentuan mikroba awal bumbu rendang dengan hitungan cawan
(Fardiaz, 1989)
Sebanyak 5 gram bumbu dimasukkan ke dalam pengencer 45 ml.
Ini merupakan pengenceran
lo-'.
Selanjutnya dibuat pula tingkat
pengenceran yang lebih tinggi, kemudian ditumbuhkan ke dalam cawan
dengan
menggunakan media PCA, VJA
dan MEYP.
Cawan
diinkubasikan terbalik pada suhu 37°C selama 24-48 jam dan dihitung
jumlah koloni yang tumbuh.
3.
Penentuan Aktivitas Antimikroba
Bumbu Rendang dengan Metode
Kontak (Fardiaz, 1989)
Bumbu rendang tumis sebanyak 18% (bk, blv) dicampurkan dengan
sistem pangan di dalam erlenmeyer 250 ml kemudian dipanaskan
(perebusan 100°C selamalO menit, perebusan 100°C selama 20 menit,
sterilisasi otoklaf 12I0C selama 20 menit). Setelah itu diinokulasi dengan
kultur S. aureus dan B. cereus sebanyak masing-masing 1 ml. Kultur telah
dipersiapkan terlebih dahulu di dalam Nutrient Broth dan telah diinkubasi
pada 34'C selama 24 jam untuk S. aureus dan 48 jam untuk 6'. cereus.
Khusus untuk B. cereus dilakukan juga pemanasan 80°C selama 5 menit
setelah inkubasi untuk mengaktivasi sporanya.
Lalu diinkubasikan dalam
shaker pada suhu ruang selarna 24 jam. Perlakuan yang sama seperti di
atas juga dilakukan terhadap bumbu rendang mentah, tanpa diberi perlakuan
pemanasan.
Total mikroba, S. aureus, dan B. cerus dihitung setiap waktu kontak
0, 3, 6 dan 24 jam.
Pemupukan dilakukan pada 4 tingkat pengenceran
secara duplo. Media yang digunakan untuk menghitung total mikroba adalah
PCA, yang memungkinkan semua jenis mikroba dapat tumbuh. Media yang
digunakan untuk S. aureus adalah VJA yang merupakan media spesifik.
Pertumbuhan bakteri ini ditandai dengan koloni bulat yang benvarna hitam
yang dikelilingi oleh areal kuning.
Sedangkan untuk mengetahui jumlah
B. cereus digunakan media MEYP dimana pertumbuhan bakteri ini ditandai
dengan koloni yang berbentuk filamen berwarna hijau kebiruan yang
dikelilingi oleh areal biru.
Penghitungan dilakukan setelah cawan
diinkubasikan terbalik pada suhu 37' C selama 24-48 jam.
Selanjutnya untuk setiap bakteri dibuat k u ~ apertumbuhan relatif
yang dinyatakan dalam nilai log Nfflog No. Nilai Nt menunjukkan jumlah
koloni pada waktu t jam, sedangkan No menunjukkan jumlah koloni pada
waktu 0 jam. Nilai log Nfflog No sama dengan satu menunjukkan tidak ada
pengaruh, lebih kecil dari satu menunjukkan adanya penghambatan,
sedangkan lebih besar dari satu menunjukkan adanya rangsangan terhadap
pertumbuhan mikroba.
IV. HASlL DAN PEMBAHASAN
A. KONDlSl AWAL BUMBU RENDANG
Kondisi awal bumbu dinilai berdasarkan nilai pH, kadar air dan kualitas
mikrobiologinya. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kadar air bumbu mentah
lebih besar daripada 'bumbu tumis.
Hal ini terjadi karena pada proses
penurnisan terjadi penguapan air, sehingga secara fisik bumbu tumis menjadi
lebih kering.
Kadar air yang diperoleh ini digunakan dalam penentuan berat
kering bumbu rendang, untuk menghitung jumlah
bumbu yang akan
ditambahkan pada sistem pangan (Lampiran 1).
Tabel 3. Kadar air dan nilai pH bumbu rendang
I
tumis
I
5333
4,9
Dilihat dari nilai pH, bumbu rendang termasuk bahan pangan berasam
rendah karena memiliki nilai pH di atas 4,5 (Fardiaz, 1996). Makanan yang
memiliki pH di bawah 3,5 biasanya tidak dapat ditumbuhi bakteri, namun dapat
menjadi rusak karena pertumbuhan kapang dan kamir. Nilai pH optimum untuk
pertumbuhan bakteri adalah 65-7,5, untuk pertumbuhan kapang adalah 5-7 dan
untuk pertumbuhan kamir adalah 4-5 (~ardiaz~,
1992)
Kualitas mikrobiologi bumbu ditentukan dengan menghitung jumlah total
mikroba, S. aureus dan 5. cereus. Gambar 1 menunjukkan bahwa secara
umurn jumlah rnikroba bumbu mentah lebih tinggi dibandingkan dengan burnbu
tumis.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan kadar air keduanya.
Menurut
Silliker et al. (1980), kadar air produk pangan sangat mempengaruhi jumlah dan
ragam mikroflora yang dapat tumbuh. Semakin tinggi kadar air dan aktivitas air
(Aw) suatu produk pangan, jumlah dan ragam mikroflora yang tumbuh
cenderung rneningkat. Selain kadar air, ha1 lain yang berpengaruh pada jumlah
rnikroba awal burnbu adalah kondisi rernpah-rernpah penyusun burnbu, baik
sebelurn pengolahan, kondisi sanitasi selarna pengolahan dan penanganan,
serta kondisi setelah pengolahan.
V '
fatal mikroba
S. aureus
B. cereus
Garnbar 1. Kondisi mikrobioiogi awal burnbu rendang
Dari Gambar Idapat dilihat pula bahwa pada bumbu turnis, S. aureus
sudah tidak terdapat lagi karena suhu pada saat penurnisan mencapai 80°C,
sedangkan S. aureus sendiri bersifat mesofilik
dengan kisaran suhu
pertumbuhan antara 6,7 sarnpai 45,5'C (Fardiaz, 1983). Sementara 5. cereus
setelah penurnisan rnasih terdapat dalam burnbu meskipun jumlahnya
berkurang.
Menurut Buckle et al. (1978), kemampuan membentuk spora
memungkinkan mikroorganisme ini tetap hidup pada proses pengolahan dengan
pernanasan.
B. PENGARUH PEMANASAN TERHADAP AKTlVlTAS ANTlMlKROBA BUMBU
RENDANG
I. Pengaruh pada Laju Pertumbuhan Total Mikroba
Perlakuan pemanasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penumisan (80°C selama 15 menit) dengan menggunakan rninyak nabati
sebanyak 15% (bh), perebusan burnbu tumis (100°C) selama 10 dan 20
rnenit serta sterilisasi bumbu tumis (121°C selama 20 menit). Perebusan
dilakukan di atas hot plate, sedangkan sterilisasi dilakukan dengan
rnenggunakan otoklaf.
Perlakuan tersebut didasarkan pada kebiasaan
memasak pada umumnya yang menumis bumbu terlebih dahulu sebelurn
diolah lebih lanjut.
Adapun pemilihan variasi waktu diperkirakan bahwa
selama 10 dan 20 menit bumbu sudah matang, sedangkan perlakuan
sterilisasi merupakan model proses sterilisasi kornersial yang dilakukan pada
industri.
Bumbu yang ditarnbahkan dalam sistem pangan adalah sebesar
18% (blb, bk) yang merupakan konsentrasi yang biasa digunakan oleh rumah
tangga untuk memasak suatu makanan (Emmawati, 1998).
Pada skala
50 ml sistem pangan, ditambahkan bumbu mentah sebesar 45,23 gram dan
untuk bumbu tumis sebesar 19,37 gram (Lampiran 1).
Gambar 2. Laju pertumbuhan total mikroba pada waktu kontak 0, 3, 6 dan
24 jam
Gambar 2 menunjukkan bahwa bumbu mentah tidak memiliki aktivitas
penghambatan karena laju pertumbuhan total mikroba pada waktu kontak
3, 6 dan 24 jam semakin meningkat.
Diduga bahwa total mikroba awal
bumbu rendang mentah mempengaruhi ha1 ini. Jumlah total mikroba awal
sebesar 6,7x104 kolonilg ditambah dengan penginokulasian kultur S. aureus
dan 5.
cereus masing-masing sebesar 1,1x10~dan 5,2x1o3 koloni/ml
ternyata menyebabkan antimikroba bumbu mentah tidak mampu dalam
menekan pertumbuhan sebagian mikroba tersebut.
Dibandingkan dengan bumbu mentah, antimikroba bumbu tumis relatif
lebih tinggi karena mampu menghambat pertumbuhan total mikroba selama
6 jam waktu kontak. Namun setelah 6 jam, laju pertumbuhannya menjadi
lebih cepat dibandingkan dengan laju pertumbuhan total mikroba pada
bumbu mentah. Nilai log Ntllog No pada bumbu rendang mentah setelah
kontak selama 24 jam adalah 1,10, sedangkan pada bumbu tumis sebesar
1,14.
Ini diduga disebabkan oleh penambahan minyak pada saat proses
penumisan. Menurut Branen (1993), lemak berpengaruh terhadap senyawa
antimikroba. Komponen antimikroba yang bersifat hidrofobik, sepelti asamasam lemak, cenderung untuk bergabung dengan komponen-komponen
yang mengandung lemak pada bahan pangan dan menjauhi kondisi yang
berair pada bahan pangan tersebut, padahal mikroba biasanya tumbuh pada
kondisi yang berair.
Selain itu adanya penambahan minyak tersebut, secara tidak
langsung dapat mengurangi efektivitas antimikroba. Klindwoith et al. (1979)
menyatakan bahwa minyak dapat mengurangi efektivitas antirnikroba dari
BHA (Butylated Hydroxyanisole) terhadap C. perfringens. Hal ini disebabkan
karena sebagian dari BHA terperangkap masuk ke dalam Fase minyak
sehingga tidak dapat berpenetrasi ke dalam sel bakteri.
Setelah burnbu tumis diberi perlakuan panas, ternyata aktivitas
antimikrobanya menjadi lebih baik. Pada perebusan 10 dan 20 menit laju
pertumbuhan total mikroba dapat ditekan bahkan sampai 24 jam waktu
kontak. Nilai log Nt/log No pada saat itu adalah 0,94. Perlakuan sterilisasi
menyebabkan total mikroba rneningkat selama 3 jam, kemudian menurun
pada saat 6 dan 24 jam waktu kontak mencapai nilai 1,OO.
Jadi secara
umum selama 24 jam, aktivitas antimikroba bumbu lebih baik dibandingkan
dengan jika bumbu tersebut hanya mengalami proses penurnisan. Diduga
bahwa komponen antimikroba bumbu, seperti fenol, setelah dipanaskan
terurai menjadi komponen-komponen yang lebih mudah berpenetrasi ke
dalam sel, sehingga menyebabkan kematian mikroba.
Selain itu diduga pula karena pada bumbu yang telah dipanaskan,
rnikroba awal yang semula masih terdapat dalam bumbu tumis menjadi
berkurang atau bahkan hilang sarna sekali, sehingga pada tahap uji tinggal
mikroba inokulan (S. aureus dan 5. cereus) saja yang berada dalam bumbu.
Hal ini menyebabkan antirnikroba bekerja lebih efektif pada jumlah mikroba
yang lebih sedikit.
2. Pengaruh pada Laju Pertumbuhan Staphylococcus aureus
S. aureus dipilih sebagai mikroba uji karena bakteri ini paling sering
ditemukan pada makanan matang (Buckle et al., 1978).
Kontaminasi
S. aureus pada rnakanan biasanya berasal dari tangan, rarnbut, kuku
ataupun kulit manusia yang kontak dengan makanan setelah makanan itu
rnengalarni proses pengolahan.
Hasil penelitian Martin (1942), Williams
(1946), Martin dan Whitehead (1949), Hare dan Thomas (1956) dan Peterson
(1963) di dalarn Bryan (1976) menunjukkan bahwa S. aureus merupakan
kontarninan yang sering terdapat pada kulit rnanusia.
Gambar 3 memperlihatkan bahwa penghambatan bumbu mentah
terhadap S. aureus lebih baik daripada bumbu turnis.
Laju perturnbuhan
S. aureus pada bumbu mentah semakin rnenurun dengan rnakin lamanya
waktu kontak. Sebaliknya pada bumbu tumis laju pertumbuhan semakin
meningkat. Perbedaan ini erat kaitannya dengan karakteristik S. aureus
yang lebih menyukai makanan yang telah dimasak dibandingkan dengan
rnakanan rnentah. Frazier dan Westhoff (1988) menyatakan bahwa dalam
bahan pangan mentah S. aureus berjumlah sangat sedikit dan selalu kalah
Gambar 3. Laju pertumbuhan S. aureus pada waktu kontak 0, 3,6 dan
24 jam
menekan laju pertumbuhan S. aureus tersebut. Menurut Bowles et al.
(1995), pemanasan ringan terhadap beberapa komponen flavor dapat
memperkuat aktivitas penghambatan S. aureus. Bahkan beberapa fenol
diduga masih bersifat aktif meskipun telah dipanaskan 12I0C selama 15
menit (Ruiz-Barba et al., 1991 di dalam Gould, 1995).
Selain itu nilai pH bumbu setelah perlakuan pemanasan yang berkisar
antara 4,6-4,7 (Lampiran 2) diduga mempengaruhi kemampuan antimikroba
dalam menghambat.
Gould (1995) menyatakan bahwa aktifitas fenol
dipengaruhi oleh nilai pH dan jenis mikroorganisrne uji. Aktivitas senyawa
fenol dapat meningkat dengan adanya beberapa faktor seperti substitusi alkil
dan halogen, semakin panjangnya rantai alifatik dan kondisi media yang
asam atau mempunyai nilai pH yang rendah (Hugo dan Russel, 1981).
Penelitian Tassou dan Nychas (1994) di dalam Gould (1995) menyatakan
bahwa penghambatan S. aureus oleh ekstrak fenol zaitun lebih tinggi pada
sampel yang memiliki pH 4-5.
3. Pengaruh pada Laju Pertumbuhan Bacillus cereus
B. cereus dipilih sebagai mikroba uji karena bakteri ini banyak
menimbulkan masalah serius dalam pengolahan makanan, khususnya di
tingkat rumah tangga.
Bakteri ini adalah bakteri berspora, dengan spora
yang tahan panas dan radiasi, sehingga dapat dipastikan tidak akan mati
oleh perlakuan pemanasan yang biasa dilakukan di rumah tangga.
5. cereus juga menjadi problem utama pada pangan olahan karena bakteri
ini lebih banyak berkembang biak pada makanan yang telah dimasak dan
disimpan pada suhu yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan optimum
(Gould dan Russel, 1991)
Aktivitas antimikroba pada bumbu tumis lebih efektif terhadap
B. cereus daripada bumbu mentah. Dapat dilihat pada Gambar 4 bahwa laju
pertumbuhan 5. cereus pada bumbu tumis mengalami penurunan sampai
24 jam waktu kontak. Bahkan penurunan laju ini cukup drastis dalam waktu
3 jam, dengan nilai log Ntllog No sebesar 0,88. Setelah 3 jam waktu kontak,
pertumbuhan menjadi cenderung statis hingga 24 jam waktu kontak.
Hal tersebut di atas disebabkan oleh pengaruh penumisan yang
menyeblabkan jumlah B. cereus awal pada bumbu tumis menjadi berkurang,
sehinggkt ketika ditambahkan kultur 5. cereus pada tahap uji, jumlah total
B. cere'us pada bumbu tumis lebih kecil dibandingkan pada bumbu mentah.
Tentunya antimikroba pada bumbu bekerja lebih efektif terhadap jumlah
mikroba yang lebih sedikit.
Garnbar 4. Laju pertumbuhan 0. cereus pada waktu kontak 0 , 3 , 6 dan
24 jam
Aktivitas antirnikroba burnbu tumis setelah diberi perlakuan panas
menjadi relatif lebih rendah. Meskipun begitu aktivitas antimikroba bumbu
rendang setelah pemanasan lanjut ini masih marnpu menekan perturnbuhan
0. cereus dengan mempertahankan jumlah mikroba. Setelah waktu kontak
3 jam laju pertumbuhan B.
cereus pada bumbu yang direbus selama 20
menit mengalami sedikit kenaikan dan kenaikan ini lebih tinggi dari perlakuan
yang lain. Setelah waktu kontak 6 jam, baik perlakuan perebusan 10 dan 20
rnenit maupun sterilisasi, komponen antirnikrobanya bersifat bakteristatik
terhadap 0.cereus.
Berkurangnya aktivitas antimikroba bumbu tumis setelah dipanaskan
diduga karena ada sebagian komponen aktif dalam rempah yaitu minyak
atsiri yang rnenguap selama pemanasan, sehingga kornponen yang
tertinggal tidak mampu rnenurunkan pertumbuhan B. cereus. Penguapan
tersebut diduga lebih banyak terjadi pada perlakuan perebusan selama 20
menit, sehingga menyebabkan nilai log NUlog No pada waktu kontak 24 jam
pada perlakuan perebusan 20 menit relatif lebih tinggi dari perlakuan yang
lain yaitu 1,05. Selain itu diduga pula karena karakteristik 8. cereus yang
merniliki sifat proteolitik (Fardiaz, 1992~),sehingga bakteri ini dapat lebih
mudah beradaptasi pada media campuran santan dan ekstrak daging yang
kaya akan protein.
Apabila ditinjau dari nilai pH, pH bumbu rendang pada berbagai
perlakuan berkisar antara 4,6-4,9 (Lampiran 2). Nilai ini tidak terlalu dapat
menghambat, karena B. cereus masih dapat tumbuh pada kisaran pH 4,9
sampai 9,3 (Fardiaz, 1992").
Apabila dibandingkan antara Gambar 3 dan 4, terlihat bahwa
pertumbuhan S. aureus dan 6. cereus menunjukkan pola yang berbeda.
Antimikroba pada bumbu rendang tumis marnpu menekan pertumbuhan
8. cereus, namun tidak mampu menekan pertumbuhan S. aureus. Pada
bumbu mentah dan bumbu yang diberi perlakuan panas (perebusan atau
sterilisasi), laju pertumbuhan S. aureus menjadi berkurang dan sebaliknya
laju pertumbuhan B. cereus stabil dan cenderung meningkat. Perbedaan
pola pertumbuhan ini dikarenakan oleh perbedaan karakteristik kedua bakteri
tersebut terhadap antimikroba. Hasil penelitian Shelef (1983), Conner dan
Beuchat (1984), Dewanti (1984) dan Thomas (1984) menunjukkan bahwa
tidak
semua
rempah-rempah dapat
menghambat atau
merangsang
pertumbuhan mikroba. Efek penghambatan atau perangsang pertumbuhan
mikroba oleh suatu jenis rempah-rempah bersifat khas terhadap suatu jenis
mikroba tertentu.
Selain itu perbedaan pola pertumbuhan kedua bakteri
tersebut kernungkinan terjadi pula karena S.
aureus merniliki pengamh
antagonis terhadap perturnbuhan Bacillus sp. (Fardiaz, 199Za)
Burnbu rendang yang digunakan dalarn penelitian ini memiliki
konsentrasi cabe merah sebesar 60%, yang menurut Edy (1998) rnerupakan
konsentrasi optimum dalam rnenghambat flora rnikroba sistem pangan dan
B. cereus. Meskipun cabe merah bukan rnerupakan satu-satunya bahan
yang efektif dalam burnbu rendang, namun karena konsentrasinya paling
tinggi yaitu 60%, rnaka diduga zat antirnikroba yang rnemiliki peran dorninan
dalam burnbu rendang adalah gugus vanilamid dalam kapsaisin cabe rnerah.
Gugus vanilamid merniliki gugus sikloheksana yang rnengandung hidroksil.
Menurut Pruthi (1980) gugus tersebut rnemiliki sifat antibakteri terhadap jenis
bakteri-bakteri teitentu.
Aktivitas antimikroba senyawa tersebut diduga
serupa dengan aktivitas fenol sebagai antibakteri, yaitu rnerusak dinding sel,
sitoplasma dan rnengkoagulasi protein sel bakteri (Prindle dan Wright, 1971).
Selain kapsaisin, senyawa alifatik disulfida pada bawang rnerah, alisin pada
bawang putih, kurkumin pada kunyit, limonen dan sitral pada daun jeruk purut
serta senyawa antirnikroba pada komponen rempah-rernpah lainnya bersifat
saling memperkuat efek penghambatan bumbu rendang terhadap rnikroba.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Perlakuan pemanasan yang berbeda pada bumbu rendang memberikan
pengaruh yang berbeda pula terhadap antimikroba bumbu dan mikroba yang
dapat dihambat. Dibandingkan dengan bumbu rendang rnentah, bumbu yang
sudah ditumis memiliki daya antimikroba yang lebih bagus terhadap
pertumbuhan B. cereus, namun tidak terhadap pertumbuhan total mikroba
maupun S. aureus.
Nilai log Nt/log No laju perturnbuhan B. cereus dalam
bumbu rendang turnis pada 24 jam waktu kontak adalah 0,87 dan dalam bumbu
rendang mentah adalah 1,03. Sedangkan untuk total mikroba dan S. aureus
dalam bumbu rendang tumis adalah 1,14 dan dalam bumbu rendang mentah
sebesar 1,10 dan 0,71.
Aktivitas antimikroba bumbu rendang turnis yang mengalami pemanasan
lanjut menjadi lebih baik dalam menghambat pertumbuhan total mikroba dan
S. aureus dengan nilai log Ntllog No yang berkisar antara 0,66-1,00, sedangkan
antimikroba ini hanya bersifat bakteristatik terhadap pertumbuhan B. cereus.
Terdapat pola pertumbuhan yang berbeda antara S.
aureus dengan
B. cereus pada setiap perlakuan. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan
karakteristik kedua bakteri tersebut terhadap antimikroba dan juga karena
S. aureus memiliki pengaruh antagonis terhadap Bacillus sp.
6 . SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas antimikroba
bumbu rendang selama penyimpanan, sehingga dapat diketahui waktu
penyimpanan maksimal yang tidak mengakibatkan kerusakan antimikroba
bumbu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khayat, M.A. dan G. Blank. 1985. Phenolic spice components sporostatics to
Bacillus subtilis. J. Food Sci. 50:971-974
Anonim. 1981. Daflar Komposisi Bahan Makanan.
Aksara. Jakarta.
Penerbit Bhratara Kaiya
Apriyantono, A,. D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, S. Yasni dan S. Budiyanto. 1989.
Penuntun Praktikum Analisa Pangan. IPB Press. Bogor.
Bowles, B.L., S.K. Sackitey dan A.C. Williams.
WRRC B124. J. Food Safe. $5337-347.
1995.
Staphylococcus aureus
Branen, A.L. 1993. Introduction to use of antimicrobials. Di dalam : A.L. Branen
dan P.M. Davidson (eds). Antimicrobial in Foods. 2"ded. Marcel Dekker Inc.
New York.
Biyan, F.L. 1976. Staphylococcus aureus. Di dalam : M.P. Defigueiredo dan D.F.
Splittstoesser (eds). Public Heath and spoilage Aspects. The AVI Publ. Co.
Inc. Westport, Connecticut.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1978. llmu Pangan.
H. Purnomo dan Adiono (Penterjemah). Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta.
Conner, D.E. dan L.R. Beuchat. 1984. Sensitivity of heat stressed yeast to essential
oils of plants. Appl. Environ. Microbiol. 47(2) : 229-233.
Dewanti, R. 1984. Pengaruh Bubuk Cabe Merah (Capsicum annum) terhadap
Pertumbuhan Beberapa Bakteri Penyebab Kerusakan Pangan. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Djarkasi. G.S.S. 1995. Studi Pengawetan Pasta Santan Kelapa. Tesis KPK iPB,
Unsrat, Manado.
Edy.
g998. Pengaruh Konsentrasi Cabai Merah (Capsicum annum L.) dalam
Bumbu Rendang Terhadap Pertumbuhan Mikroba.
Skripsi.
Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
J ~ l e y ,A.R. 1992. Toxic Bacterial of Food Poisoning. Di dalam : A.R. Eley (ed).
Microbiol Food Poisoning. Chapman and Hall. London.
Emmawati, A. 1998. Pengaruh Kandungan Picung dalam Bumbu Rendang
terhadap Aktivitas Antimikroba pada Sistem Pangan. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
J
Fardiaz, S. 1983. Kearnanan Pangan Jilid 1:Bakteriologi. Jurusan llrnu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Fardiaz, S. 1985. Mernpelajari Sifat Antimikroba dari Bubuk Rirnpang Kunyit dalarn
Usaha Pendayagunaannya Sebagai Bahan Pengawet Alarni pada Makanan.
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Bogor.
Fardiaz, S. 1989. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan
Gizi, IPB. Bogor.
Fardiaz, S. 1992". Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. PAU Pangan dan Gizi,
IPB. Bogor.
Fardiaz, S. 1992~.
Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fardiaz, S. 1996. Prinsip HACCP dalam lndustri Pangan. Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
dFrazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1988. Food Microbiology. 4thed. Mc Graw-Hill
Book Co. Inc. New York.
JGiffel, M. C., R.R Beurner, S. Leijendekkers dan F. M. Rornbouts. 1996. Incidence
of Bacillus cereus and Bacillus subtilis in foods in the Netherlands. J. Food
Microbiol. 13,53-58.
Gould, G.W. dan N.J. Russel. 1991. Major food poisoning and food spoilage
microorganisms. Di dalarn : G.W. Gould dan N.J. Russel (ed). Food
Preservatives. Blackie and Son Ltd. London.
Gould, G.W. 1995. New Methods of Food Preservatives. Blackie Academic and
Professional. London.
Hagenmeier, R. 1973: Aqueous processing of fresh coconut for recovery of oil and
coconut skim milk. J. Food Sci. 38516.
Harjono, K. 1992. Daya Antimikroba Bumbu Rendang terhadap Aktivitas Beberapa
Bakteri Entercipatogenik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Hitokoto, H. M. Satoshi, W. Tonoaki, S. Senzo dan K. Hiroshi. 1980. Inhibitory
effects of spices on growth and toxin production of toxigenic fungi. Appl. And
Environ. Microbiol. 39:818-822.
Hugo, W. B. dan A.D. Russel.
Scientifis Publ, Oxford.
1981. Pharmaceutical Microbiology. Blackwell
Jenie, B.S.L. 1990. Kerusakan Mikrobiologis Daging dan Hasil-hasil Perikanan.
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Klindworth, K.J., P.M. Davidson, C.J. Brekke dan A.L. Branen. 1979. Inhibition of
Closfridium perfringens by butylated hydroxyanisole. J. Food Sci. 44(2):564567.
Mainofri. 19
ores w b never 3iop lovinq ad prainq me
and Away5 qive me 'chicken m p for the mi'
( mma, pqa. my sister, Kathdim atd ail of my mojlem brothers ad sisters)
Verily, I love them b becase of
Allah
PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTIVITAS
ANTlMlKROBA PADA Sfaphylococcus aureus DAN Bacillus cereus
Oleh
ASlH KATRINA
F02495018
2000
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Asih Katrina.
F02495018.
PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG
TERHADAP AKTIVITAS ANTlMlKROBA PADA Sfaphylococcus aureus DAN
Bacillus cereus. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu. MS.
..
..
RINGKASAN
Rendang merupakan makanan tradisional yang berasal dari daerah Sumatra
Barat (Minangkabau). Makanan ini tidak hanya digemari di daerah asalnya, namun
juga telah dikenal dan digemari oleh sebagian masyarakat Indonesia karena
kekhasan rasa dan keawetannya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Edy (1998) dihasilkan bahwa bumbu
rendang yang memiliki efek penghambatan optimal adalah yang mengandung 60%
cabe merah. Namun belum diketahui apakah bumbu tersebut masih efektif bila telah
dipanaskan. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh
pemanasan, yaitu penurnisan (80°C selama 15 menit), perebusan bumbu tumis
(100°C) selama 10 dan 20 menit serta sterilisasi menggunakan otoklaf (121°C
selama 15 menit) terhadap aktivitas antimikroba bumbu pada bakteri penyebab
keracunan S. aureus dan B. cereus.
Penelitian ini menggunakan bumbu rendang yang dibuat sendiri menurut
formulasi Edy (1998), dengan konsentrasi cabe merah sebesar 60%. Bumbu
rendang dicampurkan dengan sistem pangan yang terdiri dari ekstrak daging dan
santan kelapa (l:lv/v) sebanyak 18% (bk). Campuran ini dikontakkan dengan
S. aureus dan B. cereus yang diuji ketahanannya terhadap bumbu. Pengamatan
dilakukan setiap 0, 3, 6 dan 24 jam waktu kontak, dengan cara menumbuhkannya
pada cawan dengan menggunakan media Plate Count Agar, Vogel Johnson Agar
dan Mannitol Egg Yolk Polymixin. Laju pertumbuhan bakteri dihitung dengan rumus
log Nulog No (Ntjumlah bakteri pada waktu t; No=jumlah bakteri pada waktu 0).
Analisis lain yang dilakukan adalah pengukuran pH, kadar air dan kondisi
mikrobiologi awal bumbu rendang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan yang berbeda
pada bumbu rendang memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap
antimikroba bumbu dan mikroba yang dapat dihambat. Dibandingkan dengan
bumbu rendang mentah, bumbu yang sudah ditumis memiliki daya antimikroba yang
lebih bagus terhadap pertumbuhan 8. cereus, namun tidak terhadap pertumbuhan
total mikroba maupun S. aureus. Nilai log Ntllog No laju pertumbuhan B. cereus
dalam bumbu rendang tumis pada 24 jam waktu kontak adalah 0,87, sedangkan
untuk total mikroba dan S. aureus adalah 1,14.
Aktivitas antimikroba bumbu rendang tumis yang mengalami pemanasan
lanjut menjadi lebih baik dalam menghambat pertumbuhan total mikroba dan
S. aureus dengan nilai log Ntllog No yang berkisar antara 0,66-1.00, sedangkan
antimikroba ini hanya bersifat bakteristatik terhadap pertumbuhan B. cereus, dengan
nilai log Ntllog No antara 0,97-1,05.
PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTIVITAS
ANTIMIKROBA PADA Staphylococcus aureus DAN Bacillus cereus
SKRlPSl
Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi
Fakuitas Teknologi Pertanian
lnstitut Pertanian Bogor
Oleh
ASlH KATRINA
F02495018
2000
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH PEMANASAN BUMBU RENDANG TERHADAP AKTlVlTAS
ANTIMlKROBA PADA Staphylococcus aureus DAN Bacillus cereus
SKRlPSl
Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi
Fakultas Teknologi Pertanian
lnstitut Pertanian Bogor
Oleh
ASlH KATRINA
Dilahirkan di Semarang, pada tanggal 25 September 1976
Tanggal lulus : 27 Desember 1999
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah melimpahkan
karunia, kasih sayang dan pertolongan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, lnstitut
Pertanian Bogor.
Skripsi ini berjudul Pengaruh Pemanasan Bumbu Rendang Terhadap Aktivitas
Antimikroba Pada Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus, yang ditulis
berdasarkan penelitian penulis yang berlangsung sepanjang bulan Maret sampai
Oktober 1999.
Selama penelitian, penulisan skripsi maupun selama studi, penulis banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak . Untuk itu penulis menyampaikan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS sebagai dosen pembimbing atas
bimbingan, saran dan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan
penelitian maupun penulisan skripsi
2. Ibu Alm. Prof. Dr. Ir. Srikandi Fardiaz, MSc. atas masukan dan saran
kepada penulis, khususnya pada awal penelitian
3. Ibu Dra. Suliantari, MS dan lr. Nanan Nurjannah sebagai dosen penguji
yang banyak memberi masukan kepada penulis
4. My beloved Ma, Pa dan dik Betty atas dukungan, kasih sayang dan doa
yang selalu tercurah kepada penulis
5. Pak Yayat, Ibu Rahman, Ibu Roikhan, Ibu Aan C. dan lbu Dharma atas
bantuan dan doa yang diberikan
6. Sista, Nanik, Mbak Husni dan Slamet yang tergabung dalam Tim Bumbu
Plus atas persaudaraan yang indah selama penelitian
7. Rekan-rekan seperjuangan di Lab. Mikrobiologi PAU, Tifah, Nani, Ical,
Icung, Fajar. Dini, Trisna, M' Dewi, Nawi, Boim, Pak Rizal, Bu iin, Bu Lilik
dan lain-lain atas kebersamaan yang sangat mengesankan
8. M' Ari, Bi Omah, M' Mar, T' Epa, Pak Taufik dan Pak Moel atas bantuan
yang tulus kepadti penulis
9. Seluruh rekan TPG 32, terutama Rida, Rina, Usan, Rida N, Wiga, Yan Ika,
Meity dan Golongan A atas persahabatan dan kekompakan dalam meniti
langkah selama studi
10. Seluruh penghuni Wisma Nabila, terutama M' Dyah, M' Nieng, M' Adha,
Uun dan lndul atas persaudaraan yang manis selama ini
11. Putri, Nadhira, Kintari, Fikar, Igfar, Irma, Mayang, Arin, Ega, Randha dan
Dara yang memberikan hiburan tersendiri bagi penulis
12. Teman kecilku, Lilis dan Rohani
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu
rnemberikan sernangat dan perhatian kepada penulis
Sernoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dan para pembacanya.
Bogor, 15 Desember 1999
penulis
DAFTAR IS1
Halaman
KATA PENGANTAR .....................................................................................
I
DAFTAR IS1.................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL
..........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
V
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
v
I.
PENDAHULUAN .................................................................................
1
II.
TINJAUANPUSTAKA .......................................................................
3
Ill.
A.
AKTlViTAS ANTIMIKROBA DAN MEKANISMENYA ..................
3
B.
AKTlVlTAS ANTIMIKROBA BUMBU RENDANG .......................
4
C.
PEMANASAN.............................................................................
5
D.
KARAKTERISTIK Staphylococcus aureus ..................................
6
E.
KARAKTERISTIK Bacillus cereus ..............................................
7
F.
SANTAN KELAPA DAN DAGING...............................................
9
METODOLOGI PENELlTlAN ..............................................................
11
A.
BAHAN....................................................................................... 11
B.
ALAT .......................................................................................... 12
C.
METODE................................................................................
13
1.
Persiapan Bumbu Rendang dan Sistem Pangan...............
13
2.
Analisis Data Dasar Bumbu.............................................
14
3.
Penentuan Aktivitas Antirnikroba Bumbu Rendang
dengan Metode Kontak ...................................................
16
IV.
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................
A.
KONDlSl AWAL BUMBU RENDANG .........................................
B.
PENGARUH PEMANASAN TERHADAP AKTlVlTAS
ANTlMlKROBA BUMBU RENDANG ..........................................
1.
Pengaruh pada Laju Perturnbuhan Total Mikroba .............
2.
Pengaruh pada Laju Perturnbuhan S. aureus ....................
3.
Pengaruh pada Laju Perturnbuhan B . cereus ...................
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................
A.
KESIMPULAN .............................................................................
B.
SARAN.......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.
Komposisi bumbu dasar untuk membuat bumbu rendang ..........
13
Tabel 2.
Komposisi rempah-rempah dalam pembuatan bumbu rendang..
13
Tabel 3.
Kadar air dan nilai pH bumbu rendang .......................................
18
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kondisi mikrobiologi awal bumbu rendang..................................
19
Gambar 2. Laju Pertumbuhan total mikroba.................................................
21
Gambar 3. Laju Pertumbuhan S. aureus ................................................... 25
Gambar 4. Laju Pertumbuhan 6.cereus
. ..........
27
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Larnpiran 1. Perhitungan konsentrasi bumbu rendang.................................
35
Lampiran 2. Nilai pH bumbu rendang dengan berbagai perlakuan ..............
36
Lampiran 3. Data awal kualitas mikrobiologi bumbu rendang mentah
dan tumis ................................................................................
36
Lampiran 4. Pertumbuhan total mikroba pada bumbu rendang mentah
dan bumbu rendang dengan pemanasan ................................ 37
Lampiran 5. Pertumbuhan S. aureus pada bumbu rendang mentah
dan burnbu rendang dengan pemanasan ................................ 38
Lampiran 6. Pertumbuhan 5 . cereus mikroba pada bumbu rendang mentah
dan bumbu rendang dengan pemanasan ................................
39
1.
PENDAHULUAN
Rendang merupakan makanan tradisional yang berasal dari daerah Sumatra
Barat (Minangkabau). Makanan ini tidak hanya digemari di daerah asalnya, namun
juga telah dikenal dan digemari oleh sebagian besar rnasyarakat Indonesia karena
kekhasan rasa dan keawetannya. Pada umumnya rendang dibuat dari bahan utama
daging sapi yang dimasak. bersamaan dengan campuran bumbu rempah-rempah
tertentu seperti cabe merah, bawang merah, bawang putih, lengkuas dan bumbu
lainnya. Berdasarkan lama pemasakan, produk rendang dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu rendang dengan lama pemasakan relatif lebih lama (lebih kering) dan
kalio dengan lama pemasakan lebih singkat sehingga kadar air kalio lebih tinggi
dibandingkan rendang. Hasil penelitian Mainofri (1990) terhadap produk rendang
daging sapi menunjukkan nilai kadar air sebesar 40,50-42,50%, kadar lemak
sebesar 23,90-24,17% (bk) dan nilai pH sebesar 5,59-5,63.
Bumbu
rendang
memiliki aktivitas
antimikroba
Konsentrasi cabai merah sebesar 20% (blv, bk)
yang
cukup
besar.
dalam bumbu rendang efektif
menghambat pertumbuhan flora mikroba maupun B. cereus dalam sistem pangan
selama 6 jam.
Perpanjangan waktu kontak hingga 24 jam menyebabkan
peningkatan jumlah mikroba dan hanya konsentrasi cabai merah sebesar 60% (blv.
bk) yang masih efektif menghambat (Edy, 1998). Bumbu
rendang
dengan
konsentrasi 20% (blv, bk) dapat menghambat pertumbuhan B. cereus selama
30 jam waktu kontak, sedangkan konsentrasi 10% (blv, bk)
hanya mampu
menghambat pertumbuhan B. cereus selama 9 jam (Harjono,1992).
Sejauh ini belum diketahui stabilitas daya antimikroba bumbu rendang dalam
sistem pangan terhadap pemanasan. Bahan pangan yang sudah dimasak atau
diolah dengan pernanasan apabila tercemar kembali akan mudah rusak. Seringkali
organisme turnbuh lebih baik pada bahan pangan yang telah dimasak dibandingkan
pada bahan pangan mentah karena zat-zat gizi tersedia lebih baik dan tekanan
persaingan dari rnikroorganisrne lain telah dikurangi (Buckle et a]., 7978).
Penelitian ini bertujuan untuk rnempelajari pengaruh pernanasan, yaitu
penurnisan (80°C selama 15 rnenit), perebusan (100°C) selarna 10 dan 20 menit
serta sterilisasi menggunakan otoklaf (121°C selarna 15 rnenit) pada burnbu rendang
terhadap aktivitas antimikroba burnbu pada bakteri penyebab keracunan B. cereus
dan S. aureus.
r1. TINJAUAN PUSTAKA
A. AKTlVlTAS ANTlMlKROBA DAN MEKANISMENYA
Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat
rnenghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Pelczar dan Reid, 1979).
Fardiaz (1985) rnenyatakan bahwa zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal
(mernbunuh bakteri), bakteristatik (rnenghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal
(rnembunuh kapang), fungistatik (mengharnbat pertumbuhan kapang) ataupun
germisidal (rnenghambat germinasi spora bakteri).
Berbagai jenis rempah diketahui rnempunyai sifat antirnikroba terhadap
berbagai jenis mikroba dengan efek penghambatan yang bersifat khas. Minyak
atsiri mustard sangat efektif dalarn menghambat perturnbuhan Saccharomyces
cereviseae, namun tidak efektif dalam rnenghambat sebagian besar bakteri.
Kayu manis dan cengkeh yang rnengandung sinarnaldehida dan eugenol
biasanya lebih bersifat bakteriostatik daripada rempah lainnya (Frazier dan
Westhoff, 1988). Beberapa senyawa kimia yang bersifat antimikroba rnenurut
Pelczar dan Reid (1979), antara lain fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen,
logam berat dan senyawanya, zat warna, senyawa amonium kuartener, asam,
basa, deterjen dan gas desinfektan seperti etilenoksida.
Daya antirnikroba rernpah-rempah tergantung pada satu atau beberapa
senyawa yang rnerupakan kornponen rninyak atsiri. Mungkin senyawa tersebut
umum terdapat pada beberapa rempah, atau hanya khas pada rempah tertentu.
Eugenol dari cengkeh, anetol dari adas dan timol dari thyme bersifat fungistatik
terhadap A. flavus dan A. versicolor (Hitokoto et al., 1980). Dilaporkan pula
bahwa eugenol, isoeugenol, ginger01 dan zingeron yang terdapat pada cengkeh
dan jahe bersifat sporostatik terhadap spora 8. subfilis (A1 Khayat dan Blank,
1985).
Senyawa fenol menyebabkan lisis pada sel
mikroba, sehingga
menyebabkan racun dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan kebocoran
metabolit esensial yang dibutuhkan oleh mikroba, kemudian setelah berada di
dalam sel, fenol akan merusak sistem kerja sel. Sedangkan senyawa fenolik
yang mempunyai berat molekul tinggi dapat menyebabkan inaktivasi enzim
esensial dalam sel (Prindle dan Wright, 1971)
Sedangkan menurut Pelczar dan Reid (1979) mekanisme penghambatan
pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikroba dapat berupa perusakan
dinding sel yang dapat rnengakibatkan lisis, atau penghambatan sintesis
komponennya, perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi
kebocoran zat nutrisi dari dalam sel, denaturasi protein sel dan perusakan sistem
metabolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler.
B. AKTlVlTAS ANTlMlKROBA BUMBU RENDANG
Bumbu rendang memiliki aktivitas antimikroba terhadap flora mikroba
yang terdapat pada ekstrak daging, santan serta campuran ekstrak daging dan
santan. Pengaruh bumbu rendang terhadap B. cereus lebih besar dibandingkan
dengan flora mikroba yang terdapat di dalam sistem pangan (Edy, 1998)
Hasil penelitian Harjono (1992) juga menunjukkan bahwa bumbu rendang
bersifat bakterisidal terhadap E. coli, S. typhimufium dan V. colerae pada
konsentrasi masing-masing 10, 5 dan 1%. Sifat bakteriostatik diperoleh pada
konsentrasi 5% untuk E. coli.
Pada burnbu yang telah disterilisasi (121°C
selarna 15 rnenit), daya antirnikrobanya telah hilang dan rnenyebabkan stirnulasi
pertumbuhan bakteri. Dernikian juga halnya jika burnbu dipanaskan. Bila burnbu
akan disirnpan dalarn refrigerator, rnaka hanya efektif bila penyirnpanan kurang
dari serninggu.
Burnbu rendang segar hasil olahan industri dengan konsentrasi 5% (blv,
bk) bersifat bakterisidal terhadap S. typhimurium, S. aureus, E. coli, 6. cereus
dan P. aeruginosa. Efek pengharnbatan burnbu rendang terhadap beberapa
bakteri yang diujikan diduga karena adanya aktivitas antirnikroba rernpahrernpah penyusun burnbu terutarna cabe rnerah yang rnerupakan komponen
terbesar dari burnbu rendang yaitu sekitar 75% (Triana, 1998)
Hasil penelitian Pulwaningsih (1998) menunjukkan bahwa burnbu opor,
ayarn goreng dan rendang dalarn bentuk burnbu sangrai instan dapat
rnengharnbat perturnbuhan 8. cereus pada setiap periode waktu kontak. Ketiga
burnbu tersebut dengan konsentrasi 10% (blv, bk) dapat bersifat bakterisidal
sarnpai waktu kontak 30 jam.
B. PEMANASAN
Kernarnpuan tahan panas rnikroorganisrne rnernpunyai peranan penting
dalarn rnenentukan tipe rnikroorganisrne rnana yang akhirnya banyak terdapat
setelah perlakuan pernanasan.
Suatu perlakuan pasteurisasi dengan panas
\
ringan (76°C selarna 30 rnenit) rnasih mernungkinkan jenis rnikroorganisme
terrnodurik seperti Micrococcus dan Streptococcus, juga pernbentuk spora dari
jenis Bacillus dan Clostridium tetap hidup, sedang pemanasan yang sedikit lebih
tinggi (80°C selama 1 menit) umumnya hanya rnernungkinkan mikroorganisme
pembentuk spora yang tinggal hidup. Bahan pangan yang sudah dimasak atau
diolah dengan pemanasan apabila tercernar kembali akan rnudah rusak.
-
Seringkali organisme tumbuh lebih baik pada bahan pangan yang telah dimasak
dibandingkan pada bahan pangan mentah karena zat-zat gizi tersedia lebih baik
dan tekanan persaingan dari mikroorganisme lain telah dikurangi (Buckle et al.,
1978)
Pendidihan atau kondensasi uap bertekanan rnempunyai kapasitas
transfer panas yang tinggi sehingga permukaan suhu pangan mencapai suhu air
dengan sangat cepat. Temperatur
makanan tidak pernah mencapai
suhu
pendidihan air. Proses pemanasan bertekanan berlangsung lebih cepat dan
kehilangan air lebih rendah daripada pendidihan biasa (Muller dan Tobin,1980).
D. KARAKTERISTIK Staphylococcus aureus
S. aureus merupakan bakteri berbentuk bulat yang terdapat dalam
bentuk tunggal, berpasangan, tetrad atau berkelompok seperti buah anggur.
Nama bakteri ini berasal dari bahasa latin "sfaphele" yang berarti anggur.
Bakteri ini mernbutuhkan nitrogen organik (asam amino) untuk pertumbuhannya
dan bersifat anaerobik fakultatif. Kebanyakan galur S. aureus bersifat patogen
dan dapat memproduksi enam jenis enterotoksin (A, 8, C1, C2, D dan E) yang
masing-masing memiliki tingkat toksisitas yang berbeda. Sebagian besar kasus
keracunan makanan disebabkan oleh enterotoksin tipe A (Frazier dan Westhoff,
1988).
S. aureus bersifat anaerobik fakultatif tetapi pertumbuhannya pada
keadaan anaerobik sangat lambat.
Suhu optimum untuk pertumbuhan
S aureus adalah 35-37°C dengan suhu minimum 6-7'C dan suhu maksimal
45,5"C.Bakteri ini dapat tumbuh pada pH 4,O-9,8dengan pH optimum 7,O-7,5,
sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran
usus.
S. aureus dapat menyebabkan intoksikasi dan infeksi seperti bisul,
pneumonia, mastitis paha hewan dan manusia (Fardiaz, 1983)
Secara umum, organisme ini tidak kuat bersaing dengan lainnya dan
akibatnya bakteri ini tidak mempunyai peran yang berarti pada bahan-bahan
panyan yang tidak dimasak.
Akan tetapi, dalam bahan pangan yang telah
dimasak atau diasin, dimana organisme-organisme yang ada telah rusak oleh
pemanasan atau pertumbuhannya terhambat oleh konsentrasi garam, sel-sel
S. aureus dapat terus berkembang mencapai tingkat yang membahayakan.
Keracunan karena bahan pangan yang tercemar Staphylococcus kebanyakan
berhubungan dengan produk bahan pangan yang telah dimasak terutama yang
dikelola oleh manusia seperti daging dan ayam yang dimasak (Buckle et al.,
1978).
E. KARAKTERISTIK Bacillus cereus
8. cereus adalah bakteri gram positif berbentuk batang, bergerak, dapat
membentuk spora, bersifat fakultatif anaerob dan tersebar secara luas dalam
tanah dan air.
Sampai-sampai akhir-akhir ini organisme tersebut tidak
digolongkan sebagai patogenik, akan tetapi sejumlah keracunan karena bahan
pangan yang berhubunyan dengan daginy dan nasi goreng ditemukan tercemar
oleh sel-sel B. cereus.
Kemampuan membentuk spora memungkinkan
mikroorganisme ini tetap hidup pada operasi pengolahan dengan pemanasan
(Buckle gt &., 1978).
B. cereus tumbuh pada suhu 10-48'C dan pH 4,9-9,3. Suhu optimum
yang diperlukan untuk pertumbuhannya berkisar antara 28-35°C dan pH
optimum 7,O-73. Bakteri ini memproduksi spora tahan panas dan radiasi, dan
tetap aktif setelah pemanasan selama 4 jam pada suhu 135°C (~ardiaz,1983).
Sebanyak 80% strain 6. cereus dapat memproduksi enterotoksin yang
disekresikan ke substrat selama pertumbuhan logaritmiknya.
Menurut Eley
(1992) ada dua jenis enterotoksin yang berkaitan dengan dua macam keracunan
yang berbeda, yaitu toksin emetik dan toksin diare. Toksin emetik adalah protein
tahan panas yang diproduksi selama pembentukan spora dan tahan pemanasan
pada suhu 121°C selama 90 menit. Gejala keracunan terjadi 1-6 jam setelah
mengkonsumsi makanan yang mengandung sel dan spora B. cereus dalam
jumlah besar, yaitu berupa mual, muntah dan kurang enak badan.
Bahan
pangan yang terkontaminasi toksin emetik ini adalah sereal, terutama nasi,
pasta, puding susu dan krim yang dipasteurisasi. Toksin diare diproduksi saat
germinasi spora pada saluran gastrointestinal manusia. Periode inkubasi adalah
8-16 jam, diikuti gejala sakit perut, kram dan diare encer, muntah-muntah,
kadang-kadang disertai demam. Bahan pangan yang mungkin terkena adalah
daging, sayur, sop, saus, sosis dan hidangan penutup (desert).
Giffel et al. (1996) melaporkan bahwa dari hasil penelitian pada berbagai
produk makanan di Belanda, seperti susu, tepung, produk fermentasi, produk
pasta, makanan Cina, cokelat, produk bakery, bahan penyegar dan rempahrempah, ditemukan bahwa dari 229 sampel,
109 (48%) di antaranya
terkontaminasi oleh 5. cereus dengan tingkat kontaminasi mencapai 10'-10~
CFUIml.
F. SANTAN KELAPA DAN DAGING
Santan kelapa merupakan emulsi minyak dalarn air yang berwarna putih,
diperoleh dengan cara memeras daging kelapa segar yang diparut atau
dihancurkan (Hagenmeier, 1973), atau dengan mengepres daging kelapa segar
(Djarkasi, 1995) dengan atau tanpa penambahan air.
Hasil ekstraksi santan
dipengaruhi oleh car pemerasannya. Dengan cara pemerasan tangan dapat
diekstrak santan sebanyak 52,9% (Dachlan, 1984 di dalam Mulia, 1995).
Santan merupakan produk pangan yang mengandung kadar air dan
lemak cukup tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroorganisme pembusuk
dan santan menjadi mudah rusak. Sementara itu upaya pembuatan santan awet
dilakukan dengan proses pemanasan suhu sterilisasi, yang dapat menimbulkan
beberapa kerusakan produk. Kerusakan tersebut antara lain pecahnya emulsi
santan, timbulnya aroma tengik dan perubahan warna menjadi lebih gelap
(Muiia, 1995).
Daging merupakan bahan pangan hewani yang kaya akan protein dan
mengandung susunan asam amino yang lengkap. Tingginya kandungan nutrisi
pada daging merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan mikroba.
Menurut Jenie (1990), daging sapi mengandung karbohidrat yang rendah dan
protein tinggi sehingga mikroflora yang rnenyerang daging sapi bersifat
proteolitik. Mikroorganisme yang merusak daging dapat berasal dari infeksi dan
ternak hidup dan kontaminasi daging postmortem (Soeparno,l992).
Mikroba
yang sering rnengkontarninasi daging dan produknya adalah Salmonella,
S. aureus, Closfridium perfringens, C. botulinum, Yersinia enferolitica, E. coli,
L. monocyfogenes dan B. cereus (Fardiaz, 1996)
Ill.
METODOLOGI PENELlTlAN
A. BAHAN
Rempah-rernpah yang digunakan terdiri dari bawang merah, bawang
putih, lengkuas, jahe, kemiri, cabe merah, keturnbar, kunyit, daun kunyit,
daun jeruk, serai d i n asarn kandis. Keseluruhan rempah-rempah tersebut
diperoleh dari Pasar Bogor dalam keadaan segar.
2. Kultur rnikroba
Kultur mikroba yang digunakan adalah S. aureus ATCC 007 dan
B. cereus ATTC 2186 yang diperoleh dari Labomtorium Mikrobiologi Pangan
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB. Bogor dalam bentuk agar miring.
3. Media
Media yang digunakan meliputi Plate Count Agar (PCA), Mannitol Egg
Yolk Polymixin Agar (MEYP), Nutrient Broth (NB) dan Nutrient Agar (NA)
yang berrnerk Oxoid, Vogel Johnson Agar (VJA) merk DlFCO dan kalium
telurit merk Merck.
PCA digunakan untuk menghitung total mikroba,
VJA + kalium telurit untuk S. aureus dan MEYP untuk B.
cereus. NB
digunakan untuk rnenyegarkan kultur, sedangkan NA untuk membuat kultur
stok dalam bentuk agar miring.
4. Sistem pangan
Sistem pangan terdiri dari campuran ekstrak daging dengan santan
kelapa. Daging yang digunakan adalah daging giling yang diperoleh dari
Supermarket. Bogor. Kelapa diperoleh dari pasar di Darmaga.
5. Bahan kimia
Bahan kimia yang digunakan adalah toluena, NaCl dan alkohol teknis.
Toluena digunakan untuk analisis kadar air, sedangkan NaCl untuk membuat
larutan pengencer.
6. Bahan lain
Bahan tambahan lain yaitu minyak nabati untuk menumis dan
aquades untuk membuat larutan.
B. ALAT
Alat yang dibutuhkan selama penelitian adalah hofplate, defrost plate,
penggiling bumbu, pipet volumetrik, erlenmeyer, gelas piala, shaker, pengaduk,
cawan petri, jarum ose, kompor, penggorengan, gelas ukur, inkubator, tabung
reaksi, timbangan, penangas air, labu Bidwell-Sterling, pemanas spirtus dan
termometer. Semua peralatan terdapat di PAU Pangan dan Gizi, IPB.
C. METODE
1. Persiapan Bumbu Rendang dan Sistem Pangan
a.
Bumbu rendang
Pembuatan bumbu rendang dilakukan dengan mempersiapkan
formula bumbu. Formula bumbu rendang ditentukan berdasarkan hasil
penelitian Edy (1998) yaitu formulasi optimum dalam menghambat
aktivitas mikroba, seperti disajikan pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Komposisi bumbu dasar untuk membuat bumbu rendang
Tabel 2. Komposisi rempah-rempah dalam pembuatan bumbu
rendang
-turnbar
Kunyit
Daun kunyit
Daun jeruk
Serai
Asam
Total
1.4
0.9
1.O
0.5
2.6
2.7
100
Dalam pembuatan bumbu rendang, pertama kali dilakukan
penggilingan rempah-rempah dengan rnenggunakan blender. Setelah
masing-masing rempah menjadi halus, dilakukan pencampuran sampai
homogen.
Bumbu tersebut dibagi menjadi dua.
Setengah bagian
ditumis (80°C selama 15 menit) dengan menggunakan minyak goreng
sebanyak 15% (blb) dan sebagian yang lain disimpan dalam keadaan
mentah. Penyimpanan dilakukan dengan mengemas bumbu rendang
tersebut dalam
plastik-plastik klip ukuran kecil, dengan isi masing-
masing 25 gram bumbu kernudian dimasukkan ke dalam freezer
(-30°C)
b.
Sistem pangan
Sistem pangan yang digunakan yaitu campuran ekstrak daging
dan santan dengan perbandingan 1:l (vh).
Ekstrak daging dibuat
dengan cara mencampur daging giling dengan air dengan perbandingan
1:10 (blv), sedangkan santan diekstrak dari kelapa parut yang dicampur
dengan air dengan perbandingan 1:2 (blv).
Selanjutnya carnpuran
ekstrak daging dan santan tadi disterilisasi pada suhu 121°C selama
15 menit untuk membunuh semua rnikroba yang ada dalam sistem
pangan.
Untuk setiap analisis sampel digunakan sistem pangan
sebanyak 50 ml yang dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml.
2. Analisis Data Dasar Bumbu Rendang
a. Analisis kadar air dengan metode distilasi (Apriyantono et al., 1989)
Analisis kadar air dengan metode distilasi biasa dilakukan untuk
sampel yang banyak mengandung bahan volatil, seperti rempah-rempah.
Dengan metode ini, air didistilasi dengan pelarut yang mempunyai berat
c. Penentuan mikroba awal bumbu rendang dengan hitungan cawan
(Fardiaz, 1989)
Sebanyak 5 gram bumbu dimasukkan ke dalam pengencer 45 ml.
Ini merupakan pengenceran
lo-'.
Selanjutnya dibuat pula tingkat
pengenceran yang lebih tinggi, kemudian ditumbuhkan ke dalam cawan
dengan
menggunakan media PCA, VJA
dan MEYP.
Cawan
diinkubasikan terbalik pada suhu 37°C selama 24-48 jam dan dihitung
jumlah koloni yang tumbuh.
3.
Penentuan Aktivitas Antimikroba
Bumbu Rendang dengan Metode
Kontak (Fardiaz, 1989)
Bumbu rendang tumis sebanyak 18% (bk, blv) dicampurkan dengan
sistem pangan di dalam erlenmeyer 250 ml kemudian dipanaskan
(perebusan 100°C selamalO menit, perebusan 100°C selama 20 menit,
sterilisasi otoklaf 12I0C selama 20 menit). Setelah itu diinokulasi dengan
kultur S. aureus dan B. cereus sebanyak masing-masing 1 ml. Kultur telah
dipersiapkan terlebih dahulu di dalam Nutrient Broth dan telah diinkubasi
pada 34'C selama 24 jam untuk S. aureus dan 48 jam untuk 6'. cereus.
Khusus untuk B. cereus dilakukan juga pemanasan 80°C selama 5 menit
setelah inkubasi untuk mengaktivasi sporanya.
Lalu diinkubasikan dalam
shaker pada suhu ruang selarna 24 jam. Perlakuan yang sama seperti di
atas juga dilakukan terhadap bumbu rendang mentah, tanpa diberi perlakuan
pemanasan.
Total mikroba, S. aureus, dan B. cerus dihitung setiap waktu kontak
0, 3, 6 dan 24 jam.
Pemupukan dilakukan pada 4 tingkat pengenceran
secara duplo. Media yang digunakan untuk menghitung total mikroba adalah
PCA, yang memungkinkan semua jenis mikroba dapat tumbuh. Media yang
digunakan untuk S. aureus adalah VJA yang merupakan media spesifik.
Pertumbuhan bakteri ini ditandai dengan koloni bulat yang benvarna hitam
yang dikelilingi oleh areal kuning.
Sedangkan untuk mengetahui jumlah
B. cereus digunakan media MEYP dimana pertumbuhan bakteri ini ditandai
dengan koloni yang berbentuk filamen berwarna hijau kebiruan yang
dikelilingi oleh areal biru.
Penghitungan dilakukan setelah cawan
diinkubasikan terbalik pada suhu 37' C selama 24-48 jam.
Selanjutnya untuk setiap bakteri dibuat k u ~ apertumbuhan relatif
yang dinyatakan dalam nilai log Nfflog No. Nilai Nt menunjukkan jumlah
koloni pada waktu t jam, sedangkan No menunjukkan jumlah koloni pada
waktu 0 jam. Nilai log Nfflog No sama dengan satu menunjukkan tidak ada
pengaruh, lebih kecil dari satu menunjukkan adanya penghambatan,
sedangkan lebih besar dari satu menunjukkan adanya rangsangan terhadap
pertumbuhan mikroba.
IV. HASlL DAN PEMBAHASAN
A. KONDlSl AWAL BUMBU RENDANG
Kondisi awal bumbu dinilai berdasarkan nilai pH, kadar air dan kualitas
mikrobiologinya. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kadar air bumbu mentah
lebih besar daripada 'bumbu tumis.
Hal ini terjadi karena pada proses
penurnisan terjadi penguapan air, sehingga secara fisik bumbu tumis menjadi
lebih kering.
Kadar air yang diperoleh ini digunakan dalam penentuan berat
kering bumbu rendang, untuk menghitung jumlah
bumbu yang akan
ditambahkan pada sistem pangan (Lampiran 1).
Tabel 3. Kadar air dan nilai pH bumbu rendang
I
tumis
I
5333
4,9
Dilihat dari nilai pH, bumbu rendang termasuk bahan pangan berasam
rendah karena memiliki nilai pH di atas 4,5 (Fardiaz, 1996). Makanan yang
memiliki pH di bawah 3,5 biasanya tidak dapat ditumbuhi bakteri, namun dapat
menjadi rusak karena pertumbuhan kapang dan kamir. Nilai pH optimum untuk
pertumbuhan bakteri adalah 65-7,5, untuk pertumbuhan kapang adalah 5-7 dan
untuk pertumbuhan kamir adalah 4-5 (~ardiaz~,
1992)
Kualitas mikrobiologi bumbu ditentukan dengan menghitung jumlah total
mikroba, S. aureus dan 5. cereus. Gambar 1 menunjukkan bahwa secara
umurn jumlah rnikroba bumbu mentah lebih tinggi dibandingkan dengan burnbu
tumis.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan kadar air keduanya.
Menurut
Silliker et al. (1980), kadar air produk pangan sangat mempengaruhi jumlah dan
ragam mikroflora yang dapat tumbuh. Semakin tinggi kadar air dan aktivitas air
(Aw) suatu produk pangan, jumlah dan ragam mikroflora yang tumbuh
cenderung rneningkat. Selain kadar air, ha1 lain yang berpengaruh pada jumlah
rnikroba awal burnbu adalah kondisi rernpah-rernpah penyusun burnbu, baik
sebelurn pengolahan, kondisi sanitasi selarna pengolahan dan penanganan,
serta kondisi setelah pengolahan.
V '
fatal mikroba
S. aureus
B. cereus
Garnbar 1. Kondisi mikrobioiogi awal burnbu rendang
Dari Gambar Idapat dilihat pula bahwa pada bumbu turnis, S. aureus
sudah tidak terdapat lagi karena suhu pada saat penurnisan mencapai 80°C,
sedangkan S. aureus sendiri bersifat mesofilik
dengan kisaran suhu
pertumbuhan antara 6,7 sarnpai 45,5'C (Fardiaz, 1983). Sementara 5. cereus
setelah penurnisan rnasih terdapat dalam burnbu meskipun jumlahnya
berkurang.
Menurut Buckle et al. (1978), kemampuan membentuk spora
memungkinkan mikroorganisme ini tetap hidup pada proses pengolahan dengan
pernanasan.
B. PENGARUH PEMANASAN TERHADAP AKTlVlTAS ANTlMlKROBA BUMBU
RENDANG
I. Pengaruh pada Laju Pertumbuhan Total Mikroba
Perlakuan pemanasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penumisan (80°C selama 15 menit) dengan menggunakan rninyak nabati
sebanyak 15% (bh), perebusan burnbu tumis (100°C) selama 10 dan 20
rnenit serta sterilisasi bumbu tumis (121°C selama 20 menit). Perebusan
dilakukan di atas hot plate, sedangkan sterilisasi dilakukan dengan
rnenggunakan otoklaf.
Perlakuan tersebut didasarkan pada kebiasaan
memasak pada umumnya yang menumis bumbu terlebih dahulu sebelurn
diolah lebih lanjut.
Adapun pemilihan variasi waktu diperkirakan bahwa
selama 10 dan 20 menit bumbu sudah matang, sedangkan perlakuan
sterilisasi merupakan model proses sterilisasi kornersial yang dilakukan pada
industri.
Bumbu yang ditarnbahkan dalam sistem pangan adalah sebesar
18% (blb, bk) yang merupakan konsentrasi yang biasa digunakan oleh rumah
tangga untuk memasak suatu makanan (Emmawati, 1998).
Pada skala
50 ml sistem pangan, ditambahkan bumbu mentah sebesar 45,23 gram dan
untuk bumbu tumis sebesar 19,37 gram (Lampiran 1).
Gambar 2. Laju pertumbuhan total mikroba pada waktu kontak 0, 3, 6 dan
24 jam
Gambar 2 menunjukkan bahwa bumbu mentah tidak memiliki aktivitas
penghambatan karena laju pertumbuhan total mikroba pada waktu kontak
3, 6 dan 24 jam semakin meningkat.
Diduga bahwa total mikroba awal
bumbu rendang mentah mempengaruhi ha1 ini. Jumlah total mikroba awal
sebesar 6,7x104 kolonilg ditambah dengan penginokulasian kultur S. aureus
dan 5.
cereus masing-masing sebesar 1,1x10~dan 5,2x1o3 koloni/ml
ternyata menyebabkan antimikroba bumbu mentah tidak mampu dalam
menekan pertumbuhan sebagian mikroba tersebut.
Dibandingkan dengan bumbu mentah, antimikroba bumbu tumis relatif
lebih tinggi karena mampu menghambat pertumbuhan total mikroba selama
6 jam waktu kontak. Namun setelah 6 jam, laju pertumbuhannya menjadi
lebih cepat dibandingkan dengan laju pertumbuhan total mikroba pada
bumbu mentah. Nilai log Ntllog No pada bumbu rendang mentah setelah
kontak selama 24 jam adalah 1,10, sedangkan pada bumbu tumis sebesar
1,14.
Ini diduga disebabkan oleh penambahan minyak pada saat proses
penumisan. Menurut Branen (1993), lemak berpengaruh terhadap senyawa
antimikroba. Komponen antimikroba yang bersifat hidrofobik, sepelti asamasam lemak, cenderung untuk bergabung dengan komponen-komponen
yang mengandung lemak pada bahan pangan dan menjauhi kondisi yang
berair pada bahan pangan tersebut, padahal mikroba biasanya tumbuh pada
kondisi yang berair.
Selain itu adanya penambahan minyak tersebut, secara tidak
langsung dapat mengurangi efektivitas antimikroba. Klindwoith et al. (1979)
menyatakan bahwa minyak dapat mengurangi efektivitas antirnikroba dari
BHA (Butylated Hydroxyanisole) terhadap C. perfringens. Hal ini disebabkan
karena sebagian dari BHA terperangkap masuk ke dalam Fase minyak
sehingga tidak dapat berpenetrasi ke dalam sel bakteri.
Setelah burnbu tumis diberi perlakuan panas, ternyata aktivitas
antimikrobanya menjadi lebih baik. Pada perebusan 10 dan 20 menit laju
pertumbuhan total mikroba dapat ditekan bahkan sampai 24 jam waktu
kontak. Nilai log Nt/log No pada saat itu adalah 0,94. Perlakuan sterilisasi
menyebabkan total mikroba rneningkat selama 3 jam, kemudian menurun
pada saat 6 dan 24 jam waktu kontak mencapai nilai 1,OO.
Jadi secara
umum selama 24 jam, aktivitas antimikroba bumbu lebih baik dibandingkan
dengan jika bumbu tersebut hanya mengalami proses penurnisan. Diduga
bahwa komponen antimikroba bumbu, seperti fenol, setelah dipanaskan
terurai menjadi komponen-komponen yang lebih mudah berpenetrasi ke
dalam sel, sehingga menyebabkan kematian mikroba.
Selain itu diduga pula karena pada bumbu yang telah dipanaskan,
rnikroba awal yang semula masih terdapat dalam bumbu tumis menjadi
berkurang atau bahkan hilang sarna sekali, sehingga pada tahap uji tinggal
mikroba inokulan (S. aureus dan 5. cereus) saja yang berada dalam bumbu.
Hal ini menyebabkan antirnikroba bekerja lebih efektif pada jumlah mikroba
yang lebih sedikit.
2. Pengaruh pada Laju Pertumbuhan Staphylococcus aureus
S. aureus dipilih sebagai mikroba uji karena bakteri ini paling sering
ditemukan pada makanan matang (Buckle et al., 1978).
Kontaminasi
S. aureus pada rnakanan biasanya berasal dari tangan, rarnbut, kuku
ataupun kulit manusia yang kontak dengan makanan setelah makanan itu
rnengalarni proses pengolahan.
Hasil penelitian Martin (1942), Williams
(1946), Martin dan Whitehead (1949), Hare dan Thomas (1956) dan Peterson
(1963) di dalarn Bryan (1976) menunjukkan bahwa S. aureus merupakan
kontarninan yang sering terdapat pada kulit rnanusia.
Gambar 3 memperlihatkan bahwa penghambatan bumbu mentah
terhadap S. aureus lebih baik daripada bumbu turnis.
Laju perturnbuhan
S. aureus pada bumbu mentah semakin rnenurun dengan rnakin lamanya
waktu kontak. Sebaliknya pada bumbu tumis laju pertumbuhan semakin
meningkat. Perbedaan ini erat kaitannya dengan karakteristik S. aureus
yang lebih menyukai makanan yang telah dimasak dibandingkan dengan
rnakanan rnentah. Frazier dan Westhoff (1988) menyatakan bahwa dalam
bahan pangan mentah S. aureus berjumlah sangat sedikit dan selalu kalah
Gambar 3. Laju pertumbuhan S. aureus pada waktu kontak 0, 3,6 dan
24 jam
menekan laju pertumbuhan S. aureus tersebut. Menurut Bowles et al.
(1995), pemanasan ringan terhadap beberapa komponen flavor dapat
memperkuat aktivitas penghambatan S. aureus. Bahkan beberapa fenol
diduga masih bersifat aktif meskipun telah dipanaskan 12I0C selama 15
menit (Ruiz-Barba et al., 1991 di dalam Gould, 1995).
Selain itu nilai pH bumbu setelah perlakuan pemanasan yang berkisar
antara 4,6-4,7 (Lampiran 2) diduga mempengaruhi kemampuan antimikroba
dalam menghambat.
Gould (1995) menyatakan bahwa aktifitas fenol
dipengaruhi oleh nilai pH dan jenis mikroorganisrne uji. Aktivitas senyawa
fenol dapat meningkat dengan adanya beberapa faktor seperti substitusi alkil
dan halogen, semakin panjangnya rantai alifatik dan kondisi media yang
asam atau mempunyai nilai pH yang rendah (Hugo dan Russel, 1981).
Penelitian Tassou dan Nychas (1994) di dalam Gould (1995) menyatakan
bahwa penghambatan S. aureus oleh ekstrak fenol zaitun lebih tinggi pada
sampel yang memiliki pH 4-5.
3. Pengaruh pada Laju Pertumbuhan Bacillus cereus
B. cereus dipilih sebagai mikroba uji karena bakteri ini banyak
menimbulkan masalah serius dalam pengolahan makanan, khususnya di
tingkat rumah tangga.
Bakteri ini adalah bakteri berspora, dengan spora
yang tahan panas dan radiasi, sehingga dapat dipastikan tidak akan mati
oleh perlakuan pemanasan yang biasa dilakukan di rumah tangga.
5. cereus juga menjadi problem utama pada pangan olahan karena bakteri
ini lebih banyak berkembang biak pada makanan yang telah dimasak dan
disimpan pada suhu yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan optimum
(Gould dan Russel, 1991)
Aktivitas antimikroba pada bumbu tumis lebih efektif terhadap
B. cereus daripada bumbu mentah. Dapat dilihat pada Gambar 4 bahwa laju
pertumbuhan 5. cereus pada bumbu tumis mengalami penurunan sampai
24 jam waktu kontak. Bahkan penurunan laju ini cukup drastis dalam waktu
3 jam, dengan nilai log Ntllog No sebesar 0,88. Setelah 3 jam waktu kontak,
pertumbuhan menjadi cenderung statis hingga 24 jam waktu kontak.
Hal tersebut di atas disebabkan oleh pengaruh penumisan yang
menyeblabkan jumlah B. cereus awal pada bumbu tumis menjadi berkurang,
sehinggkt ketika ditambahkan kultur 5. cereus pada tahap uji, jumlah total
B. cere'us pada bumbu tumis lebih kecil dibandingkan pada bumbu mentah.
Tentunya antimikroba pada bumbu bekerja lebih efektif terhadap jumlah
mikroba yang lebih sedikit.
Garnbar 4. Laju pertumbuhan 0. cereus pada waktu kontak 0 , 3 , 6 dan
24 jam
Aktivitas antirnikroba burnbu tumis setelah diberi perlakuan panas
menjadi relatif lebih rendah. Meskipun begitu aktivitas antimikroba bumbu
rendang setelah pemanasan lanjut ini masih marnpu menekan perturnbuhan
0. cereus dengan mempertahankan jumlah mikroba. Setelah waktu kontak
3 jam laju pertumbuhan B.
cereus pada bumbu yang direbus selama 20
menit mengalami sedikit kenaikan dan kenaikan ini lebih tinggi dari perlakuan
yang lain. Setelah waktu kontak 6 jam, baik perlakuan perebusan 10 dan 20
rnenit maupun sterilisasi, komponen antirnikrobanya bersifat bakteristatik
terhadap 0.cereus.
Berkurangnya aktivitas antimikroba bumbu tumis setelah dipanaskan
diduga karena ada sebagian komponen aktif dalam rempah yaitu minyak
atsiri yang rnenguap selama pemanasan, sehingga kornponen yang
tertinggal tidak mampu rnenurunkan pertumbuhan B. cereus. Penguapan
tersebut diduga lebih banyak terjadi pada perlakuan perebusan selama 20
menit, sehingga menyebabkan nilai log NUlog No pada waktu kontak 24 jam
pada perlakuan perebusan 20 menit relatif lebih tinggi dari perlakuan yang
lain yaitu 1,05. Selain itu diduga pula karena karakteristik 8. cereus yang
merniliki sifat proteolitik (Fardiaz, 1992~),sehingga bakteri ini dapat lebih
mudah beradaptasi pada media campuran santan dan ekstrak daging yang
kaya akan protein.
Apabila ditinjau dari nilai pH, pH bumbu rendang pada berbagai
perlakuan berkisar antara 4,6-4,9 (Lampiran 2). Nilai ini tidak terlalu dapat
menghambat, karena B. cereus masih dapat tumbuh pada kisaran pH 4,9
sampai 9,3 (Fardiaz, 1992").
Apabila dibandingkan antara Gambar 3 dan 4, terlihat bahwa
pertumbuhan S. aureus dan 6. cereus menunjukkan pola yang berbeda.
Antimikroba pada bumbu rendang tumis marnpu menekan pertumbuhan
8. cereus, namun tidak mampu menekan pertumbuhan S. aureus. Pada
bumbu mentah dan bumbu yang diberi perlakuan panas (perebusan atau
sterilisasi), laju pertumbuhan S. aureus menjadi berkurang dan sebaliknya
laju pertumbuhan B. cereus stabil dan cenderung meningkat. Perbedaan
pola pertumbuhan ini dikarenakan oleh perbedaan karakteristik kedua bakteri
tersebut terhadap antimikroba. Hasil penelitian Shelef (1983), Conner dan
Beuchat (1984), Dewanti (1984) dan Thomas (1984) menunjukkan bahwa
tidak
semua
rempah-rempah dapat
menghambat atau
merangsang
pertumbuhan mikroba. Efek penghambatan atau perangsang pertumbuhan
mikroba oleh suatu jenis rempah-rempah bersifat khas terhadap suatu jenis
mikroba tertentu.
Selain itu perbedaan pola pertumbuhan kedua bakteri
tersebut kernungkinan terjadi pula karena S.
aureus merniliki pengamh
antagonis terhadap perturnbuhan Bacillus sp. (Fardiaz, 199Za)
Burnbu rendang yang digunakan dalarn penelitian ini memiliki
konsentrasi cabe merah sebesar 60%, yang menurut Edy (1998) rnerupakan
konsentrasi optimum dalam rnenghambat flora rnikroba sistem pangan dan
B. cereus. Meskipun cabe merah bukan rnerupakan satu-satunya bahan
yang efektif dalam burnbu rendang, namun karena konsentrasinya paling
tinggi yaitu 60%, rnaka diduga zat antirnikroba yang rnemiliki peran dorninan
dalam burnbu rendang adalah gugus vanilamid dalam kapsaisin cabe rnerah.
Gugus vanilamid merniliki gugus sikloheksana yang rnengandung hidroksil.
Menurut Pruthi (1980) gugus tersebut rnemiliki sifat antibakteri terhadap jenis
bakteri-bakteri teitentu.
Aktivitas antimikroba senyawa tersebut diduga
serupa dengan aktivitas fenol sebagai antibakteri, yaitu rnerusak dinding sel,
sitoplasma dan rnengkoagulasi protein sel bakteri (Prindle dan Wright, 1971).
Selain kapsaisin, senyawa alifatik disulfida pada bawang rnerah, alisin pada
bawang putih, kurkumin pada kunyit, limonen dan sitral pada daun jeruk purut
serta senyawa antirnikroba pada komponen rempah-rernpah lainnya bersifat
saling memperkuat efek penghambatan bumbu rendang terhadap rnikroba.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Perlakuan pemanasan yang berbeda pada bumbu rendang memberikan
pengaruh yang berbeda pula terhadap antimikroba bumbu dan mikroba yang
dapat dihambat. Dibandingkan dengan bumbu rendang rnentah, bumbu yang
sudah ditumis memiliki daya antimikroba yang lebih bagus terhadap
pertumbuhan B. cereus, namun tidak terhadap pertumbuhan total mikroba
maupun S. aureus.
Nilai log Nt/log No laju perturnbuhan B. cereus dalam
bumbu rendang turnis pada 24 jam waktu kontak adalah 0,87 dan dalam bumbu
rendang mentah adalah 1,03. Sedangkan untuk total mikroba dan S. aureus
dalam bumbu rendang tumis adalah 1,14 dan dalam bumbu rendang mentah
sebesar 1,10 dan 0,71.
Aktivitas antimikroba bumbu rendang turnis yang mengalami pemanasan
lanjut menjadi lebih baik dalam menghambat pertumbuhan total mikroba dan
S. aureus dengan nilai log Ntllog No yang berkisar antara 0,66-1,00, sedangkan
antimikroba ini hanya bersifat bakteristatik terhadap pertumbuhan B. cereus.
Terdapat pola pertumbuhan yang berbeda antara S.
aureus dengan
B. cereus pada setiap perlakuan. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan
karakteristik kedua bakteri tersebut terhadap antimikroba dan juga karena
S. aureus memiliki pengaruh antagonis terhadap Bacillus sp.
6 . SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas antimikroba
bumbu rendang selama penyimpanan, sehingga dapat diketahui waktu
penyimpanan maksimal yang tidak mengakibatkan kerusakan antimikroba
bumbu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khayat, M.A. dan G. Blank. 1985. Phenolic spice components sporostatics to
Bacillus subtilis. J. Food Sci. 50:971-974
Anonim. 1981. Daflar Komposisi Bahan Makanan.
Aksara. Jakarta.
Penerbit Bhratara Kaiya
Apriyantono, A,. D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, S. Yasni dan S. Budiyanto. 1989.
Penuntun Praktikum Analisa Pangan. IPB Press. Bogor.
Bowles, B.L., S.K. Sackitey dan A.C. Williams.
WRRC B124. J. Food Safe. $5337-347.
1995.
Staphylococcus aureus
Branen, A.L. 1993. Introduction to use of antimicrobials. Di dalam : A.L. Branen
dan P.M. Davidson (eds). Antimicrobial in Foods. 2"ded. Marcel Dekker Inc.
New York.
Biyan, F.L. 1976. Staphylococcus aureus. Di dalam : M.P. Defigueiredo dan D.F.
Splittstoesser (eds). Public Heath and spoilage Aspects. The AVI Publ. Co.
Inc. Westport, Connecticut.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1978. llmu Pangan.
H. Purnomo dan Adiono (Penterjemah). Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta.
Conner, D.E. dan L.R. Beuchat. 1984. Sensitivity of heat stressed yeast to essential
oils of plants. Appl. Environ. Microbiol. 47(2) : 229-233.
Dewanti, R. 1984. Pengaruh Bubuk Cabe Merah (Capsicum annum) terhadap
Pertumbuhan Beberapa Bakteri Penyebab Kerusakan Pangan. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Djarkasi. G.S.S. 1995. Studi Pengawetan Pasta Santan Kelapa. Tesis KPK iPB,
Unsrat, Manado.
Edy.
g998. Pengaruh Konsentrasi Cabai Merah (Capsicum annum L.) dalam
Bumbu Rendang Terhadap Pertumbuhan Mikroba.
Skripsi.
Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
J ~ l e y ,A.R. 1992. Toxic Bacterial of Food Poisoning. Di dalam : A.R. Eley (ed).
Microbiol Food Poisoning. Chapman and Hall. London.
Emmawati, A. 1998. Pengaruh Kandungan Picung dalam Bumbu Rendang
terhadap Aktivitas Antimikroba pada Sistem Pangan. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
J
Fardiaz, S. 1983. Kearnanan Pangan Jilid 1:Bakteriologi. Jurusan llrnu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Fardiaz, S. 1985. Mernpelajari Sifat Antimikroba dari Bubuk Rirnpang Kunyit dalarn
Usaha Pendayagunaannya Sebagai Bahan Pengawet Alarni pada Makanan.
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Bogor.
Fardiaz, S. 1989. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan
Gizi, IPB. Bogor.
Fardiaz, S. 1992". Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. PAU Pangan dan Gizi,
IPB. Bogor.
Fardiaz, S. 1992~.
Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fardiaz, S. 1996. Prinsip HACCP dalam lndustri Pangan. Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
dFrazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1988. Food Microbiology. 4thed. Mc Graw-Hill
Book Co. Inc. New York.
JGiffel, M. C., R.R Beurner, S. Leijendekkers dan F. M. Rornbouts. 1996. Incidence
of Bacillus cereus and Bacillus subtilis in foods in the Netherlands. J. Food
Microbiol. 13,53-58.
Gould, G.W. dan N.J. Russel. 1991. Major food poisoning and food spoilage
microorganisms. Di dalarn : G.W. Gould dan N.J. Russel (ed). Food
Preservatives. Blackie and Son Ltd. London.
Gould, G.W. 1995. New Methods of Food Preservatives. Blackie Academic and
Professional. London.
Hagenmeier, R. 1973: Aqueous processing of fresh coconut for recovery of oil and
coconut skim milk. J. Food Sci. 38516.
Harjono, K. 1992. Daya Antimikroba Bumbu Rendang terhadap Aktivitas Beberapa
Bakteri Entercipatogenik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Hitokoto, H. M. Satoshi, W. Tonoaki, S. Senzo dan K. Hiroshi. 1980. Inhibitory
effects of spices on growth and toxin production of toxigenic fungi. Appl. And
Environ. Microbiol. 39:818-822.
Hugo, W. B. dan A.D. Russel.
Scientifis Publ, Oxford.
1981. Pharmaceutical Microbiology. Blackwell
Jenie, B.S.L. 1990. Kerusakan Mikrobiologis Daging dan Hasil-hasil Perikanan.
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.
Klindworth, K.J., P.M. Davidson, C.J. Brekke dan A.L. Branen. 1979. Inhibition of
Closfridium perfringens by butylated hydroxyanisole. J. Food Sci. 44(2):564567.
Mainofri. 19