Reproduksi Sosial Pemuda Tani dalam Era Globalisasi Pangan
3. Reproduksi Sosial Pemuda Tani dalam Era Globalisasi Pangan
Berbagai kebijakan pemerintah di era globalisasi dapat dilihat dalam konteks reproduksi petani dan pangan sebagai kebijakan pembangunan yang khas, di satu pihak memperkuat dan memperluas bahkan memperdalam keterikatan masyarakat kepada tanah ( re-peasantization) karena pembangunan infrastruktur pertanian meningkatkan curahan waktu petani ke sawah dan hasil panen meningkat 30 . Di
pihak yang lain, globalisasi memberikan lahan baru berupa off-farm employment (termasuk perikanan, sektor jasa dan perdagangan yang tumbuh) serta memperkenalkan sektor modern kapitalis yang padat modal yang memberikan ruang gerak bagi masyarakat untuk memperoleh penghasilan di luar pertanian ( de- peasantization) bahkan di dalam wilayah kecamatan itu sendiri.
Di samping itu, modernisasi melalui pendidikan di sekolah yang mempersiapkan siswa untuk masuk dalam sektor modern di luar pertanian terutama
yang bersifat kapitalis dan tumbuh di perkotaan 31 memberikan ruang bagi industri untuk mendapatkan buruh murah. Sementara petani yang telah terpapar
modernisasi (melalui pendidikan sekolah dan program KB) menjual hasil taninya yang telah ditekan oleh pasar untuk membiayai anaknya yang jumlahnya sedikit
29 Kabupaten Cilacap dalam angka 30 termasuk perbaikan irigasi, program intensifikasi dan ekstensifikasi, serta diversifikasi pertanian
yang mengarahkan petani untuk menanam berbagai jenis tanaman 31 meskipun saat ini, pembangunan pabrik sudah mulai berada disekitaran desa yang mengarahkan petani untuk menanam berbagai jenis tanaman 31 meskipun saat ini, pembangunan pabrik sudah mulai berada disekitaran desa
Lebih dari itu, pada akhir masa pemerintahan Orde Baru (Pelita IV dan V), pemerintah melangkah ke arah komodifikasi tenaga kerja dengan menempatkan peran swasta (PJTKI) dalam pengiriman tenaga kerja ke luar negeri ( wage labour). Tingginya minat pemuda untuk pergi menjadi TKI menyebabkan pusat-pusat pelatihan untuk TKI yang dimiliki oleh swasta menjadi berkembang di daerah Cilacap, seperti pendirian kursus bahasa korea, bank swasta yang memfasilitasi
remiten 32 , lembaga-lembaga pinjaman untuk modal ke luar negeri, dan juga tempat penukaran uang asing.
Terciptanya sumber-sumber pekerjaan yang beragam di desa dan masuknya remiten yang didapat dari TKI disinyalir telah menguatkan kegiatan pertanian sawah. Masyarakat menjadi memiliki modal yang lebih untuk menambah areal sawah dengan menyewa atau membeli lahan. Sifat kerja pertanian yang musiman memberikan pemuda kesempatan untuk tetap berada di sawah tetapi juga tetap mengerjakan pekerjaan off-farm lainnya. Pada studi kasus ini, pertanian skala kecil terbukti masih tetap ada atau tidak hilang meskipun terpapar globalisasi sejak masa
kolonial. Brookfield (2008) menyatakan bahwa keragaman aktivitas 33 ini merupakan salah satu bentuk strategi yang banyak dilakukan oleh petani kecil atau keluarga
untuk bertahan dan tetap mempertahankan aktivitas pertaniannya. Dengan kata lain, kegiatan off-farm telah membantu keluarga petani untuk tetap mempertahankan lahan dan produksi.
Ditengah keberagaman pekerjaan farm dan off-farm di daerah Cilacap, reproduksi pemuda tani masih dapat ditemukan. Pemuda menjadi petani di daerah ini berasal dari delapan trajektori (jalur) dengan karakteristik yang berbeda. Yaitu, menjadi petani karena keterpaksaan, menjadi petani untuk mengisi waktu, bertani sebagai pekerjaan pengaman, bertani sebagai pekerjaan tambahan, bertani sebagai pekerjaan substitusi, bertani sebagai pekerjaan komplemen, dan bertani sebagai oportuniti/kesempatan baik, serta menjadi petani sebagai pekerjaan ideal/ideologis.
1. Menjadi petani karena keterpaksaan atau tidak ada pilihan lain. “Keterpaksaan” nampak dari alasan dirinya menjadi petani, yaitu karena
keterbatasan (capitals) yaitu hanya mempunyai ijazah sekolah yang rendah, atau tidak mempunyai biaya melanjutkan kendati ingin melanjutkan sekolah. Sebagian
32 saat ini ada 7 bank swasta di Cilacap yang memfasilitasi calon TKI, termasuk untuk kursus Bahasa, pengurusan dokumen, dan intermediasi (perantara) masuknya remiten yang di dapat dari luar
negeri. 33 Keragaman aktivitas ini dalam tulisan Brookfield disebut sebagai pluriaktiviti negeri. 33 Keragaman aktivitas ini dalam tulisan Brookfield disebut sebagai pluriaktiviti
Pemuda bertani dengan alasan tidak berpendidikan, tidak punya ketrampilan lain dan alasan tanah dan warisan sumber kehidupan sebagai pusaka keluarga merupakan trajektori yang dapat memaksa dengan relatif permanen sehingga mereka bekerja sebagai petani dalam waktu lama. Alasan-alasan keterpaksaan yang lain nampaknya bersifat temporer, misalnya jika orangtua yang ditunggu sudah meninggal, yang terkena PHK mendapat kesempatan kerja baru, dan yang istrinya meninggal telah mendapatkan istri baru, dst mereka akan keluar dari bertani.
2. Menjadi petani untuk mengisi waktu Mereka yang trajektorinya menjadi petani karena mengisi waktu sebagian
besar adalah pemuda usia belasan yang baru selesai pendidikan atau mereka yang belum berkeluarga sehingga dalam masa transisi. Umumnya mereka mempunyai ekspektasi bahwa kelak pekerjaan yang diperoleh adalah bukan bertani. Mereka yang setelah selesai pendidikan sedang menjalani berbagai kursus ketrampilan dan bahasa, pegawai honorer seperti guru, penyuluh, dan sebagainya, yang menunggu pengangkatan tetap yang resmi, atau mereka yang menunggu panggilan setelah melakukan testing atau pendaftaran, atau mereka yang pulang bertani karena menunggu anggaran projek /termin yang baru turun, mereka semua memandang bertani sebagai “kegiatan mengisi waktu”. Sebagai petani, mereka menjalani profesi ini sebagai hal yang temporer, insidental saja, jauh dari bayangan petani sebagai identitas. Latar belakang orangtua atau keluarga mereka umumnya relatif mampu, relatif terpelajar atau berpengalaman off-farm.
3. Menjadi petani sebagai pekerjaan substitusi Habitus dan kapital mereka yang memandang bertani padi sebagai pekerjaan
pengganti umumnya adalah pekerja serabutan atau pekerja kebun karet dan peladang ubi, atau pekerja penambang pasir dan pasir besi, umumnya tidak mempunyai ketrampilan untuk memasuki sektor “modern” atau modal untuk memasuki sektor informal. Namun demikian, karena fields yang berubah –yaitu maraknya tanah sawah yang banyak disewakan atau peluang bagi hasil pada sawah yang ditinggal merantau-- mereka mengganti pekerjaannya dengan pekerjaan bertani padi.
4. Menjadi petani sebagai pekerjaan pengaman (safety net) Pada jaman sebelum pasar tenaga kerja fleksibel ( out-sourcing) dan de-
industrialisasi serta persaingan sektor informal lebih keras terjadi, pandangan atas industrialisasi serta persaingan sektor informal lebih keras terjadi, pandangan atas
5. Menjadi petani sebagai pekerjaan tambahan (suplemen) Berkembangnya sektor non-pertanian di perdesaan, seperti layanan
persekolahan dan kesehatan banyak menyerap tenaga terdidik. Di samping itu berkembangnya pasar, angkutan atau pertokoan lokal akibat akumulasi, serta warung, kios dan industri kecil yang berhasil --sebagiannya diakibatkan oleh remiten, telah menjadikan pekerjaan bertani sebagai tambahan. Istilah alfa-umega (tidak masuk kerja (alfa) karena upaya menambah gaji (umega) mewakili kelompok ini. Justru karena pendapatan yang relatif cukup dari pekerjaan utamanya, maka pertanian sering dijadikannya percobaan melalui inovasi. Namun demikian, kemungkinan untuk keluar dari pertanian sangat besar manakala pekerjaan utamanya yaitu di luar pertanian berkembang dan lebih menyita waktunya.
6. Menjadi petani sebagai oportuniti (kesempatan baik) Pekerjaan bertani padi menjadi kesempatan baik dialami oleh pihak, terutama
para buruh serabutan dan buruh tani yang dapat “naik kelas” menjadi petani penggarap setelah maraknya praktek penyewaan sawah atau bagi hasil dan mereka yang membandingkan kehidupannya ketika merantau yang dianggapnya kurang memberikan hasil dan memandang kesempatan bertani sebagai peluang untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Menjadi petani dianggap sebagai kesempatan baik oleh mereka yang keluar dari pekerjaan buruh di kota dan menemukan pertanian sawah dapat menguntungkan serta memandirikan yaitu dengan menjadi tuan, bisanya dengan melaksanakan praktek entepreneur pertanian. Hal yang menarik dari beberapa kasus dengan trajektori ini adalah sifat mereka yang kritis terhadap pasar dan (kolusinya dengan) pemerintah. Terjadi penolakan atas bibit padi asing ( Mappan 2 dari China) yang diperkenalkan pemerintah jika tidak diujicoba lebih dulu secara lokal: sewa lahan, asuransi jika gagal ditanggung pemerintah dan jika berhasil petani menerima hasilnya. Ujicoba yang berhasil mengantarkan “pembebasan petani lokal” dari bibit asing karena pembagian (sharing) hasil bibit unggul sesama petani. Jaringan (networking) yang dilakukan telah menimbulkan komunitas tani unggulan, yang menjangkau beberapa para buruh serabutan dan buruh tani yang dapat “naik kelas” menjadi petani penggarap setelah maraknya praktek penyewaan sawah atau bagi hasil dan mereka yang membandingkan kehidupannya ketika merantau yang dianggapnya kurang memberikan hasil dan memandang kesempatan bertani sebagai peluang untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Menjadi petani dianggap sebagai kesempatan baik oleh mereka yang keluar dari pekerjaan buruh di kota dan menemukan pertanian sawah dapat menguntungkan serta memandirikan yaitu dengan menjadi tuan, bisanya dengan melaksanakan praktek entepreneur pertanian. Hal yang menarik dari beberapa kasus dengan trajektori ini adalah sifat mereka yang kritis terhadap pasar dan (kolusinya dengan) pemerintah. Terjadi penolakan atas bibit padi asing ( Mappan 2 dari China) yang diperkenalkan pemerintah jika tidak diujicoba lebih dulu secara lokal: sewa lahan, asuransi jika gagal ditanggung pemerintah dan jika berhasil petani menerima hasilnya. Ujicoba yang berhasil mengantarkan “pembebasan petani lokal” dari bibit asing karena pembagian (sharing) hasil bibit unggul sesama petani. Jaringan (networking) yang dilakukan telah menimbulkan komunitas tani unggulan, yang menjangkau beberapa
7. Menjadi petani sebagai pekerjaan komplemen Mereka yang bertani sebagai komplemen dengan pekerjaan lain adalah
karena bertani dan pekerjaan non-farm yang digelutinya sama-sama penting dan saling melengkapi untuk meningkatkan kehidupan. Keduanya dimungkinkan pengerjaannya terutama karena pekerjaan bertani padi di sawah bersifat musiman (seasonal). Nelayan, petani hortikultura, petani yang merangkap pedagang /toko hasil bumi, bibit, pupuk dan obat-obatan tanaman dan penyewaan traktor merupakan unsur utama tipe ini. Umumnya melalui proses vertical accumulation dari usaha awalnya yaitu bertani sawah. Habitusnya adalah petani kapitalis yang mengakumulasi modal dengan memanfaatkan field yang berubah. Mereka relatif independen dan bertolak dari nilai dan jaringan sosial ekonomi dan pasar lokal, serta berperan penting dalam membangun relasi sosial dan menjembatani (dalam makna positif atau negatif) antara petani dan konsumen serta produsen pangan dan bibit unggul yang telah dilokalkan di daerah setempat ( lower economic circuit). Di samping itu, ia juga berperan menjembatani antara petani yang membutuhkan bibit unggul, pupuk, maupun obat baru, serta alat tangkap yang disediakan pemerintah dan pasar regional ( middle range economic circuit). Korporasi pangan asing yang ingin menyewa lahan setempat dianggapnya sebagai ancaman atas sumber kehidupannya.
8. Menjadi petani sebagai ideal. Petani muda penganut ajaran Salaf melihat bertani sebagai ideal atau
identitas. Ajaran ini melembaga pada Pesantren Salafiyah, antara lain di desa Danasri. Sejak jaman Belanda ajarannya resisten terhadap modernisasi, termasuk terhadap model sekolah, di antaranya bahkan sampai sekarang. Mereka berhidmat pada nabi yang berkisah tentang penduduk surga yang ingin bercocok tanam padahal di sana dibebaskan untuk melakukan apa pun, tetapi Alloh berfirman: “Tidak ada yang melebihi kamu wahai anak Adam”. Mereka sering disebut muslim tradisional, karena lebih memuliakan pertanian, bukan sektor lain, dan menghukumkan bertani sebagai wajib kifayah bagi setiap muslim.
Relasi sosial petani dibentuk melalui ajaran, seperti: bahwa bertani lebih mulia lagi jika profesi ini dijalankan dengan tangannya, wajib dari hasil pertaniannya berzakat (diutamakan natura, bukan uang), jika menggunakan tenaga pihak lain sebaiknya berbagi hasil (bukan buruh), dan terdapat pengharaman terhadap penyewaan tanah, monopoli hasil, dan penjualan dengan cara tebasan, ijon serta budidaya tanaman yang merusak kesehatan. Setiap orang berhak untuk Relasi sosial petani dibentuk melalui ajaran, seperti: bahwa bertani lebih mulia lagi jika profesi ini dijalankan dengan tangannya, wajib dari hasil pertaniannya berzakat (diutamakan natura, bukan uang), jika menggunakan tenaga pihak lain sebaiknya berbagi hasil (bukan buruh), dan terdapat pengharaman terhadap penyewaan tanah, monopoli hasil, dan penjualan dengan cara tebasan, ijon serta budidaya tanaman yang merusak kesehatan. Setiap orang berhak untuk
Delapan karakteristik pemuda tani di atas, masing-masing mempunyai penerimaan psikologis yang di dalamnya terdapat sikap dan orientasi sosial- ekonomi yang berbeda terhadap pekerjaan bertani, sehingga akan berpengaruh terhadap kemantapan dan kelanjutan generasi petani di masa depan. Penerimaan secara psikologis atas pekerjaan bertani, berikut orientasi sosial ekonominya yang berbeda-beda, tidak hanya akan berpengaruh secara berbeda pada kontribusinya terhadap produksi pangan, melainkan juga berbeda kondusifitasnya bagi nilai-nilai, sikap dan prilaku yang diperlukan untuk kedaulatan pangan, yaitu nilai otonomi, independensi dan komunalitas atau kooperatif.
Mereka yang bertani untuk mengisi waktu, bertani sebagai pekerjaan pengaman, bertani sebagai pekerjaan tambahan, menjadi petani karena keterpaksaan , dan bertani sebagai pekerjaan substitusi, nampak dari orientasi, aspirasi dan ekspektasinya, mereka akan keluar dari pekerjaannya sebagai petani manakala terbuka pekerjaan di luar pertanian, atau pekerjaan yang sedang digelutinya di luar pertanian membaik, atau hal yang memaksanya bertani, seperti orangtua yang harus ditunggui di desa tidak ada lagi. Kelompok petani muda ini berada dalam transisi untuk menemukan atau memantapkan pekerjaan di luar pertanian. Mengingat usianya, mereka umumnya relatif “ mobile” karena rendah biaya sosial-ekonominya dibanding kelompok yang lebih tua untuk berpindah secara geografis dan pekerjaan, sehingga propensity untuk keluar dari pekerjaan bertani relatif besar. Di pihak lain, tiga kategori terakhir, yaitu mereka yang bertani sebagai pekerjaan komplemen, dan bertani sebagai oportuniti/kesempatan baik, serta menjadi petani sebagai pekerjaan ideal/ideologis, propensity mereka untuk keluar dari pekerjaan bertani relatif kecil. Jika lima tipe di atas berhasil keluar, maka tiga tipe lainnya tidak tertutup kemungkinan akan mendapatkan “tambahan” lahan, namun akan kekurangan sumber sosial untuk semakin memantapkan diri sebagai petani.
Pada ketiga kategori terakhir ini sumber kehidupannya masing-masing sangat berkaitan dengan tanah dan bergantung pada petani yang lain, baik sebagai team kerja maupun jaringan sosial dan ekonomi, sehingga cenderung membutuhkan kerjasama. Ketiga tipe terakhir tidak mutually exclusive satu sama lain, kendati kepentingan atau penekanan orientasinya berbeda yaitu akumulasi, profit atau nilai. Namun demikian, ketiganya berkepentingan untuk bersama-sama menahan pihak luar agar tidak masuk dan –bukan “memutar capital untuk meningkatkan nilai tambah di dalam masyarakat” - melainkan mengeruk nilai tambah keluar, melalui ijon, tebasan, pemanenan dengan menggunakan combined- harvester, apalagi jika pihak asing diijinkan “mengambil” sumber utamanya, yaitu tanah. Pengusiran yang dilakukan oleh penduduk terhadap mesin panen combined- harvester yang diperkenalkan pemerintah dan disewa pengusaha beras luar daerah (Kudus) dan penolakan rencana investasi pangan pihak asing, boleh jadi akibat penduduk itu diprovokasi ketiga unsur ini. Ini menunjukkan adanya keinginan untuk otonomi dan kerjasama antar petani.
Dalam konteks kedaulatan pangan, reproduksi sosial pemuda tani seperti disebutkan sebelumnya masih menjadi diskusi. Pertama, apakah pemuda dapat bertahan dengan pola produksi yang otonom ditengah ekonomi-politik pertanian yang mengarah pada empire yang juga terjadi di pedesaan seperti ketergantungan benih, pupuk kimia, pestisida, mekanisasi pertanian, pengaturan harga gabah (dan beras) yang didominasi pasar, hingga ketersediaan tenaga kerja karena persaingan dengan kebijakan komodifikasi tenaga kerja yang terjadi di daerah Cilacap. Kedua, manfaat surplus dari pertanian tersebut kemudian dimanfaatkan hanya segilintir orang, seperti surplus yang dihasilkan oleh tenaga buruh upah pertanian hanya dapat dimanfaatkan oleh pemilik tanah yang besar, meningkatnya penggunaan mesin-mesin panen padi yang besar seperti combine harvester memberikan keuntungan hanya bagi pemilik mesin. Meningkatnya produksi padi di Cilacap hanya memberikan keuntungan bagi swasta yang mampu membeli gabah petani dalam jumlah besar dengan harga murah dan menjualnya ke kota dengan harga yang sangat tinggi. Berbagai kebijakan pemerintah dalam pertanian padi dan besarnya tekanan pasar dalam sistem pertanian menyebabkan kebijakan kedaulatan pangan jauh dari rumah-tangga petani.