SIDNEY DAN SISI LAIN DIRIKU 2007
SIDNEY DAN SISI LAIN DIRIKU 2007
iwa itu seperti gelombang di lautan, tak pernah diam, tak pernah tetap; demikian juga dengan aku. Lahir, besar, jatuh, dan merayap bangkit. Hidup memang tak dapat melanggar hukum alam, namun kita, sebagai manusia dapat
menjelajah semua kemungkinan yang pernah, sedang, dan akan ada. Manusia boleh terluka saat ini tapi di masa depan mungkin ia akan menjadi manusia yang paling berbahagia.
Aku membaca memoar Sidney Sheldon yang kusimpan di atas kursi di samping ranjangku. Memoar yang telah membuat aku bertikai dengan kakakku dan kemudian mencoba bunuh diri. Aku langsung terpukau pada bab pembukanya. Dalam bab pembuka itu Sheldon menceritakan bahwa ia juga pernah berniat untuk bunuh diri dengan obat, karena ia mengharapkan hidup yang lebih baik namun ia tak kunjung mendapatkannya. Sebelum melakukan niatnya itu, ia ketahuan ayahnya. Ayahnya itu mengajak jalan-jalan keluar dalam suasana cuaca yang dingin dan berangin. Ayahnya bertanya padanya, “Ceritakan kepadaku, mengapa kau ingin bunuh diri?” Dalam memoarnya, Sheldon menulis:
Dari mana aku mesti memulainya? Bagaimana menjelaskan kepadanya betapa aku merasa kesepian dan terjebak? Aku setengah mati menginginkan hidup yang lebih baik –tetapi tidak ada hidup yang lebih baik untukku. Aku ingin masa depan yang indah dan Dari mana aku mesti memulainya? Bagaimana menjelaskan kepadanya betapa aku merasa kesepian dan terjebak? Aku setengah mati menginginkan hidup yang lebih baik –tetapi tidak ada hidup yang lebih baik untukku. Aku ingin masa depan yang indah dan
Khayalanku adalah bisa kuliah, tetapi tidak ada uang untuk itu. Impianku adalah menjadi penulis ...namun yang kuterima sebagai balasan adalah penolakan tertulis. Akhirnya kuputuskan aku tidak bisa menghabiskan sisa hidupku dalam kesengsaraan yang menyesakkan ini.
Ayahku berkata kepadaku, “... dan begitu banyak tempat di dunia ini yang belum kaulihat...”
Ayah Sidney terus berkata tapi ia tidak mendengarkannya. Sampai akhirnya:
“Sidney, kau bilang kau ingin jadi penulis lebih dari segalanya di dunia ini.”
Tiba-tiba perhatianku teralih kepadanya. “Itu kemarin.”
“Bagaimana dengan besok?”
Aku menatapnya bingung. “Apa?”
“Kau tak tahu apa yang akan terjadi besok. Hidup seperti novel, kan? Penuh ketegangan. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi hingga kaubuka halamannya.”
“Aku tahu apa yang akan terjadi. Tidak ada apa-apa.”
“Kau tidak tahu pasti, kan? Setiap hari adalah halaman yang berbeda, Sidney, dan setiap hari bisa penuh kejutan. Kau tak pernah tahu apa yang akan ada selanjutnya sebelum kaubuka halaman itu.”
Aku memikirkannya. Kata-kata itu ada benarnya. Setiap hari esok memang seperti halaman dalam novel.
...”Kalau kau benar-benar ingin bunuh diri, Sidney, aku mengerti. Tapi aku tidak suka melihatmu terburu-buru menutup bukumu dan melewatkan kesenangan yang mungkin saja terjadi padamu di halaman selanjutnya – halaman yang akan kautulis.”
Jangan terburu-buru menutup bukumu... Apakah aku terburu-buru menutupnya? Sesuatu yang indah bisa saja terjadi besok. (Halaman 13-15)
Aku layak berterima kasih kepada Sidney, karena memoarnyalah yang telah membuatku bangkit kembali. Sidney punya kesamaan denganku, sama-sama miskin dan menderita gangguan jiwa (Sidney menderita gangguan bipolar walaupun pada mulanya ia tak tahu), dan pernah berniat atau mencoba bunuh diri dengan obat. Namun ia berhasil bangkit dan menjadi orang yang sangat kreatif dan dihargai dunia. Beberapa dari karya-karyanya menginspirasi banyak orang, termasuk aku, yang baru kembali dari jurang keputusasaan, dan tak punya teman selain buku Sidney itu. Nampaknya kami harus berterima kasih kepada ayah Sidney, karena berkat perumpamaannya yang bersahaja dan menyentuh, kami berhasil bangkit kembali, dan mulai merintis hidup dengan pandangan baru.