Sejarah perkembangan semen

20.2.2 Sejarah perkembangan semen

¾ Awal penggunaan semen

Penggunaan semen dimulai ketika manusia mulai mengenal konstruksi bangunan. Pada saat itu semen yang dipakai adalah semen non-hidrolik, yaitu slurry tanah liat sebagai lapisan tipis di antara susunan batubata. Kemudian pada fase berikutnya mulai ditambahkan kapur dalam campuran semen primitif ini. Dengan berkembang dan meluasnya pembuatan serta pemakaian batubata yang dibakar, maka manusia mulai melakukan penelitian untuk membuat mortar (adonan untuk mengikat batubata dalam bangunan) yang memiliki kekuatan lebih tinggi. Di Mesopotamia, mortar yang digunakan berbahan dasar bitumen (aspal), sedangkan orang Mesir menggunakan gips, dan yang paling banyak digunakan di seluruh dunia adalah kapur.

Tidak diketahui di mana pertama kali ditemukan bahwa kombinasi antara kapur non-hidrolik terhidrasi dan pozzolan dapat menghasilkan campuran hidrolik. Akan tetapi, pembuatan concrete (beton) dari campuran ini pertama kali dilakukan oleh bangsa Romawi. Pozzolan (Gambar 20.51) merupakan material yang bersifat seperti semen ketika dicampur dengan kalsium hidroksida. Material pozzolan banyak mengandung silika, ketika bereaksi dengan kalsium hidroksida akan membentuk kalsium silikat.

Gambar 20.51 Pozzolan

Bangsa Romawi menggunakan pozzolan alami (batu apung atau campuran tanah dan semen) dan pozzolan buatan (batubata dan gerabah) dalam concrete ini. Beberapa contoh bangunan yang dibuat dari concrete ini masih berdiri tegak sampai sekarang, seperti monolithic dome Pantheon di Roma (Gambar 20.52 dan 20.53). Akan tetapi penggunaan concrete di Eropa sempat menghilang di abad pertengahan.

Gambar 20.52 Monolithic dome Pantheon di Roma

Gambar 20.53 Pantheon di Roma – Italia (dari depan)

¾ Semen modern

Semen modern, yaitu semen hidrolik, mulai dikembangkan di awal Revolusi Industri (sekitar tahun 1700). Pengembangannya didasari oleh tiga kebutuhan utama, yaitu :

• Sistem hidrolik akan lebih memperkuat bangunan ketika hujan. • Mortar hidrolik diperlukan untuk konstruksi bangunan di pantai

yang selalu kontak dengan air laut. • Perkembangan beton yang lebih kuat.

Di Inggris, beton untuk bangunan dengan kualitas yang bagus menjadi sangat mahal pada masa itu. Berbagai gedung dibangun dari batubata (beton) hasil industri, kemudian dilapisi dengan stucco (semacam semen untuk pelapisan dinding dan langit-langit bangunan). Lihat Gambar 20.54 ! Material yang biasanya digunakan sebagai stucco adalah kapur (lime) hidrolik.

Gambar 20.54 Dekorasi dari stucco

Tetapi karena waktu kering semen ini sangat lambat, maka dikembangkanlah jenis baru. Di antaranya, yang paling terkenal adalah “semen Romawi” Parker yang dikembangkan oleh James Parker pada tahun 1780-an dan dipatenkan pada tahun 1796.

Gambar 20.55 James Parker

Meskipun namanya adalah semen Romawi, ternyata semen ini tidak seperti material yang digunakan oleh bangsa Romawi, tetapi merupakan semen natural yang terbuat dari septaria yang dibakar, yaitu bongkahan-bongkahan yang ditemukan dalam deposit tanah liat dan mengandung mineral clay dan kalsium karbonat. Hasil pembakaran septaria ini digiling menjadi serbuk halus kemudian Meskipun namanya adalah semen Romawi, ternyata semen ini tidak seperti material yang digunakan oleh bangsa Romawi, tetapi merupakan semen natural yang terbuat dari septaria yang dibakar, yaitu bongkahan-bongkahan yang ditemukan dalam deposit tanah liat dan mengandung mineral clay dan kalsium karbonat. Hasil pembakaran septaria ini digiling menjadi serbuk halus kemudian

John Smeaton memberikan kontribusi besar dalam pengembangan semen ketika merencanakan pembangunan Eddystone Lighthouse (1755-1759) di Selat Inggris (Gambar 20.57). Smeaton menyatakan bahwa sifat hidrolik dari kapur dipengaruhi langsung oleh kandungan clay dalam batu kapur yang digunakan.

Gambar 20.56 John Smeaton

Gambar 20.57 Eddystone Lighthouse

Prinsip yang sama digunakan oleh Louis Vicat di awal abad ke-

19. Vicat mengembangkan metode pembuatan semen artificial pada tahun 1817 dengan mengkombinasikan kapur dan clay menjadi campuran yang kemudian dibakar. Kemudian pada tahun 1822, James Frost berhasil membuat dan mematenkan “semen Inggris”. Sedangkan Joseph Aspdin berhasil mematenkan material serupa yang 19. Vicat mengembangkan metode pembuatan semen artificial pada tahun 1817 dengan mengkombinasikan kapur dan clay menjadi campuran yang kemudian dibakar. Kemudian pada tahun 1822, James Frost berhasil membuat dan mematenkan “semen Inggris”. Sedangkan Joseph Aspdin berhasil mematenkan material serupa yang

Gambar 20.58 Louis Vicat

Gambar 20.59 Joseph Aspdin

Gambar 20.60 Batu Portland Gambar 20.61 Tambang batuan Portland

Gambar 20.62 Batuan Portland di Mutton Cove – Portland

Semua produk-produk semen di atas tidak dapat dibandingkan dengan concrete pozzolan atau kapur, karena setelah dicampur dengan air maka harus segera dipakai. Kekuatannya pun rendah di awal terbentuk (perlu waktu berminggu-minggu sebelum material yang terbentuk dapat dipindahkan). Pembentukan kapur hidrolik, semen natural, dan semen buatan yang kuat tergantung pada

kandungan belite (dicalcium silicate, Ca 2 SiO 4 ), di mana kemampuan belite untuk memperkuat material sangat lambat. Material penyusun semen tersebut dibakar pada suhu 1250 °C, sehingga tidak ada

kandungan alite (tricalcium silicate, Ca 3 O.SiO 4 ) yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya kekuatan awal dalam semen modern. Semen pertama yang mengandung alite dibuat oleh William Aspdin, putra dari Joseph Aspdin, di awal 1840-an. Inilah yang sekarang kita sebut sebagai semen Portland “modern”.

Gambar 20.63 Clinker belite

Gambar 20.64 William Aspdin

Inovasi William Aspdin ini ternyata kurang menguntungkan bagi pengusaha semen, karena membutuhkan lebih banyak kapur dalam campuran, temperatur pembakarannya lebih tinggi (sehingga bahan bakar yang digunakan juga lebih banyak), dan clinker yang dihasilkan sangat keras sehingga dengan cepat membuat millstone menjadi aus. Pada saat itu, millstone merupakan satu-satunya metode grinding (penghalusan) yang ada. Clinker adalah material padat yang terbentuk pada tahap pembakaran semen, berupa bongkahan-bongkahan dengan diameter 3 - 25 mm.

Gambar 20.65 Clinker semen