KEPADATAN POPULASI NEMATODA ENTOMOPATOGEN PADA BERBAGAI MEDIA PAKAN BUATAN

(1)

i

KEPADATAN POPULASI NEMATODA ENTOMOPATOGEN

PADA BERBAGAI MEDIA PAKAN BUATAN

skripsi

disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Biologi

Oleh

Meinita Eka Haryani 4411410015

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

(3)

(4)

iv ABSTRAK

Haryani, ME. 2014. Kepadatan Populasi Nematoda Entomopatogen Pada Berbagai Media Pakan Buatan. Skripsi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Dr. Ir. Dyah Rini Indriyanti, M.P.

Di bidang pertanian, salah satu kendala bagi petani dalam peningkatan produksi pangan yaitu serangan hama. Tingginya ketergantungan insektisida sintetik membawa dampak negatif. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya untuk mengembangkan teknik pengendalian yang ramah lingkungan misalnya dengan pemanfaatan agens hayati nematoda entomopatogen (NEP). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan populasi NEP pada media pakan terbaik pada minggu keempat dan mengetahui kandungan nutrisi pada media terbaik pembiakan NEP.

Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perbedaan tujuh komponen media sebagai perlakuannya dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak lima kali pengulangan. Sampel dalam penelitian ini adalah NEP yang di ambil dari tanah menggunakan ulat hongkong sebagai perangkap lalu dibiakkan melalui proses white trap. Metode penelitian yang digunakan pembiakan secara in vivo. Pembiakan NEP secara in vitro dilakukan dengan pembuatan media ekstrak yeast (A), kuning telur (B), usus ayam (C), ekstrak yeast dan kuning telur (D), ekstrak yeast dan usus ayam (E), kuning telur dan usus ayam (F), ekstrak yeast, kuning telur dan usus ayam (G). Masing-masing bahan sebanyak 2 g dicampurkan dengan 0.2 g agar dan dilarutkan aquades sebanyak 30 ml lalu diserapkan ke dalam spon. Selanjutnya, media di autoklaf dengan suhu 1210C, setelah itu di diamkan hingga media dingin. Media selanjutnya di inokulasi dengan jumlah NEP awal sebanyak 1200 JI/ml. Data jumlah rata-rata populasi NEP yang diperoleh di analisa dengan uji ANOVA dengan taraf signifikasi 5%, dilanjutkan dengan uji Post Hoc dengan menggunakan uji Tukey. Data diperoleh dianalisis menggunakan software computer SPSS. Uji kandungan nutrisi karbohidrat, protein dan lemak pada media pakan terbaik dilakukan di BBTPPI yang dianalisis secara deskriptif.

Berdasarkan hasil kepadatan populasi NEP pada berbagai media pakan buatan diperoleh data perubahan pH, warna, aroma, dan bentuk media pakan NEP terjadi perubahan pada semua media antara kondisi awal dan akhir. Hasil populasi NEP pada minggu keempat secara berurutan menghasilkan media terbaik yaitu media B, D, F, G, C, E dan A dengan populasi NEP 7.236 JI/ml, 5.556 JI/ml, 2.904 JI/ml, 1.428 JI/ml, 72 JI/ml dan 0 JI/ml.

Hasil penelitian diperoleh media pakan buatan terbaik yaitu media kuning telur dengan populasi NEP 7.236 JI/ml. Hasil pengujian analisis kandungan nutrisi pada media kuning telur mengandung karbohidrat (0%), protein (0,97%) dan lemak (2,12%).


(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

judul: “Kepadatan Populasi Nematoda Entomopatogen pada Berbagai Media Pakan

Buatan”. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung Dr. Ir. Dyah Rini Indriyanti, M.P.

Dibalik terselesaikannya skripsi ini, Penulis dengan segala kerendahan hati ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan studi strata 1 Jurusan Biologi FMIPA Unnes.

2. Dekan FMIPA Universitas Negeri Semarang yang telah memberi ijin untuk melaksanakan penelitian.

3. Ketua Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. Ir. Dyah Rini Indriyanti, M.P sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

5. Prof. Dr. Ir. Priyantini Widiyaningrum, M.S dan Dr. Sri Ngabekti, MS. sebagai dosen penguji yang berkenan menelaah dan memberi masukan yang sangat berarti dalam penulisan skripsi ini.

6. Dr. Margareta Rahayuningsih, M.Si sebagai dosen wali yang sangat perhatian mengarahkan ke dalam kebaikan dan kelancaran selama perkuliahan.

7. Semua pihak di Laboratorium Jurusan Biologi Universitas Negeri Semarang yang sudah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini.

8. Ir. N. Kasmin, M.P dari LPHP Pati yang telah memberi pengarahan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh pengajar dan staf Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan bantuan dan ilmu pengetahuan.


(6)

vi

10. Kedua orangtuaku (Bapak Siswo Haryadi dan Ibu Budiyani) dan Adikku (Fajar Septyanto) yang selalu mendoakan tiada henti, mengajariku untuk bermimpi dan membuatnya nyata serta memberikan motivasi untuk tidak henti-hentinya membuat bangga mereka.

11. Keluarga besar Biologi angkatan 2010 yang telah memberi motivasi dan semangat.

12. Semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang telah berkenan membaca skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, 27 Agustus 2014


(7)

vii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Penegasan Istilah ... 3

D. Tujuan Penelitian ... 3

E. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Nematoda Entomopatogen ... 5

B. Morfologi Nematoda Entomopatogen ... 6

C. Biologi Nematoda Entomopatogen ... 7

D. Mekanisme Infeksi dan Perkembangbiakan NEP Secara In Vivo ... 8

E. Perkembangbiakan NEP Secara In Vitro ... 10

F. Nutrisi NEP ... 11

BAB III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13


(8)

viii

B. Alat dan Bahan Penelitian ... 13

C. Variabel Penelitian ... 13

D. Populasi dan Sampel ... 13

E. Rancangan Penelitian ... 14

F. Prosedur Penelitian ... 14

G. Data dan Metode Pengumpulan Data ... 17

H. Analisis Data ... 17

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 18

B. Pembahasan ... 26

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 34

B. Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35


(9)

ix DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Morfologi Steinernema spp ... 6

2. Morfologi Heterorhabditis spp ... 6

3. Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen ... 8

4. Mekanisme Infeksi Nematoda Entomopatogen ... 9

5. Perbanyakan Nematoda Secara In Vivo Menggunakan White trap ... 10

6. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Pada Berbagai Media Pakan ... 19

7. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan A (ekstrak yeast) ... 20

8. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan B (kuning telur) ... 20

9. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan C (usus ayam) ... 21

10. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan D (campuran media (A) ekstrak yeast dan (B) kuning telur) ... 22

11. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan E (campuran media (A) ekstrak yeast dan (B) usus ayam) ... 23

12. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan F (campuran media (B) kuning telur dan (C) usus ayam) ... 23

13. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan G (campuran media (A) ekstrak yeast, (B) kuning telur dan (C) usus ayam) ... 24


(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Komposisi Berbagai Media Pakan NEP ... 14 2. Perubahan Warna, Aroma dan Bentuk Media Pakan NEP ... 18 3. Pengukuran pH pada Media Pakan NEP ... 19

4. Analisis data “Homogeneous Subsets” uji Tukey pada minggu keempat


(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Pengukuran Intensitas Cahaya di Ruang Pembiakan NEP ... 40

2. Pengukuran Suhu dan Kelembaban di Ruang Pembiakan NEP ... 40

3. Kepadatan Populasi NEP Selama 28 Hari ... 41

4. Jumlah Rata-rata Kepadatan Populasi Pada Berbagai Media Pakan NEP ... 47

5. Hasil Uji Normalitas Kepadatan Populasi NEP Pada Berbagai Media Pakan Buatan ... 49

6. Hasil Uji ANOVA Kepadatan Populasi NEP Pada Berbagai Media Pakan Buatan ... 50

7. Hasil Uji Post Hoc menggunakan Uji Tukey ... 50

8. Hasil Uji Analisa Kandungan Nutrisi ... 52


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu kebutuhan bahan pokok penduduk Indonesia adalah pangan. Usaha untuk pengembangan pangan di Indonesia perlu di tingkatkan terus menerus dengan cara yang lebih intensif. Pengembangan di bidang pertanian, sering di jumpai berbagai kendala bagi petani dalam peningkatan produksi pangan seperti serangan hama. Akibat serangan hama ini, dapat menurunkan produktivitas tanaman.

Sampai saat ini upaya pengendalian secara konvensional seringkali di lakukan oleh kebanyakan petani di Indonesia yang lebih menekankan penggunaan insektisida sintetik. Tingginya ketergantungan terhadap insektisida sintetik membawa dampak negatif. Pengaruh penggunaan insektisida sintetik yang tidak berjadwal serta kurang tepat banyak menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan antara lain ketahanan serangga hama (resistensi), peledakan serangga hama sekunder (resurjensi), dan matinya musuh alami hama (Sucipto 2009). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya untuk mengembangkan teknik pengendalian yang ramah lingkungan misalnya dengan pemanfaatan agens hayati. Salah satu pengendalian hayati yaitu dengan memanfaatkan nematoda entomopatogen.

Nematoda adalah mikroorganisme berbentuk cacing berukuran 700-1200 mikron dan berada di dalam tanah (Nugrohorini 2010). Nematoda ini parasit yang potensial bagi serangga-serangga yang hidup di dalam tanah atau di atas permukaan tanah. Nematoda terutama efektif terhadap serangga yang hidup di dalam tanah dan habitat tersembunyi (Griffin et al. 2005).

Nematoda sudah digunakan selama beberapa dekade untuk banyak kontrol biologis serangga hama di seluruh dunia (Georgis et al. 2006). Pengendalian hayati dengan nematoda entomopatogen memberikan keuntungan yang paling utama yaitu tidak mencemari lingkungan dan biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan dengan penggunaan insektisida sintetik. Jenis-jenis nematoda yang


(13)

umumnya digunakan sebagai pengendali serangga hama yaitu Steinernema

spp. dan Heterorhabditis spp. Kedua jenis entomopatogen tersebut dapat digunakan untuk mengendalikan larva hama dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Hymenoptera dan Diptera (Wagiman et al. 2003).

Sebagai agensia pengendali hayati, nematoda mempunyai beberapa keunggulan yaitu daya bunuhnya sangat cepat, kisaran inangnya luas, aktif mencari inang sehingga efektif untuk mengendalikan serangga (Wartono dan Priatno 2009). Nematoda berpotensi untuk lebih dikembangkan karena tidak berdampak negatif yang menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Selain sebagai agen pengendali hayati, nematoda juga dapat diproduksi secara in vivo

dan in vitro (Mulyaningsih 2010).

Sampai saat ini, pemanfaatan NEP secara luas di lapangan masih terkendala oleh produksi massalnya. Meskipun produksi secara in vivo mudah dilakukan tetapi tidak ekonomis dalam skala komersial bila dibandingkan dengan aplikasi insektisida kimiawi. Media sintetik perbanyakan NEP secara in vitro memerlukan biaya yang mahal sehingga perlu adanya media alternatif dari bahan-bahan alami sehingga biaya produksi massal lebih murah (Sulistyanto 2005).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi media in vitro sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas NEP (Chaerani 2011). Perbaikan formula media masih diperlukan agar skala ekonomis untuk perbanyakan massal secara komersial dapat tercapai. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pembiakan NEP secara in vitro sangatlah diperlukan, untuk digunakan sebagai agens pengendalian hama yang aman terhadap lingkungan. Oleh sebab itu, perlu di lakukan penelitian mengenai media pakan perkembangbiakan nematoda entomopatogen agar diperoleh media yang sesuai dan praktis dipergunakan oleh petani.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahanya adalah sebagai berikut.


(14)

3

1. Pada media pakan mana yang menghasilkan kepadatan populasi NEP terbanyak pada minggu keempat ?

2. Bagaimana kandungan nutrisi ( karbohidrat, protein dan lemak ) pada media pembiakan NEP terbaik minggu keempat ?

C. Penegasan Istilah 1. Kepadatan Populasi

Kepadatan populasi adalah ukuran populasi yang dapat dinyatakan sebagai jumlah persatuan luas atau persatuan volume. Dalam penelitian ini kepadatan populasi NEP adalah jumlah NEP per volume tertentu yang diperoleh dari perkembangbiakan NEP dari berbagai media.

2. Nematoda Entomopatogen

Nematoda Entomopatogen (NEP) merupakan nematoda yang bersifat parasit terhadap serangga inang yang hidup di dalam tanah.

3. Media Pakan Buatan

Media pakan pada penelitian ini adalah modifikasi campuran berbagai media yang digunakan sebagai nutrisi NEP sehingga NEP dapat berkembangbiak.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui media pakan yang menghasilkan kepadatan populasi NEP terbanyak pada minggu keempat.

2. Untuk mengetahui kandungan nutrisi ( karbohidrat, protein dan lemak ) pada media pembiakan NEP terbaik minggu keempat.


(15)

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Memberikan informasi mengenai media terbaik untuk perbanyakan NEP. 2. Mengetahui teknik pembiakan NEP pada media pakan buatan dan teknik


(16)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi Nematoda Entomopatogen

Nematoda entompatogen termasuk dalam famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae (Poinar & Grewal 2012). Nematoda sampai saat ini telah diidentifikasi 43 spesies dari dua famili dan tiga genus. Tiga puluh tiga spesies dari genus Steinernema, satu spesies dari genus Neosteinernema, sembilan dari genus Heterorhabditis (Koppenhofer dan Fuzy 2003). Nematoda entomopatogen ini merupakan salah satu agens biokontrol yang paling penting pada serangga hama (Boszormeny et al. 2009).

Menurut Poinar (1990) klasifikasi Steinernema spp. adalah sebagai berikut. Kingdom : Animalia

Filum : Nematoda Kelas : Secernentea Ordo : Rhabditida Famili : Steinernematidae Genus : Steinernema Spesies : Steinernema spp.

Klasifikasi Heterorhabditis spp. adalah sebagai berikut. Kingdom : Animalia

Filum : Nematoda Kelas : Secernentea Ordo : Rhabditida

Famili : Heterorhabditidae Genus : Heterorhabditis Spesies : Heterorhabditis spp.


(17)

B. Morfologi Nematoda Entomopatogen

Tubuh nematoda pada umumnya berbentuk cacing, transparan, panjang dan agak silindris dan di selubungi oleh kutikula yang elastis. Nematoda merupakan mikroorganisme berbentuk cacing berukuran 700-1200 mikron dan berada di dalam tanah (Nugrohorini 2010). Ukuran nematoda sangat kecil sehingga tidak dapat di lihat dengan mata telanjang, hanya dapat di lihat dengan mikroskop.

Nematoda memiliki sistem syaraf, sistem pencernaan dan sistem reproduksi. Sistem pencernaan terdiri dari stoma, esophagus yang terdiri atas corpus (pro dan

metacorpus), isthmus dan basal bulbs (Rahim 2010). Nematoda ini mempunyai kulit tubuh yang halus, bentuk kepala tumpul, enam bibir masing-masing memiliki paila dan stomata yang dangkal (Mulyaningsih 2010). Morfologi NEP

Steinernema spp. dan Heterorhabditis spp. tercantum pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Morfologi Steinernema spp. (A) Bagian kepala, (B) Bagian posterior dari sisi ventral, (C) Bagian posterior (Adams and Nguyen 2002).

Gambar 2. Morfologi Heterorhabditis spp. (A) Bagian kepala, (B) Bursa kopulatrik (Adams and Nguyen 2002).


(18)

7

C. Biologi Nematoda Entomopatogen

Nematoda entomopatogen merupakan patogen serangga yang dapat menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit pada serangga hama. Penetrasi NEP di lakukan langsung melalui kutikula serangga dan lubang-lubang alami seperti spirakel, mulut, dan anus (Subagiya 2005). Nematoda membunuh serangga melalui bantuan dari simbiosis mutualisme dengan bakteri yang dibawa dalam saluran pencernaannya (Boemare 2002; Shapiro & Gaugler 2002).

Xenorhabdus sp dan Photorhabdus sp adalah bakteri gram negatif famili Enterobacteriaceae yang hidup bersimbiosis dengan nematoda Heterorhabditis

dan Steinernema (Tailliez et al. 2010). Kedua bakteri tersebut mampu membunuh serangga hama dengan waktu yang sangat cepat sekitar 24-48 jam karena mengeluarkan racun (toksin). Pada umumnya gejala serangga hama yang terserang oleh nematoda adalah adanya perubahan warna, tubuh menjadi lembek, dan bila di bedah jaringan menjadi cair tetapi tidak berbau (Sucipto 2008).

Nematoda entomopatogen mempunyai siklus hidup sederhana dan mempunyai stadia utama perkembangan dari telur, juvenil dan dewasa. Juvenil terbagi menjadi juvenil instar 1 (J1), juvenil instar 2 (J2), juvenil instar 3 (J3) dan juvenil instar 4 (J4). Siklus hidup nematoda mulai dari menginfeksi sampai muncul JI generasi baru berkisar 7-10 hari (Wagiman et al. 2003). JI meninggalkan bangkai inang 2-3 minggu setelah berkembang di dalam tubuh inang dan mencari inang yang baru (Ehlers et al. 2000). Pergantian instar di tandai dengan terjadinya pergantian kulit (molting) (Prabowo 2012).

Reproduksi NEP terus berlangsung sampai sumber nutrisi dalam tubuh inang habis. Juvenil infektif meninggalkan inang untuk mencari inang yang baru. Juvenil infektif dapat bertahan tanpa makanan selama beberapa bulan sampai mendapatkan inang yang baru (Adams and Nguyen 2002). Siklus hidup reproduksi NEP tercantum pada Gambar 3.


(19)

Gambar 3. Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen: G1 (Generasi 1), G2 (Generasi 2), J1 (Tahap Juvenil 1), J2 (Tahap Juvenil 2), J3 (Tahap Juvenil 3 Tidak Efektif), PI (Tahap Sebelum Juvenil Infektif), IJ (Juvenil Infektif), J4 (Tahap 4 Juvenil) (Wouts 1979 dalam Adams and Nguyen 2002).

D. Mekanisme Infeksi dan Perkembangbiakan NEP Secara In Vivo

Proses infeksi nematoda terhadap inang disebabkan adanya interaksi metabolistik antara nematoda patogen dengan bakteri. Bakteri ini terdapat dalam saluran pencernaan juvenile infektif (JI) (Salame & Glazer 2000). Nematoda menginfeksi inangnya dengan cara memasuki lubang-lubang alami seperti spirakel, mulut dan anus serta penetrasi langsung menembus kutikula. Mekanisme infeksi NEP tercantum pada Gambar 4. Infeksi nematoda sebagian besar melalui serangga inangnya yakni melalui saluran pencernaan selanjutnya menuju

hemocoel. Bakteri kemudian dilepaskan melalui anus yang menyebabkan keracunan dan kematian inang (Subagiya 2005).

Nematoda memakan sel bakteri dan jaringan inangnya. Tanpa bakteri simbion dalam serangga inang, nematoda tidak akan dapat bereproduksi karena bakteri simbion berfungsi sebagai makanan yang sangat diperlukan oleh nematoda (Ehlers 2001). Menurut Forst dan Clarke (2002), bakteri simbion memberikan protein anti imun untuk membantu nematoda mengatasi sistem pertahanan inang serta anti mikroba asing yang menjadi pesaingnya.

Sedikit nutrisi

Nutrisi berlimpah

G2 menghasilkan telur Penetrasi J3 ke J4

e

o G1 menghasilkan telur

Ventral


(20)

9

Bakteri dapat mensuplai nutrisi yang di butuhkan bagi nematoda untuk berkembang dengan cepat hingga dewasa, kemudian nematoda memasuki masa reproduksi dan menghasilkan telur. Semua nutrisi yang ada dalam tubuh inang akan menjadi sumber makanannya (Grewal & Ruisheng 2007). Nematoda akan berkembang menjadi generasi kedua dan ketiga yang akan keluar lagi dari bangkai inang dan mencari inang yang baru.

Gambar 4. Mekanisme Infeksi Nematoda Entomopatogen (Grewal 2005). Tubuh JI masih terbungkus dalam kutikula larva kedua yang berfungsi sebagai pelindung dari gangguan lingkungan fisik, mikroorganisme dan invertebrata yang lain. Fase infektif ini merupakan fase yang paling penting, sebab JI dapat aktif mencari serangga inang. Nematoda setelah menemukan inang, masuk kedalam tubuh serangga dengan cara melakukan penetrasi melalui lubang alami seperti mulut, anus, dan spirakel atau kutikula. Di dalam rongga tubuh serangga inang, nematoda melepaskan bakteri simbion yang menyebabkan kematian serangga inang dalam waktu 24-28 jam (Grewal 2005).

Fase reproduktif antara Steinernematidae dan Heterorhabditidae terdapat perbedaan. Genarasi pertama Steinernematidae yang dihasilkan di dalam tubuh serangga inang terdiri dari nematoda betina dan jantan, sedangkan generasi pertama dari Heterorhabditidae merupakan hermaprodit, dan generasi berikutnya menghasilkan nematoda betina dan jantan. Nematoda akan bereproduksi dua

JI menginfeksi larva serangga melalui lubang alami

Melepaskan bakteri simbion

Fase reproduktif: (Heterorhabditis merupakan hermaprodit, Steinernema terdiri dari jantan dan betina)

Bereproduksi 2-3 generasi JI meninggalkan

bangkai inang

1

2 4


(21)

sampai tiga generasi di dalam inang yang sama dan memproduksi generasi baru dalam waktu 7-10 hari. Setelah nutrisi habis JI akan keluar dari tubuh inang 2-3 minggu setelah berkembang di dalam tubuh inang dan mencari inang yang baru (Grewal 2005).

Gambar 5. Perbanyakan nematoda secara in vivo menggunakan white trap

(Sumber : Rahim 2010). E. Perkembangbiakan NEP Secara In Vitro

Pembiakan in vitro pada media semi padat merupakan terobosan nyata bioteknologi setelah diketahui adanya simbiosis mutualistik antara nematoda dengan bakteri untuk reproduksi. Pembiakan nematoda entomopatogen secara in vitro bertujuan untuk mendapatkan jumlah nematoda yang besar sehingga dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati hama (Chaerani 2011).

Berbagai jenis media yang dapat digunakan untuk pembiakan nematoda entomopatogen terus ditemukan baik berbentuk padat maupun cair. Perbanyakan nematoda yang dilakukan menggunakan media padat, dalam satu spon berukuran 1,5 cm3 terdapat nematoda berkisar antara 300.000-350.000 juvenil aktif yang di simpan pada suhu 4ºC (Nugrohorini dan Windriyanti 2009).

Salah satunya perusahaan multi nasional Bioys ( Palo Alto, CA, USA) yang pertama kali mengembangkan teknologi media cair dalam fermentor secara komersil dalam skala besar (Sulistyanto 2002).


(22)

11

F. Nutrisi NEP

Komposisi media berpengaruh untuk dapat menghasilkan nematoda. Prinsip dasar dari pembiakan nematoda secara in vitro adalah kandungan nutrisi media. Media harus memenuhi kebutuhan nutrisi dari nematoda dan bakteri seperti karbohidrat, protein dan lemak (Shapiro & Gaugler 2002).

Lemak merupakan cadangan energi utama bagi nematoda, baik yang patogenik terhadap serangga maupun yang parasitik terhadap tumbuhan untuk proses metabolisme, daya bertahan, dan menjelajah dalam pencarian inang (Yoo

et al. 2000). Kandungan lemak pada JI dapat mencapai 40% berat tubuhnya (Griffin et al. 2005). Manipulasi kandungan dan kualitas lemak nematoda melalui penambahan komponen tertentu pada media in vitro telah banyak dilakukan. NEP terbatas kemampuannya dalam mensintesis lemak sehingga mengandalkan bakteri simbion untuk mendapatkan lemak esensial (Chaerani 2011).

Profil lemak seluler bakteri simbiotik mirip dengan yang ada pada media tumbuhnya. Bakteri apabila ditumbuhkan pada media mengandung lemak asal serangga maka sel-selnya juga akan mengakumulasi dengan komposisi asam lemak yang menyerupai komposisi asam lemak pada serangga inang (Hatab & Gaugler 2001).

Penambahan sumber lemak kaya asam oleat seperti minyak zaitun atau yang kaya sterol seperti ekstrak hati hewan pada media pembiakan dapat mengoptimalkan kadar total lemak seluler bakteri. Minyak kanola, yang juga kaya asam lemak jenuh, dapat mengoptimalkan pertumbuhan Heterorhabditis bacteriophora sehingga populasi 2,8 x 105 JI/ml dapat dicapai hanya dalam waktu 8 hari (Yoo et al. 2000).

Nutrisi pendukung yang dibutuhkan bagi nematoda selain lemak yaitu karbohidrat dan protein. Nutrisi tambahan karbohidrat memiliki jumlah energi yang tidak mencukupi yang dihasilkan oleh karbohidrat dalam proses metabolisme maka nematoda akan mengambil energi dari protein (Almatsier 2002).


(23)

Protein berperan dalam pembentukan biomolekul sebagai sumber energi. Pada organisme yang sedang berkembangbiak, protein sangat penting dalam pembentukan sel baru. Oleh sebab itu, apabila organisme kekurangan protein maka organisme tersebut akan mengalami hambatan pertumbuhan (Maharani & Yusrin 2010). Protein berfungsi sebagai penyedia energi apabila kebutuhan energi tidak tercukupi dari konsumsi karbohidrat dan lemak (Kartasapoetra & Marsetyo 2003).

Ekstrak yeast, kuning telur dan usus ayam merupakan komposisi bahan yang mudah untuk didapatkan. Dari ketiga bahan tersebut mengandung nutrisi karbohidrat, lemak dan protein yang dibutuhkan bagi nematoda untuk perkembangbiakannnya. Media dimodifikasi dengan bahan-bahan yang mencakup kebutuhan nutrisi nematoda dan menjaga kondisi lingkungan media agar sesuai untuk kelangsungan hidup nematoda.

Menurut Reed (1991) dalam Ahmad (2005) menjelaskan bahwa komposisi kimia ekstrak yeast terdiri atas protein 50-52%, karbohidrat 30-37%, lemak 4-5% dan mineral 7-8%. Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air dengan kandungan bahan padat sebesar 50% dan terdiri atas 1/3 protein dan 2/3 lemak. Kuning telur tersusun atas 44.8% air, 17.7% protein, 35.2% lemak, 1.1 % karbohidrat dan 1.2% abu (Romanoff & Romanoff 1993). Menurut Baihaki et al.

(2010), nutrisi usus ayam memiliki komposisi yang hampir sama dengan komposisi nutrisi pada kulit sapi dan terdapatnya protein. Usus ayam tersusun atas 65.90% protein kolagen, 22.93% protein kasar, 5.60 lemak kasar, 3.44% kadar abu, 6.68% mineral dan 2.03% bahan lainnya.

Keberhasilan media in vitro sangat bergantung pada spesies NEP sehingga media harus dioptimisasi untuk tiap spesies (Ehlers & Shapiro 2005). Penggunaan media sebagai sumber makanan nematoda harus disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan agar diperoleh produksi yang optimal. Pemilihan bahan dasar media yang tepat akan menghasilkan komposisi yang berkualitas dan mampu memenuhi kebutuhan nutrisi nematoda.


(24)

13 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Laboratorium Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang pada bulan Februari – Juni 2014.

B.Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cetok, cangkul, handsprayer, plastik, nampan plastik, stoples, spet, gelas ukur, kertas saring, oven, mortar, blender, mikroskop, gelas benda, gelas plastik, spon, timbangan analitik, indikator lakmus, luxmeter, termohigrometer, autoklaf, botol kaca, handcounter, kamera digital dan alat tulis.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquadest, ulat hongkong (Tenebrio molitor), agar tanpa rasa, ekstrak yeast, usus ayam dan kuning telur. C.Variabel Penelitian

Variabel bebas : Berbagai komposisi media pakan buatan.

Variabel terikat : Kepadatan populasi NEP pada berbagai media pakan. Variabel kendali : Jumlah ulat hongkong dan jumlah NEP awal.

Variabel rambang : pH media pembiakan NEP, suhu dan kelembaban udara pada ruang pembiakan NEP.

D.Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nematoda entomopatogen yang terdapat dalam tanah. Sampel dalam penelitian ini adalah nematoda entomopatogen yang diambil dari tanah menggunakan ulat hongkong sebagai perangkap lalu di panen melalui proses white trap.


(25)

E.Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perbedaan tujuh komponen media sebagai perlakuannya dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak lima kali pengulangan. Adapun komponen media tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Berbagai Media Pakan NEP Komposisi

Perlakuan

Ekstrak yeast

Kuning telur

Usus ayam (bubuk)

Agar Aquadest Media A

2 g - - 0.2 g 30 ml

Media B

- 2 g - 0.2 g 30 ml

Media C

- - 2 g 0.2 g 30 ml

Media D

(campuran A+B) 0.5 g 1.5 g - 0.2 g 30 ml

Media E

(campuran A+C) 0.5 g - 1.5 g 0.2 g 30 ml

Media F

(campuran B+C) - 1.5 g 0.5 g 0.2 g 30 ml

Media G

(campuran A+B+C) 0.5 g 1 g 0.5 g 0.2 g 30 ml Keterangan:

1. Komposisi ekstrak yeast dimodifikasi dari Lunau et al. dalam Chaerani et al. (2012).

2. Komposisi media kuning telur dimodifikasi dari Han et al. dalam Chaerani et al. (2012).

3. Komposisi media usus ayam dimodifikasi dari Bedding dalam Chaerani et al. (2012).

F.Prosedur Penelitian

1. Penyiapan biakan nematoda

Sampel tanah di ambil dari tanah sampah di TPA Jatibarang dan tanah peternakan di Gunungpati. Tanah diambil sebanyak 200 gr dari kedalaman 20 cm dari permukaan tanah. Metode yang digunakan menggunakan metode


(26)

15

Nugrohorini (2010). Sampel tanah kemudian dimasukkan ke dalam gelas plastik atau stoples. Tanah yang kering perlu diberikan air sehingga kandungan air dalam tanah ± 60-70%. Tiap gelas diberi ulat hongkong sebanyak 20 ekor. Inkubasi dilakukan selama 4-5 hari sampai ulat hongkong mati.

2. Isolasi Nematoda Entomopatogen

Ulat hongkong yang mati dibersihkan dengan aquades, lalu di pindahkan ke tempat perangkap nematoda (white trap). Kertas saring di letakkan pada bagian dasar stoples dan di isi dengan aquades hingga menyentuh kertas saring kemudian ulat hongkong di letakkan di atas kertas saring. Hari ke 7-21 JI keluar dari bangkai ulat dan bergerak pindah ke dalam air. Pemanenan nematoda dilakukan ± dua minggu setelah warna kulit ulat hongkong yang ada dalam

white trap luruh bersama air.

Air dalam white trap diamati dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40x10. Penghitungan populasi NEP dilakukan dengan cara mengambil 0.05 ml kemudian diteteskan pada gelas benda yang telah diberi garis bantu untuk mempermudah penghitungan dengan menggunakan alat hitung handcounter. Air yang mengandung NEP digunakan untuk uji perlakuan pada berbagai media pakan buatan.

3. Pembuatan media sebagai media pembiakan nematoda

Tujuh media in vitro yang secara berurutan diberikan kode A, B, C, D, E, F dan G. Media A yaitu media ekstrak yeast yang digunakan dalam bentuk bubuk dan media B yaitu media kuning telur yang digunakan dalam bentuk cair. Media C yaitu media usus ayam yang sebelumnya dioven dengan suhu 700C sampai kadar airnya berkurang dan dihaluskan menggunakan mortar (blender). Selanjutnya, media D, E, F dan G merupakan campuran kombinasi dari ketiga media ekstrak yeast, kuning telur dan usus ayam. Kemudian masing-masing bahan media diserapkan kedalam potongan spon berukuran 6x1 cm yang sudah bercampur dengan agar 0.2 g dan aquadest 30 ml sebagai pelarutnya.


(27)

Selanjutnya, botol yang digunakan untuk pembiakan yaitu dengan menggunakan botol selai, di autoklaf dan spon yang telah berisi nutrisi NEP dimasukkan ke dalam botol. Setelah itu, botol dan media yang sudah di autoklaf kemudian di inokulasi dengan stok jumlah NEP awal sebanyak 1200 JI/ml. Jumlah populasi NEP awal di dapat dari pembiakan secara in vivo dengan menggunakan white trap.

4. Panen Nematoda Entomopatogen

Mengamati perkembangbiakan populasi NEP pada berbagai media pakan buatan pada tiap minggu. Populasi NEP dihitung per minggunya selama 28 hari. Perkembangbiakan NEP dilihat dengan cara memeras spon yang ada di dalam botol dengan menggunakan kuas, kemudian mengambil 0.05 ml diteteskan pada gelas benda yang telah diberi garis bantu. Selanjutnya, menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40x10 dan menggunakan alat hitung handcounter. Mengamati perkembangbiakan populasi NEP pada berbagai media pakan buatan diukur dengan parameter pendukung seperti pH, intensitas cahaya, suhu dan kelembaban di sekitar ruang pembiakan NEP.

Cara penghitungan populasi NEP :

Populasi NEP JI/ml = x Jumlah NEP (JI)

5. Analisa kandungan nutrisi media

Pengujian analisa kandungan nutrisi karbohidrat, protein dan lemak pada media terbaik dilakukan di Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri (BBTPPI), Semarang. Uji kandungan nutrisi media bertujuan untuk mengetahui kadar nutrisi terbaik yang berperan sebagai suplai makanan bagi perkembangbiakan nematoda.


(28)

17

G. Data dan Metode Pengumpulan Data

No Data Metode Pengumpulan Data

1. Jumlah JI

Pengumpulan data dilakukan dengan menghitung jumlah JI yang diperoleh pada masing-masing perlakuan media pakan buatan.

x Jumlah NEP

2.

Analisa kandungan nutrisi

Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan uji laboratorium pada media pakan buatan NEP yang terbaik.

- Karbohidrat : menggunakan uji Spektrofotometri. - Protein : menggunakan uji Kjeldahl.

- Lipid : menggunakan uji Soxhlet.

Dilakukan di Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri (BBTPPI), Semarang.

3. Parameter pendukung

Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengukuran menggunakan alat pengukur lingkungan.

- pH : menggunakan indikator lakmus. - Intensitas cahaya : menggunakan Lux meter.

- Suhudan kelembaban : menggunakan Termohigrometer.

Pengukuran dilakukan di Laboratorium SJH Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Negeri Semarang.

H. Analisis Data

Data kepadatan populasi NEP pada berbagai media pakan buatan dilakukan secara deskriptif.

Data hasil jumlah rata-rata kepadatan populasi NEP yang diperoleh dari perbanyakan media pakan buatan pada minggu keempat di analisis dengan Analisis Varians (ANOVA) satu arah. Jika hasil uji Anova signifikan, maka akan dilakukan uji Post Hoc dengan menggunakan uji Tukey. Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan software computer SPSS 20.

Pengujian kandungan nutrisi media pakan terbaik karbohidrat, protein dan lemak dilakukan di BBTPPI Semarang. Analisis data dilakukan secara deskriptif.


(29)

18 A. Hasil Penelitian

Hasil penelitian berbagai media pakan buatan secara in vitro diperoleh data kepadatan populasi NEP pada masing-masing media pakan sangat bervariasi. Data kualitatif yang diperoleh yaitu perubahan warna, aroma dan bentuk media pakan NEP (Tabel 2) dan pengukuran intensitas cahaya, suhu dan kelembaban di ruang pembiakan NEP (Lamp 1-2).

Tabel 2. Perubahan Warna, Aroma dan Bentuk Media Pakan NEP

Media Perubahan Warna Aroma Bentuk

Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir

A Kecoklatan Coklat

Kehitaman Segar

Berbau

Menyengat Semi padat Cair B Kuning

Muda

Kuning

Gelap Segar

Berbau

Busuk Semi padat Semi padat C Coklat

muda Kecoklatan Segar

Tidak

Berbau Semi padat Cair D Coklat

Gelap

Coklat

Kehitaman Segar

Bau Sangat

Menyengat Semi padat Semi padat E Coklat

Muda

Coklat

Kehitaman Segar

Sedikit

Berbau Semi padat Cair F Kuning

Kecoklatan

Coklat

Kehitaman Segar

Tidak

Berbau Semi padat Semi padat G Kuning

Muda

Coklat

Muda Segar

Tidak

Berbau Semi padat Semi padat Keterangan : A (ekstrak yeast); B (kuning telur); C (usus ayam); D (campuran

A+B); E (campuran A+C); F (campuran B+C); G (campuran A+B+C).

Berdasarkan Tabel 2 dapat dijelaskan bahwa terjadi perubahan warna, aroma dan bentuk pada semua media pakan NEP antara kondisi awal dan akhir pembiakan NEP.


(30)

19

Pengukuran pH pada masing-masing media pakan NEP tersaji pada Tabel 3. pH awal diukur sebelum media di autoklaf dan pengukuran pH akhir merupakan hasil media pada minggu terakhir.

Tabel 3. Pengukuran pH pada Media Pakan NEP

Media pH

Awal Akhir

A 5 7

B 5.5 7

C 6 7

D 5.5 7

E 5.5 7

F 6 7

G 5.5 7

Keterangan : A (ekstrak yeast); B (kuning telur); C (usus ayam); D (campuran A+B); E (campuran A+C); F (campuran B+C); G (campuran A+B+C).

Berdasarkan Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa terjadi perubahan pada semua media pembiakan NEP dengan pH awal 5-6 menjadi pH akhir 7.

Hasil jumlah rata-rata kepadatan populasi NEP pada berbagai media pakan buatan disajikan dalam bentuk histogram pada Gambar 6.

A B C D E F G Minggu I 468 10872 21660 14040 41652 16020 9156 Minggu II 420 31296 9012 20400 15024 24876 14568 Minggu III 0 13092 1068 9324 636 12936 7728 Minggu IV 0 7236 72 5556 0 2904 1428

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 Rata -r at a Ju ml ah N EP ( JI /ml ) Media Pakan

Kepadatan Populasi NEP Pada Berbagai Media Pakan Buatan


(31)

Keterangan : A (ekstrak yeast); B (kuning telur); C (usus ayam); D (campuran A+B); E (campuran A+C); F (campuran B+C); G (campuran A+B+C).

Gambar 6. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Pada Berbagai Media Pakan Gambar 6 menunjukkan bahwa kepadatan populasi NEP terjadi pada semua media pembiakan NEP dengan menghasilkan jumlah populasi NEP pada masing-masing media bervariasi.

Hasil penghitungan populasi NEP pada berbagai media pakan buatan pada masing-masing media pakan setiap minggunya disajikan dalam bentuk histogram pada Gambar 7, 8, 9, 10, 11, 12 dan 13.

Gambar 7. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan A (ekstrak yeast).

Gambar 7 menunjukkan bahwa populasi NEP pada media pakan A dengan komposisi ekstrak yeast pada minggu pertama dan kedua mengalami adanya penurunan jumlah populasi. Selanjutnya, pada minggu berikutnya minggu ketiga dan keempat, media ini tidak menggambarkan adanya populasi NEP yang masih hidup pada media.

1200 468 420 0 0 0 200 400 600 800 1000 1200 1400

0 1 2 3 4

R ata -r ata Ju m lah NE P ( JI /m l) Minggu Media Pakan A


(32)

21

Gambar 8. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan B (kuning telur). Media pakan B disajikan pada Gambar 8 yaitu media kuning telur menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan jumlah populasi NEP. Minggu pertama populasi NEP pada media kuning telur mengalami peningkatan jumlah populasi sampai dengan minggu kedua. Setelah mengalami peningkatan pada minggu kedua, pada minggu ketiga populasi NEP pada media ini mengalami penurunan jumlah populasi hingga minggu keempat. Akan tetapi, media kuning telur masih dapat mempertahankan jumlah populasi NEP lebih besar dari jumlah awal yang di inokulasi ke media.

Gambar 9. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan C (usus ayam).

1200 10872 31296 13092 7236 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000

0 1 2 3 4

R ata -r ata Ju m lah NE P ( JI /m l) Minggu Media Pakan B

1200 21660 9012 1068 72 0 5000 10000 15000 20000 25000

0 1 2 3 4

R ata -r ata Ju m lah NE P ( JI /m l) Minggu Media Pakan C


(33)

Media pakan C dapat dilihat pada Gambar 9 yaitu media usus ayam menunjukkan bahwa pada saat inokulasi jumlah NEP awal, pada minggu pertama mengalami peningkatan jumlah populasi NEP yang sangat tinggi. Berbeda dengan media pakan A yaitu ekstrak yeast (Gambar 7), media langsung mengalami penurunan jumlah populasi hingga populasi NEP yang masih hidup lebih sedikit. Media usus ayam pada minggu kedua banyak mengalami penurunan populasi. Minggu ketiga jumlah populasi NEP semakin menurun hingga minggu keempat dengan jumlah populasi lebih rendah dari jumlah populasi awal yang di inokulasikan ke media.

Gambar 10. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan D (campuran media (A) ekstrak yeast dan (B) kuning telur).

Populasi NEP pada media pakan D dapat dilihat pada Gambar 10 yaitu campuran dari media (A) ekstrak yeast dengan (B) kuning telur menunjukkan bahwa minggu pertama media ini mengalami peningkatan jumlah populasi yang cukup tinggi. Berbeda dengan media (A) ekstrak yeast apabila tidak di kombinasi dengan kuning telur, saat minggu pertama langsung mengalami adanya penurunan. Minggu kedua pada media ini, terlihat masih menunjukkan adanya jumlah peningkatan populasi yang lebih besar. Sama seperti halnya dengan media (B) kuning telur, media pakan campuran dari kedua bahan mengalami penurunan jumlah populasi hingga pada minggu keempat. Histogram yang terbentuk pada media pakan D memperlihatkan bahwa pada media ekstrak yeast lebih baik bila di

1200 14040 20400 9324 5556 0 5000 10000 15000 20000 25000

0 1 2 3 4

R ata -r ata Ju m lah NE P ( JI /m l) Minggu Media Pakan D


(34)

23

kombinasi dengan kuning telur yang mengalami peningkatan jumlah populasi sampai dengan minggu keempat dari jumlah populasi awal dibanding hanya media ekstrak yeast saja.

Gambar 11. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan E (campuran media (A) ekstrak yeast dan (C) usus ayam)

Gambar 11 menunjukkan bahwa media pakan E dengan campuran media (A) ekstrak yeast dan (C) usus ayam menunjukkan bahwa saat minggu pertama mengalami jumlah populasi yang sangat tinggi. Akan tetapi, sama seperti pada media usus ayam saja mengalami penurunan pada minggu kedua. Sehingga, populasi semakin menurun terjadi pada minggu ketiga dan berikutnya sampai memperlihatkan tidak adanya populasi NEP yang masih hidup.

Gambar 12. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan F (campuran media (B) kuning telur dan (C) usus ayam).

1200 41652 15024 636 0 0 10000 20000 30000 40000 50000

0 1 2 3 4

R ata -r ata Ju m lah NE P ( JI /m l) Minggu Media Pakan E

1200 16020 24876 12936 2904 0 10000 20000 30000

0 1 2 3 4

Ra ta -ra ta Ju m lah NEP (JI/m l) Minggu Media Pakan F


(35)

Media pakan F dapat dilihat pada Gambar 12 yaitu dengan campuran media (B) kuning telur dan (C) usus ayam menunjukkan bahwa minggu pertama media ini mengalami peningkatan populasi yang tinggi. Minggu kedua menunjukkan media dari minggu pertama mengalami peningkatan yang lebih tinggi. Di lihat dari media usus ayam saja, apabila di kombinasi dengan kuning telur memperlihatkan jumlah populasi yang lebih baik hingga minggu kedua. Selanjutnya, minggu ketiga media F mengalami penurunan dengan hasil tidak berbeda jauh dari minggu kedua dan semakin menurun jumlah populasi pada minggu keempat. Media dengan campuran kuning telur dan usus ayam lebih baik dalam mempertahankan jumlah populasi daripada media dengan campuran ekstrak yeast.

Gambar 13. Histogram Rata-rata Jumlah NEP Media Pakan G (campuran media (A) ekstrak yeast, (B) kuning telur dan (C) usus ayam). Populasi NEP pada Gambar 13 menunjukkan bahwa media pakan G dengan campuran ekstrak yeast, kuning telur dan usus ayam terlihat bahwa minggu pertama adanya peningkatan tidak jauh dari jumlah populasi awal. Pada minggu kedua mengalami peningkatan kembali dengan bertambahnya jumlah populasi hingga pada minggu ketiga dan keempat mengalami penurunan populasi.

1200 9156 14568 7728 1428 0 5000 10000 15000 20000

0 1 2 3 4

R ata -r ata Ju m lah NE P ( JI /m l) Minggu

Media Pakan G


(36)

25

Perbanyakan NEP pada berbagai media pakan selama empat minggu, menghasilkan data yang berbeda-beda tiap minggunya. Pada minggu pertama, enam media menunjukkan pertambahan populasi dan satu media mengalami penurunan populasi NEP. Minggu kedua, empat media menunjukkan pertambahan populasi dan tiga media mengalami penurunan populasi NEP. Minggu ketiga dan keempat, semua media mengalami penurunan populasi NEP. Kepadatan populasi NEP yang di analisis hanya pada minggu keempat dengan alasan media dapat mempertahankan perkembangbiakan jumlah populasi NEP saat nutrisi di dalam media semakin habis.

Data kepadatan populasi NEP antar media pada minggu keempat di analisis menggunakan uji normalitas (Shapiro-wilk) secara berurutan media B, C, D, F dan G menunjukkan nilai Sig. (P) sebesar 0.138; 0.054; 0.579; 0.837; 0.360 (Lamp 5). Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dinyatakan terdistribusi normal, karena nilai P > 0,05. Setelah memenuhi syarat dengan distribusi normal, dilakukan uji ANOVA satu arah. Hasil uji ANOVA satu arah dengan taraf 5% diperoleh nilai F = 10.168; df = 34 dengan menunjukkan nilai Sig. sebesar 0.00. Nilai Sig. yang diperoleh P < 0.05, maka H0 ditolak berarti populasi NEP pada

berbagai media pakan pada minggu keempat berbeda nyata (Lamp 6). Setelah uji ANOVA dilanjutkan uji lanjut menggunakan uji Tukey (Lamp 7).

Perbanyakan NEP pada berbagai media pakan selama empat minggu dilanjutkan analisis dengan menggunakan uji Tukey. Analisis data kepadatan populasi NEP pada media pembiakan NEP terbaik dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis data “Homogeneous Subset” uji Tukey data rata-rata jumlah

NEP masing-masing media pada minggu keempat adalah sebagai berikut.

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Media A 5 .00

Media E 5 .00

Media C 5 72.00

Media G 5 1428.00


(37)

Media D 5 5556.00 5556.00

Media B 5 7236.00

Sig. .309 .413 .849

Keterangan : Angka yang terdapat dalam “kolom subset” yang sama menunjukkan perlakuan media yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%, berbeda nyata apabila angka terdapat pada kolom subset yang berbeda. B. Pembahasan

Pembiakan nematoda entomopatogen dilakukan secara in vitro

menggunakan media pakan buatan yaitu ekstrak yeast, kuning telur dan usus ayam. Hasil pengamatan menunjukkan data populasi NEP pada masing-masing media pakan buatan sangat bervariasi. Data yang diperoleh pada Tabel 2. menunjukkan bahwa pada masing-masing media mengalami adanya perubahan warna, aroma maupun bentuk media pakan yang digunakan saat pembiakan NEP. Media pakan yang digunakan mengalami perubahan seperti perubahan warna yang sebelumnya berwarna kuning kecoklatan hingga menjadi kuning kehitaman. Proses ini dipengaruhi dengan lingkungan di dalam media yang sudah bercampur dengan terjadinya penguraian senyawa-senyawa pada media (Sutrisno dan Suciastuti 2002).

Perubahan aroma pada masing-masing media pakan mengalami perubahan bau sebelum dan sesudah diinokulasi NEP. Pada awal masih terasa segar aroma media setelah diinkubasi baunya sangat menyengat. Hal ini disebabkan adanya proses metabolisme yang terjadi bercampur menjadi satu di dalam botol media. Nutrisi media di dalam botol akan mengalami penguraian senyawa protein yang di ubah menjadi amonia dan semakin lama amonia di dalam botol akan menjadi racun bagi perkembangbiakan NEP. Jumlah oksigen (O2) di dalam media sangat

terbatas sehingga dapat menyebabkan kematian NEP. Produksi amonia melibatkan proses kimia untuk menggabungkan ion nitrogen dan hidrogen. Menurut Sutrisno dan Suciastuti 2002, amonia dapat terbentuk dari dekomposisi bahan-bahan organik yang mengandung nitrogen yang berasal dari feses. Populasi NEP yang meningkat akan diikuti turun populasinya pada minggu berikutnya. Hal ini disebabkan karena adanya racun hasil sekresi metabolisme NEP di dalam


(38)

27

botol media sehingga populasi NEP banyak yang mati dan menimbulkan bau yang menyengat. Hal ini terlihat pada Gambar 7, 8, 9, 10 dan 11.

Populasi NEP pada setiap minggu menunjukkan bahwa adanya tingkat kepadatan populasi yang berbeda antar ulangan dan media. Data yang diperoleh, pengukuran awal semua media mempunyai pH dalam suasana asam (Tabel 3). Setelah pengukuran pH pada minggu terakhir, semua media biakan mengalami perubahan pH menjadi 7. Selama masa inkubasi, media mengalami perubahan suasana pH asam menjadi basa yang diperkuat dengan adanya referensi dari Djunaedy (2009) yang menyebutkan bahwa kondisi suasana pH asam hingga basa yang sesuai untuk pertumbuhan NEP yaitu berkisar 5, 6, 7, 8 dan 9. Hal tersebut kemungkinan disebabkan adanya aktivitas NEP di dalam botol media pakan tertutup yang menyebabkan peningkatan kadar konsentrasi karbondioksida (CO2)

yang mengakibatkan peningkatan nilai pH akhir menjadi 7. Peningkatan nilai pH pada media pakan juga dapat disebabkan terjadinya penguraian protein dan adanya senyawa nitrogen berupa amonia. Menurut Prihantini et al. 2005, menjelaskan bahwa gas amonia yang menimbulkan bau menyengat dan bersifat racun dapat ditemukan pada pH tinggi (basa) sedangkan pada pH rendah (asam) akan terbentuk ion NH4+.

Cahaya sangat berpengaruh terhadap tumbuhnya nematoda entomopatogen. Selama masa inkubasi, botol yang digunakan disimpan pada tempat yang tidak terkena matahari langsung, karena NEP lebih sensitif dengan sinar matahari yang dapat menurunkan aktivitas NEP bahkan dapat menimbulkan kematian (Novizan 2002). Pengukuran intensitas cahaya (Lamp 1) dilakukan pada setiap minggunya dengan mengukur setiap pagi, siang dan sore. Data intensitas cahaya yang diperoleh didapat berkisar 4.8 Lux – 34 Lux.

Nematoda merupakan organisme poikilotermik dengan tingkat metabolisme yang sangat dipengaruhi oleh suhu di sekitar yang secara langsung mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan nematoda (Gao & Becker 2002). Untuk mendukung adanya kelangsungan hidup nematoda di luar habitat alaminya, nematoda sangat bergantung pada air dan cadangan makanan sebagai sumber


(39)

energinya (Chen & Glazer 2004). Menurut Nugrohorini (2010), nematoda dapat melakukan aktivitas dengan kelembaban kadar air ± 60-70% untuk mempermudah pergerakan nematoda. Berbagai media buatan yang telah dimodifikasi untuk pembiakkan nematoda pada dasarnya mengandung bahan-bahan yang kaya akan nutrisi yang dapat mempercepat perkembangbiakannya dengan kadar air yang disesuaikan kelembabannya.

Perkembangbiakan nematoda menunjukkan bahwa pada minggu pertama jumlah kepadatan populasi yang masih hidup pada berbagai macam jenis kombinasi komposisi media yang diujikan sangat berbeda. Kepadatan jumlah populasi nematoda pada minggu pertama dijumpai JI terendah yang langsung mengalami penurunan dari jumlah nematoda awal yang di inokulasi pada media A yang mengandung ekstrak yeast. Sedangkan pada media lain yaitu media B, C, D, E, F dan G mengalami peningkatan jumlah NEP (Lamp 4). Populasi NEP antar media pada minggu pertama yang mengalami produksi perkembangbiakan NEP tertinggi yaitu pada media E (Gambar 11) modifikasi campuran media ekstrak yeast dan usus ayam dengan jumlah populasi sebesar 41.652 JI/ml. Media berikutnya yang mempunyai populasi tinggi pada minggu pertama yaitu media C (Gambar 9) dengan komposisi usus ayam dan media F (Gambar 12) dengan modifikasi campuran media kuning telur dan usus ayam. Masing-masing media tersebut memiliki jumlah populasi sebesar 21.660 JI/ml dan 16.020 JI/ml. Media lain juga mengalami peningkatan perkembangbiakan NEP sebesar 14.040 JI/ml pada media D (Gambar 10) dengan campuran ekstrak yeast dan kuning telur. Selanjutnya, media B (Gambar 8) dan G (Gambar 13) yang mengalami peningkatan yaitu sebesar 10.872 JI/ml dan 9.156 JI/ml.

Dari data yang diperoleh, semua media mengalami peningkatan jumlah populasi pada media pakan selain media A ekstrak yeast. Masing-masing media yang mengalami peningkatan populasi NEP menurut Shapiro & Gaugler (2002) disebabkan karena adanya sumber nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak yang dapat memenuhi kebutuhan NEP dalam beradaptasi untuk berkembangbiak. Pembiakan minggu pertama mengalami populasi yang cukup tinggi, hal ini


(40)

29

diduga karena adanya bakteri simbion pada tubuh NEP yang dibawa pada saat pembiakan secara in vivo. Sehingga, minggu awal media mengalami suatu peningkatan yang signifikan. Dibandingkan media lain, media A (Gambar 7) mengalami langsung penurunan dari populasi awal 1.200 JI/ml menjadi 468 JI/ml. Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian sebelumnya dari Poinar (1979) bahwa pembiakan NEP pada media in vitro pertama kali menggunakan media nabati yang ditambah dengan ekstrak yeast tetapi hasilnya kurang baik. Menurut Reed (1991), hal ini disebabkan karena ekstrak yeast memiliki kadar protein 50-52% lebih tinggi dibandingkan dengan kadar karbohidrat 30-37% dan lemak 4-5%. Ekstrak yeast merupakan protein yang akan terurai akibat aktivitas mikroorganisme menjadi amonia dan terbentuk racun di dalam media. Pada Gambar 11 menunjukkan bahwa populasi NEP tinggi, berarti aktivitas mikroorganisme semakin meningkat dengan jumlah amonia yang dihasilkan semakin tinggi sehingga terlihat pada minggu berikutnya populasi NEP turun drastis.

Penghitungan selanjutnya yaitu perkembangbiakan NEP pada minggu kedua. Media A (Gambar 7) terlihat mengalami penurunan setelah minggu pertama menjadi 420 JI/ml dikarenakan suplai nutrisi di dalam media tersebut kurang memenuhi kebutuhan NEP untuk melakukan perkembangbiakan. Menurut Reed (1991) dalam Ahmad (2005) menjelaskan bahwa komposisi kimia ekstrak yeast terdiri atas protein 50-52%, karbohidrat 30-37%, lemak 4-5%. Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian sebelumnya dari Yoo et al. 2000 menjelaskan bahwa lemak merupakan cadangan energi utama bagi NEP untuk berkembangbiak. Sama halnya dengan media C (Gambar 9) yaitu media usus ayam dan E (Gambar 11) yaitu media ekstrak yeast dan usus ayam, masing-masing media ini tidak mengalami peningkatan akan tetapi mengalami penurunan dari jumlah populasi NEP dari minggu pertama sebesar 9.012 JI/ml dan 15.024 JI/ml. Dibandingkan dengan media B, D, F dan G, media tersebut mengalami jumlah peningkatan populasi NEP secara signifikan. Media B (Gambar 8.) dengan komposisi kuning telur mengalami jumlah populasi NEP tertinggi pada minggu


(41)

kedua sebesar 31.296 JI/ml. Secara berurutan diikuti oleh media F (Gambar 12) yaitu modifikasi campuran kuning telur dan usus ayam 24.876 JI/ml, media D (Gambar 10) yaitu modifikasi campuran ekstrak yeast dan kuning telur 20.400 JI/ml dan media G (Gambar 13) yaitu modifikasi campuran dari ketiga bahan media 14.568 JI/ml. Hasil data peningkatan populasi pada keempat media B, D, F dan G yang diperoleh, diperkuat adanya penelitian sebelumnya dari Romanoff (1993) yang menyebutkan bahwa komposisi kimia kuning telur yang merupakan campuran dari keempat media mengandung 35.2% lemak, 17.7% protein dan 1.1% karbohidrat. Menurut Yoo et al. (2000), kandungan lemak merupakan cadangan energi terbesar yang dibutuhkan NEP.

Data yang diperoleh bahwa minggu kedua mengalami adanya keadaan dimana empat media mengalami peningkatan jumlah populasi dan tiga media mengalami penurunan populasi NEP. Data jumlah populasi NEP (Lamp 4) 4 media yaitu media B, D, F dan G mengalami peningkatan jumlah populasi secara signifikan dan media tersebut memiliki komposisi menggunakan kuning telur. Menurut hasil uji media terbaik pada kuning telur menunjukkan kadar lemak lebih tinggi dibanding dengan protein dan karbohidrat. Hal tersebut diperkuat dari penilitian Yoo et al. 2000 yang menyebutkan bahwa lemak adalah kebutuhan nutrisi NEP paling penting karena 60% dari total energinya diperoleh dari metabolisme lemak. Media lainnya yang mengalami penurunan populasi yaitu media A, C dan E hal ini disebabkan pada media pakan yang digunakan merupakan campuran dengan jumlah konsentrasi yang berbeda beda. Sehingga, jumlah perbandingan komposisi bahan yang digunakan di dalam media pakan sangat berpengaruh. Dilihat dari data di atas, bahwa media B (Gambar 8) adalah media yang mengalami jumlah NEP tertinggi yaitu dengan konsentrasi kuning telur sebanyak 2 gr.

Selanjutnya, minggu ketiga saat melakukan perhitungan. Media A (Gambar 7) memperlihatkan tidak adanya populasi NEP yang masih hidup. Kandungan nutrisi pada ekstrak yeast memiliki protein yang lebih tinggi dibanding dengan lemak. Menurut Poinar (1979), hasil yang diperoleh pada media A ekstrak yeast


(42)

31

menunjukkan bahwa media tersebut kurang sesuai bila digunakan sebagai media biakan NEP. Sedangkan pada semua media pembiakan lainnya juga mengalami penurunan jumlah populasi NEP dengan jumlah populasi tertinggi sampai dengan terendah dengan urutan media B, F, D, G, C dan E. Media B (Gambar 8) yaitu media kuning telur sebesar 13.092 JI/ml, media F (Gambar 12) yaitu modifikasi campuran kuning telur dan usus ayam sebesar 12.936 JI/ml, media D (Gambar 10) yaitu modifikasi campuran ekstrak yeast dan kuning telur sebesar 9.324 JI/ml. Populasi terendah pada media G (Gambar 13) yaitu campuran ketiga bahan media sebesar 7.728 JI/ml, media C (Gambar 9) dengan komposisi usus ayam sebesar 1.068 JI/ml dan media E (Gambar 11) yaitu campuran media ekstrak yeast dan usus ayam sebesar 636 JI/ml. Minggu ketiga sama seperti minggu kedua, komposisi media yang mendominasi media memiliki jumlah populasi NEP tinggi adalah adanya campuran media dari kuning telur. Hasil uji analisis kandungan nutrisi 2 gr kuning telur menunjukkan bahwa kandungan nutrisi tertinggi diperoleh 2.12% lemak, sehingga adanya lemak pada kuning telur dapat mempertahankan jumlah populasi NEP karena adanya campuran dari kuning telur. Menurut Griffin et al. (2005) menunjukkan bahwa kandungan lemak bagi nematoda dapat mencapai 40% berat tubuhnya.

Pada akhir pengamatan minggu keempat, populasi jumlah NEP dijumpai JI tertinggi pada media B (Gambar 8) yaitu media kuning telur sebesar 7.236 JI/ml diikuti oleh media D, F, G, dan C. Media D (Gambar 10) yaitu campuran ekstrak yeast dan kuning telur sebesar 5.556 JI/ml, media F (Gambar 12) yaitu campuran kuning telur dan usus ayam sebesar 2.904 JI/ml, media G (Gambar 13) yaitu campuran ketiga bahan media sebesar 1.428 JI/ml dan media C (Gambar 9) dengan komposisi usus ayam sebesar 72 JI/ml. Populasi terendah terdapat pada media A (Gambar 7.) dengan komposisi ekstrak yeast dan media E (Gambar 11) campuran dari ekstrak yeast dan usus ayam, masing-masing media tersebut tidak ditemukannya jumlah populasi NEP 0 JI/ml.

Data populasi pada minggu keempat didapatkan bahwa media yang baik untuk mempertahankan perkembangbiakan NEP adalah campuran 2 gr bahan


(43)

media kuning telur dengan aquades sebanyak 30 ml dan 0.2 gr agar yaitu memiliki kandungan nutrisi 2.12% lemak yang tinggi yang sebelumnya telah di uji analisis nutrisi di laboratorium. Hal ini disebabkan karena media kuning telur telah bercampur dengan aquades dan agar sehingga kelarutan kuning telur menjadi lebih encer. Selanjutnya, bahan pakan selain kuning telur yang sebagai pendukung utama nutrisi yang dibutuhkan NEP adalah usus ayam merupakan nutrisi yang cukup baik untuk perkembangbiakan NEP karena mengandung 22.9% protein, 5.60% lemak dan 2.03% bahan lainnya. Media lain yang merupakan media pakan NEP yang digunakan yaitu ekstrak yeast, bahan pakan ini kurang sesuai karena nutrisi untuk mendukung pertumbuhan NEP kurang baik (Poinar 1979). Bahan ekstrak yeast memiliki kandungan nutrisi protein 52.2%, karbohidrat 37% dan lemak hanya 5%. Nutrisi terpenting yang dibutuhkan NEP untuk menjaga daya tahan NEP yaitu lemak (Yoo et al. 2000). Data menunjukkan bahwa 2 gr media kuning telur (B) memiliki jumlah populasi NEP tertinggi karena sebagian besar nutrisi di dalamnya mengandung lemak yang tinggi sehingga dapat mempertahankan ketahanan hidup NEP.

Minggu ketiga dan minggu keempat memiliki kecenderungan populasi NEP menurun. Hal ini disebabkan karena diduga nutrisi pendukung yang dibutuhkan NEP semakin berkurang. Selain itu, terjadinya proses metabolisme NEP di dalam media biakan adanya senyawa-senyawa sekresi yang menumpuk menjadi amonia dari NEP yang bercampur dengan media sehingga semakin lama akan menyebabkan adanya racun bagi nematoda dan berkurangnya jumlah bakteri yang ada ditubuh NEP saat di awal pembiakan minggu pertama.

Tingkat kepadatan populasi NEP antar minggu pertama, kedua, ketiga dan minggu keempat sangat terlihat bahwa tiap minggu terdapat adanya perbedaan populasi NEP. Minggu awal inkubasi, semua media disamakan dengan jumlah populasi NEP sebesar 1200 JI/ml. Minggu pertama terlihat semua media pembiakan NEP mengalami peningkatan dengan jumlah populasi yang sangat signifikan kecuali satu media yang mengalami penurunan yaitu media A (Gambar 7) dengan komposisi ekstrak yeast. Minggu kedua sangat terlihat (Lamp 4) bahwa


(44)

33

populasi media NEP mengalami perubahan yang bervariasi dengan adanya penurunan dan peningkatan jumlah NEP pada masing-masing media. Pada minggu ketiga dan keempat, semua media mengalami penurunan jumlah populasi. Hal ini disebabkan karena nutrisi media yang digunakan semakin berkurang dengan adanya jumlah populasi NEP yang semakin berlimpah, adanya hasil metabolisme yang dikeluarkan NEP dalam masa inkubasi di dalam media dan adanya gangguan seperti mikroorganisme kontaminan yang ada di dalam botol media yang nantinya akan bersaing untuk memperebutkan nutrisi dengan NEP di dalam media. Data dan hasil yang diperoleh selama 4 minggu, disarankan dalam proses biakan NEP secara in vitro sebaiknya dilakukan selama 2-3 minggu. Hal ini diperkuat dengan adanya referensi dari Ehlers et al. (2000) bahwa siklus hidup NEP mampu bertahan 2-3 minggu.

Pada botol media pakan B (kuning telur) dan F (kuning telur dan usus ayam) yang digunakan untuk pembiakan terlihat adanya NEP yang keluar dari pori-pori spons dan membentuk jala-jala yang menempel pada dinding bagian dalam botol. Menurut Nugrohorini dan Windriyanti (2009), jala-jala tersebut merupakan nematoda yang berkoloni pada media perbanyakan. Nematoda semakin lama membentuk koloni semakin banyak jala-jala yang terbentuk.


(45)

34 A. Simpulan

1. Kepadatan populasi NEP terbanyak pada minggu keempat adalah media kuning telur yaitu 7.236 JI/ml.

2. Hasil analisis kandungan nutrisi pada media kuning telur dengan campuran agar dan aquades sebagai media terbaik untuk pembiakan NEP pada minggu keempat yaitu kadar lemak 2.12%, protein 0.97% dan karbohidrat 0%.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbaikan formulasi dengan menggunakan bahan media alami dengan teknik perbanyakan pada media semi padat untuk meningkatkan produksi NEP pada berbagai media perbanyakan.


(46)

35

DAFTAR PUSTAKA

Adams BJ & Nguyen KB. 2002. Taxonomy and Systematics. Pp 1-28 in: R. Gaugler (Ed). Entomopathogenic Nematology. CAB International, Wallingford, Oxford. Ahmad RZ. 2005. Pemanfaatan Khamir Saccharomyces cerevisae untuk Ternak.

Wartazoa 15(1).

Almatsier S. 2002. Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Baihaki, Meirizky R, Resta, Nove, Kartika S & Imade A. 2010.Pemanfaatan Usus Ayam Sebagai Upaya Pemulihan terhadap Akibat Flu Burung. Skripsi. Jurusan Peternakan Politeknik Negeri Lampung: Lampung.

Boemare N. 2002. “Taxonomy and Systematics” in Entomopathogenic Nematology.

Gaugler, R. (Ed) CABI, New York, pp. 35-56.

Boszormeny E, Rsek TE, Fodor A, Fodor AM, Szldes FL, Hevesi M, Hogan JS, Katona Z, Klein MG, Kormány A, Pekár S, SzentirmaiA, Sztaricskai F & Taylor RAJ. 2009. Isolation and activity of Xenorhabdus antimicrobial compounds against the plant pathogens Erwinia amylovora and Phytophthora nicotianae. J. Appl Microbiol 107:746–759.

Chaerani. 2011. Pembiakan Nematoda Patogen Serangga (Rhabditida:

Heterorhabditis dan Steinernema) Pada Media Semi Padat. J. HPT 11(1): 69-77. Chaerani, Harjosudarmo J, Suhendar MA dan Koswanudin D. 2012. Produksi Massal

dan Formulasi Nematoda Patogen Serangga (NPS) Steinernema dan

Heterorhabditis untuk Pengendalian Penggerek Batang Padi. Prosiding Seminar Hasil Penelitian. Balai Penelitian Biteknologi Tanaman Pangan Bogor.

Chen S and I Glazer. 2004. A novel method for longterm storage of the entomopathogenic nematode Steinernema feltiae at room temperature. Biological Control. 32: 104-110.

Djunaedy A. 2009. Studi Karakter Ekologi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis Isolat Lokal Madura. Embryo 6 (1).

Ehlers RU. 2001. Mass production of entomopathogenic nematodes for plant protection. Appl. Microbiol. Biotechnol 56: 623-633.

Ehlers RU, Niemann I, Hollmer S, Strauch O, Jende D, Shanmugasundaram M, Mehta UK, Easwaramoorthy SK, & Burnell A. 2000. Mass production potential


(47)

of the bactohelminthic biocontrol complex Heterorhabditis indica - Photorhabdus luminescens. Biocontrol Sci. Tech 10: 607-616.

Ehlers RU & Shapiro-Ilan DI. 2005. Mass production. In P.S. Grewal, R.-U.Ehlers, and D.I. Shapiro-Ilan (eds.) Nematodes as Biocontrol Agents. CAB International, Wallingford, U.K. p. 65-79.

Forst S & Clarke D. 2002. Bacteri-Nematode Symbiosis. Pp 57-73 in: R. Gaugler (Ed), Entomopathogenic Nematology. CABInternational, Wallingford, Oxford.

Georgis R, Koppenhofer AM, Lacey LA, Be´lair G, Duncan LW, Grewal PS, Samish MTan, L, Torr P & van Tol RWHM. 2006. Successes and failures in the use of parasitic nematodes for pest control. Biological Control 38: 103–123. Gao X & Becker JO. 2002. Population development of both sexes of Heterodera

schachtii is diminished in a beet cyst nematode-suppressive soil. Biol. Cont. 25: 187-194.

Georgis R, Koppenhofer AM, Lacey LA, Be´lair G, Duncan LW, Grewal PS, Samish MTan, L, Torr P & van Tol RWHM. 2006. Successes and failures in the use of parasitic nematodes for pest control. Biological Control 38: 103–123.

Grewal. 2005. Nematodes as Biocontrol Agents. Page 45-64. 11.13 am.

Grewal PS & Ruisheng An. 2007. Differences in the virulence of Heterorhabditis bacteriophora and Steinernema scarabaeito three white grub species: The relative contribution of the nematodes and their symbiotic bacteria. Department of Entomology, The Ohio State University, 1680 Madison Avenue, Wooster, OH 44691, USA.

Griffin CT, Boemare NE & Lewis ZE. 2005. Biology and Behaviour. In P.S. Grewal, R.-U. Ehlers, and D.I. Shapiro-Ilan (eds.) Nematodes as Biocontrol Agents. CAB International, Wallingford, U.K. p. 47-64.

Hatab MAA & Gaugler R. 2001. Diet composition and lipids of in vitro-produced

Heterorhabditis bacteriophora. Biological Control 20(1): 1-7.

Kartasapoetra & Marsetyo G. 2003. Ilmu Gizi, Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.

Koppenhofer AM & Fuzy EM. 2003. Ecological characterization of Steinernema scarabaei, a scarab-adapted entomopathogenic nematode from New Jersey. J. Invertebr Patho 183: 139-148.


(48)

37

Maharani ET dan Yusrin. 2010. Kadar Protein Kista Artemia Curah Yang Dijual Petambak Kota Rembang Dengan Variasi Suhu Penyimpanan. Prosiding Seminar Nasional.

Mulyaningsih L. 2010. Aplikasi Agensia Hayati atau Insektisida Dalam Pengendalian Hama Plutella xylostella Linn dan Crocidolomia binotalis Zell Untuk Peningkatan Produksi Kubis (Brassica oleracea L.). Media Soerjo7(2).

Nugrohorini & Windriyanti W. 2009. Produksi Biopestisida Nematoda Entomopatogen Isolat Lokal Dengan Teknik In Vitro Sebagai Pengendali Hama Tanaman Kedelai (Spodoptera sp.). Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas UPN Jawa Timur.

Nugrohorini. 2010. Eksplorasi Nematoda Entomopatogen Pada Beberapa Wilayah di Jawa Timur. J. Pertanian MAPETA XII (2): 72-144.

Prabowo H. 2012. Pemanfaatan Nematoda Patogen Steinerenema spp Isolat Malang dan Nusa Tenggara Barat dalam Pengendalian Spodoptera litura L. yang Ramah Lingkungan. Jurnal Bumi Lestari 12(2): 350-356.

Prihantini NB, Putri B & Yuniati R. 2005. Pertumbuhan Chlorella spp. dalam medium ekstrak tauge (Met) dengan Variasi pH Awal. Makara Sains 9(1): 1-6. Poinar GO. 1990. Taxonomy and biology of Steinernematidae and Heterorhabditidae.

CRC Press. Boca Raton.

__________. 1979. Nematodes for biological control of insect. CRC Press. Florida. Poinar GO & Grewal PS. 2012. History of Entomopathogenic Nematology. Journal

of Nematology 44(2): 153–161.

Rahim A. 2010. Pengaruh Jumlah Ulat Tenebrio mollitor sebagai Media Perbanyakan Terhadap Kerapatan Infektif Juvenil (IJ) Agens Hayati Nematoda Entomopatogen. Media Sains 2(1).

Romanoff, AL & Romanoff AJ. 1993. The avian Eggs. John Willey and sons, Inc, New York.

Salame L & Glazer I. 2000. Osmotik Survival of The Entomopathogenic Nematode

Steinernema. Department of Nematologi. Volcani Center, Israel. P. 251-257. Shapiro DI & Gaugler R. 2002. Production Technology for Enthomopathogenic

Nematodes and Their Bacterial Symbionts. Journal of Industrial Microbiology & Biotechnology 28: 137-146.


(49)

Subagiya, 2005.Pengendalian Hayati dengan Nematoda Entomogenus Steinernema carpocapsae (All) Strain Lokal terhadap Hama Crocidolomia binotalis Zell. di Tawangmangu. Agrosains 7(1): 34-39.

Sucipto. 2008. Persistensi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis (All strain) Isolat Lokal Madura Terhadap Pengendalian Rayap Tanah Macrotermes sp. (Isoptera: Termitidae) di Lapang. Embryo 5(2).

______. 2009. Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis Isolat Lokal Madura Sebagai Pengendalian Hayati Hama Penting Tanaman Hortikultura Yang Ramah Pada Lingkungan. Agrovigor 2(1).

Sulistyanto D. 2002. Patologi Serangga (Insect Pathology). Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Faperta. Universitas Jember.

___________. 2005. Pemanfaatan nematoda entomopatogen isolat local sebagai agensia hayati serangga hama tanaman pangan dan holtikultura. Fakultas Pertanian UNEJ.

Sutrisno T dan Suciastuti E. 2002. Teknologi Penyedian Air Bersih, Rineka Cipta Jakarta.

Tailliez P, Laroui C, Ginibre N, Paule A, Page S & Boemare N. 2010. Phylogeny of Photorhabdus and Xenorhabdus based on universally conserved protein coding sequences and implications for the taxonomy of these two genera. Syst Evol Microbiol 60: 1921–1937.

Wagiman FX, Triman B & Astuti RS. 2003. Keefektivan Steinernema spp. terhadap

Spodoptera exigua. J. Perlintan. Ind. 9:22-27.

Wartono & Priatno TP. 2009. Pertumbuhan Bakteri Photorhabdus luminescens pada Berbagai Media dan Produksi Eksotoksin sebagai Racun Serangga. J. Entomol. Indon 6(2): 60-69.

Yoo SK, Brown I & Gaugler R. 2000. Liquid media development for Heterorhabditis bacteriophora: lipid source and concentration. Appl. Microbiol. Biotech 54: 759-763.


(50)

39


(51)

Lampiran 1. Pengukuran Intensitas Cahaya di Ruang Pembiakan NEP

Minggu ke- Tanggal/Hari Waktu Intensitas Cahaya

(Lux)

1

Senin, 2 Juni 2014 Pagi 29

Senin, 2 Juni 2014 Siang 34

Senin, 2 Juni 2014 Sore 19

2

Senin, 9 Juni 2014 Pagi 12.1

Senin, 9 Juni 2014 Siang 19.2

Senin, 9 Juni 2014 Sore 3.3

3

Senin, 16 Juni 2014 Pagi 20

Senin, 16 Juni 2014 Siang 23.2

Senin, 16 Juni 2014 Sore 15

4

Senin, 23 Juni 2014 Pagi 15.8

Senin, 23 Juni 2014 Siang 14.6

Senin, 23 Juni 2014 Sore 4.8

Lampiran 2. Pengukuran Suhu dan Kelembaban di Ruang Pembiakan NEP

No Waktu Suhu (°C) RH (%)

1 Jumat, 30 Mei 2014 29.5 77

2 Senin, 2 Juni 2014 27.5 75

3 Selasa, 3 Juni 2014 30.3 69

4 Rabu, 4 Juni 2014 31.7 69

5 Kamis, 5 Juni 2014 28.4 80

6 Jumat, 6 Juni 2014 29.6 70

7 Senin, 9 Juni 2014 30 76

8 Selasa, 10 Juni 2014 29.8 74

9 Rabu, 11 Juni 2014 30.4 76

10 Kamis, 12 Juni 2014 29.8 78

11 Jumat, 13 Juni 2014 27.4 79

12 Senin, 16 Juni 2014 30.3 73

13 Selasa, 17 Juni 2014 29.5 78

14 Rabu, 18 Juni 2014 29 75

15 Kamis 19 Juni 2014 27.9 87

16 Jumat, 20 Juni 2014 27.1 85

17 Senin, 23 Juni 2014 30.3 76

18 Selasa, 24 Juni 2014 28.5 80

19 Rabu, 25 Juni 2014 27.6 83


(52)

41

Lampran 3. Kepadatan Populasi NEP Selama 28 Hari Media

∑ NEP

Awal (JI/ml)

∑ Kepadatan Populasi NEP (JI/ml)

Ulangan Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

A 1200

1 300 240 0 0

2 480 540 0 0

3 660 660 0 0

4 420 240 0 0

5 480 420 0 0

B 1200

1 3000 17460 12180 11820

2 5100 24600 18300 12000

3 22980 41220 7860 2820

4 19860 55260 18180 6540

5 3420 17940 8940 3000

C 1200

1 21420 3600 0 0

2 13380 8220 0 0

3 41220 16560 2340 240

4 19260 10920 2100 60

5 13020 5760 900 60

D 1200

1 19440 22140 6720 6000

2 14520 16380 16140 3360

3 15840 16500 9540 6540

4 13140 26340 3420 3000

5 7260 20640 10800 8880

E 1200

1 30480 26160 1680 0

2 46800 14940 1320 0

3 41820 6840 0 0

4 43440 14880 180 0

5 45720 12300 0 0

F 1200

1 22920 28200 16020 3000

2 10980 27300 15000 4680

3 20580 27120 16860 2400

4 19800 25380 13140 3960

5 5820 16380 3660 480

G 1200

1 6960 19080 4860 1260

2 11160 11700 6840 720

3 8760 18300 9600 900

4 15660 19980 14580 2700


(53)

Cara penghitungan populasi NEP :

Populasi NEP JI/ml = x Jumlah NEP (JI)

= = 60  Minggu I

1) A1 (1) = 4 (2) = 3 (3) = 8 = 5 x 60 = 300 JI/ml A2 (1) = 15 (2) = 4 (3) = 4 = 8 x 60 = 480 JI/ml A3 (1) = 15 (2) = 9 (3) = 9 = 11 x 60 = 660 JI/ml A4 (1) = 7 (2) = 7 (3) = 8 = 7 x 60 = 420 JI/ml A5 (1) = 8 (2) = 7 (3) = 8 = 8 x 60 = 480 JI/ml 2) B1 (1) = 69 (2) = 32 (3) = 50 = 50 x 60 = 3000 JI/ml

B2 (1) = 79 (2) = 77 (3) = 99 = 85 x 60 = 5100 JI/ml B3 (1) = 391 (2) = 312 (3) = 447 = 383 x 60 = 22980 JI/ml B4 (1) = 345 (2) = 319 (3) = 329 = 331 x 60 = 19860 JI/ml B5 (1) = 50 (2) = 65 (3) = 57 = 57 x 60 = 3420 JI/ml 3) C1 (1) = 334 (2) = 282 (3) = 455 = 357 x 60 = 21420 JI/ml

C2 (1) = 213 (2) = 237 (3) = 220 = 223 x 60 = 13380 JI/ml C3 (1) = 801 (2) = 596 (3) = 665 = 687 x 60 = 41220 JI/ml C4 (1) = 251 (2) = 409 (3) = 304 = 321 x 60 = 19260 JI/ml C5 (1) = 229 (2) = 213 (3) = 209 = 217 x 60 = 13020 JI/ml 4) D1 (1) = 41 (2) = 3 (3) = 8 = 324 x 60 = 19440 JI/ml D2 (1) = 216 (2) = 299 (3) = 211 = 242 x 60 = 14520 JI/ml D3 (1) = 286 (2) = 245 (3) = 260 = 264 x 60 = 15840 JI/ml D4 (1) = 218 (2) = 220 (3) = 218 = 219 x 60 = 13140 JI/ml D5 (1) = 127 (2) = 120 (3) = 115 = 121 x 60 = 7260 JI/ml 5) E1 (1) = 606 (2) = 453 (3) = 464 = 508 x 60 = 30480 JI/ml

E2 (1) = 895 (2) = 672 (3) = 772 = 780 x 60 = 46800 JI/ml E3 (1) = 712 (2) = 689 (3) = 689 = 697 x 60 = 41820 JI/ml E4 (1) = 773 (2) = 669 (3) = 730 = 724 x 60 = 43440 JI/ml E5 (1) = 750 (2) = 825 (3) = 710 = 762 x 60 = 45720 JI/ml 6) F1 (1) = 433 (2) = 365 (3) = 347 = 382 x 60 = 22920 JI/ml F2 (1) = 175 (2) = 185 (3) = 189 = 183 x 60 = 10980 JI/ml F3 (1) = 383 (2) = 372 (3) = 275 = 343 x 60 = 20580 JI/ml F4 (1) = 350 (2) = 319 (3) = 320 = 330 x 60 = 19800 JI/ml F5 (1) = 115 (2) = 80 (3) = 97 = 97 x 60 = 5820 JI/ml


(54)

43

7) G1 (1) = 119 (2) = 119 (3) = 110 = 116 x 60 = 6960 JI/ml G2 (1) = 194 (2) = 160 (3) = 204 = 186 x 60 = 11160 JI/ml G3 (1) = 173 (2) = 111 (3) = 153 = 146 x 60 = 8760 JI/ml G4 (1) = 322 (2) = 226 (3) = 234 = 261 x 60 = 15660 JI/ml G5 (1) = 57 (2) = 52 (3) = 54 = 54 x 60 = 3240 JI/ml  Minggu II

1) A1 (1) = 4 (2) = 4 (3) = 4 = 4 x 60 = 240 JI/ml A2 (1) = 10 (2) = 9 (3) = 9 = 9 x 60 = 540 JI/ml A3 (1) = 11 (2) = 10 (3) = 11 = 11 x 60 = 660 JI/ml A4 (1) = 3 (2) = 4 (3) = 4 = 4 x 60 = 240 JI/ml A5 (1) = 7 (2) = 6 (3) = 7 = 7 x 60 = 420 JI/ml 2) B1 (1) = 338 (2) = 255 (3) = 280 = 291 x 60 = 17460 JI/ml

B2 (1) = 396 (2) = 423 (3) = 410 = 410 x 60 = 24600 JI/ml B3 (1) = 530 (2) = 631 (3) = 600 = 587 x 60 = 41220 JI/ml B4 (1) = 944 (2) = 900 (3) = 920 = 921 x 60 = 55260 JI/ml B5 (1) = 305 (2) = 297 (3) = 295 = 299 x 60 = 17940 JI/ml 3) C1 (1) = 51 (2) = 66 (3) = 62 = 60 x 60 = 3600 JI/ml

C2 (1) = 119 (2) = 141 (3) = 150 = 137 x 60 = 8220 JI/ml C3 (1) = 282 (2) = 267 (3) = 280 = 276 x 60 = 16560 JI/ml C4 (1) = 180 (2) = 182 (3) = 185 = 182 x 60 = 10920 JI/ml C5 (1) = 97 (2) = 99 (3) = 93 = 96 x 60 = 5760 JI/ml 4) D1 (1) = 379 (2) = 358 (3) = 370 = 369 x 60 = 22140 JI/ml

D2 (1) = 303 (2) = 267 (3) = 250 = 273 x 60 = 16380 JI/ml D3 (1) = 290 (2) = 275 (3) = 260 = 275 x 60 = 16500 JI/ml D4 (1) = 459 (2) = 420 (3) = 439 = 439 x 60 = 26340 JI/ml D5 (1) = 352 (2) = 339 (3) = 340 = 344 x 60 = 20640 JI/ml 5) E1 (1) = 511 (2) = 396 (3) = 400 = 436 x 60 = 26160 JI/ml E2 (1) = 244 (2) = 252 (3) = 250 = 249 x 60 = 14940 JI/ml E3 (1) = 116 (2) = 113 (3) = 114 = 114 x 60 = 6840 JI/ml E4 (1) = 238 (2) = 258 (3) = 249 = 248 x 60 = 14880 JI/ml E5 (1) = 207 (2) = 202 (3) = 205 = 205 x 60 = 12300 JI/ml 6) F1 (1) = 490 (2) = 450 (3) = 470 = 470 x 60 = 28200 JI/ml F2 (1) = 470 (2) = 440 (3) = 455 = 455 x 60 = 27300 JI/ml F3 (1) = 471 (2) = 434 (3) = 450 = 452 x 60 = 27120 JI/ml F4 (1) = 470 (2) = 390 (3) = 410 = 423 x 60 = 25380 JI/ml F5 (1) = 220 (2) = 301 (3) = 298 = 273 x 60 = 16380 JI/ml


(55)

7) G1 (1) = 334 (2) = 319 (3) = 300 = 318 x 60 = 19080 JI/ml G2 (1) = 198 (2) = 193 (3) = 193 = 195 x 60 = 11700 JI/ml G3 (1) = 307 (2) = 303 (3) = 305 = 305 x 60 = 18300 JI/ml G4 (1) = 344 (2) = 326 (3) = 330 = 333 x 60 = 19980 JI/ml G5 (1) = 71 (2) = 60 (3) = 99 = 63 x 60 = 3780 JI/ml  Minggu III

1) A1 (1) = 0 (2) = 0 (3) = 0 = 0 x 60 = 0 JI/ml A2 (1) = 0 (2) = 0 (3) = 0 = 0 x 60 = 0 JI/ml A3 (1) = 0 (2) = 0 (3) = 0 = 0 x 60 = 0 JI/ml A4 (1) = 0 (2) = 0 (3) = 0 = 0 x 60 = 0 JI/ml A5 (1) = 0 (2) = 0 (3) = 0 = 0 x 60 = 0 JI/ml

2) B1 (1) = 213 (2) = 191 (3) = 205 = 203 x 60 = 12180 JI/ml B2 (1) = 321 (2) = 290 (3) = 305 = 305 x 60 = 18300 JI/ml B3 (1) = 133 (2) = 130 (3) = 131 = 131 x 60 = 7860 JI/ml B4 (1) = 304 (2) = 304 (3) = 301 = 303 x 60 = 18180 JI/ml B5 (1) = 155 (2) = 145 (3) = 147 = 149 x 60 = 8940 JI/ml 3) C1 (1) = 0 (2) = 0 (3) = 0 = 0 x 60 = 0 JI/ml

C2 (1) = 0 (2) = 0 (3) = 0 = 0 x 60 = 0 JI/ml C3 (1) = 41 (2) = 37 (3) = 40 = 39 x 60 = 2340 JI/ml C4 (1) = 30 (2) = 39 (3) = 37 = 35 x 60 = 2100 JI/ml C5 (1) = 20 (2) = 12 (3) = 13 = 15 x 60 = 900 JI/ml 4) D1 (1) = 107 (2) = 118 (3) = 112 = 112 x 60 = 6720 JI/ml

D2 (1) = 277 (2) = 269 (3) = 260 = 269 x 60 = 16140 JI/ml D3 (1) = 164 (2) = 150 (3) = 162 = 159 x 60 = 9540 JI/ml D4 (1) = 57 (2) = 56 (3) = 57 = 57 x 60 = 3420 JI/ml D5 (1) = 186 (2) = 174 (3) = 180 = 180 x 60 = 10800 JI/ml 5) E1 (1) = 23 (2) = 30 (3) = 31 = 28 x 60 = 1680 JI/ml

E2 (1) = 25 (2) = 20 (3) = 20 = 22 x 60 = 1320 JI/ml E3 (1) = 0 (2) = 0 (3) = 0 = 0 x 60 = 0 JI/ml E4 (1) = 3 (2) = 3 (3) = 3 = 3 x 60 = 180 JI/ml E5 (1) = 0 (2) = 0 (3) = 0 = 0 x 60 = 0 JI/ml

6) F1 (1) = 286 (2) = 275 (3) = 240 = 267 x 60 = 16020 JI/ml F2 (1) = 267 (2) = 237 (3) = 245 = 250 x 60 = 15000 JI/ml F3 (1) = 286 (2) = 277 (3) = 280 = 281 x 60 = 16860 JI/ml F4 (1) = 213 (2) = 223 (3) = 220 = 219 x 60 = 13140 JI/ml F5 (1) = 64 (2) = 60 (3) = 60 = 61 x 60 = 3660 JI/ml


(1)

Lampiran 6. Hasil Uji ANOVA Kepadatan Populasi NEP Pada Berbagai Media Pakan Buatan ANOVA Minggu_IV Sum of Squares

Df Mean Square F Sig. Between Groups 257316068.571 6 42886011.429 10.168 .000 Within Groups 118098720.000 28 4217811.429

Total 375414788.571 34

Lampiran 7. Hasil Uji Post Hoc menggunakan Uji Tukey

Multiple Comparisons Dependent Variable: Minggu_IV

Tukey HSD (I) Perlakuan (J) Perlakuan Mean Difference (I-J) Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval Lower

Bound

Upper Bound

Media A

Media B -7236.000* 1298.894 .000 -11356.26 -3115.74 Media C -72.000 1298.894 1.000 -4192.26 4048.26 Media D -5556.000* 1298.894 .003 -9676.26 -1435.74 Media E .000 1298.894 1.000 -4120.26 4120.26 Media F -2904.000 1298.894 .309 -7024.26 1216.26 Media G -1428.000 1298.894 .923 -5548.26 2692.26

Media B

Media A 7236.000* 1298.894 .000 3115.74 11356.26 Media C 7164.000* 1298.894 .000 3043.74 11284.26 Media D 1680.000 1298.894 .849 -2440.26 5800.26 Media E 7236.000* 1298.894 .000 3115.74 11356.26 Media F 4332.000* 1298.894 .034 211.74 8452.26 Media G 5808.000* 1298.894 .002 1687.74 9928.26

Media C

Media A 72.000 1298.894 1.000 -4048.26 4192.26 Media B -7164.000* 1298.894 .000 -11284.26 -3043.74 Media D -5484.000* 1298.894 .004 -9604.26 -1363.74 Media E 72.000 1298.894 1.000 -4048.26 4192.26 Media F -2832.000 1298.894 .337 -6952.26 1288.26 Media G -1356.000 1298.894 .939 -5476.26 2764.26 Media D Media A 5556.000

*

1298.894 .003 1435.74 9676.26 Media B -1680.000 1298.894 .849 -5800.26 2440.26


(2)

Media C 5484.000* 1298.894 .004 1363.74 9604.26 Media E 5556.000* 1298.894 .003 1435.74 9676.26 Media F 2652.000 1298.894 .413 -1468.26 6772.26 Media G 4128.000* 1298.894 .049 7.74 8248.26

Media E

Media A .000 1298.894 1.000 -4120.26 4120.26 Media B -7236.000* 1298.894 .000 -11356.26 -3115.74 Media C -72.000 1298.894 1.000 -4192.26 4048.26 Media D -5556.000* 1298.894 .003 -9676.26 -1435.74 Media F -2904.000 1298.894 .309 -7024.26 1216.26 Media G -1428.000 1298.894 .923 -5548.26 2692.26

Media F

Media A 2904.000 1298.894 .309 -1216.26 7024.26 Media B -4332.000* 1298.894 .034 -8452.26 -211.74 Media C 2832.000 1298.894 .337 -1288.26 6952.26 Media D -2652.000 1298.894 .413 -6772.26 1468.26 Media E 2904.000 1298.894 .309 -1216.26 7024.26 Media G 1476.000 1298.894 .911 -2644.26 5596.26

Media G

Media A 1428.000 1298.894 .923 -2692.26 5548.26 Media B -5808.000* 1298.894 .002 -9928.26 -1687.74 Media C 1356.000 1298.894 .939 -2764.26 5476.26 Media D -4128.000* 1298.894 .049 -8248.26 -7.74 Media E 1428.000 1298.894 .923 -2692.26 5548.26 Media F -1476.000 1298.894 .911 -5596.26 2644.26 Keterangan : Apabila terdapat tanda (*) pada Mean Difference menunjukkan bahwa


(3)

(4)

Lampiran 9. Dokumentasi Kegiatan

Gambar 1. Inkubasi NEP secara in vivo Gambar 2. White trap bangkai ulat hongkong

Gambar 3. Proses white trap selama Gambar 4. Pengambilan sampel NEP

2 minggu 0.05 ml

Gambar 5. NEP dilihat menggunakan mikroskop perbesaran 40x


(5)

Gambar 6. Bahan media pakan pembiakan NEP (ekstrak yeast, kuning telur, usus ayam dan agar)

Gambar 7. Stok media dan botol pembiakan NEP

Gambar 8. Media di autoklaf tekanan Gambar 9. Stok NEP 1 atm 121°C


(6)

Gambar 10. Inokulasi NEP awal Gambar 11. Inkubasi media tiap minggu sebanyak 3 ml ke media

botol kultur

Gambar 12. Memeras spon saat Gambar 13. Perhitungan NEP 0,05 ml perhitungan