Tindakan Wapres Jusuf Kalla dalam kapasitasnya sebagai Ketua Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana Alam, tentu tidak tanpa sepengetahuan
pejabat lainnya, dalam hal ini presiden dan menteri yang terkait. Konsekuensinya, tindakan kekeliruan itu bukanlah tanggungjawab personel
yang bisa diselesaikan dengan permakluman melainkan tindakan kolektif yang harus diselesaikan lewat mekanisme pertanggungjawaban publik di
parlemen DPR. Karena bagaimanapun, segala hal yang terkait dengan penyelenggaraan jabatan itu, harus dipertanggungjawabkan kepada publik.
Di dalamnya, segala bentuk kesalahan atau kekeliruanpun harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Implikasinya, pertanggungjawaban
yang harus dilakukan eksekutif mesti dilakukan dihadanan DPR sebagai cerminan dari kehendak publik. Dalam perpanjangannya, interpelasi adalah
suatu keharusan etis yang tidak bisa diabaikan begitu saja baik oleh legislatif sendiri maupun oleh eksekutif. Kalau hal ini dilakukan maka
kebijakan publik tersebut menjadi bermakna.
Atas dasar pemahaman makna tersebut, maka dalam makna proses pengambilan kebijakan publik pada dasarnya memiliki nilai-nilai tertentu
yang dapat ditinjau dari aspek politik, aspek organisasi, aspek pribadi, aspek kebijakan, dan aspek ideologis.
4.2. Nilai-nilai Kebijakan Publik
Seperti yang dipaparkan pada pokok bahasan sebelumnya pada hakikatnya kebijakan publik adalah keputusan untuk memilih nilai yang
terbaik dari sekian banyak nilai yang ada
2
. Karenanya menurut Islami 2002:120, kebijakan adalah sesuatu yang bernilai berarti sesuatu yang
mempunyai harga atau bobot tertentu. Berkaitan dengan hal nilai, Fiterbusch 1983 membagi kebijakan
publik dalam 5 unsur : keamanan security, hukum dan ketertiban umum
low and order, keadilan justice, kebebasan liberty, dan kesejahteraan
welfare, dan yang lebih penting adalah pada nilai keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan. Nilai-nilai ini merupakan bentukan dari nilai-nilai, norma-
norma dan tujuan-tujaun yang telah mapan yang terdapat dalam masyarakat, sedangkan nilai itu sendiri berasal dari keyakinan, aspirasi, dan
kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan dari masyarakat yang harus dipenuhi. Jadi, pembuat kebijakan harus banyak terlibat dalam
mengartikulasikan nilai-nilai tersebut dan mengoperasionalisasikan kepentingan-kepentingan itu dalam suatu sistem sosial Islami, 2002:120.
Dalam kaitan seperti inilah nilai-nilai menjadi penting untuk diperhatikan para pengambil kebijakan publik untuk mangartikulasikan nilai-nilai tersebut
dan mengoperasionalisasikan kepentingan-kepentingan masyarakat dalam rangka penyeimbang antara kepentingan-kepentingan yang berbeda, tetapi
juga berfungsi sebagai valuer penilai.
2
Pernyataan nilai dan penentuan nilai, menurut Abraham Kaplan seperti yang dikutip Dunn 2000:99 dalam catatan kakinya adalah relatif tetapi juga objektif… mereka mereka
menyetujui sesuatu kebenarannya tidak tergantung pada pemikiran yang menyebabkan persetujuan sehingga disebut sebagai “relativisme objektif” berbeda dengan subjektif.
36
Disadari bawah seringkali kebijakan-kebijakan yang diambil mengalami konflik nilai, sehingga dituntut suatu tanggung jawab moral yang
tinggi bagi setiap pembuat kebijaksanaan negara, sehingga kebijakan yang dibuat lebih berorientasi pada kepentingan negara atau rakyat. Hal ini
disebabkan karena objek atau sasaran dari kebijaksanaan negara terebut adalah rakyat. Tangung jawab moral pejabat pembuat kebijaksanaan negara
harus berlandaskan nilai-nilai harkat kemanusiaan. Menurut Easton, nilai- nilai kebijaksanaan itu nantinya akan dialokasikan secara otoritatif kepada
seluruh anggota masyarakat; dan masyarakat mau tidak mau harus menerima konsekuensi dari kebijaksanaan tersebut. Sehingga bagi pembuat
kebijakan negara tidak ada alternatif lain kecuali menjadikan sistem nilai masyarakat sebagai pedoman atau landasan dalam setiap proses
perumusan kebijakan negara.
Bertolak dari pemikiran di atas, nilai-nilai kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi 5 kategori :
a. Nilai-nilai Politik - keputusan yang dibuat didasarkan pada keuntungan politik, dan kebijakan dilihat sebagai instrumen untuk memperluas
pengaruh-pengaruh politik atau untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari kelompok yang bersangkutan.
b. Nilai-nilai Organisasi - pengambil keputusan dipengaruhi oleh nilai- nilai organisasi dimana pengambil keputusan tersebut terlibat di
dalamnya. c. Nilai-nilai Pribadi - pengambil keputusan dimaksudkan untuk
melindungi atau memenuhi kesejahteraan atau kebutuhan fisik atau finansial, reputasi diri, atau posisi historis seseorang.
d. Nilai-nilai Kebijakan - pengambil kebijakan bertindak berdasarkan atas persepsi mereka terhadap kepentingan umum atau keyakinan
tertentu mengenai kebijakan negara apa yang sekiranya secara moral tepat dan benar.
e. Nilai-nilai Ideologis - pengambil keputusan didasarkan pada nilai-nilai dan keyakinan yang secara logis saling berkaitan dan mencerminkan
gambaran sederhana mengenai dunia serta berfungsi sebagai pedoman bertindak bagi masyarakat yang menyakininya.
Dari kelima nilai tersebut, nilai paling mendasar adalah berkaitan dengan nilai ideologi. Dalam konteks Indonesia nilai-nilai ideologis yang
selama ini dianut adalah Pancasila. Pancasila merupakan pandangan hidup dan dasar negara merupakan
pencerminan sistem nilai yang mengilhami dan membimbing alam pikiran dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, sehingga pancasila dapat diterima
sebagai dasar negara yang mengatur tata hidup ketatanegaraan Indonesia. Sistem penyelenggaraan pemerintahan kita juga harus benar-benar
menetapi normanorma yang terkandung di dalam Pancasila, agar tercermin gaya pemerintahan Pancasilaistis.
37
Dalam perumusan kebijakan negara, salah satu perwujudan dari pengamalan Pancasila tersebut dapat dilihat dari dasar, cara dan arah
pejabat negara dalam setiap membuat keputusan atau kebijaksanaan negara. Disini Pancasila dapat dijadikan tolok ukur apakah pembuatan
kebijakan itu balk atau buruk. Selanjutnya Pancasila bukan hanya pengukur baik dan buruk kebijaksanaan serta pelaksanaan pembangunan di semua
bidang, akan tetapi sekaligus juga sebagai nilai pengukur bagi cara melaksanakan pembangunan tersebut.
Dalam evaluasi atau penilaian terhadap kebijakan negara yang berlandaskan pada niiai-nilai Pancasila. Prinsip utama yang harus dipegang
dalam pengambilan keputusan adalah prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat yang diliputi semangat kekeluargaan yang kemudian ini menjadi
tulang punggung dari sistem demkokrasi Pancasila.
Dapat disimpulkan bahwa pembuatan keputusan berdasarkan nilai- nilai Pancasila adalah berdasarkan kepentingan bersama dan kesejahteraan
bersama. Jadi setiap perumusan kebijaksanaan negara yang sesuai dengan kepentingan rakyat sudah dapat dipastikan akan mudah memperoleh
dukungan partisipasi rakyat dalam proses implementasinya.
4.3. Teori Pengambilan Kebijakan Publik