7 Pokok Bahasan Keempat

(1)

Pokok Bahasan IV

MAKNA NILAI DALAM KEBIJAKAN PUBLIK

Sub Pokok Bahasan Halaman

4.1. Makna Kebijakan Publik 31

4.2. Nilai-nilai Kebijakan Publik 33

4.3. Teori Pengambilan Kebijakan Publik 34


(2)

Pokok Bahasan IV Judul Pokok Bahasan

Makna Nilai dalam Kebijakan Publik Tujuan Interaksional

Pada akhir materi, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan mengenai : (1) Makna Kebijakan Publik, (2) Nilai-nilai Kebijakan Publik, dan (3) Teori Pengambilan Kebijakan Publik

Sub-Pokok Bahasan

4.1. Makna Kebijakan Publik

Seperti yang dipaparkan pada pokok bahasan sebelumnya pada hakikatnya kebijakan publik adalah keputusan untuk memilih nilai yang terbaik dari sekian banyak nilai yang ada. Karenanya menurut Islami (2002:120), kebijakan adalah sesuatu yang bernilai berarti sesuatu yang mempunyai harga atau bobot tertentu sehingga harus dimaknai.

Makna yang umum digunakan berkaitan dengan kebijakan publik adalah sebagai pedoman bagi badan-badan atau pejabat-pejabat pemerintahan untuk bertindak demi tercapainya suatu tujuan tertentu melalui tindakan-tindakan mengarahkan, mempengaruhi, dan mengendalikan masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan publik dapat dimaknai sebagai pendorong sekaligus pembatas bagi tindakan manusia guna pencapaian tujuan tertentu. Guna memaknai sebuah kebijakan publik, maka ada 3 (tiga) unsur yang diperhatikan : (1) acuan-acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diasosiasikan pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah dengan publik, (2) tinjauan informasi dan determinasi tindakan yang diharapkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan (3) mengamankan dan mengembangkan komitmen sumberdaya.

Selama beberapa abad yang silam pembedaan antara kebijakan dan pembuatan kebijakan terus menerus dipersoalkan. Pembuatan kebijakan sendiri dipahami sebagai suatu proses khusus, sementara kebijakan merupakan sesuatu yang lain: entitas simbolis "di luar sana" yang melulu diucapkan, dipilih atau dijanjikan. Namun karena mata kuliah ini hanya membahas permasalahan berkaitan dengan proses pembuatan kebijakan, maka pembahasan kebijakan dapat dikembangkan sendiri.

Makna kebijakan publik menjadi permasalahan ketika para pengambil kebijakan itu sendiri tidak memperhatikan ketiga unsur seperti yang dijelaskan di atas. Sebagai contoh adalah munculnya kasus kontroversi Penerbitan SK Wakil Presiden mengenai Pembentukan Tim Nasional


(3)

Penanganan Bencana Aceh (Suara Merdeka, 26 Januari 2005). Dalam kasus ini, meskipun maksud dan tujuan pengambilan keputusan adalah baik yaitu untuk membantu secara cepat penanggulangan masalah kemanusiaan berkaitan dengan gempa bumi dan gelombang Tsunami, tetapi dari aspek hukum atau acuan-acuan yang digunakan bermasalah1.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara jelas menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, dimana wapres sama sekali tidak memiliki wewenang membuat keputusan karena dalam hukum tata negara, yang berhak mengeluarkan adalah lembaga kepresidenan, sedangkan wakil presiden (wapres) bukan lembaga kepresidenan. Pertanyaannya adalah apakah seorang pejabat publik bertindak untuk kebaikan orang tertentu atau untuk kebaikan umum (bonum commune)?

Apakah jabatan publik merupakan tanggungjawab kolektif ataukah tanggung jawab pribadi?

Dari segi prinsip tindakan, kekeliruan yang dilakukan eksekutif dengan menerbitkan SK Wapres relatif tidak terlalu bermasalah karena mengandung maksud-maksud yang baik. Tetapi dari segi prinsip tanggungjawab, pengakuan kekeliruan itu tidak cukup. Karena siapapun yang menjabat atas nama publik, harus mengarahkan seluruh tindakan dan tanggungjawabnya kepada (kepentingan) publik. Hal ini berkaitan dengan masalah etika politik dan etika jabatan lembaga kepresidenan.

Mengutip pemikiran Dennis F Thompson dalam Political Ethics and Public Office (1987) seperti yang dikutip Mahvis, dalam etika jabatan ada dua ciri yang mendasar; (1) representasional, maksudnya bahwa jabatan publik merupakan wewenang yang dilimpahkan oleh rakyat atas dasar kepercayaan (trust), dan (2) organisasional; maksudnya bahwa jabatan publik dijalankan dengan pejabat lainnya dalam suatu instansi. Dua-karakteristik jabatan publik itu masing-masing melahirkan dua prinsip yakni prinsip tindakan dan prinsip tanggungjawab dalam pengambilan keputusan kebijakan publik.

Dari segi bentuk tanggung jawab publik ada dua unsur, yaitu: tanggungjawab pribadi (personal liability) dan tanggungjawab kolektif (organizational liability). Suatu tindakan menjadi tanggungjawab pribadi kalau tindakan itu dilakukan oleh pejabat negara atas inisiatif sendiri tanpa kesepakatan konsensial dengan kolega dalam institusi. Sebaliknya, suatu tindakan menjadi tanggungjawab kolektif kalau tindakan entah secara pribadi maupun bersama-sama dilakukan atas kesepakatan kolektif dan dalam kapasitas institusional. Untuk kategori tindakan pribadi, seorang pejabat negara bisa bebas dari hukuman setelah melakukan excuse. Tetapi

excuse menjadi tidak mutlak dalam konteks tanggungjawab kolektif.

1 Acauan yang digunakan Wakil Presiden berdasarkan pengalaman bahwa keputusan wapres pernah


(4)

Tindakan Wapres Jusuf Kalla dalam kapasitasnya sebagai Ketua Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana Alam, tentu tidak tanpa sepengetahuan pejabat lainnya, dalam hal ini presiden dan menteri yang terkait. Konsekuensinya, tindakan kekeliruan itu bukanlah tanggungjawab personel yang bisa diselesaikan dengan permakluman melainkan tindakan kolektif yang harus diselesaikan lewat mekanisme pertanggungjawaban publik di parlemen (DPR). Karena bagaimanapun, segala hal yang terkait dengan penyelenggaraan jabatan itu, harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Di dalamnya, segala bentuk kesalahan atau kekeliruanpun harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Implikasinya, pertanggungjawaban yang harus dilakukan eksekutif mesti dilakukan dihadanan DPR sebagai cerminan dari kehendak publik. Dalam perpanjangannya, interpelasi adalah suatu keharusan etis yang tidak bisa diabaikan begitu saja baik oleh legislatif sendiri maupun oleh eksekutif. Kalau hal ini dilakukan maka kebijakan publik tersebut menjadi bermakna.

Atas dasar pemahaman makna tersebut, maka dalam makna proses pengambilan kebijakan publik pada dasarnya memiliki nilai-nilai tertentu yang dapat ditinjau dari aspek politik, aspek organisasi, aspek pribadi, aspek kebijakan, dan aspek ideologis.

4.2. Nilai-nilai Kebijakan Publik

Seperti yang dipaparkan pada pokok bahasan sebelumnya pada hakikatnya kebijakan publik adalah keputusan untuk memilih nilai yang terbaik dari sekian banyak nilai yang ada2. Karenanya menurut Islami (2002:120), kebijakan adalah sesuatu yang bernilai berarti sesuatu yang mempunyai harga atau bobot tertentu.

Berkaitan dengan hal nilai, Fiterbusch (1983) membagi kebijakan publik dalam 5 unsur : keamanan (security), hukum dan ketertiban umum (low and order), keadilan (justice), kebebasan (liberty), dan kesejahteraan

(welfare), dan yang lebih penting adalah pada nilai keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan. Nilai-nilai ini merupakan bentukan dari nilai-nilai, norma-norma dan tujuan-tujaun yang telah mapan yang terdapat dalam masyarakat, sedangkan nilai itu sendiri berasal dari keyakinan, aspirasi, dan kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan dari masyarakat yang harus dipenuhi. Jadi, pembuat kebijakan harus banyak terlibat dalam mengartikulasikan nilai-nilai tersebut dan mengoperasionalisasikan kepentingan-kepentingan itu dalam suatu sistem sosial (Islami, 2002:120). Dalam kaitan seperti inilah nilai-nilai menjadi penting untuk diperhatikan para pengambil kebijakan publik untuk mangartikulasikan nilai-nilai tersebut dan mengoperasionalisasikan kepentingan-kepentingan masyarakat dalam rangka penyeimbang antara kepentingan-kepentingan yang berbeda, tetapi juga berfungsi sebagai valuer (penilai).

2 Pernyataan nilai dan penentuan nilai, menurut Abraham Kaplan seperti yang dikutip Dunn

(2000:99) dalam catatan kakinya adalah relatif tetapi juga objektif… (mereka) mereka menyetujui sesuatu kebenarannya tidak tergantung pada pemikiran yang menyebabkan persetujuan sehingga disebut sebagai “relativisme objektif” berbeda dengan subjektif.


(5)

Disadari bawah seringkali kebijakan-kebijakan yang diambil mengalami konflik nilai, sehingga dituntut suatu tanggung jawab moral yang tinggi bagi setiap pembuat kebijaksanaan negara, sehingga kebijakan yang dibuat lebih berorientasi pada kepentingan negara atau rakyat. Hal ini disebabkan karena objek atau sasaran dari kebijaksanaan negara terebut adalah rakyat. Tangung jawab moral pejabat pembuat kebijaksanaan negara harus berlandaskan nilai harkat kemanusiaan. Menurut Easton, nilai-nilai kebijaksanaan itu nantinya akan dialokasikan secara otoritatif kepada seluruh anggota masyarakat; dan masyarakat mau tidak mau harus menerima konsekuensi dari kebijaksanaan tersebut. Sehingga bagi pembuat kebijakan negara tidak ada alternatif lain kecuali menjadikan sistem nilai masyarakat sebagai pedoman atau landasan dalam setiap proses perumusan kebijakan negara.

Bertolak dari pemikiran di atas, nilai-nilai kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi 5 kategori :

a. Nilai-nilai Politik - keputusan yang dibuat didasarkan pada keuntungan politik, dan kebijakan dilihat sebagai instrumen untuk memperluas pengaruh-pengaruh politik atau untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari kelompok yang bersangkutan.

b. Nilai-nilai Organisasi - pengambil keputusan dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi dimana pengambil keputusan tersebut terlibat di dalamnya.

c. Nilai-nilai Pribadi - pengambil keputusan dimaksudkan untuk melindungi atau memenuhi kesejahteraan atau kebutuhan fisik atau finansial, reputasi diri, atau posisi historis seseorang.

d. Nilai-nilai Kebijakan - pengambil kebijakan bertindak berdasarkan atas persepsi mereka terhadap kepentingan umum atau keyakinan tertentu mengenai kebijakan negara apa yang sekiranya secara moral tepat dan benar.

e. Nilai-nilai Ideologis - pengambil keputusan didasarkan pada nilai-nilai dan keyakinan yang secara logis saling berkaitan dan mencerminkan gambaran sederhana mengenai dunia serta berfungsi sebagai pedoman bertindak bagi masyarakat yang menyakininya.

Dari kelima nilai tersebut, nilai paling mendasar adalah berkaitan dengan nilai ideologi. Dalam konteks Indonesia nilai-nilai ideologis yang selama ini dianut adalah Pancasila.

Pancasila merupakan pandangan hidup dan dasar negara merupakan pencerminan sistem nilai yang mengilhami dan membimbing alam pikiran dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, sehingga pancasila dapat diterima sebagai dasar negara yang mengatur tata hidup ketatanegaraan Indonesia. Sistem penyelenggaraan pemerintahan kita juga harus benar-benar menetapi normanorma yang terkandung di dalam Pancasila, agar tercermin gaya pemerintahan Pancasilaistis.


(6)

Dalam perumusan kebijakan negara, salah satu perwujudan dari pengamalan Pancasila tersebut dapat dilihat dari "dasar", "cara" dan "arah" pejabat negara dalam setiap membuat keputusan atau kebijaksanaan negara. Disini Pancasila dapat dijadikan tolok ukur apakah pembuatan kebijakan itu balk atau buruk. Selanjutnya Pancasila bukan hanya pengukur baik dan buruk kebijaksanaan serta pelaksanaan pembangunan di semua bidang, akan tetapi sekaligus juga sebagai nilai pengukur bagi cara melaksanakan pembangunan tersebut.

Dalam evaluasi atau penilaian terhadap kebijakan negara yang berlandaskan pada niiai-nilai Pancasila. Prinsip utama yang harus dipegang dalam pengambilan keputusan adalah prinsip "musyawarah untuk mencapai mufakat yang diliputi semangat kekeluargaan" yang kemudian ini menjadi tulang punggung dari sistem demkokrasi Pancasila.

Dapat disimpulkan bahwa pembuatan keputusan berdasarkan nilai-nilai Pancasila adalah berdasarkan kepentingan bersama dan kesejahteraan bersama. Jadi setiap perumusan kebijaksanaan negara yang sesuai dengan kepentingan rakyat sudah dapat dipastikan akan mudah memperoleh dukungan (partisipasi) rakyat dalam proses implementasinya.

4.3. Teori Pengambilan Kebijakan Publik

Diantara kita tentu pernah menyaksikan atau bahkan merasakan sendiri peristiwa-peristiwa berikut: ongkos transportasi kota tiba-tiba naik; barang-barang konsumsi tertentu tiba-tiba lenyap dari pasaran; mahasiswa tidak lagi dapat berdemonstrasi; partai politik tidak lagi dapat beroperasi secara bebas di daerah pedesaan atau penggunaan bahan energi tertentu terpaksa harus dicatu dan lain sebagainya.

Peristiwa-peristiwa yang kita contohkan itu sebenarnya untuk menunjukkan bahwa kebanyakan peristiwa yang berlangsung di sekitar kita bukanlah terjadi secara alami, atau sebagai sesuatu yang terjadi karena proses perkembangan yang normal. Dalam pelbagai peristiwa tadi kebijakan negara-lah yang sesungguhnya telah memberikan warna terhadap timbulnya peristiwa tersebut. Dengan kata lain, kebujakan negaralah yang sebenarnya banyak mempengaruhi kehidupan kita seharihari, balk kita sadari atau tidak, mengerti atau tidak.

Beberapa ahli mengembangkan model-model atau teori-teori untuk mengkaji proses perumusan kebijakan agar lebih mudah dipahami. Menurut James Anderson teori pembuatan keputusan terdiri dari 3 bentuk yakni teori rasional komprehensif, teori inkremental dan teori Mixedscamiing (campuran) dari etzioni.

(1) Teori Rasional Komprehensif

Model ini mempakan model perumusan kebijakan yang paling terkenal dan juga paling luas diterima. Teori ini terdiri dari beberapa unsur :


(7)

1. Pembuat keputusan diharapkan pada suatu masalah tertentu. 2. Tujuan, nilai atau sasaran mengarahkan pembuat keputusan

dijelaskan dan diskriskan menurut arti pentingnya.

3. Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki. 4. Konsekuensi-konsekuensi (biaya dan keuntungan) yang timbul

dari setiap pemilihan alternatif diteliti.

5. Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan alternatif-alternatif lain.

6. Pembuat keputusan akan memilih alternatif, berikut konsekuensi-konsekuensi yang dapat memaksimalkan tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang telah digariskan.

Hasil dari proses tersebut di atas adalah keputusan yang rasional, yakni suatu keputusan yang dapat mencapai suatu tujuan yang paling efektif. Teori rasional komprehensif ini banyak mendapatkan kritik, dan kritik yang paling tajam berasal dari seorang All Ekonomi dan Matematika Charles Lindblom (1959, 1964, 1965). Lindblom secar tegas menyatakan bahwa para pembuat keputusan itu sebetulnya tidaklah berhadapan dengan masalah-masalah yang konkrit dan terumuskan dengan jelas. Sebaliknyalah, mereka pertama-tama haruslah mengidentifikasi dan merumuskan masalah-masalah itu dan dari sinilah mereka kemudian mengambil keputusan.

Untuk konteks Negara-negara sedang berkembang, menurut R. S Milne (1972), model rasional komprehensif ini jelas tidak akan mudah diterapkan karena birokrasi di Negara sedang berkembang umumnya dikenal amat lemah dan tidak sanggup memasok unsure-unsur rasional dalam pengambilan keputusan.

Keseluruhan proses tersebut akan menghasilkan suatu keputusan rasional. Ada beberapa kritik terhadap model ini :

1.

Para pembuat keputusan tidak dihadapkan pada masalah-masalah konkrit yang jelas.

2. Teori rasional komprehensif tidak realistis dalarn tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh para pembuat keputusan.

3. Aspek nilai, para pembuat keputusan publik biasanya dihadapkan dengan situasi konflik dari pada kesepakatan nilai.

4. Kenyataan balawa para pembuat keputusan tidak mempunyai motivasi untuk menetapkan kepuriisan berdasarkan tujuan masyarakat, tetapi sebaliknya mereka mencoba memaksimalkan keuntungan mereka sendiri.

5. Para pembuat keputusan mempunyai kebutuhan-kebutuhan, hambatanhambatan dan kekurangan-kekurangan sehingga menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keputusan-keputusan atas dasar rasianalitas yang tinggi.


(8)

Teori incremental dalam pengambilan keputusan mencerminkan suatu teori pengambilan keputusan yang menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan pada saat yang sama, merupakan teori yang lebih banyak menggambarkan cara yang ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambil keputusan sehari-hari.

Pokok-pokok teori incremental ini ialah: Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan empiris yang diperlukan untuk mencapainya dipandang sebagai sesuatu hal yang saling terkait daripada sebagai sesuatu hal yang saling terpisah. Pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang langsung berhubungan dengan pokok masalah, dan alternatif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara incremental atau marginal bila dibandingkan dengan kebijaksanaan yang ada sekarang.

Bagi tiap alternatif hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang mendasar saja yang akan dievaluasi.

Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan diredifinisikan secara teratur. Pandangan inkrementalisme memberikan kemungkinan untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana serta sarana dan tujuan sehingga menjadikan dampak dari masalah itu lebih dapat ditanggulangi.

Bahwa tidak ada keputusan atau cara pemecahan yang tepat bagi tiap masalah. Batu uji bagi keputusan yang balk terletak pada keyakinan bahwa berbagai analisis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan tertentu, meskipun tanpa menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling tepat sebagai sarana untuk mencapai tujuan.

Pembuatan keputusan yang incremental pada hakikatnya bersifat perbaikan-perbaikan kecil dan hal ini lebih diarahkan untuk memperbaiki ketidaksempurnaan dari upaya-upaya konkrit dalam mengatasi masalah sosial yang ada Semarang daripada sebagai upaya untuk menyodorka tujuan-tujuan sosial yang sama sekali baru di masa yang akan datang.

Lindblom yakin bahwa paham incremental ini merupakan ciri khas proses pembuatan keputusan dalam masyarakat yang strukturnya majemuk, seperti Amerika Serikat.

Kritik terhadap teori rasional komprehensif melahirkan teori inkremental atau penambahan. Inla-ementalisme merupakan proses pembuatan keputusankeputusan dalam masyarakat-masyarakat pluralis. Keputusan-kepuhisan dan kebijakan-kebijakan merupakan hasil kompromi dan kesepakatan bersama antara banyak partisipan. Para pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensikonsekuensi dari tindakan mereka dimasa depan, maka keputusan-keputusan inkremental dapat mengurangi resiko atau biaya ketidak pastian itu. Inlcrementalisme bersifat


(9)

realistis. Artinya inkrementalisme menghasilkan keputusan-keputusan yang terbatas, dapat dilakukan dan diterima.

(3) Teori Campuran (Mixedscanning)

Kedua teori diatas dasarnya mempunyai keunggiilan dan kelemahannya masingmasing Datarn rangka mencari teori yang lebih komprehensif etzioni mencoba membuat gabungan antara keduanya.

Dalam penyelidikan campuran para pembuat keputusan dapat memanfaatkan teori-teori rasional komprehensif dan inkremental dalam situiasi-situasi yang berbeda. Teori campuran juga memperlutungkan kemampuan-kemampuan yang berbeda dari para pembuat keputusan. Pendekatan yang ditawarkan Etzioni dapat membantu mengingatkan kenyataan-kenyataan penting bahwa keputusan benibah secara besar-besaran dan proses keputusan yang berbeda adalah wajar sejalan dengan sifat keputusan yang berubah-ubah tadi.

Penganjur teori ini adalah ahli sosiologi organisasi Amitai Etzioni. Etzioni setuju terhadap kritik-kritik para teoritisi incremental yang diarahkan pada teori rasional komprehensif, akan tetapi la juga menunjukkan adanya beberapa kelemahan yang terdapat pada teori incremental.

Misalnya, keputusan-keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan penganut model incremental akan lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang kuat dan mapan serta kelompok-kelompok yang rnampu mengorganisasikan kepentingannya dalam masyarakat, sementara itu kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang lemah dan yang secara politis tidak mampu mengorganisasikan kepentingannya praktis akan terabaikan. Lebih lanjut, dengan memusatkan perhatiannya pada kepentingan / tujuan jangka pendek dan hanya berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada sekarang, maka model incremental cenderung mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social inovation) yang mendasar. Oleh karena itu, menurut Yehezkiel Dror (1968) gaya incremental dalam pembuatan keputusan cenderung menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo, sehingga merintangi upaya menyempurnakan proses pembuatan keputusan itu sendiri.


(10)

BAHAN BACAAN UTAMA

Abdul Wahid, Slocihin, 2002, Analisa Kebijaksanaan, Dari Reformulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta, Bumi Aksara, Halaman 16 – 34 dan 45 - 58.

Islam, Irfan, 2002, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Publik, Jakarta, Bumi Aksara, Halaman 120 – 128.

Mahvis, Imam, 2005, Kontroversi Penerbitan SK Wapres, Suara Merdeka, 26 Januari 2005


(1)

Disadari bawah seringkali kebijakan-kebijakan yang diambil mengalami konflik nilai, sehingga dituntut suatu tanggung jawab moral yang tinggi bagi setiap pembuat kebijaksanaan negara, sehingga kebijakan yang dibuat lebih berorientasi pada kepentingan negara atau rakyat. Hal ini disebabkan karena objek atau sasaran dari kebijaksanaan negara terebut adalah rakyat. Tangung jawab moral pejabat pembuat kebijaksanaan negara harus berlandaskan nilai harkat kemanusiaan. Menurut Easton, nilai-nilai kebijaksanaan itu nantinya akan dialokasikan secara otoritatif kepada seluruh anggota masyarakat; dan masyarakat mau tidak mau harus menerima konsekuensi dari kebijaksanaan tersebut. Sehingga bagi pembuat kebijakan negara tidak ada alternatif lain kecuali menjadikan sistem nilai masyarakat sebagai pedoman atau landasan dalam setiap proses perumusan kebijakan negara.

Bertolak dari pemikiran di atas, nilai-nilai kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi 5 kategori :

a. Nilai-nilai Politik - keputusan yang dibuat didasarkan pada keuntungan politik, dan kebijakan dilihat sebagai instrumen untuk memperluas pengaruh-pengaruh politik atau untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari kelompok yang bersangkutan.

b. Nilai-nilai Organisasi - pengambil keputusan dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi dimana pengambil keputusan tersebut terlibat di dalamnya.

c. Nilai-nilai Pribadi - pengambil keputusan dimaksudkan untuk melindungi atau memenuhi kesejahteraan atau kebutuhan fisik atau finansial, reputasi diri, atau posisi historis seseorang.

d. Nilai-nilai Kebijakan - pengambil kebijakan bertindak berdasarkan atas persepsi mereka terhadap kepentingan umum atau keyakinan tertentu mengenai kebijakan negara apa yang sekiranya secara moral tepat dan benar.

e. Nilai-nilai Ideologis - pengambil keputusan didasarkan pada nilai-nilai dan keyakinan yang secara logis saling berkaitan dan mencerminkan gambaran sederhana mengenai dunia serta berfungsi sebagai pedoman bertindak bagi masyarakat yang menyakininya.

Dari kelima nilai tersebut, nilai paling mendasar adalah berkaitan dengan nilai ideologi. Dalam konteks Indonesia nilai-nilai ideologis yang selama ini dianut adalah Pancasila.

Pancasila merupakan pandangan hidup dan dasar negara merupakan pencerminan sistem nilai yang mengilhami dan membimbing alam pikiran dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, sehingga pancasila dapat diterima sebagai dasar negara yang mengatur tata hidup ketatanegaraan Indonesia. Sistem penyelenggaraan pemerintahan kita juga harus benar-benar menetapi normanorma yang terkandung di dalam Pancasila, agar tercermin gaya pemerintahan Pancasilaistis.


(2)

Dalam perumusan kebijakan negara, salah satu perwujudan dari pengamalan Pancasila tersebut dapat dilihat dari "dasar", "cara" dan "arah" pejabat negara dalam setiap membuat keputusan atau kebijaksanaan negara. Disini Pancasila dapat dijadikan tolok ukur apakah pembuatan kebijakan itu balk atau buruk. Selanjutnya Pancasila bukan hanya pengukur baik dan buruk kebijaksanaan serta pelaksanaan pembangunan di semua bidang, akan tetapi sekaligus juga sebagai nilai pengukur bagi cara melaksanakan pembangunan tersebut.

Dalam evaluasi atau penilaian terhadap kebijakan negara yang berlandaskan pada niiai-nilai Pancasila. Prinsip utama yang harus dipegang dalam pengambilan keputusan adalah prinsip "musyawarah untuk mencapai mufakat yang diliputi semangat kekeluargaan" yang kemudian ini menjadi tulang punggung dari sistem demkokrasi Pancasila.

Dapat disimpulkan bahwa pembuatan keputusan berdasarkan nilai-nilai Pancasila adalah berdasarkan kepentingan bersama dan kesejahteraan bersama. Jadi setiap perumusan kebijaksanaan negara yang sesuai dengan kepentingan rakyat sudah dapat dipastikan akan mudah memperoleh dukungan (partisipasi) rakyat dalam proses implementasinya.

4.3. Teori Pengambilan Kebijakan Publik

Diantara kita tentu pernah menyaksikan atau bahkan merasakan sendiri peristiwa-peristiwa berikut: ongkos transportasi kota tiba-tiba naik; barang-barang konsumsi tertentu tiba-tiba lenyap dari pasaran; mahasiswa tidak lagi dapat berdemonstrasi; partai politik tidak lagi dapat beroperasi secara bebas di daerah pedesaan atau penggunaan bahan energi tertentu terpaksa harus dicatu dan lain sebagainya.

Peristiwa-peristiwa yang kita contohkan itu sebenarnya untuk menunjukkan bahwa kebanyakan peristiwa yang berlangsung di sekitar kita bukanlah terjadi secara alami, atau sebagai sesuatu yang terjadi karena proses perkembangan yang normal. Dalam pelbagai peristiwa tadi kebijakan negara-lah yang sesungguhnya telah memberikan warna terhadap timbulnya peristiwa tersebut. Dengan kata lain, kebujakan negaralah yang sebenarnya banyak mempengaruhi kehidupan kita seharihari, balk kita sadari atau tidak, mengerti atau tidak.

Beberapa ahli mengembangkan model-model atau teori-teori untuk mengkaji proses perumusan kebijakan agar lebih mudah dipahami. Menurut James Anderson teori pembuatan keputusan terdiri dari 3 bentuk yakni teori rasional komprehensif, teori inkremental dan teori Mixedscamiing (campuran) dari etzioni.

(1) Teori Rasional Komprehensif

Model ini mempakan model perumusan kebijakan yang paling terkenal dan juga paling luas diterima. Teori ini terdiri dari beberapa unsur :


(3)

1. Pembuat keputusan diharapkan pada suatu masalah tertentu. 2. Tujuan, nilai atau sasaran mengarahkan pembuat keputusan

dijelaskan dan diskriskan menurut arti pentingnya.

3. Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki. 4. Konsekuensi-konsekuensi (biaya dan keuntungan) yang timbul

dari setiap pemilihan alternatif diteliti.

5. Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan alternatif-alternatif lain.

6. Pembuat keputusan akan memilih alternatif, berikut konsekuensi-konsekuensi yang dapat memaksimalkan tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang telah digariskan.

Hasil dari proses tersebut di atas adalah keputusan yang rasional, yakni suatu keputusan yang dapat mencapai suatu tujuan yang paling efektif. Teori rasional komprehensif ini banyak mendapatkan kritik, dan kritik yang paling tajam berasal dari seorang All Ekonomi dan Matematika Charles Lindblom (1959, 1964, 1965). Lindblom secar tegas menyatakan bahwa para pembuat keputusan itu sebetulnya tidaklah berhadapan dengan masalah-masalah yang konkrit dan terumuskan dengan jelas. Sebaliknyalah, mereka pertama-tama haruslah mengidentifikasi dan merumuskan masalah-masalah itu dan dari sinilah mereka kemudian mengambil keputusan.

Untuk konteks Negara-negara sedang berkembang, menurut R. S Milne (1972), model rasional komprehensif ini jelas tidak akan mudah diterapkan karena birokrasi di Negara sedang berkembang umumnya dikenal amat lemah dan tidak sanggup memasok unsure-unsur rasional dalam pengambilan keputusan.

Keseluruhan proses tersebut akan menghasilkan suatu keputusan rasional. Ada beberapa kritik terhadap model ini :

1.

Para pembuat keputusan tidak dihadapkan pada masalah-masalah konkrit yang jelas.

2. Teori rasional komprehensif tidak realistis dalarn tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh para pembuat keputusan.

3. Aspek nilai, para pembuat keputusan publik biasanya dihadapkan dengan situasi konflik dari pada kesepakatan nilai.

4. Kenyataan balawa para pembuat keputusan tidak mempunyai motivasi untuk menetapkan kepuriisan berdasarkan tujuan masyarakat, tetapi sebaliknya mereka mencoba memaksimalkan keuntungan mereka sendiri.

5. Para pembuat keputusan mempunyai kebutuhan-kebutuhan, hambatanhambatan dan kekurangan-kekurangan sehingga menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keputusan-keputusan atas dasar rasianalitas yang tinggi.


(4)

Teori incremental dalam pengambilan keputusan mencerminkan suatu teori pengambilan keputusan yang menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan pada saat yang sama, merupakan teori yang lebih banyak menggambarkan cara yang ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambil keputusan sehari-hari.

Pokok-pokok teori incremental ini ialah: Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan empiris yang diperlukan untuk mencapainya dipandang sebagai sesuatu hal yang saling terkait daripada sebagai sesuatu hal yang saling terpisah. Pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang langsung berhubungan dengan pokok masalah, dan alternatif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara incremental atau marginal bila dibandingkan dengan kebijaksanaan yang ada sekarang.

Bagi tiap alternatif hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang mendasar saja yang akan dievaluasi.

Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan diredifinisikan secara teratur. Pandangan inkrementalisme memberikan kemungkinan untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana serta sarana dan tujuan sehingga menjadikan dampak dari masalah itu lebih dapat ditanggulangi.

Bahwa tidak ada keputusan atau cara pemecahan yang tepat bagi tiap masalah. Batu uji bagi keputusan yang balk terletak pada keyakinan bahwa berbagai analisis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan tertentu, meskipun tanpa menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling tepat sebagai sarana untuk mencapai tujuan.

Pembuatan keputusan yang incremental pada hakikatnya bersifat perbaikan-perbaikan kecil dan hal ini lebih diarahkan untuk memperbaiki ketidaksempurnaan dari upaya-upaya konkrit dalam mengatasi masalah sosial yang ada Semarang daripada sebagai upaya untuk menyodorka tujuan-tujuan sosial yang sama sekali baru di masa yang akan datang.

Lindblom yakin bahwa paham incremental ini merupakan ciri khas proses pembuatan keputusan dalam masyarakat yang strukturnya majemuk, seperti Amerika Serikat.

Kritik terhadap teori rasional komprehensif melahirkan teori inkremental atau penambahan. Inla-ementalisme merupakan proses

pembuatan keputusankeputusan dalam masyarakat-masyarakat pluralis. Keputusan-kepuhisan dan kebijakan-kebijakan merupakan hasil kompromi dan kesepakatan bersama antara banyak partisipan. Para pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya berada dibawah keadaan yang tidak pasti yang berhubungan dengan konsekuensikonsekuensi dari tindakan mereka dimasa depan, maka keputusan-keputusan inkremental dapat mengurangi resiko atau biaya ketidak pastian itu. Inlcrementalisme bersifat


(5)

realistis. Artinya inkrementalisme menghasilkan keputusan-keputusan yang terbatas, dapat dilakukan dan diterima.

(3) Teori Campuran (Mixedscanning)

Kedua teori diatas dasarnya mempunyai keunggiilan dan kelemahannya masingmasing Datarn rangka mencari teori yang lebih komprehensif etzioni mencoba membuat gabungan antara keduanya.

Dalam penyelidikan campuran para pembuat keputusan dapat memanfaatkan teori-teori rasional komprehensif dan inkremental dalam situiasi-situasi yang berbeda. Teori campuran juga memperlutungkan kemampuan-kemampuan yang berbeda dari para pembuat keputusan. Pendekatan yang ditawarkan Etzioni dapat membantu mengingatkan kenyataan-kenyataan penting bahwa keputusan benibah secara besar-besaran dan proses keputusan yang berbeda adalah wajar sejalan dengan sifat keputusan yang berubah-ubah tadi.

Penganjur teori ini adalah ahli sosiologi organisasi Amitai Etzioni. Etzioni setuju terhadap kritik-kritik para teoritisi incremental yang diarahkan pada teori rasional komprehensif, akan tetapi la juga menunjukkan adanya beberapa kelemahan yang terdapat pada teori incremental.

Misalnya, keputusan-keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan penganut model incremental akan lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang kuat dan mapan serta kelompok-kelompok yang rnampu mengorganisasikan kepentingannya dalam masyarakat, sementara itu kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang lemah dan yang secara politis tidak mampu mengorganisasikan kepentingannya praktis akan terabaikan. Lebih lanjut, dengan memusatkan perhatiannya pada kepentingan / tujuan jangka pendek dan hanya berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada sekarang, maka model incremental cenderung mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social inovation) yang mendasar. Oleh karena itu, menurut Yehezkiel Dror (1968) gaya incremental dalam pembuatan keputusan cenderung menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo, sehingga merintangi upaya menyempurnakan proses pembuatan keputusan itu sendiri.


(6)

BAHAN BACAAN UTAMA

Abdul Wahid, Slocihin, 2002, Analisa Kebijaksanaan, Dari Reformulasi ke

Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta, Bumi Aksara, Halaman

16 – 34 dan 45 - 58.

Islam, Irfan, 2002, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Publik, Jakarta, Bumi Aksara, Halaman 120 – 128.

Mahvis, Imam, 2005, Kontroversi Penerbitan SK Wapres, Suara Merdeka, 26 Januari 2005