Status Antioksidan Tikus Jantan Diinduksi CCl4 dengan Perlakuan Nanopartikel Kurkuminoid Temulawak Lokal Ciemas

STATUS ANTIOKSIDAN TIKUS JANTAN DIINDUKSI CCl4
DENGAN PERLAKUAN NANOPARTIKEL KURKUMINOID
TEMULAWAK LOKAL CIEMAS

EDWIN AFITRIANSYAH

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Status Antioksidan
Tikus Jantan Diinduksi CCl4 dengan Perlakuan Nanopartikel Kurkuminoid
Temulawak Lokal Ciemas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Penelitian ini merupakan bagian dari proyek penelitian Hibah
Kompetitif Penelitian Strategis Unggulan Nasional tahun 2011 atas nama Dr
Laksmi Ambarsari MS dkk dengan judul Produksi Nanokurkuminoid Berbasis

Bahan Baku Terstandar Secara Genetik dan Metabolik untuk Meningkatkan Nilai
Tambah Biodiversitas Lokal Demi Kemajuan Bangsa. Proyek penelitian ini
didanai oleh DIKTI dengan nomor kontrak 476/SP2H/PL/Dit.Litabmas/V/2011.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Edwin Afitriansyah
NIM G84090048

ABSTRAK
EDWIN AFITRIANSYAH. Status Antikosidan Tikus Jantan Diinduksi CCl4
Perlakuan Nanopartikel Kurkuminoid Temulawak Lokal Ciemas. Dibimbing oleh
LAKSMI AMBARSARI dan EDY DJAUHARI PURWAKUSUMAH.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan tanaman khas Indonesia
memiliki aktivitas antioksidan. Pengujian klinis memperlihatkan bahwa kurkumin
aman pada dosis tinggi (12 gram/hari) tetapi memiliki bioavailabilitas yang
rendah. Penelitian ini bertujuan mengukur peningkatan bioavailabilitas

kurkuminoid melalui efektivitas nanopartikel kurkuminoid sebagai antioksidan
pada tikus yang dinduksi CCl4. Nanopartikel kurkuminoid dihasilkan dengan
metode homogenisasi-ultrasonikasi, selanjutnya 27 ekor tikus jantan dibagi ke
dalam 9 kelompok perlakuan yang akan dilakukan pengukuran aktivitas
antioksidan hati. Produk nanopartikel kurkuminoid menunjukkan hasil yang baik
dengan efisiensi penjerapan sebesar 79% dan ukuran partikel sebesar 114.4 ± 33.8
nm dengan nilai indeks polidispersitas (IP) 0.218. Secara umum, kondisi tikus
percobaan setiap kelompok tidak mengalami kelainan perilaku dan gejala
fisiologis lainnya. Formula terbaik analisis status antioksidan ditunjukkan
pemberian nanopartikel dosis 1500 mg yang dapat menekan kondisi stres oksidatif
akibat pemberian CCl4 melalui penurunan kadar malondialdehida (MDA) dan
aktivitas glutation peroksidase (GPx) serta peningkatan aktivitas superoksida
dismutase (SOD) dan peroksidase jika dibanding kelompok lain.
Kata kunci: antioksidan, bioavailabilitas, kurkuminoid, nanopartikel, temulawak.

ABSTRACT
EDWIN AFITRIANSYAH. Antioxidant Status in Male Rats CCl4 induce with
Curcuminoid Java Turmeric Local Ciemas Nanoparticles. Supervised by
LAKSMI AMBARSARI and EDY DJAUHARI PURWAKUSUMAH.
Java turmeric (Curcuma xanthorrhiza) is a typical Indonesian plants that has

antioxidant activity. Clinical testing showed that curcumin is safe at high doses
(12 g/day) but has low bioavailability. This study aimed to measure the increase
curcuminoids bioavailability through nanoparticle curcuminoids effectiveness as
an antioxidant in rats induce CCl4. Nanoparticle curcuminoids was produced with
homogenization-ultrasonication method, after that 27 male rats were divided into
9 groups that will be measured the liver antioxidant activity. The nanoparticle
curcuminoids product showed good results with the adsorption efficiency 79%
and a particle size 114.4 ± 33.8 nm with IP value 0.218. Generally, the condition
of each group of rats did not showed behavior and other physiological symptoms
disorder. The best formula from antioxidant status analysis demonstrated 1500 mg
dose of nanoparticles can suppress oxidative stress conditions caused by CCl4
administration through decreased levels of MDA and GPx activity and increased
activity of SOD and peroxidase than other groups.
Keywords: antioxidant, bioavailability, curcuminoids, java turmeric, nanoparticle.

STATUS ANTIOKSIDAN TIKUS JANTAN DIINDUKSI CCl4
DENGAN PERLAKUAN NANOPARTIKEL KURKUMINOID
TEMULAWAK LOKAL CIEMAS

EDWIN AFITRIANSYAH


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Status Antioksidan Tikus Jantan Diinduksi CCl4 dengan Perlakuan
Nanopartikel Kurkuminoid Temulawak Lokal Ciemas
Nama
: Edwin Afitriansyah
NIM
: G84090048


Disetujui oleh

Dr. Laksmi Ambarsari, M.S
Pembimbing I

Drs. Edy Djauhari P, M.Si
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini ialah
kesehatan, dengan judul Status Antioksidan Tikus Jantan Diinduksi CCl4 dengan

Perlakuan Nanopartikel Kurkuminoid Temulawak Lokal Ciemas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Laksmi Ambarsari MS dan
Drs. Edy Djauhari P MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Muslih dari
Sekolah Pasca Sarjana Kimia, dr. Devi beserta tim dari Pusat Studi Satwa Primata,
Riska, Suryadi dan Budi yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Edwin Afitriansyah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

METODE

2

Waktu dan Tempat Penelitian

2

Bahan


2

Alat

2

Prosedur Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN

6
6
10
16


Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

28


DAFTAR TABEL
1 Hasil pengukuran efisiensi penjerapan kurkuminoid
2 Hasil pengukuran bobot tikus selama percobaan

7
7

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Nilai rendemen ekstrak etanol temulawak
Penampakan fisik nanopartikel kurkuminoid
Hasil pengukuran distribusi ukuran dengan PSA (Particle Size Analizer)

Penampakan fisik hati tikus
Kadar MDA tiap kelompok perlakuan
Aktivitas SOD tiap kelompok perlakuan
Aktivitas glutation peroksidase tiap kelompok
Aktivitas peroksidase tiap kelompok

6
6
7
8
9
9
9
10

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Diagram alir penelitian
Rendemen ekstrak rimpang temulawak
Hasil pengukuran efisiensi penjerapan kurkuminoid
Hasil pengukuran ukuran partikel dengan Particle Size Analizer (PSA)
Hasil pengukuran aktivitas lipid peroksida
Hasil pengukuran aktivitas superoksida dismutase (SOD)
Hasil pengukuran aktivitas glutation peroksidase (GPx)
Hasil pengukuran aktivitas Peroksida
Hasil analisis uji statistik ANOVA dan Duncan dengan SPSS

19
20
21
22
23
24
25
26
27

PENDAHULUAN
Perubahan lingkungan yang meningkatkan pencemaran berdampak negatif
pada kesehatan. Hal tersebut disebabkan penumpukan radikal bebas di dalam
tubuh. Radikal bebas terutama yang bersifat eksogen merupakan penyebab utama
penyakit degeneratif seperti jantung koroner (aterosklerosis), stroke, diabetes dan
kanker (Prangdimurti et al. 2006). Salah satu sumber radikal bebas dari luar yang
dapat menimbulkan stres oksidatif adalah senyawa toksik seperti karbon
tetraklorida (CCl4). Pada prinsipnya kerusakan sel hati akibat CCl4 disebabkan
oleh peroksidasi lipid sehingga terjadi penurunan aktivitas enzim-enzim
antioksidan (Benzejani 2011).
Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia mengenal dan menggunakan
tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya menanggulangi masalah
kesehatan. Obat herbal memiliki beberapa keunggulan seperti lebih ekonomis dan
efek samping dari obat herbal sangat kecil. Oleh sebab itu, penggunaan obat
herbal alami dengan formulasi yang tepat sangat penting dan tentunya lebih aman
dan efektif (Moelyono 2007). Penggunaan bahan alam tumbuhan sebagai obat
dapat diaplikasikan dalam tiga bentuk, yaitu sebagai jamu, sediaan herbal
terstandar dan sediaan fitofarmaka. Penggunaan herbal yang paling diharapkan
adalah penggunaannya sebagai sediaan fitofarmaka yaitu sediaan herbal terstandar
dan telah menjalani serta lulus pengujian klinik. Sediaan fitofarmaka ini bukan
saja menjadi alternatif dalam pengobatan, tetapi menjadi mitra sejajar obat sintetis
dalam sistem layanan kesehatan formal (Moelyono 2007).
Temulawak merupakan tumbuhan yang banyak digunakan untuk obat atau
bahan obat, sehingga dapat dikatakan temulawak merupakan primadona tumbuhan
obat Indonesia. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) merupakan salah satu
tumbuhan obat suku temu-temuan yang banyak tumbuh di Indonesia. Rimpang
temulawak memiliki kandungan berupa senyawa sesquiterpen (seperti xantorizol,
bisakumol, bisakurol, bisakurona, dan zingiberena) dan kurkuminoid sekitar 1–
2% (Duke et al. 2003). Kurkuminoid merupakan senyawa utama yang terkandung
dalam tanaman obat temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan kunyit
(Curcuma longa Linn.) yang memiliki beberapa khasiat seperti sebagai
antioksidan, antiinflamasi, hepatoprotektor, imunostimulan, antifluburung dan
sebagai antikanker (Rahardjo 2010).
Pengujian klinis menunjukkan bahwa kurkuminoid aman untuk manusia
bahkan pada dosis tinggi (12 gram/hari) tetapi memiliki bioavailabilitas yang
sangat rendah. Alasan utama penyebab rendahnya bioavalabilitas kurkuminoid
adalah senyawa tersebut hampir tidak larut dalam air pada pH asam dan netral
sehingga sulit terabsorpsi (Konatham et al. 2010). Selain itu, kurkuminoid
mengalami metabolisme yang cepat (Anand et al. 2007) dan pengeluaran sistemik
yang cepat (Wang et al. 2008).
Cara yang umum digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah
dengan menggunakan adjuvan untuk memblokir jalur metabolik kurkumin,
pembentukan kompleks nanopartikel, liposom, misel, dan fosfolipid. Hal tersebut
untuk menghasilkan sirkulasi yang lebih lama, permeabilitas yang lebih baik dan
tahan terhadap proses metabolisme (Anand et al. 2007). Di antara pembawa
penghantaran obat modern, nanopartikel lemak padat (solid lipid

2
nanoparticle/SLN) telah menjadi sistem koloid pembawa yang menjanjikan
(Yadav et al. 2008).
Berbagai penelitian untuk mengembangkan nanopartikel lemak padat
sebagai sistem pengantaran obat telah banyak dilakukan. Penelitian lebih lanjut
telah berhasil mendapatkan formulasi yang tepat dalam pembentukan nanopartikel
kurkuminoid tersalut lipid. Formulasi tersebut menghasilkan nanopartikel dengan
ukuran partikel yang kecil dan seragam, kristalinitas yang baik, dan efisiensi
penjerapan yang tinggi (>70%). Metode yang dikembangkan tersebut
menggunakan metode homogenisasi-ultrasonikasi dengan amplitudo 20% dan
waktu 60 menit (Mujib 2011). Namun penelitian lanjutan mengukur efektivitas
nanopartikel tersebut terutama sebagai antioksidan pada tikus dengan keadaan
stress oksidatif belum pernah dilakukan.
Penelitian ini bertujuan mengukur efektivitas nanopartikel kurkuminoid
tersalut lemak padat dengan metode homogenisasi dan ultrasonikasi sebagai
antioksidan pada tikus dengan perlakuan stres oksidatif yang dinduksi CCl4. Hal
ini dapat diukur melalui aktivitas enzim-enzim antioksidan dan kadar MDA pada
tikus dengan kondisi stress oksidatif yang diberikan nanopartikel kurkuminoid
tersebut. Kegiatan penelitian ini dilakukan sebagai langkah awal pemanfaatan
kurkuminoid sebagai sediaan fitofarmaka.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 8 bulan mulai Januari sampai Agustus 2013.
Tempat pelaksanaannya di laboratorium Kimia Fisik, Departemen Kimia FMIPA
IPB; laboratorium Biofisika Material, Departemen Fisika FMIPA IPB;
Laboratorium Pusat Studi Satwa Primata, Bogor; dan Laboratorium Pusat Studi
Biofarmaka, Bogor.
Bahan
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain simplisia rimpang
temulawak varietas lokal Ciemas dan Cursina 3 hasil budidaya Pusat Studi
Biofarmaka dengan ukuran 100 mesh dan kadar air 19.26%, asam palmitat
(Merck), poloksamer 188, air reverse osmosis (RO), etanol, n-heksana, standar
kurkuminoid, metanol, CCl4, pakan dan air minum, sekam (beeding), larutan
pengukuran superoksida dismutase, peroksidase, glutation peroksidase dan
malondialdehida (MDA) serta tikus (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley
berasal dari Pusat Studi Satwa Primata berumur 2-3 bulan dengan bobot 180-200
gram.
Alat
Alat yang digunakan adalah pengaduk magnet, homogenizer (Ultra Turrax
T18), ultrasonic processor (130 Watt 20 kHz, Cole-Parmer), mikrosentrifusa,

3
spektrofotometer UV-Vis (UV-1700 Pharmaspec), particle size analyzer (Delsa
NanoC, Beckman Coulter), microplate reader dan kandang percobaan.

Prosedur Analisis Data
Secara keseluruhan alur penelitian dalam pengukuran efektivitas
nanopartikel kurkuminoid terhadap aktivitas enzim antioksidan pada tikus yang
diberi stres oksidatif adalah isolasi kurkuminoid, produksi nanokurkuminoid,
perlakuan hewan coba dan pengukuran aktivitas enzim (Lampiran 1). Tahapan
metode penelitian secara lebih lanjut akan dibahas pada pemaparan dibawah ini :
Isolasi Kurkuminoid
Serbuk rimpang temulawak varietas lokal Ciemas dan Cursina 3 kering
sebanyak 100 gram diekstraksi secara maserasi dengan etanol 96% selama 48 jam.
Ekstrak disaring dan filtratnya dikumpulkan dalam labu ekstraksi. Ekstrak etanol
hasil maserasi difraksinasi cair-cair dengan n-heksana(1:1). Fraksi etanol hasil
fraksinasi kemudian dihilangkan pelarutnya secara freeze drying (Sutrisno et al.
2008 yang modifikasi).
Produksi Nanopartikel Kurkuminoid Tersalut Asam Palmitat
Fase lemak terdiri atas 1 gram asam palmitat dan 0.1 gram kurkuminoid
temulawak yang dipanaskan pada suhu 75˚C sambil diaduk. Fase air terdiri atas
0.5 gram poloksamer 188 dan air RO 100 mL yang dipanaskan pada suhu 75oC.
Fase lemak didispersikan ke dalam fase air sambil diaduk. Emulsi yang dihasilkan
kemudian dihomogenisasi dengan kecepatan 13500 rpm selama 5 menit,
selanjutnya dinginkan pada penangas es. Emulsi yang sudah dingin diultrasonikasi
dengan amplitudo 20% selama 60 menit. Nanopartikel kurkuminoid yang
diperoleh didinginkan pada suhu dingin (Mujib 2011).
Efisiensi Penjerapan
Nanopartikel kurkuminoid yang dihasilkan disentrifugasi dengan kecepatan
18626 g pada suhu 4°C selama 40 menit dan supernatannya didekantasi.
Residunya dicuci dengan metanol untuk mengekstraksi kurkuminoid yang terjerap
dan disentrifugasi kembali. Serapan supernatan metanol diukur pada panjang
gelombang 425 nm. Konsentrasi kurkuminoid terjerap diperoleh dengan
menggunakan persamaan regresi linear dari deret standar kurkuminoid (Yadav et
al. 2008).
Ukuran Partikel
Emulsi nanopartikel kurkuminoid yang dihasilkan selanjutnya dianalisis
ukuran partikelnya berdasarkan distribusi jumlah dengan menggunakan particle
size analyzer (Pang et al. 2007).
Rancangan Percobaan dan Hewan Uji
Status antioksidan dengan induksi CCl4 secara in vivo mengunakan metode
Konatham (2010). Penelitian ini digunakan 27 ekor tikus jantan galur Sprague
Dawley. Tikus dibagi menjadi sembilan kelompok yang masing-masing kelompok

4
terdiri dari 3 ekor. Sebelum percobaan tikus ditimbang bobot badan. Selanjutnya
tikus dibuat rusak hatinya dengan 0.7 mL/ kgBB CCl4 25% (dalam olive oil) pada
hari ke 3, 6, dan 9 secara intraperitoneal kecuali kelompok normal.
Tikus kelompok pertama diberi nanokurkuminoid temulawak lokal Ciemas
dengan dosis 50 mg/kgBB, tikus kelompok kedua diberi nanokurkuminoid
temulawak lokal Ciemas dengan dosis 100 mg/kgBB, tikus kelompok ketiga
diberi nanokurkuminoid temulawak lokal Ciemas dengan dosis 1500 mg /kg BB,
tikus kelompok keempat diberi ekstrak kurkuminoid temulawak lokal Ciemas
dengan dosis 100 mg/kgBB, tikus kelompok kelima kontrol negatif diberi diberi
nanokurkuminoid kosong dengan dosis 100 mg/kgBB, kelompok keenam kontrol
negatif pemberian CCl4 saja, tikus kelompok ketujuh adalah kelompok kontrol
positif yang diberikan vitamin C 36 mg/kgBB, tikus kelompok delapan adalah
kelompok kontrol positif yang diberikan standar kurkumin 20 mg/kgBB, dan
kelompok kesembilan adalah kelompok normal tanpa induksi CCl4 yang hanya
diberi NaCl 0.9% dengan dosis 100 mg/kgBB. Semua sediaan diberikan secara
oral dalam bentuk larutan dalam air dengan sonde lambung. Hari ke-10 tikus
diambil hatinya, dicuci dengan larutan fisiologis dingin dan disimpan pada -20°C
sampai dilakukan pengukuran untuk setiap enzim.
Pengukuran Konsentrasi Malonaldehida (MDA).
Preparasi sampel dengan cara 10 mg jaringan hati dihomogenisasi dengan
penambahan 300 µL lisis bufer MDA (3 µL BHT 100x). Homogenat yang
dihasilkan selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 13000 g selama 10 menit.
Sedangkan untuk standar dilakukan dengan sebanyak 10 µL standar MDA
diencerkan dengan 407 µ L ddH2O untuk mempersiapkan 0.1 M MDA. Kemudian
20 µL 0.1 M MDA diencerkan dengan penambahan 980 µL ddH2O untuk
menyiapkan 2 mM MDA, selanjutnya ditambahkan 0, 2, 4, 6, 8, 10 µL dari 2 mM
MDA ke tabung microcentrifuge terpisah dan disesuaikan volume akhir 200 µL
dengan ddH2O. Sebanyak 600 µL larutan TBA ditambahkan dalam setiap botol
berisi standar dan sampel. Selanjutnya dilakukan inkubasi pada suhu 95°C selama
60 menit. Campuran reaksi didinginkan sampai suhu kamar dalam penangas es
selama 10 menit. Campuran reaksi sebanyak 200 µL (dari 800 µL reaksi
campuran) dipipet ke dalam setiap sumur pada microplate untuk analisis dan
dibaca absorbansi pada 532 nm (Biovision 2013).
Pengukuran Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase (SOD)
Jaringan hati sebanyak 10 mg dibilas dengan PBS-KCl dan dihomogenkan
dalam 0.1 M Tris-HCl. Kemudian homogenat disentrifus pada kecepatan 14000 g
selama 5 menit suhu 4°C dan supernatan dikumpulkan. Sebanyak 20 µL larutan
sampel ditambahkan untuk setiap sumur sampel dan blanko 2 dan 20 µL ddH2O
pada blanko 1 dan blanko 3. Selanjutnya ditambahkan 200 µL larutan kerja WST
pada setiap sumur. Selanjutnya 20 µL larutan bufer pengencer pada blanko 2 dan
blanko 3 sedangkan 20 µL larutan enzim untuk setiap sampel dan blanko 1.
Selanjutnya campuran reaksi dalam microplate diinkubasi pada 37°C selama 20
menit dan absorbansi dibaca pada 450 nm microplate reader (Biovision 2013).

5
Pengukuran Aktivitas Peroksidase
Homogenat dari jaringan disentrifugasi selama 15 menit pada 1000 g dalam
waktu 30 menit untuk menghilangkan partikulat pelet. Sampel sebanyak 20 µL
ditambahkan ke dalam setiap sumur dan disesuaikan volume akhir 50 µL dengan
bufer. Sebanyak 50 µL reaksi campuran ditambahkan pada masing-masing sampel
uji dan kontrol positif hidrogen peroksida (HRP). Selanjutnya diaduk dan
diinkubasi selama 3 menit pada 37°C dan dilakukan pengukuran absorbansi pada
570 nm utuk pengukuran A0. Selanjutnya diinkubasi selama 90 menit pada suhu
37°C untuk pengukuran absorbansi pada 570 nm untuk A1. Sedangkan untuk
standar, sebanyak 10 µL subtrat H2O2 12.5 mM diencerkan dengan bufer 1240 µL
untuk mendapatkan H2O2 substrat 0.1 mM. Substrat hasil pengenceran
ditambahkan 0, 10, 20, 30, 40, 50 µL menjadi pada sumur dan ditepatkan volume
akhir 50 µL dengan bufer pengujian untuk menghasilkan 0, 1, 2, 3, 4, 5
nmol/sumur standar H2O2. Untuk setiap sumur, dipersiapkan total 50 µL reaksi
campuran mengandung 2 µL Probe OxiRed dan 48 µL HRP kontrol positif.
Campuran diinkubasi selama 5 menit dan mengukur absorbansi pada 570 nm
dalam microplate reader (Biovision 2013).
Pengukuran Aktivitas Glutathion Peroksidase (GPx)
Jaringan hati sebanyak 0.1 g dihomogenkan dalam 0.2 mL larutan bufer
dingin. Selanjutnya homogenat disentrifugasi pada 10000 g selama 15 menit pada
4°C dan supernatan dikumpulkan. Reaksi campuran sebanyak 40 µL ditambahkan
ke masing-masing sampel uji, kontrol positif lalu aduk. Selanjutnya campuran
tersebut diinkubasi selama 15 menit. Sebanyak 10 µL cumene hydroperoxide
ditambahkan dan diaduk rata. Selanjutnya diukur absorbansi pada 340 nm pada
T1 untuk membaca A1, dan diakhiri dengan pengukuran absorbansi pada 340 nm
lagi di T2 setelah inkubasi reaksi pada 25°C selama 5 menit untuk membaca A2
dengan melindungi sampel dari cahaya. NADPH 40mM sebanyak 25 µL
diencerkan dengan 975 µL ddH2O untuk menghasilkan NADPH 1 mM.
Selanjutnya ditambahkan 0, 20, 40, 60, 80, 100 µL dari 1 mM NADPH ke
microplate menghasilkan 0, 20, 40, 60, 80,100 nmol/sumur. Ke dalam masingmasing sumur ditepatkan volume akhir 100 µL dengan buffer, selanjutnya
dilakukan pengukuran absorbansi pada 340 nm untuk penentuan kurva standar
NADPH (Biovision 2013).
Analisis Data
Rancangan acak lengkap digunakan pada rancangan penelitian ini (Mattjik
dan Sumertajaya 2000). Data yang diperoleh dianalisis dengan metode ANOVA
(analysis of variance) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α = 0.05. Model
rancangan tersebut adalah sebagai berikut.
Yij = µ + τ + εi
Keterangan:
Yij = pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Pengaruh rataan umum
τ = Pengaruh rataan ke-i
εi = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Uji lanjut yang digunakan adalah uji Duncan pada selang kepercayaan 95%,
taraf α = 0.05. Semua data dianalisis dengan program SPSS 11.5.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil

% rendemen

Ekstrak Kurkuminoid Temulawak
Hasil isolasi kurkuminoid yang diperoleh melalui proses maserasi
menggunakan etanol 96% menunjukkan bahwa temulawak Ciemas memiliki nilai
rendemen sebesar 7.50% yang lebih tinggi dibandingkan Cursina 3 (Gambar 1).
8
7
6
5
4
3
2
1
0

7.5048
4.0314

Lokal Ciemas

Varietas

Cursina 3

Gambar 1 Nilai rendemen ekstrak etanol temulawak
Karakteristik Nanopartikel Kurkuminoid Temulawak
Keberhasilan produksi nanopartikel kurkuminoid tersalut lipid padat dapat
diamati melalui tiga parameter yaitu penampakan secara fisik, efisiensi penjerapan
kurkuminoid dan ukuran partikel dari nanopartikel kurkuminoid. Penampakan
secara fisik dari nanopartikel kurkuminoid dapat diamati dari kestabilan emulsi
(tidak agregat), sehingga emulsi yang dihasilkan tampak homogen dan tidak
terpisah (Gambar 2).
Parameter yang lain adalah efisiensi penjerapan dari kurkuminoid yang
ditambahkan, sehingga didapatkan perbandingan antara kurkuminoid yang
terjerap dalam sistem emulsi dengan kurkuminoid yang ditambahkan.
Berdasarkan pengukuran dengan spektrofotometri didapatkan efisiensi penjerapan
kurkuminoid dalam nanopartikel kurkuminoid adalah 78.99 ± 4.49 % (Tabel 1).
Parameter terakhir untuk karakteristik nanpartikel kurkuminoid adalah analisis
ukuran partikel dengan alat PSA (Particle Size Analizer) yang menghasilkan
ukuran nanopartikel sebesar 114.4 ± 33.8 nm dengan kisaran ukuran partikel
antara 86.9 - 362.4 nm (Gambar 3). Selain itu, emulsi yang dihasilkan memiliki
nilai distribusi yang sempit seperti ditunjukkan oleh nilai indeks polidisperitas
(PI) sebesar 0.218 (Lampiran 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa produksi
nanopartikel kuruminoid menghasilkan ukuran yang cukup kecil dengan distribusi
yang cukup baik (homogen).

Gambar 2 Penampakan fisik nanopartikel kurkuminoid
A = stabil (homogen), B = tidak stabil (agregat)

7
Tabel 1 Hasil pengukuran efisiensi penjerapan kurkuminoid
Pengenceran

Absorbansi

[Kurkumin] (mg/mL)

Efisiensi penjerapan (%)

10 X

0.630

0.816

74.18

10 X
10 X

0.677
0.706

0.876
0.914

79.70
83.09

Rata - rata

78.99 ± 4.49

Gambar 3 Hasil pengukuran distribusi ukuran dengan PSA (Particle Size Analizer)
Kondisi Tikus Percobaan
Secara umum, kondisi fisik tikus percobaan selama masa perlakuan tidak
menunjukkan perubahan yang signifikan diantara setiap perlakuan yang diberikan
mulai dari kelompok normal, kontrol dan juga perlakuan dosis. Hal tersebut dapat
teramati dari pola tingkah laku yang tidak terjadi abnormalitas perilaku maupun
pengamatan feses yang tidak terjadi perubahan (sama dengan normal). Parameter
selanjutnya yang dapat diamati adalah perubahan bobot badan selama masa
perlakuan. Berdasarkan pengamatan tersebut tidak terlihat perbedaan nyata dari
persen perubahan bobot tikus selama masa percobaan dari tiap kelompoknya
(Tabel 2). Tetapi dapat teramati bahwa pada hari ke-4 (satu hari setelah injeksi
CCl4 pertama) kelompok kontrol negatif mengalami penurunan bobot badan
sedangkan kelompok lain tidak mengalami penurunan (Tabel 2). Parameter
terakhir yang dapat diamati setelah perlakuan adalah pengamatan fisik hati tikus
yang dilakukan setelah eutanasia. Dari hasil tersebut, dapat terlihat bahwa induksi
CCl4 menyebabkan hati tikus mengalami kerusakan yang ditandai dengan pustula
pada hati yang mengindikasikan terjadinya nekrosis sel hati (Gambar 4).
Tabel 2 Hasil pengukuran bobot tikus selama percobaan
Kelompok
Normal
Vitamin c
Standar kurkumin
CCl4
Nanopartikel kosong
Ekstrak ciemas
Nanopartikel 50 mg
Nanopartikel 100 mg
Nanopartikel 1500 mg

Hari ke 0
175.87
146.63
163.00
175.76
150.63
145.53
168.20
145.76
165.05

Hari ke 2
186.87
158.53
164.50
184.93
159.70
157.03
181.30
156.27
175.13

Hari ke 4
188.27
160.33
168.37
180.57
159.80
156.67
180.90
158.37
173.07

Hari ke 6
186.67
158.56
169.23
178.80
163.30
162.30
178.93
158.07
177.53

Hari ke 8
186.73
162.50
166.00
182.43
168.77
161.23
175.40
158.43
172.83

% perubahan
6.18a
10.82 a
1.84 a
3.80 a
12.04 a
10.79 a
4.28 a
8.69 a
4.72 a

8

Gambar 4 Hati tikus jantan Sprague Dawley setelah eutanasia dengan perlakuan
A = normal, B = induksi CCl4
Hasil Pengujian Aktivitas Antioksidatif Tikus Percobaan
Pengujian aktivitas antioksidan suatu bahan secara in vivo dapat dilakukan
dengan pengukuran terhadap kadar malondialdehida (MDA), aktivitas
superoksida dismutase (SOD), aktivitas glutation peroksidase (GPx) dan aktivitas
peroksidase hati tikus. Pengukuran kadar MDA hati tikus menunjukkan bahwa
pemberian CCl4 sebagai radikal eksogen akan meningkatkan kadar MDA
dibandingkan dengan kelompok normal (Gambar 5). Hal ini juga terjadi untuk
pemberian nanopartikel kurkuminoid dosis 50 mg, nanopartikel kosong dan juga
ekstrak Ciemas yang mengalami peningkatan kadar MDA dibanding kelompok
normal. Namun, pemberian nanopartikel kurkuminoid dosis 100 mg dan 1500 mg
serta standar kurkumin memberikan hasil yang kurang lebih sama dengan
kelompok normal dan menurun dibanding kelompok kontrol CCl4. Akan tetapi,
perlakuan kontrol vitamin C memberikan hasil yang meningkat kadar MDA
dibanding kelompok normal maupun kelompok kontrol CCl4 (Gambar 5).
Berdasarkan pengukuran aktivitas superoksida dismutase (SOD), diketahui
bahwa pemberian CCl4 pada tikus menurunkan aktivitas SOD dibandingkan
kelompok normal. Semua perlakuan yang diberikan memberikan hasil yang tidak
berbeda jauh dengan kelompok normal. Dapat dilihat bahwa peningkatan dosis
nanopartikel meningkatkan aktivitas SOD (Gambar 6). Hal yang cukup berbeda
ditunjukkan oleh aktivitas glutation peroksidase, dengan pemberian CCl4 sebagai
radikal eksogen yang meningkatkan aktivitas enzim GPx sebesar 2148.71 mU/mL
dibandingkan dengan kelompok normal yang sebesar 755.76 mU/mL. Sedangkan
pemberian vitamin C dan standar kurkumin sebagai kontrol positif akan
menurunkan aktivitas GPx dengan nilai 1500-1531 mU/mL dibandingkan
kelompok kontrol CCl4. Seperti dilihat dalam hasil, dengan peningkatan dosis
nanopartikel yang menurunkan aktivitas enzim glutation peroksidase (Gambar 7).
Hal cukup berbeda juga diperlihatkan pada aktivitas enzim peroksidase,
dengan pemberian CCl4 sebagai agen radikal eksogen akan meningkatkan
aktivitas enzim tersebut dibandingkan dengan kelompok normal. Hal ini juga
terjadi untuk semua kelompok uji yang dibandingkan dengan kelompok normal,
tetapi dapat terlihat bahwa peningkatan pemberian dosis nanopartikel
kurkuminoid akan meningkatkan aktivitas enzim peroksidse pada hati tikus dan
pemberian nanopartikel dosis 1500 mg merupakan kelompok dengan aktivitas
tertinggi yaitu 1.74 mU/mL (Gambar 8).

9
14.21 ± 0.46c

[MDA] (nmol/mg)

16
14

9.613± 1.59b
9.25 ± 1.04b
7.03± 2.55ab

12

9.43± 1.96b

10
8

6.29 ± 2.10a

6.19 ± 0.60a
5.41 ± 1.80a

5.40 ± 0.18a

6
4
2
0
normal vitamin standar CCl4
C
kurkumin

nano ekstrak nano 50 nano 100 nano
kosong ciemas
mg
mg 1500 mg

Aktivitas SOD (%inhibisi)

Perlakuan
Gambar 5 Kadar MDA tiap kelompok perlakuan

90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

79.95 ± 15.53a
69.62 ± 6.70ab

70.04 ± 13.39ab

60.82 ± 7.69ab
56.32 ± 3.52ab
49.85 ± 27.66ab
48.52 ± 1.28ab
a
39.45 ± 17.19

64.76 ± 27.48ab

normal vitamin standar CCl4
C
kurkumin

nano
kosong

ekstrak nano 50 nano 100 nano
ciemas
mg
mg 1500 mg

Perlakuan

Aktivitas GPx (mU/mL)

Gambar 6 Aktivitas SOD tiap kelompok perlakuan
2148.71 ± 282c
2046.15 ± 491c
2400
2100
1531.41 ± 279bc
1730.76 ± 122c
bc
1800
1500 ± 1041
1394.87 ± 517abc
1500
1200 755.76 ± 372ab
761.53 ± 441ab
900
557.05 ± 302a
600
300
0
normal vitamin standar CCl4
C
kurkumin

nano
kosong

ekstrak nano 50 nano 100 nano
ciemas
mg
mg
1500 mg

Perlakuan

Gambar 7 Aktivitas glutation peroksidase tiap kelompok

Aktivitas Pox (mU/mL)

10
2
1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0

1.74 ± 0.73b

1.51 ± 0.45 ab
1.39 ± 0.29ab
0.99 ± 0.38ab
0.83 ± 0.10a

1.20 ± 0.0.36ab
1.17 ± 0.59ab

0.95 ± 0.0.21ab
0.93 ± 0.60ab

normal vitamin standar CCl4
C
kurkumin

nano
kosong

ekstrak nano 50 nano 100 nano
ciemas
mg
mg
1500 mg

Perlakuan

Gambar 8 Aktivitas peroksidase tiap kelompok

Pembahasan
Ekstrak Kurkuminoid Temulawak
Ekstraksi rimpang temulawak bertujuan memisahkan metabolit sekunder
yang diduga berpotensi sebagai antioksidan yaitu kurkuminoid. Ekstak
kurkuminoid diperoleh dengan mengekstraksi 100 gram serbuk temulawak
dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol selama 2x24 jam.
Selanjutnya, ekstrak etanol diekstraksi cair-cair menggunakan pelarut heksana.
Hal ini bertujuan memisahkan lemak dan senyawa non polar seperti minyak atsiri,
dan terpenoid yang ada pada sampel (Sari 2013). Fraksi etanol selanjutnya
dipekatkan dengan penguap putar dan pelarut etanol dihilangkan dengan
pengeringan beku (freeze-drying). Teknik maserasi yang dilakukan dengan
merendam bahan tanaman dalam pelarut, sehingga terjadi pemecahan dinding sel
dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel
sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam
pelarut etanol. Pemilihan waktu 2x24 jam karena semakin lama waktu ekstraksi
maka semakin lama juga waktu kontak antara pelarut dan bahan baku sehingga
proses penetrasi pelarut kedalam sel bahan baku akan semakin baik yang
menyebabkan semakin banyaknya senyawa yang berdifusi keluar sel (Basalmah
2006). Pemilihan proses ekstraksi dengan etanol 96% karena pelarut ini
menghasilkan rendemen yang lebih banyak dibanding beberapa pelarut lain dan
paling aman dibanding pelarut lain (Sari 2013).
Hasil ekstraksi diperoleh rendemen ekstrak sebesar 7.50% (Gambar 1)
dalam bentuk pasta. Hasil ini tidak berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya
yang menghasilkan kurkuminoid sebesar 7.62% dengan penggunaan metode yang
sama (Mujib 2011). Perbedaan nilai rendemen ini disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya perbedaan kandungan senyawa yang bersifat polar atau nonpolar,
ketebalan dinding sel dan membran sel dari masing-masing sampel yang
digunakan (Nurcholis 2008), suhu serta ukuran serbuk simplisia.

11
Karakteristik Nanopartikel Kurkuminoid Temulawak
Komposisi bahan untuk pembuatan nanopartikel kurkuminoid tersalut
lemak padat pada penelitian ini menggunakan formula terbaik hasil penelitian
Mujib 2011, yaitu konsentrasi asam palmitat 0.1% : kurkuminoid 1% :
poloksamer 188 0,5% (b/v) dengan volume 100 mL. Formula yang dihasilkan
berupa emulsi keruh dengan warna kuning cerah dan tampak homogen (Gambar
2). Formulasi dilakukan pada suhu 75°C, yaitu ± 10°C di atas titik leleh asam
palmitat (63°C) dengan fase lemak berada pada kondisi cair ketika didispersikan
ke dalam fase berair sehingga lemak cair akan terdispersi dalam bentuk tetesantetesan kecil pada fase berair yang distabilkan oleh pengemulsi. Pendinginan
emulsi dimaksudkan agar tetesan-tetesan lemak yang terdispersi pada fase cair
dapat sesegera mungkin mengkristal dengan ukuran partikel kecil sebelum
tetesan-tetesan tersebut menggumpal kembali menjadi tetesan-tetesan yang lebih
besar (Anton et al. 2008). Emulsi selanjutnya diultrasonikasi agar menghasilkan
nanopartikel yang seragam. Metode ultrasonikasi bertujuan untuk memecah
partikel dalam emulsi menjadi partikel yang lebih kecil (Mujib 2011).
Pengendalian mutu nanopartikel lemak padat dilakukan dengan pencirian
yang tepat. Keragaman ukuran partikel berkaitan erat dengan sistem penghantaran
obat (Mujib 2011). Partikel dalam emulsi hasil produksi nanopartikel ditentukan
dengan metode photon correlation spectroscopy (PCS) untuk mengetahui ukuran
rata-rata dengan menggunakan alat particle size analyzer yang dapat mengukur
partikel dengan rentang 0.6 nm hingga 7 μm. Keuntungan dari metode ini adalah
analisis yang cepat, tidak memerlukan kalibrasi, dan peka terhadap partikel
submikron (Menhert & Mader 2001). Nanopartikel kurkuminoid hasil produksi
menunjukkan distribusi ukuran partikel sebesar 114.4 ± 33.8 nm dengan kisaran
ukuran partikel antara 86.9 - 362.4 nm (Gambar 3). Hasil ini menunjukkan ukuran
yang lebih kecil yang dihasilkan oleh Mujib (2011) sebesar 199.0 ± 99.6 nm.
Keseragaman ukuran partikel dapat diketahui dari nilai indeks polidispersitas (IP).
IP merupakan ukuran lebarnya distribusi ukuran partikel. Nilai IP yang dihasilkan
adalah sebesar 0.218 yang berarti sistem emulsi memiliki distribusi ukuran
partikel yang sempit dan mengindikasikan proses pembuatan emulsi yang baik.
Hal tersebut karena nilai IP lebih kecil dari 0.3 menunjukkan bahwa ukuran
partikel memiliki distribusi yang sempit dan nilai indeks polidispersitas lebih
besar dari 0.3 menunjukkan distribusi yang lebar (Mujib 2011).
Selain pengendalian mutu nanopartikel, hal lain yang perlu diperhatikan
dalam suatu sistem penghantaran obat adalah kapasitas pemuatan obat yang tinggi
dan bertahan lama. Kapasitas pemuatan obat (efisiensi penjerapan) pada
umumnya dinyatakan dalam persen obat yang terjerap dalam fase lemak terhadap
obat yang ditambahkan (Parhi & Suresh 2010). Pada penelitian ini, efisiensi
penjerapan dihitung dengan metode langsung, yaitu dengan mengekstraksi
kurkuminoid yang terjerap dalam matriks lemak menggunakan metanol setelah
lemak padat dipisahkan dari medium pendispersi dengan sentrifugasi. Konsentrasi
kurkuminoid selanjutnya ditentukan dengan metode spektrofotometri sinar
tampak pada panjang gelombang maksimum kurkuminoid yaitu 425 nm
(Lampiran 3). Penentuan efisiensi penjerapan kurkuminoid dalam nanopartikel
lemak padat diketahui sebesar 79% (Tabel 1). Hal tersebut sesuai dengan harapan
bagi sistem penghantaran obat yang baik yaitu diatas 60% (Konatham et al 2010).
Nilai efisiensi penjerapan bergantung pada seberapa besar zat aktif yang

12
ditambahkan pada saat pembuatan nanopartikel lemak padat, karena merupakan
perbandingan jumlah zat aktif yang terjerap dengan yang ditambahkan (Mujib
2011).
Tikus Percobaan Selama Perlakuan
Tikus percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan berumur delapan
minggu, memiliki berat badan 159.60 ± 12.644 gram, berjumlah 27 ekor tikus dan
berasal dan dikandangkan dari PSSP. Penggunaan tikus Sprague Dawley karena
tikus ini mudah didapat dan banyak digunakan dalam penelitian imunitas. Tikus
Sprague Dawley dikandangkan pada jenis kandang biasa secara kelompok.
Kandang terbuat dari bahan plastik. Kondisi gelap terang kandang pengaturan
lampu 12 jam gelap dan 12 jam terang, suhu ruangan kandang sebesar 23oC.
Tikus Sprague Dawley mengalami masa adaptasi selama satu minggu. Masa
adaptasi bertujuan penyesuaian lingkungan baru atau lingkungan laboratorium dan
pemutusan penggunaan tikus dalam percobaan misalnya tidak sakit dan
berperilaku normal dan menyeragamkan kondisi tikus sebelum diberi perlakuan
(Puspawati 2009). Pakan yang diberikan pada tikus dalam pelet (padatan) berupa
pakan komersil yang umum digunakan pada percobaan tikus berjumlah 20
gram/ekor/hari. Pemberian pakan dalam jumlah 20 gram/ekor/hari sudah
mencukupi kebutuhan konsumsi pakan tikus perhari untuk berat badan diatas 250
gram (Puspawati 2009). Akan tetapi untuk penentuan kondisi pemberian pakan
tiap harinya dilakukan scoring untuk melihat sisa pakan tiap harinya sehingga
menjadi patokan untuk pemberian jumlah pakan pada hari berikutnya.
Pengukuran bobot badan tikus semua kelompok perlakuan menunjukkan
bahwa, tidak terjadinya peningkatan ataupun penurunan yang terjadi secara
berbeda nyata dibandingkan kelompok normal. Akan tetapi, dapat terlihat bahwa
hampir setiap kelompok perlakuan yang diberikan meningkatkan bobot badan
tikus percobaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian sediaan perlakuan
nanopartikel kurkuminoid tidak menyebabkan penurunan bobot badan tikus
karena kelompok tersebut justru menunjukkan peningkatan bobot badan yang
kurang lebih setara dengan kelompok normal dan lebih besar dari kelompok
kontrol CCl4 (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan penelitian Puspawati (2009) yang
menyatakan pemberian senyawa antioksidan pada hewan coba tidak akan
memberikan efek negatif pada hewan coba bahkan menurunkan bobot badan tapi
justru meningkatkan bobot hewan tersebut yang kurang lebih sama dengan
kelompok normal.
Hasil pengamatan fisik hati tikus setelah perlakuan menunjukkan bahwa
pemberian CCl4 sebagai induksi radikal bebas eksogen menyebabkan
pembentukan pustula atau terjadi kematian sel pada hati tersebut. Hal ini sesuai
dengan Kardena dan Winaya (2011) yang menyatakan induksi CCl4 sebagai agen
radikal akan menyebabkan terjadinya kerusakan hati berupa degenerasi dan
nekrosis hati. Akan tetapi, tidak dapat disimpulkan lebih lanjut mengenai aktivitas
antioksidannya berdasarkan kerusakan hati secara visual sel hati, karena semua
kelompok tikus yang induksi CCl4 terjadi nekrosis sel, sedangkan tingkat
nekrosisnya tidak dilakukan lebih lanjut. Hal ini karena pengukuran kerusakan
nekrosis dilakukan dengan pengamtan histopatologi hati yang sebenarnya bukan
kompetensi dalam penulisan ini. Sehingga pengukuran aktivitas antioksidan setiap
kelompok dilakukan dengan analisis lebih lanjut berupa pengukuran terhadap

13
aktivitas enzim-enzim antioksidan dan tingkat stres oksidatif dengan pengukuran
kadar MDA.
Pengujian aktivitas antioksidan suatu bahan secara in vivo dapat dilakukan
dengan pengukuran terhadap kadar MDA, aktivitas SOD, aktivitas glutation
peroksidase dan aktivitas katalase hati tikus (Prangdimurti et al. 2006). Oleh
karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pengamatan pengaruh pemberian
senyawa antioksidan pada tikus yang diinduksi CCl4 terhadap aktivitas enzimenzim antioksidan di dalam hati tikus. Pemberian senyawa antioksidan dalam
tubuh dapat menurunkan tingkat stres oksidatif dengan menekan proses
peroksidasi lipid yang dapat teramati dari penurunan kadar MDA. Selain itu,
pemberian suatu senyawa antioksidan dapat menjaga sel dari kerusakan sel karena
senyawa tersebut akan menangkal keberadaan radikal bebas yang dapat teramati
dari efek perlindungan terhadap aktivitas enzim-enzim antioksidan (Puspawati
2009).
Kadar MDA dan Hubungannya terhadap Tingkat Stres Oksidatif
Pengukuran aktivitas antioksidan awal adalah pengukuran kadar MDA yang
merupakan indek tidak langsung kerusakan oksidatif yang disebabkan peroksidasi
lipid. Prinsip pengukuran MDA adalah reaksi antara satu molekul MDA dengan
dua molekul thiobarbituric acid (TBA) yang akan membentuk senyawa kompleks
berwana merah muda dan dapat diukur pada panjang gelombang 532 nm (Singh et
al 2002). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pemberian CCl4 sebagai agen
radikal eksogen meningkatkan kadar MDA dibandingkan dengan kelompok
normal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Benzejani (2011) yang
mengemukakan bahwa induksi CCl4 sebagai induksi kerusakan akut hati tikus
akan meningkatkan kadar MDA hati tikus sebanyak 100% dibandingkan dengan
kelompok tanpa induksi.
Sedangkan MDA sebagai produk akhir peroksidasi lipid, kadarnya dapat
ditekan oleh keberadaan senyawa antioksidan. Sehingga kadar MDA yang rendah
menyatakan adanya penghambatan peroksidasi lipid oleh senyawa antioksidan
(Prangdimurti et al. 2006). Oleh sebab itu, perlakuan pemberian standar kurkumin,
nanopartikel kurkuminoid dosis 100 mg dan 1500 mg merupakan kelompok yang
efektif sebagai antioksidan karena nilainya sebanding dengan kelompok normal
yaitu sebesar 6.29 nmol/mg. Hal ini karena kurkuminoid yang merupakan
golongan senyawa fenolik akan mendonorkan elektron kepada senyawa radikal
yang dihasilkan oleh senyawa CCl4, sehingga akan menurunkan oksidasi lipid
yang secara langsung akan menurunkan kadar MDA sebagai produk akhir proses
tersebut (Puspawati 2009).
Sedangkan untuk kelompok ekstrak ciemas dan nanopartikel kurkuminoid
dosis 50 mg nilainya lebih tinggi dengan kelompok normal dan juga sebanding
dengan kelompok CCl4 sebesar 9.43 nmol/mg, sehingga dapat dikatakan bahwa
pemberian perlakuan belum maksimal sebagai antioksidan. Sehingga dapat
diketahui bahwa pemberian nanopartikel kurkuminoid lebih baik karena kadar
MDA lebih rendah dibandingkan pemberian ekstrak kurkuminoid. Dalam
percobaan diketahui bahwa pemberian vitamin C yang merupakan senyawa
antioksidan bagi tubuh tidak dapat menekan peroksidasi lipid, hal itu terlihat dari
kadar MDA yang meningkat. Sehingga diketahui bahwa pemberian vitamin C
dengan dosis 36 mg/KgBB tidak lebih baik sebagai antioksidan dibandingkan

14
dengan kelompok nanopartikel kurkuminoid dengan bahan aktif yang jauh lebih
kecil.
Secara statistik, pemberian CCl4, ekstrak kurkuminoid, vitamin C,
nanopartikel kosong dan nanopartikel kurkuminoid 50 mg berbeda nyata dengan
kelompok normal. Sedangkan pemberian standar kurkumin, pemberian
nanopartikel kurkuminoid 100 dan 1500 mg tidak berbeda nyata dengan
kelompok normal, sehingga dapat diketahui bahwa pemberian nanopartikel
kurkuminoid dosis 100 mg dan 1500 mg terdapat pola memperbaiki keadaan stres
oksidatif akibat induksi CCl4 yang dilihat dari penurunan kadar MDA pada
kelompok tersebut.
Aktivitas Superoksida Dismutase Hati Tikus
Pengukuran aktivitas antioksidatif selanjutnya dilakukan dengan
pengukuran aktivitas SOD, hal ini karena SOD adalah enzim antioksidan utama
yang berperan dalam dismutasi radikal superoksida. Prinsip pengukuran SOD
dalam percobaan yang dilakukan adalah radikal superoksida dihasilkan dari
kompleks xantin-xantin oksidase dan radikal superoksida ini yang akan mereduksi
garam menjadi kompleks formazan yang berwarna. Sehingga aktivitas SOD yang
terukur adalah kemampuan SOD dalam menangkal radikal superoksida yang
berarti semakin rendah formazan yang terbentuk (Prangdimurti et al. 2006).
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pemberian CCl4 menurunkan
aktivitas SOD dibandingkan kelompok normal yaitu sebesar 70.04%. Hal ini
sesuai karena induksi CCl4 akan menurunkan aktivitas enzim SOD melalui
keberadaan radikal yang dihasilkan oleh senyawa CCl4 (Benzejani 2011).
Sedangkan hasil pengukuran terhadap perlakuan menunjukkan bahwa ekstrak
ciemas, nanopartikel dosis 50 mg dan 100 mg menurunkan aktivitas SOD
dibandingkan kelompok normal. Sehingga dapat diketahui bahwa pemberian
perlakuan belum efektif sebagai pemberian sediaan antioksidan. Akan tetapi,
pemberian dosis nanopartikel 1500 mg meningkatkan aktivitas SOD dibanding
kelompok normal dan merupakan perlakuan dengan aktivitas SOD tertinggi yaitu
sebesar 79.95%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa
pemberian senyawa antioksidan dalam hal ini berupa kurkuminoid yang
merupakan komponen fenolik akan meningkatkan aktivitas SOD dalam hati tikus
karena akan menjaga sel dari kerusakan sehingga aktivitas enzim tersebut tidak
akan terganggu (Nurrahman et al. 2012). Secara statistik, diketahui bahwa semua
kelompok yang diberikan tidak berbeda nyata dengan kelompok normal maupun
kelompok kontrol.
Aktivitas Glutation Peroksidase Hati Tikus
Pengukuran selanjutnya adalah pegukuran aktivitas glutation peroksidase,
Hal ini karena GPx adalah salah satu enzim antoksidan yang secara endogen
diproduksi tubuh. Prinsipnya adalah glutation peroksidase (GPx) mengkatalis
glutation tereduksi (GSH) menjadi glutation teroksidasi (GSSG) yang kemudian
direduksi kembali menjadi glutation tereduksi dengan enzim glutation reduktase
dengan ko-faktor NADPH sebagai pereduksi.
Hasil pengukuran aktivitas GPx menunjukkan bahwa pemberian CCl4 akan
meningkatkan aktivitas enzim tersebut, hal tersebut karena aktivitas GPx
menggambarkan tingkat stres pada hewan coba yang berhubungan erat dengan

15
jumlah GSSG yang terbentuk dari reaksi enzim tersebut (Benzejani 2011). Dan
juga, GPx sebagai enzim yang mengatur konsentrasi lipid peroksida di dalam
tubuh akan semakin aktif aktivitasnya dengan penambahan jumlah radikal pada
tubuh. Pemberian nanopartikel kurkuminoid dosis 50 mg dan 100 mg
menunjukkan aktivitas GPx masih cukup tinggi dan sebanding dengan kelompok
kontrol CCl4, sehingga menggambarkan bahwa pemberian antioksidan belum
efektif dalam penangkalan radikal bebas. Akan tetapi, pemberian vitamin C,
standar kurkuminoid, nanopartikel kurkuminoid 1500 mg sebagai agen
antioksidan menurunkan aktivitas GPx dibandingkan dengan kelompok kontrol
CCl4. Hal tersebut karena pemberian senyawa antioksidan akan menurunkan
peroksidasi lipid yang secara tidak langsung akan menurunkan aktivitas GPx
sebagai enzim penetralisirnya. Penurunan aktivitas GPx di bawah kelompok
normal seperti pada kelompok nanopartikel kosong dan ekstrak mengindikasikan
kelainan yang disebabkan keberadaan radikal bebas.
Secara statistik, pemberian CCl4 akan meningkatkan aktivitas GPx secara
berbeda nyata dengan kelompok normal. Namun, pemberian senyawa antioksidan
seperti standar kurkumin dan nanopartikel kurkuminoid akan menurunkannya
meskipun tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol CCl4 dan kelompok
normal. Sehingga dapat diketahui bahwa pemberian nanopartikel kurkuminoid
dapat menekan aktivitas GPx setelah induksi CCl4 untuk perbaikan sel. Adapun
pemberian ekstrak kurkuminoid tidak dapat menekan keberadaan radikal bebas
sehingga aktivitas GPx sangat rendah bahkan dibawah kelompok normal.
Aktivitas Peroksidase Hati Tikus
Pengukuran aktivitas antioksidatif terakhir yang dilakukan adalah
pengukuran aktivitas peroksidase. Berdasarkan pengukuran didapatkan bahwa
pemberian CCl4 meningkatkan aktivitas peroksidase. Hal ini tidak sesuai dengan
penelitian yang menyatakan bahwa keberadaan radikal bebas akan menurunkan
aktivitas enzim-enzim antioksidan endogen (Nurrahman et al. 2012). Akan tetapi,
pemberian nanopartikel kurkuminoid meningkatkan aktivitas peroksidase
dibandingkan dengan kelompok normal maupun kontrol CCl4. Hal yang dapat
teramati adalah peningkatan pemberian dosis nanopartikel kurkuminoid dapat
meningkatkan aktivitas peroksidase dan juga pemberian dosis 1500 mg
merupakan kelompok dengan aktivitas peroksidase tertinggi dengan nilai 1.742
mU/mL. Pengamatan aktivitas antioksidan dengan parameter enzim peroksidase
masih belum bisa dilakukan observasi lebih lanjut karena mekanisme kelompok
enzim tersebut dalam penangkalan radikal bebas masih belum diketahui secara
pasti. Secara statistik, diketahui bahwa seluruh kelompok perlakuan yang
diberikan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok normal maupun
kelompok kontrol.
Aktivitas antioksidatif Nanopartikel Kurkuminoid
Berdasarkan pengukuran aktivitas antioksidatif secara keseluruhan,
pemberian radikal bebas dalam hal ini CCl4 pada hewan coba akan meningkatkan
kadar MDA, menurunkan aktivitas SOD dan peroksidase dan juga meningkatkan
aktivitas GPx. Hal ini karena induksi CCl4 yang secara langsung akan
menimbulkan penumpukan radikal bebas yang keberadaannya akan menyebabkan
peningkatan kadar MDA, penurunan aktivitas SOD dan peningkatan kadar GSH

16
(Benzejani). Akan tetapi, pemberian antioksidan dalam hal ini kurkuminoid yang
merupakan golongan fenolik sebagai agen yang akan menekan keadaan stres
oksidatif dengan melakukan hal sebaliknya melalui mekanisme pendonoran
langsung elektron kepada radikal bebas pada membran sel dan sitoplasma yang
akan menurunkan oksidasi lipid.
Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa perlakuan terbaik dalam
menekan keadaan stres oksidatif berupa induksi CCl4 dalam percobaan ini adalah
pemberian nanopartikel dosis 1500 mg karena dapat menurunkan kadar MDA
sebesar 6.19 nmol/mg, meningkatkan aktivitas SOD sebesar 79.95% dan
peroksidase sebesar 1.742 mU/mL dan juga menurunkan aktivitas GPx sebesar
1394 mU/mL. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian nanopartikel pada dosis
tersebut sudah terdapat pola perbaikan akibat induksi CCl4, sehingga nilainya
akan mendekati dengan kelompok normal. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis
yang sebelumnya dikemukakan bahwa pembentukan nanopartikel kurkuminoid
dapat meningkatkan bioavailabilitas dibandingkan dengan ekstrak kurkuminoid.
Bahkan dilihat dari efektivitas, dosis 100 mg dan 1500 mg lebih efektif
dibandingkan dengan penggunaan ekstrak maupun standar kurkumin. Hal tersebut
karena penggunaan nanopartikel kurkuminoid memerlukan bahan aktif yang jauh
lebih kecil yaitu 0.3 mg dan 0.02 mg (pada dosis nanopartikel 1500 mg dan 100
mg) dibandingkan dengan standar kurkumin sebesar 1.6 mg (pada dosis 20 mg).
Sehingga pembentukan nanopartikel kurkuminoid lebih ekonomis dalam proses
pengerjaannya dibandingkan dengan penggunaan standar kurkumin karena
pengerjaannya lebih sederhana dan memerlukan bahan aktif yang relatif lebih
sedikit.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pembentukan nanopartikel kurkuminoid dari temulawak lokal Ciemas
dengan efisiensi penjerapan kurkuminoid sebesar 78.99% dan ukuran partikel
sebesar 114.4 ± 33.8 nm dengan nilai IP 0.218 memiliki bioavailabilitas yang jauh
lebih baik dibanding dengan ekstrak kurkminoid. Hal tersebut ditunjukkan dalam
percobaan aktivitas antioksidan berupa penurunan kadar MDA, peningkatan
aktivitas SOD dan peroksidase ser