Identification and Pathogenicity of Primary Fungi Causing Dieback Disease on Jabon Seedlings (Anthocephalus cadamba

i

IDENTIFIKASI DAN PATOGENISITAS CENDAWAN
PENYEBAB PRIMER PENYAKIT MATI PUCUK PADA
BIBIT JABON (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq)

AI ROSAH AISAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi dan
Patogenisitas Cendawan Penyebab Primer Penyakit Mati Pucuk pada Bibit Jabon

(Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Ai Rosah Aisah
NIM A352100041

iv

RINGKASAN
AI ROSAH AISAH. Identifikasi dan Patogenisitas Cendawan Penyebab Primer
Penyakit Mati Pucuk pada Bibit Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq).
Dibimbing oleh BONNY PW SOEKARNO dan ACHMAD.
Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) merupakan tanaman asli
Indonesia yang saat ini banyak diminati masyarakat karena dapat memberi
keuntungan, baik secara ekonomi maupun ekologi. Seiring dengan pengembangan

dan budidayanya, permintaan pasar terhadap jabon akan mengalami peningkatan.
Usaha pembibitan jabon berpotensi menghadapi gangguan penyakit di areal
persemaian. Hal ini dikarenakan bibit yang tersedia di areal persemaian berpotensi
menjadi inang bagi patogen dan kondisi bibit yang masih sukulen relatif rentan
terhadap gangguan penyakit. Gejala penyakit yang sering ditemui di areal
pembibitan jabon dan berpotensi menyebabkan kematian bibit adalah mati pucuk.
Penelitian dilakukan dengan tujuan mengisolasi dan mengidentifikasi
cendawan penyebab mati pucuk pada bibit jabon, menentukan penyebab primer
penyakit mati pucuk dan menguji tingkat virulensi isolat patogen penyebab primer
tersebut, serta mempelajari mekanisme infeksi patogen terhadap inang dan
mekanisme pertahanan inang terhadap infeksi patogen. Penelitian terdiri atas
pengamatan gejala dan pengambilan tanaman contoh sakit dari lokasi persemaian,
isolasi dan identifikasi cendawan, uji patogenisitas isolat cendawan, analisis
aktivitas pektinase dan selulase yang dihasilkan cendawan patogen, dan analisis
aktivitas peroksidase pada tanaman jabon.
Berdasarkan pengamatan gejala di lokasi persemaian, bibit jabon yang
terinfeksi penyakit mati pucuk memiliki gejala nekrosis pada batang atau daun,
batang layu atau mengerut. Sebanyak 21 isolat cendawan berhasil diisolasi dari
tanaman sakit yang menunjukkan gejala nekrosis pada bagian ujung tanaman.
Hasil identifikasi berdasarkan karakter morfologi, isolat-isolat tersebut diketahui

sebagai Botryodiplodia spp. sebanyak 9 isolat, Fusarium spp. 9 isolat,
Colletotrichum sp., Curvularia sp., dan Pestalotiopsis sp. masing-masing 1 isolat.
Berdasarkan postulat Koch, isolat cendawan yang patogenik terhadap jabon
adalah Botryodiplodia spp. Fusarium spp., dan Colletotrichum sp.. Adapun
cendawan yang diduga berperan sebagai penyebab primer penyakit mati pucuk
adalah Botryodiplodia spp.. Hal ini dikarena inokulasi isolat Botryodiplodia spp.
dapat menghasilkan gejala identik dengan gejala mati pucuk yang terjadi secara
alami di lapangan. Hasil uji patogenisitas 5 isolat Botryodiplodia spp.
menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut memiliki derajat patogenisitas yang
berbeda. Hal ini dapat dilihat dari besarnya persentase keparahan penyakit yang
ditimbulkan. Berdasarkan uji selang berganda Duncan (α 5%) pada tingkat
keparahan penyakit, dapat diketahui bahwa 3 dari 5 isolat Botryodiplodia spp.
yang diuji sangat virulen terhadap bibit jabon, sedangkan isolat lainnya kurang
virulen. Mekanisme yang digunakan isolat Botryodiplodia spp. untuk menginfeksi
inang diduga dilakukan dengan menggunakan kekuatan mekanik dan biokimia.
Hal ini ditunjukkan dengan munculnya gejala nekrotik pada titik inokulasi yang
tidak dilukai dan terdeteksinya aktivitas pektinase dan selulase dari isolat
Botryodiplodia spp. yang dikulturkan pada media CMS (Corn Meal Sand).
Aktivitas pektinase yang dihasilkan isolat Botryodiplodia spp. yaitu berkisar


v

18.131 sampai 26.083 U ml-1, sedangkan selulase sebesar 0.014 sampai 0.023
U ml-1. Adapun mekanisme pertahanan tanaman jabon terhadap infeksi patogen
salah satunya dilakukan dengan cara menghasilkan peroksidase yang berperan
dalam proses lignifikasi dan pembentukan senyawa metabolit sekunder. Aktivitas
peroksidase yang terdeteksi pada tanaman jabon setelah inokulasi patogen yaitu
berkisar 0.0006 sampai 0.0012 UAE g-1.
Cendawan Botryodiplodia spp. diduga sebagai penyebab penyakit mati
pucuk pada bibit jabon dan mampu menimbulkan tingkat keparahan penyakit
yang berbeda pada bibit jabon bergantung pada tingkat virulensinya. Isolat
Botryodiplodia spp. dapat melakukan penetrasi secara aktif dan pasif, dan
mekanisme infeksi salah satunya dilakukan melalui sekresi enzim. Adapun
mekanisme pertahanan jabon terhadap infeksi patogen ditunjukkan melalui
aktivitas peroksidase.
Kata kunci: Botryodiplodia spp., Fusarium spp., nekrosis, persemaian, postulat
Koch

vi


SUMMARY
AI ROSAH AISAH. Identification and Pathogenicity of Primary Fungi Causing
Dieback Disease on Jabon Seedlings (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq).
Supervised by BONNY PW SOEKARNO and ACHMAD.
Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) is indigenous plant of
Indonesia which is currently attracted by many people due to able provide
benefits, both economical and ecological. Along with its development and
cultivation, the market demand of jabon will get increase. Propagation of jabon
potentially facing diseases disorders in the nursery area. This is because of
available seedlings in the nursery area have the potential to be a host for the
pathogens and the succulent seedling conditions are relatively vulnerable to
disease attacks. The disease symptoms are often found in the jabon nursery areas
and potentially leading to death of seedlings are dieback diseases.
This study was conducted with the aim to isolate and identify the fungal
pathogen cause of dieback diseases on jabon seedlings, determine the primary
cause of dieback diseases and test the virulence levels of those isolates, and to
study the mechanisms of pathogen infection and host defense mechanisms to
against pathogens. The study consisted of the observation of symptoms and
sampling diseased plants from the nursery locations, isolation and identification of
fungi, pathogenicity assay of fungal isolates, analysis of pectinase and cellulase

activities produced by fungal pathogens, and analysis of peroxidase activity on
jabon.
Based on observation of symptoms at the nursery sites, jabon seedlings
infected dieback disease had necrotic symptoms on stems or leaves, withered or
shriveled on stems. A total of 21 isolates of the fungus could be isolated from
diseased plants showed necrotic symptoms at the plant tips. Identification based
on morphological characters, these isolates were known as Botryodiplodia spp. as
much as 9 isolates, Fusarium spp. 9 isolates, Colletotrichum sp., Curvularia sp.,
and Pestalotiopsis sp. each 1 isolate. Based on Koch's postulates, the fungal
isolates which were pathogenic to jabon were Botryodiplodia spp., Fusarium spp.,
and Colletotrichum sp.. The fungus suspected as the primary cause of the dieback
disease was Botryodiplodia spp. This is because of Botryodiplodia spp. isolates
inoculation could produce identical symptoms with dieback symptoms that occur
naturally in the field. The results of pathogenicity assay of 5 Botryodiplodia spp.
isolates showed that these isolates had different degrees of pathogenicity. It could
be seen from the percentage of disease severity caused. Based on Duncan's
multiple interval test (α 5%) on the disease severity, could be seen that 3 of 5
Botryodiplodia spp. isolates tested were highly virulent to jabon seedlings, while
the others were less virulent. The mechanisms used by Botryodiplodia spp.
isolates to infect the hosts presumably performed using mechanical and

biochemical forces. These were showed by the appearance of necrotic symptoms
on unwounded inoculation sites and the pectinase and cellulase activities
detectable from Botryodiplodia spp. isolates cultured in CMS (Corn Meal Sand)
media. Pectinase activity produced by Botryodiplodia spp. isolates was ranging
from 18.131 to 26.083 U ml-1, whereas cellulase from 0.014 to 0.023 U ml-1. The
defense mechanism of jabon plant against pathogen infection, one of them was

vii

performed by produce peroxidase which plays role of lignification process and
secondary metabolite compound formation. Peroxidase activity detectable on the
jabon plants after pathogen inoculation was ranging from 0.0006 to 0.0012
UAE g-1.
Botryodiplodia spp. was suspected as the cause of dieback disease on
jabon seedlings and able to cause different levels of disease severity on jabon
seedlings depend on its virulence level. Botryodiplodia spp. isolates could
perform active and passive penetrations, and one of the mechanisms of infection
was done through enzyme secretions. As for defense mechanisms of jabon against
pathogen infection were demonstrated through peroxidase activity.
Key words: Botryodiplodia spp., Fusarium spp., Koch’s postulate, necrotic,

nursery

viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ix

IDENTIFIKASI DAN PATOGENISITAS CENDAWAN
PENYEBAB PRIMER PENYAKIT MATI PUCUK PADA
BIBIT JABON (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq)


AI ROSAH AISAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Abdul Munif, MScAgr

xi

Judul Tesis

Nama
NIM

: Identifikasi dan Patogenisitas Cendawan Penyebab Primer
Penyakit Mati Pucuk pada Bibit Jabon (Anthocephalus cadamba
(Roxb.) Miq)
: Ai Rosah Aisah
: A352100041
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Bonny PW Soekarno, MS
Ketua

Prof Dr Ir Achmad, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Fitopatolgi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal ujian: 30 Januari 2014

Tanggal Lulus:

Judul Tesis

Nama
NIM

Identifikasi dan Patogenisitas Cendawan Penyebab Primer
Penyakit Mati Pucuk pada Bibit Jabon (Anthocephalus cadamba
(Roxb.) Mig)
Ai Rosah Aisah
A352100041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Achmad, MS
Anggota

MS

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Fitopatologi

Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc

Tanggal ujian: 30 Januari 2014

Tanggal Lulus:

2 7 MAR 2014

xii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis dengan judul “Identifikasi dan Patogenisitas Cendawan
Penyebab Primer Penyakit Mati Pucuk pada Bibit Jabon (Anthocephalus cadamba
(Roxb.) Miq)” dapat diselesaikan.
Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Bonny PW
Soekarno, MS dan Prof Dr Ir Achmad, MS selaku komisi pembimbing atas
bimbingan, masukan, arahan, dan nasihat selama proses penelitian sampai
penulisan tesis. Selain itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Abdul
Munif, MScAgr selaku penguji luar komisi atas masukan dan saran dalam
penulisan hasil penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
seluruh staf dan rekan-rekan di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian IPB dan Laboratorium Penyakit Hutan, Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB atas segala bantuan, masukan, dan dukungan
selama penyelesaian penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Ucapan terima
kasih tidak lupa penulis ucapkan kepada Mba Pepi dan Pak Eter atas bantuan yang
diberikan selama penelitian.
Rasa hormat dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada kedua
orang tua tercinta atas segala dorongan, doa dan kasih sayang yang diberikan
kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman
Fitopatologi angakatan 2010 dan rekan-rekan Wisma Mardiyah yang senantiasa
memberi semangat dari awal hingga akhir penelitian.
Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi penulis dan yang
memerlukan.

Bogor, Maret 2014
Ai Rosah Aisah

xiii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
2
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq)
Deskripsi Umum Pohon
Penyebaran Alami
Klasifikasi Jabon
Penyakit pada Tanaman Jabon
Gejala dan Penyebab Penyakit Mati Pucuk
Mekanisme Infeksi Patogen
Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Penyakit

4
4
5
5
6
6
7
8

3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Metode
Pengamatan Gejala dan Pengambilan Tanaman Jabon Contoh
Isolasi Cendawan dari Jaringan Tanaman Sakit
Identifikasi Isolat Cendawan
Postulat Koch
Uji Patogenisitas Isolat Cendawan
Analisis Mekanisme Infeksi Cendawan Patogen terhadap
Tanaman Inang
Analisis Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Infeksi
Patogen
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Gejala Penyakit Mati Pucuk pada Tanaman Jabon
Isolasi dan Identifikasi Cendawan
Postulat Koch
Uji Patogenisitas Isolat Cendawan Botryodiplodia spp.
Mekanisme Infeksi Cendawan Patogen terhadap Tanaman
Inang
Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Infeksi Patogen
Pembahasan
Gejala Penyakit Mati Pucuk pada Tanaman Jabon
Identifikasi Cendawan
Postulat Koch

10
10
11
11
11
11
12
14
14

16
16
17
19
20
22
23
23
23
25
27

xiv

Uji Patogenisitas Isolat Cendawan Botryodiplodia spp.
Mekanisme Infeksi Cendawan Patogen terhadap Tanaman
Inang
Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Infeksi Patogen

29
30
32

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

34
34

DAFTAR PUSTAKA

35

LAMPIRAN

41

RIWAYAT HIDUP

54

xv

DAFTAR TABEL
1 Skor penyakit mati pucuk pada bibit jabon
2 Perolehan isolat cendawan berdasarkan lokasi pengambilan tanaman
contoh jabon yang memperlihatkan gejala mati pucuk

14
18

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Tanaman jabon: a) persemaian, b) lapangan
4
Peta penyebaran alami dan introduksi jabon (A. cadamba)
5
Urutan kegiatan penelitian
10
Skoring keparahan gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon;
a) 0 = tanaman tidak bergejala, b-c) 1 = tanaman terlihat layu atau
≤ 25% bagian tanaman mengalami nekrosis; d) 2 = 26-50% bagian
tanaman mengalami nekrosis;e) 3 = > 50% bagian tanaman mengalami
nekrosis; dan f) 4 = tanaman mati
13
5 Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon di lokasi persemaian:
a) nekrotik pada batang, (b) nekrotik pada daun, dan (c) batang
mengerut
16
6 Bibit jabon yang terserang penyakit mati pucuk pada beberapa
tingkatan umur: a) nekrosis pucuk pada bibit ± 2 bulan, b-d) nekrosis
batang dan daun pada bibit ± 3, 4, dan 5 bulan secara berturut-turut
17
7 Penampilan koloni isolat cendawan berdasarkan warna koloni:
a) warna putih, b) putih kehitaman, c) putih keunguan, dan d) abu-abu
kehitaman
17
8 Konidia isolat cendawan yang diperoleh dari bibit jabon yang
memperlihatkan gejala mati pucuk: a) konidia muda dan konidia
matang Botryodiplodia spp., b) makrokonidia Fusarium spp.,
c) konidia Colletotrichum sp., d) konidia Pestalotiopsis sp., dan
e) konidia Curvularia sp.
18
9 Gejala penyakit pada bibit jabon setelah inokulasi pada tahap postulat
Koch: a) Botryodiplodia spp., b) Fusarium spp., c) Colletotrichum
sp., dan d) kontrol
19
10 Persentase kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit
jabon setelah diinokulasi 5 isolat cendawan Botryodiplodia spp.
21
11 Gejala nekrosis yang muncul pada bibit jabon setelah inokulasi isolat
Botryodiplodia spp.
22
12 Aktivitas pektinase (A) dan selulase (B) 3 isolat Botryodiplodia spp.
setelah 2 minggu masa inkubasi pada media CMS
22
13 Aktivitas peroksidase bibit jabon setelah diinokulasi 5 isolat
Botryodiplodia spp. dan kontrol
23

xvi

DAFTAR LAMPIRAN
1 Bibit jabon yang digunakan sebagai tanaman contoh dalam tahap isolasi
2 Kondisi penyakit mati pucuk pada tanaman jabon di 5 lokasi persemaian
3 Karakter morfologi isolat-isolat cendawan yang diperoleh dari bibit
jabon yang mengalami mati pucuk
4 Gejala mati pucuk pada bibit jabon setelah diinokulasi lima isolat
Botryodiplodia spp.: a) isolat A1, b) isolat A5, c) isolat E2, d) isolat E4,
e) isolat B2, dan f) kontrol
5 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan kejadian penyakit mati
pucuk pada bibit jabon setelah diinokulasi isolat Botryodiplodia spp.
6 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan keparahan penyakit
mati pucuk pada bibit jabon setelah
diinokulasi
isolat
Botryodiplodia spp.
7 Gejala kehitaman pada bagian dalam batang bibit jabon yang telah
berkayu

42
43
44

50
51

52
53

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) merupakan tanaman asli
Indonesia yang saat ini tengah dikembangkan dan dibudidayakan. Tanaman ini
mulai diminati masyarakat atau perusahaan karena memiliki banyak keunggulan,
seperti penyebaran yang luas, pertumbuhan yang cepat, pemeliharaan mudah,
prospek pemasaran cukup tinggi, dan dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah.
Berdasarkan keunggulan-keunggulan tersebut jabon dapat ditanam sebagai bahan
investasi atau usaha konservasi lingkungan.
Jabon sebagai bahan investasi dapat ditanam di areal hutan rakyat untuk
memperoleh hasil berupa kayu. Karena jabon termasuk jenis cepat tumbuh, maka
daur hidupnya pendek. Sudarmo (1957) dalam Krisnawati et al. (2011)
menyatakan bahwa jabon memiliki riap diameter rata-rata 1.2 sampai 11.6 cm
tahun-1 dengan riap tinggi rata-rata 0.8 sampai 7.9 m tahun-1. Kondisi tersebut
memungkinkan jabon dapat dipanen pada umur 6 tahun. Kayu jabon yang
diperoleh dapat digunakan sebagai bahan baku industri, seperti industri pulp dan
kertas, korek api, dan kayu lapis. Hal ini menunjukkan bahwa jabon memiliki
nilai ekonomi tinggi. Herusansono dan Wahono (2011) menyatakan bahwa harga
kayu jabon siap panen bisa mencapai 1.2 sampai 1.4 juta m-3.
Selain dapat dijadikan bahan investasi, jabon juga dapat digunakan untuk
konservasi lingkungan, misalnya kegiatan penghijauan atau reklamasi areal bekas
tambang. Penanaman jabon di areal bekas tambang telah dicoba, contohnya di
pertambangan batubara PT Kaltim Prima Coal yang memiliki persen tumbuh bibit
sebesar 85 sampai 100% (Safriati 2012). Kemudian hasil penelitian Setyaningsih
(2012) menunjukkan bahwa semai jabon bersifat toleran menengah terhadap
logam berat timbal yang terdapat dalam limbah kegiatan pertambangan.
Seiring dengan pengembangan dan budidayanya, permintaan pasar
terhadap jabon akan mengalami peningkatan. Oleh sebab itu, usaha pembibitan
jabon telah banyak dilakukan, baik dalam skala kecil maupun besar. Sejauh ini,
usaha pembibitan jabon belum menghadapi kendala yang berarti. Namun, usaha
ini tetap berpotensi menghadapi kendala berupa gangguan penyakit di areal
persemaian. Hal ini dapat terjadi karena bibit jabon yang tersedia di areal
persemaian berpotensi menjadi inang bagi patogen dan kondisi bibit yang masih
sukulen relatif rentan terhadap gangguan penyakit.
Gangguan penyakit merupakan salah satu hambatan dalam proses
regenerasi tanaman hutan, karena dapat mengurangi kuantitas dan kualitas bibit.
Berdasarkan pengamatan pada 5 lokasi persemaian, gejala penyakit yang sering
ditemui menyerang bibit jabon adalah mati pucuk. Penyakit ini berpotensi
mengurangi kuantitas dan kualitas bibit, karena selain dapat menginfeksi beberapa
tingkatan umur bibit juga dapat menyebabkan kematian terhadap bibit jabon
dengan presentase 5 sampai 15% (Cahyadi E 27 Maret 2013, komunikasi pribadi).
Sampai saat ini, gangguan penyakit terhadap bibit jabon di persemaian
belum banyak dilaporkan. Akan tetapi, kejadian penyakit yang pernah dilaporkan
di antaranya adalah bercak daun yang disebabkan Colletotrichum sp. (Anggraeni

2
2009) dan mati pucuk yang disebabkan Rhizoctonia solani Kuhn. (Rahman et al.
1997).
Penyakit mati pucuk dapat terjadi pada banyak tanaman dan disebabkan
oleh satu atau beberapa cendawan patogen. Sebagai contoh, penyakit mati pucuk
pada mangga (Mangifera indica L.) disebabkan oleh Lasiodiplodia theobromae
(Pat.) Griffon & Maubl. (Khanzada et al. 2004), pada tanaman shisham
(Dalbergia sissoo Roxb.) disebabkan oleh Botryodiplodia theobromae Pat.,
Fusarium solani (Mart.) Sacc., F. oxysporum Schlecht., R. solani, dan Curvularia
lunata (Wakker) Boedijn. (Ahmad et al. 2012), dan pada akasia (Acacia koa A.
Gray) disebabkan oleh F. oxysporum f. sp. koae (Anderson et al. 2002). Penyakit
mati pucuk dapat menyebabkan gugur daun (Ahmad et al. 2012), layu
(Muehlbach et al. 2010), dan kematian tanaman (Khanzada et al. 2004).
Penyakit mati pucuk pada bibit jabon berpotensi menimbulkan masalah
serius, karena selain dapat menimbulkan kerusakan pada berbagai tingkatan umur
bibit jabon, penyakit ini juga berpotensi menyebabkan kematian pada bibit.
Karena gangguan penyakit mati pucuk pada bibit jabon belum banyak dilaporkan,
maka perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk mengidentifikasi dan menguji
patogenisitas agen penyebab penyakit. Informasi yang diperoleh dari kegiatan
identifikasi dan uji patogenisitas dapat digunakan untuk menentukan tindakan
pengendalian. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pengamatan gejala
penyakit mati pucuk, isolasi dan identifikasi patogen, postulat Koch, uji
patogenisitas isolat cendawan, dan mempelajari mekanisme infeksi patogen serta
mekanisme pertahanan inang.

Perumusan Masalah
Gangguan penyakit di areal persemaian merupakan salah satu kendala
yang umum dihadapi dalam usaha regenerasi tanaman hutan. Hal ini dikarenakan
gangguan penyakit dapat mengurangi kualitas maupun kuantitas bibit. Contoh
penyakit yang umum mengganggu tanaman di areal persemaian adalah layu,
rebah kecambah, bercak dan hawar daun, busuk akar, serta mati pucuk. Penyakit
tersebut dapat mengganggu pertumbuhan tanaman atau bahkan menyebabkan
kematian.
Penyakit mati pucuk pada tanaman jabon dapat menyebabkan kematian
terhadap bibit. Kondisi ini berpotensi menghambat usaha penyediaan bibit jabon
yang saat ini tengah banyak diminati masyarakat. Penyakit mati pucuk dapat
berasosiasi dengan beberapa macam cendawan patogen, sedangkan informasi
mengenai serangan penyakit mati pucuk pada bibit jabon belum banyak diketahui.
Hal ini dikarenakan tanaman jabon baru dikembangkan dan dibudidayakan secara
luas di Indonesia. Karena informasi tersebut masih kurang, maka dalam penelitian
ini dilakukan identifikasi dan uji patogenisitas terhadap agen penyebab penyakit
mati pucuk pada bibit jabon.

3
Tujuan Penelitian
1
2
3

Mengisolasi dan mengidentifikasi cendawan penyebab penyakit mati pucuk
pada bibit jabon
Menentukan penyebab primer penyakit mati pucuk pada bibit jabon dengan
metode postulat Koch serta menentukan tingkat virulensi isolat tersebut
melalui uji patogenisitas
Mempelajari mekanisme infeksi patogen terhadap inang dan mekanisme
pertahanan inang terhadap infeksi patogen

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi awal mengenai agen
penyebab penyakit mati pucuk pada bibit jabon dan kemampuannya untuk
menimbulkan penyakit, mekanisme patogen untuk menginfeksi inang dan
mekanisme pertahanan inang terhadap infeksi patogen. Informasi tersebut
diperlukan untuk menentukan tindakan pengendalian penyakit.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq)
Deskripsi Umum Pohon
Jabon merupakan salah satu jenis tanaman yang memiliki prospek tinggi
untuk dikembangkan di hutan tanaman industri dan digunakan sebagai tanaman
penghijauan. Hal ini dikarenakan karakteristik yang dimilikinya, yaitu
pertumbuhannya cepat, mampu beradaptasi pada berbagai kondisi tempat tumbuh,
dan perlakuan silvikultur yang relatif mudah. Jenis ini diharapkan dapat menjadi
komoditas penting bagi industri perkayuan di masa yang akan datang, terutama
ketika bahan baku kayu dari hutan alam akan semakin berkurang (Krisnawati et
al. 2011).
Jabon termasuk jenis tanaman pionir yang dapat membentuk kelompok
hutan alam murni pada tempat yang bebas persaingan cahaya. Perbanyakan jabon
dapat dilakukan melalui biji atau stek. Biji yang digunakan sebagai benih, perlu
disemaikan terlebih dahulu dalam bak kecambah. Semai yang telah mencapai
ukuran tinggi 3 cm dapat dipindah ke bedeng penyapihan. Setelah mencapai tinggi
20 sampai 30 cm, semai dapat ditanam di lapangan pada awal musim hujan
(Martawijaya et al. 1981).
Secara umum, jabon tumbuh pada tanah aluvial, liat, lempung podsolik
coklat, dan tanah tuf halus. Kisaran suhu maksimum untuk pertumbuhan jabon
yaitu 32 sampai 42 °C, sedangkan kisaran suhu minimum yaitu 3 sampai 15.5 °C.
Jabon dapat tumbuh pada daerah kering dengan curah hujan tahunan paling
sedikit 200 mm, sedangkan pada habitat alaminya rata-rata curah hujan tahunan
berkisar antara 1500 sampai dengan 5000 mm (Martawijaya et al. 1981;
Krisnawati et al. 2011).

Gambar 1 Tanaman jabon: a) persemaian, b) lapangan.

5
Penyebaran Alami
Menurut Orwa et al. (2009), spesies A. cadamba tersebar di beberapa
negara, yaitu Australia, India, Cina, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina,
Singapura, dan Vietnam. Jenis ini sudah diintroduksi ke beberapa negara, yaitu
seperti Costa Rica, Puerto Rico, Afrika Selatan, Taiwan, dan Venezuela. Adapun
sebaran tumbuh di Indonesia menurut Martawijaya et al. (1981), yaitu meliputi
seluruh Sumatera, Kalimantan Selatan dan Timur, seluruh Sulawesi, Jawa Timur,
Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Papua.

Gambar 2 Peta penyebaran alami dan introduksi jabon (A. cadamba)
(Sumber: Orwa et al. 2009)
Klasifikasi Jabon
Tanaman jabon memiliki banyak nama lokal di beberapa negara, di
antaranya yaitu common bur-flower (Inggris), kaatoan bangkal (Filipina), kadam
(Prancis), kalempayan (Malaysia), jabon (Indonesia), dan takoo (Thailand). Di
Indonesia sendiri, jabon memiliki beberapa nama lokal, antara lain hanja,
kelampeyan, jabon (Jawa); galupai, kelampai, johan (Sumatera); ilan,
kelampayan, taloh (Kalimantan); sugi mania, pekaung, pute (Sulawesi);
gumpayan, kelapan, mugawe (NTB); dan aparabire, masarambi (Papua)
(Martawijaya et al. 1981; Orwa et al. 2009). Berdasarkan sistem klasifikasi, jabon
digolongkan sebagai berikut (Gautam et al. 2012; Soerianegara dan Lemmens
1994):
Kingdom
: Plantae
Sub Kingdom
: Tracheobionta
Kelas
: Asteridae
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Neolamarckia F. Bosser
Spesies
: Neolamarckia cadamba (Roxb.)
Sinonim
: Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq
Anthocephalus indicus A. Rich

6
Penyakit pada Tanaman Jabon
Soerianegara dan Lemmens (1994) menyebutkan bahwa penyakit yang
mengganggu tanaman jabon yaitu berupa rontoknya sebagian atau seluruh daun
dan mati pucuk yang disebabkan oleh Gloeosporium anthocephali. Sementara itu,
penyakit yang ditemukan mengganggu jabon di persemaian yaitu bercak daun
yang disebabkan oleh Colletotrichum sp. (Anggraeni 2009) dan mati pucuk yang
disebabkan oleh Rhizoctonia solani (Rahman et al. 1997).
Anggraeni (2009) menjelaskan bahwa kerusakan akibat penyakit bercak
Colletotrichum bergantung pada jenis tanaman inangnya. Apabila tanaman inang
rentan, maka tanaman tidak hanya mengalami kerontokan daun tetapi mengalami
mati pucuk atau bahkan mati total. Adapun kerugian yang ditimbulkan oleh
penyakit mati pucuk pada tanaman jabon belum banyak dilaporkan. Akan tetapi,
gangguan penyakit ini pada tanaman lain dapat menurunkan produksi karena
tanaman mengalami kematian. Nasution (2010) menyatakan bahwa gangguan
penyakit mati pucuk pada tanaman alpukat (Persea americana Mill.) telah
menurunkan produksi buah alpukat sebesar 20 sampai 80%.
Gejala dan Penyebab Penyakit Mati Pucuk
Penyakit mati pucuk memiliki gejala berupa nekrotik ekstensif yang
dimulai dari bagian ujung tanaman dan berkembang menuju bagian pangkal.
Biasanya terjadi secara tiba-tiba dan kerusakan berupa kematian dapat terjadi pada
pucuk serta bagian ujung pertumbuhan. Gejala lain dari penyakit ini adalah terjadi
perubahan warna daun dari hijau tua menjadi kuning, pengurangan ukuran daun,
pengguguran daun, dan gumosis. Penyakit mati pucuk dapat menyerang tanaman
kayu dan semak, dan dapat terjadi di area pertanaman atau persemaian (Agrios
2005; Douglas 2009; Ahmad et al. 2012).
Penyakit mati pucuk telah dilaporkan menyebabkan kerusakan terhadap
tanaman kayu pada area hutan tanaman di Asia dan Eropa, misalnya tanaman
shisham (D. sissoo) di Banglades (Rajput et al. 2008) dan Pakistan (Ahmad et al.
2012), akasia (A. mangium Willd.) di Indonesia (Tarigan et al. 2011), dan ash
(Fraxinus excelsior L.) di Eropa (Kräutler dan Kirisits 2012). Sementara itu,
penyakit mati pucuk yang menyerang tanaman pada fase semai di antaranya
terjadi pada tanaman karet (Hevea brasiliensis Müll. Arg.), jabon (A. cadamba),
keora (Sonneratia apetala Buch.-Ham.) (Rahman et al. 1997), dan ash (Kirisits et
al. 2012).
Penyakit mati pucuk dapat mengancam usaha produksi kayu karena
berpotensi menyebabkan kematian pada tanaman, baik pada fase semai maupun
pohon. Anderson et al. (2002) melaporkan bahwa kejadian penyakit mati pucuk
pada tanaman akasia (A. koa) di Mauna Loa, Hawaii berkisar antara 66 sampai
86%. Sementara itu, Muehlbach et al. (2010) menyatakan bahwa penyakit mati
pucuk pada tanaman shisham sudah dikenal sejak tahun 1993 sebagai ancaman
dramatis terhadap hutan dan produksi kayu di India dan sekitarnya.
Gejala mati pucuk umumnya disebabkan oleh parasit-parasit lemah.
Infeksi patogen sangat dipengaruhi oleh kondisi tanaman inang. Beberapa patogen
yang dilaporkan menyebabkan gejala mati pucuk yaitu Rhizoctonia spp.,
F. oxysforum, dan L. theobromae (Semangun 2006; Muehlbach et al. 2010).
Genus Rhizoctonia merupakan kumpulan heterogen dari cendawan
berfilamen yang tidak menghasilkan spora aseksual dan memiliki ciri-ciri yang

7
umum pada bentuk anamorfnya. Organisme yang termasuk ke dalam spesies
kompleks ini umumnya adalah cendawan penghuni tanah dan berisfat patogenik.
Cendawan R. solani merupakan spesies yang umum diperoleh dari tanah dan
dikenal sebagai patogen tumbuhan yang sangat merusak dan memiliki kisaran
inang yang luas (García et al. 2006).
Cendawan R. solani biasanya menginfeksi jaringan tanaman muda
sehingga menyebabkan penyakit rebah kecambah. Selain itu, cendawan ini sering
menginfeksi bagian daun yang berada di dekat tanah sehingga menyebabkan
hawar atau bercak daun. Infeksi Rhizoctonia spp. yang menyebabkan penyakit
mati pucuk ditemukan pada tanaman kopi (Coffea sp.) dan jabon (Semangun
2006; Rahman et al. 1997).
Cendawan Fusarium spp. merupakan salah satu patogen yang berasosiasi
dengan berbagai gejala penyakit seperti aborsi benih, busuk pada benih, akar,
batang dan semai, rebah kecambah, kerdil, layu pembuluh, dan mati pucuk
(Bashir dan Tahira 2012). Spesies yang berasosiasi dengan penyakit mati pucuk
diantaranya adalah F. solani dan F. oxysporum pada shisham (Ahmad et al. 2012;
Muehlbach et al. 2010), dan F. solani dan F. sterilihyphosum Britz, Marasas &
MJ Wingf. pada alpukat (Nasution 2010).
Lasiodiplodia sp. merupakan cendawan yang umum, terutama di daerah
tropis dan subtropis yang dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit pada
tanaman. Cendawan L. theobromae merupakan anggota dari Botryosphaeriaceae,
dikenal sebagai patogen dengan lebih dari 500 inang (Abdollahzadeh et al. 2010;
Ismail et al. 2012). Cendawan ini dilaporkan telah menyebabkan penyakit mati
pucuk pada tanaman mangga (Khanzada et al. 2004), shisham (Muehlbach et al.
2010), pir (Prunus sp.) (Shah et al. 2010), karet (Rahman et al. 1997) dan kakao
(Theobromae cocoa L.) (Mbenoun et al. 2008).

Mekanisme Infeksi Patogen
Patogen tumbuhan umumnya merupakan mikrooragnisme yang tidak
dapat menggunakan kekuatan sendiri untuk menginfeksi inang. Patogen yang
dapat menginfeksi atau memenetrasi tanaman inang secara langsung dapat
menggunakan kekuatan mekanik. Mekanisme lain yang digunakan patogen untuk
menyebabkan penyakit pada tanaman inang adalah kekuatan kimia seperti enzim,
toksin, zat pengatur tumbuh, dan polisakarida (Agrios 2005).
Penetrasi secara langsung terhadap tanaman inang di antaranya dapat
dilakukan oleh cendawan patogen. Untuk melewati rintangan fisik pada tanaman
inang, cendawan membentuk struktur infeksi yang memungkinkan dia untuk
memenetrasi dinding sel. Sekresi enzim atau peningkatan tekanan pada struktur
infeksi dapat membantu proses penetrasi (Mendgen et al. 1996).
Banyak dari cendawan patogen tumbuhan membentuk apresorium untuk
memenetrasi jaringan tanaman. Selama proses penetrasi, apresorium akan
menempel dengan kuat pada permukaan inang, kemudian menghasilkan kapak
penetrasi untuk menembus kutikula dan dinding sel tanaman. Kebanyakan
apresorium dalam proses penetrasi mengandung melanin yang berwarna gelap
(Agrios 2005; Huang 2001).
Enzim merupakan protein dengan molekul besar yang berfungsi sebagai
biokatalisator dalam reaksi-reaksi yang terjadi di dalam sel. Setiap reaksi di dalam

8
sel dilakukan oleh enzim tertentu. Secara umum, enzim patogenik tumbuhan
menghancurkan komponen struktural sel inang, kemudian memecah substansi di
dalam sel atau mempengaruhi komponen dari membran dan protoplas. Enzim
yang digunakan oleh patogen untuk menginfeksi tanaman inang di antaranya
adalah protease, pektinase, selulase, dan ligninase (Semangun 2006; Agrios
2005).
Kebanyak enzim degradatif adalah glikosida hidrolase yang mendegradasi
matriks selulosa dan pektat dengan tambahan air untuk memecah ikatan glikosida.
Jaringan pektat juga didegradasi oleh polisakarida liase yang memecah ikatan
glikosida melalui mekanisme eliminasi ikatan β (Mendgen et al. 1996).
Toksin bertindak langsung dalam protoplas inang hidup dengan cara
merusak atau mematikan sel tumbuhan. Toksin dapat bersifat umum atau spesifik.
Toksin yang bersifat umum dapat mempengaruhi banyak spesies tumbuhan,
sedangkan toksin yang spesifik hanya bersifat toksik terhadap beberapa spesies
tumbuhan atau varietas. Toksin merupakan substansi yang sangat beracun dan
berfungsi efektif dalam konsentrasi yang sangat rendah (Agrios 2005).
Contoh toksin yang diproduksi oleh cendawan patogen yaitu fusaric acid
yang dihasilkan oleh genus Fusarium dan Giberella. Beracunnya fusaric acid
terutama karena pengaruhnya terhadap respirasi (Huang 2001).
Zat pengatur tumbuh utama pada tumbuhan yaitu meliputi auksin,
giberelin, dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh bekerja pada konsentrasi rendah.
Selain tumbuhan, patogen tumbuhan juga menghasilkan zat pengatur tumbuh.
Patogen ini mungkin menghasilkan zat pengatur tumbuh yang baru dan berbeda.
Dengan adanya zat pengatur tumbuh dari patogen, maka sistem hormonal
tumbuhan inang menjadi tidak seimbang sehingga menghasilkan pertumbuhan
abnormal (Agrios 2005).

Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Penyakit
Tumbuhan merupakan objek untuk diinfeksi dan diserang oleh berbagai
mikroorganisme patogen dan serangga. Oleh sebab itu, untuk merespon infeksi
patogen, tumbuhan mengekspresikan sejumlah mekanisme pertahanan. Tumbuhan
secara umum mempertahankan dirinya dari infeksi patogen melalui kombinasi
dua sistem pertahanan. Pertama adalah karakteristik struktural yang bertindak
sebagai rintangan fisik dan menghambat patogen untuk memasuki jaringan dan
menyebar di dalam sel, dan yang ke dua adalah reaksi biokimia yang terjadi di
dalam jaringan dan sel tumbuhan, menghasilkan substansi toksik bagi patogen
atau menciptakan kondisi yang dapat menghambat pertumbuhan patogen di dalam
tanaman (Glazebrook 2005; Agrios 2005).
Bentuk rintangan fisik contohnya adalah kutikula. Struktur ini penting
untuk menghambat proses penetrasi patogen yang akan menempel dan
mensekresikan enzim pendegradasi kutin. Secara fisik, ketebalan kutikula
mungkin dapat mencegah pemunculan sporofor dan mengeluarkan spora. Selain
itu, lilin pada kutikula dan daun yang berorientasi vertikal mungkin mencegah
terciptanya lapisan yang lembab pada permukaan daun (Guest dan Brown 1997).
Apabila patogen telah memasuki jaringan maka pertahanan aktif tumbuhan
akan teraktivasi. Mekanisme molekuler sebagai respon pertahanan sering diawali
dengan pengenalan gen (gene-for-gene) patogen. Virulensi tertentu yang

9
dihasilkan patogen menyebabkan tumbuhan inang mengenali patogen. Hal ini
akan menginduksi inang untuk menghasilkan ketahanan yang sesuai, atau gen R.
Ketahanan yang dimediasi gen R biasanya disertai suatu ledakan oksidatif, yaitu
produksi cepat dari spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species/ROS).
Produski ROS diperlukan untuk respon kematian sel hipersensitif (HR), program
kematian sel yang diduga untuk membatasi akses patogen terhadap air dan
makanan (Glazebrook 2005).
Menurut Guest dan Brown (1997), kematian sel hipersensitif dalam
beberapa kasus dapat mematikan invasi patogen, sedangkan dalam kasus yang
lain hanya bersifat fungistatis. Keberhasilan kematian sel hipersensitif sebagai
mekanisme pertahanan bergantung pada kebutuhan nutrisi dari patogen, waktu,
lokasi, dan besarnya respon inang dalam menghadapi perkembangan patogen.
Tumbuhan inang yang telah terinfeksi akan menghambat patogen untuk
berkembang atau menyebar ke jaringan yang lain. Hal ini bisa dilakukan dengan
pertahanan histologi seperti membentuk lapisan gabus, lapisan absisi, dan tilose,
atau pertahanan biokimia seperti PR (Pathogensis-Related) protein, senyawa
fenolik, dan fitoaleksin (Agrios 2005).
PR protein terakumulasi secara lokal di sekeliling jaringan yang terinfeksi
dan juga di daerah yang tidak terinfeksi. Produksi PR protein pada bagian
tanaman yang tidak terinfeksi dapat mencegah terpengaruhnya tanaman dari
infeksi lanjut. Kebanyakan PR protein di dalam sepesies tanaman merupakan
asam terlarut, bobot molekul rendah, dan protein tahan protease. PR protein
dikatagorikan menjadi 17 famili sesuai sifat dan fungsinya, di antaranya adalah β1,3- glukanase, kitinase, peroksidase, dan thionin (Ebrahim et al. 2011).
Aktivitas polifenol oksidase, pada umumnya lebih tinggi pada jaringan
varietas tahan yang terinfeski dibandingkan dengan jaringan terinfeksi pada
tanaman rentan atau tanaman sehat. Pentingnya aktivitas polifenol oksidase dalam
ketahanan penyakit memungkinkan batang untuk mengoksidasi senyawa fenolik
menjadi quinon yang sering lebih toksik terhadap mikroorganisme daripada fenol
original. Enzim pengoksidasi fenol dan peroksidase keduanya mengoksidasi
fenolik menjadi quinon dan menghasilkan hidrogen peroksidase (Agrios 2005).
Fitoaleksin harus terakumulasi untuk menghambat perkembangan lanjut
dari patogen di tempat infeksi. Struktur kimia fitoaleksin bermacam-macam, tapi
dengan satu pengecualian, mereka merupakan senyawa organik kecil yang
disintesis dari satu atau tiga jalan senyawa metabolit (acetate mevalonate, acetatemalonate, atau shikimic acid) (Guest dan Brown 1997).

10

3 BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2012 sampai Agustus
2013. Kegiatan isolasi dan identifikasi dilakukan di Laboratorium Mikologi,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor;
kegiatan postulat Koch dan uji patogenisitas dilakukan di rumah paranet Bagian
Perlindungan Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor; dan kegiatan analisis mekanisme infeksi patogen terhadap inang
dan mekanisme pertahanan inang terhadap infeksi patogen dilakukan di
Laboratorium Rekayasa Bioproses, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian
Bogor.

Bahan dan Metode
Penelitian ini terdiri atas 7 kegiatan, yaitu: (1) pengamatan gejala dan
pengambilan tanaman jabon contoh yang memperlihatkan gejala mati pucuk dari
5 lokasi persemaian di sekitar kampus IPB Dramaga, (2) isolasi cendawan dari
jaringan tanaman yang memperlihatkan gejala sakit, (3) identifikasi berdasarkan
karakter morfologi, (4), postulat Koch, (5) uji patogenisitas isolat cendawan, (6)
analisis mekanisme infeksi patogen, dan (7) analisis mekanisme pertahanan inang
terhadap infeksi patogen. Tahapan kegiatan ditunjukkan dalam Gambar 3.
Pengamatan gejala dan pengambilan tanaman jabon
contoh sakit dari lokasi persemaian
Isolasi cendawan dari jaringan tanaman sakit
Identifikasi cendawan berdasarkan karakter morfologi
Postulat Koch
Uji patogenisitas isolat cendawan

Analisis mekanisme
infeksi patogen

Analisis mekanisme
pertahanan inang

Gambar 3 Urutan kegiatan penelitian

11
Pengamatan Gejala dan Pengambilan Tanaman Jabon Contoh
Tanaman jabon contoh adalah bibit jabon yang memperlihatkan gejala
mati pucuk dan diambil dari 5 lokasi persemaian, yaitu 2 persemaian berlokasi di
daerah Situ Gede (A dan B), 1 persemaian di daerah Jampang (C), 1 persemaian
di daerah Cilubang (D), dan 1 persemaian di Fakultas Kehutanan IPB (E). Jumlah
tanaman contoh yang diambil dari lokasi persemaian disesuaikan dengan kondisi
persemaian (skala produksi dan ketersediaan tanaman sakit). Tanaman jabon
contoh yang terinfeksi penyakit mati pucuk (Lampiran 1) kemudian dibawa ke
laboratorium sebagai bahan untuk tahapan selanjutnya dalam penelitian.
Isolasi Cendawan dari Jaringan Tanaman Sakit
Isolasi cendawan dari jaringan tanaman dilakukan berdasarkan metode
Akrofi dan Amoah (2009) dengan modifikasi pada penggunaan bahan disinfektan
untuk sterilisasi permukaan jaringan tanaman. Langkah pertama, jaringan yang
memperlihatkan gejala sakit diambil dari tanaman dengan cara dipotong.
Potongan jaringan kemudian disterilisasi permukaan dengan cara direndam dalam
larutan NaOCl 1% selama ± 2 menit, lalu dicuci dengan air steril sebanyak 3 kali,
selanjutnya dikeringkan di atas kertas saring steril yang ada di dalam cawan petri.
Jaringan tanaman sakit tersebut kemudian dipotong pada bagian antara yang sehat
dan sakit, lalu dimasukkan ke dalam cawan petri berisi media PDA (Potato
Dextrose Agar). Potongan jaringan tanaman pada media PDA selanjutnya
diinkubasi selama ± 6 hari di bawah pencahayaan NUV (Near Ultra Violet)
dengan periode 12 jam terang dan 12 jam gelap pada suhu ruang. Koloni miselium
yang tumbuh dari potongan jaringan yang diisolasi kemudian dimurnikan dan
diperbanyak pada media PDA. Isolat cendawan yang diperoleh selanjutnya
digunakan sebagai bahan untuk identifikasi dan sumber inokulum.
Identifikasi Isolat Cendawan
Identifikasi cendawan dilakukan berdasarkan karakter morfologi secara
makroskopis dan mikroskopis, yaitu meliputi warna koloni, tekstur dan topografi
koloni, serta ukuran dan bentuk konidia. Identifikasi dilakukan dengan
menggunakan buku kunci identifikasi untuk genus imperfect fungi (Barnet dan
Hunter 1998) dan untuk cendawan tanah dan benih (Watanabe 1994).
Postulat Koch
Uji postulat Koch bertujuan membuktikan bahwa isolat yang diperoleh
merupakan agen penyebab dari gejala penyakit yang diamati. Kegiatan ini terdiri
atas inokulasi isolat pada tanaman contoh, reisolasi jaringan tanaman yang
memperlihatkan gejala, dan identifikasi isolat hasil reisolasi. Sebelum tahap
inokulasi, ada 2 hal yang perlu disiapkan yaitu bibit jabon dan sumber inokulum.
Tanaman contoh yang digunakan untuk inokulasi merupakan bibit jabon
umur ± 4 bulan dari penyapihan. Setiap isolat cendawan diinokulasikan terhadap 5
bibit jabon dan setiap bibit diberi 2 perlakuan, yaitu dilukai dan tidak dilukai.
Inokulasi dilakukan pada sore hari dengan menggunakan 2 metode, yaitu injeksi
suspensi konidia dan penempelan blok agar. Penentuan metode inokulasi yang
digunakan bergantung pada kemampuan isolat cendawan untuk bersporulasi.
Perlakuan pelukaan pada bibit jabon dilakukan dengan bantuan jarum suntik

12
steril. Bagian tanaman yang akan diinokulasi sebelumnya disterilisasi permukaan
dengan alkohol 70%.
Penyiapan sumber inokulum dan injeksi suspensi konidia dilakukan
berdasarkan metode Ahmad et al. (2012) dengan modifikasi pada masa inkubasi
isolat dan kepadatan konidia sebagai sumber inokulum. Sumber inokulum
diperoleh dengan cara menambahkan 10 ml akuades steril pada kultur isolat
cendawan umur 10 hari. Permukaan kultur isolat selanjutnya dikikis secara
perlahan dengan menggunakan spatula gelas (glass rod), setelah itu disaring
dengan kertas saring whattman no.1. Suspensi konidia yang diperoleh kemudian,
dihitung kepadatannya dengan haemocytometer, lalu sebanyak 0.1 ml suspensi
konidia dengan kepadatan ± 1 x 106 konidia ml-1 diinjeksikan pada bagian daun
(dilukai dan tidak dilukai) dan batang bagian atas bibit jabon. Sebagai kontrol,
bibit jabon diinjeksi dengan akuades steril. Bibit jabon kemudian ditutup dengan
plastik dan dibuka setelah muncul gejala. Evaluasi gejala penyakit dilakukan
setiap hari selama 14 hari setelah inokulasi.
Penyiapan sumber inokulum dan penempelan blok agar dilakukan
berdasarkan metode Ismail et al. (2012) dengan modifikasi pada masa dan tempat
inkubasi tanaman. Sumber inokulum diperoleh dengan cara memotong bagian
ujung koloni isolat cendawan umur 7 hari dengan cork borer (Ø 7 mm). Setelah
itu, potongan agar ditempel pada batang bagian atas (dilukai dan tidak dilukai).
Sebagai kontrol, bagian batang ditempeli dengan blok agar tanpa koloni isolat
cendawan. Potongan blok agar yang ditempel pada bagian batang selanjutnya
ditutup dengan kapas lembab dan alumunium foil selama ± 7 hari atau sampai
muncul gejala. Evaluasi gejala penyakit dilakukan dengan cara yang sama seperti
metode injeksi suspensi konidia.
Gejala penyakit yang muncul pada titik inokulasi selanjutnya direisolasi,
kemudian isolat hasil reisolasi diidentifikasi dan dibandingkan dengan isolat
sebelumnya. Apabila isolat cendawan yang diinokulasikan menghasilkan gejala
yang identik dengan gejala mati pucuk dan teridentifikasi sebagai cendawan yang
identik dengan isolat sebelumnya, maka cendawan tersebut merupakan agen
penyebab dari penyakit mati pucuk. Isolat yang diduga sebagai penyebab primer
penyakit mati pucuk selanjutnya digunakan untuk uji patogenisitas.
Uji Patogenisitas Isolat Cendawan
Uji patogenisitas dilakukan terhadap 5 isolat cendawan yang mampu
menghasilkan gejala identik dengan gejala alami penyakit mati pucuk dan
memiliki masa inkubasi relatif cepat. Tahapan ini dilakukan dengan metode yang
sama seperti pada tahap postulat Koch. Tanaman contoh yang digunakan adalah
bibit jabon umur ± 4 bulan dari penyapihan. Tanaman yang telah diinokulasi
selanjutnya diinkubasi di rumah paranet dengan menggunakan rancangan
percobaan acak kelompok lengkap dengan satu faktor, yaitu macam isolat
cendawan. Parameter yang diamati dari kegiatan ini adalah kejadian penyakit dan
keparahan penyakit. Kejadian penyakit ditentukan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut (Ahmad et al. 2012):

13
KjP =

n
× 100%
N

Keterangan: KjP = Kejadian Penyakit
n = Jumlah tanaman yang sakit
N = Jumlah tanaman yang diamati
Keparahan penyakit ditentukan dengan menggunakan skoring dari 0-4
(Gambar 4 dan Tabel 1). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut
(Townsend dan Heurberger 1943 dalam Stević et al. 2010):
KpP =

n×v
× 100%
N×V

Keterangan: KpP = Keparahan Penyakit
n = Jumlah tanaman yang tergolong ke dalam suatu kategori
infeksi
v = Skor pada setiap kategori infeksi
N = Jumlah tanaman yang diamati
V = Skor untuk kategori infeksi terberat

a

d

b

c

e

f

Gambar 4 Skoring keparahan gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon: a) 0 =
tanaman tidak bergejala; b-c) 1 = tanaman terlihat layu atau ≤ 25%
bagian tanaman mengalami nekrosis; d) 2 = 26-50% bagian tanaman
mengalami nekrosis; e) 3 = > 50% bagian tanaman mengalami
nekrosis; dan f) 4 = tanaman mati.

14
Tabel 1 Skor penyakit mati pucuk pada bibit jabon
Penyakit
0
1
2
3
4

Uraian
tanaman tidak bergejala
tanaman terlihat layu atau ≤ 25% bagian tanaman mengalami
nekrosis
26-50% bagian tanaman mengalami nekrosis
> 50% bagian tanaman mengalami nekrosis
tanaman mati

Analisis Mekanisme Infeksi Cendawan Patogen terhadap Tanaman Inang
Mekanisme infeksi patogen terhadap tanaman inang dipelajari melalui
inokulasi batang tanpa pelukaan dan pengukuran aktivitas pektinase dan selulase.
Inokulasi batang tanpa pelukaan sebelumnya telah dilakukan pada kegiatan
postulat Koch. Pengukuran aktivitas enzim diawali dengan mengulturkan isolat
cendawan Botryodiplodia spp. pada media CMS (Corn Meal Sand). Hal tersebut
dilakukan berdasarkan metode Achmad (1997) dengan modifikasi pada jumlah
potongan batang bibit jabon yang ditambahkan pada media CMS dan masa
inkubasi isolat. Satu potongan isolat cendawan Botryodiplodia spp. (Ø 7 mm)
ditumbuhkan pada media CMS steril yang diberi tambahan 1 g potongan batang
bibit jabon (umur ± 4 bulan dari penyapihan). Batang bibit jabon yang digunakan
disterilisasi permukaan terlebih dahulu dengan cara direndam dalam NaOCl 1%
selama ± 2 menit, kemudian dicuci dengan air steril sebanyak 3 kali. Media CMS
terdiri atas campuran pasir, hancuran biji jagung, dan air (96:4:20 g:g:ml). Media
CMS yang telah diinokulasi cendawan selanjutnya diinkubasi selama 2 minggu
pada suhu ruang, lalu dilakukan ekstraksi enzim.
Ekstraksi dan analisis aktivitas enzim dilakukan di Laboratorium Rekayasa
Bioproses, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Adapun aktivitas
enzim yang dianalisis adalah pektinase dan selulase.
Analisis Mekanisme Pertahanan Inang terhadap Infeksi Patogen
Mekanisme pertahanan inang terhadap infeksi patogen dipelajari melalui
pengukuran aktivitas peroksidase. Kegiatan ini dilakukan di Laboratorium
Rekayasa Bioproses, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor dengan
menggunakan metode Simon dan Ross (1970). Kegiatan diawali dengan
mempersiapkan bagian tanaman contoh (tanaman telah diinokulasi isolat
patogen), yaitu daun sebanyak 0.5 g. Potongan daun selanjutnya dimasukkan ke
dalam mortar steril, kemudian ditambah dengan 0.01 M buffer fosfat pH 6.0
dengan perbandingan 1:4 (g:ml) dan digerus. L