Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi)

ABSTRACT
AGUS SURACHMAN. Intergenerational Transfer of Poverty: Influence of Value of
Children and Parental Investment Behavior on Child (Case in Pasawahan Village,
Cicurug Subdistrict, District of Sukabumi). Under supervision of HARTOYO.
This research aimed to analyze intergenerational transfer of poverty in two
generation of family and it interplay with value of children and parental investment
behavior on child. Design of this research combined cross sectional and retrospective
study; involved 60 families (as the second generation family) that dwelled in Pasawahan
village with the last child was under five years old, split into two social economic status:
poor (30 families) and not poor (30 families), base on BKKBN’s family welfare phasing.
Both husband and wife were interviewed by using structure questionnaire to obtain the
information of both generations of families. This research revealed that value of children
affected parental investment on child, while both variables were affected by family social
economic status. Parental investment on child was the determinant factor of children
welfare in the future. This research estimated that chance of family with husband came
from poor family was 38 times higher to be poor also. Some samples experienced status
mobility from poor to be not poor, because of education factor (for husband) and also
marital factor (for wife).
Keywords: intergenerational transfer of poverty, value of children, parental investment
behavior on child
ABSTRAK

AGUS SURACHMAN. Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan
Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten
Sukabumi). Dibimbing Oleh HARTOYO.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transfer kemiskinan antargenerasi
pada dua generasi keluarga dan keterkaitannya dengan nilai anak dan perilaku investasi
pada anak. Desain penelitian ini merupakan kombinasi dari cross sectional dan
retrospective; melibatkan 60 keluarga (sebagai keluarga generasi kedua) yang tinggal di
Desa Pasawahan dan memiliki anak terakhir berusia di bawah lima tahun, dikelompokan
menjadi dua status sosial ekonomi: miskin (30 keluarga) dan tidak miskin (30 keluarga)
berdasarkan data pentahapan keluarga sejahtera BKKBN. Suami dan istri diwawancarai
dengan menggunakan kuisioner terstruktur untuk menggali informasi mengenai kedua
generasi keluarga. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai anak mempengaruhi perilaku
investasi orang tua terhadap anak, sementara kedua variabel tersebut sama-sama
dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga. Perilaku investasi pada anak merupakan
faktor determinan yang menentukan kesejahteraan anak di masa depan. Hasil penelitian
memperkirakan peluang keluarga dengan suami berasal dari keluarga miskin 38 kali lebih
besar untuk miskin juga. Beberapa contoh dalam penelitian ini mengalami mobilitas
status dari miskin menjadi tidak miskin, baik karena faktor pendidikan (suami) dan juga
faktor perkawinan (istri).
Kata kunci: transfer kemiskinan antar generasi, nilai anak, perilaku investasi pada anak


1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemiskinan dianggap sebagai permasalahan sosial dan ekonomi yang
paling sulit untuk diselesaikan pada abad ini (Wagle 2008). Sekitar 320 hingga
433 juta penduduk dunia terjebak dalam perangkap kemiskinan (CPRC 2008).
Mereka mengalami kemiskinan kronis (chronic poverty), yaitu suatu deprivasi
untuk jangka waktu yang panjang, bahkan seringkali seumur hidup mereka
(Moore 2005).
Masalah kemiskinan juga masih menjadi persoalan yang mendapat
prioritas utama di Indonesia. Untuk memenuhi target yang tercantum dalam
Millenium Declaration, Indonesia dituntut untuk mengurangi setengah dari angka
kemiskinan pada tahun 1990 (sekitar 15%) menjadi sekitar 7,5 persen pada
tahun 2015. Menurut data BPS (2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia
adalah sekitar 31,02 juta penduduk (13,33%), masih jauh dari target yang harus
dicapai.
Angka kemiskinan pada tahun 2010 merupakan yang terendah sejak
2004. Walaupun terjadi penurunan sejak 2006, namun angka penduduk miskin

masih tergolong tinggi. Terlebih bila jumlah penduduk miskin dihitung dengan
menggunakan

standar

kemiskinan

yang

digunakan

oleh

Bank

Dunia

(penghasilan per kapita per hari minimal $2), angkanya akan semakin besar yaitu
42 persen (World Bank 2006). Hal tersebut disebabkan oleh besarnya proporsi
penduduk Indonesia yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan.

Penelitian Widyanti et al. (2009) mengenai dinamika kemiskinan di
Indonesia dengan menggunakan data panel IFLS (Indonesian Family Life
Survey) dari tahun 1993 hingga tahun 2000 menunjukkan bahwa 14 persen
rumah tangga yang menjadi sampel mengalami kemiskinan kronis (selalu
miskin). Sementara itu hasil pengolahan data Survey Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) memperlihatkan bahwa selama periode Maret 2006 hingga Maret
2007, jumlah penduduk Indonesia yang selalu miskin adalah sebesar 18,6 juta
orang (Urip 2008). Hal tersebut mengindikasikan proporsi penduduk Indonesia
yang mengalami kemiskinan kronis tergolong tinggi.
Anak yang lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga miskin kronis,
memiliki kemungkinan 35 persen lebih tinggi untuk tetap miskin saat dewasa
dibandingkan anak yang lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yang tidak

2

miskin kronis (Pakpahan et al. 2009). Kemiskinan kronis menyebabkan individu
dan keluarga terperangkap dalam lingkaran kemiskinan, sehingga investasi
sumberdaya manusia yang dilakukan kurang. Kemiskinan tersebut akhirnya
diturunkan kepada generasi selanjutnya karena rendahnya kualitas sumberdaya
manusia yang dihasilkan dalam keluarga pada generasi berikutnya (CPRC

2008).
Investasi terhadap sumberdaya manusia, terutama dalam hal pendidikan,
akan meningkatkan efisiensi ekonomi sehingga akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi (Schultz 1981). Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan
(necessary condition) bagi pengurangan angka kemiskinan (Siregar 2006).
Selain itu, investasi terhadap sumberdaya manusia juga dapat menurunkan
ketimpangan distribusi pendapatan, sehingga berpotensi untuk menurunkan
tingkat kemiskinan (Anderson & Hague 2007; Sitepu 2007). Dengan demikian,
investasi sumberdaya manusia merupakan salah satu determinan tingkat
kesejahteraan.
Hasil penelitian Cho (2005) terkait program pengentasan kemiskinan
Progressa di Meksiko menunjukkan bahwa program tersebut meningkatkan ratarata lama sekolah dan akumulasi sumberdaya manusia sehingga meningkatkan
pendapatan seumur hidup sebesar 12 persen. Secara makro, tingkat pendidikan
penduduk yang semakin tinggi terbukti berpengaruh negatif terhadap tingkat
kemiskinan (Siregar & Widyanti 2008; Chaudry et al. 2010). Bukti empiris
tersebut memperlihatkan bahwa akumulasi modal sosial (human capital) yang
lebih besar, terutama pendidikan, berdampak pada peningkatan penghasilan
sehingga dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan.
Penelitian


Leibowitz

(1982)

dan

Hartoyo

(1998)

memperlihatkan

pentingnya peran keluarga dalam meningkatkan kualitas individu melalui
investasi yang dilakukan orang tua terhadap anak. Keluarga, dalam hal ini orang
tua, termotivasi untuk melakukan investasi terhadap anak mereka melalui
sumberdaya yang dimilikinya dengan harapan anak-anak tersebut akan menjadi
lebih sukses di masa depan (Hample 2010).
Investasi orang tua terhadap anak dalam keluarga merupakan suatu hal
yang bersifat krusial, terutama pada saat usia dini. Hal tersebut berkaitan dengan
peran investasi sumberdaya manusia sebagai salah satu determinan tingkat

kesejahteraan individu di masa depan. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia
akibat kurangnya investasi akan menyebabkan individu terperangkap dalam

3

kemiskinan. Perangkap kemiskinan tersebut seringkali menyebabkan adanya
transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku investasi orang tua
terhadap anak pada dua generasi keluarga dan hubungannya dengan
kemiskinan keluarga. Dengan demikian dapat dilihat pengaruh investasi
sumberdaya manusia terhadap transfer kemiskinan antargenerasi dalam
keluarga.
Rumusan Masalah
Data BPS pada tahun 2004 memperlihatkan bahwa 41,67 persen kepala
rumah tangga miskin di Indonesia memiliki tingkat pendidikan tidak tamat SD,
diikuti oleh tamat SD sebesar 38,36 persen (Rusastra & Napitupulu 2008). Lebih
lanjut dijelaskan bahwa angka partisipasi sekolah anak-anak dari keluarga miskin
lebih rendah dari anak-anak yang berasal dari keluarga tidak miskin, baik pada
tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama. Sebaliknya, angka
putus sekolah anak-anak dari keluarga miskin lebih tinggi dibandingkan anakanak dari keluarga tidak miskin untuk kedua jenjang pendidikan tersebut.

Fenomena tersebut menunjukkan dua hal penting; pertama, kualitas
sumberdaya manusia sangat menentukan status sosial ekonomi, salah satunya
dilihat dari tingkat pendidikan; kedua, kesadaran pendudukan miskin untuk
memperbaiki nasib keturunannya melalui investasi sumberdaya manusia
(misalnya di bidang pendidikan) lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok
tidak miskin. Hal tersebut memperlihatkan bahwa konsep mengenai nilai seorang
anak belum dipahami sepenuhnya oleh lapisan masyarakat berpenghasilan
rendah dan miskin.
Ciri yang menonjol dari keluarga miskin adalah jumlah anak yang banyak
(ukuran keluarga yang besar), karena anak dinilai bukan sebagai aset (investasi)
melainkan sumber faktor produksi (tenaga kerja) untuk menambah pendapatan
keluarga (Rusastra & Napitupulu 2008). Hal tersebut didukung oleh penelitian
Puspitawati et al. (2008) di Kabupaten Indramayu yang memperlihatkan bahwa
55,7 persen orang tua atau wali menyetujui bahwa anak adalah tenaga kerja
keluarga. Akibatnya orang tua cenderung kurang mementingkan pendidikan anak
dan

memilih

untuk


menjadikannya

sebagai

perekonomian keluarga (Puspitawati et al. 2009).

pekerja

untuk

membantu

4

Orang tua yang mendapatkan sedikit investasi dari orang tuanya –
terutama dalam hal pendidikan – kurang termotivasi untuk melakukan investasi
pada anaknya. Hal tersebut tercermin dari hasil penelitian Puspitawati et al.
lainnya yang memperlihatkan bahwa sekitar 62,9 persen ayah dan 64,1 persen
ibu dengan anak yang mengalami drop out dari sekolah mempunyai tingkat

pendidikan sampai dengan tamat SD. Didukung dengan beberapa hasil
penelitian

lain

(misal

Hartoyo

et

al.

2003;

Simanjuntak

2010)

yang


memperlihatkan rendahnya proporsi pengeluaran keluarga miskin untuk investasi
terhadap anak, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan.
Investasi sumberdaya manusia, terutama yang dilakukan oleh keluarga
telah terbukti menjadi determinan tingkat kesejahteraan dan dapat mengurangi
tingkat kemiskinan (Cho 2005; Anderson & Hague 2007; Sitepu 2007; Sitepu
2007; Siregar & Wahyuniarti 2008; Chaudry et al. 2010). Kurangnya investasi
sumberdaya manusia berpotensi menyebabkan individu dan keluarga terjebak
dalam lingkaran kemiskinan. Anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam
keluarga miskin cenderung akan tumbuh menjadi individu yang juga miskin saat
dewasa. Inilah gambaran transfer kemiskinan yang terjadi antargenerasi dalam
keluarga.
Berkaca pada fakta-fakta tersebut, penelitian ini berupaya untuk mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Apakah terjadi transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga yang
dilihat dari dinamika kemiskinan pada dua generasi keluarga?
2. Adakah hubungan antara transfer kemiskinan antargenerasi pada dua
generasi keluarga dengan nilai anak serta perilaku investasi orang tua
pada anak, serta adakah hubungan antara persepsi orang tua tentang
nilai anak dengan perilaku investasi orang tua pada anak pada dua
generasi keluarga?
3. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan keluarga
dan perilaku investasi orang tua pada anak dalam kaitannya dengan
interaksi dua generasi keluarga?
Tujuan
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transfer
kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga, serta pengaruh nilai anak

5

dan investasi pada anak terhadap transfer kemiskinan tersebut. Secara khusus,
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis dinamika kemiskinan pada dua generasi keluarga untuk
melihat terjadinya transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga,
2. Menganalisis hubungan antara transfer kemiskinan antargenerasi pada
dua generasi keluarga dengan nilai anak, serta perilaku investasi orang
tua pada anak,
3. Menganalisis hubungan antara persepsi orang tua tentang nilai anak
dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak pada dua generasi
keluarga,
4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan
keluarga dan investasi orang tua pada anak dalam kaitannya dengan
interaksi dua generasi keluarga.
Kegunaan
Dengan

dilakukannya

penelitian

mengenai

transfer

kemiskinan

antargenerasi pada dua generasi keluarga serta keterkaitannya dengan nilai
anak dan investasi orang tua pada anak, diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap pengembangan keilmuan di bidang ekonomi keluarga,
terutama berkaitan dengan pembahasan terkait masalah kemiskinan dan
investasi orang tua terhadap anak. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan

kontribusi

terhadap

upaya

penanggulangan

kemiskinan

di

Indonesia. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi pengambil keputusan
untuk perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan.

6

TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan
Kemiskinan didefinisikan secara berbeda oleh berbagai pihak. Badan
Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan yang layak (kebutuhan dasar
makanan maupun kebutuhan dasar bukan makanan) (Urip 2008). Lebih lanjut
Urip (2008) menyatakan bahwa dalam menggolongkan penduduk ke dalam
miskin atau tidak miskin, BPS membandingkan tingkat konsumsi penduduk
dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang per bulan.
Sementara itu, World Bank mendefinisikan kemiskinan dengan dimensi
yang lebih luas. Kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan pada taraf
hidup manusia secara fisik (kebutuhan dasar materi dan biologis termasuk
kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan) serta sosial (risiko
kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri
yang kurang) (Syafrian 2009).
Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial yang diadakan di
Kopenhagen pada tahun 1995 menyatakan bahwa kemiskinan memiliki wujud
yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumberdaya
produktif, yang menjamin kehidupan yang berkesinambungan; keterbatasan dan
kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi
tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan
bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak
aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial (Rahardjo 2006).
Berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK),
kemiskinan bukan hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga mencakup
kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun
perempuan untuk menjadi miskin dan keterbatasan akses masyarakat miskin
dalam penentuan kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan mereka
(Dharmawan et al. 2010). Dengan demikian, kemiskinan merupakan suatu
permasalahan sosial yang kompleks karena menyangkut berbagai dimensi
kehidupan.
Chambers (1996) menyatakan bahwa kemiskinan (poverty) adalah
konsep integrasi dari lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2)
ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadap situasi darurat (state of

8

emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation)
baik secara geografis maupun sosiologis. Sementara itu, Max Nef memaparkan
enam macam jenis kemiskinan, yaitu: 1) kemiskinan subsistensi, 2) kemiskinan
perlindungan, 3) kemiskinan pemahaman, 4) kemiskinan partisipasi 5)
kemiskinan identitas, dan 6) kemiskinan kebebasan (Muttaqien 2006).
Salim (1976) menyatakan bahwa ciri-ciri penduduk miskin adalah: 1) ratarata tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja,
dan keterampilan, 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, 3) kebanyakan
bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal),
setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), 4) kebanyakan berada
di daerah pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan 5)
kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan
kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum,
pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.
Schiller (2008) memaparkan tiga sudut pandang dalam melihat penyebab
terjadinya kemiskinan. Sudut pandang pertama adalah flawed character yang
menganggap kemiskinan disebabkan oleh individu bersangkutan. Berkaitan
dengan seberapa besar upaya tiap individu untuk melakukan investasi
sumberdaya manusia melalui pendidikan atau latihan. Sudut pandang kedua
melihat kemiskinan sebagai akibat dari keterbatasan kesempatan (restricted
opportunity) bagi individu yang bersangkutan. Hal tersebut biasanya berkaitan
dengan diskriminasi ras, gender, dan kelas sosial. Kasus di Indonesia yang lebih
relevan terkait dengan sudut pandang ini adalah pembangunan yang bias kota
dan wilayah sehingga terjadi ketidakmerataan dan ketimpangan pembangunan.
Sudut pandang yang terakhir menganggap kemiskinan disebabkan oleh
kesalahan pemerintah sebagai pengambil kebijakan (big brother view).
Kesalahan dari pemerintah bisa disebabkan oleh penerapan kebijakan yang tidak
pro terhadap masyarakat miskin, maupun pelaksanaan program pengentasan
kemiskinan yang justru membuat kelompok miskin menjadi semakin miskin
(terkait sikap dan karakter mereka).
Standar Kemiskinan
Menurut Sayogyo (1977), tingkat kemiskinan merupakan sesuatu yang
dapat diukur sehingga munculah istilah garis kemiskinan. Terdapat beberapa
konsep atau pendekatan yang dapat digunakan dalam menghitung angka

9

kemiskinan, diantaranya konsep kebutuhan dasar (the concept of minimum
needs) dan konsep satuan pengukuran (unit of measure) (Schiller 2008).
Konsep kebutuhan dasar diadopsi oleh BPS dan menjadi standar
penentuan angka kemiskinan di Indonesia. BPS menggunakan suatu garis
kemiskinan yang dinyatakan dalam rupiah untuk membedakan antara penduduk
miskin dan bukan penduduk miskin. Nilai rupiah tersebut ditentukan berdasarkan
nilai yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan
makanan. Kebutuhan minimum makanan adalah besarnya nilai rupiah yang
dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan minimum energi sebesar 2100
kalori per hari, sedangkan kriteria kebutuhan minimum bukan makanan adalah
nilai rupiah yang dikeluaran untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya selain
makanan misalnya perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya
(Urip 2008).
Sementara itu, konsep satuan pengukuran mengacu pada penjelasan
dalam teori ekonomi bahwa kemampuan seseorang untuk memenuhi barang dan
jasa tercermin dari daya beli (purchasing power) dan satuan mata uang
merupakan pendekatan yang paling efektif untuk mengukur daya beli (Schiller
2008). Konsep tersebut yang diadopsi oleh World Bank untuk menjadi standar
kemiskinan, dimana penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan di
bawah $2 per hari.
Bubolz dan Sontag (1993) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan
terminologi lain dari kualitas hidup manusia (quality of human life), yaitu suatu
keadaan ketika terpenuhinya kebutuhan dasar serta terealisasinya nilai-nilai
hidup. Mengingat kemiskinan merupakan kondisi dimana kebutuhan dasar
manusia tidak terpenuhi, maka kesejahteraan merupakan konsep yang
berkebalikan dengan kemiskinan.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
merumuskan konsep keluarga sejahtera yang dikelompokan secara bertahap
menjadi keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera tahap I, keluarga sejahtera
tahap II, keluarga sejahtera tahap III, dan keluarga sejahtera tahap III plus.
Sunarti (2008) menyatakan bahwa batasan operasional dari keluarga sejahtera
adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan
sosial, kebutuhan psikologis, kebutuhan perkembangan, dan kepedulian sosial.
Untuk mengkategorisasikan keluarga ke dalam tahapan kesejahteraan,
digunakan indikator kesejahteraan keluarga (IKS). Definisi keluarga sejahtera

10

menurut tahapan dalam indikator keluarga sejahtera ditunjukkan pada Tabel 1.
Indikator kesejahteraan keluarga merupakan satu-satunya alat untuk mengukur
tingkat kesejahteraan di level keluarga yang digunakan di Indonesia (Sunarti
2008). Dengan mempertimbangan pengertian kemiskinan secara luas maka
keluarga yang berada pada tahap pra keluarga sejahtera (Pra KS) dan keluarga
sejahtera I (KS I) dapat digolongkan sebagai keluarga miskin. Keluarga pada
tahap tersebut bukan hanya belum mampu memenuhi kebutuhan dasar, namun
juga kebutuhan sosial psikologis seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan,
dan makanan yang bergizi.
Hasil penelitian Rambe (2004) terhadap empat alat ukur kesejahteraan
yaitu standar kemiskinan BPS, IKS BKKBN, pengeluaran pangan, dan ukuran
subjektif, menunjukkan bahwa IKS dianggap paling baik. Alasannya adalah
kemudahan dalam pengoprasian hingga ke level administrasi terendah dan
dengan

cepat

dapat

mengklasifikasikan

keluarga

miskin.

Namun,

IKS

memunculkan masalah dalam menerjemahkan indikator sosial dan psikologis
seperti menjalankan ibadah sesuai agamanya (Sunarti 2008).
Tabel 1 Definisi keluarga sejahtera menurut tahapan dalam IKS
Tahap

Definisi
Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan,
sandang, papan dan kesehatan.
KS I
Keluarga tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat
mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
KS II
Keluarga yang selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya
dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum
dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya.
KS III
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dan
kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi
kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha
kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya.
KS Plus
Keluarga yang selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula
memenuhi kebutuhan pengembangannya, serta sekaligus secara
teratur ikut menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula
mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat.
Sumber: BKKBN (2004)
Pra KS

Kemiskinan Kronis
Hal yang menjadi ciri pembeda dari kemiskinan kronis (chronic poverty)
dengan jenis kemiskinan lainnya adalah panjangnya durasi dari kemiskinan
tersebut. Istilah kemiskinan kronis digunakan untuk menggambarkan kemiskinan

11

yang ekstrim yang terus berlangsung untuk waktu yang panjang – bertahuntahun, seumur hidup, bahkan berlangsung antargenerasi (CPRC 2008). Individu
atau keluarga yang mengalami kemiskinan kronis biasanya terseret ke dalam
perangkap kemiskinan yang menyebabkan terjadinya siklus kemiskinan sehingga
mereka sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Menurut CPRC (2008) kelompok
yang mengalami kemiskinan kronis biasanya mengalami berbagai deprivasi,
mulai dari kemampuan yang kurang, kepemilikan aset yang rendah, dan
termarjinalkan secara sosial politik.
Ketidakberdayaan penduduk miskin untuk keluar dari kemiskinan
disebabkan oleh terperangkapnya penduduk miskin dalam lingkaran kemiskinan
(Dharmawan

et

2010).

al.

Rendahnya

pendapatan

penduduk

miskin

menyebabkan daya beli kurang. Akibatnya, pemenuhan terhadap kebutuhan
dasar seperti pangan dan kesehatan tidak optimal yang berdampak pada
rendahnya status kesehatan dan gizi. Hal tersebut akan menyebabkan tingginya
tingkat morbiditas dan mortalitas pada penduduk miskin yang berpengaruh pada
rendahnya partisipasi pendidikan. Sehingga akan berujung pada rendahnya
kualitas sumberdaya manusia yang ditunjukkan oleh rendahnya produktivitas dan
pendapatan.

Fenomena

tersebut

seringkali

disebut

sebagai

perangkap

kemiskinan (Gambar 1).
Penduduk miskin 

Daya beli rendah

pendapatan rendah




Produktivitas
masyarakat dan
Negara rendah
Prestasi sekolah
rendah

Rendahnya kualitas:
Pangan
Kesehatan
Perumahan/ lingkungan
Pendidikan

Status kesehatan
dan gizi rendah




Partisipasi
pendidikan rendah
Absensi meningkat
Kecerdasan dan
keterampilan rendah

Morbiditas dan
mortalitas tinggi

Gambar 1 Perangkap kemiskinan (Dharmawan et al. 2010)

Dinamika Kemiskinan
Poverty dynamics atau dinamika kemiskinan berkaitan dengan perubahan
tingkat kesejahteraan (dari miskin menjadi tidak miskin atau sebaliknya) yang

12

dialami individu atau rumah tangga dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh
kombinasi dari faktor struktural dan karakteristik individu dan rumah tangga,
hingga faktor yang bersifat global (Moore 2005). Kajian mengenai dinamika
kemiskinan biasanya mengkategorikan status kemiskinan rumah tangga ke
dalam tiga kelompok, yaitu: miskin kronis (chronic poor), miskin sementara
(transient poor), dan bukan kelompok miskin (tidak pernah miskin) (Hulme et al.
2001 dalam Widyanti et al. 2009). Sementara itu, Moore (2005) membagi status
dinamika kemiskinan keluarga menjadi empat yaitu selalu miskin atau miskin
kronis (always poor atau chronic poor), keluar dari kemiskinan (moved out of
poverty), terjerumus ke dalam kemiskinan (moved into peverty), dan tidak pernah
miskin (non-poor).
Pendekatan dinamika kemiskinan yang dipaparkan sebelumnya berkaitan
dengan kondisi kemiskinan suatu keluarga dalam jangka waktu tertentu
(intrageneration). Status dinamika kemiskinan tersebut dapat diadapsi untuk
menganalisis fenomena transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga.
Status kemiskinan diantara dua generasi keluarga diperbandingkan sehingga
bisa

diamati

kemiskinan

dinamika diantara keduanya.
berdasakan

Moore

(2005)

Pembagian

dianggap

status dinamika

lebih

tepat

untuk

menggambarkan fenomena transfer kemiskinan antar generasi. Kemiskinan
ditransfer antargenerasi bila status dinamika kemiskinan diantara dua generasi
keluarga selalu miskin atau terjerumus ke dalam kemiskinan.
Transfer Kemiskinan antar Generasi
Kemiskinan tidak ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya
sebagai satu paket, melainkan sebagai satu komplek faktor negatif dan positif
yang

mempengaruhi

kemungkinan

seorang

individu

untuk

mengalami

kemiskinan. Pendekatan mata pencaharian atau aset sangat berguna untuk
memahami transfer kemiskinan antar generasi (intergenerational transfer of
poverty/ Intergenerational transmitted poverty atau IGT of poverty), dengan cara
fokus pada terjadinya transfer atau tidak terjadinya transfer aset-aset yang
berkaitan dengan kemiskinan dalam berbagai macam bentuk atau disebut capital
(human capital, social-cultural capital, social-political capital, material capital, dan
natural capital) (Moore 2005).

13

Menurut Moore (2001), kemiskinan yang terjadi antargenerasi dapat dilihat
sebagai karakteristik dan juga penyebab dari kemiskinan kronis. Konsep penting
dalam memahami transfer kemiskinan antargenerasi adalah:
1.

Unit analisis. Fokus pada private transmission dari individu dan keluarga
dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau transfer kemiskinan
dalam, antara, atau melalui ranah publik atau komunitas, negara dan
pasar.

2. Arah transfer. Transfer hanya dilakukan dari generasi yang lebih tua
kepada generasi yang lebih muda atau terjadi juga sebaliknya. Terkait
dengan hal tersebut, apakah terjadi juga tansfer „jump generation‟,
misalnya dari kakek ke cucu atau sebaliknya.
3. Hal-hal yang ditransfer. Kemiskinan antar generasi dapat dipahami
dengan baik bila fokus pada transfer, pencabutan (extraction) transfer,
dan ketiadaan transfer pada berbagai bentuk modal atau capital
(manusia, sosial budaya, sosial politik, keuangan atau materi, dan
lingkungan alam), yang dapat menimbulkan kemiskinan baik kemiskinan
multidimensional ataupun kemiskinan dalam konteks sempit.
4. Terjadinya transfer, pencabutan, atau kurangnya transfer dalam sejumlah
atau seluruh capital dalam memastikan terjadinya IGT poverty.

Orang tua miskin

Dewasa
miskin

Anak miskin
Anak
Anak
Tidak
miskin

Orang tua tidak
miskin

Transfer kapital

Dewasa tidak
misin

Life course effect

Gambar 2 Alur transfer kemiskinan antargenerasi (Moore 2005)

Hal-hal

yang

ditransfer

antargenerasi,

sehingga

kurangnya

atau

ketiadaan transfer tersebut menyebabkan kemiskinan antargenerasi terdiri dari
modal finansial atau material, modal manusia (human capital), modal natural atau
lingkungan, dan modal sosial budaya (Moore 2001). Sebagian besar penelitian
selama ini lebih fokus pada modal manusia (human capital), terutama meliputi
investasi orang tua terhadap pendidikan anak dan kesehatan serta gizi dan

14

sumberdaya finansial atau materi yang ditransfer antargenerasi melalui warisan
dari generasi yang lebih tua kepada yang lebih muda (Hulme et al. 2001).
Human capital atau modal manusia didefinisikan sebagai pengetahuan,
keterampilan, kompetensi dan atribut-atribut lainnya yang ada pada diri individu
yang dapat memfasilitasi terciptanya kesejahteraan pribadi, sosial, dan ekonomi
(OECD 2004). Deacon dan Firebaugh (1988) mendefinisikan human capital dari
individu atau keluarga sebagai total simpanan (stock) kapasitas manusia pada
satu waktu tertentu yang mempengaruhi sumberdaya di masa depan dan
penggunaannya. Syarif (1997) mendefinisikan kualitas sumberdaya manusia
(SDM) sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada
dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang
menentukan derajat kehandalan manusia baik sebagai makhluk individu maupun
makhluk sosial.
Sementara itu, aset material menurut Deacon dan Firebough (1988)
adalah suatu kumpulan barang yang memiliki nilai. Rumah dan hal-hal lainnya
yang dimiliki oleh rumah tangga merupakan bagian utama dari aset material
keluarga, termasuk juga uang tunai atau deposito yang dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi. Aset material berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, baik konsumsi maupun investasi.
Uang dan aset materi lainnya juga ditransfer antar generasi melalui
pemberian hadiah atau warisan (gift dan bequest). Pewarisan modal finansial
dan material tersebut dipengaruhi oleh budaya sosial dan norma yang berlaku di
suatu masyarakat tertentu. Mas kawin dan kekayaan yang didapatkan setelah
menikah merupakan bentuk yang penting dari transfer modal secara inter vivos
dari modal material (Moore 2001).
Nilai Anak
Dari segi sosial, nilai adalah kualitas dari suatu objek yang menyebabkan
objek tersebut diinginkan dan dijunjung tinggi serta dianggap penting atau
berharga. Dari segi ekonomi, nilai berwujud nilai tukar (harga) dan nilai guna
(utilitas). Secara umum, nilai adalah sesuatu yang dianggap baik, berguna, dan
penting bagi seseorang (Guharja et al. 1992). Deacon dan Firebaugh (1988)
menyatakan bahwa nilai berkaitan dengan apa yang diinginkan atau dianggap
berharga, menjadi kriteria utama dalam mencapai tujuan, sehingga menentukan
keberlanjutan seluruh keputusan dan tindakan.

15

Hoffman dan Hoffman (1973) dalam Trommsdorff (2005) menyatakan
bahwa nilai anak mengacu pada fungsi anak yang bisa diberikan kepada orang
tua atau kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh anak bagi orang tua. Konsep nilai
anak menggunakan pendekatan gabungan antara faktor objektif (ekonomi) dan
normatif juga pengaruh psikologis yang mempengaruhi perilaku fertilitas.
Menurut Sam (2001) nilai anak dikonseptualisasikan sebagai konstruksi
psikologis yang mengacu pada keuntungan yang diharapkan dari memiliki anak
dan juga biaya serta kerugiannya. Secara spesifik, nilai anak dimaknai sebagai
refleksi motivasi orang tua untuk memiliki dan membesarkan anak, dan di dalam
motivasi tersebut termasuk juga tujuan personal dan pengalaman sosialisasi
orang tua (Sam 2001).
Deacon dan Firebaugh (1988) menyatakan bahwa keluarga memiliki
tanggung jawab dalam hal perawatan dan perkembangan dari anggota keluarga
tersebut. Sebagai penghasil sumberdaya manusia, keluarga juga diharapkan
untuk berfungsi dengan baik agar dapat menghasilkan sumberdaya manusia
yang berkualitas. Investasi orang tua terhadap anak merupakan salah satu upaya
yang dilakukan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas,
salah satunya melalui alokasi uang dan waktu untuk pendidikan dan kesehatan.
Dengan demikian, motivasi orang tua untuk membesarkan anak dengan baik,
dipengaruhi oleh persepsi orang tua tentang nilai anak.
Menurut Suckow dan Klaus (2002) nilai anak terdiri dari tiga dimensi,
yaitu: nilai psikologis-emosional anak, nilai ekonomi-utilitarian anak, dan nilai
sosial-normatif anak. Sam (2001) menjabarkan ketiga dimensi nilai anak
tersebut. Disebutkan bahwa nilai psikologis mengacu pada kebahagiaan,
kesenangan, dan kenyamanan atau sebaliknya ketidaknyamanan dan stres yang
orang tua persepsikan dengan kehadiran seorang anak. Sementara itu nilai
sosial mengacu pada keuntungan sosial atau justru ketidakberuntungan yang
dipersepsikan orang tua dengan hadirnya seorang anak (misal penerimaan sosial
dan status sosial saat pasangan mendapatkan anak; keberlanjutan keturunan).
Sementara itu, nilai ekonomi anak merupakan alasan orang tua untuk memiliki
anak secara ekonomi.
Transfer nilai anak antargenerasi
Kwast-Welfel et. al (2008) menyatakan bahwa transfer nilai antargenerasi
menjadi suatu mekanisme utama untuk keberlanjutan suatu komunitas. Lebih

16

lanjut Grolnick et. al (1997) dalam Hayne et al. (2006) menyatakan bahwa nilai
dan norma sosial diidentifikasi dan diinternalisasi melalui proses sosialisasi dan
enkulturasi. Nilai anak ditransfer dari satu generasi ke generasi selanjutnya
dalam keluarga melalui proses sosialisasi orang tua terhadap anak, dalam hal ini
pengasuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak.

Generasi I

Variabel personal
Variabel hubungan
Nilai :
- anak
- keluarga
- individualisme/
kolektivisme)

Generasi II

Kualitas Hubungan
Pengasuhan
Investasi

Variabel personal
Nilai :
- anak
- keluarga
- individualisme/
kolektivisme)

Generasi III

-

Variabel hubungan
-

Kualitas Hubungan
Pengasuhan
Investasi

Variabel personal
Variabel hubungan
Nilai :
- anak
- keluarga
- individualisme/
kolektivisme)

-

Kualitas Hubungan
Pengasuhan
Investasi

Gambar 3 Transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga dan kaitannya dengan
perilaku investasi orang tua terhadap anak (diadopsi dari Trommsdorff 2002)

Menurut Trommsdroff (2002), hubungan orang tua-anak merupakan
bagian dari “developmental niche”, dimana orang tua melakukan sosialisasi
terhadap anak sekaligus juga melakukan transfer nilai dan perilaku yang
diharapkan pada diri anak. Lebih lanjut Kuczynski et al. dalam Trommsdroff
(2002) menjelaskan bahwa hubungan orang tua-anak yang terjadi pada satu

17

generasi keluarga (misal antara ayah dan ibu dengan orang tuanya masingmasing) merupakan suatu syarat untuk perkembangan individu pada generasi
selanjutnya (anak). Pada waktu yang bersamaan, ayah dan ibu merupakan hasil
dari perkembangan individu dan dipengaruhi oleh hubungan orang-tua anak
pada generasi sebelumnya (hubungan kakek-nenek dengan ayah atau ibu).
Berdasarkan pada pengalaman yang dialami dari hubungan orang tuaanak (misal ayah dan ibu dengan orang tuanya masing-masing), anak (ayah dan
ibu) akan mengembangkan ekspektasi, nilai, dan perilaku preferensi yang
sifatnya cenderung stabil sepanjang waktu. Nilai dan perilaku preferensi tersebut
diasumsikan mempengaruhi persepsi ayah dan ibu tentang nilai anak saat
dewasa, termasuk terkait dengan keputusan fertilitas, persepsi subjektif tentang
anak mereka, dan bentuk hubungan ayah dan ibu dengan anaknya (Trommsdroff
2002). Gambar 3 memvisualisasikan proses transfer nilai anak antar generasi
dalam keluarga dan kaitannya dengan perilaku investasi orang tua teradap anak.
Investasi Orang Tua pada Anak
Schultz (1981) menyatakan bahwa faktor yang paling menentukan dalam
meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin bukanlah ruang, energi, dan tanah
untuk pertanian, melainkan peningkatan kualitas manusia (human capital) dan
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Peningkatan kualitas manusia dilakukan
melalui investasi sumberdaya manusia.
Keluarga memegang peranan penting dalam memproduksi modal
manusia seorang anak, investasi dalam modal manusia merupakan salah satu
cara bagi keluarga untuk meningkatkan produktivitas marginal seorang anak
sehingga akan meningkatkan kapasitas pendapatan anak tersebut (Taubman
1996). Deacon dan Firebough (1981) menyatakan bahwa suatu bagian yang
signifikan dari pengembangan modal manusia didapat dari proses belajar secara
sadar ataupun tidak sadar yang dilakukan dalam keluarga. Orang tua yang
menggunakan waktunya untuk mengajarkan anaknya melakukan tugas tertentu
akan berkontribusi terhadap pembentukan modal manusia seorang anak. Seperti
halnya pendidikan formal, pelatihan yang dilakukan di rumah dapat berkontribusi
besar terhadap kapasitas individu. Dengan demikian keluarga merupakan
institusi pertama dan utama dalam pembangunan sumberdaya manusia.
Hartoyo (1998) mendefinisikan investasi orang tua terhadap anak sebagai
segala usaha, aktivitas, atau alokasi sumberdaya keluarga yang bertujuan untuk

18

meningkatkan kualitas anak sehingga diharapkan akan menjadi individu yang
produktif saat dewasa. Menurut Bryant dan Zick (2006) investasi terhadap
anggota keluarga yang berarti investasi terhadap sumberdaya manusia (human
capital) memiliki banyak bentuk, namun cara yang paling umum untuk
berinvestasi terhadap sumberdaya manusia adalah melalui pendidikan formal
selain juga melalui kesehatan dan pengasuhan anak.
Perilaku investasi pada anak dapat diukur dengan menghitung seberapa
besar alokasi sumberdaya keluarga, khususnya sumberdaya uang dan waktu
yang dicurahkan untuk anak (Hartoyo & Hastuti 2003). Lebih lanjut dijelaskan
bahwa curahan sumberdaya keluarga pada anak dapat meningkatkan kualitas
modal manusia pada diri anak sehingga kelak akan mempunyai produktivitas
yang lebih baik. Oleh karena itu, alokasi waktu dan uang untuk anak dapat
dipandang sebagai bentuk investasi, karena orang tua berharap anak memiliki
produktivitas yang tinggi dan memberi manfaat lebih besar pada keluarga kelak
(Hartoyo & Hastuti 2003).
Sementara itu Bonke dan Andersen (2009) mengukur investasi orang tua
pada anak dengan mengukur waktu investasi orang tua pada anak secara
kuantitas dan kualitas. Waktu investasi orang tua pada anak secara kualitas
dibedakan menjadi developmental dan non-developmental care. Developmental
care didefinisikan sebagai keterlibatan orang tua dalam perkembangan
intelektual, fisik, dan sosial anak, sementara kegiatan perawatan lainnya
digolongkan ke dalam non-develomental. Developmental care meliputi: (a)
aktivitas perawatan seperti memandikan dan memberi makan, (b) aktivitas
bermain dan companionship seperti bermain aktif dan pasif serta aktivitas waktu
luang lainnya bersama anak, (c) aktivitas terkait prestasi seperti menemani
belajar, mengerjakan tugas, membaca bersama, dan aktivitas edukatif lainnya,
serta (d) aktivitas sosial seperti mengunjungi tetangga, pembicaraan keluarga,
aktivitas religius, dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial lainnya (Stafferd &
Yeung 2005 dalam Bonke & Andersen 2008).
Pengeluaran Orang tua untuk Investasi pada Anak
Investasi terhadap anak meliputi waktu yang dimiliki orang tua (parental
time) dan pengeluaran yang dilakukan orang tua (parental expenditures) baik
berupa barang ataupun jasa yang digunakan oleh anak. Pengeluaran dalam
bentuk barang dan jasa yang dikonsumsi oleh anak meliputi perawatan

19

kesehatan, makanan yang sehat, pendidikan, pakaian anak, mainan anak, dan
lain sebagainya (Bryant & Zick 2006).
Hasil penelitian Haveman dan Wolfe (1995) memperkirakan bahwa orang
tua di Amerika Serikat mengeluarkan setiap tahunnya $7.579 per satu anak
berusia antara 0 hingga 18 tahun (berdasarkan dolar tahun 1992) untuk
kebutuhan makanan, perumahan, transportasi, dan barang serta jasa lainnya.
Temuan Shukul (2007) di India menunjukkan bahwa orang tua menghabiskan
rata-rata Rs12,939 per anak tiap tahun untuk biaya pendidikan sebagai bentuk
investasi pada anak. Temuan Simanjuntak (2010) pada keluaraga penerima PKH
di Kecamatan Darmaga pada tahun 2008 hingga 2009 menunjukkan bahwa
sekitar 55,3% dana bantuan digunakan untuk keperluan pendidikan, 15,5% untuk
kebutuhan makanan, dan hanya 0.5% yang digunakan untuk keperluan
kesehatan. Hasil penelitian Puspitawati et al. (2009) di Kabupaten Indramayu
mengkalkulasikan bahwa rata-rata pengeluaran orang tua untuk pendidikan
adalah sebesar Rp260.962,33 per bulan atau sekitar Rp3.131.547,90 per tahun.
Investasi Waktu Orang tua pada Anak
Menurut Guhardja et al. (1989) hubungan alokasi waktu rumah tangga
dengan lingkungan dipengaruhi oleh empat sistem, yaitu sistem ekonomi, sistem
politik, sistem teknologi, dan sistem sosial budaya. Terdapat tiga kategori
penggunaan waktu rumah tangga, yaitu: (a) waktu untuk aktivitas pasar, baik
untuk upah maupun usaha sendiri, (b) waktu untuk pekerjaan rumah tangga, dan
(c) waktu santai.
Investasi waktu orang tua pada anak bukan hanya meliputi kegiatan
merawat anak yang utama seperti memberi makan, memandikan, memakaikan
baju, mengajarkan membaca, dan bermain bersama anak. Hal tersebut juga
meliputi kegiatan merawat anak sekunder seperti menjaga anak sambil
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain. Dalam kegiatan tersebut, biasanya orang
tua mengajarkan anak kemampuan tertentu (Bryant & Zick 2006).
Data tren penggunaan waktu oleh ibu di Amerika Serikat dari tahun 2003
hingga 2008 menunjukkan bahwa dalam satu minggu, sekitar 13,8 jam
dihabiskan untuk kegiatan merawat anak. Angka tersebut meningkat dari data
pada tahun 1965 sebesar 10,2 jam dalam satu minggu. Sementara ayah
menghabiskan waktu yang lebih sedikit dalam merawat anak, yaitu sekitar 7 jam
dalam satu minggu (Bianchi 2010).

20

Investasi pada Anak Usia Dini
Kualitas seorang individu pada usia dini sangat penting, bukan hanya
untuk alasan apa yang terjadi pada usia tersebut namun juga untuk alasan masa
depan. Kapabilitas yang dimiliki oleh individu dewasa sangat dipengaruhi oleh
pengalaman yang dirasakan pada saat usia dini. Investasi dalam pendidikan dan
bentuk lainnya yang didapatkan pada masa kanak-kanak dapat meningkatkan
kapabilitas seseorang di masa depan melalui dua cara. Pertama, hal tersebut
secara langsung dapat membuat individu hidup lebih kaya dan memiliki lebih
sedikit permasalah. Persiapan yang baik pada saat usia dini dapat meningkatkan
kecakapan hidup seseorang. Kedua, individu yang dipersiapkan dengan baik
saat usia dini akan lebih produktif secara ekonomi dan menghasilkan pendapatan
yang lebih baik (Sen 1999).
Meyers (1992) dalam Sunarti (2008) menekankan beberpa alasan
pentingnya investasi dalam perkembangan anak sejak usia dini. Hal tersebut
merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi anak untuk berkembang sampai
potensi optimal. Selain itu, investasi dalam perkembangan anak usia dini juga
berkaitan dengan nilai sosial dan moral, serta memberikan sumbangan ekonomi
bila ditinjau dari produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan.
Sejumlah penelitian membandingkan tingkat pengembalian dari investasi
sumberdaya manusia pada tahapan umur yang berbeda dari perkembangan
anak. Mayoritas menyimpulkan bahwa investasi pada anak usia dini menjamin
keuntungan perkembangan secara kumulatif dimana sebaliknya – bila tidak
dilakukan atau terjadi kekurangan – bisa menyebabkan kehilangan yang bersifat
irretrievable

(tidak

bisa

dilakukan

kompensasi

pada

tahapan

usia-usia

selanjutnya) seperti dalam hal status gizi. Defisiensi pada usia dini akan
menyebabkan kerusakan atau cacat (defect) secara fisik dan kognitif yang tidak
dapat diperbaiki atau dikompensasi di tahapan usia selanjutnya (irreversible)
yang berdampak pada produktivitas anak saat dewasa. Hal tersebut yang
menyebabkan tingginya tingkat pengembalian investasi pada anak usia dini
(Anderson & Hague 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi sedini mungkin pada anak
dalam hal kesehatan dan asupan gizi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
tingkat pengembalian jangka panjang (Alderman & King 2006). Laporan Bank
Dunia pada tahun 2006 menyoroti masalah tingkat pengembalian yang tinggi dari
investasi pada anak usia dini. Dijelaskan bahwa ketidakberuntungan dalam hal

21

kesempatan akan menurunkan akses bagi anak terhadap barang dan jasa yang
dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal tersebut akan
berdampak pada produktivitasnya dimasa yang akan datang dan turut
mempengaruhi kemajuan negara yang ditandai dengan rendahnya pertumbuhan
ekonomi (World Bank 2005).
Nilai Anak, Investasi Orang tua pada Anak, dan Transfer Kemiskinan
Antargenerasi: Bukti Empiris
Sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang konsisten bahwa anak
merupakan jaminan hari tua bagi orang tua (Hartoyo & Hastuti 2003; Kartino
2005; Puspitawati et al. 2009; Permatasari 2010; Mulyani 2010). Orang tua juga
setuju bahwa mereka harus menyediakan pendidikan setinggi-tingginya bagi
anak mereka agar kelak bisa menjadi individu yang berkualitas (Hartoyo &
Hastuti 2003). Namun, hal tersebut berkebalikan dengan sebagian orang tua
yang menyatakan bahwa anak merupakan tenaga kerja bagi keluarga yang
diharapkan memberikan kontribusi ekonomi secara langsung bagi keluarga
(Puspitawati et al. 2009; Permatasari 2010).
Perbedaan orang tua dalam mempersepsikan nilai anak dipengaruhi oleh
perbedaan status sosial ekonomi. Hasil penelitian Hartoyo dan Hastuti (2003)
menyimpulkan bahwa persepsi orang tua tentang nilai anak berbeda antara
keluarga buruh dengan keluarga juragan meskipun secara statistik tidak berbeda
nyata. Keluarga juragan memberikan penilaian lebih tinggi dalam hal nilai sosial
dan psikologis, sementara keluarga buruh menilai anak sebagai faktor produksi
yang diharapkan memberi kontribusi ekonomi

pada keluarga (nilai ekonomi)

(Hartoyo 2003).
Hartoyo dan Hastuti (2003) menambahkan bahwa perbedaan dalam
mempersepsikan

nilai

anak

diduga

menjadi

salah

satu

faktor

yang

mempengaruhi perbedaan dalam hal pengeluaran keluarga untuk anak. Dengan
demikian, persepsi orang tua tentang nilai anak menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi perilaku investasi orang tua terhadap anak. Persepsi orang tua
mengenai nilai anak dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, tipe keluarga,
status pekerjaan orang tua, dan pendidikan orang tua (Kartino 2005; Mulyani
2010).
Selain nilai anak, investasi orang tua pada anak dalam bentuk uang dan
waktu dipengaruhi secara positif oleh pengeluaran keluarga dan dipengaruhi

22

secara negatif oleh ukuran keluarga (Hartoyo 1998). Penelitian Puspitawati et al.
(2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua akan
meningkatkan persepsi mereka terhadap pendidikan dasar sembilan tahun,
meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan dasar anaknya, dan
memperhatikan serta memprioritaskan pola asuh dan fasilitas belajar anak. Hal
tersebut sejalan dengan hasil penelitian Leibowitz (1982) yang menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan ibu berkorelasi positif dengan kualitas anak yang
diukur dengan IQ.
Kualitas anak akan semakin tinggi dengan meningkatnya investasi yang
dilakukan orang tua terhadap anak (Leibowitz 1982; Hartoyo 1998). Lebih lanjut
disimpulkan bahwa investasi orang tua dalam bentuk waktu berdampak positif
terhadap kualitas anak yang diukur dari status gizi anak (Hartoyo 1998). Artinya,
semakin banyak waktu yang dicurahkan orang tua untuk anak, terutama yang
mendukung tumbuh kembangnya, akan semakin meningkatkan status gizi anak.
Selain itu, investasi waktu orang tua pada anak juga diindikasikan memiliki
pengaruh yang negatif terhadap investasi orang tua dalam bentuk uang kepada
anak (Hartoyo 1998; Hartoyo & Hastuti 2003).

KERANGKA PEMIKIRAN
Keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam pengembangan
sumberdaya manusia. Untuk menjalankan perannya tersebut, keluarga harus
berfungsi dengan baik. Keberfungsian keluarga dipengaruhi oleh tingkat
kesejahteraan (miskin atau tidak miskin). Pengembangan sumber daya manusia
dalam keluarga dilakukan dengan mengalokasikan sumberdaya, terutama uang
dan waktu yang dimiliki orang tua, untuk diinvestasikan pada diri anak dalam
rangka meningkatkan produktivitasnya di masa depan. Dengan demikian,
perbedaan tingkat kesejahteraan akan mempengaruhi besar sumberdaya yang
dialokasikan untuk investasi pada diri anak.
Gambar 4 menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia dalam diri
ayah dan ibu, yang dapat dilihat dari karakteristik keduanya, dipengaruhi oleh
upaya orang tuanya masing-masing untuk melakukan investasi sumberdaya
manusia pada diri mereka. Investasi yang paling berpengaruh terutama adalah
perilaku investasi orang tua pada ayah dan ibu saat keduanya berusia dini dan
lama pendidikan formal yang ditempuh. Kualitas sumberdaya manusia pada diri
ayah dan ibu pada akhirnya menentukan tingkat kesejahteraan keluarga yang
dibentuk (keluarga contoh), selain juga pengaruh faktor eksternal lainnya seperti
pengelolaan sumberdaya yang dilakukan dalam keluarga.
Orang tua ayah dan ibu sebenarnya memiliki dua pilihan dalam
melakukan

investasi

dalam

rangka

memaksimalkan

sumberdaya

yang

dimilikinya, yaitu investasi sumberdaya manusia pada diri anak atau investasi
dalam bentuk aset material. Keputusan orang tua untuk berinvestasi pada diri
anak dipengaruhi oleh adanya persepsi orang tua mengenai nilai anak, yaitu
pemahaman orang tua mengenai manfaat dan risiko dari kehadiran anak seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Nilai anak terdiri dari tiga dimensi, yaitu nilai psikologis, nilai sosial, dan
nilai ekonomi. Orang tua biasanya memiliki persepsi bahwa anak adalah sumber
kebahagiaan dan jaminan bagi hari tua. Hal tersebut yang memotivasi orang tua
untuk mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya pada diri anak. Selain
tingkat kesejahteraan dan persepsi mengenai nilai anak, karakteristik k