Bioavailabilitas Kalsium secara In Vitro pada Produk Susu Komersial dengan Klaim Tinggi Kalsium Rendah Lemak

BIOAVAILABILITAS KALSIUM SECARA IN VITRO PADA
PRODUK SUSU KOMERSIAL DENGAN KLAIM TINGGI
KALSIUM RENDAH LEMAK

NOVI RIZQI RAMADHANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Bioavailabilitas
Kalsium secara In Vitro pada Produk Susu Komersial dengan Klaim Tinggi
Kalsium Rendah Lemak” adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Novi Rizqi Ramadhani
NIM I14090047

ABSTRAK
NOVI RIZQI RAMADHANI. Bioavailabilitas Kalsium secara In Vitro Pada
Produk Susu Komersial dengan Klaim Tinggi Kalsium Rendah Lemak. Dibimbing
oleh RIMBAWAN.
Produk susu dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak semakin banyak
dijual di pasaran. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bioavailabilitas
kalsium secara in vitro pada produk susu komersial dengan klaim tinggi kalsium
rendah lemak dari dua susu cair, pasteurisasi dan UHT, serta satu susu bubuk.
Produk yang diuji merupakan hasil survei dan sampling di beberapa minimarket
dan supermarket di Bogor berdasarkan kriteria yang telah ditentukan melalui
purposive sampling. Ketiga produk diuji kadar air, abu, protein, lemak, kalsium,
fosfor, serta bioavailabilitas kalsium. Total kalsium tersedia dari masing-masing
produk juga dihitung. Kadar air, protein, kalsium, fosfor, dan total kalsium tersedia
masing-masing produk berbeda nyata. Kadar abu dan lemak masing-masing produk

tidak menunjukkan perbedaan nyata. Bioavailabilitas kalsium tertinggi terdapat
pada produk A (64.01%) dan terendah terdapat pada produk B (28.71%). Hasil
analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemrosesan susu yang berbeda memiliki
pengaruh nyata terhadap bioavailabiltas kalsium (p 50 tahun. Sementara untuk
produk susu cair tidak mengelompokkan usia sasaran konsumennya.
Produk yang dipilih dalam penelitian ini merupakan produk yang tidak
mengelompokkan usia konsumennya, dari pemrosesan pasteurisasi, UHT, dan
evaporasi. Masing-masing jenis pemrosesan diambil sebanyak satu buah. Berikut
adalah informasi produk yang diuji :
Tabel 1 Informasi produk susu komersial dengan klaim tinggi kalsium rendah
lemak
No

Produk

Kandungan pada Label
Zat Gizi
Berat

Komposisi


Keterangan

1

A

Kalsium

Susu segar

2

B

Lemak
Kalsium

Pasteurisasi,
cair

UHT,
cair

3

C

Lemak
Kalsium
Lemak

Takaran
Saji
128 mg/100 200 ml
ml
1.5 g/100 ml
128 mg/100 250 ml
ml
1.2 g/100 ml
2000 mg/100 30 g

g
3.3 g/100 g

Susu segar

Susu bubuk skim, maltodekstrin, Evapora
laktosa,
susu
bubuk si,
(mengandung pengemulsi lesitin bubuk
kedelai), mineral, vitamin, perisa
susu, vanilin, pemanis buatan
asesulfam K

Pasal 9 ayat 2 pada Peraturan Kepala BPOM RI mengenai pengawasan klaim
pada label dan iklan pangan olahan menyatakan bahwa klaim “rendah….(nama
komponen pangan)” atau “bebas ….(nama komponen pangan)” hanya boleh
digunakan pada pangan olahan yang mengalami proses tertentu sehingga
kandungan zat gizi atau komponen pangan tersebut menjadi rendah atau bebas dan
harus sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan. Bagi

komponen lemak khususnya, klaim rendah diberikan apabila jumlah lemak tidak
lebih dari 3 g/ 100 g (dalam bentuk padat) atau 1.5 g/ 100 ml (dalam bentuk cair).
Kadar lemak produk A dan B sudah memenuhi persyaratan dari BPOM
( maksimal 1.5 g/ 100 ml). Akan tetapi, kadar lemak produk C lebih tinggi 10% (3.3
g/ 100 g) dari persyaratan yang ditetapkan (maksimal 3 g/ 100 g). Berdasarkan
Peraturan Perubahan Kepala BPOM tentang Pedoman Pencantuman Informasi
Nilai Gizi pada Label Pangan tahun 2011, hasil analisis zat lemak untuk pangan
olahan yang mencantumkan klaim tertentu tidak boleh lebih dari 120% dari nilai
yang tercantum pada informasi nilai gizi. Dengan demikian, kadar lemak dari
produk C masih pada batas toleransi dan memenuhi persyaratan produk dengan
klaim rendah lemak.
Pada peraturan yang sama diterangkan pula mengenai persyaratan zat gizi
“tinggi…(komponen bahan pangan)” untuk vitamin dan mineral. Jumlah zat gizi
yang dikandung tidak kurang dari 30% ALG (Acuan Label Gizi) per 100 g untuk
bahan pangan dalam bentuk padat atau 15% ALG (Acuan Label Gizi) per 100 ml
untuk bahan pangan dalam bentuk cair. Acuan Label Gizi (ALG) untuk kalsium
pada kelompok umum adalah 800 mg. Dengan demikian, klaim

“tinggi….(komponen bahan pangan)” untuk kalsium adalah tidak kurang dari 240
mg/ 100 g bahan pangan dalam bentuk padat atau 120 mg/ 100 ml bahan pangan

dalam bentuk cair.
Produk A dan B memiliki kandungan kalsium yang sama dimana jumlahnya
melebihi angka 120 mg/100 ml (128 mg/ 100 ml). Produk C yang merupakan susu
bubuk memiliki kandungan kalsium yang lebih tinggi (2000 mg/ 100 g)
dibandingkan standar yang diatur untuk pangan tinggi kalsium (240 mg/ 100 g).
Dengan demikian, kandungan kalsium ketiganya sudah memenuhi aturan mengenai
pangan tinggi kalsium.
Pasteurisasi adalah proses pemanasan makanan atau minuman pada
temperatur yang cukup tinggi untuk merusak bakteri patogen dan mendestruksi
enzim yang menyebabkan kebusukan. Susu dipasteurisasi pada temperatur 72oC
selama 15-20 detik. Kualitas gizi susu tidak dirusak oleh proses pasteurisasi
(Edelstein 2013). Hal tersebut yang menjadi alasan produk A tidak terlalu banyak
mengalami perubahan rasa, warna, dan aroma dibandingkan susu segar.
Proses UHT dilakukan pada suhu 135oC selama 1 detik (Buncic 2006).
Pemrosesan tersebut bertujuan untuk membunuh mikroorganisme pembusuk dan
sporanya sehingga susu memiliki waktu simpan yang lebih lama (Sun 2012).
Produk susu UHT yang digunakan pada penelitian memiliki warna yang relatif
tidak berubah dibandingkan warna susu biasa (putih susu). Namun, jika warna susu
UHT ini dibandingkan dengan susu produk A yang merupakan susu pasteurisasi,
warnanya relatif lebih kekuningan.

Proses pembuatan susu bubuk melalui beberapa tahapan. Pertama, komposisi
susu terlebih dahulu ditentukan agar sesuai dengan standar yang dibutuhkan, seperti
kandungan protein dan lemaknya. Kemudian susu dipanaskan sesuai dengan suhu
yang dibutuhkan selama proses klasifikasi panas yang diberikan terdiri dari lima
tingkat : ultra low, low, medium, high, dan high heat stable. Selanjutnya susu
dikonsentrasikan pada evaporator sampai 45—55 g/ 100 g. Proses ini dilakukan
pada suhu 45-55oC. Bubuk susu diperoleh dengan atomisasi susu yang sudah
dievaporasi pada udara yang sangat panas (180-220oC) (Tamime 2009).
Produk C yang merupakan susu bubuk memiliki warna kuning. Komposisi
susu bubuk juga sudah disesuaikan dengan standar yang dibutuhkan. Produk C
ditambahkan laktosa karena zat tersebut dapat meningkatkan penyerapan kalsium.
Penambahan tersebut ditunjukkan pada bagian komposisi yang tertera pada
informasi nilai gizi produk tersebut.
Laktosa merupakan produk karbohidrat utama dalam susu yang jumlahnya
berkisar antara 4.8-5.2%. Laktosa membentuk 52% total padatan tanpa lemak, 34%
konsentrat whey protein, dan 70% padatan whey (Hui 2007). Konsentrasi laktosa
pada susu berbanding terbalik dengan lipid dan kasein (McSweeney dan Fox 2009).
Pengolahan panas di atas 100oC meningkatkan pigmen kecoklatan (polimer
melanoidin) pada susu. Reaksi Maillard antara grup amino dari protein residu dari
dan grup karbonil dari laktosa memberikan warna kecoklatan pada susu (Hui 2007).

Reaksi Maillard pada susu memakai kasein yang merupakan protein terbanyak pada
susu menjadi reaktan utama bersama dengan laktosa. Pada tahap awal reaksi
Maillard, kondensasi reaktif kelompok lisin bebas dengan kelompok karbonil bebas
terjadi melalui pembentukan basa Schiff, yang secara bertahap diubah melalui
pengaturan Amadori ke produk Amadori (senyawa e-deoksiketosil). Produk

Amadori pada susu adalah lisin laktulosil yang terikat pada protein. Pembentukan
lisin laktulosil mewakili kehilangan dari ketersediaan biologi lisin (Boekel 1998).
Pemanasan suhu tinggi (di atas 100oC) yang diberikan pada proses UHT dan
evaporasi diduga menjadi pemicu reaksi Maillard dan meningkatkan pigmen
kecoklatan (melanoidin). Hal tersebut yang membuat warna putih kekuningan pada
susu cair jenis UHT dan kuning pada susu bubuk. Warna yang lebih kuning pada
produk susu bubuk diduga juga karena penambahan laktosa karena reaksi Maillard
pada susu memakai laktosa sebagai reaktan utama.
Keragaan Kadar Air, Abu, Protein, Lemak, Kalsium, dan Fosfor Produk
Susu Komersial dengan Klaim Tinggi Kalsium Rendah Lemak
Kadar air
Air merupakan medium bagi susu dimana total padatannya terlarut. Sebagian
kecil kandungan airnya terikat pada laktosa dan garam mineral. Sementara beberapa
bagian air terikat pada protein. Salah satu proses pemindahan air dengan

menjadikan susu bubuk dapat meningkatkan umur simpan susu (Hui 2007)
Susu cair dalam bentuk whole milk memiliki kandungan air 87% (Tamime
2009). Hasil analisis produk A dan B yang merupakan susu cair lebih tinggi dari
kandungan air whole milk, yaitu di atas 90%. Hal ini diduga karena total padatan,
berupa lemak yang masih terdapat dalam susu berada dalam jumlah yang lebih kecil
daripada whole milk.
Kadar air maksimal yang ditentukan Badan Standardisasi Nasional (2006)
untuk susu bubuk adalah 5 %. Kadar air yang tinggi pada hasil analisis produk C
(10.01%) diduga akibat kemasan penyimpanan susu yang tidak kedap udara.
Apabila dibandingkan dua sampel lainnya, kadar air produk C jauh lebih sedikit
karena sudah mengalami proses penghilangan sebagian besar kandungan airnya.
Hasil analisis kadar air untuk masing-masing produk dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil analisis kadar air dan abu produk
No
1
2
3
a

Produk

A
B
C

Kadar air (%)
90.77
90.48
10.01

Kadar abu (%) a
5.98
7.11
9.99

berat kering

Analisis sidik ragam (Lampiran 5) pada kadar air produk menunjukkan
bahwa susu dengan pemrosesan berbeda memiliki pengaruh nyata terhadap kadar
airnya (p0.05) (Lampiran 5).
Kadar protein
Protein pada susu sapi merupakan protein lengkap dengan kualitas yang
tinggi karena mengandung jumlah yang bervariasi dari sembilan kebutuhan asam
amino yang tidak dapat disintesis tubuh (Miller et al 2007). Protein pada susu
sekitar 3-4% dengan kandungan utamanya berupa kasein sebanyak 80% dari
protein susu (Vaclavik dan Christian 2008).
Tabel 3 Kadar protein dan lemak produk

a

a

No
1
2
3

Produk
A
B
C

Standar (%)
> 27.00 b
> 27.00 b
> 23.00 c

No
1
2
3

Produk
A
B
C

Standar (%) a
12.50 - 30.00 b
12.50 - 30.00 b
1.50 - 25.00 c

Kadar protein
Hasil analisis
35.53
36.05
25.14
Kadar lemak
Hasil analisis
12.02
14.26
0.62

Informasi Nilai Gizi
70.40
50.60
40.00
Informasi Nilai Gizi
16.20
12.60
3.30

berat kering ; b BPOM (2006) ; c BSN (2006)

Protein yang dihitung pada penelitian ini adalah kadar protein kasar. Tabel 3
menunjukkan bahwa hasil analisis kadar protein paling tinggi terdapat pada produk
B (36.05%) sementara yang terendah terdapat pada produk C (25.14%). Apabila
dibandingkan dengan standar, hasil analisis maupun informasi nilai gizi untuk kadar
protein sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Hasil analisis kadar protein
untuk ketiga produk yang diuji lebih kecil dibandingkan yang tertera pada informasi
nilai gizi.
Berdasarkan analisis sidik ragam, susu dengan pemrosesan berbeda
memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar proteinnya (p0.05) (Lampiran 5).
Produk susu rendah lemak menjadi salah satu menu dalam salah satu jenis
diet, yaitu DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension). Salah satu prinsip
diet tersebut ialah menghendaki pengurangan lemak jenuh dan lemak trans
sehingga menganjurkan konsumsi produk susu rendah lemak (Chatam 2013).
Penelitian Wang et al (2008) menemukan bahwa konsumsi produk susu rendah
lemak, kalsium, dan vitamin D berhubungan terbalik dengan risiko hipertensi pada
wanita paruh baya dan lebih tua.
Kadar kalsium
Mineral kalsium penting untuk beberapa fungsi biologis, seperti konduksi
saraf, kontraksi otot, gaya adesif sel, mitosis, koagulasi darah, regulasi detak
jantung, stimulasi sekresi hormon, membentuk dan mengatur kesehatan tulang dan
gigi, serta dukungan struktur untuk tulang (Awemu et al 2009). Kalsium juga
dibutuhkan untuk transmisi saraf dan regulasi otot jantung (Mahan dan Stump
2008).
Tabel 4 menunjukkan kadar kalsium masing-masing produk antara hasil
analisis dengan yang tercantum pada informasi nilai gizi. Hasil analisis kalsium
untuk produk A, B, dan C lebih rendah dibandingkan kandungan kalsium yang
tertera pada informasi nilai gizi. Hal ini diduga akibat perbedaan standar peralatan
yang digunakan antara industri dan peneliti.
Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa produk dengan pemrosesan
berbeda memiliki pengaruh nyata terhadap kadar kalsiumnya (p