Upaya-upaya Dalam Rangka Pemberian Kompensasi dan Restitusi bagi Korban Pelanggaran HAM Berat Latar Belakang

restitusi dan rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat dari palanggaran HAM yang berat. Hal ini dapat membantu korban dalam menjamin hak-haknya untuk memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tanpa proses yang panjang seperti yang diatur dalam KUHAP. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini mempunyai tugas dan wewenang yang jelas. Berbeda dengan halnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK, yang dibentuk melalui UU Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK sebagai lembaga yang mandiri tidak cukup mengkoordinir kepentingan korban pelanggaran HAM yang berat dalam hal pengajuan kompensasi dan restitusi. Namun pada 7 Desember 2006, UU KKR telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan Pasal 27 UU KKR tidak jelas. Pasal 27 tersebut dianggap telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dalam memberikan hak kepada korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

BAB III PRAKTIK PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI BAGI

KORBAN DALAM KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA

A. Upaya-upaya Dalam Rangka Pemberian Kompensasi dan Restitusi bagi Korban Pelanggaran HAM Berat

Indonesia telah meratifikasi ICCPR, sebagai salah satu wujud komitmen negara Indonesia untuk menjamin hak asasi warga negaranya. ICCPR merupakan instrumen hukum Internasional yang menindak lanjuti perlindungan hak asasi manusia yang telah Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang- undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar. Melalui penelusuran berbagai literatur, baik nasional maupun internasional, penulis mencoba untuk melihat bagaimana seharusnya korban kejahatan memperoleh perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundang-undang nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya masih parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan. Dengan adanya berbagai permasalahan mengenai jenis korban dalam kehidupan masyarakat, maka ini pulalah yang melatarbelakangi lahirnya cabang ilmu baru yang disebut dengan “viktimologi.” Viktimologi atau victimology istilah dalam bahasa Universitas Sumatera Utara Inggris berasal dari istilah Latin, yaitu victima yang berarti korban, sedangkan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Maka secara singkat, viktimologi adalah ilmu yang mempelajari korban dari berbagai aspek. Walaupun disadari, bahwa korban-korban kejahatan itu, disatu pihak dapat terjadi karena perbuatantindakan seseorang orang lain, seperti korban pencurian, pembunuhan dan sebagainya yang lazimnya disebut sebagai korban kejahatan, dan dilain pihak, korban dapat pula terjadi oleh karena peristiwa alam yang berada di luar “jangkauan” manusia yang lazimnya disebut sebagai korban bencana alam, yaitu seperti korban letusan gunung berapi, korban banjir, korban gempa bumi dan lain-lain. Walaupun kategori korban di atas sungguh-sungguh terjadi berdasarkan realita, akan tetapi menurut Andi Mattalatta, pengertian korban yang mendasari lahirnya kajian viktimologi, pada awalnya hanya terbatas pada korban kejahatan. Maka atas dasar ini pulalah, tanpa mengecilkan arti dari upaya pengkajian jenis korban selain dari korban kejahatan yang ada dalam masyarakat tersebut, pengkajian masalah korban dalam tulisan ini hanya difokuskan pada jenis korban yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana materil, yang lazimnya, seperti yang disebutkan di atas disebut sebagai korban kejahatan. Korban dalam konteks ini merupakan korban dalam pengertian yang konvensional dan sekaligus sebagai cikal bakal yang menjadi objek kajian pada awal lahirnya viktimologi klasik. Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian pada korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian karena kejahatan, baik materiil maupun imateriil. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang Universitas Sumatera Utara diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan tidak dipedulikan 1 Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangkaterdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah: “Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal- hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban.” . 2 Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya imaterial maupun materiil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberikan keterangan yaitu sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil. 3 Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan. 4 Tidak jarang juga ditemukan koban yang mengalami penderitaan fisik, mental, atau materiil akibat dari suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya 1 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 24 2 Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm. 33. 3 Chaerudin, Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Pers, Jakarta, 2004, hlm. 47. 4 Ibid, hlm. 49. Universitas Sumatera Utara korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan. Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan merupakan hak dari seseorang yang menjadi korban tindak pidana adalah untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi. Kompensasi diberikan oleh negara kepada korban pelanggaran HAM yang berat, sedangkan restitusi merupakan ganti rugi pada korban tindak pidana yang diberikan oleh pelaku sebagai bentuk pertanggungjawabannya. 5 Terkait dengan hal di atas, salah satu contoh bahwa penyelesaian secara hukum maupun politik terhadap pelanggaran HAM seringkali tidak berpihak kepada korban, namun justru dilakukan untuk melindungi para pelaku dapat dikemukakan dalam konteks berikut ini: Ada beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur pemberian kompensasi dan restitusi. Namun dalam kenyataannya aturan tersebut tidak implementatif. Pengaturan pemberian ganti rugi itu misalnya bisa dilihat pada KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana, KUHAP Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan juga Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat. Namun berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Kasus-kasus HAM yang terjadi di Indonesia sampai saat ini belum pernah ada korban pelanggaran HAM yang mendapat kompensasi dan restitusi walaupun dalam amar putusan pengadilan korban berhak untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi. 5 Ibid, hlm. 55. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan catatan pengadilan HAM ad hod Timor-Timur, hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat tidak pernah disinggung. Baik jaksa maupun hakim tidak pernah menyinggung sedikitpun upaya-upaya pemulihan bagi korban, padahal pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur telah diakui terjadi oleh pengadilan. Proses peradilan hanya difungsikan untuk mencari siapa pelaku dan menghukumnya, tetapi keadilan bagi korban secara nyata tidak menjadi bagian penting. Hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang secara jelas dinyatakan oleh Undang-undang bahkan tidak dapat dijalankan sama sekali. 6 6 Supriady Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin, Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat, Elsam , Jakarta, 2005, hlm. 3. Tidak diberikannya hak-hak korban yang secara tegas telah dinyatakan dalam ketentuan perundang-undangan dapat menimbulkan ketidakpercayaan korban bahwa hak- hak mereka akan dilindungi bahkan diberikan ketika mereka berpartisipasi dalam proses peradilan untuk mendukung penegakan hukum. Hal ini menunjukkan, bukan saja dapat dikatakan bahwa negara gagal mewujudkan sistem peradilan yang kompeten dan adil, negara gagal menjamin sistem kesejahteraan dari warga negaranya yang menjadi korban pelanggaran HAM, karena hak korban akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi bidang kesejahteraanjaminan sosial social security. Lebih jauh lagi bahwa negara juga telah mengurangi hak-hak dari saksi dan korban yang telah diakui oleh dunia internasional. Salah satu contoh, Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok yang merupakan satu- satunya pengadilan yang memberikan putusan kompensasi kepada korban belum berhasil diimplementasikan karena masih adanya hambatan prosedural. Korban pelanggaran HAM Tanjung Priok akhirnya mendapatkan putusan dari majelis hakim untuk mendapatkan kompensasi dalam dua putusan, dimana satu putusan hanya menyatakan bahwa korban mendapatkan kompensasi sedangkan satu putusan lainnya dengan disertai jumlah kompensasi yang akan diterima oleh para korban. Universitas Sumatera Utara Putusan kompensasi di atas dalam pelaksanaannya terhambat karena secara normatif dimana eksekusi putusan tersebut hanya bisa dilaksanakan setelah ada keputusan pengadilan yang bersifat tetap. Artinya kompensasi akan diterima oleh korban pada saat terdakwa dinyatakan bersalah di tingkat Mahkamah Agung, sebaliknya jika ternyata terdakwa dibebaskan di tingkat banding atau Mahkamah Agung maka kompensasi tersebut akan gugur. Hal ini karena konsep kompensasi kepada korban menggantungkan faktor kesalahan dari terdakwa dan bukan karena hak yang melekat terhadap setiap korban pelanggaran HAM. Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok telah secara nyata menerapkan dan mengadopsi kekeliruan dalam memahami konsep kompensasi dan restitusi. Hal ini tampak dari adanya prasyarat yang harus terpenuhi agar korban mendapatkan kompensasi dan restitusi yaitu dinyatakan bersalah dan dipidananya pelaku. 7 7 Putusan No. 01Pid. HAMAd Hoc2003PN.JKT.PST atas nama Sutrisno Mascung, dkk, 20 Agustus 2004, hal. 143-145. Pernyataan di atas berbeda dengan apa yang sudah menjadi prinsip hukum HAM internasional bahwa korban pelanggaran HAM berat berhak mendapatkan kompensasi dan atau restitusi tanpa harus menunggu apakah pelakunya dipidana atau tidak. Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “ PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI DALAM PELANGGARAN HAM BERAT DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

B. Permasalahan

Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 7 9

SKRIPSI IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 13

PENDAHULUAN IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 14

PENUTUP IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 5 7

PEPELA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MELALUI KOMPENSASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 16

PENDAHULUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MELALUI KOMPENSASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 19

PENUTUP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MELALUI KOMPENSASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 9

PENDAHULUAN KAJIAN TERHADAP KETENTUAN RESTITUSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 10

PENUTUP KAJIAN TERHADAP KETENTUAN RESTITUSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 4 8

FUNGSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM KASUS PELANGGARAN HAM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 0 15