Pemberian Kompensasi Dan Restitusi Dalam Pelanggaran Ham Berat Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran HAM Berat Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, Grasindo, Jakarta,

2005.

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Edisi Pertama-Cetakan Kedua), CV. Akademika Perssindo, 1989.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi Revisi, cetakan ke empat, 2005.

Buergental, Thomas, International Human Rights, St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1995.

Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perpektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Pers, Jakarta, 2004.

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

.

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya,

Alumni, Bandung, 2007.

Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005.

R. Wiyono, Pengadilan Hak asasi di Indonesia, Kencana, Jakarta,

Albert Hasibuan, Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP, makalah dalam diskusi ilmiah “Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP” yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2 Juni 2007.

Supriady Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin, Perlindungan Saksi dan Korban Catatan Atas Pengalaman Pengadilam HAM Ad Hoc Kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur , Elsam , Jakarta, 2005.


(2)

………....Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat, Elsam , Jakarta, 2005.

Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, ELSAM, Jakarta, 2005. Ifdhal Kasim, “Prinsip-prinsip van Boven” mengnai Korban Pelanggaran HAM Berat

Hak Asasi Manusia, dalam van Boven, Theo, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi dan Rehabilitasi, ELSAM, Jakarta, 2002. ...Dilema Simalakama: Amnesti Keadilan di Masa Transisi, ELSAM,

Jakarta, 2003.

Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat

Undang-undang No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM

Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Undang-undang 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM

Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM yang Berat

Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban


(3)

Declaration Universal of Universal Tahun 1948

International Convenant on Civil and Political Rights Tahun 1966.

Optional Protocol International Convenant on Civil and Political Rights Tahun 1976

Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and abuse of Power Tahun 1985.


(4)

restitusi dan rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat dari palanggaran HAM yang berat. Hal ini dapat membantu korban dalam menjamin hak-haknya untuk memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tanpa proses yang panjang seperti yang diatur dalam KUHAP.

Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini mempunyai tugas dan wewenang yang jelas. Berbeda dengan halnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang dibentuk melalui UU Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK sebagai lembaga yang mandiri tidak cukup mengkoordinir kepentingan korban pelanggaran HAM yang berat dalam hal pengajuan kompensasi dan restitusi.

Namun pada 7 Desember 2006, UU KKR telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan Pasal 27 UU KKR tidak jelas. Pasal 27 tersebut dianggap telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dalam memberikan hak kepada korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

BAB III

PRAKTIK PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI BAGI KORBAN DALAM KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA

A. Upaya-upaya Dalam Rangka Pemberian Kompensasi dan Restitusi bagi Korban Pelanggaran HAM Berat

Indonesia telah meratifikasi ICCPR, sebagai salah satu wujud komitmen negara Indonesia untuk menjamin hak asasi warga negaranya. ICCPR merupakan instrumen hukum Internasional yang menindak lanjuti perlindungan hak asasi manusia yang telah


(5)

dideklarasikan didalam piagam PBB, dan DUHAM (Declarations Universal of Human Rights Tahun 1948).51 Ketentuan di dalam ICCPR seringkali dijadikan asas di dalam proses pengadilan bagi perlindungan hukum terhadap orang-orang yang terlibat di dalamnya termasuk saksi dan korban. Hal yang sangat penting yang menyangkut korban dalam ICCPR ini adalah Optsional Protokol-nya, karena protokol ini bertujuan untuk mewujudkan tujuan dari ICCPR dengan cara menindak lanjuti perlindungan bagi korban dari pelanggaran ketentuan ICCPR.52 Selain itu juga asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, persamaan didepan hukum (equality before the law), asas ganti rugi dan rehabilitasi, bantuan hukum serta asas pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan merupakan asas di dalam hukum acara pidana yang berdimensi perlindungan terhadap HAM, yang telah terakomodir dalam hukum positif Indonesia.53

Upaya yang saat ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka untuk menjamin kepentingan korban dalam mengajukan permohonan kompensasi dan restitusi adalah dengan menetapkan PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban sebagai aturan pelaksana dari UU Perlindungan Saksi dan Korban. PP tersebut setidaknya telah mengatur jelas mengenai jaminan perlindungan pada korban berupa pemberian kompensasi dan restitusi. Namun ada beberapa hal yang masih harus dikritisi. Pertama, PP tersebut tidak disusun dengan perspektif korban sehingga memunculkan banyak ketentuan yang akan berpotensi menghambat pemenuhan hak atas pemulihan bagi korban. Kedua, beberapa ketentuan

51

Mukadimah ICCPR

52

Mukadimah Opsional Protokol dari ICCPR. Opsional Protokol ICCPR tidak diratifikasinya oleh Pemerintah Indonesia yang menjadikan penegakan HAM di Indonesia menjadi timpang

53

Asas ini memberikan perlindungan terhadap HAM bagi orang yang terlibat pada peradilan pidana, maka asas ini bersifat umum, dalam artian dapat kita temukan di dalam hukum acara peradilan di seluruh dunia


(6)

dalam PP tersebut masih melanjutkan kesalahan konsep dari regulasi sebelumnya yang seharusnya disinkronkan. Hal ini terkait dengan definisi dari kompensasi pada Pasal 1 ke-4 PP No. ke-4ke-4 Tahun 2008, yang berbunyi:

Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.

Definisi dari kompensasi tersebut tidak mengalami perubahan seperti halnya pada definisi kompensasi dalam UU Pengadilan HAM dan PP No. 3 Tahun 2002. Kompensasi dalam PP ini tidak memunculkan konsep tanggung jawab negara secara penuh dalam menjamin kompensasi dan restitusi bagi korban khususnya korban pelanggaran HAM berat.

Prosedur mengenai syarat-syarat permohonan kompensasi dan bantuan oleh korban akan berimplikasi pada gagalnya korban memperoleh hak-haknya. Dalam PP tersebut dijelaskan bahwa korban dalam pengajuan permohonan kompensasi harus memenuhi syarat sebagai berikut:54

(2) Permohonan Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri:

(1) a. identitas pemohon;

b. uraian tentang peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

c. identitas pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

d. uraian tentang kerugian yang nyata-nyata diderita; dan e. bentuk Kompensasi yang diminta.

54


(7)

a. fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;

b. bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau Keluarga yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang;

c. bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau pengobatan yang disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan perawatan atau pengobatan;

d. fotokopi surat kematian dalam hal Korban meninggal dunia;

e. surat keterangan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menunjukkan pemohon sebagai Korban atau

Keluarga Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

f. fotokopi putusan pengadilan hak asasi manusia dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diputuskan oleh pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap;

g. surat keterangan hubungan Keluarga, apabila permohonan diajukan oleh Keluarga; dan

h. surat kuasa khusus, apabila permohonan Kompensasi diajukan oleh kuasa Korban atau kuasa Keluarga.


(8)

Berbeda dengan pengajuan permohonan korban terhadap kompensasi dan restitusi yang diatur dalam The Procedure and Evidence Statuta Roma, yang hanya mengandung hal-hal khusus mengenai identitas korban, deskripsi tentang kerugiannya, lokasi dan tanggal terjadinya peristiwa, deskripsi tentang restitusi dan ganti rugi, tuntutan untuk mendapat kompensasi, tuntutan untuk mendapat rehabilitasi, dan dokumentasi termasuk nama dan alamat saksi. Prosedur tersebut memudahkan korban dalam mendapatkan hak-haknya.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia memang sudah merujuk pada standar hukum internasional yang termuat dalam Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan 1985. Dalam PP No. 44 Tahun 2008 juga sudah diatur mengenai prosedur pengajuan kompensasi dan restitusi bagi korban, jangka waktu pengajuan dan pemberian kompensasi dan restitusi, tugas dan wewenang dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan siapa yang berhak dalam mengajukan kompensasi dan restitusi.Namun dalam PP tersebut perlunya penyempurnaan dan penambahan atas aturan mengenai jumlah atau besaran kompensasi yang harus diterima korban pelanggaran HAM berat dan pertimbangan putusan mengenai kompensasi dan restitusi yang harus ada dalam amar putusan yang dapat menyebabkan korban menunggu untuk waktu yang lama dalam memperoleh hak-haknya.

B. Praktik Pemberian Kompensasi dan Restitusi di Indonesia 1. Pengadilan HAM Timor-Timur

Kasus Timor-Timur bermula dari kebijakan pemerintah Indonesia pada tanggal 27 Januari 1999 untuk memberikan dua opsi kepada rakyat Timor-Timur. Opsi tersebut


(9)

adalah menerima atau menolak otonomi khusus.55

Usul beberapa negara agar Dewan keamanan PBB untuk membentuk badan peradilan ad hoc seperti halnya kasus Yugoslavia dan Rwanda, berhasil digagalkan oleh Indonesia. Indonesia menyatakan masih dapat mengadili pelakunya berdasarkan hukum nasional Indonesia.

Kekerasan bermula setelah jajak pendapat yang dimenangkan oleh kelompok pro-kemerdekaan. Masyarakat internasional memandang kekerasan ini sebagai kejahatan HAM yang berat.

56

Berkaitan dengan diplomasi tersebut pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1264 (1999). Resolusi tersebut mengutuk tindakan kekerasan sesuai jajak pendapat di Timor-Timur. Resolusi juga mendesak pemerintah Indonesia agar mengadili mereka yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan.57

Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur memeriksa dan mengadili 18 (delapan belas) orang terdakwa yang dibagi menjadi 12 (dua belas) berkas perkara.

Atas dasar itulah pemerintah Indonesia mengundangkan UU Hak Asasi Manusia dan UU Pengadilan HAM. Bulan Februari 2002, Pengadilan HAM ad hoc ini mulai beroperasi mengadili kasus-kasus kejahatan kemanusiaan di Timor Leste.

58

55

Bila menolak berarti rakyat Timor-Timur memilih untuk merdeka.

56

I wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, CV Yrama Widya, Bandung, 2004, hlm. 95.

57

Soedjono Dirjdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 234. dalam Sumaryo Suryokusumo, Pengadilan Ad hoc bagi Pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) di TimTim, Suara Pembaruan, Jakarta, 7 Maret 2002. Dalam Andrey Sujatmoko, op.cit., hlm. 10.

58

Yaitu Abilio Soares; Timbul Silaen; Herman Sedyono dkk (Liliek Koeshadianto, Gatot Subiyaktoro, Achmad Syamsudin dan Sugito); Eurico Guterres; Soedjarwo; Endar Priyanto; Adam Damiri; Hulman Gultom; M Noer Muis; Jajat Sudrajat; Tono Suratman dan Asep Kuswani dkk (Adios Salova, Leonito Martins).

Secara keseluruhan para terdakwa didakwa dan dituntut telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi menjelang dan setelah jajak pendapat di tiga wilayah di Timor-Timur, yaitu Dili, Covalima dan Liquisa.


(10)

Dari 18 orang terdakwa ini, 12 orang dinyatakan bebas dan 6 orang lainnya dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran HAM yang berat dan dijatuhi pidana. Namun, putusan pengadilan, baik yang menyatakan bebas maupun bersalah, semuanya mengakui bahwa peristiwa pelanggaran HAM berat Timor-Timur telah mengakibatkan jatuhnya korban penduduk sipil yang banyak, baik harta maupun nyawa, laki-laki dan perempuan.

Namun, pada Proses Pengadilan HAM Timor-Timur ini, walaupun dinyatakan telah jatuh korban, isu atau masalah hak-hak korban ini sama sekali tidak muncul. Bahkan, tidak ada satupun putusan pengadilan, baik dalam pertimbangan maupun amar putusannya yang membahas atau mencantumkan mengenai hak kompensasi dan restitusi. Tidak dibahas atau dicantumkannya mengenai hak-hak korban ini sangat mengherankan, mengingat pengadilan telah mengakui terjadinya pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur menjelang dan setelah jajak pendapat 1999 dan jatuhnya korban dalam peristiwa tersebut.

Tidak adanya pembahasan ataupun putusan mengenai kompensasi dan restitusi bagi korban tersebut, kemungkinan besar disebabkan tidak adanya permohonan kompensasi dan restitusi yang diajukan ke pengadilan sebagaimana yang ketentuan Pasal 35 UU Pengadilan HAM. Namun, terlepas dari tidak adanya permohonan dari penuntut umum maupun korban, tidak diakuinya hak-hak korban dalam pengadilan ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip internasional yang telah diakui oleh hukum internasional.


(11)

Kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok ini bermula dari ditahannya empat orang, masing-masing bernama Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan M. Nur, yang diduga terlibat pembakaran sepeda motor Babinsa. Mereka ditangkap oleh Polres Jakarta Utara, dan kemudian ditahan di Kodim Jakarta Utara. Atas kejadian tersebut pada tanggal 12 September 1984, diadakan tabligh akbar di Jalan Sindang oleh Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat setempat, didalam ceramahnya menuntut pada aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jemaah Musholla As Sa’adah yang ditahan. Akan tetapi ke-empat orang tersebut tidak dibebaskan yang akhirnya Amir Biki mengerahkan massa ke kantor Kodim Jakarta Utara dan Polsek Koja. Massa yang bergerak ke arah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh satu regu Arhanud yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung di bawah komando Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara. Situasi berkembang sampai terjadi penembakan yang menimbulkan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang.

Dari peristiwa di atas, Komnas HAM menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam kasus Tanjung Priok ini. Untuk itu dibentuklah Pengadilan HAM ad hoc. Pembentukan ini sama dengan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur yang didasari oleh UU Pengadilan HAM.59

Dalam proses peradilan perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok ini terdapat ishlah antara pihak korban dan tertuduh. Dalam dokumen piagam ishlah kasus Tanjung Priok jelas terlihat bahwa adanya perubahan persepsi dari korban kasus Tanjung Priok dalam melihat permasalahan peristiwa Tanjung Priok. Perubahan cara pandang

59


(12)

juga terlihat dalam hal bagaimana seharusnya kasus Tanjung Priok ini akan diselesaikan. Piagam ishlah tersebut berisikan, bahwa pilihan melakukan ishlah adalah pilihan yang didasarkan pada keyakinan agama dan kesadaran para pihak secara sukarela. Para korban dan pelaku yang dalam piagam ishlah tersebut menyatakan perdamaian dan melakukan permaafan.60

Kasus ini ditangani oleh Komnas HAM pada tahun 2000. Komnas HAM membentuk tim ad hoc dengan nama Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM untuk KP3T (Kasus Tanjung Priok). Hasil penyelidikan dan pemeriksaan pelanggaran HAM yang terjadi pada kasus Tanjung Priok kemudian diserahkan kepada Kejaksaan Agung yang kemudian meminta Komnas HAM untuk melengkapi hasil penyelidikan KP3T mengenai beberapa hal yaitu:61

a. Pemastian jumlah korban 24 orang dengan melakukan kegiatan penggalian kuburan dan pemeriksaan dokumen di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. b. Kelengkapan kesaksian dan bukti tentang jatuhnya korban sebanyak 9 (sembilan)

orang (keluarga Tan Keu Lim) oleh massa.

c. Nama-nama yang diduga pelaku dan nama penanggung jawab garis komando ketika peristiwa itu terjadi.

d. Perumusan ulang rekomendasi.

60

Proses pemeriksaan kesaksian di Kejaksaaan Agung dilakukan sekitar bulan Februari 2001, sedangkan ishlah dilakukan pada tanggal 1 Maret 2001. Proses pemeriksaan di sidang pengadilan mengacu pada berkas acara pemeriksaan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung bulan Februari 2001 sebagaimana tertuang dalam BAP.

61


(13)

Untuk itu Komnas HAM dalam rapat paripurna 12 Juli 2000 telah memutuskan untuk membentuk Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T. Dalam kesimpulan akhirnya tim lanjutan menyatakan antara lain:

1. Tentang Jumlah Korban

a) Pemastian jumlah korban pembunuhan secara kilat sebanyak 24 orang dilakukan dengan penggalian kuburan, pemeriksaan dokumen RSPAD Gatot Subroto, dan usaha mencari saksi-saksi tambahan. Dari hasil penggalian di Tempat Pemakaman Umum Mengkok, Sukapura dan Pemakaman Kramat Ganceng, Pondok Ranggon dan TPU Gedong, Condet sebanyak 24 orang kemungkinan besar benar adanya, walaupun ada selisih jumlahnya korban yang dimakamkan di Pondok Ranggon. b) Korban terbakar

Keluarga Tan Keu Lim 9 (Sembilan) orang meninggal terbakar di rumah tempat tinggal korban. Kebakaran ini diduga keras sengaja dilakukan oleh rombongan massa yang bergerak ke arah markas Kepolisian Sektor Koja.

Pengadilan HAM Tanjung Priok memeriksa dan mengadili 14 orang terdakwa yang diduga bertanggungjawab dalam peristiwa pelanggaran HAM Tanjung Priok yang terjadi pada 1984. Dari 14 orang terdakwa tersebut, 12 orang dinyatakan terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM yang berat dan dijatuhi hukuman, dan 2 orang terdakwa lainnya dinyatakan tidak terbukti bersalah.62

Dalam Pengadilan HAM Tanjung Priok praktik mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut diterapkan secara progresif oleh pengadilan, terutama dalam

62

Yang dinyatakan bersalah adalah R. Butar-butar dan Sutrisno Mascung dkk. Sedangkan yang dinyatakan tidak bersalah adalah Sriyanto dan Pranowo.


(14)

putusan Sutrisno Mascung, dimana dalam amar putusan pengadilan yang secara tegas mencantumkan mengenai pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok.63

1. Terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana oleh pengadilan. Signifikansi diakuinya hak-hak

korban tersebut dapat dilihat dalam pertimbangan yang dikemukakan majelis hakim dalam memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban, yakni :

2. Oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka secara otomatis, akibat dari peristiwa (yang dilakukan terdakwa), korban berhak mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

3. Adanya pengajuan permohonan secara tertulis dari korban dan atau ahli waris korban kepada ketua majelis hakim yang memeriksa perkara.

4. Korban (pemohon) belum pernah mendapatkan bantuan apapun, berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dari pihak manapun (baik terdakwa/pelaku maupun dari pihak lainnya).

Namun, ada satu kekurangan mendasar dari putusan kompensasi dan restitusi yang diputuskan pengadilan HAM Tanjung Priok tersebut, Pengadilan tidak menerangkan bagaimana metode penghitungan ganti kerugian yang menghasilkan nominal yang ditetapkan pengadilan. Majelis hakim hanya mempertimbangkan kerugian

63

Walaupun putusan mengenai kompensasi ini terlebih dahulu diputuskan dalam Perkara No. : 03/Pid.HAM/Ad Hoc/2003 a.n. terdakwa R. Butar-Butar. Namun, dalam amar putusannya Majelis Hakim tidak menyebutkan kriteria mengenai korban yang berhak mendapatkan kompensasi, rehabilitasi dan restitusi. Dalam putusannya Majelis Hakim hanya menyebutkan bahwa karena korban sudah cukup lama menderita, tidak saja korban yang langsung tetapi juga dirasakan oleh keluarga korban dan ahli warisnya, yaitu para korban yang meninggal dunia dan korban yang menderita luka serta cacat baik itu cacat sementara ataupun cacat seumur hidup. Oleh karenanya, pengadilan memutuskan untuk memberikan kompensasi kepada korban atau ahli warisnya. Lihat putusan No. : 03/Pid.HAM/Ad Hoc/2003 atas nama terdakwa R. Butar-Butar, 30 April 2004, hlm. 59-60.


(15)

materiil dan imateriil yang dialami korban. Kerugian materiil dimaksud adalah hilangnya harta benda, hilangnya pekerjaan, dan biaya pengobatan. Sedangkan kerugian imateriil berupa stigmatisasi dan pengungkapan kebenaran selama 20 tahun.64

Majelis hakim juga tidak merinci tata cara pemberian dan kapan korban dapat mendapatkan kompensasi yang diterimanya. Majelis hakim secara sumir hanya menyatakan bahwa “kompensasi diberikan melalui mekanisme dan tata cara pelaksanaan yang telah diatur oleh PP No. 3 Tahun 2002, serta dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak”.

Korban yang diwakili oleh pendampingnya dari Kontras, telah menyampaikan metode penghitungan ganti kerugian untuk korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok ini. Dalam suratnya tertanggal 30 Juni 2004, yang ditujukan kepada Jaksa Agung, korban dan Kontras mengajukan metode penghitungan ganti kerugian bagi korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Metode yang diajukan tersebut dilakukan bersifat gabungan antara yang individualis dan kolektif, yang berarti ada penghitungan yang didasari atas kerugian yang dialami per pribadi dan ada kompensasi yang ingin diterima dan diperoleh secara bersama.

Disamping itu, karakteristik korban dan tipologi kerugian yang dialami korban pun menjadi acuan untuk melakukan penghitungan terhadap kerugian yang dialami korban ini. Adapun cara untuk menghitung

kerugian materiilnya, metode yang diajukan korban adalah dengan menghitung nilai kerugian (NK) x harga emas pada tahun 2004 : harga emas tahun (n) x 0,5. kemudian setelah diketahui hasilnya ditambah dengan 6% dari hasil tersebut.

64

Penghitungan Kompensasi Korban Pelanggaran HAM Tanjung Priok”, yang dikeluarkan Kontras, Jakarta, Juni 2004.


(16)

Hal ini tentunya akan menimbulkan kesulitan instansi terkait yang akan mengeksekusi putusan mengenai kompensasi tersebut, karena tidak jelas siapa yang harus menginisiasinya serta kapan kompensasi tersebut

harus diberikan kepada korban. Dan sampai sekarang, ketiga belas orang korban yang disebutkan dalam amar putusan tersebut, tidak satupun dari mereka yang telah menerima kompensasi sebagaimana yang diputuskan pengadilan, walaupun mereka telah berjuang kemana-mana untuk mendapatkan haknya tersebut.65

Bahkan, dalam perkembangan terakhir, korban melalui kuasa hukumnya dari Kontras telah mengajukan permohonan penetapan eksekusi atas putusan Pengadilan HAM ad hoc pada 20 Agustus 2004 yang memutuskan negara harus memberikan kompensasi kepada 13 (tiga belas) orang korban Tanjung Priok berupa kompensasi materil sejumlah Rp.658.000.000,- dan imateriil sejumlah Rp.357.500.000, yang tidak kunjung dipenuhi.66

Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 28 Februari 2007 tersebut seolah mengirim pesan kepada masyarakat bangsa Indonesia bahwa keadilan buat korban

Permohonan korban tersebut kemudian ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam penetapannya hakim tunggal, Ny. Martini Marjan, S.H merujuk pada putusan Mahkamah Agung yang membebaskan para terdakwa peristiwa Tanjung Priok. Berdasarkan pertimbangan tersebut hakim menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi negara untuk memenuhi apa yang dimohonkan para korban.

65

Surat dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) No. 250/SK-Kontras/VI/2004 yang ditujukan kepada Jaksa Agung RI; Kompas, 26 Mei 2004, 18 Juni 2004, 24 Juni 2004, 7 Agustus 2004, 21 Agustus 2004, 6 September 2004, dan 10 September 2004.

66

Permohonan penetapan eksekusi putusan kompensasi, yang telah didaftarkan pada 31 Januari 2007 dengan No. Perkara 18/PDT.P/2007 PN Jakarta Pusat.


(17)

peristiwa Tanjung Priok telah berakhir. Tidak ada lagi upaya yang dapat dilakukan korban dan keluarganya untuk memperoleh hak dan keadilan yang selama puluhan tahun diperjuangkan.

Rekomendasi dari Komnas HAM:

a. Para pelaku dan penanggung jawab yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM yang berat harus dimintakan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku b. Untuk mewujudkan tanggung jawab negara, khususnya pemerintah, terhadap korban

pelanggaran HAM, maka:

- Pemerintah meminta maaf kepada korban/keluarga dan masyarakat luas atas terjadinya Peristiwa Tanjung Priok

- Merehabilitasi nama baik korban

- Memberikan kompensasi yang layak kepada korban/keluarga korban

Korban yang sampai sekarang belum berhasil ditemukan harus tetap dinyatakan sebagai orang hilang. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab negara untuk menemukan korban dan mengembalikan kepada keluarga yang bersangkutan

BAB IV


(18)

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan terhadap permasalahan hukum yang berkenaan dengan kompensasi dan restitusi bagi korban dalam pelanggaran HAM yang dihubungkan dengan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Statuta Roma, maka penulis menarik kesimpulan dan kemudian memberikan saran-saran sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Pengakuan atas hak-hak korban kejahatan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini terlihat dari pengaturan hak “ganti rugi” kepada korban dalam KUHAP, UU Pengadilan HAM, dan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, adanya berbagai peraturan tersebut di atas mengakibatkan adanya kerancuan dalam penggunaan istilah kompensasi dan restitusi, yang apabila tidak diselaraskan akan berimplikasi pada benturan regulasi dan menyebabkan ketidakjelasan dalam implementasinya. Dalam UU Pengadilan HAM disebutkan bahwa korban pelanggaran HAM mempunyai hak atas kompensasi dan restitusi, yang juga diatur dalam peraturan pelaksanaannya yakni PP No. 3 Tahun 2002. Namun demikian, sampai saat ini belum ada satupun korban pelanggaran HAM yang berat mendapatkan hak atas kompensasi dan restitusi. Hal ini diakibatkan karena adanya kelemahan baik mengenai konsep kompensasi dan restitusi maupun mengenai prosedur pemenuhannya. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilihat dari serangkaian praktek penerapan ketentuan tentang kompensasi dan restitusi dalam pengadilan HAM, dan dikomparasikan dengan ketentuan dalam hukum internasional. Bahwa sejak tahun 2006 telah muncul UU Perlindungan Saksi dan Korban yang juga mengatur tentang hak


(19)

korban pelanggaran HAM atas kompensasi dan hak korban atas restitusi. Namun, pengaturan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban tersebut ternyata tidak memberikan pengertian yang memadai tentang maksud dari kompensasi dan restitusi. Dalam UU tersebut hanya dinyatakan bahwa pengaturan tentang pemberiaan kompensasi dan restitusi akan diatur dalam peraturan pemerintah. Hal ini berarti UU Perlindungan Saksi dan Korban mengulangi kesalahan konsep kompensasi dan restitusi, ketidakjelasan prosedur dan kegagalan dalam penerapan hak-hak tersebut. Akibatnya korban akan semakin jauh dalam mendapatkan atas pemulihan yang efektif sebagaimana dipersyaratkan dalam berbagai instrumen internasional. Statuta Roma 1998 sebagai salah satu instrumen hukum internasional, telah jelas mengatur mengenai mekanisme pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat. Hal ini sesuai dengan apa yang telah ditentukan hukum internasional dalam menjamin hak-hak korban khususnya korban pelanggaran HAM berat, seperti pengaturan khusus tentang ganti kerugian, bentuk ganti kerugian, dan siapa saja yang menjamin mengenai ganti kerugian bagi korban. Dengan dibentuknya Unit Saksi dan Korban oleh Panitera yang mempunyai tugas dan wewenang yang jelas seperti yang ditentukan dalam Statuta Roma beserta hukum acaranya, dapat memudahkan korban untuk meminta hak-haknya dalam mendapatkan kompensasi dan restitusi.

2. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam hal pemenuhan hak korban berupa kompensasi dan restitusi sudah dilakukan dengan dikeluarkannya PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Korban dan Saksi, sebagai aturan pelaksana dari UU Perlindungan Saksi dan


(20)

Korban. PP tersebut telah menjelaskan bagaimana korban dalam mengajukan permohonan kompensasi dan restitusi dan yang terpenting adalah tugas dan wewenang dari LPSK sebagai lembaga mandiri yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian bantuan pada Saksi dan Korban.

B. Saran

1. Bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi harus juga dirumuskan secara jelas sebagai panduan oleh korban maupun penegak hukum lainnya dalam menentukan bentuk kompensasi dan restitusi. Termasuk disini adalah besaran ganti kerugian dalam bentuk uang harus juga ada panduan dan rumusan yang jelas. Dalam hal ini kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan atau kerugian yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya, sebagai akibat dari pelanggaran HAM, seperti: kerugian fisik dan mental; kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; kesempatan yang hilang (lost opportunity), misalnya pendidikan dan pekerjaan; hilangnya mata pencaharian dan kemampuan mencari nafkah; biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal; kerugian terhadap hak milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang; kerugian terhadap reputasi atau martabat; biaya-biaya lain yang masuk akal dikeluarkan untuk memperoleh pemulihan.

2. Perlunya pengkajian kembali mengenai definisi kompensasi agar timbul tanggung jawab negara secara penuh dalam pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat.


(21)

BAB II

ANALISIS PENGATURAN KOMPENSASI DAN

RESTITUSI TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Pengaturan Kompensasi dan Restitusi terhadap korban pelanggaran HAM Berat

UU Perlindungan Saksi dan Korban membuka kembali diskursus tentang pemulihan (reparasi)30 kepada korban, termasuk korban pelanggaran HAM yang berat.31 Undang-undang ini mengatur tentang hak korban untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi. Kompensasi diberikan kepada korban pelanggaran HAM yang berat, sementara restitusi merupakan ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.32

Pengaturan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban sedikit berbeda dengan UU Pengadilan HAM yang juga memberikan pengaturan atas hak kompensasi dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM yang berat. Untuk implementasi hak- hak korban tersebut, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat.

Terdapat 3 (tiga) peraturan pokok dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam konteks untuk menganalisa regulasi tentang kompensasi dan restitusi. Untuk memperkuat analisa atas regulasi tersebut, penulis akan menganalisa praktik-praktik penerapan hak atas kompensasi dan restitusi di pengadilan HAM.

30

Yang dimaksud pemulihan (reparation) dalam tulisan ini adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun immaterial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Dalam hal ini pemulihan merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada korban, yang diantaranya mencakup kompensasi, restitusi dan rehabilitasi

31

Pelanggaran HAM yang berat berdasarkan Undang-undang No. 26 tahun 2000 adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lihat pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

32


(22)

Table 1:

Regulasi Nasional tentang Korban

No Regulasi Tentang Keterangan

1 UU No. 8 Tahun 1981

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

1. Mengatur tentang ganti kerugian kepada tersangka, terdakwa atau terpidana karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (Pasal 95). 2. Perkara pidana yang menimbulkan kerugian pada pihak lain, dapat menetapkan untuk penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (Pasal 98).

2 Peraturan

Pemerintah No. 27 Tahun 1983

Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Negara melalui Departemen Keuangan dibebani tanggung jawab untuk menyelesaikan pembayaran ganti kerugian yang dikabulkan pengadilan. 3 Keputusan Menteri

Keuangan RI No. 983/KMK.01/1983 Tanggal 31 Desember 1983 Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian

Ganti kerugian adalah ganti kerugian

sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 KUHAP.

4 UU No. 26 Tahun 2000

Pengadilan HAM Mengatur tentang hak atas Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban (KKR) Pelanggaran HAM yang Berat (Pasal 35 ayat 1).

5 Peraturan

Pemerintah No. 3 Tahun 2002

Kompensasi, Restitusi dan

Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran

1. Mengatur tentang tata cara pemberian KRR korban pelanggaran HAM yang Berat.


(23)

Ham yang Berat 2. Mengatur tentang bentuk dan besaran KRR.

3. Mengatur tentang pihak yang wajib

membayarkan KRR. 6 UU No. 13 Tahun

2006

Perlindungan Saksi dan Korban

1. Mengatur tentang hak atas kompensasi dalam kasus

pelanggaran HAM yang berat (Pasal 7 ayat 1 (a)).

2. Mengatur tentang hak restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab

pelaku tindak pidana (Pasal 7 ayat 1 b)).

Sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, istilah kompensasi dan restitusi kepada korban kejahatan hanya dinyatakan dengan penggunaan istilah “ganti kerugian”. Pada awalnya ganti kerugian kepada korban kejahatan, dapat dilihat dalam KUHAP yang dibebankan kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHAP juga dikenal hak untuk memperoleh ganti kerugian dan rehabilitasi bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Ganti kerugian bagi tersangka, terdakwa atau terpidana ini ditujukan bagi pihak yang mengalami kesalahan prosedur dalam proses peradilan pidana. Sementara rahabilitasi diberikan kepada terdakwa yang dibebaskan atau dilepaskan dalam putusan pengadilan.

Pasal 1 angka 22 KUHAP:

“Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutan yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini.”


(24)

Pasal 2 angka 23 KUHAP:

“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini.”

KUHAP mengatur tiga hak hukum yang dapat digunakan oleh korban oleh korban kejahatan dalam proses peradilan pidana. Pertama, hak untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum, yaitu hak untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan penghentian penyidikan dan/atau penghentian penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 77 jo 80 KUHAP). Kedua, hak korban kejahatan yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi, yaitu hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 168 KUHAP) dan hak bagi keluarga korban, dalam hal korban meninggal dunia, untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi untuk melakukan otopsi (Pasal 134-136 KUHAP). Ketiga, hak untuk menuntut ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita akibat kejahatan (Pasal 98-101 KUHAP).

Perhatian KUHAP terhadap korban suatu tindak pidana adalah berupa mempercepat proses untuk memperbaiki ganti kerugian yang diderita oleh korban kejahatan sebagai akibat perbuatan terdakwa dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan perkara ganti kerugian yang pada hakikatnya merupakan perkara perdata.

Bila mengacu pada sistem pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban, KUHAP lebih dekat dengan sistem bahwa kompensasi bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana. Hal ini dapat terlihat dalam ketentuan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam Pasal 98 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi:


(25)

“Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.”

Yang dimaksud dengan “orang lain” adalah pihak korban kejahatan, yakni perbuatan terdakwa yang merupakan suatu tindak pidana menimbulkan kerugian bagi orang tersebut. Kata “dapat” mengandung arti bahwa hakim ketua sidang berwenang untuk menerima atau menolak permohonan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian dengan perkara pidananya. Dengan demikian diberikan keleluasaan bagi hakim ketua sidang untuk menentukan kebijakan apakah digabungkan atau diajukan secara perdata. Hal ini berhubungan dengan permintaan penggabungan perkara perdata yang menyangkut orang lain yang tidak terlibat dengan perbuatan pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Jika hal ini terjadi, maka hakim ketua sidang kemungkinan akan menolak untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian tersebut. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 01. PW. 07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dimuat pada bidang pengadilan, antara lain dirumuskan:

“…..gugatan ganti kerugian dari korban yang sifatnya perdata digabungkan pada perkara pidananya, dang anti rugi tersebut dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak pidana…”

Jika turut dipertanggungjawabkan kepada pihak lain, maka hakim ketua sidang tidak salah apabila menolak penggabungan ganti kerugian tersebut. Sedangkan jika hanya terdakwa saja yang digugat pertanggungjawabannya maka hakim ketua sidang tidak


(26)

beralasan untuk menolak penggabungan perkara tersebut. Permintaan penggabungan perkara ganti kerugian hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana, atau jika penuntut umum tidak hadir maka permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.33

1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.

Mengenai yang dapat dimintakan ganti kerugian diatur dalam Pasal 99 KUHAP, yang berbunyi:

2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.

Berdasarkan Pasal 99 ayat (2) KUHAP, ganti kerugian yang dapat diputus hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan, sehingga tuntutan lain daripada itu harus dinyatakan tidak dapat diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa.

Jika pada amar putusan dimuat “tidak dapat diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa”, maka pengajuan perkara perdata yang dimaksud, bukan merupakan perkara ne bis in idem. Tetapi jika amar putusan hanya memuat “tidak dapat diterima” maka akan menimbulkan masalah ne bis in idem.34

33

Pasal 98 KUHAP.

34

Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hlm. 85.


(27)

Amar putusan suatu penggabungan perkara memuat putusan tentang perkara pidana dan perdata. Keterkaitan putusan perdata dan putusan pidana, dimuat dalam Pasal 99 ayat (3) KUHAP, yang berbunyi:

“Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.”

Hal yang dirumuskan pada Pasal 99 ayat (3) tersebut merupakan konsekuensi logis karena tuntutan ganti kerugian mengikuti perkara pidana karena timbulnya suatu tuntutan perdata tersebut sebagai akibat pidana yang terjadi. Pada Pasal 100 KUHAP, lebih jelas memperlihatkan keterkaitan putusan perdata dan putusan pidana, yang dirumuskan sebagai berikut:

1) Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.

2) Apabila terjadi suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.

Dengan demikian, jika terdakwa/tergugat telah menerima putusan pengadilan negeri maka pemohon ganti kerugian/penggugat tidak dapat mengajukan banding. Hal ini diperjelas lagi pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 01. PW. 07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dimuat pada bidang pengadilan (Bab IV), yang memuat:

“Apabila terdakwa/terhukum dalam perkara pidananya tidak mengajukan banding, maka penggugat ganti kerugian tidak dapat mengajukan banding dalam perkara perdatanya; tetapi dalam hal terhukum naik banding, maka pengadilan tinggi dapat memeriksa kembali putusan penggantian kerugian, apabila penggugat meminta pemeriksaan banding. Ketentuan-ketentuan hukum acara perdata berlaku dalam pemeriksaan gugatan ganti kerugian.”


(28)

Berdasarkan ketentuan dalam KUHAP dan keputusan menteri kehakiman tersebut dapat diketahui masalah pokok adalah perkara pidana sedangkan perkara gugatan ganti kerugian merupakan tambahan (asseoir), yang tidak dapat dipisahkan dengan perkara pokok. Maka jika perkara pidananya telah bekekuatan hukum tetap, pihak penggugat ganti kerugian tidak dapat mengajukan upaya hukum. Namun jika terdakwa mengajukan banding dalam perkara pidananya maka dibuka kesempatan bagi pihak penggugat untuk mengajukan banding.

Mengenai pelaksanaan eksekusi dari hakim ini, secara khusus tidak diatur dalam KUHAP akan tetapi dalam Pasal 101 KUHAP dijelaskan bahwa ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam KUHAP tidak diatur lain, dengan cara demikian maka eksekusi perkara gugatan ganti kerugian dilakukan secara perdata.

Mengenai eksekusi tersebut selanjutnya dijelaskan dalam Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 14. PW. 07.03 Tahun 1983 butir 15, sebagai berikut:

a. Gugatan perdatanya tidak diberi nomor tersendiri;

b. Pelaksanan putusan ganti kerugian yang digabungkan tersebut, dilakukan menurut tata cara putusan perdata;

c. Pelaksanaan putusan ganti kerugian tersebut tidak dibebankan kepada jaksa.


(29)

Maka eksekusi putusan ganti kerugian ini dapat dilaksanakan jika putusan perkara pidananya telah berkekuatan hukum tetap. Apabila terpidana yang dibebani kewajiban dalam amar putusan untuk membayar ganti kerugian akan tetapi tidak secara sukarela memenuhi kewajibannya, maka penggugat dapat mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara agar putusan tersebut dieksekusi. Permintaan tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tertulis. Berdasarkan permintaan eksekusi tersebut maka Ketua Pengadilan Negeri atau hakim yang memutus perkata tersebut, memerintahkan kepada terpidana (tergugat) untuk selambat-lambatnya dalam waktu 8 hari agar memenuhi putusan tersebut. Apabila setelah lewat watu 8 hari terpidana belum memenuhi kewajibannya, maka hakim akan menerbitkan surat perintah untuk menyita barang bergerak milik terpidana yang diperkirakan senilai dengan kewajiban yang diputuskan untuk dipenuhi. Jika barang bergerak tersebut tidak mencukupi, maka barang yang tidak bergerak ikut disita. Penyitaan ini dinamakan penyitaan eksekutorial yang dilakukan oleh Panitera dibantu dengan 2 orang saksi.35

Pada prakteknya gugatan ganti kerugian yang ditempuh melalui prosedur penggabungan perkara pidana dan perdata, mengalami beberapa kendala antara lain:36

1. Tanggung jawab mengganti kerugian bersifat individual, yakni ditujukan kepada pelaku tindak pidana saja dan tidak bisa dilimpahkan kepada pihak lain. Hal ini mengakibatkan tidak memungkinkan bagi korban untuk mendapatkan jaminan dilaksanakannya putusan ganti rugi akibat ketidakmampuan pelaku;

35

Ibid, hlm. 96.

36

Mudzakir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Rangkuman Disertasi, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum, 2001, hlm. 40.


(30)

2. Memerlukan tindakan aktif korban kejahatan, yaitu harus mengajukan permohonan sebelum jaksa mengajukan tuntutan sedangkan banyak dari korban kejahatan yang pada umumnya tidak mengetahui mengenai prosedur hukum tentang ganti kerugian;

3. Perkara gugatan ganti kerugian merupakan tambahan (accesoir), yang tidak dapat dipisahkan dengan perkara pokok (perkara pidananya), maka jika perkara pidananya telah berkekuatan hukum tetap, pihak penggugat tidak dapat mengajukan upaya hukum.

Dengan demikian, pengaturan dalam KUHAP mengenai perlindungan terhadap korban atas hak-haknya belum mendapat cukup pengaturan jika dibandingkan perlindungan kepada hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana.37

37

Beberapa dekade yang lalu telah dikeluhkan bahwa kepedulian pada tersangka/terdakwa sudah sedemikian tingginya, sehingga menimbulkan persepsi bahwa ‘the pendulum has swung too far.’ Oleh karenanya sudah tiba saatnya perhatian yang lebih besar diberikan pula pada pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana, terutama saksi --termasuk saksi korban. Lihat Naskah Akademis RUU Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana, disusun oleh Sentra HAM UI dan Indonesia Corruption Watch.

Pengakuan hak-hak korban dikuatkan dan diakui dalam sistem hukum nasional dengan diundangkannya UU Pengadilan HAM walaupun untuk hukum acaranya masih memakai mekanisme dari KUHAP. Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam UU Pengadilan HAM adalah hak khusus yang diberikan kepada korban pelanggaran HAM yang berat.

Pasal 35 ayat (1) UU Pengadilan HAM menyatakan :

“Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi”.


(31)

Namun, kompensasi dan restitusi korban pelanggaran HAM yang berat ini diletakkan dalam kerangka “ganti kerugian”. Hal ini terlihat dalam definisi tentang kompensasi dan restitusi dalam UU Pengadilan HAM maupun dalam PP No. 3 Tahun 2002. Pasal 1 PP No. 3 Tahun 2002:

“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.”

“Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.”

Berdasarkan ketentuan di atas, ganti kerugian kepada korban pelanggaran HAM yang berat dibebankan kepada dua pihak yakni pelaku kejahatan dan negara. Pelaku kejahatan atau pihak ketiga dibebankan untuk mengganti kerugian korban, dan inilah yang didefinisikan dengan “restitusi”. Sementara dalam kompensasi, pembebanan biaya ganti kerugian kepada korban dilakukan oleh pemerintah ketika pelaku atau

pihak ketiga tidak mampu membayar ganti kerugian secara penuh kepada korban. Dengan ketentuan ini, muncul konsep tanggung jawab negara terhadap korban kejahatan (pelanggaran HAM yang berat).

Namun dalam PP No. 3 Tahun 2002 tidak dijelaskan bagaimana kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dimohonkan, hanya disebutkan harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak.38

Karena dalam PP No. 3 Tahun 2002 tidak diatur mengenai tata cara pengajuan permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi maka tata cara pengajuan kompensasi,

38


(32)

restitusi, dan rehabilitasi dalam Pengadilan HAM dilakukan sesuai dengan tata cara ganti kerugian dan rehabilitasi dalam KUHAP.39

1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:

Kelemahan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam KUHAP secara otomatis juga menjadi kelemahan dalam pengaturan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam PP No. 3 Tahun 2002.

Selain kelemahan di atas, terdapat permasalahan lain dalam PP No. 3 Tahun 2002, yaitu mengenai siapa yang berhak mengajukan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Dalam Pasal 1 ayat (3) PP No. 33 Tahun 2002 memang dijelaskan siapa korban, tetapi tidak dijelaskan apakah mereka dapat mengajukan gugatan tersebut dengan cara perwakilan seperti diwakilkan oleh Komnas HAM atau lembaga non pemerintah. Hal ini penting untuk dijelaskan mengingat pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime dengan jumlah korban yang biasanya tidak sedikit dan antara lokasi tempat kejadian dengan dilakukannya persidangan yang sangat jauh sehingga dapat mengakibatkan ketidaktahuan para korban tentang perkara dengan terdakwa yang telah merugikan mereka dan para korban dapat kehilangan haknya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Hak atas kompensasi dan restitusi kembali diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 7, ganti kerugian kepada korban kejahatan menggunakan istilah kompensasi dan restitusi. Namun, tidak ada penjelasan tentang maksud dari kompensasi dan restitusi. Pasal 7 UU Perlindungan Saksi dan Korban:

a) Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat;

39

Hal ini melihat pada ketentuan Pasal 10 UU Pengadilan HAM yangmengatur bahwa dalam hal tidak ditentukan lain dalam UU ini, hukum acara atas perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.


(33)

b) Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.

Terjadi pembedaan dalam menentukan tanggung jawab pemenuhan hak-hak korban khususnya berkaitan dengan restitusi. Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, restitusi dapat diberikan kepada semua korban tindak pidana yang terjadi, dan tidak terbatas pada korban pelanggaran HAM yang berat sebagaimana hak atas kompensasi. Kedua, restitusi hanya menjadi tanggung jawab pelaku dan tidak menyertakan kewajiban bagi pihak ketiga, sebagaimana pengertian restitusi dalam UU Pengadilan HAM.

B. Mekanisme Kompensasi dan Restitusi terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat

Dengan demikian, ada dua pengaturan dan pendefinisian yang sedikit berbeda tentang kompensasi dan restitusi, yakni yang diatur dalam UU Pengadilan HAM dan UU Perlindungan Saksi dan Korban (Lihat tabel 2).

Tabel 2:

Hak-hak kepada korban atas Kompensasi dan Restitusi

No Regulasi Hak-hak korban Keterangan

1. UU No. 8 Tahun 1981

1. Ganti rugi kepada tersangka, terdakwa atau terpidana. 2. Pihak ketiga yang mengalami kerugian karena adanya kejahatan.

Dimungkikan korban kejahatan mendapatkan ganti kerugian atas kejahatan yang terjadi

pada dirinya 2. UU No. 26 Tahun

2000 dan Peraturan

Pemerintah No. 3 Tahun 2002

Kompensasi:

Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.

Kompensasi untuk korban


(34)

3. UU No. 13 Tahun 2006

Kompensasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat

Restitusi bagi korban tindak pidana

Disamping perbedaan definisi, bentuk ganti kerugian kepada korban dalam KUHAP, UU Pengadilan HAM dan UU Perlindungan Saksi dan Korban juga mempunyai pengaturan yang berbeda. Ganti kerugian kepada korban dalam KUHAP tidak menjelaskan secara terperinci mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Hal ini terlihat bahwa pengaturan tentang adanya ganti kerugian korban dalam KUHAP hanya “ditempelkan” pada pengaturan tentang penggabungan gugatan dalam perkara pidana. Namun, dipahami bahwa kerugian korban kejahatan dalam KUHAP yang dapat dimintakan gugatan untuk penggantian hanya pada kerugian materiil dan tidak mencakup pada kerugian imateriil.

Sementara, UU Pengadilan HAM mengatur lebih rinci tentang bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Bentuk-bentuk ganti kerugian ini dapat dilihat dalam

Restitusi :

Restitusi adalah ganti kerugian yang

diberikan kepada korban atau keluarganya

oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa:

1. pengembalian harta milik; 2. pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan;

3. atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Restitusi untuk korban


(35)

definisi mengenai restitusi yang merupakan ganti rugi kepada korban atau keluarganya yang mencakup:

a. pengembalian hak milik;

b. pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau c. penggantian biaya untuk tindakan tertentu.40

Bentuk-bentuk ganti kerugian tersebut, jika dibebankan kepada negara maka terminologi yang digunakan bukan lagi “restitusi” tetapi “kompensasi”. Artinya, bahwa bentuk-bentuk ganti rugi untuk korban dalam UU Pengadilan HAM adalah sama, baik untuk restitusi maupun kompensasi.

UU Perlindungan Saksi dan Korban justru tidak memberikan pengaturan tentang bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi kepada korban. Penjelasan undang-undang tersebut juga tidak ditemukan definisi dan penjelasan mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Tidak dijelaskannya bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, kemungkinan akan diatur kemudian dalam Peraturan Pemerintah. Pemahaman ini dapat dilihat dari ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban:

(2) Keputusan mengenenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan peraturan pemerintah.

Berdasarkan regulasi dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) diatas, terdapat tiga hal.

Pertama, dalam Peraturan Pemerintah yang akan dibentuk juga akan mengatur tentang

40


(36)

pengertian “kompensasi” dan “restitusi” termasuk bentuk-bentuk ganti kerugiannya.

Kedua, dari Peraturan Pemerintah tersebut, hakim dapat menetapkan dalam keputusannya bentuk ganti kerugian kepada korban. Ketiga, hakim mempunyai keleluasaaan untuk menetapkan bentuk ganti kerugian kepada korban dalam hal tidak ada regulasi yang mengatur tentang bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi.

Pemenuhan hak atas kompensasi dan restitusi sebagaiman diatur dalam UU Pengadilan HAM telah dipraktekkan dalam pengadilan HAM. Hukum acara pengadilan HAM yang digunakan, selama tidak diatur khusus, mengacu pada ketentuan dalam KUHAP.41

Perlu ditambahkan disini bahwa dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berhak mengajukan ke pengadilan hak atas kompensasi atau restitusi. Ketentuan ini memunculkan mekanisme baru dalam prosedur pengajuan hak atas kompensasi atau restitusi yakni terlibatnya LPSK dalam prosedur pengajuan. Pengaturan tersebut menunjukkan dua penafsiran, yakni; Pertama, bahwa tuntutan ganti kerugian (kompensasi dan restitusi) hanya bisa diajukan oleh korban melalui LPSK. Kedua, korban dapat mengajukan ganti kerugian melalui LPSK, dan dapat juga mengajukan ganti kerugian dengan prosedur yang lainnya misalnya KUHAP. Untuk memastikan prosedur baku, perlu keselarasan dengan regulasi yang lainnya misalnya dengan KUHAP dan PP No. 3 Tahun 2002. Jika tidak ada keselarasan dalam prosedur pengajuan hak atas kompensasi dan restitusi ini maka kemungkinan akan menimbulkan kebingungan bagi Akibatnya, prosedur pengajukan kompensasi dan restitusi juga mengacu pada ketentuan dalam KUHAP.

41


(37)

korban, tentang mekanisme yang akan digunakan dalam mengajukan tuntutan kompensasi dan restitusi.

Sebagaimana disebutkan dalam uraian di atas, hak atas kompensasi dan restitusi baik dalam UU Pengadilan HAM merupakan hak dari korban pelanggaran HAM yang berat. Sementara dalam UU Pengadilan HAM, hak atas kompensasi hanya ditujukan pada korban pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 UU Pengadilan HAM adalah kejahatan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.

Merujuk pada hukum internasional, setidaknya terdapat dua ketidaksesuaian dengan hukum internasional yakni mengenai mengenai penggunaan istilah, yakni perbedaan dalam penggunaan kata “kompensasi” dan “restitusi”. Penggunaan terminologi kompensasi dan restitusi dalam hukum nasional memiliki definisi yang sangat terbatas. UU Pengadilan HAM maupun UU Perlindungan Saksi dan Korban hanya mengenal bentuk-bentuk pemulihan, tetapi tidak mengenai hak atas pemulihannya itu sendiri. Hak atas pemulihan yang dimaksud disini adalah hak menunjuk pada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran HAM berat. Pemulihan itu dikenal dengan istilah kompenasi, restitusi dan rehabilitasi. Pemulihan tersebut merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada para korban. Dengan demikian, maksud dari pemulihan ini adalah usaha memperbaiki masa lalu dan menetapkan norma-norma untuk masa depan. Meskipun telah mengakui hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat, perlu untuk meletakkan kembali dan menyesuaikan maksud dari hak-hak atas pemulihan sesuai dengan norma dan hukum internasional.


(38)

Pasal 1 ayat (4) PP No. 3 tahun 2002, menyebutkan bahwa kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Definisi ini sama dengan definisi yang terdapat dalam Pasal 35 UU Pengadilan HAM. Kemudian konsep kompensasi ini dimasukkan juga menjadi salah satu hak korban dalam Pasal 7 UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Dari pengertian ini, “kompensasi” dapat ditafsirkan bahwa ganti kerugian kepada korban diambil alih oleh negara dari kewajiban pelaku atau pihak ketiga untuk membayar ganti kerugian. Sehingga harus dibaca

bahwa untuk adanya kompensasi, harus terlebih dahulu ada pelaku yang dinyatakan bersalah dan dipidana serta diperintahkan untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Tetapi, karena pelaku tidak mampu membayarnya, yang bisa disebabkan karena korbannya terlalu banyak atau jumlahnya ganti kerugian yang terlalu besar, maka negara akan mengambil alih tanggungjawab pelaku ini. Pengertian inilah yang tampak

dalam praktek di pengadilan HAM Indonesia.

Definisi kompensasi seperti ini menyempitkan makna kompensasi, terutama yang terkait dengan tanggung jawab negara atas pemulihan terhadap korban. Dan tentunya sangat berbeda jauh dengan prinsip-prinsip hukum HAM internasional, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kompensasi adalah kewajiban yang harus dilakukan negara terhadap korban pelanggaran HAM yang berat untuk melakukan pembayaran secara tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah.42

42

Dalam hal ini kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan atau kerugian yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya, sebagai akibat dari pelanggaran HAM, seperti : kerugian fisik dan


(39)

Jadi, pengertian dari kompensasi itu diberikan kepada korban bukan karena pelaku tidak mampu, tetapi sudah menjadi kewajiban negara (state obligation) untuk memenuhinya ketika terjadi pelanggaran HAM yang berat dan mengakibatkan adanya korban.

Hasilnya dapat dilihat dari tiga Pengadilan HAM yang sudah dilaksanakan di Indonesia. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi. Pengalaman Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur menunjukkan bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan ada korban sebagai akibat pelanggaran HAM tersebut tetapi karena pelaku tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya, secara otomatis tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemenuhan hak-hak korban atas kompensasi dan restitusi digantungkan dengan adanya kesalahan pelaku. Dalam arti, korban baru akan mendapatkan kompensasi dan restitusi apabila pelakunya dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Apabila peristiwa pelanggaran HAM-nya terbukti dan pelaku dinyatakan bersalah, maka korban berhak atas kompensasi. Apabila tidak terbukti, maka korban tidak berhak mendapatkan kompensasi (dan atau restitusi).

Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok telah secara nyata menerapkan dan mengadopsi kekeliruan dalam memahami konsep kompensasi dan restitusi. Hal ini tampak dari adanya prasyarat yang harus terpenuhi agar korban mendapatkan kompensasi

mental; kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; kesempatan yang hilang (lost opportunity), misalnya pendidikan dan pekerjaan; hilangnya mata pencaharian dan kemampuan mencari nafkah; biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal; kerugian terhadap hak milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang; kerugian terhadap reputasi atau martabat; biaya-biaya lain yang masuk akal dikeluarkan untuk memperoleh pemulihan.


(40)

dan restitusi yaitu dinyatakan bersalah dan dipidananya pelaku.43

Salah satu masalah mendasar berkaitan dengan pemberian kompensasi dan restitusi adalah adanya klausul yang menyatakan bahwa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi harus dalam amar putusan pengadilan.

Padahal, sudah menjadi prinsip hukum HAM internasional bahwa korban pelanggaran HAM berhak mendapatkan kompensasi (dan restitusi) tanpa harus menunggu apakah pelakunya dipidana atau tidak.

Disamping kekeliruan pengadopsian konsep hak atas pemulihan korban, UU Pengadilan HAM juga menimbulkan sejumlah permasalahan, terutama yang berkaitan dengan prosedur dalam pemenuhan hak-hak korban. Hal ini terkait dengan adanya klausul yang menyatakan bahwa korban dapat memperoleh hak-haknya melalui proses pengadilan. Padahal prosedur yang tersedia di pengadilan tersebut tidak disiapkan secara jelas dan lengkap. Akibatnya, prosedur yang tersedia tersebut semakin menjauhkan hak korban atas kompensasi dan restitusi.

44

Ketentuan ini tentunya sangat kontradiktif dengan tujuan kompensasi ini, yakni untuk memulihkan korban ke keadaan semula (restitutio in integrum) dan prinsip dalam Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa korban baru akan mendapatkan kompensasi dan restitusi ketika sudah ada putusan Pengadilan HAM yang berkekuatan tetap, yakni ketika tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh atau semua upaya hukum sudah ditempuh, mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali, sehingga putusan kompensasi tidak bisa segera dieksekusi atau dilaksanakan. Akibatnya korban tidak dapat segera melakukan pemulihan, dan semakin panjang pula jalan yang harus ditempuh oleh korban untuk mendapatkan hak-haknya.

43

Putusan No. 01/Pid. HAM/Ad Hoc/2003/PN.JKT.PST atas nama Sutrisno Mascung, dkk, 20 Agustus 2004,

44


(41)

PP No. 3 tahun 2002 yang menyatakan bahwa pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak.45

Untuk pengadilan HAM Timor-Timur, isu kompensasi dan restitusi sama sekali tidak muncul dalam persidangan, baik dari pihak korban, jaksa penuntut umum maupun hakim. Hal ini disebabkan karena PP No. 3 Tahun 2002 dikeluarkan setelah berlangsungnya persidangan.

Dapat dibayangkan berapa lama waktu yang harus dilalui korban untuk memperoleh hak-haknya, mulai dari terjadinya pelanggaran HAM yang berat; penyelidikan oleh Komnas HAM; penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan Agung; proses PN tingkat pertama, banding dan kasasi dan peninjuan kembali (PK).

Sebaiknya pengajuan kompensasi ini tidak harus menunggu sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Pengajuan dapat dilakukan sesaat setelah korban dipanggil Komnas HAM sebagai saksi (korban) dalam pelanggaran HAM yang berat. Karena sejak penyelidikan, Komnas HAM sudah dapat mengidentifikasi siapa-siapa yang menjadi saksi dan atau korban. Jadi, prosesnya tidak harus menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Salah satu masalah penting yang luput dari perhatian pembuat UU berkaitan dengan masalah kompensasi dan restitusi adalah tidak diatur dan tidak ditentukannya jangka waktu pengajuan permohonan kompensasi dan restitusi.

46

45

Lihat Pasal 2 ayat (2) PP No. 3 Tahun 2002.

46

PP No. 3 tahun 2002 dikeluarkan pada tanggal 13 Desember 2002. Sedangkan proses persidangan telah dilangsungkan sejak Februari 2002.

Sehingga, para pihak yang berkepentingan, dalam hal ini korban, jaksa penuntut umum dan hakim, tidak dapat langsung memahami dan menginternalisasi ketentuan yang terdapat didalamnya. Akibatnya, hakim dan jaksa


(42)

penuntut umum, terutama jaksa penuntut umum tidak mampu memaknai signifikansi dan pentingnya hak-hak pemulihan bagi korban.47

Secara umum PP No. 3 Tahun 2002 hanya menetapkan pihak yang berhak mendapatkan kompensasi dan restitusi serta instansi pemerintah terkait yang berwenang melakukan pembayaran, namun tidak menyinggung jumlah atau besaran kompensasi dan restitusi yang dapat diajukan atau diklaim oleh korban. Akibatnya, sebagaimana terjadi di Pengadilan HAM Tanjung Priok, korban dan keluarganya melakukan penghitungan Dalam kasus Tanjung Priok dan Abepura, para korban mengajukan permohonan secara langsung ke pengadilan pada saat mereka diperiksa sebagai saksi di pengadilan. Mekanisme ini sebenarnya cukup baik, mengingat korban dapat secara langsung meminta apa yang diinginkan kepada majelis hakim yang memeriksa perkaranya. Permasalahannya adalah hanya para korban yang dipanggil pengadilan saja yang dapat mengajukan permohonan atas kompensasi dan restitusi, sedangkan korban yang tidak dipanggil untuk menjadi saksi di pengadilan tidak memiliki peluang untuk mengajukan permohonan tersebut.

Disamping pengajuan secara langsung ke pengadilan, korban juga menyampaikan permohonannya melalui jaksa penuntut umum. Ini dilakukan korban dengan harapan pada saat jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan, akan disertakan permohonan kompensasi dan restitusi yang dimohonkan para korban. Berbagai cara yang ditempuh korban ini dilakukan untuk memenuhi ketentuan Pasal 35 UU Pengadilan HAM jo PP No. 3 Tahun 2000 yang menentukan bahwa kompensasi dan restitusi harus dicantumkan dalam amar putusan.

47

Progress Report Pengadilan HAM Tanjung Priok # 6, “Kompensasi, Restitusi dan Rehabiltasi Pelanggaran HAM yang berat” Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 30 April 2004.


(43)

sendiri terhadap jumlah kerugian yang dialami, baik kerugian materiil maupun imateriil. Kerugian materiil adalah kerugian yang bisa dihitung dengan uang yang mencakup kerugian harta benda, pekerjaan, pengobatan, dan transportasi. Sedangkan kerugian immateriil atau kerugian yang tidak bisa dihitung dengan uang mencakup stigmatisasi, pengungkapan kebenaran, dan trauma psikologis.48

Sedangkan untuk peristiwa Abepura, metode yang digunakan dalam menghitung kerugian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kerugian yang secara riil dialami serta biaya-biaya lain yang dikeluarkan, misalnya pembunuhan secara kilat; penyiksaan; meninggal dalam tawanan polisi; mereka yang mengalami cacat tetap, dan mereka yang harta miliknya dirusak. Kerugian kerusakan dan penderitaan yang dialami ini kemudian Menurut pihak korban, acuan untuk menghitung formulasi penghitungan kerugian materiil didasari pada Keputusan Mahkamah Agung Nomor 74 K/FIP/1969 pada 14 Juni 1969 mengenai Penilaian Uang Dilakukan Dengan Harga Emas. Lalu, didasari pula Keputusan Mahkamah Agung Nomor 63 K/PDT/1987 pada 15 Agustus 1988 mengenai Pembayaran Ganti Kerugian Yang Didasari Pada 6 Persen Per Tahun. Sehingga muncul sebuah rumus yakni nilai kerugian dikalikan harga emas tahun 2004 dibagi harga emas tahun N (tahun peristiwa terjadi-red), hasilnya dikali 0,5. Setelah diketahui hasilnya, ditambah enam persen dari hasil tersebut. Sehingga, rumus ditambah enam persen dari rumus menghasilkan nilai kerugian secara total.

Metode penghitungan kerugian ini kemudian diserahkan korban, melalui Kontras kepada Kejaksaan Agung untuk dijadikan bahan pertimbangan ketika menyusun tuntutan hukum (requisitor) mengenai kompensasi dan restitusi.

48


(44)

dinyatakan dalam jumlah uang yang dituntut. Beberapa dari jumlah ini adalah jumlah aktual biaya yang dikeluarkan oleh korban yaitu biaya rumah sakit dan biaya kerusakan harta benda. Jumlah lain adalah jumlah simbolis, yang kebanyakan merupakan hitungan adat, termasuk dalam hal ini adalah kerugian karena nafkah tidak lagi dapat diusahakan karena cacat tetap dan biaya perdamaian. Kesemuanya ini dihitung secara persis sesuai dengan yang dialami.

Berbagai metode penghitungan kerugian muncul sebagai dampak langsung dari tidak jelasnya pengaturan mengenai kompensasi dan restitusi sebagaimana terdapat dalam PP No. 3 Tahun 2002.

Sebenarnya pada tanggal 6 Oktober 2004, pemerintah yang saat itu dikepalai oleh Megawati Soekarnoputri, telah mengeluarkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang selanjutnya akan disebut UU KKR. Undang-undang ini dibentuk untuk mengungkap kebenaran, menegakkan keadilan, dan membentuk budaya menghargai HAM sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional demi kepentingan para korban dan/atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi. UU KKR merupakan implikasi dari Pasal 47 UU Pengadilan HAM yang menerangkan bahwa:

1) Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebgaimana dimaksud adalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang.


(45)

Dalam UU KKR, definisi tentang kompensasi dan restitusi mempunyai arti yang berbeda seperti yang ditemukan dalam UU Pengadilan HAM jo PP No. 3 Tahun 2002, yang menerangkan bahwa:49

Dilihat dari tugas dan wewenang komisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa komisi tersebut mempunyai kewenangan yang penuh dalam membantu pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, mulai dari menerima laporan dari pelaku, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya; melakukan penyelidikan dan klarifikasi mengenai pelanggaran HAM berat; memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam permohonan amnesti, menyampaikan rekomendasi pada pemerintah dalam hal pemberian kompensasi dan/atau rehabilitasi.

Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sesuai dengan kemampuan keuangan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental.

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.

Dapat dilihat perbedaan antara definisi kompensasi dalam UU KKR ini dengan UU pengadilan HAM dan PP No. 3 Tahun 2002. Dalam UU KKR, kompensasi memunculkan tanggung jawab negara mengenai ganti kerugian bagi korban secara penuh, bukan karena pelaku tidak mampu seperti arti kompensasi dalam UU Pengadilan HAM dan PP No. 3 Tahun 2002.

50

Salah satu alat kelengkapan komisi tersebut adalah subkomisi yang mana mempunyai tugas memberikan pertimbangan hukum dalam pemberian kompensasi, Keuntungan dari terbentuknya komisi tersebut adalah terjaminnya hak-hak korban.

49

Pasal 1 ke-6 dan 7 UU KKR.

50


(46)

restitusi dan rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat dari palanggaran HAM yang berat. Hal ini dapat membantu korban dalam menjamin hak-haknya untuk memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tanpa proses yang panjang seperti yang diatur dalam KUHAP.

Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini mempunyai tugas dan wewenang yang jelas. Berbeda dengan halnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang dibentuk melalui UU Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK sebagai lembaga yang mandiri tidak cukup mengkoordinir kepentingan korban pelanggaran HAM yang berat dalam hal pengajuan kompensasi dan restitusi.

Namun pada 7 Desember 2006, UU KKR telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan Pasal 27 UU KKR tidak jelas. Pasal 27 tersebut dianggap telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dalam memberikan hak kepada korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

BAB III

PRAKTIK PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI BAGI KORBAN DALAM KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA

A. Upaya-upaya Dalam Rangka Pemberian Kompensasi dan Restitusi bagi Korban Pelanggaran HAM Berat

Indonesia telah meratifikasi ICCPR, sebagai salah satu wujud komitmen negara Indonesia untuk menjamin hak asasi warga negaranya. ICCPR merupakan instrumen hukum Internasional yang menindak lanjuti perlindungan hak asasi manusia yang telah


(47)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar.

Melalui penelusuran berbagai literatur, baik nasional maupun internasional, penulis mencoba untuk melihat bagaimana seharusnya korban kejahatan memperoleh perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundang-undang nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya masih parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan.

Dengan adanya berbagai permasalahan mengenai jenis korban dalam kehidupan masyarakat, maka ini pulalah yang melatarbelakangi lahirnya cabang ilmu baru yang disebut dengan “viktimologi.” Viktimologi atau victimology (istilah dalam bahasa


(48)

Inggris) berasal dari istilah Latin, yaitu victima yang berarti korban, sedangkan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Maka secara singkat, viktimologi adalah ilmu yang mempelajari korban dari berbagai aspek.

Walaupun disadari, bahwa korban-korban kejahatan itu, disatu pihak dapat terjadi karena perbuatan/tindakan seseorang (orang lain), seperti korban pencurian, pembunuhan dan sebagainya (yang lazimnya disebut sebagai korban kejahatan), dan dilain pihak, korban dapat pula terjadi oleh karena peristiwa alam yang berada di luar “jangkauan” manusia (yang lazimnya disebut sebagai korban bencana alam), yaitu seperti korban letusan gunung berapi, korban banjir, korban gempa bumi dan lain-lain.

Walaupun kategori korban di atas sungguh-sungguh terjadi berdasarkan realita, akan tetapi menurut Andi Mattalatta, pengertian korban yang mendasari lahirnya kajian viktimologi, pada awalnya hanya terbatas pada korban kejahatan. Maka atas dasar ini pulalah, tanpa mengecilkan arti dari upaya pengkajian jenis korban selain dari korban kejahatan yang ada dalam masyarakat tersebut, pengkajian masalah korban dalam tulisan ini hanya difokuskan pada jenis korban yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana materil, yang lazimnya, seperti yang disebutkan di atas disebut sebagai korban kejahatan. Korban dalam konteks ini merupakan korban dalam pengertian yang konvensional dan sekaligus sebagai cikal bakal yang menjadi objek kajian pada awal lahirnya viktimologi (klasik).

Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian pada korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian karena kejahatan, baik materiil maupun imateriil. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang


(49)

diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan tidak dipedulikan1

Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah: “Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban.”

.

2

Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya imaterial maupun materiil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberikan keterangan yaitu sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.3 Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan.4

Tidak jarang juga ditemukan koban yang mengalami penderitaan (fisik, mental, atau materiil) akibat dari suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya

1

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 24

2

Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm. 33.

3

Chaerudin, Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Pers, Jakarta, 2004, hlm. 47.

4


(50)

korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.

Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan merupakan hak dari seseorang yang menjadi korban tindak pidana adalah untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi. Kompensasi diberikan oleh negara kepada korban pelanggaran HAM yang berat, sedangkan restitusi merupakan ganti rugi pada korban tindak pidana yang diberikan oleh pelaku sebagai bentuk pertanggungjawabannya.5

Terkait dengan hal di atas, salah satu contoh bahwa penyelesaian secara hukum maupun politik terhadap pelanggaran HAM seringkali tidak berpihak kepada korban, namun justru dilakukan untuk melindungi para pelaku dapat dikemukakan dalam konteks berikut ini:

Ada beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur pemberian kompensasi dan restitusi. Namun dalam kenyataannya aturan tersebut tidak implementatif. Pengaturan pemberian ganti rugi itu misalnya bisa dilihat pada KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), dan juga Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat. Namun berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Kasus-kasus HAM yang terjadi di Indonesia sampai saat ini belum pernah ada korban pelanggaran HAM yang mendapat kompensasi dan restitusi walaupun dalam amar putusan pengadilan korban berhak untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi.

5


(1)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan hormat syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus Sang Kepala Gerakan sebagai Tuhan yang hidup yang telah mencurahkan berkat dan karunia-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, sebagai slah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan masa studinya dan memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Sesuai dengan yang tercantum pada halaman depan skripsi ini, maka judul yang dipilih adalah “PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI DALAM PELANGGARAN HAM BERAT DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN”.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, dalam penyusunan, pemilihan maupun merangkai kata demi kata, serta kelalaian dalam proses pengeditan. Hal ini karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi acuan bagi penulis dalam karya penulisan berikutnya.

Sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan perhatian yang telah diberikan, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Runtung, SH, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M. Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH, M. Hum selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,


(2)

Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Abdul Khair, SH, M. Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana dan ibu Nurmalawaty, SH, M. Hum selaku Sekretaris Departemen hukum Pidana yang mendukung penulis dalam pemilihan judul dan penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Ibu Nurmalawaty SH, M. Hum selaku Dosen Pembimbing I, yang telah membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Alwan, SH, M.Hum selaku Dosen pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini sampai dengan selesai.

5. Erna Herlinda, SH M.Hum selaku dosen wali penulis yang telah banyak membantu dan membimbing penulis selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Segenap dosen serta seluruh Civitas Akademik dan seluruh staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Yang teristimewa dan penulis cintai Ayahanda H. Sinaga dan Ibunda B. Purba, SPd yang telah sabar dalam mengasuh dan mendidik serta memberi dorongan kepada penulis dengan iringan doa yang tak henti-hentinya serta kerja keras, kesabaran, nasehat dan kasih sayang dari ayahanda dan ibunda, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya buat ayahanda dan ibunda tercinta. Semua hal yang ayahanda dan ibunda berikan


(3)

tidak mungkin dapat tergantikan. Aku akan selalu berusaha membuat ayahanda dan ibunda bangga.

8. Buat seluruh kakak dan adikku

9. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan seluruh civitasnya yang telah memberikan pembelajaran yang tak ternilai bagi penulis.

Akhirnya Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak terkhusus pembaca.

Medan, September 2010 Hormat Penulis,

NIM: 040200020 ADE FD SINAGA


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ...i

DAFTAR ISI... .vi

ABSTRAKSI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….1

B. Permasalahan……...……….7

C. Tujuan Penulisan……….8

D. Manfaat Penulisan………....8

E. Keaslian Penulisan………...9

F. Tinjauan Kepustakaan………..…..10

G. Metode Penelitian………...28

H. Sistematika Penulisan………..30

BAB II ANALISIS PENGATURAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengaturan Kompensasi dan Restitusi terhadap korban pelanggaran HAM Berat...32

B.

Mekanisme Kompensasi dan Restitusi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat

…………..…...

...44

BAB III PRAKTIK PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI BAGI KORBAN DALAM KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA A. Upaya-upaya Dalam Rangka Pemberian Kompensasi dan Restitusi Bagi Korban Pelanggaran HAM Berat...59


(5)

B. Praktik Pemberian Kompensasi dan Restitusi di Indonesia

1. Pengadilan HAM Ad hoc Timor-Timur ...63 2. Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok...66

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………...73 B. Saran………..75


(6)

KOMPENSASI DAN RESTITUSI BAGI KORBAN DALAM PELANGGARAN HAM BERAT DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian pada korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian karena kejahatan baik materiil maupun imateriil. Namun dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan merupakan hak dari seseorang yang menjadi korban tindak pidana adalah untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi. Beberapa peraturan di Indonesia mengatur mengenai pemberian kompensasi dan restitusi, misalnya KUHAP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat. Namun berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Pengadilan HAM ad hoc untuk Kasus Timor-timur, Tanjung Priok dan Abepura pun belum dapat mempraktekan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran HAM berat karena pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tidak jelas. Atas dasar itulah penulis sangat tertarik untuk meneliti perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran HAM berat dengan identifikasi masalah, bagaimana hukum positif Indonesia mengatur mengenai mekanisme kompensasi dan restitusi dan membandingkannya dengan ketentuan yang ada dalam Statuta Roma.

Metodologi yang dipakai dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif karena menggunakan data sekunder sebagai sumber utama. Sedangkan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan data dan fakta sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis terhadap ketentuan hukum yang berlaku, khususnya terhadap UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Statuta Roma.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa pengaturan mengenai kompensasi dan restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat belum dapat dijalankan karena mekanisme pengaturannya belum diatur secara jelas dan belum memenuhi standardisasi internasional. Berbeda dengan pengaturan mengenai mekanisme kompensasi dan restitusi dalam Statuta Roma, yang dapat menjamin korban dalam mendapatkan penggantian kerugian secara materiil dan imateriil.


Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 7 9

SKRIPSI IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 13

PENDAHULUAN IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 14

PENUTUP IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 5 7

PEPELA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MELALUI KOMPENSASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 16

PENDAHULUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MELALUI KOMPENSASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 19

PENUTUP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MELALUI KOMPENSASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 9

PENDAHULUAN KAJIAN TERHADAP KETENTUAN RESTITUSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 10

PENUTUP KAJIAN TERHADAP KETENTUAN RESTITUSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 4 8

FUNGSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM KASUS PELANGGARAN HAM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 0 15