Kewajiban Negara Menyangkut Hak Asasi Manusia

pelanggaran HAM yang juga sesuai dalam lingkup penulis, yaitu mahasiswa Fakultas Hukum. Pada skripsi ini dibahas tentang pemberian kompensasi dan restitusi terhadap korban pelanggaran HAM berat yang di tinjau berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat.. Penulis mengkaji permasalahan ini, dengan harapan dapat menjadi masukan yang berguna bagi masyarakat yang baik secara langsung dan tidak langsung ingin mengetahui permasalahan ini.

F. Tinjauan Kepustakaan

Peraturan-peraturan teori-teori serta asas hukum yang berkaitan dengan hukum HAM, yang membahas tentang Kompensasi dan Restitusi Bagi Korban Pelanggaran HAM Berat.

1. Kewajiban Negara Menyangkut Hak Asasi Manusia

HAM merupakan sekumpulan hak yang bersifat normatif atau merupakan legal rights. Sifat normatif ditandai dengan adanya landasan hukum secara international yang mengatur HAM. Norma-norma HAM yang terdapat di dalam instrumen hukum HAM Universitas Sumatera Utara internasional selanjutnya menciptakan kewajiban bagi negara untuk melindungi dan menjamin HAM bagi setiap individu Kewajiban negara menyangkut HAM seperti yang telah diatur dalam berbagai instrumen hukum HAM internasional, pada intinya menekankan pada dilaksanakannya penghukuman terhadap para pelaku pelanggaran HAM melalui proses pengadilan dan diberikannya ganti rugi atau rehabilitasi bagi para korban pelanggaran. 8 8 Rudi M. Rizki, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi Terre, edit, op.cit., hlm. 312-313. Piagam PBB pada dasarnya mengandung sejumlah kaidah hukum HAM yang meletakkan sejumlah kewajiban yang bersifat mengikat setiap negara anggota. Ketentuan yang mengatur, antara lain, terdapat di dalam Pasal 55 c yang mengatur PBB akan mempromosikan “universal respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion.” Berkaitan dengan pasal di atas maka negara-negara anggota PBB memiliki kewajiban untuk mempromosikan HAM sebagaimana yang diatur dalam pasal di atas. Namun, apabila suatu negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban tersebut maka dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap Piagam PBB. Sumber utama yang merupakan instrumen hukum HAM internasional dikenal sebagai the International Bill of Human Rights. Instrumen hukum tersebut terdiri dari: Deklarasi Universal HAM, Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ICESCR serta Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik ICCPR beserta dua protokol tambahannya. Kewajiban negara dalam soal HAM timbul sebagai komitmen dari negara, seperti dinyatakan dalam pembukaan UDHR, Universitas Sumatera Utara “….member State have pledged themselves, in cooperation with the United Nations, the promotion of Universal respect for and observance of human rights and fundamental freedoms.” Dalam konteks hukum internasional, HAM kini telah diatur dalam disiplin ilmu tersendiri yang merupakan cabang dari hukum internasional, yaitu hukum HAM internasional. Menurut Thomas Buergenthal, hukum HAM internasional adalah, “….as the law that deals with the protection of individuals and group against violations by their government of their internationally guaranteed rights, and with the promotions of these rights.” 9 Menurut Haryomataram, hukum HAM internasional mencakup semua peraturan dan prinsip-prinsip yang bertujuan melindungi protecting dan menjamin safeguarding hak-hak individu apa pun status hukum mereka, yaitu penduduk sipil, anggota angkatan bersenjata, warga negara asing, orang asing, pria ataupun wanita pada setiap saat, baik dalam keadaan damai maupun keadaan perang atau perang saudara, pemberontakan, dalam wilayah negara sendiri maupun di luar negeri. 10 9 Buergenthal, op.cit., hlm. 1. 10 Haryomataram, Hukum Humaniter: Hubungan dan Keterkaitannya dengan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan Hukum Pelucutan Senjata, hlm. 10. Berdasarkan dua definisi di atas, terlihat kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip hukum HAM internasional mengatur perlindungan dan jaminan HAM setiap individu tanpa kecuali. Sebagai subjek, individu adalah pihak yang harus mendapatkan perlindungan dan jaminan terhadap HAM, sedangkan pada sisi lain, negara adalah pihak yang dibebani kewajiban untuk menjamin perlindungan dan jaminan terhadap HAM. Universitas Sumatera Utara B. Tinjauan Umum Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Pelanggaran berat HAM belum mendapat kesepakatan yang diterima secara umum. Biasanya kata “berat” menerangkan kata “pelanggaran”, yaitu menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran yang dilakukan. Akan tetapi, kata “berat” juga berhubungan dengan jenis-jenis HAM yang dilanggar. Pelanggaran berat HAM terjadi jika yang dilanggar adalah hak-hak berjenis non-derogable Pelanggaran berat HAM juga memiliki unsur menimbulkan akibat yang meluas atau widespread. Hal ini biasanya akan mengarah kepada jumlah korban yang sangat besar dan kerusakan serius secara luas yang ditimbulkannya. Namun demikian, hingga saat ini belum ada definisi yang baku mengenai pelanggaran berat HAM. Dilihat dari peristilahan yang digunakan pun bermacam-macam, ada yang menggunakan istilah gross and systematic violations, the most serious crimes, gross violations, grave violations, dsb. Istilah pelanggaran berat HAM yang telah dikenal dan digunakan pada saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik didalam resolusi, deklarasi, maupun dalam perjanjian HAM. Namun secara umum dapat diartikan sebagai pelanggaran secara sistematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya lebih serius. Dalam penjelasan Pasal 104 ayat 1 UU HAM, pelanggaran HAM berat adalah pembunuhan massal genocide, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan arbitraryextra judicial killing, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis systematic discrimination Universitas Sumatera Utara Pelanggaran berat HAM menurut UU Pengadilan HAM didefinisikan sebagai pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 11 Yang dimaksud dengan kejahatan genosida, 12 Adapun yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan, “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maskud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota- anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. 13 Pelanggaran berat HAM termasuk pula dalam kategori extra ordinary crime berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangat sistematis dan dilakukan oleh pihak “suatu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari rangsangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, barupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekersan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid.” Pasal-pasal mengenai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut di atas substansinya merupakan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma. 11 Pasal 7 Undang—undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 12 Pasal 8 Undang—undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 13 Pasal 9 Undang—undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Universitas Sumatera Utara pemegang kekuasaan, sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara mendalam dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, belum ada definisi yang baku, baik dari instrumen hukum HAM Internasional maupun nasional, instrumen-instrumen hukum HAM tersebut hanya menggambarkan cakupan pelangaran HAM yang berat saja, bahkan terdapat ketidaksinkronan dengan pengertian pelanggaran HAM yang berat dari hukum positif Indonesia yaitu dari penjelasan Pasal 104 UU HAM dengan yang terdapat di dalam UU Pengadilan HAM. Dari sisi ajaran para ahli sekalipun, definisi pelanggaran HAM yang berat hanya berupa pengelompokkan saja. C. Tinjuan Umum tentang Korban Pengertian korban dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan penyalahgunaan Kekuasaan 1985 yang disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 4034, 29 November 1985 The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985 : “Korban berarti orang-orang yang, secara pribadi atau kolektif, yang telah menderita kerugian yang termasuk di dalamnya luka fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakkan cukup besar atas hak-hak dasarnya, lewat tindakan atau penghapusan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di negara- Universitas Sumatera Utara negara anggota, termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang bisa dikenai pidana.” 14 Menurut Muladi Korban adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik maupun mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Istilah ‘korban’ juga termasuk, bilamana sesuai, keluarga dekat atau tanggungan korban langsung orang-orang yang telah menderita kerugian karena campur tangan untuk membantu korban yang dalam keadaan kesukaran atau mencegah jatuhnya korban 15 Pengertian korban menurut Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang selanjutnya disebut UU KKR adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran HAM yang berat; termasuk korban adalah juga ahli warisnya. Sedangkan Cohen mendefinisikan korban victim sebagai : “ whose pain and suffering have been neglected by the state while it spends immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering. 16 14 Terjemahan dari Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusi yang disunting oleh Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. zen, Yayasan obor Indonesia,Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Kelompok Kerja Ake Arif, Jakarta, 2006, hlm. 515. 15 Muladi ed, op.cit., hlm. 108. 16 Undang-undang No. 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pasal 1 angka 5. Universitas Sumatera Utara Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM yang Berat dan Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat, mengartikan Korban sebagai orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. 17 Peraturan perundang-undangan terbaru yang berkenaan dengan korban adalah UU Perlindungan Saksi dan Korban yang memberi batasan tentang apa yang disebut dengan korban, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, danatau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 18 17 PP No. 2 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Pasal 1 angka 2 dan PP No. 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Pasal 1 angka 3. 18 Undang-undang 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban, Pasal 1 angka 2. Terkait dengan beberapa pengertian tentang korban di atas, maka korban dalam pelanggaran HAM yang berat adalah orang atau orang yang menderita secara material maupun imaterial yang disebabkan oleh tindakan pelanggaran HAM yang berat. Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugianpenderitaan bagi dirikelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi. Universitas Sumatera Utara D. Tinjauan Umum tentang Kompensasi dan Restitusi Dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat, seringkali pusat perhatian lebih ditujukan kepada para pelaku. Perhatian lebih ditekankan pada persoalan bagaimana menangkap, mengadili, dan menghukum para pelaku. Sementara hak-hak para korban yang bersifat massal cenderung diabaikan. Setiap pelanggaran terhadap HAM, apakah dalam kategori “berat” atau bukan, senantiasa menerbitkan kewajiban negara untuk mengupayakan pemulihan reparation kepada para korbannya. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hak-hak korban harus dilihat sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan HAM secara keseluruhan. Tidak ada HAM tanpa pemulihan atas pelanggarannya. 19 Istilah reparation adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non-material bagi para korban pelanggaran HAM; pemulihan itu lebih dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Pemulihan dengan demikian merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada para korban. 20 Penjelasan Pasal 35 UU Pengadilan HAM memberikan pengertian kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power memberikan penjelasan yang berkaitan dengan Restitusi, yaitu Offender or third parties responsible for their behavior should, where appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of the victimization, the provision of services and the restorstion of rights. 19 Ifdhal Kasim, op.cit., hlm. xiii. 20 Ibid, hlm. xvi. Universitas Sumatera Utara ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi, yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa: a. Pengembalian harta milik; b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Pengertian kompensasi dalam penjelasan Pasal 35 dari UU Pengadilan HAM memiliki kemiripan dengan pengertian dalam Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power, yang menyatakan: when compensation is not fully available from the offender or other sources, states should endeavour to provide financial compensation. Pengertian restitusi dan kompensasi merupakan istilah yang dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan interchangeable. Namun, menurut Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara the responsible of the society, sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana the responsibility of the offender. Kompensasi menurut prinsip-prinsip hukum HAM adalah kewajiban yang harus dilakukan negara terhadap korban pelanggaran HAM yang berat untuk melakukan pembayaran secara tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah. Universitas Sumatera Utara Terdapat lima sistem pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban, yaitu: 21 1 Ganti rugi demages yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana; 2 Kompensasi bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana; 3 Restitusi bersifat perdata bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi disini tetap bersifat keperdataan, namun tidak diragukan sifat pidananya. Salah satu bentuk restitusi menurut sistem ini adalah “denda kompensasi” compensatory fine. Denda ini merupakan “kewajiban yang bernilai uang” yang dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban disamping pidana yang seharusnya diberikan; 4 Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Disini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan; 5 Kompensasi yang bersifat netral, diberikan melalui prosedur khusus. Sistem ini diterapkan dalam hal korban memerlukan ganti rugi, sedangkan si pelaku dalam keadaan bangkrut dan tidak dapat memenuhi tuntutan ganti rugi kepada korban. Pengadilan perdata atau pidana tidak berkompeten untuk memeriksa, tetapi prosedur khusustersendiri dan independen yang menuntut campur tangan negara atas permintaan korban. 21 Ibid, hlm. xvi Universitas Sumatera Utara Sampai sekarang di Indonesia belum ada suatu lembaga yang secara khusus menangani masalah pemberian kompensasi terhadap korban kejahatan, seperti yang dilakukan di beberapa negara maju. Sebagai contoh di Amerika Serikat ada suatu lembaga yang bernama The Crime Victim’s Compensation Board. Lembaga ini dibentuk untuk menangani pemberian bantuan finansial kepada korban kejahatan berupa pengantian biaya pengobatan, pemakaman, kehilangan penghasilan, dan sebagainya. Adanya lembaga semacam The Crime Victim’s Compensation Board sangat diperlukan, karena lembaga ini dapat membantu korban kejahatan yang menderita kerugian secara finansial, khususnya apabila pelaku kejahatan tidak mampu membayar ganti kerugian kepada korban sebagai akibat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal yang memerlukan perhatian penting dalam pelaksanaan pembayaran ganti kerugian pada korban adalah perlunya diupayakan agar sistem pemberian ganti kerugian dilaksanakannya dengan sederhana dan singkat sehingga apa yang menjadi hak korban dapat segera direalisasikan. Apabila jangka waktu yang diperlukan untuk merealisasikan pembayaran ganti kerugian ini membutuhkan waktu yang lama, dikhawatirkan konsep perlindungan korban dalam kaitan pembayaran ganti kerugian akan terabaikan E. Prinsip-prinsip Dasar Perlindungan Korban Pelanggaran HAM Berat Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya HAM yang bersangkutan, maka dasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori, diantaranya sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 1. Teori Utilitas Teori ini menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak diterapkannya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi bagi sistem penegakan hukum pidana secara keseluruhan. 2. Teori Tanggung Jawab Pada hakikatnya subjek hukum orang maupun kelompok bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain menderita kerugian dalam arti luas, orang tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya. 3. Teori Ganti Kerugian Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli warisnya. Dalam konteks perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana meteriil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. 22 22 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hlm. 50. Universitas Sumatera Utara Adapun asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Asas Manfaat Artinya, perlindungan korban kejahatan tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan baik materiil maupun spiritual bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat. 2. Asas Keadilan Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan. 3. Asas Keseimbangan Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada kekayaan yang semula restitution in integrum, asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban. 4. Asas Kepastian Hukum Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan. Universitas Sumatera Utara Menurut Pasal 10 UU Pengadilan HAM, hukum acara yang berlaku atas perkara pelanggaran HAM yang berat adalah hukum acara pidana, selama tidak ditentukan lain didalamnya. Oleh sebab itulah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, upaya hukum, pelaksanaan putusan pengadilan serta pengawasan dan pengamatan palaksanaan putusan perkara pelanggaran HAM yang berat, jika tidak ditentukan lain dalam UU Pengadilan HAM, maka ketentuan yang berlaku adalah berdasarkan hukum acara pidana biasa. 23 Selain itu menurut Muladi, jika UU Pengadilan HAM dan KUHAP tidak mengatur, maka tidak ada salahnya mengadopsi ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Statuta Roma beserta segenap aturan dan prosedur sebagai lampirannya, hal ini didasari dengan salah satu sumber hukum yaitu Customary Law 24 1. Asas “Equality Before The Law” Adapun asas-asas hukum acara pidana yang terkait dengan perlindungan saksi dan korban antara lain: Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari negara hukum rechstaat sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang dihadapan hukum gelijkheid van iedeer voor de wet. Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung makna perlindungan yang sama di depan hukum equal protection on the law dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum equal justice under the law. Tegasnya hukum acara pidana tidak mengenal adanya perlakuan yang berbeda terhadap orang-orang yang terkait dengan peradilan forum prevelegiatum baik sebagai saksi, tersangka maupun korban, sebagaimana 23 Hukum acara pidana yang dimaksud Pasal 10 UU Pengadilan HAM yang dihubungkan dengan Pasal 2 UU Pengadilan HAM tersebut merupakan hukum acara pidana yang berlaku untuk pengadilan di lingkungan peradilan umum. 24 R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 21. Universitas Sumatera Utara ditentukan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum Pasal 3 KUHAP, dan karena itu pulalah untuk menjaga kewibawaan pengadilan, maka segala intervensi terhadap peradilan dilarang kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 2. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi Asas ganti kerugian dan rehabilitasi mulanya diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa yang diadili tidak sebagaimana mestinya. 25 Dalam perkembanganya asas ini dapat diterapkan terhadap saksi dan korban yang dirugikan terhadap suatu tindak pidana. 26 3. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Asas ini pada pokoknya menghendaki adanya suatu bentuk pemberian berupa material maupun imaterial kepada orang yang dirugikan di dalam suatu perkara pidana baik menyangkut kejadian tindak pidana itu sendiri maupun masalah prosedural pemeriksaan perkara pidana. Ganti rugi dan rehabilitasi ini sangat dibutuhkan bagi saksi dan korban untuk memulihkan atau mengembalikannya kepada keadaan yang tepat. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan terdapat dalam Pasal 4 ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan penjelasan umum angka 3 huruf e KUHAP. Secara konkrit, apabila dijabarkan bahwa peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan dimaksudkan supaya orang-orang yang terkait di dalam peradilan tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarut-larut, kemudian memperoleh kepastian prosedural hukum serta proses administrasi yang ringan 25 25 Pasal 9 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 95, 96, 97 KUHAP 26 Pasal 35 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, jo PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, jo pasal 6, 7 Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban. Universitas Sumatera Utara serta tidak memboroskan sumber daya yang ada pada proses pemeriksaan. Kaitannya dengan keberadaan saksi dan korban adalah agar saksi dan korban diperiksa secara cepat dan sederhana sehingga tidak membuat mereka menjadi tidak nyaman dan terbebani pada saat memberikan keterangannya. 4. Asas Bantuan Hukum Asas bantuan hukum ditegaskan dalam penjelasan umum angka 3 huruf f KUHAP yang pada intinya mewajibkan pemberian bantuan hukum terhadap setiap orang yang tersangkut perkara pidana untuk kepentingan pembelaannya, sedangkan asas bantuan hukum dalam Bab VII Pasal 37 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan : “ setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.” Selain dasar hukum tentang bantuan hukum sepeti di atas, juga terdapat di dalam Pasal 56, 69 s.d 74 KUHAP dan pasal 37 UU Kekuasaan Kehakiman yang bersifat imperatif, serta yurisprudensi Mahkamah Agung RI seperti Putusan No. 510 kPid1988 tanggal 28 April 1988 dan Putusan No. 1565 KPid1991 tanggal 16 September 1993. 27 5. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan Asas bantuan hukum ini wajib diberikan kepada saksi dan korban, agar mereka menjadi terang akan hak-hak dan kewajibannya. Pada asasnya, praktik pemeriksaan perkara pidana di depan persidangan dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi-saksi serta dilaksanakan dengan cara lisan dan bahasa Indonesia. 28 27 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 18. 28 Lihat op.cit., Pasal 153, 154, 155 KUHAP dan Pasal-pasal lainnya. Pemberlakuan asas ini lebih luas, seperti dapat diperiksanya seseorang secara in absentia atau tanpa Universitas Sumatera Utara hadirnya terdakwa di dalam persidangan. 29 1. Penghargaan atas harkat martabat manusia Kaitannya terhadap saksi dan korban Pelanggaran HAM yang berat adalah kemungkinannya dalam pemeriksaan tanpa hadir secara langsung di pengadilan yaitu dapat melalui sarana elektronik, maupun secara tertulis. Dalam menjaga penerapan dari asas-asas tersebut, maka diperlukanlah suatu sistem terpadu yang melindungi saksi dan korban pelanggaran HAM yang berat. Dalam Pasal 3 UU Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada: 2. Rasa aman 3. Keadilan 4. Tidak diskriminatif 5. Kepastian hukum

G. Metode Penelitian

Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 7 9

SKRIPSI IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 13

PENDAHULUAN IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 14

PENUTUP IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 5 7

PEPELA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MELALUI KOMPENSASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 16

PENDAHULUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MELALUI KOMPENSASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 19

PENUTUP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MELALUI KOMPENSASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 9

PENDAHULUAN KAJIAN TERHADAP KETENTUAN RESTITUSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 10

PENUTUP KAJIAN TERHADAP KETENTUAN RESTITUSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 4 8

FUNGSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM KASUS PELANGGARAN HAM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 0 15