Potensi Antihiperglikemia Ekstrak Kulit Kayu Mahoni (Swietenia macrophylla King) pada Tikus yang Diinduksi Aloksan

POTENSI ANTIHIPERGLIKEMIA EKSTRAK
KULIT KAYU MAHONI (Swietenia macrophylla King)
PADA TIKUS YANG DIINDUKSI ALOKSAN

JAP MAI CING

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

ABSTRAK
JAP MAI CING. Potensi Antihiperglikemia Ekstrak Kulit Kayu Mahoni
(Swietenia macrophylla King) pada Tikus yang Diinduksi Aloksan. Dibimbing
oleh MEGA SAFITHRI dan SYAMSUL FALAH.
Kulit kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) mengandung senyawa aktif
yang memiliki aktivitas antihiperglikemia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji pengaruh ekstrak kulit kayu mahoni terhadap konsentrasi glukosa darah
dan gambaran histopatologi pankreas tikus yang diinduksi aloksan. Pada
penelitian ini tikus Sprague-Dawley dibagi dalam 5 kelompok masing-masing 5

ekor, yaitu A (NaCl 0,9%+akuades), B (aloksan + akuades), C (aloksan +
Glibenclamide 0,25 mg/kg BB), D (aloksan + ekstrak air kulit kayu mahoni 250
mg/kg BB), dan E (aloksan + ekstrak metanol kulit kayu mahoni 250 mg/kg BB).
Konsentrasi glukosa darah ditentukan dengan menggunakan glukometer AccuChek® Active. Analisis histopatologi pankreas dilakukan dengan pewarnaan
Haematoxylin Eosin (HE) dan diamati di bawah mikroskop cahaya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ekstrak air kulit kayu mahoni mampu menurunkan
konsentrasi glukosa darah dari 173,2 mg/dL menjadi 94 mg/dL (45,73%),
sedangkan ekstrak metanol kulit kayu mahoni mampu menurunkan konsentrasi
glukosa darah dari 118,6 mg/dL menjadi 88 mg/dL (25,80%). Histopatologi
pankreas memperlihatkan adanya perbaikan kelenjar pankreas. Ekstrak metanol
kulit kayu mahoni memberikan efek perbaikan pulau Langerhans yang lebih baik
daripada ekstrak air kulit kayu mahoni.

ABSTRACT
JAP MAI CING. Antihyperglycemic Potency of Mahogany (Swietenia
macrophylla King) Bark Extract on Rats Induced Alloxan. Under direction of
MEGA SAFITHRI and SYAMSUL FALAH.
Mahogany bark (Swietenia macrophylla King) contain active compound
which have antihyperglycemic activity. This research was aimed at investigating
the effect of mahogany bark on blood glucose concentration and histopathology in

rat’s pancreas which induced alloxan. On this research Sprague-Dawley rats were
divided into 5 groups, each group were 5 rats, A (NaCl 0.9% + aquades), B
(aloxan + aquades), C (aloxan + Glibenclamide 0.25 mg/kg BW), D (aloxan +
water extract of mahogany bark 250 mg/kg BW), and E (aloxan + metanol extract
of mahogany bark 250 mg/kg BW). Blood glucose concentration defined by using
Accu-Chek® Active glucometer. Pancreas histopathology analysis was carried out
with Haematoxylin Eosin (HE) staining and observed under light microscope.
Result showed water extract of mahogany bark can decrease blood glucose
concentration from 173,2 mg/dL to 94 mg/dL (45,73%) and methanol extract of
mahogany bark can decrease blood glucose concentration from 118,6 mg/dL to 88
mg/dL (25,80%). Result of histopathology showed there was improvement on
pancreas gland. Methanol extract given better restoration effect on the islets of
Langerhans than water extract.

POTENSI ANTIHIPERGLIKEMIA EKSTRAK
KULIT KAYU MAHONI (Swietenia macrophylla King)
PADA TIKUS YANG DIINDUKSI ALOKSAN

JAP MAI CING


Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

Judul Skripsi

Nama
NIM

: Potensi Antihiperglikemia Ekstrak Kulit Kayu Mahoni
(Swietenia macrophylla King) pada Tikus yang
Diinduksi Aloksan
: Jap Mai Cing

: G84051676

Disetujui
Komisi pembimbing

Dr. Syamsul Falah,S. Hut., M. Si.
Anggota

Mega Safithri, S. Si., M.Si.
Ketua

Diketahui

Dr. Ir. I Made Artika, M. App. Sc.
Ketua Departemen Biokimia

Tanggal lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Mei 2009 hingga Desember 2009 ini bertemakan potensi
antihiperglikemik kulit kayu mahoni, dengan judul Potensi Antihiperglikemia
Ekstrak Kulit Kayu Mahoni (Swietenia macrophylla King) pada Tikus yang
Diinduksi Aloksan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian,
Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor, serta Laboratorium Patologi Balai Besar Penelitian Veteriner
Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Mega Safithri, S. Si., M. Si dan Dr.
Syamsul Falah, S. Hut., M. Si selaku pembimbing, serta drh. Sulistiyani M. Sc.,
Ph. D yang telah banyak memberi saran. Selain itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada drh. Yulvian, seluruh staf di Laboratorium Penelitian Departemen
Biokimia, Olga, Fitria, Bakuh, Avissa, Ratna Mustika, dan Andri atas bantuannya
selama penelitian ini dilaksanakan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada kedua orang tua, Cece, Koko, Anto serta seluruh keluarga atas segala doa
dan dukungannya.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan karya
ilmiah ini. Namun demikian, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat
bermanfaat.
Bogor, Agustus 2010

Jap Mai Cing

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 27 September
1988 dari ayah Jap Eng Hoat dan ibu Kwee Giok Lie. Penulis merupakan anak
bungsu dari tiga bersaudara.
Tahun 1993-1994 penulis menempuh pendidikan pertama kali di TK
Mariana Padang. Tahun 1994-2000 penulis menempuh pendidikan dasar di SD
Santa Theresia Padang. Selanjutnya, tahun 2000-2003 penulis melanjutkan
pendidikan di SLTP Maria Padang. Tahun 2003-2005 penulis menempuh
pendidikan di SMU Don Bosco Padang, kemudian pada tahun 2005 melanjutkan
studi di Institut Pertanian Bogor. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB. Tahun 2006 penulis memilih Departemen Biokimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan Kesatuan
Mahasiswa Katolik IPB (Kemaki) pada tahun 2005-2008. Selain itu, penulis juga
pernah aktif dalam organisasi Masyarakat Roempoet Fakultas Kehutanan IPB
pada tahun 2005. Tahun 2009 penulis pernah melakukan praktik lapangan di
Laboratorium Tanah dan Tanaman SEAMEO Biotrop, Jl. Raya Tajur No. 36,
Bogor. Tema praktik lapangan yang dilaksanakan yaitu isolasi kalsium (Ca) dari

limbah padat pabrik kertas rokok.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL…………………………………………………………
ix
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...

ix

DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………

ix

PENDAHULUAN…………………………………………………...........

1

TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes Melitus……………………………………………………….

Pengobatan Diabetes Melitus………………………………………….
Mahoni (Swietenia macrophylla King)………………………………..
Hewan Percobaan……………………………………………………...
Pankreas………………………………………………………………..

1
3
4
5
6

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat…………………………………………………………
Metode Penelitian……………………………………………………...

6
7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Bobot Badan Tikus dan Konsumsi Pakan....................................

Potensi Antihiperglikemia Ekstrak Kulit Kayu Mahoni……………....
Perubahan Histopatologi Pankreas…………………………………….

8
10
12

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan……………………………………………………………….
Saran…………………………………………………………………...

14
14

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...

14

LAMPIRAN……………………………………………………………….


17

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Bobot badan tikus selama masa adaptasi……………………………..

9

2

Konsumsi pakan tikus selama masa adaptasi………………………....

9

3

Bobot badan tikus selama masa perlakuan…………………...…….....


10

4

Konsumsi pakan tikus selama masa perlakuan…………………….….

10

5

Konsentrasi glukosa darah tikus selama perlakuan…………………...

11

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Swietenia macrophylla King………………………………………..…

4

2

Struktur kimia aloksan………………………………………………...

6

3

Anatomi pankreas……………………………………………………...

6

4

Hasil histopatologi pankreas ………………………………………….

13

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Alur kerja penelitian………………..………………………………….

18

2 Diagram alir masa adaptasi dan perlakuan…………………………….

18

3 Perhitungan pemakaian aloksan, dosis glibenklamid, dan dosis ekstrak
kulit kayu mahoni……………………………………………………....

19

4 Diagram alir histopatologi……………………………………………...

19

5 Bobot badan tikus selama masa adaptasi dan perlakuan……………….

20

6 Uji statistika terhadap bobot badan tikus……………………………….

21

7 Konsumsi pakan selama masa adaptasi dan perlakuan…………………

25

8 Uji statistika terhadap konsumsi pakan tikus…………………………...

26

9 Konsentrasi glukosa darah tikus selama masa perlakuan……………….

30

10 Rata-rata penurunan konsentrasi glukosa darah tikus selama masa
perlakuan………………………………………………………………..

30

11 Uji statistika terhadap konsentrasi glukosa darah tikus……………...…

31

12 Hasil histopatologi pankreas…………………………………………….

35

1

PENDAHULUAN
Diabetes termasuk penyakit yang tidak
dapat disembuhkan hingga saat ini. Menurut
WHO, diabetes adalah ancaman yang
meningkat bagi kesehatan masyarakat, dari 30
juta penduduk dunia pada tahun 1985 menjadi
171 juta pada tahun 2000. Badan Kesehatan
Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun
2030 jumlah penderitanya akan melonjak
menjadi 366 juta orang. Indonesia menempati
peringkat ke-4 jumlah penderita diabetes
terbanyak setelah India, Cina, dan Amerika
Serikat. Jumlahnya 8,4 juta pada tahun 2000
dan diperkirakan meningkat menjadi 21,3 juta
pada tahun 2030 (Wild et al. 2004).
Diabetes melitus didefinisikan sebagai
suatu penyakit atau gangguan metabolisme
kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan tingginya konsentrasi glukosa darah
disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau
defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta
Langerhans
kelenjar
pankreas,
atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin (Dirjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2005).
Selain itu, stres oksidatif juga terlibat dalam
diabetes melitus yang terjadi secara alami dan
induksi bahan kimia. Pada diabetes melitus
terjadi peningkatan produksi radikal bebas
sehingga sistem pertahanan antioksidan
terganggu.
Akhirnya
stres
oksidatif
menyebabkan kerusakan oksidatif seluler,
termasuk pada sel β pankreas (Winarto 2009).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
menanggulangi diabetes, seperti pengaturan
pola makan dan olah raga teratur, penggunaan
obat antidiabetes oral misalnya golongan
sulfonil urea dan biguanida, serta suntikan
insulin. Saat ini insulin dan obat-obat yang
beredar di pasaran, selain memiliki harga yang
relatif mahal juga memiliki efek samping,
misalnya gangguan saluran cerna dan susunan
saraf pusat. Oleh karena itu, masyarakat selalu
berupaya untuk mencari alternatif pengobatan
lain misalnya pengobatan dengan bahan alam,
selain mudah didapat, harga relatif murah,
juga efek samping yang lebih kecil,
dibandingkan dengan obat sintetik (Sunarsih
et al. 2007).
Pengobatan dengan menggunakan bahan
alam (pengobatan tradisional) telah lama
dikenal oleh masyarakat Indonesia, jauh
sebelum obat-obatan modern dikenal oleh
masyarakat. Saat ini, dengan berkembangnya

prinsip back to nature, manusia cenderung
memilih bahan alam yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan
sebagai
obat
bagi
kesehatannya. Di antara 250.000 spesies
tumbuhan obat di seluruh dunia diperkirakan
banyak
yang
mengandung
senyawa
antidiabetes melitus yang belum diketemukan
(Suharmiati 2003).
Salah satu tumbuhan yang memiliki
khasiat sebagai antidiabetes melitus adalah
mahoni (Swietenia macrophylla King). Telah
banyak penelitian yang mengungkap bahwa
mahoni
mempunyai
khasiat
sebagai
antidiabetes, namun yang biasa digunakan
adalah bijinya (Widowati 1997). Penelitian
dengan menggunakan kulit kayu mahoni
belum
pernah
dilakukan.
Penelitian
pendahuluan oleh Falah et al. 2008 telah
membuktikan adanya aktivitas antioksidan
kulit kayu mahoni. Adanya aktivitas
antioksidan ini dapat digunakan untuk
mengatasi diabetes yang salah satu
penyebabnya adalah reaksi oksidatif. Selain
itu, menurut Ningsih (2010), ekstrak kulit
kayu mahoni mengandung senyawa tanin,
terpenoid, saponin, alkaloid, dan flavonoid. Di
antara senyawa-senyawa tersebut, alkaloid
dan flavonoid merupakan senyawa aktif bahan
alam yang telah diteliti memiliki aktivitas
antidiabetes (Salim 2006).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
pengaruh ekstrak kulit kayu mahoni terhadap
konsentrasi glukosa darah dan gambaran
histopatologi pankreas tikus yang diinduksi
aloksan. Hipotesis penelitian ini adalah
ekstrak kulit kayu mahoni (Swietenia
macrophylla King) mampu menurunkan
konsentrasi glukosa darah tikus putih
hiperglikemia yang diinduksi aloksan. Ekstrak
tersebut bekerja dengan cara memperbaiki
kelenjar pankreas.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi informasi pada masyarakat tentang
khasiat ekstrak kulit kayu mahoni (Swietenia
macrophylla King) sebagai antidiabetes
melitus. Selain itu, dengan adanya penelitian
ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah
pada kulit kayu mahoni yang sebelumnya
hanya menjadi limbah.

TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes Melitus
Penyakit diabetes melitus telah dikenal
sejak sekitar tahun 1500 sebelum Masehi. Hal
ini terbukti dari catatan tua di negara Mesir
yang telah mengenal adanya penyakit dengan

2

poliuri (banyak kencing). Di India sekitar 400
tahun sebelum Masehi telah dikenal suatu
penyakit yang bersifat banyak kencing dan
kencing terasa manis oleh karena itu disebut
honey urine. Nama diabetes pertama kali
diperkenalkan oleh Arateus, seorang dokter
bangsa Roman yang hidup pada tahun 150
sesudah Masehi (Adam 2005). Kata diabetes
berasal dari bahasa Yunani yang artinya pipa
air yang melengkung (siphon). Selanjutnya,
ditambahkan kata mellitus yang berasal dari
bahasa Latin dan Yunani yang berarti madu.
Kata ini ditambahkan karena ketika diabetes
terjadi, urin penderitanya berasa manis
(Scobie 2007).
Secara ilmiah, Diabetes Melitus (DM)
merupakan
suatu
kelompok
penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau keduanya (Scobie 2007).
Insulin adalah hormon protein berantai ganda
dan dibentuk dari proinsulin di sel beta pulau
kecil pankreatik Langerhans, berfungsi untuk
mengubah glukosa menjadi glikogen (Silalahi
2006). Dalam keadaan normal bila kadar
glukosa darah naik maka insulin akan
dikeluarkan dari kelenjar pankreas dan masuk
ke dalam aliran darah. Dalam aliran darah,
insulin akan menuju reseptor yaitu 50% ke
hati, 10-20% ke ginjal, dan 30-40% bekerja
pada sel darah, otot, dan jaringan lemak.
Peran insulin dalam metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein sangat penting. Kurang
insulin dalam tubuh dapat berujung pada
kondisi asidosis (turunnya pH darah) yang
dapat menyebabkan kematian. Kurangnya
produksi insulin dalam tubuh juga merupakan
penyebab diabetes yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah (Granner 2000).
American Diabetes Association (ADA)
menetapkan konsentrasi glukosa darah normal
saat puasa kurang dari 100 mg/dL. Glukosa
plasma terganggu jika konsentrasi glukosa
saat puasa antara 100-125 mg/dL, sedangkan
toleransi glukosa terganggu jika konsentrasi
glukosa darah setelah pembebanan glukosa 75
g, antara 140-199 mg/dL. Seseorang dikatakan
menderita diabetes jika konsentrasi glukosa
darah saat puasa lebih dari 126 mg/dL atau
bila konsentrasi glukosa darah setelah
pembebanan glukosa 75 g lebih dari 200
mg/dL (Masharani 2008).
Diabetes melitus dibagi menjadi 2
kategori utama berdasarkan sekresi insulin
endogen
untuk mencegah munculnya
ketoasidosis, yaitu (1) Diabetes melitus
tergantung insulin (IDDM = insulin dependent
diabetes mellitus) atau tipe I, dan (2) Diabetes

melitus tidak tergantung insulin (NIDDM =
non-insulin dependent diabetes mellitus) atau
tipe II (Nugroho 2006). Diabetes tipe 1 adalah
kondisi yang ditandai oleh tingginya
konsentrasi glukosa darah yang disebabkan
oleh ketiadaan total hormon insulin. Diabetes
tipe 1 terjadi ketika sistem imun tubuh
menyerang sel β yang menghasilkan insulin
pada pankreas dan menghancurkannya. Sel β
kemudian hanya
sedikit
atau tidak
menghasilkan insulin sehinggga glukosa darah
tidak dapat masuk ke dalam sel untuk
digunakan sebagai energi. Kondisi ini hanya
bisa diobati dengan pemberian insulin
(Depkes RI 2005).
Kerusakan sel β secara agresif
menyebabkan penyakit tampak dalam
beberapa bulan pada anak yang masih muda,
meskipun ada juga proses yang akan berlanjut
dalam beberapa tahun, bahkan ada beberapa
kasus yang berlanjut lebih dari 10 tahun.
Gejala-gejala yang sering muncul pada
penderita diabetes tipe 1 adalah sering
kencing, sering merasa haus, terjadi
penurunan berat badan, sering merasa lapar,
dan merasa lemah (Rubin 2004). Gejala
mungkin terjadi secara tiba-tiba. Tanpa
pemberian insulin, diabetes tipe 1 akan
dengan cepat berakibat fatal. Penderita
diabetes tipe 1 tergantung pada injeksi insulin
untuk
mencegah
hiperglikemia
dan
ketoasidosis. Jika penyuntikan insulin tidak
cukup, seseorang dapat memasuki koma
akibat
ketoasidosis,
ketidakseimbangan,
elektrolit, dan dehidrasi. Sebaliknya, jika
pemberian
insulin
berlebih
dapat
menyebabkan koma karena hipoglikemia
(WHO 2006).
Diabetes tipe 2 disebut non-insulin
dependent diabetes mellitus (NIDDM) karena
tidak membutuhkan penambahan insulin
untuk
mempertahankan
keseimbangan
glukosa darah (Carolyn 2001). Diabetes tipe 2
terjadi akibat lemahnya aksi insulin.
Penurunan sensitivitas insulin terjadi pada
pintu masuk di permukaan sel tubuh yang
dinamakan reseptor insulin. Penyebab
terjadinya penurunan sensitivitas insulin
karena peningkatan kebutuhan sekresi insulin
untuk mempertahankan konsentrasi glukosa
darah. Orang yang obesitas dan kurang olah
raga mempunyai resiko terhadap diabetes tipe
2 dengan menunjukkan gejala penurunan
sensitivitas insulin, yaitu: (1) jumlah insulin di
dalam darah meningkat lebih tinggi
dibandingkan dengan orang normal, (2)
penyuntikan insulin tidak dapat menurunkan
konsentrasi glukosa darah (Rubin 2004).

3

Ada tiga kondisi abnormal yang mungkin
dimiliki penderita diabetes tipe 2. Pertama,
mutlak kekurangan insulin yang berarti
sekresi hormon insulin berkurang karena
kerusakan sel-sel β pankreas. Kedua, relatif
kekurangan insulin ketika sekresi insulin tidak
mencukupi dengan adanya kebutuhan
metabolisme yang meningkat (misalnya pada
kasus obesitas). Ketiga, resiten terhadap
insulin
dan
hiperinsulinemia
karena
penggunaan insulin perifer yang kurang
sempurna. Gejala yang sering muncul pada
penderita diabetes tipe 2 adalah cepat lelah;
sering kencing; sering lapar dan haus;
penglihatan menjadi buram; lambatnya
penyembuhan penyakit kulit, gusi dan infeksi
saluran kencing; terasa gatal pada bagian
kelamin; mati rasa pada kaki atau tungkai; dan
penyakit jantung (Rubin 2004). Obesitas atau
kelebihan simpanan lemak sering mengiringi
atau mendahului terjadinya penyakit diabetes
tipe 2 (Carolyn 2001).
Diabetes cenderung menurun dalam
keluarga. Menurut Joslin Diabetes Center
Boston (2007) yang berafiliasi dengan
Harvard Medical School, mereka yang paling
beresiko terkena diabetes adalah orang-orang
yang berusia 45 tahun atau lebih, kelebihan
berat, kegiatan fisik yang kurang aktif,
sebelumnya terindikasi memiliki IFG
(impaired fasting glucose) atau IGT (impaired
glucose tolerance), memiliki riwayat keluarga
yang terkena diabetes, bagian dari kelompok
etnik tertentu (termasuk Asia, Africa,
Hispanik and America Asli, Aborigin
Australia, India, dan keturunan Timur
Tengah), pernah memiliki diabetes pada
waktu hamil atau pernah melahirkan anak
dengan berat lebih dari 9 pon (4 kg), memiliki
tekanan darah yang meningkat, memiliki
kadar kolesterol HDL sebanyak 35 mg/dL
(1,94 mmol/L) atau lebih rendah, kadar
triglyserin sebesar 250 mg/dL (13,9 mmol/L)
atau lebih besar, memiliki polycystic ovary
syndrome, memiliki riwayat penyakit yang
berhubungan dengan pembuluh darah.
Pengobatan Diabetes Melitus
Pengobatan diabetes melitus terbagi
dalam empat bentuk utama, yaitu diet, olah
raga, terapi insulin, dan pemberian obat
hipoglikemia oral. Diet untuk memperoleh
berat badan ideal dan menghindari
peningkatan kadar glukosa darah. Olah raga
meningkatkan sensitivitas insulin sehingga
dapat meningkatkan kerja insulin mengontrol
konsentrasi glukosa darah (Marthur 2003).

Terapi insulin merupakan satu keharusan
bagi penderita diabetes melitus tipe 1. Pada
diabetes melitus tipe I, sel-sel β Langerhans
kelenjar pankreas penderita rusak sehingga
tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai
penggantinya, maka penderita diabetes
melitus tipe I harus mendapat insulin eksogen
untuk
membantu
agar
metabolisme
karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan
normal. Walaupun sebagian besar penderita
diabetes melitus tipe 2 tidak memerlukan
terapi insulin, namun hampir 30% ternyata
memerlukan terapi insulin di samping terapi
hipoglikemia oral (Dirjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan 2005).
Obat
hipoglikemia
oral
terutama
ditujukan untuk membantu penanganan pasien
diabetes melitus tipe II. Berdasarkan
mekanisme kerjanya, obat hipoglikemia oral
dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu 1)
obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin,
meliputi obat hipoglikemia oral golongan
sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan
turunan fenilalanin), 2) sensitiser insulin
(obat-obat
yang
dapat
meningkatkan
sensitifitas sel terhadap insulin), meliputi
obat-obat hipoglikemia golongan biguanida
dan tiazolidindion, yang dapat membantu
tubuh untuk memanfaatkan insulin secara
lebih efektif, 3) inhibitor katabolisme
karbohidrat, antara lain inhibitor αglukosidase yang bekerja menghambat
absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk
mengendalikan hiperglikemia post-prandial
(post-meal hyperglycemia), disebut juga
starch blocker (Dirjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan 2005).
Glibenclamide merupakan salah satu
contoh obat hipoglikemia oral yang
merupakan turunan sulfonilurea, termasuk
dalam golongan glibenklamida. Obat ini
dimetabolisme dalam hati, hanya 25%
metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian
besar diekskresi melalui empedu dan
dikeluarkan bersama tinja. Glibenclamide
efektif dengan pemberian dosis tunggal. Bila
pemberian dihentikan, obat akan bersih keluar
dari serum setelah 36 jam. Obat ini
diperkirakan memiliki efek terhadap agregasi
trombosit dan dalam batas-batas tertentu
masih dapat diberikan pada beberapa pasien
dengan kelainan fungsi hati dan ginjal (Dirjen
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2005).
Alternatif lain untuk mengatasi diabetes
adalah dengan menggunakan tanaman obat.
Berbagai jamu-jamuan telah dipromosikan
sebagai antidiabetes, dan khasiatnya tersebar
dari mulut ke mulut, dengan bukti

4

manfaatnya. Mekanisme kerjanya mungkin
tidak diketahui secara pasti, namun dapat
diperkirakan
bahwa
efeknya
dalam
menurunkan konsentrasi gula darah mungkin
sama seperti obat-obat hipoglikemia oral.
Penggunaan tanaman sebagai bahan obat
tradisional memerlukan penelitian ilmiah
untuk mengetahui kebenaran khasiatnya.
Dengan didapatnya data yang meyakinkan
secara ilmiah, maka penggunaan tanaman
tersebut sebagai obat dapat dijamin
kebenarannya. Hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Andayani pada tahun 2003
menunjukkan bahwa ekstrak kasar buncis
mampu menurunkan konsentrasi glukosa
darah sampai 30% pada kelinci diabetes yang
diinduksi dengan aloksan. Ekstrak etanol
herba sambiloto dengan dosis 2g/kg BB dapat
menurunkan kadar glukosa darah tikus
(Yulinah et al. 2001). Menurut Widowati et
al. (1997), biji mahoni memiliki khasiat
sebagai anti diabetes. Biji mahoni diseduh
dan diminum dengan dosis ½ sendok teh
sebanyak 3 kali sehari.
Mahoni
Tanaman mahoni (Swietenia macrophylla
King) termasuk ke dalam famili Meliaceae.
Mahoni (Gambar 1) biasanya ditanam di tepi
jalan sebagai pohon pelindung. Selain
ditanam, mahoni juga dapat ditemukan
tumbuh liar di hutan jati dan tempat-tempat
lain di sekitar pantai. Tanaman asal Hindia
Barat ini dapat tumbuh subur pada pasir payau
yang dekat dengan pantai. Mahoni merupakan
tanaman tahunan yang berakar tunggang,
berbatang bulat, bercabang banyak, dan
kayunya bergetah (IPTEK 2005).
Pohon mahoni selalu hijau dengan tinggi
antara 30-35 m. Kulitnya berwarna abu-abu
dan halus ketika masih muda, berubah
menjadi coklat tua, menggelembung dan
mengelupas setelah tua. Daun bertandan dan
menyirip yang panjangnya berkisar 35-50 cm,
tersusun bergantian, halus berpasangan, 4-6
pasang tiap daun, panjangnya berkisar 9-18
cm. Daunnya yang muda berwarna merah,
namun setelah tua warnanya hijau. Mahoni
berbunga majemuk yang tersusun dalam
karangan dan keluar dari ketiak daun. Bunga
kecil berwarna putih, panjangnya 10-20 cm.
Mahoni baru berbunga setelah berumur 7
tahun. Kayu mahoni ini termasuk bahan mebel
bernilai tinggi karena dekoratif dan mudah
dikerjakan. Tanaman ini ditanam secara luas
di daerah tropis dalam program reboisasi dan
penghijauan. Dalam sistem agroforestri,

pohon mahoni digunakan sebagai tanaman
naungan dan kayu bakar (Forest Seed Centre
2001).
Buah mahoni kering merekah, umumnya
berbentuk kapsul bercuping 5, keras,
panjangnya 12-15 cm bahkan sampai 22 cm,
berwarna abu-abu coklat. Bagian luar buah
mengeras, ketebalan 5-7 mm, sedangkan
bagian dalam lebih tipis. Di bagian tengah,
buah mengeras seperti kayu, berbentuk kolom
dengan 5 sudut yang memanjang menuju
ujung. Biji menempel pada kolumela melalui
sayapnya, meninggalkan bekas yang nyata
setelah benih terlepas. Umumnya pada setiap
buah terdapat 35-45 biji. Bijinya coklat,
lonjong padat, bagian atas memanjang
melengkapi menjadi sayap, panjangnya
mencapai 7.5-15 cm dengan extensive air
spaces. Biji disebarkan oleh angin. Jumlah biji
1800-2500 per kg. Di Indonesia, pohon
mahoni berbunga pada bulan SeptemberOktober dan berbuah pada bulan Juni-Agustus
(Forest Seed Centre 2001).
Kayu mahoni memiliki banyak kegunaan,
seperti mebel, alat musik, pembuatan kapal,
pembuatan pola, dan ukiran. Daun mahoni
digunakan sebgai pewarna (Mahale et al.
2006). Bijinya digunakan sebagai obat aborsi
oleh suku Bolivia Amazon (Bourdy et al.
2000), sebagai obat hipertensi, diabetes, dan
malaria di Indonesia. Kulit kayunya biasanya
hanya menjadi limbah dari industri mebel.
Namun, ekstrak kulit kayu mahoni dapat
digunakan sebagai penyembuh luka dan zat
pewarna merah. Ekstrak kulit kayu mahoni
(Swietenia macrophylla King) mengandung
tiga komponen yang berpotensi sebagai
antioksidan. Komponen tersebut adalah
swietemacrophyllanin, epikatekin, dan katekin
(Falah et al. 2008). Menurut Ningsih (2010)
ekstrak kulit kayu mahoni tersebut
mengandung senyawa tanin, terpenoid,
saponin, alkaloid, dan flavonoid. Di antara
senyawa-senyawa tersebut, alkaloid dan
flavonoid merupakan senyawa aktif bahan
alam yang telah diteliti memiliki aktivitas anti
diabetes (Salim 2006).

Gambar 1 Swietenia macrophylla King
(IPTEK 2005).

5

Hewan Percobaan
Hewan coba memiliki peranan penting
dalam penelitian, terutama yang berkaitan
dengan evaluasi nilai gizi yang berhubungan
dengan manusia. Hasil penelitian tersebut
diekstrapolasikan pada manusia dan diterima
sebagai azas untuk menerangkan fenomena
pada manusia. Banyak bukti menunjukkan
bahwa penggunaan hewan coba dapat
menggambarkan dengan baik berbagai
keadaan pada manusia, baik dari aspek
fisiologi maupun morfologi. Hewan coba juga
merupakan sarana yang baik untuk
memanipulasi beberapa keadaan yang tidak
mungkin dilakukan pada manusia (Andayani
2003).
Hewan coba yang digunakan dalam
penelitian diabetes melitus adalah hewan
laboratorium yang memiliki respon alami
ataupun respon buatan serta memiliki
karakteristik yang mirip (sebagian atau
keseluruhan) dengan diabetes melitus yang
terjadi
pada
manusia.
Faktor
yang
mempengaruhi pemilihan hewan model,
diantaranya harga, kemudahan memperoleh,
perawatan serta kemiripan dengan manusia
(anatomi, fisiologi, dan kedekatan genetik).
Hewan yang paling sering digunakan dalam
penelitian diabetes adalah tikus dan kelinci.
Tikus banyak digunakan karena sifat-sifatnya
telah diketahui dengan baik, mudah
dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif
sehat, serta peka terhadap pengaruh perlakuan
dalam komponen dietnya (Rohmawati 2008).
Terdapat lima macam basic stock tikus
putih (Albino Normal rat, Rattus norvegicus)
yang biasa digunakan dalam penelitian yaitu
Long Evans, Osborne Mendel, Sherman,
Sprague Dawley, dan Wistar. Sunarsih (2007)
menggunakan tikus wistar jantan untuk
melihat pengaruh pemberian infusa umbi
gadung terhadap penurunan konsentrasi
glukosa
darah.
Kusumawati
(2004)
melaporkan bahwa konsentrasi glukosa darah
normal tikus adalah 50-135 mg/ dL. Tikus
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Sprague Dawley jantan, berumur 3-4 bulan
dengan bobot badan berkisar antara 300-450
gram, dan sehat sebagai hewan coba. Tikus
Sprague Dawley betina tidak digunakan
karena kondisi hormonal yang sangat
berfluktuasi saat mulai beranjak dewasa,
sehingga dikhawatirkan akan memberi respon
yang berbeda dan mempengaruhi hasil
penelitian. Tikus Sprague Dawley memiliki
ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala
kecil, dan ekornya lebih panjang daripada

badannya. Beberapa karakteristik Sprague
Dawley adalah (1) nocturnal, aktif pada
malam hari dan tidur pada siang hari, (2) tidak
mempunyai kantung empedu, (3) tidak dapat
memuntahkan kembali isi perutnya, dan (4)
tidak pernah berhenti tumbuh, namun
kecepatan pertumbuhannya akan menurun
setelah berumur 100 hari (Malole & Pramono
1989).
Percobaan mengenai diabetes melitus
dengan menggunakan hewan percobaan
didasarkan pada patogenesis penyakit tersebut
pada manusia. Namun, kondisi patologis
hewan percobaan tersebut tidak sepenuhnya
menggambarkan kondisi patologis secara ril
pada manusia. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain perbedaan kondisi
fisiologi, perbedaan patologis dari beberapa
model diabetes melitus, ragam penyakit
diabetes melitus, serta komplikasi yang
menyertai dari penyakit tersebut. Menurut
Cheta
(1998),
berdasarkan
cara
pembuatannya, hewan percobaan diabetes
melitus dibedakan menjadi dua yaitu: (1)
terinduksi (induced), misalnya melalui
pankreaktomi, senyawa kimia (diabetogenik)
dan virus; (2) spontan (spontaneous),
misalnya menggunakan tikus BB (bio
breeding) atau mencit NOD (non-obese
diabetic). Spontaneous animal models
mempunyai karakteristik yang relatif sama
dengan kondisi diabetes melitus pada manusia
meliputi gejala-gejala penyakit, imunologi,
genetik maupun karakteristik klinik lainnya.
Menurut Rane (2000), salah satu bahan
kimia diabetogenik adalah aloksan. Aloksan
(2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 5,6-dioksiurasil)
merupakan senyawa hidrofilik dan tidak stabil
(Gambar 2). Waktu paruh pada suhu 37°C dan
pH netral adalah 1,5 menit dan bisa lebih lama
pada suhu yang lebih rendah. Bahan kimia
tersebut diberikan dengan dosis yang dapat
menyebabkan kerusakan selektif terhadap sel
β pankreas, sehingga menghasilkan keadaan
hiperglikemia permanen yang merupakan
salah satu etiologi dari IDDM (Insulin
Dependent Diabetes Mellitus). Aloksan dapat
digunakan secara intravena, intraperitoneal
dan subkutan. Dosis intravena biasanya 65
mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan
subkutan adalah 2-3 kalinya (Szkudelski 2001
dan Rees 2005). Dosis pemberian aloksan
bervariasi tergantung pada spesies, nutrisi, dan
rute
pemberian
(Szkudelski
2001).
Kemampuan aloksan menimbulkan diabetes
juga tergantung pada jalur penginduksian,
dosis, hewan coba, dan status nutrisinya
(Andayani 2003).

6

Gambar 2 Struktur kimia aloksan (Nugroho
2006).
Selain aloksan, bahan kimia diabetogenik
yang lain adalah streptozotosin (STZ, 2deoksi-2-(3-metil-3-(nitrosoureido)-D-gluko
piranosa)) yang disintesis oleh Streptomycetes
achromogenes. Sifat diabetogenik STZ diduga
terjadi karena kerusakan DNA dalam sel-sel β
pankreas. Elsner et al. (2000) melaporkan
bahwa penyebab kematian sel-sel β pankreas
hasil induksi STZ adalah proses alkilasi DNA.
Kerusakan DNA pada sel-sel β pankreas juga
disebabkan oleh aktivitas senyawa oksigen
reaktif yang dihasilkan oleh nitrogen oksida
(NO) yang bersumber dari STZ. Di dalam
mitokondria, NO akan meningkatkan aktivitas
santin oksidase dan menurunkan konsumsi
oksigen yang berdampak pada gangguan
produksi ATP sehingga mengakibatkan
kerusakan DNA.
Pankreas
Pankreas adalah kelenjar majemuk
bertandan, strukturnya mirip kelenjar ludah.
Panjangnya kira-kira 15 cm, mulai dari
duodenum sampai limpa. Pankreas terdiri atas
kelenjar eksokrin dan endokrin (Gambar 3).
Kelenjar eksokrin menghasilkan sejumlah
enzim pencernaan, antara lain amilase, lipase,
dan tripsin. Kelenjar endokrin (pulau
Langerhans) merupakan kumpulan sel ovoid
yang tersebar di seluruh pankreas. Di dalam
pulau tersebut terdapat beberapa jenis sel
berdasarkan
sifat
pewarnaan
dan
morfologinya. Ada lebih kurang 4 jenis sel
yaitu sel α, β, δ, dan sel f (Scobie 2007).
Sel α mensekresikan glukagon yang dapat
menaikkan konsentrasi glukosa dan asam
lemak bebas dalam darah. Sel α memicu
glikogenolisis, lipolisis, dan glukoneogenesis
dalam hati. Sebaliknya, sel β mensekresikan
hormon insulin yang dapat menurunkan
konsentrasi glukosa darah dan memicu
sintesis glikogen, lemak, dan protein dalam
banyak sel. Sel β jumlahnya terbanyak di
dalam kelenjar pankreas hampir 60-75%. Sel
β merupakan sumber insulin. Insulin bekerja
pada keadaan atau konsentrasi glukosa yang
tinggi dan sifatnya menurunkan konsentrasi
glukosa yang tinggi menjadi normal. Kelainan
fungsi sel β dapat menyebabkan penyakit

Gambar 3 Anatomi pankreas (Herman 2010).
diabetes melitus. Sel δ melepaskan
somatostatin yang menghambat sekresi insulin
dan glukagon, sedangkan sel f fungsinya tidak
diketahui, sel ini mungkin adalah sel cadangan
atau sel yang sedang istirahat (Scobie 2007).
Pulau Langerhans dilalui oleh kapilerkapiler darah. Pada pewarnaan HE, akan
terlihat pulau Langerhans lebih pucat
dibandingkan dengan sel-sel kelenjar acinar di
sekelilingnya sehingga pulau Langerhans
mudah dibedakan. Penderita DM akan
mengalami perubahan morfologi pada pulau
Langerhans, baik dalam jumlah maupun
ukurannya. Jumlah dan ukuran pulau
Langerhans berkaitan dengan jumlah sel β
penghasil insulin pada jaringan pankreas.
Semakin besar jumlah dan ukuran pulau
Langerhans, diindikasikan semakin besar pula
jumlah sel β karena 60-75% pengisi pulau
Langerhans adalah sel β (Guz et al.2001,
Scobie 2007).

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam masa
adaptasi dan perlakuan hewan percobaan
adalah tikus putih jantan galur SpragueDawley yang berusia 3-4 bulan dengan bobot
300-450 g, pakan standar, akuades, sekam
kayu, NaCl 0,9%, aloksan tetrahidrat,
Glibenclamide, dan ekstrak kulit kayu mahoni
(Mardisadora 2010). Bahan yang digunakan
pada pengukuran kadar glukosa darah adalah
betadine, kapas, minyak kelapa, dan strip
glukometer. Bahan yang digunakan pada
analisis histopatologi adalah eter, BNF 10%,
alkohol (70%, 80%, 90%, 95%, dan absolut),
xilol, parafin, pewarna Haematoxylin Eosin,
litium karbonat, albumin, serta gliserin.
Alat yang digunakan dalam masa adaptasi
dan perlakuan adalah kandang berukuran
50x30x15 cm, wadah pakan dan air, sabun,
tissue, glove, masker, pipet Mohr 5 mL, tips,
gelas piala 250 mL, bulp, neraca analitik,
jarum suntik 1 mL, dan sonde oral. Alat yang

7

digunakan pada pengukuran konsentrasi
glukosa darah adalah gunting dan glukometer
Accu-Chek® Active. Alat yang digunakan pada
analisis histopatologi adalah alat bedah
(pinset, gunting, skapel), pot, kaset tissue,
tissue processor, mikroskop cahaya, kaca
objek, kaca penutup, tissue-tec, cetakan, serta
rotary microtom.
Metode Penelitian
Hewan Coba dan Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus
putih galur Sprague-Dawley dengan jenis
kelamin jantan, sehat, dan mempunyai
aktivitas normal. Tikus diadaptasikan terlebih
dahulu selama 2 minggu dengan pemberian
pakan standar dan minum akuades secara ad
libitum hingga berusia 3-4 bulan dan bobot
badannya menjadi 300-450 g. Tikus
ditempatkan dalam kandang secara individual
dengan kondisi cahaya dan ventilasi yang
cukup pada suhu ruang (sekitar 25-29o C).
Tikus dibagi menjadi 5 kelompok dengan
5 ekor tikus dalam setiap kelompok.
Kelompok A (kontrol) adalah kelompok tikus
yang diinduksi dengan NaCl 0,9 % (b/v) dan
dicekok akuades sebanyak 1 mL. Kelompok B
adalah kelompok tikus yang diinduksi dengan
aloksan dan dicekok akuades sebanyak 1 mL.
Kelompok C diinduksi dengan aloksan dan
diberi obat anti diabetes Glibenclamide
dengan dosis 0,25 mg/kg BB. Kelompok D
diinduksi dengan aloksan dan diberi ekstrak
air kulit kayu mahoni dengan dosis 250 mg/kg
BB (1000x dosis Glibenclamide). Kelompok
E diinduksi dengan aloksan dan diberi ekstrak
methanol kulit kayu mahoni dengan dosis 250
mg/kg BB (1000x dosis Glibenclamide).
Maksimum jumlah larutan yang dicekokan
adalah 1 mL.
Aloksan diinduksikan pada hari ke-0,
namun sebelumnya tikus harus dipuasakan
sekitar 16 jam agar lebih rentan terhadap
serangan aloksan (Szkudelski 2001). Sebelum
aloksan disuntikkan, dilakukan pengukuran
konsentrasi glukosa darah terlebih dahulu.
Selanjutnya, untuk melihat peningkatan
konsentrasi glukosa darah, maka pada hari ke3 dilakukan pengukuran glukosa darah lagi.
Setelah itu, tikus dicekok sesuai dengan
perlakuan
masing-masing
kelompok.
Pencekokan berlangsung sampai hari ke-14
(selama 12 hari). Dosis aloksan yang
diinduksikan sebesar 200 mg/kg BB
(konsentrasi 5% b/v dalam pelarut akuades
steril) (Andayani 2003) dan dilakukan secara
intraperitonial (Permata 2006). Selama masa

perlakuan dilakukan pengamatan terhadap
konsumsi pakan dan bobot badan pada hari
ke-0, 3, 5, 8, dan 15.
Pengukuran Konsentrasi Glukosa Darah
Pengukuran konsentrasi glukosa darah
dilakukan pada masa perlakuan di hari ke-0, 3,
5, 8, dan 15. Sebelum pengambilan darah,
tikus dipuasakan selama 16 jam. Darah
diambil melalui bagian ekor, namun 1 jam
sebelumnya tikus dijemur agar pori-porinya
membesar sehingga saat pengambilan darah
tidak terjadi lisis. Ekor tikus dibersihkan
terlebih dahulu dengan alkohol 70%,
kemudian ujung ekor dipotong sedikit
(maksimal 5 mm dari bagian ujungnya)
menggunakan gunting steril hingga berdarah.
Ekor tikus diurut sambil dipijat hingga darah
menetes. Tetesan darah yang diperoleh
diteteskan di atas strip glukometer dan diukur
dengan menggunakan glukometer Accu-Chek®
Active. Pengukuran glukosa darah dengan
menggunakan glukometer Accu-Chek® Active
sesuai dengan metode Roche Diagnostics
(2005). Konsentrasi glukosa darah terukur
pada alat setelah 5 detik dan dinyatakan dalam
satuan mg/ dL. Sebelumnya, alat disesuaikan
dengan kode yang tertera pada kemasan strip.
Metode ini berdasarkan reaksi antara glukosa
dan NAD+ menjadi glukonolakton oleh enzim
glukosa dehidrogenase (β-D-glukosa:NADoksidoreduktase).
Histopatologi Pankreas
Histopatologi (modifikasi Andrew Kent
1985) yang dilakukan meliputi proses
nekropsi, pengambilan sampel, fiksasi,
dehidrasi, penjernihan (clearing), pencetakkan
(embedding),
pemotongan,
pewarnaan
(staining),
penutupan
sediaan,
dan
pengamatan dengan mikroskop cahaya.
Nekropsi, Pengambilan Sampel, dan
Fiksasi Pankreas Tikus. Sebelum dilakukan
pembedahan,
tikus
dietanasi
dengan
menggunakan dietil eter. Setelah mati, hewan
coba dibedah dengan melakukan sayatan di
sepanjang toraks sampai pubis. Pankreas
diambil, lalu dimasukkan ke dalam pot
berlabel yang berisi BNF 10% untuk proses
fiksasi selama 3x24 jam. Setelah matang,
sampel diiris setebal ± 3mm2, lalu dimasukkan
ke dalam kaset tissue berlabel dan siap untuk
didehidrasi.
Dehidrasi dan Penjernihan Sampel.
Kaset tissue yang berisi sampel dimasukkan
ke dalam keranjang dan ditempatkan pada alat
tissue-processor automatis. Proses dehidrasi
pada alat ini dilakukan dengan alkohol

8

konsentrasi bertingkat dengan urutan alkohol
70%, alkohol 80% (2 kali pada larutan yang
berbeda), alkohol 90%, alkohol 96%, dan
alkohol absolut ( 2 kali pada larutan yang
berbeda), masing-masing selama 2 jam.
Selanjutnya, dilakukan penjernihan dengan
menggunakan xilol (3 kali pada larutan yang
berbeda) masing-masing selama 40 menit.
Proses ini kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan parafin 60oC sebanyak 4 kali
selama 30 menit. Pada tahap pencucian
keranjang yang berisi sampel direndam dalam
xilol, alkohol 96%, dan akuades. Kaset tissue
yang berisi sampel dikeluarkan dari alat dan
sampel siap untuk ditanam dalam parafin
(embedding).
Embedding. Proses embedding dilakukan
dengan
menggunakan
alat
tissue-tek.
Embedding dimulai dengan memasukkan
parafin cair sebanyak seperempat dari volume
cetakan ke dalam cetakan. Selanjutnya,
potongan pankreas dimasukkan sampai
menyentuh dasar cetakan. Cetakan dipenuhi
dengan parafin cair dan diberi label. Parafin
dibiarkan membeku selama beberapa menit,
setelah itu dilepaskan dari cetakan.
Pemotongan dengan Rotary Microtom.
Setelah
parafin
membeku,
dilakukan
pemotongan pankreas setebal 4-5 µ dengan
menggunakan rotary microtom. Hasil cetakan
diletakkan di atas permukaan air yang
dipanaskan sampai suhu 40oC. Setelah itu
potongan diletakkan pada preparat dan
dikeringkan dalam inkubator minimal selama
2 jam pada suhu 56oC.
Pewarnaan Jaringan Pankreas. Sediaan
yang telah diperoleh diwarnai dengan
menggunakan pewarnaan Haematoxylin Eosin
(HE) dengan urutan xilol (2 kali pada larutan
yang berbeda) dan alkohol absolut masingmasing selama 2 menit, selanjutnya dengan
alkohol 95%, alkohol 80%, lalu dicuci dengan
air kran masing-masing selama 1 menit.
Tahap selanjutnya adalah pewarnaan dengan
menggunakan mayer’s haematoxylin, lalu
dicuci dengan air kran masing-masing selama
30 detik, litium karbonat selama 15-30 detik,
dicuci dengan air kran selama 2 menit, dan
eosin selama 2-3 menit. Pewarnaan kemudian
dilanjutkan dengan mencuci sediaan dengan
air kran selama 30-60 menit, dicelupkan ke
alkohol 95% dan alkohol absolut masingmasing sebanyak 10 kali, alkohol absolut
selama 2 menit, xilol selama 1 menit dan xilol
selama 2 menit. Setelah proses pewarnaan
selesai, kaca preparat dikeringkan dan ditetesi
dengan zat perekat albumin : gliserin (1:1) dan
selanjutnya ditutup dengan kaca objek.

Preparat tersebut diberi label dan siap untuk
diamati di bawah mikroskop cahaya.
Analisis Data
Data pengamatan glukosa darah dianalisis
menggunakan program SAS 9.1 dengan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pada tingkat
kepercayaan 95% dan taraf α 0,05, lalu
dilanjutkan dengan uji Duncan. Pengamatan
perubahan histopatologi dilakukan secara
deskriptif terhadap jaringan pankreas tikus.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Bobot Badan Tikus
dan Konsumsi Pakan
Pengamatan terhadap bobot badan
dilakukan setiap hari selama masa adaptasi
dan perlakuan. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui jumlah pakan yang dikonsumsi
setiap hari oleh tiap ekor tikus percobaan.
Konsumsi pakan dapat ditentukan dengan
mengumpulkan dan menimbang pakan sisa.
Pakan sisa yang dikumpulkan dibersihkan
terlebih dahulu untuk memisahkan sekam
yang tercampur dalam pakan. Setelah
dibersihkan, sisa pakan ditimbang dengan
timbangan dan dinyatakan dalam satuan gram.
Jumlah konsumsi pakan dihitung dengan
mengurangi jumlah pakan yang diberikan
dengan sisa pakan yang telah ditimbang.
Masa adaptasi dilakukan selama 15 hari.
Di awal adaptasi (H-15) rata-rata bobot badan
tikus adalah 368.16±8,21 g, sedangkan ratarata konsumsi pakannya adalah 25,96±1,09 g
(Tabel 1 dan Tabel 2). Setelah 2 minggu masa
adaptasi (dari H-15 sampai H0) bobot badan
tikus pada semua kelompok mengalami
peningkatan kecuali kelompok C. Kelompok
A mengalami peningkatan bobot badan
sebesar 1,55%, kelompok B sebesar 3,37%,
kelompok D sebesar 2,2%, dan kelompok E
sebesar 2,26%. Kelompok C mengalami
penurunan bobot badan sebesar 2,03%.
Namun, hasil statistika menunjukkan bahwa
peningkatan dan penurunan bobot badan ini
tidak berbeda nyata (p